Sedangkan Pasal 12 A
berbunyi:
(1) Ketentuan mengenai
pidana penjara dan pidana
denda sebagaimana
dimaksud Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11 dan
Pasal 12 tidak berlaku bagi
tindak pidana korupsi yang
nilainya kurang dari
Rp5.000.000,00
(2) Bagi pelaku tindak
pidana korupsi yang
nilainya kurang dari Rp
5.000.000,00 (lima juta
rupiah) sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan pidana denda
paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
Adapun Pasal 12 B
berbunyi:
(1) Setiap gratifikasi kepada
pegawai negeri atau
penyelenggaran negara
dianggap pemberian suap,
apabila berhubungan
dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya,
dengan ketentuan sebagai
berikut :
a. yang nilainya
Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan
oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari
Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah), pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut
suap dilakukan oleh
penuntut umum
Bahan
A. Pendahuluan
Korupsi merupakan istilah yang tidak asing terdengar di telinga bangsa Indonesia. Untuk
memberantas korupsi, Indonesia telah memiliki lembaga khusus untuk melakukan
penegakan hukum kasus korupsi.
Dasar pemidanaan tindak pidana korupsi adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diperbaharui dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat 2 UU ini mengatur
mengenai ancaman pidana mati bagi pelaku korupsi yang dilakukan dalam keadaan
tertentu. Keadaan tertentu merupakan pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Kriteria untuk pemberatan yaitu apabila tindak pidana korupsi dilakukan pada waktu
negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku; pada waktu
terjadi bencana alam nasional; sebagai pengulangan tindak pidana korupsi; atau pada
waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Indonesia adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi hak untuk hidup, yang
ditempatkan pada hak yang bersifat non derogable right. Namun kepada pelaku kejahatan
masih diterapkan pidana pencabutan hak hidup. Dalam perspektif kebijakan kriminal,
penjatuhan pidana mati merupakan sarana penal untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat (Anjari, 2015). Namun, Indonesia yang merupakan negara yang berdasarkan
Pancasila, tujuan penerapan pidana khususnya pidana mati harus selaras dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila. Dalam menerapkan pidana mati harus memperhatikan
keharmonisan antara kepentingan publik yang dilanggar dengan penjatuhan pidana
(Anjari, 2017). Penerapan pidana mati dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang
melampaui batas kemanusiaan, mengancam hidup orang banyak, merusak tata kehidupan
dan peradaban manusia, dan merusak perekonomian negara.
Tindak pidana tersebut antara lain pembunuhan berencana, terorisme, narkoba bagi
pengedar dan bandar, dan korupsi (Anjari, 2015). Penjatuhan pidana mati dalam UU
TIPIKOR merupakan salah satu upaya memberantas tindak pidana korupsi secara serius
dalam menciptakan kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum dimasyarakat.
Penjatuhan pidana mati yang diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU TIPIKOR, tidak berlaku untuk
tindak pidana korupsi secara umum, namun diberlakukan terhadap tidak pidana korupsi
yang dilakukan dalam “keadaaan tertentu”. Artinya penerapan pidana mati bersifat khusus
terhadap korupsi dengan persyaratan tertentu. Hal ini sebagaimana terjadi dalam kasus
korupsi yang dilakukan oleh Menteri sosial Juliari Batubara yang melakukan suatu
perbuatan korupsi dikala Negara sedang dalam keadaan musibah bencana alam yakni
covid-19, seharusnya bantuan sosial yang diberikan kepada masyarakat yang
membutuhkan ini disalahgunakan untuk memperkaya diri sendiri, secara delik dan fakta
hukum perbuatan yang dilakukan oleh Menteri Juliari Batubara ini sudah masuk memenuhi
syarat penjatuhan hukuman pidana mati dimana bila dilihat dari unsur-unsur nya sebgai
berikut :
Pada tindak pidana khusus pidana mati dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana
korupsi. Pidana mati terhadap pelaku korupsi diatur dalam Pasal2 ayat 2 UU TIPIKOR, yang
menyatakan: “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana ayat (1) dilakukan dalam
keadaaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan”. Selanjutnya yang dimaksud dengan
“keadaan tertentu” dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat 2 UU TIPIKOR adalah apabila
korupsi dilakukan: pada waktu negara dalam keadaan bahaya menurut ketentuan undang-
undang yang berlaku; pada waktu terjadi bencana nasional; sebagai pengulangan tindak
pidana korupsi; atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Dengan demikian secara normatif telah ada pengaturan yang dapat dijadikan dasar oleh
hakim untuk menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Artinya
dalam perspektif legalitas tidak ada keraguan lagi untuk mempersoalkan legalisasi
penerapan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Untuk menjatuhkan pidana
kepada pelaku yang diduga melakukan tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur tindak
pidana yang didakwakan kepada pelaku. Setiap perbuatan pidana terdapat unsur obyektif
(criminal act/actus reus) dan unsur subyektif (criminal responsibility/mens rea). Kedua
unsur ini tercantum dalam pasal yang disangkakan kepada pelaku tindak pidana. Unsur
obyektif merupakan perbuatan pidana dan unsur subyektif merupakan sikap batin pelaku.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan kasus dugaan rasuah yang diduga
dilakukan oleh Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dan empat orang lainnya terkait
bantuan sosial dalam rangka penanganan covid-19.
Perkara itu diawali dengan adanya pengadaan bansos penanganan covid-19 berupa paket
sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020. Pengadaan tersebut bernilai sekitar Rp5,9
Triliun, dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dua periode.
Juliari menunjuk Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukan langsung
para rekanan.
Dari upaya itu diduga disepakati adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus
disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui Matheus.
Ketua KPK Firli Bahuri menuturkan untuk fee tiap paket bansos disepakati oleh Matheus
dan Adi sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu per paket Bansos.
Kemudian kontrak pekerjaan dibuat oleh Matheus dan Adi pada bulan Mei-November 2020
dengan beberapa suplier sebagai rekanan, yang di antaranya adalah Ardian I M dan Harry
Sidabuke (swasta) dan PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus.
"Penunjukan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB (Juliari Peter
Batubara) dan disetujui oleh AW (Adi Wahyono)
Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama, ujar Firli, diduga diterima fee
sebesar Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada
Juliari melalui Adi dengan nilai sekitar Rp8,2 Miliar.
"Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh EK (Eko) dan SN (Shelvy N) selaku
orang kepercayaan JPB (Juliari) sekaligus Sekretaris di Kemensos untuk digunakan
membayar berbagai keperluan pribadi JPB (Juliari)," ungkapnya.
Sedangkan untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, Firli berujar bahwa
terkumpul uang fee dari bulan Oktober-Desember 2020 sejumlah sekitar Rp8,8 miliar yang
juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Juliari.
Delik Hukum
Juliari disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11
Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1
KUHP.
Matheus dan Adi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal
11 dan Pasal 12 huruf (i) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1
KUHP.
Sedangkan Ardian I M dan Harry Sidabuke dari unsur swasta, sebagai pemberi suap,
disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kontroversi Hukum
Tuntutan KPK ini terkesan ganjil dan mencurigakan. Sebab, pasal yang menjadi
alas tuntutan, yaitu Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, sebenarnya mengakomodir penjatuhan hukuman hingga penjara
seumur hidup dan denda Rp 1 miliar. Tuntutan pembayaran pidana tambahan
uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar juga jauh dari memuaskan, karena besaran
tersebut kurang dari 50% dari total nilai suap yang diterima Juliari P. Batubara.
Tuntutan yang rendah ini kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi.
Padahal, pimpinan KPK telah sesumbar menyatakan akan menghukum berat
koruptor bansos Covid-19.
Baca artikel CNN Indonesia "Kronologi Mensos Juliari Jadi Tersangka Kasus Bansos
Corona" selengkapnya di sini:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201206015241-12-578488/kronologi-
mensos-juliari-jadi-tersangka-kasus-bansos-corona.
Tuntutan Juliari P Batubara: Terlalu
Rendah dan Semakin Melukai Korban
Korupsi Bansos
Thursday, 29 July 2021 - 09:27
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firly Bahuri pada Minggu, 6 Desember
2020 menyatakan penyidik KPK telah menetapkan Menteri Sosial JPB (Juliari Peter
Batubara) sebagai tersanka kasus suap pengadaan bantuan sosial dalam rangka
penanganan bencana non alam pandemi virus corona Covid-19.
"Kepada JPB, disangkakan pasal 12A dan 12B atau pasal 11 UU No 31 1999/ diubah UU
20 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi JO pasal 55 ayat 1 KUHP (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana), kata Firli.
Sebagai gambaran pasal-pasal yang dikenakan kepada tersangka JPB ini tidak
mencakup hukuman maksimal yakni pidana seumur hidup dan hukuman mati.
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut
diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan
yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang
memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Lalu Pasal 12 juga tidak memberikan ancaman hukuman mati, pasal ini berbunyi:
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah);
a. pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan
karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya;
e. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongann, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
i. Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung
dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau pengawasan yang
pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus
atau mengawasinya.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggaran negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).
Seperti kita tahu KPK telah memiliki barang bukti berupa yang sebesar Rp 14,5 miliar
dari dugaan tindak pidana korpusi yang dilakukan oleh Juliari dkk
Kedua, mata uang dollar Amerika Serikat US$ 171.085 setara Rp 2,42 miliar
Sebagai gambaran total bansos per bulan bagi warga DKI Jakarta melalui
Kementerian Sosial sebanyak 1,3 juta paket.
Pada kasus dugaan korupsi Juliari Batubara dkk ini KPK menetapkan lima
orang tersangka yakni JPB Menteri Sosial, MJS, AW, IM dan HS
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Moh. Mahfud
MD, menilai bahwa korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu bisa dijatuhi
hukuman mati.
Hukuman maksimal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) UU No 20 Tahun 2001 Tentang
perubahan Undang-Undang No 31 tahun 1999.
Mengutip Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan.
"Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang
dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu
apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat
kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan
pengulangan tindak pidana korupsi."
Menurut Mahfud ada empat syarat untuk memenuhi unsur keadaan tertentu.
"Menurut saya empat hal ini tidak langsung diterapkan secara definitif," katanya saat
wawancara di program Sapa Indonesia Malam di Kompas TV, yang tampil pada Minggu
6 Desember 2020.
Pertama, Negara dalam keadaan bahaya. Nah sekarang Mahfud menyebut negara tidak
dalam keadaan bahaya berdasarkan Undang - Undang.
Kedua. Sedang terjadi Bencana alam nasional. Sedangkan sekarang ini yang terjadi
pemerintah menyebut sebagai bencana non alam. Meskipun masyarakat sebagian
beranggapan justru banyak pihak menybeut dampaknya lebih bebsar dibandingkan
dengan bencana alam
Ketiga, negara dalam keadan krisis ekonomi dan krisis moneter. Sekarang negara
Indonesia sedang resesi, hanya saja resesi tidak sama dengan krisis ekonomi. Karena
resesi terjadi saat pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal berturut-turut mengalami
minus atau negatif.
"Tinggal mencari tafsirnya tentang ini. Mungkin KPK sulit menemukan kaitan langsung
syarat yang terjadi pada Pak Juliari Batubara,"katanya
Lalu apakah hal ini bisa berkembang? "Bisa asal KPK bisa mencari ahli untuk melihat
apakah bencana nasional lebih kecil dari bencana covid yang telah ditetapkan
pemerintahberdasarkan perpres," kata Mahfud.
Apakah krisis ekonomi dan krisis moneter sama dengan keadaan yang kita alami
sekarang. Kalau secara ilmiah bisa ditemukan dan dijelaskan, maka guru besar Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia ini berpendapat dakwaan dan proses penuntutan
dalam persidangan bisa diarahkan ke hukuman mati