Anda di halaman 1dari 16

TUGAS KELOMPOK 6

Kasus Pelanggaran Delik Hukum Tindakan Hukum Yang


TIPIKOR Dilakukan Terhadap
Terdakwa
kasus suap Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No. 31 Jaksa Penuntut Umum
pengadaan bantuan Tahun 1999 tentang Tindak Pidana (JPU) KPK menuntut ringan
sosial dalam rangka Korupsi berbunyi sebagai berikut: eks Menteri Sosial Juliari P.
bagi Pelaku Korupsi yang terbukti
penanganan Batubara
secara hukum melakukan suatu
bencana non alam perbuatan untuk memperkaya diri
pandemi virus sendiri atau orang lain dalam hal ini disangkakan pasal 12A dan
corona Covid-19 negara dalam keadaan darurat atau 12B atau pasal 11 UU No
dalam keadaan adanya bencana alam 31 1999/ diubah UU 20
Juliari Batubara maka pelaku tersebut dapat diancam 2001 tentang Tindak
menerima suap dengan hukuman mati. Pidana Korupsi JO pasal 55
lebih sebanyak Rp ayat 1 KUHP (Kitab Undang-
Mengutip Pasal 2 ayat (2)
32,2 miliar dari Undang Hukum Pidana),
menyebutkan, "Dalam hal tindak
korupsi bantuan kata Firli.
pidana korupsi sebagaimana
sosial Covid-19.
dimaksud dalam ayat (1) Sebagai gambaran pasal-
Jumlah ini
dilakukan dalam keadaan tertentu, pasal yang dikenakan
meningkat hampir
pidana mati dapat dijatuhkan.  kepada tersangka JPB ini
dua kali lipat dari
dugaan awal yaitu tidak mencakup hukuman
Sementara Penjelasan Pasal 2
sebanyak Rp 17 maksimal yakni pidana
ayat (2)  UU No 20 Tahun 2001
miliar. seumur hidup dan hukuman
Tentang perubahan Undang-
mati. 
Undang No 31 tahun 1999,
berbunyi:  Misalnya pada  Pasal 11
menyebutkan:
"Yang dimaksud dengan “keadaan
tertentu” dalam ketentuan ini Dipidana dengan pidana
adalah keadaan yang dapat penjara paling singkat 1
dijadikan alasan pemberatan (satu) tahun dan paling
pidana bagi pelaku tindak pidana lama 5 (lima) tahun dan
korupsi yaitu apabila tindak atau pidana denda paling
pidana tersebut dilakukan sedikit Rp 50.000.000,00
terhadap dana-dana yang (lima puluh juta rupiah) dan
diperuntukan bagi paling banyak Rp
penanggulangan keadaan bahaya, 250.000.000,00 (dua ratus
bencana alam nasional, lima puluh juta rupiah)
penanggulangan akibat kerusuhan
sosial yang meluas, pegawai negeri atau
penanggulangan krisis ekonomi penyelenggara negara yang
dan moneter, dan pengulangan menerima hadiah atau janji
tindak pidana korupsi padahal diketahui atau
patut diduga, bahwa hadiah
atau janji tersebut diberikan
karena kekuasaan atau
kewenangan yang
berhubungan dengan
jabatannya, atau yang
menurut pikiran orang yang
memberikan hadiah atau
janji tersebut ada hubungan
dengan jabatannya. 

Lalu Pasal 12 juga tidak


memberikan ancaman
hukuman mati, pasal ini
berbunyi:

Dipidana dengan pidana


penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling
singkat 4 (empat) tahun dan
paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda
paling sedikit
Rp200.000.000,00 (dua
ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah);
a. pegawai negeri atau
penyelenggaran negara
yang menerima hadiah atau
janji, padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah
atau janji tersebut diberikan
untuk menggerakkan agar
melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam
jabatannya, yang
bertentangan dengan
kewajibannya;
b. pegawai negeri atau
penyelenggaran negara
yang menerima hadiah,
padahal diketahui atau
patut diduga bahwa hadiah
tersebut diberikan sebagai
akibat atau disebabkan
karena telah melakukan
atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan
kewajibannya;
e. Pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang
dengan maksud
menguntungkan diri sendiri
atau orang lain secara
melawan hukum, atau
dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa
seseorang memberikan
sesuatu, membayar, atau
menerima pembayaran
dengan potongann, atau
untuk mengerjakan sesuatu
bagi dirinya sendiri;
i. Pegawai negeri atau
penyelenggara negara baik
langsung maupun tidak
langsung dengan sengaja
turut serta dalam
pemborongan, pengadaan,
atau pengawasan yang
pada saat dilakukan
perbuatan, untuk seluruh
atau sebagian ditugaskan
untuk mengurus atau
mengawasinya.

Sedangkan Pasal 12 A
berbunyi:
(1) Ketentuan mengenai
pidana penjara dan pidana
denda sebagaimana
dimaksud Pasal 5, Pasal 6,
Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9,
Pasal 10, Pasal 11 dan
Pasal 12 tidak berlaku bagi
tindak pidana korupsi yang
nilainya kurang dari
Rp5.000.000,00
(2) Bagi pelaku tindak
pidana korupsi yang
nilainya kurang dari Rp
5.000.000,00 (lima juta
rupiah) sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan pidana denda
paling banyak
Rp50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).

Adapun Pasal 12 B
berbunyi:
(1) Setiap gratifikasi kepada
pegawai negeri atau
penyelenggaran negara
dianggap pemberian suap,
apabila berhubungan
dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya,
dengan ketentuan sebagai
berikut :
a. yang nilainya
Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan
merupakan suap dilakukan
oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari
Rp10.000.000,00 (sepuluh
juta rupiah), pembuktian
bahwa gratifikasi tersebut
suap dilakukan oleh
penuntut umum

(2) Pidana bagi pegawai


negeri atau penyelenggaran
negara sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1)
adalah pidana penjara
seumur hidup atau pidana
penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun,
dan pidana denda paling
sedikit Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah) dan
paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).

Sementara Pasal 55 KUHP


menyebutkan:
(1) Dihukum sebagai orang
yang melakukan peristiwa
pidana:
1. Orang yang melakukan,
yang menyuruh melakukan,
atau turut melakukan
perbuatan itu;
2. Orang yang dengan
pemberian, perjanjian, salah
memakai kekuasaan atau
pengaruh, kekerasan,
ancaman atau tipu daya
atau dengan memberi
kesempatan, daya upaya
atau keterangan, sengaja
membujuk untuk melakukan
sesuatu perbuatan.

Bahan

A. Pendahuluan

Korupsi merupakan istilah yang tidak asing terdengar di telinga bangsa Indonesia. Untuk
memberantas korupsi, Indonesia telah memiliki lembaga khusus untuk melakukan
penegakan hukum kasus korupsi.

Lembaga pemberantasan korupsi dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun


2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Dasar pemidanaan tindak pidana korupsi adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah diperbaharui dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 ayat 2 UU ini mengatur
mengenai ancaman pidana mati bagi pelaku korupsi yang dilakukan dalam keadaan
tertentu. Keadaan tertentu merupakan pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi.
Kriteria untuk pemberatan yaitu apabila tindak pidana korupsi dilakukan pada waktu
negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku; pada waktu
terjadi bencana alam nasional; sebagai pengulangan tindak pidana korupsi; atau pada
waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
Indonesia adalah salah satu negara yang menjunjung tinggi hak untuk hidup, yang
ditempatkan pada hak yang bersifat non derogable right. Namun kepada pelaku kejahatan
masih diterapkan pidana pencabutan hak hidup. Dalam perspektif kebijakan kriminal,
penjatuhan pidana mati merupakan sarana penal untuk mencapai kesejahteraan
masyarakat (Anjari, 2015). Namun, Indonesia yang merupakan negara yang berdasarkan
Pancasila, tujuan penerapan pidana khususnya pidana mati harus selaras dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila. Dalam menerapkan pidana mati harus memperhatikan
keharmonisan antara kepentingan publik yang dilanggar dengan penjatuhan pidana
(Anjari, 2017). Penerapan pidana mati dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang
melampaui batas kemanusiaan, mengancam hidup orang banyak, merusak tata kehidupan
dan peradaban manusia, dan merusak perekonomian negara.

Tindak pidana tersebut antara lain pembunuhan berencana, terorisme, narkoba bagi
pengedar dan bandar, dan korupsi (Anjari, 2015). Penjatuhan pidana mati dalam UU
TIPIKOR merupakan salah satu upaya memberantas tindak pidana korupsi secara serius
dalam menciptakan kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum dimasyarakat.
Penjatuhan pidana mati yang diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU TIPIKOR, tidak berlaku untuk
tindak pidana korupsi secara umum, namun diberlakukan terhadap tidak pidana korupsi
yang dilakukan dalam “keadaaan tertentu”. Artinya penerapan pidana mati bersifat khusus
terhadap korupsi dengan persyaratan tertentu. Hal ini sebagaimana terjadi dalam kasus
korupsi yang dilakukan oleh Menteri sosial Juliari Batubara yang melakukan suatu
perbuatan korupsi dikala Negara sedang dalam keadaan musibah bencana alam yakni
covid-19, seharusnya bantuan sosial yang diberikan kepada masyarakat yang
membutuhkan ini disalahgunakan untuk memperkaya diri sendiri, secara delik dan fakta
hukum perbuatan yang dilakukan oleh Menteri Juliari Batubara ini sudah masuk memenuhi
syarat penjatuhan hukuman pidana mati dimana bila dilihat dari unsur-unsur nya sebgai
berikut :

1. Melakukan perbuatan korupsi,dalam keadaan tertentu seperti bencana alam, krisis


moneter dan lainnya,
Dilihat dari unsur delik diatas dapat dikatakan bahwa kasus yang menimpa Menteri Juliari
batubara memang sudah dapat digolongkan sebagai perbuatan pidana yang dapat di jatuhi
hukuman mati.

Pada tindak pidana khusus pidana mati dapat dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana
korupsi. Pidana mati terhadap pelaku korupsi diatur dalam Pasal2 ayat 2 UU TIPIKOR, yang
menyatakan: “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana ayat (1) dilakukan dalam
keadaaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan”. Selanjutnya yang dimaksud dengan
“keadaan tertentu” dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 2 ayat 2 UU TIPIKOR adalah apabila
korupsi dilakukan: pada waktu negara dalam keadaan bahaya menurut ketentuan undang-
undang yang berlaku; pada waktu terjadi bencana nasional; sebagai pengulangan tindak
pidana korupsi; atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Dengan demikian secara normatif telah ada pengaturan yang dapat dijadikan dasar oleh
hakim untuk menjatuhkan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Artinya
dalam perspektif legalitas tidak ada keraguan lagi untuk mempersoalkan legalisasi
penerapan pidana mati bagi pelaku tindak pidana korupsi. Untuk menjatuhkan pidana
kepada pelaku yang diduga melakukan tindak pidana harus dipenuhi unsur-unsur tindak
pidana yang didakwakan kepada pelaku. Setiap perbuatan pidana terdapat unsur obyektif
(criminal act/actus reus) dan unsur subyektif (criminal responsibility/mens rea). Kedua
unsur ini tercantum dalam pasal yang disangkakan kepada pelaku tindak pidana. Unsur
obyektif merupakan perbuatan pidana dan unsur subyektif merupakan sikap batin pelaku.

Kronologi Kasus Hukum

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan kasus dugaan rasuah yang diduga
dilakukan oleh Menteri Sosial Juliari Peter Batubara dan empat orang lainnya terkait
bantuan sosial dalam rangka penanganan covid-19.

Perkara itu diawali dengan adanya pengadaan bansos penanganan covid-19 berupa paket
sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020. Pengadaan tersebut bernilai sekitar Rp5,9
Triliun, dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan dua periode.
Juliari menunjuk Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukan langsung
para rekanan.

Dari upaya itu diduga disepakati adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus
disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui Matheus.

Ketua KPK Firli Bahuri menuturkan untuk fee tiap paket bansos disepakati oleh Matheus
dan Adi sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu per paket Bansos.

Kemudian kontrak pekerjaan dibuat oleh Matheus dan Adi pada bulan Mei-November 2020
dengan beberapa suplier sebagai rekanan, yang di antaranya adalah Ardian I M dan Harry
Sidabuke (swasta) dan PT Rajawali Parama Indonesia (RPI) yang diduga milik Matheus.

"Penunjukan PT RPI sebagai salah satu rekanan tersebut diduga diketahui JPB (Juliari Peter
Batubara) dan disetujui oleh AW (Adi Wahyono)

Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama, ujar Firli, diduga diterima fee
sebesar Rp12 miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh Matheus kepada
Juliari melalui Adi dengan nilai sekitar Rp8,2 Miliar.

"Pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola oleh EK (Eko) dan SN (Shelvy N) selaku
orang kepercayaan JPB (Juliari) sekaligus Sekretaris di Kemensos untuk digunakan
membayar berbagai keperluan pribadi JPB (Juliari)," ungkapnya.

Sedangkan untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, Firli berujar bahwa
terkumpul uang fee dari bulan Oktober-Desember 2020 sejumlah sekitar Rp8,8 miliar yang
juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan Juliari.

Delik Hukum

Juliari disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11
Undang-undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1
KUHP.

Matheus dan Adi disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal
11 dan Pasal 12 huruf (i) UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1
KUHP.

Sedangkan Ardian I M dan Harry Sidabuke dari unsur swasta, sebagai pemberi suap,
disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13
UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kontroversi Hukum

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menuai kontroversi. Betapa tidak,


Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut ringan eks Menteri Sosial Juliari P.
Batubara, terdakwa korupsi pengadaan bansos sembako di Kementerian Sosial
(Kemensos). Juliari hanya dituntut hukuman 11 tahun penjara dan denda Rp 500
juta subsider 6 bulan, dengan pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp14,5
miliar. Ringannya tuntutan tersebut semakin menggambarkan keengganan KPK
menindak tegas pelaku korupsi bansos. 

Tuntutan KPK ini terkesan ganjil dan mencurigakan. Sebab, pasal yang menjadi
alas tuntutan, yaitu Pasal 12 huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, sebenarnya mengakomodir penjatuhan hukuman hingga penjara
seumur hidup dan denda Rp 1 miliar. Tuntutan pembayaran pidana tambahan
uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar juga jauh dari memuaskan, karena besaran
tersebut kurang dari 50% dari total nilai suap yang diterima Juliari P. Batubara.
Tuntutan yang rendah ini kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi.
Padahal, pimpinan KPK telah sesumbar menyatakan akan menghukum berat
koruptor bansos Covid-19.

Download Apps CNN Indonesia sekarang https://app.cnnindonesia.com/

Baca artikel CNN Indonesia "Kronologi Mensos Juliari Jadi Tersangka Kasus Bansos
Corona" selengkapnya di sini:
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201206015241-12-578488/kronologi-
mensos-juliari-jadi-tersangka-kasus-bansos-corona.
Tuntutan Juliari P Batubara: Terlalu
Rendah dan Semakin Melukai Korban
Korupsi Bansos
Thursday, 29 July 2021 - 09:27

Sumber berita : https://antikorupsi.org/id/article/tuntutan-juliari-p-batubara-


terlalu-rendah-dan-semakin-melukai-korban-korupsi-bansos

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menuai kontroversi. Betapa


tidak, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menuntut ringan eks Menteri Sosial
Juliari P. Batubara, terdakwa korupsi pengadaan bansos sembako di
Kementerian Sosial (Kemensos). Juliari hanya dituntut hukuman 11 tahun
penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan, dengan pidana tambahan
uang pengganti sebesar Rp14,5 miliar. Ringannya tuntutan tersebut semakin
menggambarkan keengganan KPK menindak tegas pelaku korupsi bansos. 
Tuntutan KPK ini terkesan ganjil dan mencurigakan. Sebab, pasal yang
menjadi alas tuntutan, yaitu Pasal 12 huruf b Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebenarnya mengakomodir
penjatuhan hukuman hingga penjara seumur hidup dan denda Rp 1 miliar.
Tuntutan pembayaran pidana tambahan uang pengganti sebesar Rp14,5
miliar juga jauh dari memuaskan, karena besaran tersebut kurang dari 50%
dari total nilai suap yang diterima Juliari P. Batubara. Tuntutan yang rendah
ini kontradiktif dengan semangat pemberantasan korupsi. Padahal, pimpinan
KPK telah sesumbar menyatakan akan menghukum berat koruptor bansos
Covid-19.
Penting diingat, penegak hukum merupakan representasi negara dan korban
yang bertugas meminta pertanggungjawaban atas kejahatan pelaku. Hal ini
pun telah ditegaskan dalam Pasal 5 huruf d UU No. 19 tahun 2019 tentang
KPK. Regulasi itu menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya, KPK mengedepankan asas kepentingan umum. Alih-alih
dijalankan, KPK justru lebih terlihat seperti perwakilan pelaku yang sedang
berupaya semaksimal mungkin agar terdakwa dijatuhi hukuman rendah. 
Perkara ini menguak peran Juliari yang didakwa telah menerima suap Rp
32,4 miliar. Ia pun disebut telah menarik fee dari 109 penyedia bansos melalui
Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
yang juga menjadi terdakwa dalam kasus ini. 
Perbuatan korupsi yang diduga terjadi dalam distribusi bansos Covid-19 ini,
diduga kuat tidak hanya terkait dengan suap-menyuap, tetapi juga berpotensi
merugikan keuangan atau perekonomian negara. Potensi tersebut dapat
muncul dari besaran keuntungan yang tidak wajar yang diambil oleh para
penyedia, yang minim pengalaman atau bahkan tidak memiliki pengalaman
sama sekali, sebagai produsen utama program bansos. 
Sebagaimana diketahui, Juliari diduga kuat turut mengoordinasikan atau
membagi-bagi pengadaan agar dilakukan oleh penyedia tertentu, yang proses
penunjukannya mengabaikan ketentuan pengadaan darurat. Para penyedia
minim pengalaman tersebut, kemungkinan dipilih karena ada kedekatan atau
afiliasi politik tertentu.
Uraian perbuatan di atas, menggambarkan kesengajaan para terdakwa dalam
menghambat upaya pemerintah dalam memberikan perlindungan sosial
kepada warga dalam rangka menangani dampak pandemi Covid-19, kondisi
yang semestinya menjadi dasar pemberat bagi penuntut umum, dalam
menyusun dan membaca surat tuntutan kepada Juliari. Namun, JPU KPK
gagal mewakili kepentingan negara dan korban.
Melihat rendahnya tuntutan JPU terhadap Juliari, hakim harus mengambil
langkah progresif dengan menjatuhkan hukuman maksimal yaitu, pidana
penjara seumur hidup kepada mantan Menteri Sosial tersebut. Penjatuhan
hukuman yang maksimal terhadap Juliari Batubara, sudah sepatutnya
dilakukan, mengingat ada banyak korban bansos yang haknya dilanggar di
tengah pandemi Covid-19, akibat praktik korupsi ini. Ke depannya, vonis
maksimal tersebut diharapkan berdaya cegah terhadap potensi terjadinya
kasus serupa, terutama di tengah kondisi pandemi.
 
Narahubung:
Almas Sjafrina (Divisi Pelayanan Publik & Reformasi Birokrasi ICW)
Kurnia Ramadhana (Divisi Hukum ICW
Inilah pasal yang menjerat Menteri Sosial Juliari Batubara, adakah
hukuman mati?

Sumber Berita : https://nasional.kontan.co.id/news/inilah-pasal-pasal-yang-


menjerat-menteri-sosial-juliari-batubara-adakah-hukuman-mati

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firly Bahuri pada Minggu, 6 Desember
2020 menyatakan penyidik KPK telah menetapkan Menteri Sosial JPB (Juliari Peter
Batubara) sebagai tersanka kasus suap pengadaan bantuan sosial dalam rangka
penanganan bencana non alam pandemi virus corona Covid-19.

"Kepada JPB, disangkakan pasal 12A dan 12B atau pasal 11 UU No 31 1999/ diubah UU
20 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi JO pasal 55 ayat 1 KUHP (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana), kata Firli.

Sebagai gambaran pasal-pasal yang dikenakan kepada tersangka JPB ini tidak
mencakup hukuman maksimal yakni pidana seumur hidup dan hukuman mati. 

Misalnya pada  Pasal 11 menyebutkan:

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut
diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan
yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang
memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya. 

Lalu Pasal 12 juga tidak memberikan ancaman hukuman mati, pasal ini berbunyi:

Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah);
a. pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang
bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah, padahal diketahui
atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan
karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya;
e. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan
kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima
pembayaran dengan potongann, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
i. Pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung
dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau pengawasan yang
pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus
atau mengawasinya.

Sedangkan Pasal 12 A berbunyi:


(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud Pasal
5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi
tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp5.000.000,00
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta
rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah).

Adapun Pasal 12 B berbunyi:


(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggaran negara dianggap
pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut :
a. yang nilainya Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum

(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggaran negara sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4
(empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu
milyar rupiah).

Sementara Pasal 55 KUHP menyebutkan:


(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:
1. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan, atau turut melakukan perbuatan
itu;
2. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh,
kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberi kesempatan, daya upaya atau
keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.

Seperti kita tahu KPK telah memiliki barang bukti berupa yang sebesar Rp 14,5 miliar
dari dugaan tindak pidana korpusi yang dilakukan oleh Juliari dkk

Barang bukti ini berupa: 

Pertama, uang rupiah sebesar Rp 11,9 miliar. 

Kedua,  mata uang dollar Amerika Serikat  US$ 171.085 setara Rp 2,42 miliar

Ketiga, mata uang dollar Singapura SG$ 23.000 setara Rp 243 juta.

Sebagai gambaran total bansos per bulan bagi warga DKI Jakarta melalui
Kementerian Sosial sebanyak 1,3 juta paket.  

Pada kasus dugaan korupsi Juliari Batubara dkk ini KPK menetapkan lima
orang tersangka yakni JPB Menteri Sosial, MJS, AW, IM dan HS

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Polhukam) Moh. Mahfud
MD, menilai bahwa korupsi yang dilakukan dalam keadaan tertentu bisa dijatuhi
hukuman mati. 

Hukuman maksimal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (2)  UU No 20 Tahun 2001 Tentang
perubahan Undang-Undang No 31 tahun 1999. 

Mengutip Pasal 2 ayat (2) menyebutkan, "Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat
dijatuhkan. 

Sementara Penjelasan Pasal 2 ayat (2)  UU No 20 Tahun 2001 Tentang perubahan


Undang-Undang No 31 tahun 1999, berbunyi: 

"Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini adalah keadaan yang
dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu
apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi
penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat
kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan
pengulangan tindak pidana korupsi." 

Menurut Mahfud ada empat syarat untuk memenuhi unsur keadaan tertentu.

"Menurut saya empat hal ini tidak langsung diterapkan secara definitif," katanya saat
wawancara di program Sapa Indonesia Malam di Kompas TV, yang tampil pada Minggu
6 Desember 2020.
 
Pertama, Negara dalam keadaan bahaya. Nah sekarang Mahfud menyebut negara tidak
dalam keadaan bahaya berdasarkan Undang - Undang.

Kedua. Sedang terjadi Bencana alam nasional. Sedangkan sekarang ini yang terjadi
pemerintah menyebut sebagai bencana non alam. Meskipun masyarakat sebagian
beranggapan justru banyak pihak menybeut dampaknya lebih bebsar dibandingkan
dengan bencana alam

Ketiga,  negara dalam keadan krisis ekonomi dan krisis moneter. Sekarang negara
Indonesia sedang resesi, hanya saja resesi tidak sama dengan krisis ekonomi. Karena
resesi terjadi saat pertumbuhan ekonomi dalam dua kuartal berturut-turut mengalami
minus atau negatif. 

"Tinggal mencari tafsirnya tentang ini. Mungkin KPK sulit menemukan kaitan langsung
syarat yang terjadi pada Pak Juliari Batubara,"katanya

Lalu apakah hal ini bisa berkembang? "Bisa asal KPK bisa mencari ahli untuk melihat
apakah bencana nasional lebih kecil dari bencana covid yang telah ditetapkan
pemerintahberdasarkan perpres," kata Mahfud. 

Apakah krisis ekonomi dan krisis moneter sama dengan keadaan yang kita alami
sekarang. Kalau secara ilmiah bisa ditemukan dan dijelaskan, maka guru besar Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia ini berpendapat dakwaan dan proses penuntutan
dalam persidangan bisa diarahkan ke hukuman mati

Anda mungkin juga menyukai