Anda di halaman 1dari 41

POSITIF, INTERPRETIF, KRITIS: PENGGUNAANNYA

DALAM PENELITIAN AKUNTANSI

Kelompok 3
Agung Gede Wikantara (206020302111001)
Budi Lutfitra Wisada (206020302111004)
Yougie Purbaya Mudawan Putra (206020302111006)
Positivistik
Burrel and Morgan

Teori Sistem Sosial Teori Aktivitas Sosial Interaksionisme Teori integrative dan Objetivism
Overview

Phylosophical Assumptions
Underlying Accounting Research

Ranking
Wai Fung Chua

The potential for collaboration in the face of complexity


Introduction

Motivation/Puzzle

Idea
Summit Lodhia

Data
Phylosophical Assumptions underlying Accounting Research

Belief about Physical and social reality


Belief about the relationship between theory
Belief about knowledge and practice
Ranking-A Way Of Seeing is also a way
Of not seeing
Ranking and its entanglement among government,
market and comunity

Ranking

Ranking and research diversity


Paradigma interpretif pada
Penggunaannya di dalam Riset
Akuntansi
Paradigma Interpretif

“Penelitian dengan paradigma interpretif berusaha menyelami, memahami dan


mendalami sudut pandang informan atau masuk ke alam informan”(Baridwan)
Paradigma Interpretif

“Penelitian interpretif berusaha untuk menjelaskan


hubungan antara tindakan dan makna yang mana
interpretasi merupakan proses aktif dan disiplin yang
kreatif untuk memastikan kemungkinan makna
tindakan dan pesan” (Lannai et al. 2014).
Karakteristik Riset dalam Paradigma Interpretif (Djasuli 2017)

Tujuan Penelitian

Peran Teori Sifat Pengetahuan


Akumulasi
Lingkup Eksplanasi Bukti yang Kriteria Nilai dan
Pengetahua
Eksplanasi Sejati baik Kualitas Etika
n
Kenapa Interpretif ?

“Akuntansi merupakan hasil dari realitas sosial dan


pemikiran manusia yang tidak boleh dikekang oleh
halhal sedemikian rupa yang menghambat
perkembangan realitas keilmuan social” (Mulawarman
2010)
Keunggulan Paradigma Interpretif
1.Deskripsi yang disajikan secara detail serta
mendalam (thick description),
2.Pemahaman yang mendalam murni dari sudut
pandang informan (natural) akan diperoleh dengan
baik,
3.Metode interaksi simbolik memiliki kekuatan empiris
dalam pemaknaan simbol, karena pemaknaan
simbol selalu dilakukan berdasarkan konteksnya
(Jailani 2012:4)
Fakta Kurangnya Penelitian Akuntansi Interpretif
(PAI) di Indonesia
Fakta Kurangnya Penelitian Akuntansi Interpretif (PAI) di Indonesia
Paradigma Kritis pada
Penggunaannya di dalam Riset
Akuntansi
Akuntansi sebagai Ilmu Sosial Kritis
• Dalam memahami paradigma kritis dalam penelitian akuntansi
diperlukan pemahaman tentang teori sosial yang dapat digunakan
sebagai alat analisis. Perkembangan paradigma kritis terkait erat
dengan isu-isu sosial seperti globalisasi, kapitalisme danperkembangan
sistem informasi. Isu-isu sosial tersebut merupakan domain realitas
sosial yangdapat menjadi bahan kajian menurut pandangan kritis.
• Paradigma kritis memandang praktik akuntansi akuntansi yang saat ini
berkembangdidominasi oleh ekonomi kapitalis, praktek akuntansi yang
saat ini ada membawa nilai-nilaikapitalis. Dengan melakukan
penelitian menggunakan paradigma kritis akan memberikangambaran
yang lebih banyak dan dapat mengkritisi akuntansi yang ada saat ini.
Tujuan dari paradigma kritis
• Tujuan pendekatan studi kritis adalah menghilangkan
berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan,
keadilan dan persamaan. Teori ini menggunakan
metode reflektif dengan cara mengkritik secara terus-
menerus terhadap tatanan kehidupan yang cenderung
tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan,
dan persamaan. Studi ini berupaya untuk menguak
layer tirai realitas yang semu kemudian mengungkap
hal apa yang sebenarnya terjadi di balik sesuatu yang
tampak. (Haryadi, 2017)
Studi Kritis Akuntansi
Producing enlighment, inherently emancipatory, cognitive content
(they are forms of knowledge), reflective (Geuss, 1981) –
pencerahan, emansipasi, membangun/mengkonstruksi
pengetahuan/melakukan perubahan, dan reflektif
“to uncover the way in which human practices, culture and relations
contain within themselves elements of alienation, domination and
exploitation. (Catchpowle et al. 2004) – mengungkap praktik-praktik
alienasi, dominasi, eksploitasi, hegemoni dll.
to develop a more self-reflexive and contextualised accounting
literature which recognises the interconnections between society,
history, organisations and accounting theory and practice. (Lodh and
Gaffikin, 1997, p. 433)
Studi Kritis Akuntansi
“lay a foundation for an exploration, in an interdisciplinary
research context, of questions concerning the conditions
which make possible the reproduction and transformation of
society, the meaning of culture, and the relation between the
individual, society and nature. While there are differences in
the way they formulate questions, the critical theorists
believe that through an examination of contemporary social
and political issues they could contribute to a critique of
ideology and to the development of an non-authoritarian and
non-bureaucratic politics (Held, 1980, p. 16)
Ciri-ciri Riset Akuntansi Kritis
• Ciri khas paradigma Kritis adalah bahwa paradigma ini
berbeda dengan pemikiran filsafat dan sosiologi
tradisional.
• Pendekatan paradigma kritis tidak bersifat kontemplatif
atau spektulatif murni.
• Penggunaan bahasa yang kritis untuk menunjukkan
kegalauan atas realita yang ada dengan tujuan
emansipasi/ pembebasan/ pencerahan.
• Mari kita lihat beberapa abstrak berikut (perhatikan
kata/kalimat yang ditebali):
Chwastiac and Young, 2003 “The Silence in Annual Reports”
In this paper, we show how annual reports rely upon the silencing
of injustices in order to make profit appear to be an unproblematic
measure of success. In particular, we examine the ways in which
corporations silence the negative impact of their activities upon
the earth, the hell of war and the beauty of peace, the spiritual,
human and social impoverishment arising from excessive
consumption, and the dehumanization of workers. Only by
breaking silence and counter-posing corporate values with
alternatives can we hope to free humankind from the limitations
of profit maximization and promote a world in which peace,
happiness, respect for diversity, etc., take precedence to capital
accumulation.
Mayper et. al., 2005 “The Impact of Accounting Education on Ethical Values: An
Institutional Perspective”

The accounting scandals at the beginning of the 21st century led to


public distrust and demands for reform. Were these scandals
unexpected? From an old institutional economics (OIE) perspective,
which originated with the work of Thorstein Veblen in the 1890s,
these failures and the moral lapses should not be a surprise. OIE
theorists, like critical theorists, generally, contend that corporate
hegemony, i.e., the domination of business values in all areas of
human life, has eroded moral sensitivities. All institutions, including
our once-autonomous educational institutions, have become
mechanisms for promoting economic interests.
• Sociological Paradigms and Organisational Analysis
• Elements of the Sociology of Corporate Life
• Gibson Burrel and Gareth Morgan
• The Interpretive Paradigm
• Para ahli teori yang berada dalam konteks paradigma interpretatif mengadopsi pendekatan yang selaras dengan prinsip-prinsip yang
telah kita gambarkan sebagai sosiologi regulasi, meskipun pendekatan subjektivisnya terhadap analisis dunia sosial membuat
hubungannya dengan sosiologi ini sering kali tersirat daripada eksplisit. Paradigma interpretif diinformasikan oleh kepedulian untuk
memahami dunia sebagaimana adanya, untuk memahami hakikat dasar dunia sosial pada tingkat pengalaman subjektif. Ini mencari
penjelasan dalam ranah kesadaran dan subjektivitas individu, dalam kerangka referensi peserta sebagai lawan dari pengamat
tindakan.
• Dalam pendekatannya terhadap ilmu sosial, ia cenderung menjadi nominalis, antipositivist, voluntaris, dan ideografik. Ia melihat
dunia sosial sebagai proses sosial yang muncul yang diciptakan oleh individu yang bersangkutan. Realitas sosial, sejauh diakui
memiliki eksistensi di luar kesadaran individu mana pun, dianggap tidak lebih dari sekadar jaringan asumsi dan makna yang
dimiliki bersama secara intersubjektif. Status ontologis dunia sosial dipandang sebagai sangat dipertanyakan dan problematis sejauh
para ahli teori yang berada dalam paradigma interpretif diperhatikan. Kehidupan sehari-hari diberi status pencapaian yang ajaib.
Filsuf penafsir dan sosiolog berusaha memahami dasar dan sumber realitas sosial. Mereka sering menyelidiki kedalaman kesadaran
dan subjektivitas manusia dalam pencarian mereka akan makna fundamental yang mendasari kehidupan sosial.
• Sosiologi interpretatif berkaitan dengan pemahaman esensi dunia sehari-hari. Dalam kerangka skema analitis kami, hal itu
ditanggung oleh keterlibatan dengan isu-isu yang berkaitan dengan sifat status quo, tatanan sosial, konsensus, integrasi dan kohesi
sosial, solidaritas dan aktualitas.
• Paradigma interpretif adalah produk langsung dari tradisi pemikiran sosial idealis Jerman. Fondasinya diletakkan dalam karya Kant
dan mencerminkan filosofi sosial yang menekankan pada hakikat spiritual dunia sosial. Tradisi idealis adalah yang terpenting dalam
pemikiran Jermanik sejak pertengahan abad kedelapan belas dan seterusnya dan terkait erat dengan gerakan romantis dalam
kesusastraan dan seni. Namun, di luar dunia ini, minatnya terbatas, sampai dihidupkan kembali pada akhir 1890-an dan tahun-tahun
awal abad ini di bawah pengaruh apa yang disebut gerakan neo-idealis. Para ahli teori seperti Dilthey, Weber, Husserl dan Schutz
telah memberikan kontribusi besar untuk menetapkannya sebagai kerangka kerja untuk analisis sosial, meskipun dengan berbagai
tingkat komitmen terhadap masalah yang mendasarinya.
• Gambar 3.3 dan 3.4 mengilustrasikan cara di mana paradigma telah dieksplorasi sejauh minat kita saat ini dalam teori sosial dan
studi organisasi diperhatikan. Meskipun ada sejumlah kecil upaya untuk mempelajari konsep dan situasi organisasi dari sudut
pandang ini, paradigma tersebut belum menghasilkan banyak teori organisasi seperti itu. Seperti yang akan dijelaskan dari analisis
kami, ada alasan bagus untuk ini. Premis dari paradigma interpretif mempertanyakan apakah organisasi ada dalam pengertian
konseptual. Oleh karena itu, signifikansinya bagi studi organisasi adalah yang paling mendasar. Ini menantang validitas asumsi
ontologis yang mendukung pendekatan fungsionalis terhadap sosiologi secara umum dan studi organisasi pada khususnya.
• 6. Interpretive Sociology
• Asal Usul dan Tradisi Intelektual
• Paradigma interpretif mencakup berbagai pemikiran filosofis dan sosiologis yang memiliki kesamaan karakteristik dalam
mencoba memahami dan menjelaskan dunia sosial terutama dari sudut pandang para aktor yang terlibat langsung dalam proses
sosial. Sejarahnya berakar kuat pada tradisi idealis Jerman, dan dalam pandangan bahwa realitas tertinggi alam semesta terletak
pada 'roh' atau 'gagasan' dan bukan pada data persepsi indera. Tradisi ini, yang bertentangan dengan positivisme sosiologis,
berhutang banyak pada karya Immanuel Kant (1724-1803), yang merupakan salah satu filsuf pertama yang mengartikulasikan
fondasi ontologis dan epistemologis dasarnya. Kant, yang filosofinya terbuka untuk berbagai interpretasi, mengemukakan
bahwa pengetahuan apriori harus mendahului pemahaman atau pemahaman apa pun tentang data indera dari pengalaman
empiris. Dia berargumen bahwa harus ada prinsip-prinsip pengorganisasian bawaan yang melekat dalam kesadaran manusia
yang dengannya setiap dan semua data indra terstruktur, diatur, dan dengan demikian dipahami. Pengetahuan apriori dipandang
tidak tergantung pada realitas eksternal dan data indra yang 'dipancarkannya'; itu dilihat sebagai produk dari 'pikiran' dan proses
penafsiran yang berlangsung di dalamnya. Sementara dunia di mana manusia hidup mungkin merupakan produk dari hubungan
timbal balik yang kompleks antara pengetahuan apriori dan realitas empiris, bagi Kant titik awal untuk memahami hal ini
terletak pada ranah 'pikiran' dan 'intuisi'. Asumsi mendasar dan tidak rumit inilah yang mendasari keseluruhan idealisme Jerman.
• Struktur Paradigma
• Sementara akar intelektualnya dapat ditelusuri kembali ke karya para idealis Jerman awal, paradigma interpretif paling tegas
dibentuk dan dipengaruhi oleh karya-karya Dilthey, Husserl dan Weber. Oleh karena itu, sebagian besar dapat dianggap sebagai
fenomena abad ke-20.
• Terkait erat dengan fenomenologi, tetapi berbeda dari itu, kami mengidentifikasi dua cabang pemikiran sosiologis yang
menggabungkan perspektif fenomenologis dengan elemen yang diambil dari tempat lain. Etnometodologi menggabungkan
fenomenologi dan unsur-unsur filsafat bahasa biasa, khususnya yang khas dari karya Wittgenstein dan Winch belakangan.
Interaksionisme simbolik fenomenologis menafsirkan karya G. H. Mead dari perspektif fenomenologis, dengan cara yang
dibahas dalam bab sebelumnya.
• Hermeneutika
• Hermeneutika berkaitan dengan interpretasi dan pemahaman / produk pikiran manusia yang menjadi ciri dunia sosial dan
budaya. Secara ontologis, para pendukungnya mengadopsi pandangan 'idealis objektif' tentang lingkungan sosial budaya,
melihatnya sebagai fenomena yang dibangun secara manusiawi. Manusia dalam perjalanan hidupnya mengeksternalisasi proses
internal pikiran mereka melalui penciptaan artefak budaya yang mencapai karakter obyektif. Institusi, karya seni, sastra, bahasa,
agama dan sejenisnya adalah contoh dari proses objektifikasi ini. Objektifikasi pikiran manusia seperti itu adalah subjek studi
dalam hermeneutika.
• Solipsisme
• Solipsisme mewakili bentuk paling ekstrim dari idealisme subyektif, di mana ia menyangkal bahwa dunia memiliki
realitas independen yang berbeda. Bagi solipsist, dunia adalah ciptaan pikirannya. Secara ontologis, tidak ada
eksistensi di luar sensasi yang ia rasakan dalam pikiran dan tubuhnya.
• Dalam pengertian yang lebih positif, dalam menekankan solipsisme subjektivisme yang ekstrim mendefinisikan
status yang pada dasarnya menengah dan lebih moderat dari filosofi subjektivis lainnya. Dalam mengadopsi posisi
relativis sepenuhnya, ini menggambarkan sejauh mana pandangan lain tentang realitas sosial dan pengetahuan dunia
pada dasarnya didasarkan pada makna bersama. Ini juga menyoroti sifat ekstrim yang sama dari gagasan akal sehat
tentang dunia realitas objektif yang keras dan cepat.
• Fenomenologi
• Seperti yang telah kami catat, gerakan fenomenologis tidak sepenuhnya koheren, karena mencerminkan sejumlah
jalur perkembangan. Mengambil karya Husserl sebagai titik tolak, ia bercabang ke sejumlah arah sesuai dengan
perspektif eksponen khususnya. Penulis seperti Scheller, Heidegger, Schutz, Sartre dan Merleau-Ponty semuanya
telah memberikan kontribusi yang signifikan dan berbeda terhadap perkembangannya secara keseluruhan.
• Fenomenologi transendental

• Dalam usahanya mencari fondasi obyektif sains, Husserl berusaha membuka arah baru dalam analisis kesadaran. Membawa pikiran matematis ke
subjek, dia puas dengan manipulasi esensi ideal. Alih-alih repot dengan realitas faktual atau rumusan hipotesis, ia mengarahkan dirinya pada
pertanyaan sentral tentang makna. Dia mengesampingkan realitas (atau dalam istilahnya, 'dalam tanda kurung') dan berusaha menembus ke tingkat
fenomena. Dengan kata lain, dia berusaha mempraktikkan fenomenologi. Seperti yang dikatakan Thevenaz,

• Fenomenologi tidak pernah merupakan investigasi fakta eksternal atau internal. Sebaliknya, ia membungkam pengalaman sementara,
mengesampingkan pertanyaan tentang realitas obyektif atau konten nyata untuk mengalihkan perhatiannya semata-mata dan hanya pada realitas
dalam kesadaran, pada objek-objek sejauh yang dimaksudkan oleh dan dalam kesadaran, singkatnya tentang apa yang disebut Husserl sebagai
esensi ideal. Dengan ini kita tidak boleh memahami representasi subjektif belaka (yang akan meninggalkan kita di bidang psikologi) atau realitas
ideal (yang akan 'merefleksikan' atau hypostasise data kesadaran dan akan menempatkan kita pada tingkat metafisika), tetapi justru 'fenomena' ...
Fenomena di sini adalah yang memanifestasikan dirinya segera dalam kesadaran: ia ditangkap dalam undangan yang mendahului refleksi atau
penilaian apa pun. Ia hanya diizinkan untuk menunjukkan dirinya sendiri, untuk memanifestasikan dirinya: fenomena itu adalah yang memberikan
dirinya sendiri (Selhstgehung). Metode fenomenologis kemudian, dihadapkan pada objek dan isi pengetahuan, terdiri dari mengabaikan apa yang
diperhitungkan oleh filsuf dan ilmuwan, yaitu nilai mereka, realitas atau ketidak-realitaan mereka. Ini terdiri dari mendeskripsikan mereka seperti
yang mereka berikan pada diri mereka sendiri, sebagai niat murni dan sederhana (visêes) kesadaran, sebagai makna, untuk membuat mereka
terlihat dan terwujud seperti itu. Dalam Wesenschati ini, esensi (Wesel!) Bukanlah realitas ideal atau realitas psikologis, tetapi niat ideal (visee),
objek kesadaran yang disengaja, imanen pada kesadaran. (Thevenaz, 1962, hlm.43-4).
• Fenomenologi eksistensial
• Analisis Schutz tentang intersubjektivitas pada prinsipnya diinformasikan oleh perspektif sosiologis sebagai lawan fenomenologis.
Ini mencerminkan kecenderungan untuk 'dunia kehidupan' sebagai lawan dari filsafat transendental. Pada dasarnya, Schutz prihatin
untuk menjelaskan cara kita mengetahui pengalaman hidup orang lain. Dalam hal ini ia membuat perbedaan mendasar 'antara
pemahaman asli orang lain dan konseptualisasi abstrak dari tindakan atau pemikirannya sebagai jenis ini dan itu' (1967, hlm. Xxv).
Pemahaman sejati berarti pemahaman yang disengaja dari pengalaman orang lain, dengan cara yang mirip dengan melihat ke dalam
aliran kesadaran orang lain. Ini mencerminkan pemahaman sebenarnya dari makna subjektif. Konseptualisasi abstrak tidak begitu
banyak mengacu pada pemahaman, melainkan pada 'penjelasan diri'; itu hanyalah pengurutan pengalaman sendiri ke dalam
kategori-kategori. Pemahaman yang sejati dimungkinkan dalam 'hubungan kita' secara tatap muka; itu tergantung langsung.
pertukaran dan interaksi. Ketika kita beralih dari situasi interaksi langsung ini ke mode pengalaman tidak langsung dari orang lain,
kita harus menggunakan konseptualisasi yang lebih dan lebih abstrak.
• Sosiologi Fenomenologis
• Kedua aliran pemikiran yang diidentifikasi dalam kategori teori interpretif ini menempati posisi yang sama dalam kaitannya dengan
dua dimensi skema analitik kami. Kami membedakan mereka sebagian besar karena mereka telah berkembang dari tradisi
fenomenologis paralel tetapi agak berbeda. Etnometodologi sebagian besar berasal dari fenomenologi Schutz, dan interaksionisme
simbolik fenomenologis dari karya G. H. Mead.
• Etnometodologi
• Etnometodologi didasarkan pada studi mendetail tentang dunia kehidupan sehari-hari. Pada dasarnya,
ini berusaha untuk `` memperlakukan kegiatan praktis, keadaan praktis, dan penalaran sosiologis praktis
sebagai topik studi empiris, dan dengan memperhatikan kegiatan yang paling umum dalam kehidupan
sehari-hari perhatian yang biasanya diberikan pada peristiwa luar biasa, berusaha mempelajarinya
sebagai fenomena dalam kehidupan mereka. hak milik sendiri '(Garfinkel, 1967, hlm. 1). Ini
berkepentingan untuk mempelajari cara orang memesan dan memahami aktivitas sehari-hari mereka
dan cara membuat mereka 'bertanggung jawab' kepada orang lain, dalam arti 'dapat diamati dan
dilaporkan'. Interaksi antara orang-orang dalam kehidupan sehari-hari dapat dianggap sebagai
pencapaian yang berkelanjutan, di mana mereka yang terlibat memanfaatkan berbagai asumsi, konvensi,
praktik, dan jenis sumber daya lain yang tersedia dalam situasi mereka untuk mempertahankan dan
membentuk pertemuan mereka dengan berbagai cara. Etnometodologi berusaha memahami pencapaian
tersebut dalam istilah mereka sendiri. Itu berusaha untuk memahami mereka dari dalam.
Paradigma Kritis pada
Penggunaannya di dalam Riset
Akuntansi
Akuntansi sebagai Ilmu Sosial Kritis
• Dalam memahami paradigma kritis dalam penelitian akuntansi
diperlukan pemahaman tentang teori sosial yang dapat digunakan
sebagai alat analisis. Perkembangan paradigma kritis terkait erat
dengan isu-isu sosial seperti globalisasi, kapitalisme danperkembangan
sistem informasi. Isu-isu sosial tersebut merupakan domain realitas
sosial yangdapat menjadi bahan kajian menurut pandangan kritis.
• Paradigma kritis memandang praktik akuntansi akuntansi yang saat ini
berkembangdidominasi oleh ekonomi kapitalis, praktek akuntansi yang
saat ini ada membawa nilai-nilaikapitalis. Dengan melakukan
penelitian menggunakan paradigma kritis akan memberikangambaran
yang lebih banyak dan dapat mengkritisi akuntansi yang ada saat ini.
Tujuan dari paradigma kritis
• Tujuan pendekatan studi kritis adalah menghilangkan
berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan,
keadilan dan persamaan. Teori ini menggunakan
metode reflektif dengan cara mengkritik secara terus-
menerus terhadap tatanan kehidupan yang cenderung
tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan,
dan persamaan. Studi ini berupaya untuk menguak
layer tirai realitas yang semu kemudian mengungkap
hal apa yang sebenarnya terjadi di balik sesuatu yang
tampak. (Haryadi, 2017)
Studi Kritis Akuntansi
Producing enlighment, inherently emancipatory, cognitive content
(they are forms of knowledge), reflective (Geuss, 1981) –
pencerahan, emansipasi, membangun/mengkonstruksi
pengetahuan/melakukan perubahan, dan reflektif
“to uncover the way in which human practices, culture and relations
contain within themselves elements of alienation, domination and
exploitation. (Catchpowle et al. 2004) – mengungkap praktik-praktik
alienasi, dominasi, eksploitasi, hegemoni dll.
to develop a more self-reflexive and contextualised accounting
literature which recognises the interconnections between society,
history, organisations and accounting theory and practice. (Lodh and
Gaffikin, 1997, p. 433)
Studi Kritis Akuntansi
“lay a foundation for an exploration, in an interdisciplinary
research context, of questions concerning the conditions
which make possible the reproduction and transformation of
society, the meaning of culture, and the relation between the
individual, society and nature. While there are differences in
the way they formulate questions, the critical theorists
believe that through an examination of contemporary social
and political issues they could contribute to a critique of
ideology and to the development of an non-authoritarian and
non-bureaucratic politics (Held, 1980, p. 16)
Ciri-ciri Riset Akuntansi Kritis
• Ciri khas paradigma Kritis adalah bahwa paradigma ini
berbeda dengan pemikiran filsafat dan sosiologi
tradisional.
• Pendekatan paradigma kritis tidak bersifat kontemplatif
atau spektulatif murni.
• Penggunaan bahasa yang kritis untuk menunjukkan
kegalauan atas realita yang ada dengan tujuan
emansipasi/ pembebasan/ pencerahan.
• Mari kita lihat beberapa abstrak berikut (perhatikan
kata/kalimat yang ditebali):
Chwastiac and Young, 2003 “The Silence in Annual Reports”
In this paper, we show how annual reports rely upon the silencing
of injustices in order to make profit appear to be an unproblematic
measure of success. In particular, we examine the ways in which
corporations silence the negative impact of their activities upon
the earth, the hell of war and the beauty of peace, the spiritual,
human and social impoverishment arising from excessive
consumption, and the dehumanization of workers. Only by
breaking silence and counter-posing corporate values with
alternatives can we hope to free humankind from the limitations
of profit maximization and promote a world in which peace,
happiness, respect for diversity, etc., take precedence to capital
accumulation.
Mayper et. al., 2005 “The Impact of Accounting Education on Ethical Values: An
Institutional Perspective”

The accounting scandals at the beginning of the 21st century led to


public distrust and demands for reform. Were these scandals
unexpected? From an old institutional economics (OIE) perspective,
which originated with the work of Thorstein Veblen in the 1890s,
these failures and the moral lapses should not be a surprise. OIE
theorists, like critical theorists, generally, contend that corporate
hegemony, i.e., the domination of business values in all areas of
human life, has eroded moral sensitivities. All institutions, including
our once-autonomous educational institutions, have become
mechanisms for promoting economic interests.
Terimakasih

Anda mungkin juga menyukai