Anda di halaman 1dari 23

SOSDIK

INDEPENDENSI, KADERISASI, DAN POLITISASI


Dr. H Harry Azhar Azis, MA
Ketua Umum PB HMI 1983-1986, Wakil Ketua Panitia Anggaran DPR RI,
Dapil Kepri Partai Golkar dan Doktor Ekonomi Oklahoma State University, USA.
Tanggal 5 Februari 2009 nanti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
mencapai usia 62 tahun, usia matang sebuah organisasi mahasiswa. Sejak
berdiri 1947, HMI melewati lima zaman yang watak dan tantangannya
berbeda dan terkristal dalam citra, budaya, network, dan sistem HMI seperti
sekarang ini. Walaupun melewati berbagai zaman itu, normal atau kritis, cita-
cita HMI ternyata tetap seperti ketika lahir, yaitu: (1) mempertahankan
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 dan NKRI, dan (2)
menegakkan syiar Islam sebagai rahmatan lil alamin. Dengan cita-cita itu,
Panglima Besar Jenderal Sudirman pernah menyatakan HMI, bukan saja
berarti Himpunan Mahasiswa Islam, tetapi juga, Harapan Masyarakat
Indonesia. Cita-cita itu yang dirumuskan dalam tujuan HMI, berlaku sampai
sekarang: Terbinanya insan akademis, pencipta pengabdi, yang bernafaskan
Islam dan bertanggungjawab atas terwujudnya masyarakat adil makmur yang
diredhoi Allah SWT.

HMI
Lima zaman pengembaraan HMI adalah era sejarah bangsa ini: 1. Era
Kemerdekaan; 2. Era Demokrasi Parlementer; 3. Era Demokrasi Terpimpin;
4. Era Demokrasi Pancasila dan 5. Era Reformasi. Tiap era sejarah itu
memiliki karakteristiknya masing-masing. Pada era Kemerdekaan (1945-
1951), HMI menyatu dengan rakyat membela mati-matian kemerdekaan
negara yang baru diproklamasikan, tekad “Merdeka atau Mati”
dikumandangkan HMI. Sampai kini semboyan itu tidak lapuk dan sering
bermanfaat secara politik. Di era inilah HMI didirikan mahasiwa bernama
Lafran Pane dan teman-temannya. Pane sampai akhir hayat menjadikan
perguruan tinggi sebagai orientasi utama hidupnya. Baginya, HMI haruslah
menjadi “perguruan tinggi kedua” untuk anggotanya. Bila di perguruan
tingginya anggota HMI memperoleh nilai tambah ilmu pengetahuan, di HMI
anggotanya memperoleh nilai tambah kepemimpinan, menjadi pemimpin. Bila
ilmu pengetahuan membuat manusia paham nilai-nilai kebenaran sehingga
bisa membedakan yang benar dan yang salah. Pemimpin adalah orang yang
bertanggungjawab menegakkan kebenaran (ma’ruf) dan mencegah
kesalahan (mungkar). Karena itu, menurut Pane, pengurus HMI yang tidak
becus megurus kaderisasi anggota menjadi pemimpin, ia tidak paham untuk
apa HMI didirikan.

Pada era Demokrasi Parlementer (1951-1959), dengan kembalinya


Republik Indonesia Serikat (RIS) ke bentuk Republik Indonesia (RI) tahun
1951, parta-partai politik mulai melirik HMI agar mendukung mereka. Jati diri
mandiri sejak berdiri, HMI tegak independen tidak memihak suatu partai.
Yang dibela HMI bukan partai tetapi bangsa dan negara. Atau, bila
menggunakan bahasa politik kini: kepentingan rakyat. Terhadap kepentingan
rakyat, keadilan dan kesejahteraan rakyat, HMI tidaklah independen. HMI
memerangi penyebab penderitaan rakyat. HMI memerangi penindasan atas
rakyat. HMI memihak cita-cita mulia menegakkan kebenaran. Watak inilah
yang disebut sifat independen HMI, tetapi memihak perjuangan kebenaran,
mewujudkan rakyat adil sejahtera.

Pada era Demokrasi Terpimpin (1959-1966), sejak Dekrit Presiden


Soekarno 5 Juli 1959, Indonesia kembali ke UUD 1945. Indonesia pernah
mengalami UUD RIS 1949 dan UUD Sementara 1950 yang berlaku sampai
1959. Setelah Dekrit, kekuatan politik Indonesia berubah. Bila di era
Demokrasi Parlementer, empat partai politik besar adalah Masyumi, PNI, NU
dan PKI. Pada Demokrasi Terpimpin, ketika Masyumi dan PSI dibubarkan
1961, tinggal tiga kekuatan partai yakni PNI, PKI dan NU. Partai-partai Islam
lainnya tetap sebagai partai kecil. Yang menarik, pada era ini muncul
kekuatan non-politik baru yaitu kelompok militer, terutama TNI-Angkatan
Darat, yang menjadi “penyeimbang politik” terutama terhadap PKI. Pada
masa inilah HMI masuki era paling kritis, ketika PKI dan pendukungnya,
seperti CGMI, berusaha membubarkan HMI. Yel-yel seperti “bila tidak bisa
bubarkan HMI, pakai kain sarung saja,” menjadi tema utama PKI kepada
pendukungnya. Tidak dapat dibayangkan yang terjadi pada Indonesia bila
HMI berhasil dibubarkan. Indonesia berubah total bila PKI menguasai negara.
Perlawanan HMI kepada PKI dan kekuasaan yang monolit ternyata menarik
simpati banyak pihak, termasuk Pimpinan TNI-AD. HMI, melalui alumni dan
kader-kadernya seperti Dahlan Ranuwihardjo, Sulastomo, Ekki Syahruddin,
Fahmi Idris, Abdul Gafur berhasil meyakinkan TNI-AD sehingga Kepala Staf
AD, Pahlawan Revolusi Jenderal Ahmad Yani, saat itu sampai mengeluarkan
pernyataan sangat historik bagi HMI, “siapa saja yang ingin membubarkan
HMI, langkahi mayat saya terlebih dahulu.” Inilah awal hubungan yang makin
dekat antara HMI dan TNI, yang berlanjut ketika Orde Baru mengambil alih
kekuasaan.
Era Demokrasi Pancasila (1966-1998) ditandai dengan jatuhnya
Presiden Soekarno dan munculnya Presiden Soeharto yang mengubah lagi
peta politik nasional. Di era ini, setelah 1971 tinggal tiga partai politik resmi
yang diakui, yaitu Golkar, PPP dan PDIP. Pengamat politik menyatakan
sebenarnya tidak ada partai politik karena tidak mirip dengan partai politik era
Demokrasi Parlementer atau seperti sekarang ini. Pada era inilah mulai
banyak alumni HMI ikut kekuasaan seperti di DPR/D, Menteri maupun Kepala
Daerah. Belum lagi di birokrasi dan perguruan tinggi. Juga terlihat yang
merintis dunia intelektual, profesional dan usaha swasta, tidak sedikit
berkelana di dunia pengangguran atau betah menjadi demonstran.
Keanekaragaman wilayah kerja alumni HMI itu bisa saja hasil kaderisasi
organisasi yang memang berwatak independen. Karena lamanya era ini, 32
tahun, pergerakan HMI sebenarnya masih bisa dipilah ke era tahun 70an,
80an dan 90an, dengan karakteristiknya masing-masing. Tahun 70an,
misalnya, ditandai keikutsertaan beberapa kader HMI dalam peristiwa Malari
1974 dan Kampus Kuning 1978. Sebagai aktivis HMI, saya pribadi juga
mengalami ringkihnya era ini dan ditahan kekuasaan Orde Baru selama tiga
bulan tahun 1978 karena melawan sistem. Tahun 80an, diwarnai dengan
kasus asas tunggal Pancasila yang membelah HMI menjadi dua, HMI dan
HMI MPO (Majelis Penyelamat Organisasi), yang hingga kini masih saling
mengklaim sejarahnya. Tahun 90an, HMI dan gerakan mahasiswa lainnya
ikut meruntuhkan rezim Orde Baru yang memang sudah semakin lapuk.

Era Reformasi (1998-sekarang) adalah era kebebasan baru yang juga


dinikmati HMI. Setahun Presiden BJ Habibie memimpin, HMI memanfaatkan
Kongres HMI tahun 1999 di Jambi kembali ke khittahnya, menetapkan
kembali asas Islam sebagai dasar organisasi, setelah 13 tahun berasaskan
Pancasila yang ditetapkan Kongres HMI tahun 1986 di Padang. Perdebatan
asas tunggal Pancasila dimulai Kongres HMI tahun 1983 di Medan, dimana
saya terpilih sebagai Ketua Umum PB HMI dalam usia muda 26 tahun,
setengah usia saya kini. Sebagian pemimpin HMI saat ini mungkin belum
lahir. Beda ritme zaman dulu dan kini seperti bumi dan langit. Pada era ini,
makin banyak kader HMI tahun 60an, 70an, dan bahkan 80an terlihat ikut
memimpin negara ini. Nama-nama seperti M Jusuf Kalla, Akbar Tandjung,
Bachtiar Hamzah, MS Kaban, Hidayat Nur Wahid, Amien Rais, sudah tidak
asing di telinga kita sebagai pejabat dan tokoh negara yang alumni HMI.
Bahkan, yang menarik, beberapa pejabat dan tokoh masyarakat, yang dulu
sedikit atau bahkan tidak dikenal di HMI, tidak jarang mengaku sebagai
alumni, sesuatu yang sangat membanggakan terutama bagi mereka yang
dulu pernah memimpin HMI.

Berbeda dengan era-era sebelumnya, tantangan era reformasi yang dihadapi


HMI ternyata lebih kompleks. Walaupun demikian, paling tidak ada tiga
tantangan pokok yang selalu dihadapi organisasi HMI, yaitu: (1)
Independensi, (2) Kaderisasi, dan (3) Kontektualisasi Visi. Yang pertama,
independensi HMI. Bagi HMI, independensi adalah karakter organisasi.
Dalam konteks politik selalu diartikan sebagai menjaga “jarak sama” dengan
kekuatan politik yang ada, dalam hampir semua momentum. Arti dinamis,
begitu kekuatan politik berubah, HMI harus berubah bila ingin menjaga
symmetrical position-nya, kalau tidak HMI dapat tidak independen lagi.
Benarkah demikian? Impelementasi organisatorisnya, pengurus HMI tidak
boleh rangkap jabatan atau yang lebih sederhana, pengurus HMI tidak boleh
membuat pernyataan mendukung suatu partai politik atau pemerintah. Begitu
ia mendukung atau mendemo suatu establishment politik biasanya ada saja
kelompok lain dalam HMI menolaknya. Mendukung atau menolak sesuatu
yang melibatkan HMI dianggap melawan prinsip independensi. Ini konflik
yang berkaitan tafsir independensi HMI. Tidak sedikit kasus di PB HMI, Badko
atau Cabang, pengurusnya melawan sifat independensi HMI yang menambah
pekerjaan rumah. Hikmahnya, kekayaan konflik internal bertambah dan
substansi demokrasi HMI semakin mature, bila tidak menimbulkan
perpecahan atau kerusakan. Independensi model ini dikenal independensi
organisatoris. HMI tidak boleh terkait kekuatan politik manapun.

Bagaimana menafsirkan independensi HMI dalam konteks nilai-nilai? Secara


etis biasanya ditafsirkan bahwa HMI tunduk (tidak independen) pada nilai-nilai
kebenaran mutlak yang bersumber Al Qur’an dan Hadist maupun hukum alam
raya, termasuk hukum sosial yang baku. Pertanyaannya adalah apakah
ketika premis berubah atau berbeda, sikap juga boleh berubah? Cak Nur (Dr
Nurcholish Madjid) pernah menyatakan bahwa “Islam Yes, Partai Islam No!”
di tahun 1970an, yang ditafsirkan sebagai mendukung partai-partai nasionalis
(non-Islam), dimana ketika itu diperkirakan Golkar memperoleh benefitnya.
Tetapi di dekade berikut, Cak Nur justru mendukung PPP, yang notabene
Partai Islam, penyataannya “memompa Ban Kempis.” Nilai apa yang
didukung Cak Nur? Mungkin keseimbangan politik, walaupun masa itu
dianggap melawan arus mapan. Kesimbangan politik (check and balance)
sebagai nilai etis yang harus diperjuangkan. Benarkah? Bagaimana HMI
harus menempatkan diri dalam arus pergumulan nilai-nilai etis tentang
pemahaman ajaran Islam atau kondisi masyarakat. Sebut saja, misalnya,
antara yang disebut Islam Liberal dan Islam mainstraiming. Antara MUI dan
Ahmadiah. Antara Fatwa haram Golput dan Fatwa haram rokok. Antara Lia
Aminuddin dan Hizbut Thahrir. Antara goyang Rhoma Irama/Camelia Malik
dan Goyang Inoel. Antara penduduk miskin yang bertambah dan tersangka
koruptor yang dibebaskan sidang pengadilan. Antara kedukaan murid SD
yang bunuh diri karena ketiadaan biaya dan kegembiraan negara membayar
utang yang dikorupsi. Dan lain-lain. Dan lain-lain.

Apa batas antara meningkatkan perjuangan idealisme (high-terrain


politics) dan menghindari politik praktis (low-terrain politics)? Biasanya, ujung
idealisme adalah penegakkan moral, sedang politik praktis adalah akumulasi
kekuasaaan. Di dunia utopia, dua hal ini sebenarnya bisa tidak berbeda.
Ketika kekuasaan benevolent (bijak bestari), maka moralitas menjadi cahaya
penerang (enlightenment). Ketika kekuasaan corrupt, moralitas menjadi
trading-house, yang mendagangkan kebenaran. Mampukah HMI dengan sifat
independensinya membedakan kedua hal ini secara honest, sehingga tidak
menabrak jalur yang dibuat HMI sendiri. Atau, mungkinkah dalam
independensi HMI terdapat derajat interdependensi? Dalam pola hubungan
makin terbuka, modern dan kompleks, hakekat saling mempengaruhi atau
saling ketergantungan tidak dapat dihindari. Dalam model lama, independensi
yang pasif menjadi tidak mungkin. Beberapa interpretasi tentang “rangkap
jabatan” dan “pemihakan” diperlukan untuk memahami derajat independensi
HMI yang lebih bersifat aktif. Misalnya, apakah kebenaran itu memihak atau
tidak memihak? Kejujuran apakah itu penderitaan atau kebebasan? Ketika
HMI “tetap,” yang lain berubah, organisasi ini bisa saja menjadi kehilangan
konteksnya. Apa yang sesungguhnya diperjuangkan HMI? Dilema etis ini
dapat dijelaskan dalam kasus seperti dimana seorang ahli jantung harus
memutuskan sorang pasien yang didiagnosa kena “stroke” harus segera
dioperasi atau tidak. Secara prosedur, ahli jantung itu harus memperoleh izin
dari ahli warisnya untuk melakukan tindakan operasi medis. Bila izin itu,
karena sesuatu hal, tidak diperoleh, dan berdasarkan diagnosa pasien itu
harus segera dioperasi agar jiwanya “terselamatkan,” maka apa
keputusannya? Operasi tanpa izin berhadapan dengan hukum, operasi
menunggu izin berhadapan dengan misi kemanusiaan, penyelamatan jiwa.
Pilih mana? Kasus-kasus pengambilan keputusan di HMI, jelas dipengaruhi
oleh sifat independensinya (misi etis yang aktif) dan interdependensinya
(resiko hukum atau sosial-politik lainnya).

Miskinnya anggota di kampus terkenal dan beralihnya mahasiswa baru


ke organisasi yang lebih spesifik seperti LSM atau gerakan mahasiswa
instant, menjadi tantangan HMI. Pakar manajemen menyebut like the big
elephant which cannot dance, inilah yang mungkin menjelaskan situasi HMI
sekarang. HMI yang makin besar menjadi makin lamban mengambil
keputusan. Ketika saya dan PB HMI, dulu, menghadapi kasus Asas Tunggal,
HMI masuk ke wilayah yang amat interdependen atau mungkin dependen.
Ketika itu, HMI menjadi organisasi mahasiswa terakhir bertahan sampai dua
tahun sampai kepada keputusan, dan satu tahun tambahan untuk secara
formal dalam Kongres HMI. Organisasi-organisasi lainnya, sebut saja NU,
Muhammadiyah, bahkan KAHMI, telah menerima keinginan politik saat itu,
dengan berbagai interpretasinya masing-masing. Begitu pula Kelompok
Cipayung. Munculnya MPO, yang menolak asas Pancasila, adalah resiko
yang dihadapi HMI setelah keputusan penerimaan asas Pancasila diambil.
Resiko apa pula yang dihadapi HMI bila HMI menolak asas Pancasila ketika
itu? Tentu saja cerita selanjutnya telah kita pahami bersama. Dilema etis
inilah yang dihadapi HMI, yang bukan hanya menyangkut waktu dan kondisi,
tetapi juga menyangkut harapan dan kecemasan, bukan saja pada angota
HMI tetapi bahkan pada jaringan alumninya.

Meneruskan nilai-nilai yang diperjuangkan HMI kepada generasi


penerus memerlukan perkaderan HMI yang kuat. Tetapi, apakah kaderisasi
anggota untuk merebut kekuasaan politik? Jawabannya cukup jelas: tidak.
HMI memang bukanlah organisasi politik. Penyebutan bahwa HMI sebagai
organisasi quasi-politik juga tidak dapat dipertanggungjawabkan, kecuali bila
pengertian ini mengandung paham zoon politicon, dimana politik diartikan
secara luas tidak sekedar kekuasaan atau organisasi politik. Dalam konteks
inipun, hasilnya tidak dapat dikatakan langsung sebagai merebut kekuasaan
politik untuk kepentingan anggotanya seperti dikenal dalam perjuangan
partai-partai politik agar anggota atau kadernya memperoleh posisi-posisi
politik tertentu. Bahkan dalam perebutan posisi-posisi politik organisasi intra-
kampus pun, apakah itu Dewan Mahasiswa (dulu) atau Senat Mahasiswa,
kecuali KNPI atau Kelompok Cipayung, apakah HMI tidak dapat disebut
bermain politik secara langsung? Bila ini benar, HMI bukan organisasi quasi-
politik atau apalagi organisasi politik, dimana posisi HMI dalam konteks
politik? Jawaban lebih tepat adalah politisasi HMI. HMI dengan sejarahnya
yang panjang dan jumlah anggota yang besar dan alumni yang tersebar di
pelbagai bidang pekerjaan memang telah dianggap sebagai suatu “kekuatan”
politik. Di arena politik praktis, kita melihat alumni HMI tersebar di semua
partai politik, yang dengan misleading disebut telah terbentuk suatu HMI
Connection. Dengan sistem politik yang ada sekarang, alumni HMI yang
berpolitik tidak mungkin secara sempurna beridealisasi seperti harapan tujuan
HMI, betapapun tujuan HMI telah menjadi semacam spirit perjuangan
mereka. Bukan saja penafsiran aktual atas tujuan HMI di kalangan HMI,
ataupun alumninya, bisa berbeda-beda, tetapi juga kepentingan partai
masing-masing dimana alumni HMI berafiliasi bisa tidak sama. Dalam kaitan
itu, alumni HMI yang memegang kekuasaan politik, pada akhirnya lebih
bersifat individual, atau paling tidak berorientasi kepada partainya. Yang
menarik, tidak sedikit alumni HMI berusaha menghilangkan afiliasinya dengan
HMI ketika citra politik HMI tidak menguntungkan. Sebaliknya, tidak sedikit
pula yang mengaku pernah menjadi anggota HMI ketika citra HMI atau lebih
tepat ketika alumni HMI memegang kekuasaan. Dalam politisasi HMI tidak
suatu kekuatan politik manapun menguasainya, tetapi bisa mempengaruhi
pengambilan keputusannya. Keputusan HMI, apakah oleh institusi HMI, tidak
pernah luput dari jangkauan pengaruh politik aktual. Dalam kacamata positif,
politisasi HMI bisa saja merupakan refleksi dari kekuatan-kekuatan yang
“bertarung” di HMI, yang sekaligus memberikan nuansa demokratisasi HMI.
Ketika saya memimpin HMI, kepada wartawan dari koran yang berpengaruh
saya tanya, mengapa anda begitu antusias meliput berita tentang HMI?
Jawabnya cukup mengejutkan, menurut redaksi korannya, HMI adalah satu-
satunya organisasi yang mampu mengambil keputusan independen dan
demokratis dimana semua organisasi lain tidak mungkin melakukannya.

Kembali kepada pertanyaan di atas, apakah kaderisasi HMI membawa


anggotanya menuju wilayah kekuasaan politik. Jawabnya bisa ya atau tidak.
Pertama, tidak semua kader HMI memiliki orientasi politik praktis atau
bersedia menjadi politisi atau birokrat. Sebagian mereka memilih jalur
pengusaha, sebagian lagi jalur intelektual dan professional, da’i, makelar,
wartawan, petani, supir, tukang ojek atau mungkin pengangguran, walau
dengan terpaksa. Prosentase alumni HMI yang terjun ke dunia politik relatif
kecil. Kedua, jarak waktu dari anggota atau pengurus HMI menjadi politisi,
apalagi yang kemudian memegang jabatan politik, bisa panjang atau pendek,
yang semua bergantung momentum, kemampuan, relasi patron-client dan
lainnya. Ketiga, kaderisasi HMI tidaklah secara spesifik mengarahkan
anggota HMI menjadi politisi, tetapi lebih kepada pembentukan kualitas
kepemimpinan, sesuatu yang memang tidak ditemui secara kurikula di dunia
perguruan tinggi formal. Kepemimpinan yang terbentuk diharapkan bukan
hanya berkembang di arena politik, tetapi di semua bidang yang menjadi
minat anggota. Denga alasan-alasan itu, kaderisasi HMI tidak difokuskan
menjadikan anggotanya pemimpin politik. Bahwa kualitas kepemimpinan
berpengaruhi terhadap pilihan politik, pada dasarnya memiliki kans yang
sama untuk pilihan pada bidang pekerjaan lain.

Kunci kesinambungan keorganisasian HMI, menurut saya, bukan terletak


pada keberhasilan alumninya, tetapi lebih tergantung pada pembaharuan
sistem perkaderan serta kesinambungan kegiatan perkaderan HMI itu sendiri.
Tanpa perhatian yang lebih serius dan fokus dalam menentukan pilihan atas
keanekaragaman tren zaman yang mampu diadopsi dalam sistem perkaderan
HMI, jelas akan merugikan organisasi ini menghadapi tantangan yang
berbeda. Sementara network HMI banyak dipuji orang luar, perkaderan HMI
mendapat sorotan negatif sebagian alumni dan anggota HMI. Cak Nur pernah
minta HMI dibubarkan karena sistem perkaderan HMI tidak mampu
menghasilkan alumni “insan kamil.” Kasus-kasus korupsi yang melibatkan
beberapa alumni HMI menjadi tema utamanya, walau mungkin koruptor yang
bukan alumni bisa saja lebih banyak lagi. Mungkinkah Cak Nur hanya
berwacana atau sekedar memberikan shock terapy bahwa sesuatu harus
diperbaiki dalam perkaderan HMI? Walau pertanyaan itu bersifat
educatainment, hasil perkaderan HMI memang harus diuji oleh outputnya,
yaitu kualitas alumni HMI di masyarakat. Di banyak universitas, kebanggaan
atas universitas itu salah satunya adalah apabila para alumninya dapat
menduduki jabatan-jabatan penentu dengan gaji yang tinggi. Di dunia politik
atau juga birokrasi, memang banyak alumni HMI. Mungkin berikutnya adalah
dunia intelektual, perguruan tinggi dan aktivitas sosial. Di dunia bisnis,
mungkin dapat dihitung dengan jari. Sayang, HMI atau KAHMI tidak memiliki
data yang akurat sehingga kita memperoleh informasi, misalnya, tentang
value added dan produktifitas para alumni secara periodik.
Brand image HMI sebagai organisasi pencetak pemimpin memang
memukau. Tetapi pemimpin apa? Pemimpin yang bagaimana? Mungkinkah
kita terlalu berharap banyak terhadap sistem perkaderan HMI, sementara
added value bagi mahasiswa yang menjadi anggota HMI sulit diukur melalui
komptensi maupun karakternya? Berbeda dengan suatu perguruan tinggi
yang relatif memilik data tentang kompetensi awal mahasiswa yang diterima
di perguruan tinggi tersebut sehingga output akhirnya bisa diukur. Di HMI,
mungkin karena karakter voluterisme angotanya, data seperti itu hampir tidak
mungkin dimiliki. Kalau begitu, apa yang mungkin dilakukan? Inilah
pertanyaan dasar bagi PB HMI sekarang, yang bisa saja dijawab melalui
semacam needs simulation para anggota dan masyarakat terhadap HMI.
Mirip seperti menjawab Panglima Besar Sudirman ketika menyatakan bahwa
HMI adalah Harapan Masyarakat Indonesia. Apa itu? Proses selanjutnya
adalah proses manajemen organisasi, yang lazim disebut strategic
management atau kadang-kadang disebut juga sebagai visionary
management.
Perkaderan HMI memang harus meluas (widening) dan
mendalam (deepening). Dari bersifat administrative
menjadi institutional leadership. Karena keahlian HMI
mencetak pemimpin, fokus perkaderan HMI melahirkan
pemimpin dari yang bertumpuk di suatu bidang (politik
atau birokrasi) menjadi ke semua bidang kepemimpinan.
Tentu ini tidak mungkin dilakukan oleh PB HMI satu
periode saja. Apabila HMI kembali dengan serius
menekuni kegiatan perkaderannya, yang terus-menerus
dimodifikasi sesuai perkembangan kebutuhan, dan tantangan zamannya, tampaknya
kecemasan atas merosotnya mutu perkederan organisasi ini tdak perlu muncul lagi di
masa datang. BIla tidak, bila HMI terlalu terpukau oleh “kebesaran” networking para
alumninya, bila HMI makin terjerumus dengan kegiatan politik praktis, bila HMI
terlalu responsif terhadap situasi yang bersifat current event, organisasi ini secara
pasti semakin menjadi myopic, minat mahasiswa menjadi anggota makin minimal dan
seterusnya. Karena peristiwa datang dan pergi, kemampuan menangkap essence
perubahan adalah kemampuan yang telah terbukti diperani HMI selama 62 tahun
sejarahnya. Karena itu, peran sesungguhnya HMI bukan lagi sekedar menjaga
eksistensi diri, tetapi menemukan kembali substansi perannya dalam zaman yang
terus berubah ini. Itulah sesungguhnya tugas utama setiap pengurus HMI, di semua
tingkatannya, seusai sifat independensinya dalam situasi masyarakat dunia yang
makin terinterdependensi

=================================
Wawancra Prof DR Agus SalimSitompul (Sejarawan HMI)
HMI Sekarang Mengalami Kemunduran

Selaku sejarawan HMI, perjalanan panjang HMI sebagai organisasi mahasiswa


terbesar di Indonesia yang usianya sudah seabad lebih, tentu tak luput dari
perhatiannya. Bahkan ia melihat, organisasi yang didirikan Lapran Pane pada 5
Februari 1947 di Yogyakarta, sekarang ini mengalami kemunduran dengan salah satu
indikator yaitu semakin minimnya kader serta kian kurang tertariknya mahasiswa
untuk masuk HMI.

Ketika berada di Pontianak, menjadi salah satu pembicara LK-II yang digelar HMI
Cabang Mempawah, Pontianak Post menyempatkan untuk mewawancarai Prof DR H
Agus Salim Sitompul, sang sejrawan. Dengan lancar dan pajang lebar guru besar
IAIN Sunan Kalijaga tersebut memaparkan kiprah HMI. Berikut ketikan
wawancaranya.

Bagaimana Anda melihat HMI saat ini?


Saya melihat HMI dalam 3 jaman. Orla, Orba, dan di saat Refromasi. 41 tahun sudah
saya berkecimpung di dalamnya. Kalau saya perhatikan, sejak 1970 sampai sekarang,
HMI itu mengalami kemunduran. Sudah saya paparkan kemunduran itu dalam 40
indikator. Satu diantaranya yaitu semakin kendornya kaderisasi HMI. Artinya jumlah
kader semakin menurun bila dibanding sebelumnya, yang cukup antusias. Padahal
idealnya, setiap komisariat harus berhasil mendapatkan anggota separuh plus satu dari
jumlah anggota yang masuk. Tapi kenyataannya kan sekarang tidak.

Apa penyebab kemunduran tersebut?

Penyebabnya adalah karena HMI jauh dari mahasiswa. HMI Komisariat sebagai
ujung tombak untuk mengakomodir apa yang dikehendaki mahasiswa. Artinya HMI
kurang mampu memberi layanan kepada mahasiswa. Padahal tahun 1966 HMI
mampu memberi servis terhadap apa yang dibutuhkan mahasiswa, misalnya
bimbingan belajar, rekreasi, kesenian, asrama, buku diktat, dan sebagainya. Nyatanya
saat ini tak mampu.

Saat ini maksudnya sejak kapan?

Ya, sekitar 1980-an itu. Terjadi penurunan drastis. Mereka mahasiswa yang masuk
HMI sangat sedikit sekali.

Di HMI itukan ada pengkaderan, mengapa sampai demikian?

Oh, ya, memang ada pengkaderan tersebut. Tapi, proses kesinambungan dengan satu
usaha untuk mendapatkan sebanyak mungkin secara efektif ternyata tidak. Harusnya
semua mahasiswa masuk baru berbondong masuk HMI, namun rupanya tidak.
Mengapa demikian?

Karena itu tadi, tak mampu mengakomodir problem Dan apa yang dikehendaki
mahasiswa.

Jadi, problemnya internal atau ekternal?


Termasuk problem internal dan eksternal. Problem internalnya bahwa HMI tidak
mampu melakukan konsolisasi organisasi sebagai alat perjuangan untuk menarik
mahasisw baru. Jadi sangat lemah di segala hal, manajemen, hubungan dengan
masyarakat, publikasi dan sebagainya. Jadi, jangankan untuk perubahan struktur
social, internal saja sulit. Makanya jangan heran, kalau dulu mahasiswa mencari HMI,
sekarang HMI malah mencari anggota. Dulu itu, tanpa publikasi berlebihan orang
berbondong masuk ke HMI.

Ada kaitan dengan faktor usia sehingga kurang mampu mengikuti ritme zaman?

Idealnya dengan usia yang sudah 57 tahun, HMI malah kian matang. Mengapa tidak,
karena tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Organisasi tidak solid untuk
menarik mahasiswa. Kegiatannya banyak terlibat ke politik praktis, sehingga
masalah-masalah pengkaderan, pembinaan lembaga, anggota, komisariat terabaikan.

Apa ada kaitan dengan konstitusi HMI yang tak lagi relevan?

Wah, konstitusinya masih sangat relevan. Cuma, orang atau SDM yang mengelola
terjadi penurunan. Komitmen membesarkan organisasi agak terabaikan oleh aktivitas
politik dan sebagainya.

Bagaimana cara mengantisipasi semakin terjadi penurunan kader tersebut?

Masalah jumlah kader tentu sangat terkait dengan kelangsungan sebuah organisasi.
Karena dulu kita mendapatkan banyak anggota baru sehingga alumninya juga bany
+++++++++++++++

Pro HMI Sparatis


AKU AKAN MENANGGAPI DENGAN HURUP KAPITAL

> Tanggapan :
> Ass. wr.wb.
WSS. WR. WB.

> Saya bisa memahami keresahan dari sdr Ibnu Sina tentang
>HMI yang
> sekarang sudah kehilangan identitas & idealisme
>organisasinya.
> Khususnya di tingkatan Badko & PB HMI. Hingga di antara
>kawan-kawan
> ada joke :
> " Jika kalian ingin mencari idealis maka carilah di
>Komisariat. Karena
> HMI merupakan organisasi yang paradox. Semakin tinggi
>strukturalnya,
> semakin merosot pula idealismenya.
> Jika diambil presentase maka idealisme :
> Pengurus komisariat adalah 80 - 100%
> Pengurus korkom adalah 70 - 85%
> Pengurus Cabang adalah 55 - 80%
> Pengurusbadko adalah 30 - 50%
> Pengurus PB masih syukur jika bisa sampai 25%
> selebihnya adalah birahi politik & kekuasaan"
SEPERTINYA GEJALA INI HANYA MENJAMUR DI TEMAN-TEMAN DIPO
DEH. AFWAN YA....

> Tapi apakah kita akan mendiamkan saja keadaan ini?


>Sebagai kader yang
> masih memiliki kepedulian akan HMI tercinta, tentu kita
>tak bisa
> berdiam diri. Seperti kata Rasulullah :
> "Jika kamu melihat kemungkaran maka cegahlah dia dengan
>tanganmu
> (kekuasaan)
> Jika kamu tak mampu cegahlah dengan lidahmu (kritik)
> Jika tak mampu juga maka cegahlah dengan hatimu
> maka itulah selemah-lemah iman {tapi apakah kita mau
>disebut sebagai
> orang yang memiliki iman paling lemah?}"
> Mari kita perbaiki himpunan tercinta ini dengan
>kemampuan yang kita
> miliki.
> Tapi dalam ushul fiqh juga dinyatakan:
> "Menghindari mudharat lebih diutamakan dari mencari
>manfaat"
> Karena itu perlu dipertanyakan apakah pembentukan pro
>hmi baru hmi
> sparatis tidak malah menimbulkan mudharat bahu, dengan
>semakin
> terkotak-kotaknya umat wabil khusus kader2 HMI?
SEPAKAT!!!

> Kita selama ini sudah merasa terluka dengan adanya


>perpecahan antara
> HMI Dipo & HMI MPO yang sampai masih belum bisa
>terselesaikan, walau
> permasalahan dasarnya sudah tak ada lagi (permasalahan
>azas).
MASALAH AZAS SUDAH SELESAI...TAPI TIDAK MASALAH KULTURAL
BOS...LIAT AJA SAUDARA KITA YANG DI DIPO GIMANA GAYANYA?

Apakah
> ketika kita kita berbeda kita harus membentuk kelompok
>sempalan baru?
> Kalau seperti ini terus bukan problem solving yg
>terjadi, namun malah
> menghadirkan permasalahan baru.
> Menurut pendapat saya, kita harus melihat permasalahan
>secara
> menyeluruh. Permasalahan utama HMI bukan permasalahan
>struktral (namun
> bukan berarti permasalahan ini tidak penting). Tapi
>permasalahan
> mendasar ada pada proses kaderisasi di HMI.
SEPAKAT SAMPAI DISINI KANDA

Ada beberapa
>pertanyaan
> mendasar yang harus kita jawab dengan jujur:
> 1. Sudahkah kita melaksanakan proses kaderisasi secara
>maksimal sesuai
> dengan tujuan kaderisasi HMI?
SEPERTINYA BELUM TUH

> 2. Sudah berhasilkah kaderisasi di HMI?


SEBAGIAN AKU BERANI MENJAWAB IYA!

> 3. Sudahkah perkaderan terlepas dari kepentingan2 non


>perkaderan
> (seperti kepentingan politik misalnya)?
INI HAL YANG NONSENSE, PERKADERAN JUSTRU HARUS PEKA DENGAN
INI MESKIPUN TIDAK BOLEH LARUT, KARENA KITA MENGKADER BUAT
UMMAT, TERMASUK MASALAH POLITIK UMMAT TENTUNYA. BUKAN
BEGITU?

> Sekian lama saya berkecimpung di HMI ada beberapa titik


>lemah
> kaderisasi HMI:
> 1. Kaderisasi hanya berorientasi rasionalisme dan
>politic oriented.
> Lemah dalam membentuk ruhiyah dan pembinaan nafsiyah
>(pribadi).
> Sedang, dalam tujuan HMI disebutkan bahwa HMI
>bernafaskan Islam. Namun
> hal ini belum sepenuhnya tercermin pada diri kader2 HMI.
KALAU KADER DI DIPO IYALAH...INI KARENA KONSTRUKSI NDP
YANG MODERNIS BANGET SECARA FILOSOFIS...
> 2. Kaderisasi di HMI kurang menyesuaikan dengan
>kebutuhan zaman.
> Kaderisasi lebih banyak mengacu pada penilaian IQ, namun
>kurang
> pengembangan EQ & SQ (adalagi yang terbaru AQ&OQ).
INI AKIBAT KARAKTER INSAN AKADEMIS + BERNAFASKAN ISLAM
INI NYATA NYATA SEKULAR, ADA DUA BANGUNAN YANG DIBANGUN
BERSAMA TAPI TIDAK UTUH --> IPTEK DISATU SISI, IMTAQ
DISATU SISI

BERBEDA DENGAN INSAN ULUL ALBAB (KADER CITA HMI MPO) YANG
MENYATUKAN FIKIR DAN DZIKIR SECARA INTEGRAL DAN HOLISTIK
LIHAT QS. 3 : 190-191 DISANA ULUL ALBAB ADALAH MEREKA YANG
PADA SAAT BERFIKIR MAKA PADA SAAT ITU JUGA BISA DISEBUT
BERDZIKIR.

> Ini dulu sebagai bahan renungan bagi kita semua &
>sebagai langkah awal
> guna menyongsing HMI baru yang lebih berorientasi pada
>kepentingan
> umat & kepentingan rakyat serta pantas bergabung dalam
>kelompok
> syahidullah.
KEANGKUHAN NDP MEMBUAT KADER DIPO MENGALAMI
KEPERIBADIAN
TERBELAH YANG AKUT.
INILAH PERSOALAN MENDASAR PERBEDAAN DIPO DAN MPO
BUKAN LAGI HANYA PADA KATA "ISLAM DI MPO" DAN "PANCASILA
DI DIPO"
PERBEDAAN SEKARANG TERLETAK PADA:
"ISLAM = NDP, DI DIPO"
"ISLAM = KHITTAH PERJUANGAN, DI MPO"
TAFSIR ISLAM INILAH YANG MEWARNAI PERBEDAAN YANG ADA
KANDA
TIDAK SESEDERHANA KATA ISLAM DAN PANCASILA SEMATA.

> Af1 jika ada kata2 yang menyinggung tapi ini hanyalah
>sebagai bentuk
> ukhuwah & kecintaan pada HMI & seluruh kader
>hijau-hitam.
AKU JUGA MELAKUKANNYA DEMI UKHUWAH, DAN SEMANGAT SALING
BERTABAYYUN.
KALAU MAU SERIUS MENGURUSI PERBEDAAN DAN PERSAMAAN DIPO
DAN MPO, JANGAN CUMA LIHAT BAHWA DIPO SUDAH ISLAM LAGI....
MOHON MENILAI SECARA SERIUS
JANGAN MENYEDERHANAKAN MASALAH
MESKIPUN INI TIDAK BERARTI BAHWA PERSOALAN HARUS DIPERUMIT
LHO.
> Billahi taufiq wal Hidayah
> Wassalamu'alaikum wr.wb
ASSALAMU ALAIKUM.
+++++++++++++++
HMI Dipersimpangan Jalan : Merajut Harapan dan Tantangan
Harry Azhar Azis

Merupakan suatu keniscayaan sejarah, bila gerak suatu organisasi mengikuti model
pendulum yang terus berayun secara zig zag mengikuti ritme dan dimanika yang
merupakan hasil dari proses interaksi antara struktur dan aktor dalam organisasi
tersebut. Hal yang sama terjadi pada HMI yang merupakan salah satu organisasi
Mahasisa Islam terbesar di Indonesia juga mengalami periode gerak pendulum yang
bergerak keatas yang merepsentasikan periode keemasan dan kebawah yang
merepsentasekan periode krisis kader.

Memasuki satu dekade terakhir, dikalangan internal HMI, baik kader HMI maupun
Alumni HMI berkembang autokritik tentang mulai nampaknya gejala degradasi
kualitas sistem perkaderan HMI atau degradasi kualitas intelektual HMI. Begitu pula
kritik atas perilaku sejumlah alumni HMI yang dianggap menyimpang dari norma-
norma yang diajarkan dalam proses kaderisasi HMI. Sebutlah, misalnya, bahwa
beberapa koruptor yang terungkap adalah alumni HMI tidak secara otomatis dapat
diserahkan pertanggungjawabannya kepada sistem perkaderan HMI. Masih banyak
alumni alumni yang tidak terkontaminasi oleh perilaku korupsi atau kejahatan
lainnya, yang bekerja dengan sungguh-sungguh dan memegang teguh norma-norma
ajaran yang diterimanya ketika menjadi anggota HMI.

Maka dalam kerangka itu, menjadi strategis untuk menjadikan pelaksanaan Kongres
HMI XXVI di Palembang pada Akhir juli 2008 sebagai momentum untuk
memikirkan secara lebih detil dan memetakan tentang sejumlah tantangan untuk
keluar daeri periode krisis kader HMI. Tulisan singkat ini mencoba melihat apa yang
seharusnya menjadi perhatian PB HMI untuk dua tahun mendatang, yang mungkin
saja merupakan suatu periode HMI yang krusial untuk masa-masa selanjutnya.

Sekali lagi, Independensi atau Interdependensi ?


Bagi HMI, independensi telah diangap sebagai sifat dan karakter organisasi. Dalam
konteks politik selalu diartikan sebagai menjaga “jarak sama” dengan kekuatan politik
yang ada. Dalam hampir semua momentum? Secara dinamis mungkin harus diartikan
pula, begitu suatu kekuatan politik berubah, HMI harus berubah pula untuk tetap
menjaga symmetrical position-nya, sebab kalau tidak demikian HMI dapat menjadi
tidak independen lagi paling tidak bagi kekuatan politik yang berubah itu. Apakah
benar demikian? Impelemntasi oragnisatoris yang diberlakukan, mungkin sampai
sekarang (?), adalah pengurus HMI tidak boleh rangkap jabatan atau yang lebih
sederhana, pengurus HMI tidak boleh membuat pernyataan yang seolah mendukung
suatu partai politik, apalagi mendukung pemerintah. Dulu, di tahun 1980an, Tonni
Ardi pernah di reshuffle sebagai Ketua PB HMI karena ikut menandatangani suatu
pernyataan yang mendesak pelaksanaan Muktamar PPP. Ketua Umum PB HMI Ferry
Mursyidan Baldan, begitu menjadi anggota Fraksi Karya Pembangunan (Golkar)
MPR RI, di tahun 1990an, langsung diganti oleh Pleno PB HMI dengan menunjuk
penggantinya yaitu Pj Ketua Umum A Rahman Segaff.. Ini bentuk konflik nyata yang
berkaitan dengan tafsir independensi HMI. Tentu masih banyak kasus lain di tingkat
Badko atau Cabang, yang menambah deretan pekerjaan rumah organisatoris HMI,
yang hikmahnya tentu saja juga menambah daftar kekayaan pengalaman internal
organisasi. Independensi model ini umumnya ditafsirkan sebagai independensi
organisatoris. Bahwa, HMI baik secara langsung maupun tidak langsung tidak boleh
terkait dengan kekuatan politik manapun. Soal “karak sama” terhadap partai politik
adalah suatu hal yang lain lagi.

Bagaimana menafsirkan independensi HMI dalam konteks nilai-nilai? Secara etis


biasanya ditafsirkan bahwa HMI tunduk (tidak independen) kepada nilai-nilai
kebenaran mutlak baik yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadist maupun yang
tertulis di alam raya, termasuk mungkin hukum-hukum sosial yang berlaku. Ketika
premis berubah atau berbeda, sikap juga boleh berubah? Cak Nur (Dr Nurcholish
Madjid) pernah menyatakan, yang menjadi sangat legendaris, bahwa “Islam Yes,
Partai Islam No!” di tahun 1970an, yang ditafsirkan oleh sebagian orang sebagai
mendukung partai-partai nasionalis (non-Islam), dimana ketika itu Golkar juga
memperoleh benefitnya. Tetapi di dekade berikutnya, Cak Nur justru mendukung
PPP, yang notabene adalah Partai Islam, dalam suatu kampanye dengan penyataannya
“memompa Ban Kempis.” Nilai apa yang didukung Cak Nur? Mungkin saja
keseimbangan politik, walaupun pada masa itu dapat dianggap melawan arus yang
mapan. Kesimbangan politik (check and balance) dianggap sebagai nilai etis yang
harus diperjuangkan. Benarkah? Bagaimana HMI harus menempatkan diri dan
berjuang dalam konteks arus pergumulan nilai-nilai etis tentang pemahaman ajaran
Islam atau pemahaman atas kondisi masyarakat. Sebut saja, misalnya, antara sekarang
yang disebut Islam Liberal dan Islam mainstraiming. Antara MUI dan Ahmadiah.
Antara Lia Aminuddin dan Hizbut Thahrir. Antara goyang Rhoma Irama/Camelia
Malik dan Goyang Inoel. Antara jumlah penduduk miskin yang bertambah dan
tersangka koruptor yang sering dibebaskan di sidang pengadilan. Antara kedukaan
murid SD yang bunuh diri karena ketiadaan biaya dan kegembiraan Negara
memabayar utang yang dikorupsi. Dabn lain-lain. Dan lain-lain.

Bagaimana membuat batas antara meningkatkan idealisme perjuangan (high-terrain


politics) dan menghindari politik praktis (low-terrain politics)? Biasanya, ujung
idealisme perjuangan adlah penegakan moral, sedang politik praktis adalah akumulasi
kekuasaaan. Dua hal yang di dunia utopia sebenarnya tidak berbeda. Ketika
kekuasaan diasumsikan benevolent (bijak bestari), maka moralitas merupakan cahaya
penerang (enlightment). Ketika kekuasaan dianggap corrupt, moralitas sering menjadi
trading-house. Mampukah HMI dengan sifat independensinya membedakan kedua hal
tersebut dengan honest, sehingga ia tidak menabarak jalur yang dibuatnya sendiri.
Atau, mungkihkah dalam independensi HMI tersebut sesungguhnya dalam derajat
tertentu terkandung interdependensi? Karena dalam pola hubungan yang semakin
terbuka, modern dan kompleks dewasa ini, hakekat saling mempengaruhi atau saling
ketergantungan tidak dapat dihindari. Dalam model yang lama, independensi yang
pasif menjadi hampir tidak mungkin. Beberapa interpretasi tentang “rangkap jabatan”
dan “pemihakan” diperlukan untuk memahami indepensi HMI yang lebih bersifat
aktif. Ketika HMI “tetap” yang lain semua berubah, maka organisasi ini menjadi
kehilangan konteksnya. Apa yang sesungguhnya diperjuangkan HMI? Dilema etis ini
mungkin dapat dijelaskan dalam kasus dimana seorang ahli jantung harus
memutuskan sorang pasien yang didiagnosa kena “stroke” harus segera doperasi atau
tidak. Secara prosedur, ahli jantung itu harus memperoleh izin dari ahli warisnya. Bila
izin itu, karena sesuatu hal, tidak diperoleh, dan berdasarkan diagnosanya pasien itu
harus segara dioperasi agar jiwanya “terselamatkan,” maka apa keputusannya?
Operasi tanpa izin berhadapan dengan jalur hukum, operasi menunggu izin
berhadapan dengan misi kemanusiaan, penyelamatan jiwa. Pilih mana? Kasus-kasus
pengambilan keputusan di HMI, jelas dipengaruhi oleh sifat independensinya (misi
etis yang aktif) dan interdepensinya (resiko hukum atau sosial-politik lainnya).

Miskinnya jumlah anggota di kampus-kampus besar dan beralihnya mahasiswa baru


ke organisasi yang lebih spesifik seperti LSM atau kelompok gerakan instant
mahasiswa menjadi tantangan organisasi HMI yang makin mapan ini. Pakar
manajemen sering menyebut like the big elephant which cannot dance.. yang mungkin
menjelaskan situasi HMI sekarang, tentang kelemahan suatu oragnisasi yang telah
established, yang besar dan lamban dalam mengambil keputusan. Ketika saya dan
teman PB HMI, dulu, menghadapi kasus Asas Tunggal, HMI masuk ke wilayah yang
amat interdependen atau mungkin dependen.. HMI adalah organisasi mahasiswa
terakhir yang mampu bertahan lama dalam mengambil keputusan, karena dibutuhkan
waktu yang cukup lama (dua tahun) untuk sampai kepada keputusan dan satu tahun
tambahan untuk sampai keputusan itu diakui secara formal (Kongres HMI).
Organisasi-organisasi kemasyarakatan lainnya, sebut saja NU, Muhammadiyah,
bahkan KAHMI, telah masuk terlebih dahulu kepada keinginan politik saat itu,
dengan berbagai interpretasinya masing-masing atas keputusan yang diambil. Begitu
pula organisasi mahasiswa lainnya yang tergabung dalam Kelompok Cipayung.
Munculnya MPO, yang menolak asas Pancasila, adalah resiko yang harus di hadapi
HMI setelah keputusan penerimaan asas Pancasila diambil. Resiko apa pula yang
akan dihadapi HMI bila ternyata HMI menolak asas Pancasila ketika itu? Tentu saja
cerita selanjutnya telah kita pahami bersama. Dilema ets inilah yang dihadapi HMI,
yang bukan hanya menyangkut waktu dan kondisi yang berlaku, tetapi juga
menyangkut harapan dan kecemasan, bukan saja pada angota HMI tetapi bahkan pada
jaringan alumninya. Dengan kondisi yang berubah sekarang ini, apakah sama
derajatnya konflik HMI-MPO dulu dengan “konflik” dua organisasi ini sekarang? Ini
pula yang harus dijawab oleh PB HMI dan PB MPO sekarang.

Kembali ke Perkaderan
Sementara network HMI banyak dipuji kalangan luar, perkaderan HMI justru
mendapat sorotan negatif kalangan alumni HMI dan juga sebagian anggota HMI. Cak
Nur pernah minta HMI dibubarkan karena sistem perkaderan HMI ternyata tidak
mampu menghasilkan alumni yang “insan kamil.” Kasus-kasus korupsi yang
melibatkan beberapa alumni HMI menjadi tema utamanya, walau mungkin koruptor
yang bukan alumni bisa saja lebih banyak lagi. Mungkinkah ia hanya berwacana atau
sekedar memberikan shock terapy bahwa sesuatu harus diperbaiki dalam perkaderan
HMI? Walau pertanyaan-pertanyaan itu bisa saja bersifat educatainment, hasil
perkaderan HMI memang harus diuji oleh outputnya, yaitu alumni HMI. Di banyak
universitas maju, kebanggaan atas universitas itu salah satunya adalah apabila para
alumninya dapat menduduki jabatan-jabatan penentu dengan gaji yang tinggi. Di
dunia politik atau juga birokrasi, memang banyak alumni HMI. Mungkin berikutnya
adalah dunia intelektual, perguruan tinggi dan aktivitas sosial. Di dunia bisnis,
mungkin dapat dihitung dengan jari. Sayang, HMI atau KAHMI tidak memiliki data
yang akurat sehingga kita memperoleh informasi, misalnya, tentang value added dan
produktifitas para alumni secara periodik.
Brand image HMI sebagai organisasi pencetak pemimpin memang memukau. Tetapi
pemimpin apa? Pemimpin yang bagaimana? Mungkinkah kita terlalu berharap banyak
terhadap sistem perkaderan HMI, sementara added value bagi mahasiswa yang
menjadi anggota HMI sulit diukur melalui komptensi maupun karakternya? Berbeda
dengan suatu perguruan tinggi yang relatif memilik data tentang kompetensi awal
mahasiswa yang diterima di perguruan tinggi tersebut sehingga output akhirnya bisa
diukur. Di HMI, mungkin karena karakter voluterisme para angotanya, data seperti itu
memang hampir tidak mungkin dimiliki. Kalau begitu, apa yang mungkin dilakukan?
Inilah pertanyaan dasar bagi PB HMI sekarang, yang bisa saja dijawab melalui
semacam needs simulation para anggota dan masyarakat terhadap HMI. Mirip seperti
menjawab Panglima Besar Sudirman ketika menyatakan bahwa HMI adalah Harapan
Masyarakat Indonesia. Apa itu? Proses selanjutnya adalah proses manajemen
organisasi, yang lazim disebut strategic management atau kadang-kadang disebut juga
sebagai visionary management.

Perkaderan HMI memang harus meluas (widening) dan mendalam (deepening). Dari
bersifat administrative menjadi institutional leadership. Karena keahlian HMI adalah
mencetak pemimpin, maka fokus perkaderan HMI melahirkan pemimpin dari yang
bertumpuk di suatu bidang (politik atau birokrasi) menjadi ke semua bidang
kepemimpinan. Tentu ini tidak mungkin dilakukan oleh PB HMI satu periode saja.
Apabila HMI kembali dengan serius menekuni kegiatan perkaderannya, yang terus-
menerus dimodifikasi sesuai perkembangan kebutuhan, dan tantangan zamannya,
tampaknya kecemasan atas merosotnya mutu perkederan organisasi ini tdak perlu
muncul lagi di masa datang. BIla tidak, bila HMI terlalu terpukau oleh “kebesaran”
networking para alumninya, bila HMI makin terjerumus dengan kegiatan politik
praktis, bila HMI terlalu responsif terhadap situasi yang bersifat current event, maka
organisasi ini secara pasti akan semakin menjadi myopic, minat mahasiswa untuk
menjadi anggotanya semakin minimal dan seterusnya, dan seterusnya. Karena
peristiwa-peristiwa datang dan pergi, kemampuan menagkap essence perubahan,
dengan memahami gejala-gejalanya atau tanda-tandanya, adalah kemampuan yang
telah terbukti diperani oleh HMI selama 61 tahun sejarahnya. Karena itu, peran
sesungguhnya HMI bukanlah lagi sekedar menjaga eksistensi dirinya, tetapi selalu
mencari dan menemukan kembali substansi perannya dalam zaman yang terus
berubah ini. Itulah sesungguhnya tugas utama setiap pengurus HMI, di semua
tingkatannya, seusai sifat independensinya dalam situasi masyarakat dunia yang
makin terinterdependensi.
++++++++++++++++++
(Refleksi kecintaan kader HMI ditengah badai krisis yang
menimpanya)

Oleh : Rano Rahman*


Jauh dari Kalimantan Tengah ini tepatnya di Yogyakarta 5 februari
1947 sebuah organisasi mahasiswa islam di bentuk. Organisasi itu ketika baru
berdiri banyak ditentang orang, dari Liga Mahasiswa Yogyakarta (LMY) yang
komunis sampai Gerakan Pemuda Islam (GPI) organisasi Underbow partai
MASYUMI. Organisasi itu bernama Himpunan Mahasiswa Islam atau lebih
dikenal dengan kependekannya HMI. Entah mengapa organisasi mahasiswa
Islam itu diberi nama Himpunan, saya fikir pasti ada sesuatu dibelakang
namanya. Awal perjalanan gerak organisasi ini sangat mengagumkan paling
tidak 25 tahun perjalanan hidupnya adalah masa sulit penuh tantangan
dimana organisasi ini lulus sejarah.
Sejarah organisasi ini akhirnya sampai ke Bumi Tambun Bungai ini, pada
dekade 60-an ekspansi organisasi HMI mampir Kalteng. Lebih dari dua puluh
periode kepengurusan HMI Cabang Palangkaraya telah terbentuk, tetapi
kondisi HMI semakin lama semakin tak terdengar kabar beritanya, setelah
beberapa kali semarak, beberapa kali dalam keemasan. Aktifitasnya kini
kurang populer dikalangan mahasiswa, terutama dikampus-kampus exellent.
Hingar - bingar aktifitas organisasi HMI tak terdengar lagi, yang ada hanya
hiruk pikuk keangkuhan dalam buai romantisme sejarah, dimana HMI saat
ini ?. Ini berdasarkan dari alumni HMI yang saya temui, saya katakan pada
alumni HMI itu bahwa HMI Cabang Palangkaraya saat ini masih eksis, kami
bikin kegiatan ini dan itu, alumni yadi menyanggah dikatakannya lagi ‘Tapi
tidak seperti jamannya anu…kepengurusan si Anu’, intinya sekarang HMI
banyak kekurangannya. Akhirnya saya hanya menarik napas.
HMI adalah organisasi mahasiswa tapi mengapa saat ini sedikit sekali
mahasiswa yang berminat masuk menjadi anggota HMI ? tidak seperti dulu.
Sekali lagi “tidak seperti dulu” , saya ada jawaban atas hal ini. Diantaranya
disebabkan karena kebanyakan mahasiswa sekarang tidak lagi mengenal
HMI. Statmen saya mungkin dianggap berlebihan tetapi ini adalah realitas
yang telah saya buktikan, tidak percaya silahkan tanya kepada mahasiswa di
UNPAR, ambil saja sampel mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa
Indonesia angkatan 2004 atau jurusan teknik sipil angkatan 2004 tanyakan
langsung atau sebarkan angket tentang apakah mereka mengenal HMI ?
sejauh mana mereka mengenal HMI ? jawaban serempak akan kita dapatkan
bahwa mereka tidak mengenal HMI, organisasi apa itu HMI dimana
kedudukannya, sudah pasti mahasiswa yang baru muncul dikampus lebih
tidak mengenal lagi tentang HMI. Kondisi ini merupakan fenomena atas HMI
saat ini, bukan hanya di UNPAR atau Cabang Palangkaraya kondisi ini bisa
kita jumpai di UGM, Universitas Indonesia bahkan hampir diseluruh tanah
air “Indonesia”. Sebuah kenyataan yang harus kita bicarakan terus menerus
hingga ditemukan jalan keluarnya sehingga eksistensi HMI bukan hanya
ulasan tentang kondisi masa lalu yang gemilang.
Contoh diatas hanya kasus atas mahasiswa lain diluar anggota HMI, ada yang
lebih parah yang menimpa HMI saat ini. Sungguh ironi saat saya
menyelenggarakan up grading kecil kecilan yang dihadiri lima belas anggota
di HMI STAIN Palangkaraya, kasusnya adalah tidak kenalnya anggota HMI
terhadap HMI sendiri, saya berfikir apalagi nilai – nilai yang ditawarkan HMI
(doktrin ideologis HMI ) yang bersumber dari nilai – nilai dasar perjuangan
(NDP) HMI. Soal pertama yang paling mudah adalah siapa pendiri HMI ?
ternyata masih ada yang bingung, soal selanjutnya: apa tujuan HMI?
(tanpa harus merinci tafsirnya) para anggota HMI tersebut masih bingung.
Semakin penasaran saya dibuatnya, kemudian soal selanjutnya adalah apa
sifat, fungsi dan peran HMI, serta bagaimana strukutur hierarkis
kepengurusan HMI ?, para anggota HMI masih ada yang belum tahu, yang
nampak di wajah adik – adik anggota HMI peserta Upgrading Managemen
Organisasi dan Kesekretariatan (MOK) adalah masih adanya ekspresi
kebingungan untuk mencari jawaban. Atau saudara - saudara juga masih
bingung atas jawaban soal – soal saya tadi. Mungkin bagi para senior hal
seperti ini juga merupakan sebuah kasuistik dari sebuah “kisah klasik di
HMI”.
Gerangan apa yang terjadi di tubuh HMI saat ini, potret HMI dimata
anggotanya sendiri tidak utuh ibarat potret separuh badan, atau bahkan secuil
potret badan HMI, mereka atau kita sendiri tak begitu mengenal sisi – sisi
kehidupan himpunan yang kita cintai ini. Ya, semua yang hadir disini adalah
orang – orang yang cinta pada HMI, meski kita tak pernah bilang terus
terang bahwa kita mencintai HMI, tetapi dengan hadirnya abang – abang,
kanda – kanda di forum ini kalau boleh saya menilainya ini merupakan bukti
kecintaan kita pada HMI. (atau kalau perlu mari kita berbisik untuk HMI,
HMI dengar kesungguhanku bahwa karena Allah aku mencintaimu)
Setelah kita bicarakan tentang cinta tadi, ada yang tak boleh terlewatkan
sebelum anda melanjutkan membaca penggalan kegalauan hati ini, saya ingin
bertanya :

Adakah terlintas di kepala kita tentang upaya untuk


menyelamatkan HMI tercinta dari badai krisis yang sedang
menimpanya ?. Sekali lagi mari renungkan bersama, apa yang
harus kita perbuat, caranya, bentuknya seperti apa? agar HMI
dapat diselamatkan dari keadaan yang telah menimpanya ?

Menjadi kewajiban kita untuk mengentaskan HMI dari keterpurukan, karena


kita cinta HMI dan cinta itu perlu pengorbanan untuk membuktikannya.
Terlepas dari segala pengorbanan kita baik kadar maupun jumlah
pengorbanan untuk HMI dimasa lalu, mari kita beranjak dari kondisi yang
tidak menyenangkan ini, kita bangun kebersamaan yang selama ini masih
tercabik, kita satukan pemikiran, kita wujudkan dengan usaha nyata, kita
bangkit lagi, bersama kita bangkit, yakin…yakin…yakin usaha sampai. insya
Allah.
Kita semua adalah generasi muda Islam, generasi milik umat dan bangsa.
Diharapkan posisi kader umat dan bangsa bisa melekat pada kader HMI
termasuk di Cabang Palangkaraya, meski bagi kader HMI gelar itu merupakan
gelar yang berlebihan sebenarnya, karena sampai saat ini masih sedikit kader
HMI yang teguh pendirian atas pengabdiannya untuk umat dan bangsa. Yang
sangat diharapkan dari kader HMI dalam posisinya sebagai kader umat dan
bangsa adalah; setelah lulus dari akademi elit “HMI”, alumni HMI ada
bedanya dengan sarjana lainnya. Sarjana HMI merupakan out put tujuan
HMI, insan didikan HMI adalah insan Ber-Iman, ber-Ilmu dan Ber-Amal
[beramal sebagai wujud pertanggung jawaban atas terwujudnya tatanan
masyarakat yang diridloi oleh Allah Subhanahu Wa ta’ala (Baldatun
Thoyyibatun Warabbun Ghofuur)].

Untuk kita harus sadar sesadar – sadarnya, bahwa kita ber-HMI bukan hanya
untuk rame-rame, sok aktivis, tetapi kita disini adalah belajar dan berjuang.
Hakikat berjuang di HMI bukan setelah menjadi alumni HMI tetapi saat ini
kita juga adalah pejuang, HMI adalah alat perjuangan kita . Organisasi
perjuangan akan terasa perannya bila organisasi itu kuat dan solid.
Bagaimana dan seperti apa jalan untuk menguatkan HMI kembali ? mari kita
jawab dengan pleno ini.

Karena kita telah menyintai HMI maka kita kita harus berjuang dengan HMI,
kita buktikan kecintaan kita dengan ketulusan hati dalam wujud mencipta dan
mengabdi. Kita harus tetap mencintai HMI meski kita tak pernah “katakan
cinta” pada HMI.
Billahitaufiq Walhidayah.
+++++++++++++++++++++++++

Bubarkan Saja HMI, Biar Ramai ?


Redaksi, HMI kini tidak lagi merupakan organisasi yang mampu melahirkan
pembaruan pemikiran seperti yang pernah terjadi dalam sejarah perkembangannya,
terutama pada dasawarsa 1970-an tatkala Nurcholish Madjid (Almarhum) masih eksis
di organisasi ini. Dewasa ini pun HMI sulit untuk dikatakan sebagai organisasi yang
mencerminkan kepemudaan dan kemahasiswaan. Semangat khas yang mencirikan
kepemudaan dan kemahasiswaan sebagai agent of change dan social control tidak lagi
dimiliki organisasi ekstra kampus yang dulu sangat prestisius itu (Suharso: 1997).

Tesis di atas setidaknya bisa dibuktikan dari aktivitas kader HMI yang tidak lagi
merindukan semangat kepemimpinan dan intelektualisme. Di samping itu, secara
internal, sistem kaderisasi HMI tidak mampu dikembangkan secara antisipatif dengan
kebutuhan zamannya. Prestasi kebesaran HMI berhenti pada sekitar tahun 1980-an.
Setelah itu tidak muncul lagi gerakan-gerakan yang mampu merespon zamannya.
Kejayaan masa lalunya malah membuat para aktivisnya yang lahir pasca tahun 1980-
an terpenjara di bawah kebesaran para pendahulunya (Nabil:2008).

Terlebih lagi ketika sebagian alumninya banyak menduduki jabatan-jabatan strategis


di pemerintahan. Keberadaan alumni HMI yang telah mendiaspora ke seluruh lini
kekuasaan membuat para aktivis HMI merasa lebih gampang membangun lobi dan
silaturahmi (bahasa penghalus koneksi dan kolusi). Hal itu bukan tidak berdampak
terhadap keberlangsungan HMI secara organisatoris, tetapi justru merangsang dan
menjebak para aktivis HMI untuk mengikuti jejak seniornya yang dimanjakan oleh
rezim. Menurut Mohammad Nabil kondisi demikian telah merubah orientasi gerakan
HMI yang pada awalnya bergerak di wilayah kutural bergeser ke struktural.
Akibatnya, gaung perjuangan HMI tak lagi terasa. Bahkan term “independen” yang
menjadi identitas HMI di antara organisasi-organisasi lain tidak lagi nampak. Mereka
tidak lagi tertarik dengan suasana intelectual exercises dalam forum-forum kajian atau
mengkaji suatu disiplin ilmu secara serius, tetapi lebih tertarik untuk mencerna teknik-
teknik strategis yang lebih berorientasi struktural. Mereka lebih banyak belajar
bagaimana menikmati kekuasaan, daripada mempertimbangkan konsekuensinya.
Kepentingan politik sesaat menjadi mainstream, entah itu disengaja atau tidak oleh
sebagian besar aktivis HMI. HMI harus menegaskan kembali eksistensinya di
kampus. Pasca reformasi, penguasaan HMI di kampus tampak lemah dan kurang
menjadi “motor penggerak” di ruang intelektual ini. Untuk itu, diperlukan strategi
penguatan gerakan kembali ke kampus, agar HMI tetap mempunyai relevansi peran
dan tidak ditinggalkan mahasiswa sebagai basis massa aktifnya. Penguasaan HMI di
kampus sekarang ini lemah, indikasinya tampak dari minimnya kader HMI dan peran
yang dilakukan di Lembaga Kampus, baik di Eksekutif maupun Legislatif. Termasuk
juga di Lembaga Dakwah Kampus (LDK) serta di berbagai Unit Kegiatan Mahasiswa
(UKM).

Kecenderungan paling kuat, program dan aktivitas HMI sekarang senang beraktivitas
di luar kampus. Misalnya membuat kegiatan yang tidak ada hubungannya dengan
kampus. Termasuk, ketika menggelar diskusi juga tidak di ruang ini (baca: kampus).
Kondisi lemahnya penguasaan HMI di kampus harus disikapi, di tengah era
kebebasan, dan beragamnya berbagai elemen-elemen gerakan mahasiswa, HMI harus
memiliki strategi yang tepat untuk mengambil positioning di tengah-tengah kehidupan
kampus (Syafei: 2008).

HMI harus back to campus, makna HMI back to campus adalah bagaimana program
kerja komisariat maupun Cabang bersinergis terhadap kebutuhan mahasiswa kekinian
kalau HMI tidak mau back to campus, bubarkan saja HMI, biar ramai [] Dodo

Lemahnya gerakan dan tradisi intelektual di atas telah membawa HMI lebih banyak
berorientasi “politis praktis” dengan berbagai ketegangan internalnya. Dari persoalan
internal itulah kemudian independensi HMI mendapat berbagai tantangan dan
tentangan yang cukup kuat, terutama sejak Kongres XVI di Padang tatkala pihak
eksternal organisasi ikut “nimbrung” di dalamnya, yang akhirnya HMI terpecah
menjadi dua, HMI (Dipo) pro rezim orde baru berasaskan Pancasila dan HMI (MPO)
tetap berasas Islam. Walaupun HMI (Dipo) telah kembali keasas Islam, dua HMI
yang pisah “van tapel en bed” ini belum rekonsiliasi, karena keduanya menganggap
paling berhak atas HMI yang diwariskan oleh Lafran Pane ini, “quo vadis HMI (Dipo
dan MPO) ?

Mas Kris
++++++++++++++++++++++++++++++

otokritik himpunan
Sejak berdirinya HMI 14 rabiul awal 1336 H.bertepatan dengan tanggal 5 februari
1947,Himpunan Mahasiswa Islam yang didirikan oleh para Mahasiswa Tingkat
Sekolah Tinggi,baik Sekolah Tinggi Islam maupun Sekolah Tinggi Umum.dengan
pencetus dan pemakrasanya yaitu oleh Lafran Pane agaknya memang HMI satu-
satunya Organisasi Mahasiswa Islam yang Independent.ia lahir tanpa campur tangan
pihak luar maupun di cetuskan oleh mahasiswa itu sendiri, menurut catatan sejarah
yang dimilikinya,organisasinya lahit di ruang kuliah dengan semangat kebangsaan
yang tinggi.kofigurasi politik,sosial,ekonomi,pendidikan,agama dann kebudayaan
bangsa turut memetangkan kelahiran dan keberadaanya di tengah-tengah bangsa.
"Pemahaman tentang Islam ini yang harus dibenahi oleh HMI kedepan. Kaderisasi
HMI harus lebih difokuskan pada pemahaman Islam yang benar. Di akhir zaman ini
umat Islam banyak menghadapi tantangan dan fitnah, terutama fitnah kebodohan yang
menimpa kaum muslimin. Jangan sampai HMI tergerus arus dan hanyut dalam
kebodohan itu.”
Himpunan Mahasiswa Islam atau yang dikenal dengan HMI merupakan
organisasi mahasiswa yang mempunyai sejarah cukup panjang. Ia lahir dari sebuah
keprihatinan atas kondisi bangsa dan umat Islam yang saat itu sangat terpuruk dan
terbelakang dalam segala aspek, baik moral, mental, kemandirian dan intelektualitas.
Oleh karena itu, tujuan didirikannya HMI itu pun tidak lepas dari semangat itu,
yakni untuk melakukan syiar Islam dan memajukan bangsa Indonesia.
DR Agus Salim sitompul salah seorang yang selama ini aktif dalam menulis sejarah
perjuangan HMI mencatat,kondisi Obyektif yang mendorong berdirinya HMI terdiri
dari tiga hak mendasar yaitu:
1.adanya kebutuhan penghayatan keagamaan di kalangan mahasiswa islam yang sedang
menuntut ilmu di peguruan tinggi,yang selam itu yang belum mereka nikmati
sebagaimana mestinya,karena pada umumnya mahasiswa-mahasiswa belum
memahami dan kurang mengamalkan ajaran agamanya,sebagai akibat dari sistem
pendidikan dan kondisi masyarakat kala itu.
2.tuntutan perjuangan kemardekaan bangsa Indonesia,yang ingin melepaskan diri,dan
bebas dari belenggu penjajahan.
3.adanya sekolah tinggi sebagai ajang dan basis yang di jadikan wahana mewujudkan
cita-cita untuk merubah kondisi umat islam terutama bangsa Indonesia itu
sendiri.apalagi secara sosiologis bangsa Indonesia mayoritas berpenduduk
islam.sehingga pemikiran-pemikiran pembaharuan itu akn memperoleh sambutan
positif dari kalangan perguruan tinggi dan mahasiswa sebagai pusat kebudayaan.
HMI yang kini telah berusia lebih dari 61 tahun (5 Februari 2008) dan hampir
mempunyai kader di seluruh perguruan tinggi di Indonesia dan kader-kadernya
tersebar di seluruh nusantara tidak besar dan eksis seperti saat ini. Awal berdirinya
HMI penuh dengan dinamika dan tantangan yang cukup hebat. Terutama masa-masa
awal kemerdekaan, di mana HMI vis a vis langsung dengan kaum penjajah.
Pada fase berikutnya HMI juga mengahadapi tantangan dari dalam, yakni pada
masa pemerintah Orde Lama. Sebagaimana kita ketahui bahwa saat itu pemerintahan
Soekarno begitu kuat dan didukung penuh oleh kekuatan Partai Komunis Indonesia
(PKI). Sehingga PKI pada saat itu dengan berbagai cara berupaya untuk
membubarkan HMI. Tetapi alhamdulillah Allah melindungi sehingga Orde Lama
Soekarno berpihak kepada HMI dan HMI tidak jadi dibubarkan.
Di masa Orde Baru, gerakan-gerakan yang mengarah pada pengkerdilan
eksistensi dan perjuangan HMI juga sering terjadi, baik yang direncanakan maupun
yang tidak. Gerakan yang dampaknya paling terasa hingga kini adalah ketika
pemerintah Orde Baru Soeharto memberlakukan asas tunggal Pancasila bagi seluruh
organisasi kemasyarakatan dan kepemudaan (kemahasiswaan).
Tak pelak kebijakan tersebut membuat HMI berada di persimpangan jalan antara
kelompok yang ingin terus mempertahankan asas Islam dengan kelompok yang ingin
menggunakan asas Pancasila.
Memandang keberadaan HMI pada ghalibnya adalah organisasi
perjuangan.karena sejak awal ia tumbuh sebagai wadah pembinaan dan
pengembangan kader umat islam dan kader muda bangsa ini.HMI bisa sebagai
cerminan yang menjadi harapan bangsa dan masyarakat Indonesia,selama puluhan
tahun keberadaanya HMI tak pernah surut menempatkan dirinya,sebagai organisasi
mahasiswa kader,organisasi kader dan perjuangan yang mampu tampil sebagai ovent
garde
Semangat pembaharuan yang terpelihara di setiap jiwa kadernya dan HMI bisa di
katakan sebagai pelopor dan bukan pengekor,organisasi perjuangan HMI sebagai
forum pembinaan dan pengembangan kader umat islam dan bangsa
Indonesia.sekaligus teguh pendirian,sebagai bagian dari masa depan umat dan bangsa.
Nyaris pasca Nurcholish Madjid, Ahmad Wahib, Kuntowijoyo, Mukti Ali, dan
beberapa generasi setelahnya, HMI mandul dalam melahirkan pemikir muslim
berwawasan kebangsaan. Spirit kebangsaan HMI lebih kuat disalurkan dalam gerakan
politik daripada kerja-kerja intelektual. Mimpi menjadi intelektual digerus oleh hasrat
untuk menjadi politisi.
Dalam perjalanannya pada usia 61 tahun, Islam-kebangsaan yang menjadi tonggak
spirit perjuangan HMI harus direnungkan kembali oleh kader-kader HMI yang
berkecimpung saat ini.
Diposkan oleh ARI WIBOWO di 20:48

Anda mungkin juga menyukai