Anda di halaman 1dari 5

PERKEMBANGAN MASYARAKAT MADANI DI INDONESIA

MATA KULIAH
DASAR DAN TEORI PENDIDIKAN HUKUM

NAMA DOSEN
DR. RIA SAFITRI M.HUM

Oleh :
Muhamad Iqbal

PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN


SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
(STKIP) ARRAHMANIYAH DEPOK
2020
Masyarakat Madani adalah masyarakat yang beradab dalam membangun, menjalani,
dan memaknai kehidupannya. Istilah Masyarakat Madani diperkenalkan oleh mantan wakil
perdana meteri Malaysia yakni Anwar Ibrahim. Menurut Anwar Ibrahim, arti masyarakat
madani adalah sistem sosial yang subur berdasarkan prinsip moral yang menjamin
keseimbangan antara kebebasan individu dengan kestabilan masyarakat. Masyarakat Madani
adalah kelembagaan sosial yang melindungi warga negara dari perwujudkan kekuasaan negara
yang berlebihan. Masyarakat Madani merupakan tiang utama dalam kehidupan politik
berdemokratis. Wajib bagi setiap Masyarakat Madani yang tidak hanya melindungi warga
negara dalam berhadapan dengan negara, namun Masyarakat Madani juga dapat merumuskan
dan menyuarakan aspirasi masyarakat.
Indonesia memiliki tradisi kuat civil society (masyarakat madani). Bahkan jauh
sebelum negara bangsa berdiri, masyarakat sipil telah berkembang pesat yang diwakili oleh
kiprah beragam organisasi sosial keagamaan dan perangkat nasional dalam perjuangan merebut
kemerdekaan. Selain berperan sebagai organisasi perjuangan penegakan HAM dan perlawanan
terhadap kekuasaan colonial, organisasi berbasis islam, seperti Syarikat Islam (SI), Nahdlatul
Ulama (NU), dan Muhammadiyah, telah menunjukkan kiprahnya sebagai komponem civil
society yang penting dalam sejarah perkembangan masyarakat sipil di Indonesia. Sifat
kemandirian dan kesukarelaan para pengurus dan anggota organisasi tersebut merupakan
karakter khas dari sejarah Masyarakat Madani di Indonesia.
Berkembangnya masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus
pelanggaran HAM dan pengekangan kebebasan berpendapat. Sejak zaman orde lama dengan
rezim demokrasi terpimpin Soekarno sudah terjadi manipulasi peran serta masyarakat untuk
kepentingan politis dan terhegemoni sebagai alat legitimasi politik. Sampai masa orde baru pun
pengekangan demokrasi dan penindasan HAM tersebut kian terbuka seakan menjadi tontonan
gratis yang bisa dinikmati oleh siapapun bahkan untuk segala usia. Seperti contoh
pembungkaman lembaga pers dan pengambilan hak tanah oleh penguasa dengan alasan
pembangunan yang sebenarnya hanya bersifat semu. Melihat itu semua, maka secara esensial
Indonesia memang membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat secara
komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik serta mampu
menjunjung tinggi HAM, maka diperlukan pengembangan masyarakat madani.
Apabila di telusuri, Sebenarnya di Indonesia telah lahir masyarakat madani sejak
zaman kolonial, bahkan sejak awal abad 20 ini, jika konsep masyarakat madani mulai banyak
konsep organisasi kemasyarakatan aatu organisasi sosial, politik dan kebudayaan secra
independen dan mengimbangi peran negara. Munculnya istilah masyarakat madani berawal
dari gagasan Datuk Anwar Ibrahim dalam ceramahnya pada 26 September 1995 di festival
Istiqlal. Istilah itu diadopsi dari hasil pemikiran An-Naquib Al-Attas, yang kemudian mendapat
legitimasi dari beberapa pakar di Indonesia.
Pada saat pemerintahan Presiden Habibie terbentuklah satu tim, dengan Keputusan
Presiden Republik Indonesia, Nomor 198 tahun 1998, tentang Pembentukan Tim Nasional
Reformasi menuju Masyarakat Madani. Tim tersebut diberi tugas untuk membahas masalah-
masalah pokok yang harus disiapkan untuk membangun Masyarakat Madani Indonesia, yaitu
diantaranya: pertama, menghimpun pemikiran tentang transformasi ekonomi, politik, hukum,
sosial dan budaya serta perkiraan dampak globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan bangsa.
Kedua, merumuskan rekomendasi serta pemikiran tentang upaya untuk mendorong
transformasi bangsa menuju masyarakat madani.
Masyarakat madani sukar tumbuh dan berkembang pada Orde Baru karena adanya
sentralisasi kekuasaan melalui korporatisme dan birokratisasi di hampir seluruh aspek
kehidupan, terutama terbentuknya organisasi-organisasi kemasyarakatan dan profesi dalam
wadah tunggal, seperti MUI, KNPI, PWI, SPSI, HKTI, dan sebagainya. Organisasi-organisasi
tersebut tidak memiliki kemandirian dalam pemilihan pemimpin maupun penyusunan
program-programnya, sehingga mereka tidak memiliki kekuatan kontrol terhadap
jalannya roda pemerintahan. Kebijakan ini juga berlaku terhadap masyarakat politik (political
societies), sehingga partai-partai politik pun tidak berdaya melakukan kontrol terhadap
pemerintah dan tawar-menawar dengannya dalam menyampaikan aspirasi rakyat. Hanya
beberapa organisasi keagamaan yang memiliki basis sosial besar yang agak memiliki
kemandirian dan kekuatan dalam mempresentasikan diri sebagai unsur dari masyarakat
madani, seperti Nahdlatul Ulama (NU) yang dimotori oleh KH Abdurrahman Wahid dan
Muhammadiyah dengan motor Prof. Dr. Amien Rais. Pemerintah sulit untuk melakukan
intervensi dalam pemilihan pimpinan organisasi keagamaan tersebut karena mereka memiliki
otoritas dalam pemahaman ajaran Islam. Pengaruh politik tokoh dan organisasi keagamaan ini
bahkan lebih besar daripada partai-partai politik yang ada. Era Reformasi yang melindas rezim
Soeharto (1966-1998) dan menampilkan Wakil Presiden Habibie sebagai presiden dalam masa
transisi telah mempopulerkan konsep masyarakat madani karena presiden beserta kabinetnya
selalu melontarkan diskursus tentang konsep itu pada berbagai kesempatan. Bahkan, Habibie
mengeluarkan Keppres No 198 Tahun 1998 tanggal 27 Februari 1999 untuk membentuk suatu
lembaga dengan tugas untuk merumuskan dan mensosialisasikan konsep masyarakat madani
itu. Konsep masyarakat madani dikembangkan untuk menggantikan paradigma lama yang
menekankan pada stabilitas dan keamanan yang terbukti sudah tidak cocok lagi. Soeharto
terpaksa harus turun tahta pada tanggal 21 Mei 1998 oleh tekanan dari gerakan Reformasi yang
sudah bosan dengan pemerintahan militer Soeharto yang otoriter. Gerakan Reformasi didukung
oleh negara-negara Barat yang menggulirkan konsep civil society dengan tema pokok Hak
Asasi Manusia (HAM).
Presiden Habibie mendapat dukungan dari ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia), suatu bentuk pressure group dari kalangan Islam, dimana ia duduk sebagai Ketua
Umumnya. Terbentuknya ICMI merupakan suatu keberhasilan umat Islam dalam mendekati
kekuasaan karena sebelumnya pemerintah sangat phobi terhadap Islam politik. Hal itu terjadi
karena ada perantara Habibie yang sangat dekat dengan Soeharto. Dengan demikian,
pengembangan konsep masyarakat madani merupakan salah satu cara dari kelompok ICMI
untuk merebut pengaruh dalam Pemilu 1997. Kemudian konsep masyarakat madani mendapat
dukungan luas dari para politisi, akademisi, agamawan, dan media massa karena mereka semua
merasa berkepentingan untuk menyelamatkan gerakan Reformasi yang hendak menegakkan
prinsip-prinsip demokrasi, supremasi hukum, dan HAM. Mantan Menteri Agama H. Alamsyah
Ratu Prawiranegara (1978-1983), tetapi didasarkan pada aspek saling mengerti (Hidayat dan
Gaus, 1998: xiv). Oleh karena itu, Gus Dur sangat mendukung dialong antaragama/antarimam,
bahkan ia ikut memprakarsai berdirinya suatu lembaga yang bernama Interfidie, yaitu suatu
lembaga yang dibentuk dengan tujuan untuk memupuk saling pengertian antaragama. Gus Dur,
seperti kelompok Tradisionalis lainnya, tidak memandang orang berdasarkan agama tapi lebih
pada pribadi, visi, kesederhanaan, dan ketulusannya untuk pengabdian pada sesama.
Terpilihnya Gus Dur sebagai presiden sebenarnya menyiratkan sebuah problem tentang
prospek masyarakat madani di kalangan NU karena NU yang dulu menjadi komunitas non-
negara dan selalu menjadi kekuatan penyeimbang, kini telah menjadi "negara" itu sendiri. Hal
tersebut memerlukan identikasi tentang peran apa yang akan dilakukan dan bagaimana NU
memposisikan diri dalam konstelasi politik nasional. Seperti yang telah dijelaskan pada bagian
awal bahwa timbulnya civil society pada abad ke-18 dimaksudkan untuk mencegah lahirnya
negara otoriter, maka NU harus memerankan fungsi komplemen terhadap tugas negara, yaitu
membantu tugas negara ataupun melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh negara,
misalnya pengembangan pesantren (Rumadi, 1999: 3). Sementara, Gus Dur harus mendukung
terciptanya negara yang demokratis supaya memungkinkan berkembangnya masyarakat
madani, dimana negara hanya berperan sebagai 'polisi' yang menjaga lalu lintas kehidupan
beragama dengan rambu-rambu Pancasila (Wahid, 1991: 164).
Dilihat dari sejarahnya civil society yang lahir di Eropa pada abad ke-18 dengan tokohnya John
Locke atau Montesquieu bertujuan untuk menghindari pemerintahan yang absolut. Dan
Indonesia telah meniru model Amerika, dimana negara mempunyai posisi yang lemah vis--vis
masyarakat. Hal itu bertentangan dengan prinsip keseimbangan dalam Islam dan sejarah
masyarakat Madinah bentukan Nabi Muhammad SAW. Realitas juga menunjukkan kalau
negara yang demokratis tidak dapat dilakukan sendiri oleh masyarkat madani, tetapi harus ada
keinginan politik juga dari pemerintah karena banyak karakteristik dari demokrasi yang
memang menjadi kewajiban negara modern. Dengan demikian, diharapkan pemerintah dan
MPR/DPR saling menjaga keseimbangan untuk menegakkan hukum yang sehat dan
demokrasi. Masyarakat juga harus mengontrol kinerja pemerintah dan para wakilnya, agar
tidak bertentangan dengan kehendak masyarakat madani. Baik menjadi anggota masyarakat
madani maupun perangkat negara hendaknya dapat mewujudkan demokras

Daftar Pustaka
Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi HAM dan Masyarakat
Madani, Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2003
Hujair AH. Sanaky, Paradikma Pendidikan Islam Membangun Masyarakat Madani
Indonesia,Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2003

Anda mungkin juga menyukai