Demokrasi liberal merupakan sebutan lain dari sistem demokrasi parlementer yang pernah
berlaku di Indonesia. Sistem ini dijalankan di Indonesia pada tahun 1950-1959.
Periode demokrasi liberal dimulai setelah Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), dari semula bernama Republik Indonesia Serikat (RIS).
Pembentukan RIS berdasarkan persetujuan di Konferensi Meja Bundar yang kemudian
dibatalkan secara sepihak oleh pemerintah Indonesia.
Salah satu Indonesianis yang meneliti perkembangan politik Indonesia pada dekade 1950-
an, yakni Herbet Feith, menyebut demokrasi liberal sebagai demokrasi konstitusional. Dalam
bukunya, The Wilopo Cabinet, 1952-1953: A Turning Point in Post-Revolutionary Indonesia
(2007), Feith menyebutkan sistem demokrasi di Indonesia pada era 1950-1959
menitikberatkan kepada berjalannya sistem politik yang didominiasi oleh sipil.
Selain itu, Feith juga menyimpulkan, demokrasi liberal sebagai periode yang penuh dengan
harapan-harapan baru untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik di berbagai bidang.
Namun, Feith membenarkan anggapan bahwa di masa tersebut, stabilitas politik Indonesia
belum kokoh.
Maka itu, ia sewaktu-waktu dapat dijatuhkan oleh wakil-wakil partai dalam parlemen. Dalam
sistem parlementer, presiden hanya menjadi lambang kesatuan saja. Penerapan sistem ini
pada dasarnya bertujuan untuk mengakomodir kebebasan berpendapat dari rakyat yang
diwakili oleh partai di parlemen.
Akan tetapi, dalam perjalannya sistem ini seolah menjadi buah simalakama, karena
kebebasan berpendapat yang bertujuan mewujudkan kestabilan politik tidak sesuai dengan
kenyataan. Saat itu, situasi politik tidak stabil sebab sering kali terjadi pergantian kabinet
yang begitu cepat.
Salah satu sebabnya adalah perbedaan kepentingan di antara partai-partai yang ada.
Perbedaan di antara partai-partai tersebut tidak pernah dapat terselesaikan dengan baik
sehingga dari tahun 1950 sampai tahun 1959 terjadi pergantian kabinet sebanyak tujuh kali.
Menurut Abdurakhman, dkk dalam Sejarah Indonesia Kelas 12 (2018:66), sistem kepartaian
di Indonesia pada era demokrasi liberal ialah sistem multipartai. Pembentukan banyak
partai, menurut Mohammad Hatta, bertujuan buat mengukur kekuatan perjuangan Indonesia
dan untuk mempermudah meminta tanggung jawab kepada pemimpin-pemimpin barisan
perjuangan. Akan tetapi, partai-partai politik kala itu gemar saling bersaing dengan cara
mencari kesalahan dan menjatuhkan.
Akibatnya, pada era ini sering terjadi pergantian pemerintahan. Saat banyak kabinet tidak
berumur panjang, program-programnya tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini
kemudian menyebabkan terjadinya ketidakstabilan, baik di bidang politik, sosial, ekonomi,
hingga keamanan. Meski demikian, pada masa demokrasi liberal, pernah berlangsung
pemilu pertama di Indonesia, yakni pada tahun 1955. Pemilu yang diikuti oleh 29 partai
politik, dan digelar untuk memilih anggota DPR serta Dewan Konstituante ini, disebut-sebut
sebagai pemilihan umum paling demokratis dalam sejarah Indonesia.
PERKEMBANGAN POLITIK
MASA DEMOKRASI LIBERAL
Disusun Oleh :
1. AULIA ZAHWA SEPTIANI
2. SELVI SUSILAWATI
3. ARIL LESMANA
4. MUHAMAD ROIHAN
Kelas : XII – IPS 3