Anda di halaman 1dari 5

Latar Belakang Munculnya New Public Management.

Selama ini, birokrasi erat dikaitkan dengan manajemen sektor publik


itu sendiri. Birokrasi dianggap erat berkait dengan keengganan maju,
kompleksitas hirarki jabatan dan tugas, serta mekanisme pembuatan
keputusan yang top-down. Juga, birokrasi dituduh telah menjauhkan diri dari
harapan publik. Hal ini karena adanya ketidakpuasan pelayanan dalam
sektor publik ketika OPA (old Public Administration) . Perkembangan
administrasi publik satunya ketidak puasan masyarakat terhadap sektor
publik. Pendekatan NPM atas manajemen publik bangkit selaku kritik atas
birokrasi.
Ketidakpuasan ini muncul sebagai reaksi dari tidak produktifitasnya
sektor publik. Karena pada 70-an locus administrasi publik berkembang dari
yang awalnya efektif kemudian menjadi kualitas kemudian produktifitas dan
kemudian menjadi inovasi.Pada 70-an esensi kajian adalah produktifitas
namun kenyataannya terjadi pemusatan pada pemerintah. Lemahnya
inovasi, ketika swasta sudah mencapai kreatifitas dan inovasi pemerintah
masih dalam tahap efektif sehingga masih terbelakang dan belum dapat
mengikuti swasta. Lemahnya sektor publik dalam memberikan layanan
sehingga lamban dan tidak sensitif terhadap keinginan masyarakat.
Lemahnya tercapainya tujuan sektor publik.
Pada akhir tahun 1980an dan awal tahun 1990an kita melihat
munculnya suatu pendekatan manajemen baru di sektor publik sebagai
respon atas ketidakberhasilan model administrasi tradisional
Menurut Owen E.Hughes (1994), ada 6 alasan munculnya paradigma Public
Management yaitu :
1. Administrasi publik tradisional telah gagal mencapai tujuanynya secara efektif dan efisien
sehingga perlu diubah menuju ke orientasi yang lebih memusatkan perhatian pada pencapaian
hasil(kinerja) dan akuntabilitas;
2. Adanya dorongan yang kuat untuk mengganti tipe birokrasi klasik yang kaku menuju ke
kondisi organisasi public, kepegawaian, dan pekerjaan yang lebih luwes;
3. Perlunya menetapkan tujuan organisasi da pribadi secara jelas dan juga perlu ditetapkan alat
ukur keberhasilan kinerja lewat indicator kinerja;
4. Perlunya para pegawai senior lebih punya komitmen politik pada pemerintah yang sedang
berkuasa daripada bersikap netral atau non partisan;
5. Fungsi-fungsi yang dijalankan pemerintah hendaknya lebih disesuaikan dengan tuntutan dan
signal pasar; dan
6. adanya kecenderungan untuk mereduksi peran dan fungsi pemerintah dengan melakukan
kontrak kerja dengan pihak lain (contracting out) dan privatisasi.
Keenam alasan tersebut di atas, ditambahkan oleh Martin Minogue (2000) dengan
menyebut adanya 3 tekanan yang menyebabkan perlu adanya perubahan paradigma menuju ke
Public management yaitu:
1. Semakin membesarnya anggaran pemerintah
2. Rendahnya mutu kinerja pemerintah
3. Adanya nilai ideologi yang bersifat konfiktif terhadap perubahan paradigma pemerintahan

Penerapan New Public Management di Indonesia.


New Public Management terutama diterapkan tidak hanya di Negara-
negara dengan level kemakmuran tinggi seperti Inggris, Swedia, ataupun
Selandia Baru, tetapi juga di Negara-negara dengan tingkat kondisi yang
setara Indonesia seperti India, Thailand ataupun Jamaika. Penerapan New
Public Management di Indonesia dapat dilihat dari penerapan beberapa
karakteristik-karakteristiknya didalam praktek-praktek yang tengah
dijalankan oleh instansi-instansi pemerintahan di Indonesia. Terlepas dari
kedua instansi pemerintahan tersebut, dalam ranah yang lebih luas, New
Public Management ini telah dicoba diterapkan juga pada Pemerintahan
Daerah, yaitu sejalan dengan penerapan otonomi daerah di Indonesia muali
tahun 2004. Bisa dikatakan, bahwa penerapan New Public Management ini
memberikan dampak positif dalam beberapa hal., misalnya peningkatan
efisiensi dan produktifitas kinerja pemerintah daerah, yang pada akhirnya
mampu meningkatakan kualitas pelayanan publik. Hal ini dapat dipahami
melalui salah astu karakteristik New Public Management menurut
Christopher Hood, yaitu menciptakan persaingan disektor publik. Sehingga
apa yang dikatakan oleh pemerintah daerah adalah berusaha bersaing untuk
memberikan pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, dan pada
gilirannya, publiklah yang diuntungkan dalam upaya ini.
New Public Management atau Manajemen Berbasis Kinerja di Indonesia
sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1999 dengan dikeluarkannya Instruksi
Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah. Melaksanakan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah
merupakan wujud pertanggungjawaban instansi pemerintah dalam mencapai
misi dan tujuan organisasi dalam pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan.
Dalam perkembangannya, sampai sekarang pelaksanaan New Public
Management pada organisasi pemerintahan di Indonesia menunjukkan
perkembangan yang positif, yang berpengaruh pada peningkatan kinerja
pemerintah.
New Public Management sangat relevan dapat diterapkan di Indonesia pasca reformasi
apabila hasil yang diharapan adalah; terjadinya desentralisasi supaya unit pelaksana dapat
bertindak sebagai pusat pelayanan; meningkatnya efisiensi administratif melalui
penyelenggaraan pelayanan publik secara kompetitif; terjadinya alokasi anggaran berdasarkan
output (pelayanan, penegakkan hukum dan hasil/outcomes) bukan berdasarkan input (personalia
dan perlengkapan); terjadinya desentralisasi pengambilan keputusan supaya lebih responsif
terhadap kebutuhan masyarakat; meningkatnya kinerja dan efektifitas biaya; memperlakukan
individu sebagai customer, baik internal dari sesama instansi pemerintah atau eksternal dari
anggota masyarakat sehingga pelayanan publik dapat berjalan dengan prima. Pendakatan New
Public Managementvb ini berhasil diterapkan di beberapa negara, di antaranya di Amerika
Serikat, Selandia Baru, Malaysia, Singapura dan paling berhasil adalah di Korea Selatan. Sejak
tahun 2007, Indonesia mulai meluncurkan gerakan reformasi birokrasi yang diinisiasi oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yaitu dengan mendorong peningkatan pelayanan publik
pada Kementerian Keuangan, Mahkamah Agung dan Badan Pemeriksa Keuangan. Hasilnya di
ketiga instansi yang menjadi pilot project tersebut terjadi peningkatan pelayanan publik dan yang
paling terlihat adalah pelayanan pajak, bea cukai dan pelayanan pengadilan. Pada tahun 2008
secara formal pemerintah memulai melaksanakan reformasi birokrasi dengan ditandai
peluncuran buku Panduan reformasi Birokrasi Nasional yang dikeluarkan oleh Kementerian
Pendayagunaan Aparatur Negara. Pada tahun 2010 kebijakan reformasi birokrasi mengalami
pembaharuan dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden tentang pembentukan Komite
Pengarah Reformasi Birokrasi Nasional (KPRBN) dan Peraturan Presiden tahun 2010 tentang
Grand Desain Reformasi Birokrasi 2010-2025. Program utama dalam reformasi birokrasi yang
ada di dalam GDRB secara garis besar adalah; penataan kelembagaan, penataan sistem kerja atau
tatalaksana, dan peningkatan kualitas sumberdaya aparatur. Hasil yang diharapkan adalah
efisiensi anggaran dan peningkatan kualitas pelayanan publik.
Namun demikian, pendekatan reformasi birokrasi yang saat ini dijalankan oleh
pemerintah pelaksanaanya tidak semudah seperti yang diharapkan. Selain komitmen pemerintah
terlihat kurang kuat, pendekatan yang dilakukan cenderung prosedural dan lebih berorientasi
internal. Oleh karena itu, potensi kegagalan pelaksanaan reformasi birokrasi masih cukup besar.
Kalau dibandingkan dengan pendekatan New Public Management, maka pelaksanaan reformasi
birokrasi masih cenderung fokus pada prosedur dari pada pada hasil; belum tercipta persaingan
pemberian pelayanan masyarakat mengingat pelayanan masyarakat masih didominasi oleh
birokrasi; masyarakat/publik belum menjadi obyek pelayanan tetapi masih menjadi korban
pelayanan; pelayan publik masih belum berdaya karena harus mengikuti kebijakan dan prosedur
yang berbelit; dan belum tumbuhnya budaya yang kreatif dan inovatif di kalangan pelayan
publik.

KESIMPULAN
Indonesia adalah salah satu negara berkembang yang menggunakan model new public
management dalam pelayanan kepada masyarakat.
Konsep New Public Management tidak dapat berjalan dengan baik apabila di dalam
internal masyarakat pun masih banyak penyimpangan yang dilakukan demi meraup keuntungan
semata. Swastanisasi yang berlebihan juga pada akhirnya akan menekan biaya hidup masyarakat,
karena tujuan yang money oriented.
Ke depan, masyarakat semakin sadar akan hak-haknya sebagai warga negara yang harus
dipenuhi oleh negara. Dinamika lingkungan semakin kompleks dan persaingan akan semakin
ketat. Apabila praktik-praktik pelayanan publik di Indonesia masih seperti saat ini, dan tidak
berusaha untuk bertransformasi, maka tingkat competitiveness Indonesia dengan negara-negara
di dunia, bahkan di kawasan ASEAN akan semakin menurun. Saat ini, dibandingkan dengan
Malaysia dan Singapura, maka Indonesia sudah jauh tertinggal. Bahkan dengan Vietnam dan
Laos sudah bisa dikatakan mulai disusul. Demokrasi dan desentralisasi seharusnya menjadi
momentum emas bagi Indonesia untuk memberikan pelayanan yang lebih baik demi
menyejahterakan warga negaranya, bukan justru menjadi momentum untuk bertengkar,
mengekploitasi kekayaan negara dan menyalahgunakan kekuasaan, seperti yang terjadi saat ini.

Anda mungkin juga menyukai