Budaya populer (dikenal juga sebagai budaya pop) adalah totalitas ide, perspektif, perilaku, meme[1], citra,
dan fenomena lainnya yang dipilih oleh konsensus informal di dalam arus utama sebuah budaya, khususnya
oleh budaya Barat di awal hingga pertengahan abad ke-20 dan arus utama global yang muncul pada akhir
abad ke-20 dan awal abad ke-21. Dengan pengaruh besar dari media massa, kumpulan ide ini menembus
kehidupan sehari-hari masyarakat.
Budaya populer dipandang sebagai sesuatu yang sepele dalam rangka mencari penerimaan konsensual
melalui yang arus utama. Akibatnya, budaya populer muncul dari balik kritisisme sengit dari berbagai sumber
nonarus utama (khususnya kelompok-kelompok agama dan kelompok kontra budaya) yang menganggapnya
sebagai superfisial, konsumeris, sensasionalis, dan rusak.
Istilah "budaya populer" muncul pada abad ke-19 atau lebih awal [2] untuk merujuk pada pendidikan
dan "culturedness" pada kelas bawah. Istilah tersebut mulai menganggap pengertian budaya kelas bawah
terpisah (dan terkadang bertentangan dengan) "pendidikan sejati" menuju akhir abad, penggunaan yang
kemudian menjadi mapan ketika periode antar perang. Pengertian saat ini atas istilah tersebut, budaya untuk
konsumsi massa, khususnya bermula di Amerika Serikat, digunakan pada akhir Perang Dunia II. Bentuk
singkatnya "budaya pop" berawal dari tahun 1960-an. [3]
Hal inilah yang dinamakan budaya populer atau lebih dikenal sebagai budaya
pop saja yaitu budaya yang banyak diminati oleh masyarakat tanpa ada
batasan geografis.
Budaya pop saat ini tidak hanya menjadi dominasi budaya Barat, Asia pun
juga mulai menunjukkan taringnya dengan menjadi pengekspor budaya pop.
Selain Jepang, Korea pun mulai menunjukkan taringnya sebagai negara
pengekspor budaya pop melalui tayangan hiburannya dan menjadi saingan
berat bagi Amerika dan negara-negara Eropa.
Berbeda dengan budaya pop Jepang yang penikmatnya didominasi anak-
anak dan remaja, budaya pop Korea ternyata mampu menjangkau segala
usia, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa sekalipun menjadi
penikmat budaya pop Korea. Menurut Kim Song Hwan, seorang pengelola
sindikat siaran televisi Korea Selatan, produk budaya Korea berhasil
menjerat hati penggemar di semua kalangan terutama di Asia disebabkan
teknik pemasaran Asian Values-Hollywood Style. Artinya, mereka mengemas
nilai-nilai Asia yang dipasarkan dengan gaya modern. Istilah ini mengacu
pada cerita-cerita yang dikemas bernuansakan kehidupan Asia, namun
pemasarannya memakai cara internasional dengan mengedepankan
penjualan nama seorang bintang atau menjual style.
Globalisasi budaya pop Korea atau yang lebih dikenal dengan Korean Wave
(Hallyu) ini berhasil mempengaruhi kehidupan masyarakat dunia. Korea
pada abad 21 dapat dikatakan berhasil menyaingi Hollywood dan Bollywood
dalam melebarkan sayap budayanya ke dunia internasional. Berbagai produk
budaya Korea mulai dari drama, film, lagu, fashion, hingga produk-produk
industri menghiasi ranah kehidupan masyarakat di berbagai belahan dunia.
Di tengah arus globalisasi dan modernisasi yang semakin memudarkan nilai-
nilai budaya tradisional, tayangan Korea secara konsisten menampilkan
nilai-nilai budaya Korea dan Asia, seperti sopan santun, penghormatan pada
orang tua, pengabdian pada keluarga, nilai kolektivitas atau kebersamaan,
serta nilai kesakralan cinta dan pernikahan. Nilai-nilai ini ditampilkan secara
unik dalam situasi kehidupan sehari-hari masyarakat Korea modern yang
telah mengalami kemajuan teknologi dan ekonomi yang pesat. Korea
Selatan yang pada satu dasawarsa lalu tidak berpengaruh dalam bidang
industri budaya populer dan bahkan berposisi marginal dalam bidang
tersebut, kini telah berhasil menjadi salah satu negara cultural exporter di
Asia. Korea telah menjadi sebuah negara dengan industri budaya yang kuat,
mampu mengekspor produk-produk budaya populernya ke luar negeri dan
menyebarkan pengaruh kultural.
Tidak bisa dipungkiri, media menjadi pelaku utama globalisasi budaya.
“Radio, television, film, and the other products of media culture provide
materials out of which we forge our very identities; our sense of selfhood;
our notion of what it means to be male or female; our sense of class, of
ethnicity and race, of nationality, of sexuality; and of “us” and “them.” Media
images help shape our view of the world and our deepest values: what we
consider good or bad, positive or negative, moral or evil.“ Kehidupan
masyarakat di awal abad ke-21 diwarnai dengan beragam cara manusia
menerima dan menggunakan teknologi. Salah satu bentuk teknologi yang
mewarnai kehidupan manusia di masa sekarang adalah bentuk-bentuk
beragam alat yang dapat menjaring komunikasi antarmanusia di seluruh
dunia yaitu media massa.
Kehadiran media massa sangat erat kaitannya dengan penyebaran budaya,
karena melalui media massa lah orang-orang kreatif punya tempat yang
tepat. Media massa dapat memperkaya masyarakat dengan menyebarkan
karya kreatif dari manusia seperti karya sastra, musik, dan film.
Pertumbuhan budaya pop yang diproduksi secara massif untuk pasar massal
dan dipublikasikan melalui media massa ini berarti memberi ruang yang
makin sempit bagi segala jenis kebudayaan yang tidak dapat menghasilkan
uang alias yang tidak dapat diproduksi secara massa. Media massa
mempunyai peranan penting dalam menyosialisasikan nilai-nilai tertentu
dalam masyarakat. Hal ini tampak dalam salah satu fungsi yang dijalankan
media massa, yaitu fungsi transmisi, dimana media massa digunakan
sebagai alat untuk mengirim warisan sosial seperti budaya. Melalui fungsi
transmisi, media dapat mewariskan norma dan nilai tertentu dari suatu
masyarakat ke masyarakat lain.
Menurut Dominic, sebagai konsekuensi dari fungsi transmisi ini, media
massa mempunyai kemampuan untuk menjalankan peran ideologis dengan
menampilkan nilai-nilai tertentu sehingga menjadi nilai yang dominan.
Fungsi ini dikenal sebagai fungsi sosialisasi yang merujuk pada cara orang
mengdopsi perilaku dan nilai dari sebuah kelompok. Budaya pop Korea yang
marak di Indonesia pada mulanya ditujukan untuk menyaingi impor budaya
luar ke dalam Korea serta menambah pendapatan ekonomi negara, namun
karena pasar Asia ternyata potensial sejalan dengan pertumbuhan ekonomi
negara-negara di Asia, maka penyebaran budaya pop Korea ini menjadi
sarana untuk melanggengkan perekonomian Korea. Dengan semakin
banyaknya penikmat budaya pop Korea, maka akan memberikan dampak
yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di Korea sendiri. Hal inilah
yang dimanfaatkan berbagai pihak yang berkepentingan (utamanya kaum
bisnis) untuk memproduksi budaya pop Korea secara massal di berbagai
wilayah Asia termasuk Indonesia.
Penyebaran budaya pop Korea yang begitu pesat merupakan andil besar dari
para pemegang modal dan pemerintah Korea sendiri. Para pemegang modal
membiayai produksi missal tayangan hiburan Korea dan memudahkan dalam
penyebarluasannya. Sementara pemerintah sendiri mendukung dengan
pemberian bantuan modal bagi produksi tayangan tersebut. Hal ini dilakukan
untuk melanggengkan ideologi Korea melalui tayangan hiburan agar Korea
dapat dengan mudah diterima di mata dunia.
Dampak Media terhadap Lifestyle
Setiap manusia itu unik, maka gaya hidup mereka pun unik. Gaya hidup
dipahami sebagai tata cara hidup yang mencerminkan nilai dan sikap dari
seseorang. Gaya hidup merupakan adaptasi aktif individu terhadap kondisi
sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan untuk menyatu dan bersosialisasi
dengan orang lain. Cara berpakaian, konsumsi makanan, cara kerja, dan
bagaimana individu mengisi kesehariannya merupakan unsur-unsur yang
membentuk gaya hidup.
Ketika suatu gaya hidup menyebar kepada banyak orang dan menjadi mode
yang diikuti, pemahaman terhadap gaya hidup sebagai satu keunikan tidak
memadai lagi digunakan. Gaya hidup bukan lagi semata tata cara atau
kebiasaan pribadi dan unik dari individu, tetapi menjadi sesuatu yang
populer diadopsi oleh sekelompok orang. Sifat unik tak lagi dipertahankan.
Istilah gaya hidup, baik dari sudut pandang individual maupun kolektif
mengandung pengertian bahwa gaya hidup mencakup sekumpulan
kebiasaan, pandangan, dan pola respons terhadap hidup, serta terutama
perlengkapan untuk hidup.
Gaya hidup tentu tidak lepas dari konsumerisme. Dengan menjalankan gaya
hidup, berarti kita telah mengkonsumsi produk-produk yang menunjang
gaya hidup atau sering disebut gaya hidup konsumeristis. “The system of
needs is the product of the system of production.“ Dalam konstruksi gaya
hidup konsumerisme penggemar budaya pop Korea, keberadaan komunitas
menjadi vital. Komunitas penggemar budaya pop Korea dapat dilihat sebagai
sub-kultur. Mereka memiliki serangkaian nilai dan praktik budaya ekslusif
bersama, yang berada di luar masyarakat dominan. Para penggemar budaya
pop Korea memiliki gaya bicara yang khas dengan campuran-campuran
Korea yang biasa digunakan dalam tayangan-tayangan Korea yang mereka
konsumsi. Selain itu, mereka juga mengadopsi fashion ala Korea. Tidak
ketinggalan pula pemilihan produk baik makanan, kosmetik, maupun gadget
mengacu pada merek yang digunakan para ikon budaya pop Korea.
Industri budaya pop Korea takkan seperti sekarang jika bukan karena ada
serta eksisnya basis penggemar aktor, aktris, boyband, atau girlband Korea.
Dalam waktu singkat telah terjaring ratusan, ribuan, bahkan jutaan
penggemar. Komunitas penggemar kemudian membentuk sub-kultur
mandiri dan membuat industri budaya pop Korea tetap hidup sampai
sekarang dan menjadi sebuah sub-kultur yang hadir secara global. Peran
media massa dalam hal ini tentu sangat besar sebagai transmitter of values
atau penyebaran nilai-nilai, dalam hal ini penyebaran nilai-nilai yang ada
pada tayangan-tayangan Korea yang kemudian diadopsi oleh khalayak
penggemar. Hal ini juga sejalan dengan teori difusi inovasi yang diutamakan
bagi negara berkembang seperti Indonesia. Difusi berkaitan erat dengan
penyebaran pesan-pesan sebagai ide baru dimana difusi sebagai proses
dimana suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam
jangka waktu tertentu diantara para anggota-anggota suatu sistem sosial,
dalam hal ini komunitas penggemar tayangan Korea atau dikenal dengan
sebutan Korean Lovers.
Pada dasarnya, media memegang peranan penting dalam penyebaran
budaya K-Pop yang mengglobal beberapa tahun terakhir ini. Namun perlu
diingat bahwa media bukanlah penentu atau sumber utama dari perubahan
sosial dan budaya. Media secara bersama dengan latar belakang sejarah
seseorang sedikit banyak menjadi sumber kedua untuk pembentukan
gagasan-gagasan masyarakat. Hasil interaksi antara media dan perubahan
sosial dan budaya sangat bervariasi, tidak bisa diprediksi, dan sangat
berbeda antara satu keadaan dengan keadaan lainnya.
Virus K-Pop = Globalisasi Budaya?
Globalisasi secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan berkembangnya
teknologi komunikasi melalui media massa. Kontak budaya tidak perlu
melalui kontak fisik karena kontak melalui media telah memungkinkan
sehingga tidak mengherankan bila globalisasi berjalan dengan cepat dan
massal. Globalisasi budaya yang terus berkembang dan menelusup ke
segala lingkup kehidupan kemudian memunculkan istilah baru yaitu global
pop culture dimana budaya trend dalam suatu wilayah dipopulerkan dengan
bantuan teknologi hingga ke taraf dunia atau lingkup global.
Global pop culture ( film, musik, pakaian dan sebagainya) mengusung nilai-
nilai ideologi dari negara asalnya yang mungkin saja jauh berbeda dari
negara yang terkena imbas budaya pop. Budaya pop membuat mereka
terlena akan hiburan yang ditawarkan. Transfer nilai budaya melalui hiburan
ini mampu menciptakan kesamaan selera terhadap budaya pop tertentu
yang dapat mengancam eksistensi budaya dan identitas masyarakat lokal.
Semakin sering kita ditawarkan produk budaya pop tersebut, kita semakin
tidak sadar bahwa hal tersebut bukanlah budaya dan identitas kita,
sebaliknya, kita menganggap ini sebagai bagian dari keseharian kita. Norma,
nilai dan gaya hidup kemudian diadaptasi dari hasil mengonsumsi budaya
pop tersebut dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kita sehingga
menyebabkan kita kehilangan karakteristik.
Melihat begitu besarnya peran gobalisasi memporak-porandakan batas-batas
geografis, bahkan mampu menghilangkan identitas, tetap saja kita tidak
boleh semena-mena menghakimi secara negatif kehadiran globalisasi di
tengah arus modernitas. Menurut para penganut globalis, globalisasi hanya
sebagai pemicu yang mampu memperkecil budaya lintas teritorial agar lebih
mudah untuk dipahami dan diakses. Walaupun globalisasi dianggap sebagai
ancaman oleh sebagian besar orang, lantas tidak menjadikannya sebagai
alasan utama ketika kehadirannya menimbulkan bermacam-macam
kesempatan yang baik bagi individu dan masyarakat luas seperti:
kesempatan ekonomi, wawasan lebih luas, kesempatan untuk keluar dari
feodalisme, dan membukan diri terhadap nilai-nilai modernitas. Selain itu,
globalisasi mampu menghasilkan masyarakat dunia yang toleran dan
bertanggung jawab.
Tidak hanya berhenti sampai di situ, pertumbuhan industri film di Korea juga
tidak bisa lepas dari peran pemerintah Korea sendiri. Di samping
memberlakukan kuota tayang (minimal 106 hari per-tahun untuk film
domestik), pemerintah Korea melakukan revitalisasi industri film domestik
sejak tahun 1973 melalui Komisi Film Korea (KOFIC).
Semakin populernya budaya pop Korea memiliki implikasi lebih dari sekadar
mendapakan devisa asing, terutama bila kita mengingat bahwa negara ini
memiliki beberapa sejarah diplomatik buruk dengan negara-negara
tetangganya dalam beberapa dekade terakhir. Orang-orang Vietnam
mungkin masih teringat bahwa tentara Korea berperang melawan tentara
kemerdekaan mereka selama Perang Vietnam. Orang-orang Taiwan juga
mungkin masih merasa dikhianati oleh Korea sejak Seoul tiba-tiba
memutuskan hubungan diplomatik dengan Taipei pada saat membangun
hubungan baru dengan Beijing pada tahun 1992. Dalam hal ini, budaya pop
Korea telah memberikan kontribusi untuk meningkatkan hubungan luar
negeri serta cultural diplomacy Korea.