Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH HUBUNGAN MEDIA DAN BUDAYA

Disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah Media dan Budaya

.
GAUDENSIA DELLA BILA
43120026

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA KUPANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur saya haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan
karunia-Nya,saya dapat menyelesaikan makalah dengan judul "Jurnalistik Investigasi"ini.
makalah ini dibuat demi memenuhi nilai Ujian Akhir Semester yang dibimbing oleh dosen
Mikhael Rajamuda Bataona.

Tidak lupa saya berterima kasih kepada siapapun yang secara langsung maupun tidak
langsung turut ambil bagian dalam proses pengerjaan makalah ini, mulai dari dosen
pengampu,orang tua dan teman-teman.

Saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang terdapat dalam penulisan makalah
ini. Untuk itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar menjadi
perbaikan dalam penulisan makalah saya kedepannya.

Akhirnya, saya berharap agar makalah ini dapat berguna untuk para pembaca dan bagi diri saya
sendiri.

Kupang, 06 Desember 2022


BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Budaya adalah bentuk praktek sosial dimana pemaknaan terproduksi, tersikulasi dan terganti.
Budaya adalah aspek sosial yang berkaitan dengan pemaknaan. Budaya dalam society,
bersanding dengan aspek sosial lainnya seperti aspek ekonomi, pendidikan, hukum, pemerintah
dan lainnya. Masyarakat yang hidup tanpa aspek ekonomi bisa disebut dengan kemiskinan atau
jika masyarakat itu hidup tanpa aspek pendidikan disebut masyarakat yang akrab dengan
kebodohan, tapi membayangkan sebuah masyarakat tanpa budaya adalahsesuatu yang mustahil.
Hakekat manusia selalu melakukan pemaknaan menjadikan budaya sebagai dasar kehidupan
masyarakat bahkan menyentuh aspek sosial lainnya. Praktik pemaknaan juga berlangsung di
setiap aspek kehidupan sosial masyarakat, oleh karena itu ada istilah budaya ekonomi atau
budaya hukum.

Media adalah alat komunikasi massa yang terbagi ke dalam dua bagian besar yaitu media cetak
(statis) dan media audio-visual (dinamis). Yang termasuk ke dalam kelompok media statis adalah
bahan-bahan cetak (print) seperti buku, poster, selebaran dan sebagainya. Sedangkan media
audio-visual yang bersifatdinamis dilengkapi dengan teknologi canggih, seperti televisi dan film.
Namun media audio-visual tidak selalu harus berteknologi seperti teater, sirkus, tari-tarian,
wayang dan sebagainya. Budaya tersajikan lewat Budaya Media.

Budaya media bisa ditemukan dalam bentuk images, suara dan tontonan yang memproduksi
struktur kehidupan sehari-hari, mendominasi waktu luang seseorang, membentuk pandangan
politik dan prilaku sosial juga menyediakan material bagi bahan pembentukan identitas. Budaya
media merupakan sarana konstruksi seseorang akan kesadaran kelas,etnik, ras, kebangsaan
seksuality juga istilah kita dan mereka. Budaya mediaadalah industri kebudayaan,
diorganisasikan dalam model produksi massa yang digolongkan kepada type-type atau genre,
dengan formula, kode-kode dan aturantertentu (Kellner, 2003:1). Budaya media terkandung
dalam film, tiap tontonan yang disajikan tv nasional maupun tv berbayar internasional, radio,
musik juga bentuk-bentuk budaya media lainnya.

Budaya Media merupakan medan berlangsungnya kontes reproduksiideologi atau hanya sekedar
makna dan penanamannya kepada khalayak, jadi bukan hanya sebuah instrumen dominasi
(Kellner, 2003:102). Yang inginditemukan pada pengkajian kritis akan sebuah budaya media
adalah ideologi yangtertanam di dalamnya dengan melihat konteks sosial masyarakat yang luas
danterbagi atas kekuatan-kekuatan tertentu. Ada kelompok dominan yang selalu berhasil
menggiring opini karena mereka mayoritas dan memiliki sumber daya, juga kelompok lainnya
yang berjuang dengan ideologi mereka termasuk kelompok resistensi yang mencoba melawan
kekuatan dominasi.
B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian Budaya Media?

2. Apa pengertian Budaya Rakyat (Folklore)?

3. Apa pengertian Budaya Elite?

4. Apa pengertian Budaya Populer (popular culture) ?

5. Bagaimana karakteristik Budaya Populer (popular culture) ?

6. Apa pengertian Budaya Massa (Mass Culture)?

7. Bagaimana karakteristik Budaya Massa (Mass Culture)?

C. Tujuan Pembahasan Masalah

1. Menjelaskan budaya media.

2. Menjelaskan budaya rakyat

3. Menjelaskan budaya elite

4. Menjelaskan budaya populer

5. Menjelaskan karakteristik budaya populer.

6. Menjelaskan budaya massa

7. Menjelaskan karakteristik budaya massa


BAB II

PEMBAHASAN

A. Budaya Media

Salah satu pengertian budaya media adalah suatu kondisi proses kebudayaan di mana dialektika
dari berbagai unsur budaya dalam membentuk sosok mapan sementara dari suatu kebudayaan
melibatkan banyak interaksi media. Artinya : Kebudayaan tidaklah merupakan produk akhir
yang mantap selama-lamanya. Ia senantiasa dibentuk dalam kondisi tesis-antitesis antara
berbagai unsur budaya.

Dalam masyarakat tradisional (dengan penyangga ekonomi pertanian) istilah ‘budaya media’
punya arti tersendiri. Masyarakat etnik dengan latar pertanian tradisi pada perkembangan
dialektiknya mencapai ‘sosok budaya ‘ (sistem pertanian, kekerabatan,sistem budaya) melalui
wahana media yang erat dengan ritual/upacara. Upacara-upacara tersebut mempunyai makna
yang khas sebagai ‘media’ karena berfungsi menyampaikan informasi.

Budaya media bisa ditemukan dalam bentuk images, suara dan tontonan yang memproduksi
struktur kehidupan sehari hari, mendominasi waktu luang seseorang, membentuk pandangan
politik dan prilaku sosial juga menyediakan material bagi bahan pembentukan identitas. Budaya
media merupakan sarana konstruksi seseorang akan kesadaran kelas,etnik, ras, kebangsaan
seksuality juga istilah kita dan mereka. Budaya mediaadalah industri kebudayaan,
diorganisasikan dalam model produksi massa yang digolongkan kepada type-type atau genre,
dengan formula, kode-kode dan aturantertentu (Kellner, 2003:1). Budaya media terkandung
dalam film, tiap tontonan yang disajikan tv nasional maupun tv berbayar internasional, radio,
musik juga bentuk-bentuk budaya media lainnya.

Budaya Media merupakan medan berlangsungnya kontes reproduksiideologi atau hanya sekedar
makna dan penanamannya kepada khalayak, jadi bukan hanya sebuah instrumen dominasi
(Kellner, 2003:102). Yang inginditemukan pada pengkajian kritis akan sebuah budaya media
adalah ideologi yangtertanam di dalamnya dengan melihat konteks sosial masyarakat yang luas
danterbagi atas kekuatan-kekuatan tertentu. Ada kelompok dominan yang selalu berhasil
menggiring opini karena mereka mayoritas dan memiliki sumber daya, juga kelompok lainnya
yang berjuang dengan ideologi mereka termasuk kelompok resistensi yang mencoba melawan
kekuatan dominasi.

B. Budaya Rakyat (Folklore)

Folklor sering diidentikkan dengan tradisi dan kesenian yang berkembang pada zaman sejarah
dan telah menyatu dalam kehidupan masyarakat. Di dalam masyarakat Indonesia, setiap daerah,
kelompok, etnis, suku, bangsa, golongan agama masing-masing telah mengembangkan
folklornya sendiri-sendiri sehingga di Indonesia terdapat aneka ragam folklore. Folklor ialah
kebudayaan manusia (kolektif) yang diwariskan secara turun-temurun, baik dalam bentuk lisan
maupun gerak isyarat.Dapat juga diartikan Folklor adalah adat-istiadat tradisonal dan cerita
rakyat yang diwariskan secara turun-temurun, dan tidak dibukukan merupakan kebudayaan
kolektif yang tersebar dan diwariskan turun menurun.

Kata folklor merupakan pengindonesiaan dari bahasa Inggris. Kata tersebut merupakan kata
majemuk yang berasal dari dua kata dasar yaitu folk dan lore. Menurut Alan Dundes kata folk
berarti sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga
dapat dibedakan dari kelompok-kelompok sosial lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain,
berupa warna kulit, bentuk rambut, mata pencaharian, bahasa, taraf pendidikan, dan agama yang
sama. Namun, yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yaitu
kebudayaan yang telah mereka warisi secara turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang telah
mereka akui sebagai milik bersama. Selain itu, yang paling penting adalah bahwa mereka
memiliki kesadaran akan identitas kelompok mereka sendiri. Kata lore merupakan tradisi dari
folk, yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan secara lisan atau melalui suatu contoh yang
disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device). Dengan
demikian, pengertian folklor adalah bagian dari kebudayaan yang disebarkan dan diwariskan
secara tradisional, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat
atau alat pembantu pengingat.

Ciri-ciri folklore

Agar dapat membedakan antara folklor dengan kebudayaan lainnya, harus diketahui ciri-ciri
utama folklor. Folklor memiliki ciri-ciri sebagai berikut.

(a) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yaitu melalui tutur kata dari
mulut ke mulut dari satu generasi ke generasi selanjutnya.

(b) Bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar.

(c) Berkembang dalam versi yang berbeda-beda. Hal ini disebabkan penyebarannya secara lisan
sehingga folklor mudah mengalami perubahan. Akan tetapi, bentuk dasarnya tetap bertahan.

(d) Bersifat anonim, artinya pembuatnya sudah tidak diketahui lagi orangnya.

(e) Biasanya mempunyai bentuk berpola. Kata-kata pembukanya misalnya. Menurut sahibil
hikayat (menurut yang empunya cerita) atau dalam bahasa Jawa misalnya dimulai dengan
kalimat anuju sawijing dina (pada suatu hari).

(f) Mempunyai manfaat dalam kehidupan kolektif. Cerita rakyat misalnya berguna sebagai alat
pendidikan, pelipur lara, protes sosial, dan cerminan keinginan terpendam.
(g) Bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum.
Ciri ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan.

(h) Menjadi milik bersama (colective) dari masyarakat tertentu.

(i) Pada umumnya bersifat lugu atau polos sehingga seringkali kelihatannya kasar atau terlalu
sopan. Hal itu disebabkan banyak folklor merupakan proyeksi (cerminan) emosi manusia yang
jujur.

Jenis-jenis Folklor

Jan Harold Brunvand, seorang ahli folklor Amerika Serikat, membagi folklor ke dalam tiga
kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu folklor lisan, sebagian lisan, dan bukan lisan.

a. Folklor Lisan

Folklor jenis ini dikenal juga sebagai fakta mental (mentifact) yang meliputi sebagai berikut:

(1) bahasa rakyat seperti logat bahasa (dialek), slang, bahasa tabu, otomatis;

(2) ungkapan tradisional seperti peribahasa dan sindiran;

(3) pertanyaan tradisonal yang dikenal sebagai teka-teki;

(4) sajak dan puisi rakyat, seperti pantun dan syair;

(5) cerita prosa rakyat, cerita prosa rakyat dapat dibagi ke dalam tiga golongan besar, yaitu: mite
(myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale), seperti Malin Kundang dari Sumatra Barat,
Sangkuriang dari Jawa Barat, Roro Jonggrang dari Jawa Tengah, dan Jaya Prana serta Layonsari
dari Bali;

(6) nyanyian rakyat, seperti “Jali-Jali” dari Betawi.

Folklor sebagian Lisan

Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial (sosiofact), meliputi sebagai berikut:

(1) kepercayaan dan takhayul;

(2) permainan dan hiburan rakyat setempat;

(3) teater rakyat, seperti lenong, ketoprak, dan ludruk;


(4) tari rakyat, seperti tayuban, doger, jaran, kepang, dan ngibing, ronggeng;

(5) adat kebiasaan, seperti pesta selamatan, dan khitanan;

(6) upacara tradisional seperti tingkeban, turun tanah, dan temu manten;

(7) pesta rakyat tradisional seperti bersih desa dan meruwat.

Folklor Bukan Lisan

Folklor ini juga dikenal sebagai artefak meliputi sebagai berikut:

(1) arsitektur bangunan rumah yang tradisional, seperti Joglo di Jawa, Rumah Gadang di
Minangkabau, Rumah Betang di Kalimantan, dan Honay di Papua;

(2) seni kerajinan tangan tradisional,

(3) pakaian tradisional;

(4) obat-obatan rakyat;

(5) alat-alat musik tradisional;

(6) peralatan dan senjata yang khas tradisional;

(7) makanan dan minuman khas daerah.

Fungsi Folklor

Adapun fungsi folklor, yaitu sebagai berikut:

a. Sebagai sistem proyeksi, yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif.

b. Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan.

c. Sebagai alat pendidik anak.

d. Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi
anggota kolektifnya.

Sebagaimana telah dikemukakan, manusia praaksara telah memiliki kesadaran sejarah. Salah
satu cara kita untuk melacak bagaimana kesadaran sejarah yang mereka miliki ialah dengan
melihat bentuk folklor. Bentuk

folklor yang berkaitan dengan kesadaran sejarah adalah cerita prosa rakyat. Termasuk prosa
rakyat antara lain mite atau mitologi dan legenda.
C. Budaya Elite

Pengertian kebudayaan elite menyangkut pengetahuan, model-model, skema-skema, pola pikir


(kognisi), blueprint, dan nilai-nilai yang membentuk perilaku manusia dalam suatu masyarakat/
komunitas.

D. Budaya Populer (Popular Culture)

Istilah “budaya pop“ (popular culture) dalam bahasa sepanyol dan portugis secara harfiah berarti
“kebudayaan dari rakyat” (de la gente , del pueblo ; da gente , de povo ). Pop , dalam pengertian
ini , tidak berarti tersebar luas , arus utama , dominan atau secara komersial sukses. Dalam
bahasa dan kebudayaan Latin kata ini lebih banyak mengacu pada ide bahwa kebudayaan
berkembang dari kreatifitas orang kebanyakan. Budaya pop berasal dari rakyat ; budaya pop
bukan diberikan kepada mereka. Perspektif ini menjebol pembedaan antara produsen dan
konsumen artifak budaya , antara industri kebudayaan dan konteks penerimaan . Kita semua
memproduksi budaya pop . Membangun kebudayaan pop merupakan pelaksanaan kekuasaan
budaya .

Teoretikus kajian budaya John Fiske (1989) menjelaskan hubungan antar budaya pop dan
kekuasaan budaya ketika dia membahas bagaimana artifak-artifak yang mencakup mulai dari
blue jeans hingga Madonna diintrepatisikan bermacam-macam dan digunakan secara taktis oleh
para pencintanya lewat cara-cara yang sesuai dengan kepentingan mereka. Tetapi Fiske
membawa masalah ini satu langkah lebih lanjut yang kontroversial. Dia berargumen bahwa
budaya pop tak pernah dominan karena “budaya pop selalu terbentuk dalam hubungan dengan –
dan tak pernah sebagai bagian dari-kekuatan-kekuatan yang mendominasi” (hlm. 43).

Proses membuat budaya, menurut Fiske, merupakan perjuangan kelas. Bertentangan dengan
kritik yang sering diajukan orang bahwa budaya pop tak lain dari –eksoploitasi komersial yang
kapitalistik atau “budaya massa”, Fiske berpendapat bahwa pop tercipta sebagai hasil perlawanan
terhadap dan pengelakan dari kekuatan-kekuatan ideologis dan budaya dominan. “kesenangan –
kesenangan pop pasti selalu merupakan kesenangan-kesenangan kaum tertindas; kesenangan-
kesenangan itu pasti mengandung unsur-unsur oposisi, mengelak, skandal, menghina, vulgar,
dan menentang. Kesenangan-kesenangan yang ditawarkan oleh konfromitas ideologis sifatnya
patuh dan hegemonis; dan jelas bukanlah kesenangan pop dan bertentangan dengannya”
(hlm.127)

Budaya populer merupakan bentuk budaya yang lebih mengedepankan sisi pupularitas dan
kedangkalan makna atau nilai-nilai. Menurut Ray B. Brownie budaya populer adalah budaya
yang ada di dunia ini, disekeliling mita yang meliputi sikap kita, perilaku, tindakan, makanan,
pakaian, bangunan, jalan perjalanan, hiburan, olah raga, politik, aktivitas serta bentuk dan cara
mengontrolnya. Misalnya HP, jaringan sosial dan lain-lain.

Budaya ini lahir karena adanya hemegoni media masa dalam ruang-ruang budaya publik. Budaya
populer berkembang diluar control budaya tinggi. Ide-ide budaya populer lahir dari segala
budaya baik budaya rendah ataupun budaya tinggi.

Jadi, budaya pop memberdayakan. Media massa menyumbang pada proses itu dengan
mendistribusikan sumber-sumber budaya kepada individu yang tertindas dan kelompok-
kelompok bawah untuk kemudian oleh mereka demi mengembangkan taktik-taktik perlawanan
terhadap strategi-strategi pengepungan hegemonial. Salah satu contoh paling tajam mengenai hal
ini yang dikemukakan Fiske adalah bagaimana orang-orang muda pribumi Australia (aborigin)
yang menonton film-film koboi TV Amerika bersimpati pada orang-orang Indian dan
“menyemangati mereka ketika mereka menyerang kereta wagon atau rumah, dan membunuh
orang-orang lelaki putih membawa lari perempuan-perempuan kulit putih” (hlm. 25)

1. Kelahiran Budaya Populer

Budaya populer (sering juga dikenal sebagai budaya pop) merupakan kumpulan gagasan-
gagasan, perspektif-perspektif, sikap-sikap, dan fenomena-fenomena lain yang dianggap sebagai
sebuah kesepakatan atau konsensus informal dalam sebuah kebudayaan arus utama pada akhir
abad kedua puluh hingga abad kedua puluh satu. Budaya popuper ini banyak dipengaruhi oleh
media massa dan ia mempengaruhi kehidupan masyarakat sehari-hari. Istilah “budaya populer”
sendiri berasal dari abad ke sembilan belas, yang penggunaan awalnya merujuk kepada
pendidikan dan kebudayaan dari kelas-kelas masyarakat yang lebih rendah. Istilah tersebut
kemudian mengandung arti sebuah kebudayaan dari kelas-kelas masyarakat yang lebih rendah,
yang berbeda dari dan bertentangan dengan “pendidikan yang sebenarnya” yang ada pada akhir
abad tersebut. Makna istilah tersebut saat ini, yaitu budaya konsumsi massa, secara khusus
berasal dari Amerika Serikat, yang muncul pada akhir perang dunia kedua. Sedangkan istilah
yang lebih singkat “pop culture” muncul pada tahun 1960-an. Istilah ini juga sering disebut
sebagai budaya massa dan sering dikontraskan dengan budaya tinggi (misalnya, musik klasik,
lukisan bermutu, novel sastra, dan yang sejenis lainnya).

Menurut Dominic Strinati, budaya populer atau budaya massa berkembang, terutama sejak
dasawarsa 1920-an dan 1930-an, bisa dipandang sebagai salah satu sumber historis dari tema-
tema maupun perspektif-perspektif yang berkenaan dengan budaya populer. Perkembangan ini
ditandai dengan munculnya sinema dan radio, produksi massal dan konsumsi kebudayaan,
bangkitnya fasisme dan kematangan demokrasi liberal di sejumlah negara Barat. Budaya populer
pertama kali dipersoalkan oleh Mazhab Frankfurt. Mazhab ini didirikan pada tahun 1923. Para
pendirinya pada umumnya merupakan para intelektual Yahudi, bangsa Jerman sayap kiri yang
berasal dari kelas atas dan menengah masyarakat Jerman. Fungsi mazhab ini adalah untuk
pengembangan teori dan penelitian kritis. Kegiatan ini melibatkan karya intelektual yang
bertujuan mengungkapkan kontradiksi-kontradiksi sosial yang melatarbelakangi lahirnya
masyarakat kapitalis pada masa itu maupun kerangka-kerangka ideologis umum untuk
membangun sebuah kritik teoritis terhadap kapitalisme modern. Dari sekian banyak kaum
intelektual menonjol yang kadang-kadang dikaitkan dengan mazhab tersebut, di antaranya yang
paling penting adalah Adorno (1903-1970), Horkheimer (1895-1973) dan Marcuse. Budaya
populer diangkat menjadi persoalan dalam mazhab ini karena budaya populer bertentangan
dengan semangat pencerahan, misalnya: individu melebur dalam massa, dan rasionalitas dalam
kenikmatan. Mazhab ini melihat massa sebagai yang dibuat bodoh oleh “industri budaya”
kapitalis.

2. Karakteristik Budaya Populer

a) Relativisme

Budaya populer merelatifkan segala sesuatu sehingga tidak ada yang mutlak benar maupun
mutlak salah, termasuk juga tidak ada batasan apapun yang mutlak, misalnya: batasan antara
budaya tinggi dan budaya rendah (tidak ada standar mutlak dalam bidang seni dan moralitas.).

b) Pragmatisme

Budaya populer menerima apa saja yang bermanfaat tanpa memperdulikan benar atau salah hal
yang diterima tersebut. Semua hal diukur dari hasilnya atau manfaatnya, bukan dari benar atau
salahnya. Hal ini sesuai dengan dampak budaya populer yang mendorong orang-orang untuk
malas berpikir kritis sebagai akibat dari dampak budaya hiburan yang ditawarkannya. Kita dapat
melihat kecenderungan ini dari semakin banyaknya diterbitkan buku-buku yang bersifat
pragmatis praktis (buku-buku mengenai how to atau buku-buku self-help) atau majalah-majalah
yang berisi tips-tips praktis mengenai berbagai hal praktis.

c) Sekulerisme

Budaya populer mendorong penyebarluasan sekularisme sehingga agama tidak lagi begitu
dipentingkan karena agama tidak relevan dan tidak menjawab kebutuhan hidup manusia pada
masa ini. Hal yang terutama adalah hidup hanya untuk saat ini (here and now), tanpa harus
memikirkan masa lalu dan masa depan.

d) Hedonisme

Budaya populer lebih banyak berfokus kepada emosi dan pemuasannya daripada intelek. Yang
harus menjadi tujuan hidup adalah bersenang-senang dan menikmati hidup, sehingga
memuaskan segala keinginan hati dan hawa nafsu. Hal seperti ini menyebabkan munculnya
budaya hasrat yang mengikis budaya malu. Para artis dengan mudah mempertontonkan auratnya
sebagai bahan tontonan. Seks yang kudus dan hanya boleh dilakukan dalam konteks pernikahan
dipertontonkan secara ‘murahan’ dalam film-film dengan tujuan untuk menghibur. Bahkan bisnis
yang berbau pornografi merupakan sebuah bisnis yang mendapatkan penghasilan yang besar.
Diperkirakan sekitar 12, 7 milyar dolar Amerika dihasilkan oleh industri hiburan dewasa yang
berbau pornografi (termasuk di dalamnya majalah playboy, penthouse, mainan seks (sex toy),
dan industri pornografi di internet). Banyak industri yang menjadikan seks sebagai obat mujarab
bagi sukses industri mereka, misalnya: majalah bisnis atau majalah popular yang gambar
sampulnya adalah wanita telanjang, sebuah pameran mobil mewah yang pemandunya adalah
seorang promo-girl yang seksi, sebuah iklan kopi yang presenternya seorang model-girl yang
aduhai. Hal-hal ini merupakan salah satu strategi visual yang sering digunakan untuk
memberikan provokasi dan efek-efek psikologis yang instan, yang biasanya berkaitan dengan
gejolak hasrat dan libido.

e) Materialisme

Budaya populer semakin mendorong paham materialisme yang sudah banyak dipegang oleh
orang-orang modern sehingga manusia semakin memuja kekayaan materi, dan segala sesuatu
diukur berdasarkan hal itu. Budaya populer atau budaya McWorld sebenarnya menawarkan
budaya pemujaan uang, hal ini dapat kita lihat dengan larisnya buku-buku self-help yang
membahas mengenai bagaimana menjadi orang sukses dan kaya.

f) Popularitas

Budaya populer mempengaruhi banyak orang dari setiap sub-budaya, tanpa dibatasi latar
belakang etnik, keagamaan, status sosial, usia, tingkat pendidikan, dan sebagainya. Budaya
populer mempengaruhi hampir semua orang, khususnya orang-orang muda dan remaja, hampir
di semua bagian dunia, khususnya di negara-negara yang berkembang dan negara-negara maju.

g) Kontemporer

Budaya populer merupakan sebuah kebudayaan yang menawarkan nilai-nilai yang bersifat
sementara, kontemporer, tidak stabil, yang terus berubah dan berganti (sesuai tuntutan pasar dan
arus zaman). Hal ini dapat dilihat dari lagu-lagu pop yang beredar, termasuk lagu-lagu pop
rohani yang terus berubah dan berganti.

h) Kedangkalan

Kedangkalan (disebut juga banalisme) ini dapat dilihat misalnya dengan muncul dan
berkembangnya teknologi memberikan kemudahan hidup, tetapi manusia menjadi kehilangan
makna hidup (karena kemudahan tersebut), pertemanan dalam Friendster maupun Facebook
adalah pertemanan yang semu dan hanya sebatas ngobrol (chatting), tanpa dapat menangis dan
berjuang bersama sebagaimana layaknya seorang sahabat yang sesungguhnya. Kedangkalan atau
banalisme ini juga terlihat dari semakin banyak orang yang tidak mau berpikir, merenung,
berefleksi, dan bersikap kritis. Sifat-sifat seperti keseriusan, autentisitas, realisme, kedalaman
intelektual, dan narasi yang kuat cenderung diabaikan. Hal ini menimbulkan kecenderungan
bahan atau budaya yang buruk akan menyingkirkan bahan atau budaya yang baik, karena lebih
mudah dipahami dan dinikmati. Akan muncul generasi yang ‘tidak mau pakai otak secara
maksimal’.

Kedangkalan juga dapat dilihat dalam seni, misalnya: koor gereja yang suci yang dulu hanya
diperdengarkan di katedral-katedral, sekarang dapat disimpan di dalam bentuk pita rekaman yang
dibunyikan kembali di kamar tidur sebagai lagu pengantar tidur. Demikian juga lukisan unik
yang dahulu direnungkan secara khimat dan devosional sekarang dapat diperbanyak secara
mekanis menjadi foto-foto yang dapat digantung di dinding mana pun. Kita dapat melihat
contoh-contoh lainnya seperti koran yang dulu penuh dengan berita luar negeri dan dunia,
sekarang banyak diisi dengan gosip-gosip mengenai selebritis, mengenai tren pakaian wanita
muda, dapat hal-hal dangkal lainnya. Televisi juga telah menggantikan drama-drama dan film-
film yang berkualitas tinggi dengan acara masak-memasak, opera sabun dan program-program
“gaya hidup” yang lain.

i) Hibrid

Sesuai dengan tujuan teknologi, yaitu mempermudah hidup, muncullah sifat hibrid, yang
memadukan semua kemudahan yang ada dalam sebuah produk, misalnya: telepon seluler yang
sekaligus berfungsi sebagai media internet, alarm, jam, kalkulator, video, dan kamera; demikian
juga ada restoran yang sekaligus menjadi tempat baca dan perpustakaan bahkan outlet pakaian.

j) Penyeragaman Rasa

Hampir di setiap tempat di seluruh penjuru dunia, monokultur Amerika terlihat semakin
mendominasi. Budaya tunggal semakin berkembang, keragaman bergeser ke keseragaman.
Penyeragaman rasa ini baik mencakup konsumsi barang-barang fiskal, non-fiskal sampai dengan
ilmu pengetahuan. Keseragaman ini dapat dilihat dari contoh seperti: makanan cepat saji (fast
food), minuman ringan (soft drink), dan celana jeans yang dapat ditemukan di negera manapun.
Keseragaman ini juga dapat dilihat dari hilangnya oleh-oleh khas dari suatu daerah, misalnya:
empek-empek Palembang dapat ditemukan di daerah lain selain Palembang seperti Jakarta,
Medan dan Lampung.

k) Budaya Hiburan

Budaya hiburan merupakan ciri yang utama dari budaya populer di mana segala sesuatu harus
bersifat menghibur. Pendidikan harus menghibur supaya tidak membosankan, maka muncullah
edutainment. Olah raga harus menghibur, maka muncullah sportainment. Informasi dan berita
juga harus menghibur, maka muncullah infotainment. Bahkan muncul juga religiotainment,
agama sebagai sebuah hiburan, akibat perkawinan agama dan budaya populer. Hal ini dapat
dilihat sangat jelas khususnya ketika mendekati hari-hari raya keagamaan tertentu. Bahkan
kotbah dan ibadah harus menghibur jemaat supaya jemaat merasa betah. Bisnis hiburan
merupakan bisnis yang menjanjikan pada masa seperti saat ini. Hal ini dapat dilihat dari contoh
taman hiburan Disney di seluruh dunia yang memperoleh pendapatan 3,3 milyar dolar AS,
sementara pendapatan Disney per tahun adalah 7,5 milyat dolar AS, dengan pendapatan dari film
3,1 milyar dolar AS dan produk-produk konsumennya (dihubungkan dengan taman hiburan dan
film) memperoleh pendapatan 1,1 milyar dolar AS.

l) Budaya Konsumerisme

Budaya populer juga berkaitan erat dengan budaya konsumerisme, yaitu sebuah masyarakat yang
senantiasa merasa kurang dan tidak puas secara terus menerus, sebuah masyarakat konsumtif dan
konsumeris, yang membeli bukan berdasarkan kebutuhan, namun keinginan, bahkan gengsi.
Semua yang kita miliki hanya membuat kita semakin banyak “membutuhkan,” dan semakin
banyak yang kita miliki semakin banyak kebutuhan kita untuk melindungi apa yang sudah kita
miliki. Misalnya, komputer “membutuhkan” perangkat lunak, yang “membutuhkan” kapasitas
memori yang lebih besar, yang “membutuhkan” flash disk dan hal-hal lain yang tidak berhenti
berkembang. Ketika kita sudah memiliki memori yang besar, kita ingin memori yang lebih besar
lagi supaya komputer kita dapat bekerja lebih cepat.

Hal tersebut juga disebabkan oleh iklan yang semakin berkembang di zaman ini dengan tujuan
menciptakan rasa ingin (want), walaupun sesuatu yang diiklankan itu mungkin tidak dibutuhkan
(need). Misalnya: banyak orang muda yang membeli telepon seluler blackberry yang mahal
harganya hanya karena trend, bukan karena kebutuhan yang mendesak karena pekerjaannya
menuntut perlunya pemakaian telepon selular seperti itu. Hal yang serupa juga dapat dilihat dari
maraknya penggunaan facebook di kalangan remaja dan orang muda saat ini. Sebuah benda juga
dibeli bukan lagi karena kegunaannya tetapi karena trend, bahkan gengsi (membelikan status
sosial dan bahkan rasa penerimaan diantara teman-teman yang juga memakai benda yang sama).
Maka semakin banyak iklan produk sebuah barang yang memakai ikon artis atau bintang
terkenal, bukan penjelasan deskriptif persuasif mengenai kegunaan barang itu.

Thorstein Veblen, seorang sosiolog Amerika, dalam bukunya yang berjudul The Theory of
Leisure Class (terbit pertama kali pada 1899), mengidentifikasi kelas borjuis baru yang punya
banyak waktu luang di Amerika. Mereka menggunakan konsumsi untuk mendefinisikan diri dan
status mereka. Alih-alih menggunakan cara-cara tradisional untuk mengartikulasikan status–
misalnya dengan kerja dan jabatan,–mereka mengartikulasikan status melalui apa yang disebut
Veblen sebagai ‘konsumsi yang menyolok mata.’ Identitas individu diberikan oleh produk-
produk bermerek dan bergantung kepada apa yang dipakai, sehingga manusia menjadi hamba
materi.

Konsumerisme muncul pada akhir 1950-an dan awal 1960-an – momen ‘konsumsi massa’ –
hakikat konsumsi berubah secara mendasar. Pada periode ini, untuk pertama kali terdapat
kemakmuran relatif yang memadai bagi para pekerja untuk mengkonsumsi berdasarkan
keinginan, bukan berdasarkan kebutuhan, misalnya: membeli beberapa mobil,dan liburan ke luar
negeri. Selain itu, periode ini menandai munculnya para pekerja yang menggunakan pola-pola
konsumsi untuk mengartikulasikan rasa identitas. Konsumerisme ini menawarkan janji bahwa
konsumsi adalah jawaban bagi semua problem kita; konsumsi akan membuat kita utuh lagi;
konsumsi akan membuat kita penuh kembali; konsumsi akan membuat kita lengkap lagi;
konsumsi akan mengembalikan kita pada kondisi ‘imajiner’ yang diliputi kebahagiaan.

Maka berbelanja sudah menjadi sebuah gaya hidup dan budaya populer. Di Inggris dan Amerika,
selain menonton televisi, berbelanja merupakan aktivitas pengisi waktu luang yang paling
populer. Maka pada zaman ini menjamur banyak mal-mal, restoran, bioskop, persewaan atau
penjualan video (VCD, DVD, dll), tempat makan cepat saji, tempat-tempat hiburan, butik, dan
sebagainya. Walaupun gaya hidup berbelanja ini bagi beberapa orang muda berarti berkumpul di
pusat perbelanjaan lokal tanpa membeli apa yang sedang dijual, melainkan hanya menggunakan
ruang publik mal, hanya untuk melihat-lihat atau dilihat-lihat. Di sisi lain, para produksen juga
berusaha menciptakan barang yang semakin canggih (makin cepat, makin keren, dll), misalnya
komputer yang semakin canggih, sehingga konsumer semakin merasa komputer yang
dimilikinya semakin lambat dan ketinggalan zaman, dan ingin membeli yang baru. Hal tersebut
mendorong para produsen melihat semua manusia sebagai alat untuk mencapai sasaran mereka.
Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua dijadikan objek produk atau konsumen. Hal ini
dapat dilihat dalam contoh boneka Barbie. Mary Roger mengatakan bahwa boneka Barbie
merupakan model busana remaja dan lambang fenomena konsumerisasi anak-anak, sebuah
proses transformasi anak-anak menjadi konsumen.

Ideologi konsumerisme, yaitu sugesti bahwa makna kehidupan kita harus kita temukan pada apa
yang kita konsumsi, bukan pada apa yang kita hasilkan, telah merasuki anak-anak hingga orang
dewasa. Mungkin inilah satu satu penyebab mengapa tidak banyak inovasi atau penemuan dalam
zaman ini seperti penemuan-penemuan pada zaman sebelumnya (misalnya: pesawat, komputer,
mobil, radio, dan televisi.), yaitu karena mentalitas memakai, bukan menghasilkan. J. I. Packer
mengatakan bahwa masyarakat zaman sekarang merupakan masyarakat yang lebih suka
mempraktekan dan mempromosikan belanja daripada menabung, kesenangan diri daripada
pengembangan diri, dan kesenangan diatas segalanya.

m) Budaya Instan

Segala sesuatu yang bersifat instan bermunculan, misalnya: mie instan, kopi instan, makanan
cepat saji, sampai pendeta instan dan gelar sarjana theologis instan. Budaya ini juga dapat dilihat
dari semakin banyak orang ingin menjadi kaya dan terkenal secara instan, sehingga banyak orang
berlomba-lomba menjadi artis, dengan mengikuti audisi berbagai tawaran seperti Indonesian
Idol, Indonesia Mencari Bakat, dan Kontes Dangdut Indonesia (KDI).

n) Budaya Massa

Karena pengaruh budaya populer, individu melebur ke dalam massa, rasionalitas melebur ke
dalam kenikmatan. Hal ini disebabkan karena segala cara dipakai oleh para produsen untuk
mencari pasar baru, mengembangkan pasar yang ada atau paling tidak mempertahankan pasar
yang sudah ada sejauh memberikan keuntungan dan memasarkan produk mereka semaksimal
mungkin. Sifat kapitalisme ini membawa masyarakat menjadi massa, artinya masyarakat dilebur
dari batas-batas tradisionalnya menjadi satu massif konsumsi. Maka muncullah berbagai produk
yang diproduksi secara massa yang sering mengabaikan kualitas produknya.

Budaya massa adalah budaya populer yang dihasilkan melalui teknik-teknik industrial produksi
massa dan dipasarkan untuk mendapatkan keuntungan dari khalayak konsumen massa. Budaya
massa ini berkembang sebagai akibat dari kemudahan-kemudahan reproduksi yang diberikan
oleh teknologi seperti percetakan, fotografi, perekaman suara, dan sebagainya. Akibatnya musik
dan seni tidak lagi menjadi objek pengalaman estetis, melainkan menjadi barang dagangan yang
wataknya ditentukan oleh kebutuhan pasar.

o) Budaya Visual

Budaya populer juga erat berkaitan dengan budaya visual yang juga sering disebut sebagai
budaya gambar atau budaya figural. Oleh sebab itu, pada zaman sekarang kita melihat orang
tidak begitu suka membaca seperti pada zaman modern (budaya diskursif/kata). Pada zaman
sekarang orang lebih suka melihat gambar, itulah sebabnya industri film, animasi dan kartun
serta komik berkembang pesat pada zaman ini.

p) Budaya Ikon

Budaya ikon erat kaitannya dengan budaya visual. Muncul banyak ikon budaya yang berupa
manusia sebagai Madonna, Elvis Presley, Marlyn Monroe, Michael Jackson, dan sebagainya;
maupun yang berupa artefak seperti Patung Liberty, Menara Eiffel, dan sebagainya, termasuk
juga ikon merek seperti Christian Dior, Gucci, Rolex, Blackberry, Apple, Ferrari, Mercedes, dan
sebagainya.

q) Budaya Gaya

Budaya visual juga telah menghasilkan budaya gaya, di mana tampilan atau gaya lebih
dipentingkan daripada esensi, substansi, dan makna. Maka muncul istilah “Aku bergaya maka
aku ada.” Maka pada budaya ini, penampilan (packaging) seseorang atau sebuah barang
(branding) sangat dipentingkan.

r) Hiperealitas

Hiperealitas (hyper-reality) atau realitas yang semu (virtual reality), telah menghapuskan
perbedaan antara yang nyata dan yang semu/imajiner, bahkan menggantikan realitas yang asli.
Hiperealitas menjadi sebuah kondisi baru di mana ketegangan lama antara realitas dan ilusi,
antara realitas sebagaimana adanya dan realitas sebagaimana seharusnya menjadi hilang.
Menjadi hiper berarti menjadi cair, bukan melampaui atau memisahkan, opisi lama. Ketika garis
batas antara yang nyata dan yang imajiner terkikis, realitas tidak lagi diperiksa, untuk
membenarkan dirinya sendiri. Realitas ini lebih “nyata daripada yang nyata” karena telah
menjadi satu-satunya eksistensi. Realitas semu ini dapat dilihat pada permainan tomagochi atau
hewan peliharaan semu (virtual pet), penggunaan stimulator (untuk permainan, untuk latihan
mengemudikan pesawat dan mobil), permainan video, dan sebagainya.

Menurut seorang kritikus media, Mark Crispin Miller, tujuan televisi adalah membuat anda tetap
menatapnya, sehingga media itu dapat bergerak “mengotakkan” para pemirsa, di dalam atau di
luar rumah, menggantikan realitas mereka dengan realitas televisi. Maka dunia realitas yang
semu seperti televisi, film, komik, dan yang sejenisnya akan mengimbangi, bahkan mengambil
alih dunia realitas yang nyata. Gambar-gambar komputer, TV, permainan video, komik, dan
yang sejenisnya memberikan rangsangan-rangsangan yang berpotensi dapat menggantikan
rangsangan-rangsangan nyata. Dunia yang nyata dengan segala rutinitas (misalnya pekerjaan)
terasa membosankan, sehingga manusia memerlukan dunia yang lain sebagai pelarian. Misalnya:
kita dapat melihat bahwa semakin banyak orang yang ketika hari libur tiba, mereka pergi kepada
tempat-tempat wisata atau hiburan seperti Disney Land atau Dunia Fantasi (untuk mengurangi
stress karena pekerjaan atau beban hidup dan rekreasi keluarga misalnya). Bahkan Jenderal
Schwarkopf, ahli strategi hebat dalam perang Teluk merayakan kemenangannya dengan
mengadakan pesta besar di Disney World.

s) Hilangnya Batasan-batasan

Budaya popular menolak segala perbedaan dan batasan yang mutlak antara budaya klasik dan
budaya salon, antara seni dan hiburan, yang ada antara budaya tinggi dan budaya rendah, iklan
dan hiburan, hal yang bermoral dan yang tidak bermoral, yang bermutu dan tidak bermutu, yang
baik dan jahat, batasan antara yang nyata dan semu, batasan waktu, dan sebagainya. Perbedaan-
perbedaan tersebut tidak lagi memiliki arti yang nyata. Perbedaan-perbedaan dan batasan-batasan
tersebut ternyata hanya dimanipulasi untuk alasan-alasan pemasaran. Akibatnya, tidak berbeda
dengan es krim, burger, dan hal yang lain. Musik dan karya seni yang lain juga dapat ditanggapi
sebagai objek sensual oleh para pendengar positif, yang “ketika bereaksi, tidak lagi membedakan
apakah reaksi itu kepada Simfoni Ketujuh Beethoven atau kepada sepotong bikini.”

3. Contoh Budaya Populer

1. Berbelanja

Di Inggris dan Amerika, selain menonton televisi, berbelanja merupakan aktivitas pengisi waktu
luang yang paling populer. Maka pada zaman ini menjamur banyak mal-mal, restoran, bioskop,
persewaan atau penjualan video (VCD, DVD, dll), tempat makan cepat saji, tempat-tempat
hiburan, butik, dan sebagainya. Walaupun gaya hidup berbelanja ini bagi beberapa orang muda
berarti berkumpul di pusat perbelanjaan lokal tanpa membeli apa yang sedang dijual, melainkan
hanya menggunakan ruang publik mal, hanya untuk melihat-lihat atau dilihat-lihat. Di sisi lain,
para produksen juga berusaha menciptakan barang yang semakin canggih (makin cepat, makin
keren, dll)

2. Demam Korea (Korean wave) Demam Korea (Korean wave)

Hal itu diakibatkan karena penyebaran dan pengaruh budaya Korea di Indonesia, terutama
melalui produk-produk budaya populer1. Film, drama, musik dan pernak-pernik merupakan
contoh dari produk budaya popular. Elemen-elemen budaya populer Korea ini menyebarkan
pengaruhnya di negara-negara Asia salah satunya Indonesia. Di Indonesia, penyebaran budaya
popular dari negeri gingseng ini dilihat sekitar tahun 2002 dengan tayangnya salah satu ikon
budaya popular berbandrol drama seri berjudul „Autumn in My Heart‟ atau „Autumn Tale‟ yang
lebih popular dengan judul „Endless Love‟, ditayangkan stasiun TV Indosiar2. Keberhasilan
drama seri Korea tersebut yang dikenal dengan Korean drama (K-drama) diikuti oleh Koean
drama lainnya. Tercatat terdapat sekitar 50 judul K-drama tayang di tv swasta Indonesia.

3. Korean Pop (K Pop)

Setelah keberhasilan menguasai pasar Indonesia dengan dramanya, Korea pun mulai menguasai
Indonesia dengan tampilan musik Korea. Korean Pop (Musik Pop Korea) disingkat K-pop,
adalah jenis musik populer yang berasal dari Korea Selatan. Banyak artis dan kelompok musik
pop Korea sudah menembus batas dalam negeri dan populer di mancanegara. Musik pop Korea
pra-modern muncul pertama kali pada tahun 1930-an yang dipengaruhi oleh masuknya musik
pop Jepang. Tidak hanya budaya pop Jepang, pengaruh musik pop barat mulai menjajah Korea
sekitar tahun 1950-an dan 1960-an. Awalnya berkembang musik bergenre “oldies”,
kemudiantahun 1970-an, musik rock diperkenalkan dengan pionirnya adalah Cho Yong-pil.

Muncul kemudian genre musik Trot yang dipengaruhi gaya musik enka dari Jepang. Tahun 1992
merupakan awal mula musik pop modern di Korea, yang ditandaidengan kesuksesan grup Seo
Taiji and Boys diikuti grup musik lain seperti Panic,dan Deux. Tren musik ini turut melahirkan
banyak grup musik dan musisi berkualitaslain hingga sekarang.

Di tahun 2000-an mulai bermunculan artis dengan aliran musik yang berkiblat ke Amerika
seperti aliran musik R&B serta Hip-Hop. Mereka adalah MC Mong, 1TYM, Rain, Big Bang
yang cukup sukses di Korea dan luar negeri. Selain genre musik sebelumnya bertahan, lahir
kembali jenis musik techno memberi nuansa modern.

E. Budaya Massa

Secara sederhana budaya massa (mass culture) serupa dengan budaya popular dalam basis
penggunanya: Masyarakat kebanyakan. Namun, berbeda dengan budaya popular yang tumbuh
dari masyarakat sendiri dan digunakan tanpa niatan profit, budaya massa diproduksi lewat
teknik-teknik produksi massal industri. Budaya tersebut dipasarkan kepada massa (konsumen)
secara komersial. Budaya ini kemudian dikenal pula sebagai budaya komersial yang
menyingkirkan budaya-budaya lain yang tidak mampu mencetak uang seperti budaya elit (high
culture), budaya rakyat (folk culture) dan budaya popular (popular culture) yang dianggap
ketinggalan zaman. Jika budaya elit (high culture), folk culture, dan budaya popular tidak
mampu mencetak uang, untuk apa ia dikembangkan dan dipelihara? Demikian retorika kasar
para produsen mass culture.

Budaya massa adalah suatu budaya yang terus menerus direproduksi dan dikonsumsi oleh suatu
kelompok yang mempunyai akibat secara menyeluruh.

Produsen budaya massa melihat para penerima budaya sebagai pasif, lembek, mudah
dimanipulasi, mudah dieksploitasi, dan sentimentil. Bertindak selaku agen dari budaya massa ini
media massa. Televisi, radio, majalah, surat kabar, dan internet menempati posisi penting selaku
agen budaya. Sementara produsen dari budaya massa adalah para pemilik pabrik barang
(pakaian, kosmetika, kendaraan) dan jasa (konsultan marketing, event organizer, manajer artis).

Partner utama mass culture adalah mass media. Kemampuan mass media menjangkau khalayak
(audiens potensial) secara luas, membuat mass culture sangat mudah dipasarkan. Mass media di
masa kini emoh menayangkan high culture, folk culture atau popular culture karena dianggap
sudah kurang diminati dan memiliki daya jual yang rendah. Lihatlah konten acara televisi
Indonesia lalu hitung berapa banyak yang menampilkan budaya-budaya lokal atau daerah secara
periodik.

Hal yang menarik untuk terus ditelusuri adalah bagaimana manifestasi budaya massa dalam
keseharian masyarakat Indonesia kini. Diyakini bahwa budaya massa ini telah berkembang jauh
dan pesat, menjangkau seluruh wilayah dan lapisan suku-suku bangsa yang mengalami
persentuhan dengan teknologi informasi dan pusat perputaran barang dan jasa.

Shopping Mall

Shopping mall disebut oleh Yasraf Amir Piliang sebagai manifestasi budaya massa yang bersifat
fantasi. Dalam shopping mall, kegiatan belanja yang semata-mata transaksi jual beli mengalami
perubahan. Dalam shopping mall kegiatan belanja berubah fungsi sebagai pengisi waktu
senggang (leisure time) atau tempat membolos bagi siswa sekolah yang nakal. Ini dapat kita lihat
pada berapa banyak setiap harinya orang-orang berkeliling shopping mall tanpa berbelanja
apapun. Terkadang mereka cuma berkeliling, berbincang, atau mengagumi barang-barang
produk baru.

Shopping mall memuaskan rasa penasaran manusiawi akan hal baru. Shopping mall terus
meremajakan diri lewat sajiannya atas wahana-wahana toko baru, permainan kanak-kanak, serta
lingkungan yang semakin nyaman (taman, tempat duduk, AC, dan kebersihan). Jumlah shopping
mall ini terus bertambah setiap tahunnya di Indonesia. Di Jakarta terdapat kurang lebih 60
shopping mall yang tersebar di kota-kota madyanya seperti Mall of Indonesia, Tamini Square,
Town Square, Mal Kelapa Gading, Kota Casablanca atau Grand Indonesia. Di Sulawesi Selatan
sekurangnya 6 mall telah beroperasi seperti Mall Ratu Indah, Makassar Trade Center, Mall
Panakukang, Pusat Grosir Butung, Pusat Souvenir Somba Opu, dan Global Trade Center.
Bahkan di wilayah Nusa Tenggara Timur, sekurangnya satu mall telah berdiri yaitu Mall
Flobamora.

Pada satu sisi, berdirinya mall merupakan upaya dari para pemerintah daerah untuk
menggerakkan pertumbuhan ekonomi daerah. Mall terdiri atas beragam diversifikasi usaha
seperti bank, toko makanan, toko buku, toko mainan, taman bermain prabayar, bioskop, dan
sejenisnya. Tenaga kerja yang direkrut pun cukup banyak, termasuk potensi-potensi yang
dibawanya yaitu bergeliatnya kegiatan ekonomi di sekeliling mall seperti rumah kontrakan, kos,
angkutan umum, warung makan, dan sebagainya. Namun, dari sisi budaya, mall menjadi agen
massalisasi. Produk-produk barang dan jasa yang ditawarkan setiap mall cenderung homogen.
Bioskop, sebagai misal, adalah Twenty One yang menjadi milik dari satu perusahaan. Lalu,
hampir di setiap mall, department-department store relatif homogen seperti Naga, Matahari,
Ramayana, Borobudur, dan sejenisnya. Department-department store tersebut menawarkan
produk-produk barang pabrikan yang jenis produknya relatif sama dari satu tempat ke tempat
lain. Jadi, pabrik menggunakan agen mereka (department store) untuk memasarkan produk
mereka. Maka jadilah produk-produk mereka digunakan secara massal oleh masyarakat. Dari
penghujung mall yang ada di Aceh hingga Papua, tawaran produk relatif sama.

Kapitalisasi produk – bahkan manusia – pun berlangsung di mall. Relatif sering terlihat di
hampir setiap department store, manusia (umumnya kaum perempuan) dipajang menjajakan
produk pabrikan tertentu seperti kosmetik dan pakaian. Layaknya manequin mereka berdiri statis
dan bedanya sekadar bisa tersenyum dan menyapa. Selain shopping mall, kini berkembang pula
fenomena hypermall, yang berbeda dengan shopping mall yang beraneka agen. Hypermall
ditandai satu agen tunggal. Homogennya produk dijual lebih tinggi dalam hypermall. Ia pun
seolah memindahkan satu pasar tradisional ke dalam sebuah toko tunggal. Carrefour, Giant,
Hypermart, dan sejenisnya kini pun telah berkembang di Indonesia. Barang yang mereka jual,
kendati satu agen tunggal, sangat bervariasi dari bahan mentah makanan hingga barang
elektronik canggih semisal televisi flat dan laptop. Terkadang kendaraan roda dua dan empat pun
dijajakan di sana. Konsumen begitu dimanjakan dengan sifat segala ada, nyaman, cepat,
terklasifikasi, seperti disediakan oleh hypermall.

Fenomena hypermall ini mendukung teori penciptaan kebutuhan konsumen oleh produsen
barang. Hypermall adalah sekadar agen, barang-barang yang mereka jual berasal dari beragam
produsen. Namun, produsen tersebut biasanya tetap. Misalnya untuk odol, merk-merk seperti
Pepsodent, Formula, Oral-B, dan sejenisnya adalah pasti ditemukan di setiap hypermall.

Fenomena homogenisasi produk dapat dilihat dalam Carrefour. Carrefour tersebar di Jakarta (25
lokasi), Tangerang (5 lokasi), Bekasi (4 lokasi), Bandung (4 lokasi), Jawa – Bali (18 lokasi),
Sumatera (2 lokasi), dan Sulawesi (3 lokasi). Jumlah ini merupakan jumlah yang cukup
signifikan mengingat Carrefour termasuk debutan baru di kalangan mall di Indonesia. Group
yang didirikan oleh keluarga Fournier and Defforey dari Perancis pada tahun 1959 ini kini
berkembang pesat di seluruh penjuru dunia, dan CEO-nya kini dipegang oleh Lars Olofsson.

Berbeda dengan pasar tradisional, interaksi sosial antara penjual dan pembeli di hypermall
sepenuhnya ditentukan pengelola. Misalnya, barcode yang ditempelkan di setiap barang adalah
harga pasti tanpa bisa ditawar. Negosiasi harga tidak ada antara penjual dan pembeli dan
demikian satu aspek interaksi sosial berkurang. Kemasan setiap produk lebih menentukan
ketimbang isi, dan ini berbeda dengan pasar tradisional di mana hampir seluruh produk dagangan
tidak dikemas (kecuali produk-produk pabrikan). Pembeli sulit memaknai barang akibat
pemaknaan disekat kemasan. Pembeli jadi amat bergantung pada informasi yang terkandung di
dalam kemasan, dan kalaupun bertanya, paling banter ia akan dilayani oleh tenaga marketing
produk bersangkutan yang intinya memperkuat informasi tertoreh di kemasan.

McDonald-ization

Fenomena restoran fast-food juga merupakan bentuk umum budaya massa. Perlu diingat,
makanan adalah salah satu komponen material budaya. Restoran yang di Negara asalnya disebut
menyediakan junk-food (makanan sampah), di Indonesia justru dimaknai secara baru: high-class.
Hampir seluruh kalangan masyarakat (kaya, miskin, tua, muda) menemui pemenuhan kebutuhan
sosial mereka di restoran fast-food McDonald, termasuk ke dalamnya Kentucy Fried Chicken,
Hoka-hoka Bento, Pizza Hut, dan sejenisnya. Jika ditelusuri mendalam maka penyebaran
restoran-restoran fast-food ini di-stir oleh oleh satu perusahaan. Mereka menjalankan manipulasi
publik dengan menawarkan kelezatan, kecepatan, dan kenyamanan. McDonald adalah milik Ray
Croc yang ia bangun pada tahun 1955. McDonald mengklaim memiliki 30.000 anjungan di
seluruh dunia dan seharinya dikunjungi 50.000.000 orang. Bidikan utamanya adalah penjualan
produk makanan dan mereka memiliki sentra-sentra anjungan dalam negara-negara dengan
tingkat kepadatan penduduk tinggi dan ada dalam peralihan masyarakat agraris ke industrial.

Homogenisasi budaya merupakan konsekuensi tidak terelakkan dari fenomena McDonald-ization


ini. Hamburger, Coca Cola, Fanta, Walls Ice Cream, merupakan beberapa jenis makanan yang
dijajakan di McDonald. Di 30.000 anjungan McDonald seluruh dunia, jenis-jenis makanan
tersebut dijajakan dalam format dan rasa serupa. Publik tidak dapat menentukan sendiri selera
mereka di restoran cepat saji, tetapi dengan dukungan strategi marketing dan maraknya iklan,
akhirnya ilusi penentu pun dapat dikondisikan di dalam benak audiens. Ini berbeda tatkala kita
memasuki rumah makan Padang yang menyediakan ayam bakar, ayam goreng, ikan panggang,
rendang, kikil, dan ragam lainnya yang masing-masing memiliki bumbu spesifik. Selain itu,
menu rumah makan Padang sesungguhnya memiliki bahan dasar bumbu dan varietas makanan
yang biasa dikonsumsi orang Indonesia sehari-hari. Makanan Padang merupakan folk culture
yang beralih menjadi popular culture. Hal yang mirip juga terdapat dalam fenomena tahu gejrot,
gado-gado, karedok, ataupun rujak petis.

Televisi
Jika dibandingkan media lain seperti radio dan surat kabar/majalah, maka di Indonesia, televisi
satu-satunya media di mana pemirsanya terus meningkat, dan dapat dilihat pada tabel.[2]
Pemirsa radio dan surat kabar atau majalah di Indonesia cenderung menurun sejak 2003 hingga
2009. Hanya televisi satu-satunya yang mampu meningkatkan jumlah pemirsa mereka dalam
kurung tersebut. Televisi mampu menyajikan hot issue dalam format audio visual. Dalam format
ini pemirsa dalam dirambah ranah kognisi dan afeksinya. Dalam konteks televisi ini, budaya
massa merambah layar elektronik.

Acara televisi seperti opera sabun dalam wadah sinema elektronik (sinetron), program-program
penggalian bakat (new idol), talk-show, dan sejenisnya. Bayangkan, sejumlah program seperti
Who wants to be a Millionaire? yang pada tahun 2004 saja telah dijual ke 106 negara, rekaman
kompilasi hits The Beatles terjual 12 juta kopi dalam 2 bulan di akhir tahun 2000, atau Elvis
Presley yang telah menjual kurang lebih 1 milyar record baik dalam bentuk kaset ataupun CD di
seluruh penjuru dunia pada tahun 2005 kendati bintang tersebut telah meninggal dunia sejak
1977.[3]

Hal yang perlu diingat, dalam komoditas budaya yang dijadikan mass culture, audiens (pemirsa)
dianggap lembek, tidak kritis, dan mudah dibujuk. Sebab itu, produk-produk mass culture dapat
langsung dikonsumsi tanpa melalui filter yang mencukupi. Misalnya, produk-produk sinetron
Indonesia yang banyak mengumbar bentakan-bentakan kasar (bullying), penyederhanaan
karakter yang cenderung hitam-putih (tidak mendalam), alur cerita yang cenderung berputar-
putar dan seolah tidak pernah selesai (episode diperpanjang jika kontrak diperpanjang oleh
saluran televisi), termasuk gaya laki-laki yang mewadam hampir setiap hari disajikan. Semua
produk tersebut dikonsumsi oleh mayoritas audiens hampir tanpa reserve. Audiens cuma
memilih antara tidak menonton lalu berpindah ke saluran televisi lain. Namun, akhirnya mereka
pun menemui tayangan-tayangan sejenis dan suka atau tidak suka, harus menikmatinya.

1. Karakteristik Budaya massa

Budaya massa memiliki beberapa katrakter yaitu sebagai berikut:

a) Nontradisional, yaitu umumnya komunikasi massa berkaitan erat dengan budaya populer.
Misalnya, acara-acara yang ada di televise seperti Indonesian Idol, Penghuni terakhir, dll.

b) Bersifat merakyat.

c) Budaya massa juga memproduklsi budaya massa seperti infotainment adalah produk
pemberitaan yang diperuntukan kepada massa secara meluas. Semua orang dapat
memanfaatkannya sebagai hiburan umum.

d) Budaya massa sangat berhubungan dengan budaya popular sebagai sumber budaya massa.
Contohnya srimulat, ludruk, maupun campursari. Pada mulanya kesenian tradisional ini
berkembang di masyarakat tradisional dengan karakter-karakter tradisional, namun ketika
kesenian ini dikemas di media massa, maka sentuhan popular mendominasi seluruh kesenian
tradisional itubaik kostum, latar, dan sebagainya tidak lagi menjadi konsumsi masyarakat
pedesaan namun secara missal menjadi konsumsi semua lapisan masyarakat di pedesaan dan
perkotaan.

e) Budaya massa, terutama yang diproduksi oleh media massa diproduksi dengan
menggunakan biaya yang cukup besar, karena itu dana yang besar harus menghasilkan
keuntungan untuk kontinuitas budaya massa itu sendiri, karena itu budaya massa diproduksi
secara komersial agar tidak saja menjadi jaminan keberlangsungan sebuah kegiatan budaya
massa namun juga menghasilkan keuntungan bagi capital yang diinvestasikan pada kegiatan
tersebut.

f) Budaya massa juga diproduksi secara eksklusif menggunakan simbo-simbol kelas sehingga
terkesan diperuntukan kepada masyarakat modern yang homogen, terbatas dan tertutup. Syarat
utama dari eksklusifitas budqaya massa ini adalah keterbukaan dan ketersediaan terlibat dalam
perubahan budaya secara massal.

2. Contoh Budaya Massa

1. Baju Batik

Dalam buku laporan Gubernur Jenderal Sir Thomas Stamford Raffles, tentang Jawa yang sudah
bersifat kanonik (buku induk), The History of Java, batik diletakkan sebagai bagian dari cara
penduduk Jawa memproduksi dan mengenakan pakaian, Ia menjelaskan prinsip cara hidup orang
Jawa yang ia sebut ”sederhana”, yang bisa memenuhi sendiri semua kebutuhan domestik
lingkungannya (sekampung), termasuk berpakaian dengan batik. Sehingga pekerjaan membatik
ini sudahlah lama dibuat dan hingga sekarang masih terus berjalan, sehingga demikian, batik bisa
disebut istimewa karena mampu bertahan sebagai subkebudayaan Jawa, meski cenderung
dideskripsikan oleh Raffles sebagai budaya yang ”sederhana” dan ”tidak menimbulkan daya
tarik bagi orang Eropa”

Dan batik juga telah ditransformasikan bentuknya dalam hal barang apapun, seperti dijadikan
jaket, baju, peralatan rumah tangga dan sebagainya, sehingga budaya yang tadinya primitive,
menjadi budaya massa.

2. Mesin Uap dan Tenaga Listrik

Sejak ± 1700, dengan ditemukannya mesin uap dan tenaga listrik, hingga 1940an, dianggap
sebagai bagian awal perkembangan budaya industri. Masa ini disebut zaman modern. Revolusi
industri adalah awal dari cepatnya perkembangan teknologi dalam kehidupan manusia.
Perkembangan zaman pencerahan yaitu ilmu pengetahuan dan pandangan rasional di abad-19,
tidak hanya ditandai oleh relativitas Einsten dan Psikoanalisa Freud, perkembangan dan
penemuan-penemuan teknologi yang belum pernah terjadi telah menyebabkan priode baru:
industrialisasi. Awal dimulainya era industrialisasi produksi. Kemudian di abad XX, Frankfurt
School, dikenal juga sebagai Neo-Marxis, menyatakan masyarakat massa dihubungkan
(diciptakan) ke suatu masyarakat individualis yang terasing dengan tetap menjaga kesatuan
melalui budaya industri yang ditangani kapitalisme. Budaya ini terhasil melalui logika
massification of product dan homogenization of taste. Sedikit terkesan sinis, Chaney berpendapat
konsumerisme menjadi pusat perkembangan sosial modernitas. Dia berpendapat, “priode
setengah terakhir abad 19 dan dekade pertama abad 20, tema budaya dasar mengenai masyarakat
massa abad ke 20 telah terbentuk, terutama keinginan dari orang-orang biasa untuk
menginvestasikan sumber daya dalam memburu gaya.” Dan sekarang dengan kecepatan dan
kecanggihan teknologi, maka akses pada informasi bisa cepat didapat, pemanfaatan teknologi ini
mengakibatkannya Saat ini dianggap sebagai membaurnya antara realitas dan ilusi (melalui
bentukan simulasi, yang kemudian disebut hyper realitas), digital mendominasi berbagai citraan
atau visual yang hadir.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Budaya media adalah suatu kondisi proses kebudayaan di mana dialektika dari berbagai unsur
budaya dalam membentuk sosok mapan sementara dari suatu kebudayaan melibatkan banyak
interaksi media. Artinya : Kebudayaan tidaklah merupakan produk akhir yang mantap selama-
lamanya. Ia senantiasa dibentuk dalam kondisi tesis-antitesis antara berbagai unsur budaya.

Folklor ialah kebudayaan manusia (kolektif) yang diwariskan secara turun-temurun, baik dalam
bentuk lisan maupun gerak isyarat.

kebudayaan elite menyangkut pengetahuan, model-model, skema-skema, pola pikir (kognisi),


blueprint, dan nilai-nilai yang membentuk perilaku manusia dalam suatu masyarakat/ komunitas.

Budaya populer merupakan bentuk budaya yang lebih mengedepankan sisi pupularitas dan
kedangkalan makna atau nilai-nilai.

Budaya massa adalah suatu budaya yang terus menerus direproduksi dan dikonsumsi oleh suatu
kelompok yang mempunyai akibat secara menyeluruh.

DAFTAR PUSTAKA
Burton, Graeme. 2012. Media dan Budaya Populer. Yogyakarta: Jalasutra.

http://library.binus.ac.id/eColls/eThesis/Bab2/LMM2006-41-Bab%202.pdf

http://www.scribd.com/doc/78279639/11/Definisi-Budaya-Media

http://www.slideshare.net/andreyuda/media-dan-budaya-populer

Ibrahim, Idi Subandi. 2005. Lifestyle Ecstasy: Kebudayaan Pop dalam

Masyarakat Komoditas Indonesia Edisi Kedua. Yogyakarta: Jalasutra.

Kellner, Douglas. 2003. Media Culture. London : Rouletdege.

Kellner, Douglas. 2010. Budaya Media. Yogyakarta: Jalasutra.

Ken Browne. 2006. Introducing Sociology for AS Level Second Edition.

Cambridge: Polity Press.

Lull, James. 1998. Media, Komunikasi, Kebudayaan. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia.

Yasraf, Amir Piliang. 2004. Dunia yang Dilipat: Tamasya melampaui Batas-

batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.

Anda mungkin juga menyukai