Anda di halaman 1dari 3

BABAK KELAM DALAM BAB HIDUP PENDOSA

Memasuki babak kelam dalam bab hidup ini. Masih adakah klimask dalam perjalanan
ketika harapan sudah lapuk dan mimpi sudah mati, hanya roh belum melepas raga. Aku tidak
tahu berapa nilai harga diri yang tersisa saat kepercayaan diri patah sepatah- patahnya. Awal aku
datang ke kota ini aku berpikir sudah mempersiapkan segalanya, namun aku salah, aku berkali-
kali gagal memahami permainan di galaksi ini. Adab tak cukup penting, pengetahuan tak
berguna tanpa nyali, dan yang parahnya integritas kadang tak bernilai di sini. Gadis yang
diberangkatkan dengan nasihat dan doa hari itu jatuh tergilas roda zaman kota ini.

Setiap hari kerja dan kerja bagai orang gila yang berjalan sepanjang hari, tidak ada waktu
mengasihani diri, tidak peduli pagi atau malam asal berpeluang dijadikan uang maka menunda
istirahat itu hal biasa. Sampai di suatu ketika aku diperhadapkan pada suatu tawaran yang
seharusnya aku tolak tanpa kompromi, namun tawaran itu memiliki jumlah nominal yang
berhasil membuatku tak mengingat sepatahpun dari nasehat ibuku. Tanpa rasa takut dan tanpa
berdosa aku menerima tawaran itu. Selama 3 tahun aku berhasil keluar masuk dalam dan luar
negeri membawa dan menjual barang haram itu. Uniknya semesta memberi kebebasan kepada
pendosa sepertiku untuk memperkeruh dosaku, aku berhasil mengumpulkan pundi pundi uang
dari hasil mengedar barang haram itu.

Keluarga dan orang – orang di sekitarku mengetahui aku adalah distributor tas import
dari negara Thailand, sehingga mereka tidak heran bila aku sering bepergian ke luar negeri.
Sampai pada suatu ketika semesta sudah berada di titik muak melihat pendosa seperti ku. Sabu
dan ekstasi yang biasa ku balut rapi dengan alumunium foil dan kain khusus, kemudian ku
bungkus ke dalam tas- tas yang ku bawa dari negeri gajah putih itu, terdeteksi oleh mesin
pemindai sinar-X oleh petugas pengamanan pada saat aku berada di bandara. Hari itu ancaman
bahaya berada tepat di hadapanku tapi aku hanya diam dengan tatapan kosong seakan kali ini
aku siap untuk beristirahat.

Selama 5 tahun merantau dan bekerja tanpa henti, akhirnya aku beristirahat di ruang
sempit berjeruji besi ini. Di penjara ini sepanjang hari aku hanya mengingat hari terakhir dimana
aku bersama ibu. Waktu ibu memberangkatkan ku pergi merantau. Di sepanjang perjalanan
menuju kota perantauan, hanya ibu yang ku pikirkan, bermimpi suatu saat aku memberi mu
rumah mewah, membawa ibu berkeliling dunia dan menikmati semua makanan kesukaanmu.
Bersama doamu aku kuat bekerja dari pagi hingga malam. Ibu, sesungguhnya aku tidak pernah
melupakanmu karena doamu begitu kuat menggenggam jiwaku, hanya saja anakmu ini tidak
mampu menolak tawaran dunia untuk memiliki segalanya. Bodohnya anakmu ini aku berpikir
sejumlah uang yang ku kirimkan kepadamu dapat mengobati rindumu kepada ku selama aku
bekerja. Engkau sangat mengenal anakmu ini, walau sudah bertahun – tahun tidak pernah pulang
mengunjungimu, namun setiap ku menelvonmu, ibu hanya sibuk menanyakan kabar tanpa ada
sedikitpun mengeluh bahwa engkau merindukanku, sehingga dari tahun ke tahun yang ku
lakukan berkelana bagai orang gila mencari uang dengan segala cara.

Abu- abu sudah menjadi hitam pekat, hidupku kusut tanpa ujung. Ibu terlalu
merindukanku dan ibu terlalu menderita karena punya anak sepertiku sehingga ibu tidak mampu
lagi bertahan. Bulan kedua aku di penjara, Ibu pergi untuk selamanya. Ibu maafkan aku membuat
engkau menjadi ibu paling malang di dunia, sehingga semesta tidak memberi kesempatan untuk
anakmu ini melihatmu yang terakhir kalinya. Aku tahu bukan aku tapi ibulah yang paling
menderita. Ketika kenyataan anak yang selama ini ibu rindukan harus menebus dosa di penjara.

Ibu, kemana lagi aku harus pulang saat rumah sudah rata dengan tanah. Semua lenyap
tanpa sisa. Anakmu sebatang kara terlalu banyak dosa mengeluhpun tak lagi pantas. Ibu
dapatkah aku meminta, berkunjunglah dalam mimpiku sekali saja, setidaknya ceritakan padaku
bahwa ibu sudah baik- baik saja di surga. Sehingga aku dapat lebih kuat melanjutkan hidup
walaupun seperti sampah. Mana tahu di kemudian hari Sang Pencipta berbelas kasihan, sampah
sepertiku didaur ulang menjadi kembali berharga.
BIODATA NARASI

Chonty Ara Pasaribu, orang- orang yang sudah mengenal saya sering memanggil saya
“Concon si penulis musiman”, usia saya 24 tahun. Saya adalah anak kedua dari tiga bersaudara
dan saya lulusan Ilmu Hukum dari Universitas Sumatera Utara tahun 2021. Saya adalah seorang
perantau yang saat ini berdomisili di Jakarta Selatan. Saya menulis sejak duduk di bangku
Sekolah Dasar baik berupa puisi, cerpen, quote dll. Tidak ada alasan lain saya suka menulis
karena ini adalah salah satu cara saya mengabadikan setiap moment baik luka maupun cinta yang
saya maupun orang lain terima sebagai pelajaran dan kenangan di masa depan. Bagi saya Adab,
Hikmat dan Integritas adalah modal yang ada dalam diri saya untuk melangkah maju menata
masa depan saya yang lebih baik. Dan hal ini juga saya terapkan dalam setiap tulisan saya.

“ Tidak peduli siapa yang membuatmu patah hati atau berapa lama yang dibutuhkan
untuk sembuh. Selama kamu percaya berbagi ceritamu padaku maka pada saat itu juga tawa dan
tangismu adalah tawa dan tangisku. Dengan itu aku berada di pihakmu mengambil bagian dalam
pergumulanmu ”

Mari berteman!

E-mail chontyarapasaribu@gmail.com

Fb & Instagram @chontyarapasaribuhabeahan

WhatsApp 082369832036

Anda mungkin juga menyukai