Anda di halaman 1dari 42

Kata Pengantar

Pertama, aku ingin mengucapkan terima kasih kepada Tuhan atas segala kasih cinta-Nya
yang telah menitipkan anugerah kepada semesta. Salah satunya anugerah bernama ingatan
yang telah Tuhan berikan kepada manusia. Karena dengan anugerah itu kita bisa terus
menerus mencipta kenangan, mencatat, menyimpan dan berharap atas setumpukan
kenangan yang nantinya berdebu itu dapat menjadi pelipur lara, penggenggam asa hingga
pensyukuran atas nama doa.

Aku merawat ingat-kenang itu dalam novel ini dengan harapan miliaran sekon ke depan
aku masih dapat mengingat serpihan-serpihan kenangan itu dengan baik agar tak usang.
Sebab aku percaya pada waktunya kenangan yang kita miliki menjadi pemeran utama ketika
kita lelah dengan kenyataan. Mengharapkan sesuatu yang datang semata-mata hanya untuk
mendorong kita. Mengingatkan bahwa ini adalah masa depan; destinasi yang didambakan
dari mimpi-mimpi masa lalu sebab masa depan ada karena kita memiliki masa lalu.

Adapun alasan lainnya adalah aku tak ingin setiap kali anak-anak awan itu turun
menyetubuhi bumi tanpa menikmati isi kepala dan sedikit ceritaku. Tentang apapun. Tentang
pengembara yang bertualang namun cukup ragu terhadap tujuannya. Daun-daun gugur yang
dengan terpaksa meninggalkan ranting kekasihnya atas nama takdir. Tentang kota dan anak-
anak manusia yang tak lepas dari kolase karsa dan rasa.

Demikian, hingga penaku bertekuk lutut dihadapan selembar kertas kusam di atas meja
tua berdebu itu karena sudah tak ada kata yang mampu aku tuliskan. Sebab isyarat kini
hanya sebatas kalimat tanpa isi dan terlalu bersyarat. Kopi yang kau biarkan gigil
merebahkan dirinya di atas lembar kusam ini. Basah. Namun noda kopi itu sudah
mengutarakan segalanya. Semoga air matamu berkenan untuk jatuh dan menyatu dengan air
mataku ketika menuliskan buku ini.

Luthfi Hafizh

Bogor, 18 Februari 2021

Daftar Isi:

Prolog
Ada berjuta derana gundah gulana dalam sebuah bahasa tubuh. Ada seantero mayapada
dalam setiap celah sesak. Ada energi dalam sebuah hampa. Ada seuntai kisah dalam sebuah
kertas kosong dan ada miliaran aksara yang tertahan dalam setiap paras dan tatapan mata. Aku
melihat bayangan diri rasanya asing. Hanya terasa dingin hingga aku lagi-lagi bermesraan
dengan hening. Terpaksa mematri kisah diri dalam senandika minor.
Hulubalang! Oh, aku adalah karsa yang memimpin porak-porandanya hati. Ialah aku yang
memimpin rasa penat di kening. Cintaku hanya hening. Canduku hanya sepi. Seperti sudut
ruangan yang putih bersih tanpa adiwarna aksara; hatiku putih tak terisi. Tak satupun warna yang
sudi mengisi netraku. Mencipta gelap tak terurai. Tanpa terang binar bintang berkedip.
Aku bergeming. Seperti air mata yang mengenal langit malam bagai ibu. Mengenal duka
bagai kekasih. Mengenal sunyi bagai seorang karib. Mengenal tiap lekuk pipi bagai taman
bermain. Ia mengalir dari balik tirai kelopakku tanpa tahu menahu sebab hanya mematuhi
kehendak insan seperti aku yang penuh elegi dengan hati remuk; sedang logikaku adalah arena
ludira yang aksanya melebihi Kurukhsetra; ruang terlaksananya kematian raya jauh melebihi
perang Baratayudha. Layaknya jutaan warna yang lahir ketika cahaya diuraikan ke dalam
elemennya: berisi komplikasi hidup yang serumit koma atau hela nafas yang terbatas.
Hingga titik kecil hitam menjadi tanda atas nafas yang sekarat ketika hendak berucap cinta.
Sebuah tanda yang meregas ucapanku tanpa ampun sampai kau terlanjur pergi meninggalkan
sisa-sisa nafas penuh sesal yang membuatku berharap bahwa waktu akan membawamu pulang
lagi.
Sekelumit asmaraloka tertuang dalam lembaran-lembaran nestapa penuh aksara berapi-api
sebagaimana kau menuangkan tinta kirmizi tanpa acuh kepada segenap hati yang terejawantah
dalam wujud aksara yang tertransplantasi dalam wujud tulisan.

***

Tentangku

Perkenalkan namaku Candra. Aku adalah salah satu diantara miliaran pria dengan rasi bintang
dua anak kembar. Kelahiran Kota Bogor. Jika nanti kau berkunjung ke kotaku jangan heran jika
kau melihat atap rumahku yang terbuat dari derai hujan dengan dinding-dinding kokoh yang
terbuat dari bianglala paling urna.

Aku terlahir dari keluarga yang berkecukupan. Itu artinya aku adalah anak yang beruntung.
Karena sedari kecil aku mendapatkan aneka mainan dan fasilitas dari orangtuaku. Meskipun
tentu saja tidak semua keinginanku mampu mereka penuhi tapi aku tetap merasa bersyukur
terlahir sebagai anak yang beruntung.
Pun dengan kondisi keluarga yang berkecukupan itu aku tinggal di sebuah komplek perumahan
dimana tetangga dan kawan-kawan bermainku adalah anak-anak yang sama beruntungnya
denganku. Begitu juga di lingkungan sekolah. Meskipun lebih beragam tapi kebanyakan dari
mereka bernasib sama sepertiku.

Tepat hari ini pada tanggal 24 Mei adalah hari ulang tahunku yang ke 22 Tahun. Namun bagiku
itu hanya sebuah hitungan angka yang tak ada artinya jika kita tak bahagia. Maka aku selalu
menghitung bahagiaku dengan apa atau siapapun aku menghabiskan waktu. Selama berwaktu-
waktu telah kulewati untuk menikmati masa kanak-kanak yang penuh dengan kesenangan dan
ketidaktahuan tentang dunia dan kini aku telah menjadi dewasa yang belajar memahami tentang
bagaimana dunia ini berotasi.
Pada masa kecilku mungkin tak perlu dipertanyakan saat aku dan teman-temanku sedang
berbincang tentang mainan-mainan terbaru. Bahkan tidak kalah hebatnya ketika membicarakan
tentang siapa perempuan tercantik di sekolah. Heboh bukan main! Semua memperebutkan.
Saling bicara juga mendengar. Demi satu cita-cita agar tidak dikatakan ketinggalan zaman. Buta
teknologi atau kurang kekinian.
Lingkungan seperti itu yang selama ini aku jalani hingga di bangku kuliah pun tak ada bedanya.
Bahkan lebih ganas. Sekarang aku merasa dikelilingi oleh papan-papan iklan berjalan yang
membuatku seringkali menyingkir ketika teman-temanku mulai berbincang tentang smartphone
versi terbaru seperti smartpone berlogo buah Apel dan merek-merek lainnya.
Bukan munafik. Aku memang tidak menolak mentah-mentah teknologi beserta perangkatnya
tapi aku juga sama sekali tidak tertarik dan tidak membutuhkan panduan apapun tentang
bagaimana seharusnya kita perlu menjalin komunikasi yang lebih efektif via Whatsapp, Line
atau jalan pintas jejaring sosial sejenisnya. Karena sesekali berselancar di Google pun sudah
cukup menguras waktuku apalagi jika aku harus membeli barang-barang yang memang tidak
dibutuhkan. Ya, selain waktu, itu juga akan menguras dompet.
Dari hal itu aku memahami bahwa dengan tanpa kita sadari sebenarnya produsen-produsen
tersebut memiliki agen-agen pemasaran tak resmi yang bahkan tak perlu dibayar tetapi mampu
menggiring keuntungan besar. Tentu jawabannya adalah diri kita sendiri sebagai konsumen yang
baik dan setia untuk membeli sekaligus mempromosikannya.
Ada salah seorang teman kuliahku yang memang terlahir dari keluarga berada. Sebut saja Weber.
Ia adalah teman yang baik karena selama ini ia tidak pernah memiliki masalah denganku. Tapi
memang ada satu hal yang cukup mengganggu. Selain ia sedikit perhitungan, teman-temanku
yang lainnya juga sering sekali menceritakan bahwa Weber adalah anak yang tidak mau kalah
tentang gengsi terutama menyangkut kepemilikan atas produk-produk elektronik.
Suatu ketika, Max yang juga teman kuliahku membeli motor baru yang sama persis dengan milik
Weber. Selang beberapa hari kemudian ternyata Weber sudah membeli motor baru dengan
merek yang sama tetapi jauh lebih unggul daripada sebelumnya.
Ia membuatku tak habis pikir melihat tingkah konsumsi semacam ini. Teman-temanku pun
berujar agar aku tak perlu heran. Mereka memberitahu bahwa karakter Weber memang seperti
itu. Ia tidak suka memiliki barang yang sama atau barang yang lebih rendah dari teman-
temannya.
Tapi itulah kenyataannya. Masyarakat kita memang seperti ini dan ini bukan perilaku yang
langka. Sebab kita hidup di dunia dimana perlombaan menumpuk barang-barang trendi yang
tidak boleh kalah dengan usaha menumpuk pahala bahkan terlihat lebih dipaksakan dan
nampaknya kita bahagia menjalani itu semua.
Tapi tunggu, benarkah kita bahagia? Apa kita akan puas dengan itu semua?
Pola konsumsi terkini memang tidak bisa dibandingkan dengan pola konsumsi pada masa kakek
buyut kita. Karena sebelum terjadi Revolusi Industri orang-orang pada umumnya hanya memiliki
satu atau beberapa potong pakaian sebagai cadangan. Kalaupun cukup sejahtera mereka hanya
memiliki segelintir pakaian yang dapat digunakan untuk acara-acara tertentu. Dan jumlah
barang-barang yang dimiliki oleh sebuah keluarga yang kurang mampu mungkin dapat dihitung
dengan jari. Sedikit sekali, namun mereka mampu menyesuaikan dengan kebutuhan mereka
sehari-hari.
Sedang di masa sekarang orang-orang menyebut gaya hidup semacam itu adalah sebuah
kemiskinan. Ironis. Tapi itulah realitanya. Pola konsumsi menjadi lebih rumit. Ia bukan hanya
sekedar usaha untuk memenuhi kebutuhan pokok sebagai upaya bertahan hidup. Lebih dari itu
para produsen juga menawarkan nilai atau imaji-imaji yang membuat orang-orang mendapatkan
sesuatu lebih dari sekadar objek yang dikonsumsinya.
Sederhananya ketika kita membeli mobil mewah otomatis kita juga akan mendapatkan bonus
berupa pengakuan dari masyarakat bahwa kita adalah golongan berada atau orang yang sukses
dan dengan cepat akan memikat batin orang lain lalu membuat mereka iri. Sehingga bisa
kusimpulkan bahwa objek-objek yang kita beli tersebut memiliki fungsi sebagai alat untuk
memperkuat status sosial.
Bagi kelas-kelas masyarakat yang memiliki daya beli tinggi mungkin konsumsi artinya membeli
sesuatu yang tidak memiliki manfaat dan jauh dari nilai guna dan inilah hasrat dan gairah yang
sedang kita hidupi. Kita bukan lagi membeli barang melainkan membeli pengakuan status
sosial.
Karena itulah segala perilaku konsumsi mulai kehilangan makna akibat keganasan proses
konsumsi itu sendiri yang memaksa kita untuk terus membeli, membeli dan membeli. Hingga
kita rela mengantri dan menggali lubang lebih dalam demi gengsi atas barang-barang yang
sesungguhnya tidak kita butuhkan.

***

Menjelang akhir masa kuliah seringkali aku mengenang betapa menyenangkan ketika teman-
teman sebayaku masih banyak yang berkuliah. Begitu banyak momen menggembirakan. Mudah
sekali untuk berkunjung ke kota-kota dimana teman-temanku berada. Tentu aku bisa menginap
kapan saja dan dimana saja. Begitu pula sebaliknya. Hampir tiap awal bulan rumahku pun selalu
disinggahi mereka. Entah itu untuk sekadar menyeduh kopidiskusi atau mengunjungi
kekasihnya yang juga berada di Bogor.
Sama halnya ketika aku berkunjung ke Bandung dimana mayoritas teman-temanku tinggal
disana. Aku selalu merasakan momen-momen yang berbeda. Seperti terbebas dari segala
beban karena di sana aku banyak menghabiskan waktu untuk sekedar berjalan-jalan menikmati
cantiknya Kota Kembang. Sama sekali tidak terpikir tentang urusan kuliah dan tetek bengek
kampus yang menjengkelkan.

Tapi kini semua berbeda. Aku kehilangan teman-temanku semenjak mereka memasuki dunia
kerja. Momen-momen bersama mereka kini telah luntur. Amat menyedihkan. Terutama Andita,
sahabat dekatku sekarang bekerja di Jakarta. Jarak yang lumayan jauh serta jam kerja yang
begitu gila. Rasanya mustahil dunia ini mampu mempertemukan kami dalam momen-momen
yang begitu bebas dan leluasa.

Bukannya aku tak pernah menyadari situasi ini. Sudah sejak lama aku memikirkan hal ini dan
jujur itu membuat resah. Selama ini aku memang sedikit santai ketika mengerjakan skripsi
ketika teman-temanku mulai terlihat sibuk dan saling berkejaran untuk sarjana tepat waktu.

Aku tak suka fase-fasenya yang memaksaku untuk sibuk berkeliaran di kampus untuk
mengurusi segala macam tetek bengek persiapan sidang skripsi yang sangat menyita waktu.
Betapa tidak, aku harus menunggu dosen tanpa kepastian apakah dosen tersebut akan datang
atau tidak. Satu hari, mustahil. Dua hari, mustahil. Tiga hari, tetap mustahil. Baru hari keempat
ada sedikit kemajuan dan untunglah dapat terselesaikan di hari-hari berikutnya.

Rutinitas rumit seperti ini begitu membosankan apalagi tanpa ada teman. Lebih dari separuh
mahasiswa angkatanku telah lulus. Hanya beberapa gelintir saja yang ku lihat di kampus.
Nampaknya mereka juga memiliki kesibukan yang sama sepertiku. Hikmahnya, urusan-urusan
semacam ini memang berkhasiat untuk semakin merekatkan hubungan pertemanan. Dari yang
semula tidak kenal menjadi kenal dan tidak akrab menjadi tambah akrab. Tentu saja karena
persamaan nasib di ujung tanduk.

Jika semuanya lancar maka beberapa minggu lagi di keningku akan tertempel sebuah label
permanen bertuliskan "Fresh Graduate" dan beberapa bulan lagi aku akan diwisuda. Artinya
aku harus sesegera mungkin mulai mencari pekerjaan.

Bicara soal pekerjaan dan bekerja. Ada satu hal yang kini sering kurasakan dan sedikit membuat
jengah yakni perubahan pola pikir teman-temanku yang sudah bekerja. Setiap kali bertemu
pembicaraan mereka menjadi semakin membosankan karena jika bukan keluhan-keluhan soal
betapa melelahkannya pekerjaan mereka maka aku akan mendengar tentang segala macam
gurauan soal ide-ide bisnis macam apa yang paling mudah dan cepat untuk menghasilkan
keuntungan.

Pembicaraan mereka selalu berkutat soal kerja, gaji, kerja, gaji dan sebangsanya. Jujur saja aku
merasa tidak nyaman dengan semua ini. Seolah-olah hidup kita hanya berkutat di antara
lingkaran itu saja. Tapi toh hanya tinggal menunggu waktu aku juga akan dijebloskan ke dalam
penjara yang sama.
Masyarakat melihat bahwa ini adalah siklus yang normal. Mereka selalu memaklumatkan
bahwa memang seperti inilah realita hidup. Selepas sekolah kau harus menghidupi diri sendiri
karena mau tidak mau kau harus bekerja. Dan dalam dunia kerja kita akan selalu dituntut untuk
berpikir lalu bertindak dengan cepat. Tanpa henti bagai roda-roda mesin yang harus terus
berputar kencang demi kelancaran alur produksi.

Sesungguhnya bukan sekadar masalah malas atau rajin tapi kerja itu sendiri. Karena nyatanya
sepulang menggadaikan waktu dari bekerja kita justru tak bisa beraktivitas apa-apa. Seperti
yang dikatakan oleh Christophe Dejours bahwa manusia dikondisikan untuk memiliki perilaku
produktif dalam organisasi kerja dan di luar pabrik ia tetap mempertahankan kulit dan kepala
yang sama. Pola pikir kita memang sungguh telah teracuni dunia kerja dan tentu saja itu juga
mempengaruhi pola hidup kita bahkan lebih parah, rutinitas ini secara perlahan membuat kita
semakin asing dengan esensi kehidupan.

Beberapa temanku yang berasal dari keluarga mapan mulai memikirkan untuk berwirausaha.
Ada yang mencoba menginovasikan ketan susu. Ada yang membuka distro kecil-kecilan bahkan
menginvestasikan sejumlah besar uang untuk beternak ayam maupun lele. Mengapa mereka
terpikirkan solusi semacam itu? Mereka ingin kaya tanpa perlu menjadi budak orang lain?
Mungkin salah satunya dan ada banyak alasan tentunya.

Di samping itu setiap pekerja sesungguhnya menyadari bahwa ruang kerja adalah penjara.
Karena kerja upahan atau kerja yang dipaksakan kepada kita untuk mengikuti arus kompetisi
pasar adalah sesuatu yang menyebalkan sebagaimana penjara dalam arti sebenarnya. Kita tidak
dapat melakukan apapun yang ingin kita lakukan. Para bos-bos kita ibarat sipir penjara yang
selalu mengawasi gerak-gerik kita dengan sangat ketat. Apabila kita membangkang maka dalam
sekejap kita akan mendapatkan ganjaran keras. Lalu, di bawah kondisi semacam ini siapakah
yang tidak ingin melarikan diri?

Memang benar bahwa masih ada orang-orang yang mendapatkan pekerjaan dan bayaran
sesuai hobi. Tapi berapa banyak mereka yang beruntung seperti itu? Iya, aku bilang beruntung
karena mitos bahwa kemiskinan merupakan akibat dari kemalasan adalah omong kosong besar.

Belum lagi para jutawan seperti kaum selebritas. Bos-bos korporat atau orang-orang kaya baru
yang berhasil mengguritakan gerai-gerai bisnisnya di berbagai kota. Orang-orang seperti itulah
yang selalu dijejalkan ke dalam otak kita sebagai contoh sukses manusia modern hingga
akhirnya kita menjadi tergelitik lalu terperangkap dalam lingkaran kompetisi. Tentu saja definisi
“sukses” ini adalah nilai universal yang disepakati masyarakat dan lagi-lagi dunia kerja akan
selalu siap memeluk kita.

Seorang anarkis, Bob Black menganjurkan untuk penghapusan sistem.kerja upahan. Karena
baginya kerja merupakan sumber dari hampir seluruh kesengsaraan di dunia ini. Dan nyaris
segala kebusukan tercipta akibat dunia ini dirancang untuk proses bekerja. Oleh karenanya
untuk menghentikan penderitaan maka kita harus berhenti bekerja.

Dalam beberapa poin aku menyetujui argumentasi Bob Black tetapi itupun masih terdengar
sangat sulit untuk direalisasikan. Terutama di Indonesia yang notabene adalah negara Dunia
Ketiga. Sungguh tidak mungkin disamaratakan dengan kondisi mereka yang hidup di Amerika
Utara atau negara-negara Adidaya lainnya yang memperoleh pemasukan dari hasil keringat dan
darah para pekerja Dunia Ketiga sehingga dapat memperkuat kas negara untuk membiayai
tunjangan-tunjangan sosial. Sehingga kondisi hidupnya juga sangat berbeda.

Bahkan sang primitivis, John Zerzan kabarnya selama bertahun-tahun ia dapat membiayai hidup
sehari-hari hanya dengan mendonorkan darahnya. Entah berapa jumlah uang yang ia dapatkan
tapi yang jelas itu adalah sesuatu yang mustahil di Indonesia. Disini seorang pengangguran
adalah sampah masyarakat. Alih-alih tunjangan yang ada justru menjadi bulan-bulanan cemooh
masyarakat.

Suka tidak suka kita harus tetap berpura-pura bahagia dalam sistem perbudakan legal yang
menamakan dirinya kerja dan jika kau tidak dilahirkan dari rahim orang kaya maka ikhlaskan
dirimu untuk menjadi budak seumur hidup. Karena hari ini, kerja berarti kerja upahan untuk
menghasilkan komoditi maksimum demi penumpukan nilai-tukar. Bukan kerja kreatif yang
dikumandangkan Karl Marx yang bermakna aktivitas manusia dalam rangka menciptakan nilai-
guna dan bersifat kualitatif.

Semua itu memperlihatkan bahwa kita telah terjebak makin jauh dalam lingkaran akumulasi
kapital. Sulit sekali menemukan alternatif yang tidak bermuara pada keterpaksaan. Kita ingin
berwirausaha demi perubahan nasib yang lebih baik? Mungkin saja. Tapi bagaimana jika kita
mengalami kebangkrutan atau terdesak karena kebutuhan-kebutuhan yang sangat menguras
finansial? Belum lagi jika dihadapkan pada tagihan-tagihan yang menumpuk? Untuk anak
ingusan seusiaku saja sudah mulai tercecer beberapa tagihan disana sini apalagi mereka yang
sudah menjadi tulang punggung keluarganya.

Terpaksa kita harus kembali menjadi budak bagi orang lain atau jika kita telah sukses
menjalankan bisnis wirausaha dan berhasil menggapai impian untuk merubah nasib tanpa perlu
bekerja kepada orang lain. Lalu bagaimana agar semuanya dapat bertahan seiring dengan
perkembangan mode konsumsi? Bukankah itu berarti juga selalu menuntut agar kita
menggenjot produksi dan menghisap tenaga orang lain?

Aku tidak tertarik. Aku memang belum menemukan alternatif apapun yang mampu menopang
hidupku selain bekerja. Daripada menjadi bos besar aku lebih memilih menjadi budak orang
lain. Setidaknya demi hidup mandiri. Lepas dari tunjangan orang tua. Pada akhirnya, semakin
hari deklarasi Bob Black tentang abolisi kerja nampak semakin terlalu tinggi untuk ku rengkuh
meskipun sesungguhnya aku juga memendam mimpi yang sama.

***

Januari: Perihal Cinta dan Jatuh Cinta Bagiku


Ada kesepakatan universal tentang definisi cinta tapi jika ditanya mereka enggan menjelaskan.
Bagiku perasaan itu lebih erotis dari porno sebab aku adalah seorang voyeur yang melihat cinta
dari hubungan orang lain. Sebuah hobi nakal yang begitu menggelitik.

Katanya, cinta itu suci. Tapi wajar jika aku kurang merasakan sebab aku bukan orang Tuhan.
Panutanku adalah nafsu dan aku memuja setan. Nafsu dalam artian bukan birahi melainkan
sebuah hasrat berlebihan yang berlandaskan ego untuk ingin dimengerti. Sedang ego bagiku
adalah ajaran setan. Maka jika cinta didasari oleh perasaan ingin dimengerti, selamat kau telah
diperbudak ego.

Cinta masih menjadi konsep yang kompleks untuk dijelaskan. Aku benci bicara sains sebab
mereka tak sejalan. Sains dan perasaan. Fakta dan prosa. Ilmu pasti dan intuisi. Realita dan
mimpi. Sebenarnya aku sudah salah merasionalkan cinta tapi apa daya, aku tak tau harus
membicarakannya kemana selain ke sisi rasionalku. Bicara ke orang, perasaan seringkali
dijadikan bahan tertawaan. Bicara ke substansi kenikmatan, justru dilipatgandakan dan aku juga
tidak bisa bahasa Tuhan.

Satu hal yang pasti bahwa cinta adalah kebutuhan kita paling mendasar dalam hidupnya. Sudah
hal yang lumrah jika kita akan berbohong, menipu, mencuri dan membunuh atas nama cinta
bahkan lebih baik mati daripada kehilangan cinta. Benar bahwa cinta tak lepas dari kegilaan.
Seperti Apollo dengan kegilaan ramalannya, Dionisius dengan kegilaan prakarsanya, Muse
dengan kegilaan puisinya dan kita seperti Aprodhite dan Amore dengan kegilaan jatuh cintanya
yang sudah tentu jatuh cinta selalu membawa problematikanya sendiri.

Cinta mampu membuat kita seperti Tuhan, Setan bahkan menjadikan kita gila dan bagiku itu
menunjukan kualitas cinta yang kita miliki. Seperti Dewi Aprodhite yang dilukiskan bersayap
namun dengan mata yang buta semata-mata mengisyaratkan bahwa cinta tidak melihat dengan
mata melainkan hati. Ketika sesuatu yang rendah dan hina membuat segalanya tidak berharga,
cinta yang baik seharusnya dapat mengubah, membentuk dan memberikannya martabat.

Cinta seharusnya memperkaya batin kita, karena dengan cinta yang baik kita dapat merasakan
bahwa hidup itu luar biasa penuh urna bianglala, menjadikan kreatifitas yang besar, mendorong
kehendak yang kuat. Apa yang dulu tampak lesu, menjadi tampak bergairah. Apa yang dulu tak
memiliki api, menjadi berkobar-kobar. Lebih jauh cinta juga memperkaya makna hidup
meskipun kekayaan akan makna hidup harus ditebus duka dan air mata.

***

Hal lumrah yang sering terdengar di telingaku adalah bahwa banyak orang mendefinisikan
kebahagiaan dalam kekayaan material. Uang menjadi tolak ukurnya. Rumusannya adalah
semakin banyak uang semakin merasa bahagia begitupun sebaliknya. Karena uang menjadi
parameter kebahagiaan yang dapat menjamin hidup seseorang sebab setiap orang
menginginkan kebahagiaan bahkan menjadikannya tujuan hidup.

"Bu.. apa benar cinta tidak bisa memberi kita makan?" Tanyaku kepada Ibu.
"Kalau memang benar demikian, Ibu sudah menjualmu sejak bayi demi sesuap nasi. Cinta
adalah aksi nyata. Cinta itu memberi, mengusahakan, mengorbankan demi memenuhi
kebutuhan orang yang kita cintai." Jawab Ibuku.

Dari jawaban Ibuku, aku menyimpulkan bahwa cinta memanglah aksi bukan sekedar
kontemplasi tapi aku senang berkontemplasi dan berdansa dengan angan-angan artifisial
buatanku. Karena bagiku totalitas dalam kebahagiaan dalam jatuh cinta juga harus diungkapkan
dalam pernyataan seperti "Dunia ini hanya milik kita berdua". Pernyataan ini dikatakan semata-
mata mengungkapkan betapa besarnya cinta dan bahagianya kita.

Mungkin kau akan mengatakan bahwa "Dunia ini milik kita" adalah omong kosong besar. Tidak.
Orang-orang yang jatuh cinta tidak memiliki dunia ini dalam arti sebenarnya tetapi memiliki
dalam arti perasaan. Lebih dari itu, "Dunia ini hanya milik kita berdua" diucapkan agar
mengejawantahkan bahwa bahagiaku seluas dunia ini. Karena itu, jatuh cinta seharusnya
terarah kepada kebahagiaan total yang bersifat absolut.

Kebahagiaan cinta tidaklah terukur. Kebahagiaan yang tak terukur dalam cinta paling tidak
diungkapkan melalui kata-kata seperti "Betapa cantiknya dirimu yang mencintaiku." Bukankah
itu adalah suatu keberhargaan menyeluruh dari kekasihmu yang mengobarkan hatimu yang
mencintainya?

Namun seseorang pernah datang dan berkata kepadaku bahwa yang hidup akan menemukan
kasih sayang diantara awal dan akhir. Tapi bagiku, bukankah itu hanya untuk orang-orang baik
dan manusia yang menjalani kehidupan dalam martabat dan keutuhan saja? Sedangkan aku
adalah mereka yang dibuang dalam lalai. Tiada rumah bagiku selain singgah dari satu masalah
ke permasalahan lainnya.

Aku ingin kau mengenalku lebih jauh. Tentang bagaimana aku mengenali diriku sendiri itu
mudah-mudah rumit. Seperti ini, aku mengenali diriku sebagai Arial yang berlaga seperti
Helvetica yang membuat Times New Roman tertawa karenanya atau aku mendefinisikan diriku
sebagai seseorang yang senang berpura-pura. Mengartikan diriku mahal, berapi-api dan tahan
air. Pun aku mempersonifikasikan diriku sebagai Bus Damri tujuan Bandara Soetta yang enggan
berhenti di Terminal Baranangsiang bersama bus lain karena mainku kurang jauh dibandingkan
mereka. Katakanlah aku seperti layang-layang yang enggan terbang karena rangka bambu yang
tak seimbang. Mungkin seperti Bach tanpa kemampuan bermusik. Alexander yang linglung.
Trauman Capote yang niraksara atau Cassanova yang dikebiri.

Aku adalah seseorang yang selalu bertanya apa takdirku di semesta ini. Hanya resah. Bimbang.
Ingin mati lalu menghilang. Tapi sepertinya mati pun tiada yang menangisi. Hilang pun tak akan
ada yang merindukan. Jadi untuk apa? Mungkin kau tidak akan mengerti karena mungkin kau tak
pernah berdiri memandangi dunia. Merasakan menjadi seonggok tubuh yang tak berhak menjadi
bagian darinya. Terkadang aku selalu menghindari malam sebanyak pagi yang kuanggap tak
memiliki hati sebab aku selalu memalsukan diriku dengan sandiwara penuh dusta yang
mengobati reputasi kosong.
Mungkin nanti waktu segera mempersilahkan netramu untuk melihatku dengan segala
kebenaranku selain serpihan pemikiran yang terdampak peradaban. Diracuni oleh gas sosial dan
dirubuhkan oleh bola-bola api ekspetasi yang menjadikan nafasku seperti gaji buta dari Tuhan.
Sebab aku berjalan, berjalan dan terus berjalan sembari menggenggam surga dan neraka rakitan
untuk merayakan kehidupan sebagai pecandu nikotin dan angan-angan.

Aku selalu mengharapkan seseorang duduk berdua denganku dan mengatakan "Aku telah
melihat bagian terburukmu dan aku akan tetap tinggal." Saat itu seluruh cinta yang kumiliki
akan tertumpah padanya. Seluruh perhatian dan kasih sayang akan terarah kepadanya. Karena
dengan melakukan pemberian cinta yang total, aku yakin cinta akan menerima balasannya
berupa kebahagiaan penuh yang memeluk seluruh dunia; dunia ini menjadi milik kita. Sekalipun
kepemilikan yang jatuh cinta hanya sebatas "memiliki perasaan" bukan "perasaan memiliki".
Sebab memiliki perasaan itu bukan memiliki sesungguhnya. Tetapi perasaan memiliki
mempunyai tendensi memiliki yang sesungguhnya.

Aku akan mengatakan bahwa aku mencintainya. Namun aku tidak mengatakannya untuk
mendengarnya kembali melainkan agar ia mengetahuinya. Begitupun ia akan mengatakan "Aku
juga mencintaimu," meskipun dengan alasan bahwa itu tidak ada dalam rencananya sebab itu
datang seperti kilat yang menghentikan kerja otak dan membiarkan perasaan terdalamnya
mengatakan kata-kata itu kepadaku.

Kemudian aku memberikan penilaian yang paling tinggi kepadanya dengan mengungkapkan
"Kaulah dewiku. Kau ingin apa untuk aku berbalas budi? Sudikah menerima hati yang penuh
sepi, atau pankreas yang perlahan rusak atau mungkin seonggok nurani yang sudah kehilangan
fungsi? Aku tak memiliki apa-apa selain pinta padamu untuk meminta sesuatu kepadaku agar
aku merasa berarti. Mintalah sesuatu kepadaku."

"Kaulah pujanggaku. Satu pintaku, cintai aku terus dan aku akan terus mencintaimu. Sisanya
akan jatuh pada tempatnya." Jawabnya. Membuatku yakin bahwa aku telah menemukan cinta
dalam hidupku dan teman yang paling sejati. Betapa menakjubkannya menemukan seseorang
yang ingin mendengar tentang semua hal yang ada di kepala kita.

"Aku tidak bisa melihatmu tanpa ingin menciummu." ungkapnya. Aku balas tersenyum. Lalu kita
berciuman. Ia tenggelam dan aku seperti udara yang berbisik, "Mungkin aku bukan yang terbaik
untuk dicintai tapi menurutku aku pandai dalam mencintai." Betapa dahsyatnya cinta sehingga
kita dibuatnya terbang dan sama-sama merasakan seperti kita adalah makhluk yang berasal
dari negeri dongeng dimana aku dan ia sudah menjadi raja dan ratu di sana dengan rakyat yang
berbahagia.

***

Aku ingin kau juga percaya bahwa suatu hari nanti kau akan dipertemukan dengan seseorang
yang berperangai sama seperti dirimu dimana kau rela melewati masa dan berbagi cerita
dengannya hingga pada akhirnya waktu menjatuhkanmu dalam keanehan bernama cinta dan kau
meyakini bahwa apapun tentangnya adalah sempurna.
Karena dalam waktu kesibukanku terkadang aku juga berhenti sejenak dan melanjutkan tanya
tentang takdir Tuhan yang selalu saja menjadi misteri. Seperti tentang seberapa banyak langkah
yang telah kuambil untuk sampai di titik ini dan dengan siapa aku akan dipertemukan kelak.
Bagaimana denganmu, apa kau juga mempertanyakan hal yang serupa? Mungkin seperti tentang
kepada siapa hatimu akan dijatuhkan dan pada siapa cintamu akan disemaikan? Atau untuk siapa
hatimu dipatahkan—lagi? Siapkah untuk mempersilahkan seseorang yang baru dan membiarkan
yang usang untuk hengkang? Kita tidak pernah tahu jawabannya.
Mungkin kau juga pernah mendengar bahkan lebih mengerti dariku bahwa cinta adalah luka itu
sendiri. Kita selalu mewanti-wanti agar tak terlalu cepat mencintai dan tak mudah percaya pada
kata cinta dari seseorang. Namun sayangnya cinta tak pernah kehabisan cara untuk
menerbangkan angan kita setinggi langit lalu tak ragu untuk menjatuhkan kita ke dasar palung
kesedihan paling dalam. Karenanya dunia selalu memiliki dualisme yang bertentangan seperti
kebahagiaan dan kesedihan yang tak bisa bersemi dalam waktu yang bersamaan.
Tak bisa dibohongi bahwa ketika harap tidak sesuai dengan kenyataan, hal termudah adalah kita
menyalahkan orang lain ataupun keadaan dan hal yang paling sulit ialah mengikhlaskan duka
atas rasa yang telah pergi. Membuat kalbu kita tenggelam dalam kubangan kenangan dan
membisukan akal yang juga ingin didengarkan.
Saat itu kau harus mengingat bahwa sejak awal kau sudah mempersiapkan diri untuk ikhlas dan
menanggung segala konsekuensinya. Maka sudah tak ada lagi yang perlu dipersalahkan bahkan
untuk sebuah pengkhianatan. Sebab di dalam insan manusia selalu ada benih pengkhianatan yang
menunggu tenggat waktu untuk menyeruak dan di-Aamini sebagai titik lemah dari kemanusiaan.
Maksudku bukan berarti kau harus alergi terhadap kata cinta dan mencintai. Tidak. Tetaplah
mencintai. Teruslah mencintai. Jika kamu ragu dan takut untuk kembali mencintai seseorang
yang baru sebab lukamu belum kunjung sembuh. Tak apa. Setidaknya jangan pernah ragu dan
takut untuk selalu mencintai dirimu sendiri. Sebab yang tak akan pernah mengkhianatimu adalah
dirimu sendiri.

***

***

"Kebijaksanaan sejati datang ke masing-masing diri kita saat kita menyadari betapa sedikit kita
memahami tentang kehidupan, diri kita sendiri, dan dunia di sekitar kita."

— Socrates
"Seorang filsuf: yaitu orang yang selalu mengalami, melihat, mendengar, mencurigai, berharap
dan membayangkan hal-hal luar biasa; yang terpesona oleh pikirannya sendiri seakan-akan
pikiran itu berasal dari luar, dari atas, atau dari bawah; yang mungkin dirinya menjadi badai
topan, yang berkeliaran dengan membawa kilat baru; seseorang yang tidak menyenangkan,
mondar-mandir sambil meraung, menggerutu. Seorang filsuf: ya ampun, makhluk yang
seringkali lari dari dirinya sendiri, takut pada dirinya sendiri, namun terlalu ingin tahu untuk
tidak 'sampai pada dirinya sendiri'..."

— Friedrich Nietzsche, Beyond Good and Evil: Aforisme 292

Aku pikir ada satu kesamaan nasib antara Nietzsche dan Socrates: kematian yang dihadapi
secara tragis. Socrates, ia adalah pria tua yang senang berkeliling di keramaian kota Athena.
Setiap hari ia mengajak orang berdiskusi, di pasar, di taman, di jalan-jalan, dan selalu cerewet
mengajukan pertanyaan, yang sengaja ia lakukan—untuk menguji kedalaman sekaligus
kemerdekaan berpikir. Itulah apa yang sekarang kita kenal dengan berfilsafat. Kita tahu akibat
kesehariannya ini ia dituduh sesat oleh sebagian masyarakat, dan berujung pada eksekusi mati.
Meskipun pengadilan menawarkan opsi kepada Socrates untuk pergi ke kota lain, tetapi dengan
keteguhan hati ia memilih menenggak racun cemara. Ia memilih mati menjadi martir, demi
kebenaran dan kehendak bebasnya sendiri.

Nietzsche, banyak orang bilang ia adalah palu godam di masanya, ia adalah pemberontak, ia
adalah suara ganjil, bahkan banyak pula yang menyebutnya dinamit. Bagaimana tidak, semasa
hidupnya Nietzsche menguliti borok-borok di dalam agama, pengetahuan, seni, bahasa dan
bermacam bidang lainnya. Ia berteriak sinis pada institusi kekuasaan, ia mendobrak segala
kebiasaan umum masyarakat. Dan, hidupnya berujung pada kegilaan, sebelum akhirnya mati
tanpa sempat menikmati kemasyhuran.

Peradaban sudah bergerak jauh dibandingkan era Nietzsche, apalagi Socrates. Tentu banyak
sekali perubahan besar, yang mungkin oleh masyarakat terdahulu tak sempat diimajinasikan.
Hari ini, ada negara, ada pemerintah, ada kebijakan politik, ada tatanan masyarakat yang
terlihat lebih bebas dan demokratis, namun sesungguhnya amat bersifat koersif. Hidup semakin
banyak alternatif, yang artinya semakin banyak pula kebutuhan-kebutuhan yang tidak
dibutuhkan.

Pelajaran dari kedua filsuf tersebut, yang rentang masa hidupnya terpaut ratusan abad,
sesungguhnya masih relevan untuk digunakan menghantam kehidupan harian kita di masa kini.
Sebab rutinitas peradaban modern agaknya telah membuat kita melupakan pertanyaan-
pertanyaan krusial mengenai bagaimana manusia itu sebenarnya.

Seandainya kita tahu apa yang kita lakukan?

Seandainya kita tahu apa yang kita inginkan?


Seorang temanku sejak kecil ingin menjadi musisi tapi tidak pernah bisa mewujudkannya
karena tidak diizinkan orang tua. Seorang temanku lagi, bermimpi menjadi dokter tapi ternyata
berakhir menjadi buruh pabrik karena tidak punya biaya untuk sekolah. Seorang teman lainnya
berpotensi menjadi pelukis tapi sang calon istri menuntutnya berkarir sebagai pegawai
kantoran. Aku sendiri, ingin menjadi penyair, memang ada uangnya?

Banyak sekali kerumitan, banyak sekali hambatan. Seolah-olah kita tak tahu apa yang
sesungguhnya benar-benar ingin kita lakukan untuk diri kita sendiri, sebagai diri kita sendiri.
Terkadang kita melakukan segala aktivitas hanya karena orang lain telah melakukannya, atau
karena orang lain ingin kita melakukannya. Kita tak lagi tahu diri kita sendiri, apa keinginan kita
dan siapa sesungguhnya kita. Jika sudah seperti itu, seberapa banyak kebahagiaan yang bisa
kita rengkuh?

Semuanya menjadi serba seragam, kita kehilangan keunikan atas diri kita sendiri. Seolah-olah
ada begitu banyak komando yang datang dari luar untuk kita taati. Tak lagi bebas
mengekspresikan diri, tak lagi merdeka untuk berlari kesana kemari, serupa domba yang
digembalakan.

Sabtu sore kini di kedai kopi yang ada di Jalan Malabar, Kota Bogor, aku bersama beberapa
teman kampusku, menonton film dokumenter berjudul “Baraka". Sebuah film yang bagus dan
cukup memikat. Awalnya terkesan janggal karena di lima menit pertama aku mulai heran,
mengapa sama sekali tak ada tulisan ataupun dialog, lewat sepuluh menit tetap tidak ada,
hingga menit-menit berikutnya aku mulai paham bahwa film ini memang bergaya demikian. Tak
ada plot, tak ada aktor, tak ada narasi, yang ada hanyalah sekumpulan footage yang
memperlihatkan segala sesuatu di muka bumi ini. Ratusan lokasi sekaligus berbagai macam
aktivitas di puluhan negara yang berbeda.

Sedari awal hingga akhir, disuguhkan berbagai macam potret panorama alam yang sangat
menggiurkan. Mulai dari pegunungan Himalaya di Nepal, kepulauan Galapagos di Ekuador, air
terjun Iguacu di Argentina, Taman Nasional Kakadu di Australia, pulau Maui di Hawaii, hingga
Gunung Bromo di Probolinggo. Kemudian lanskap-lanskap tersohor seperti Candi Borobudur di
Magetan, Angkor Wat di Kamboja, kuil-kuil pemujaan di Jepang, hingga Piramida Giza di Mesir.

Tak luput pula tempat-tempat yang membuat hati agak miris seperti Favela da Rocinha,
perkampungan kumuh di Rio de Janeiro, Brasil; lapangan Tiananmen di Beijing yang pernah
menjadi arena penembakan massal; Auschwitz, kota bekas kamp konsentrasi Nazi di Polandia;
hingga Sonsam Kosal Killing Fields, tempat pembantaian manusia semasa rezim Pol Pot di
Kamboja.

Selain itu, ditampilkan beragam aktivitas dramatis mulai dari ritual agama atau kepercayaan
setempat, tarian suku-suku primitif hingga kerumitan masyarakat urban. Semua footage itu
saling berkelebatan dengan cepat, berpindah antara satu lokasi ke lokasi lainnya, memang
membingungkan karena tidak ada nama atau keterangan apapun. Tapi mungkin inilah yang
menjadi tujuan sang pembuat film, kita sengaja dibawa melintasi berbagai belahan dunia untuk
mengenali secara jeli setiap esensi yang terekam di antara satu tempat dengan tempat lainnya,
atau satu aktivitas dengan aktivitas lainnya. Kemudian mengaitkannya satu sama lain, mungkin
akan terjalin sebuah similaritas atau bahkan kontradiksi tajam.

Agar memudahkan pemahaman, aku sendiri lebih suka menyederhanakan ratusan footage ini
ke dalam tiga kategori makna, yaitu berkah, spiritualitas dan petaka. Berkah untuk menyebut
segala macam panorama yang indah nan menakjubkan; spiritualitas untuk menyasar berbagai
ritual kepercayaan; dan petaka, tentu saja merupakan sebuah kata yang sangat pas untuk
menggambarkan kehidupan masyarakat pasca modernisasi ini, sebab di tengah ‘kemajuan
peradaban’ ia justru terlihat tragis dan memilukan.

Sebagian besar fenomena yang disuguhkan memang memukau dan mencengangkan, namun
yang paling membuat gusar adalah ketika film ini menelanjangi denyut nadi kehidupan harian
masyarakat primitif versus masyarakat modern. Lebih jauh lagi, kedua masyarakat dengan pola
hidup yang jauh berbeda tersebut seakan-akan memang sengaja dikomparasikan untuk
memberikan penekanan lugas bahwa kehidupan modern adalah ‘kanibalisme’.

Ya. Kehidupan modern adalah kanibalisme. Betapa tidak, semua terekam begitu gamblang
ketika disandingkan dengan potret kehidupan suku-suku primitif di berbagai belahan dunia.
Digambarkan tentang kehidupan mereka yang tenang dan tentram dalam sebuah komunalitas
dengan populasi tak terlalu besar sehingga nampaknya tercipta pola relasi yang erat diantara
sesamanya.

Selanjutnya dikomparasi dengan keseharian masyarakat modern yang rumit, timpang dan serba
tergesa-gesa. Salah satu footage menampilkan seorang biksu yang sedang berjalan lambat di
jalanan kota Tokyo sambil menggoyangkan loncengnya setiap satu langkah, sangat kontras
dengan orang-orang di sekelilingnya yang berjalan cepat kesana kemari mengejar kepadatan
waktu.

Lalu buruh-buruh pabrik dengan gerak termekanisasi yang tak ada bedanya dengan mesin-
mesin pabrik itu sendiri, para gelandangan yang sedang tertidur pulas di berbagai tempat dan
posisi, kericuhan jalanan kota metropolitan dimana kendaraan berlalu-lalang tanpa henti,
hingga sampai gambaran tentang domestikasi hewan, anak-anak ayam yang dilabeli di pabrik,
dipotong paruhnya demi percepatan pertumbuhan, kemudian digelindingkan secara elegan
dalam alunan mesin pabrik untuk menuju tempat eksekusi selanjutnya—terselip pesan utama:
ganas dan monoton.

Lantas, bukan berarti aku mengatakan bahwa kehidupan suku primitif itu sempurna, tentu saja
tidak ada masyarakat yang hidup tanpa error. Tapi sungguh aku merasa tergelitik sekaligus
bergidik ketika memelototi detik demi detik dalam film Baraka ini.

Bukankah kita memang hidup dengan cara demikian? Kita terkurung dalam satu sangkar
raksasa tapi tidak saling menyapa. Kita terasing, padahal kita berada dalam kerumunan besar.
Kita berdiam diri, padahal kita tahu bahwa kita sedang dipenjara. Ataukah kita memang tidak
menyadari semua itu?
Contoh sederhananya saja, kita lupa bagaimana lelahnya berjalan kaki karena kemana-mana
selalu mengendarai mobil atau sepeda motor, kita lupa bagaimana nikmatnya menulis dengan
tangan karena telah begitu terbiasa mengetik lewat komputer, kita lupa rasanya cedera akibat
bermain bola karena terlalu banyak berkutat di depan game sepak bola digital, kita lupa keluar
rumah untuk menyapa tetangga dan bermain dengan teman-teman karena malas beranjak dari
depan televisi, dan seringkali kita juga lupa bagaimana asyiknya berkenalan kemudian bicara
langsung dengan orang asing di sekitar kita karena terlalu asyik mengutak-atik ponsel pintar
untuk sekadar mengunggah status atau berbalas pesan dan menjadi pengikut akun para
selebritis di Instagram. Kita justru sibuk bergaul dengan mesin, bukan sesama kita.

Bagi masyarakat modern, primitif seakan bersinonim dengan tidak ada kemajuan atau stagnansi
peradaban. Bahkan kaum adat di Papua yang memakai koteka pun seringkali menjadi bahan
lelucon kita. Perang antar suku pun juga dianggap sebagai kebiasaan dan naluri yang barbar.
Dan tentu saja “barbar” disini berarti kata sifat yang sangat buruk yang hanya dimiliki kaum-
kaum primitif, sesuatu yang memalukan dan harus dienyahkan.

Tapi benarkah seperti itu? Lalu, apakah masyarakat modern dapat dikatakan lebih manusiawi
karena mengalami revolusi di berbagai bidang? Dan kaum primitif lebih liar dan kebinatangan?
Mungkin selama ini kita tidak pernah menyadari bahwa sesungguhnya kita memberikan
legitimasi sekaligus juga terlibat ke dalam ‘perang’ yang lebih besar.

Aku tidak berkata perang seperti invasi Amerika ke Iraq, terlalu besar dan siapapun tahu bahwa
itu adalah kebiadaban yang bermotif ekonomi. Semenjak globalisasi berhasil mengikat dunia ke
dalam satu sangkar raksasa, maka segala produk yang kita beli maupun beberapa hal kecil yang
kita lakukan sebenarnya selalu berpotensi mendukung invasi perang semacam itu.

Tidak perlu terlalu jauh, sekarang tengok saja perang-perang yang terjadi dalam keseharianmu,
di sekolahmu, kantormu, pabrikmu, atau di jalanan-jalanan kotamu yang seringkali luput dari
perhatian karena kita menganggap bahwa semua itu bukanlah perang, tetapi memang suatu
bentuk aktivitas yang wajar, alias normal. Padahal setiap hari kita melihat banyak korban-
korban berjatuhan, termasuk diri kita sendiri.

Semua perang itu adalah ajang pertarungan di atas arena bernama kompetisi dan akumulasi
kapital. Lagi-lagi motif ekonomi demi modernisasi? Bukankah itu sama sekali tidak manusiawi?
Lagipula apakah kaum primitif ini hidupnya tidak bahagia, karena kekunoan mereka? Sepertinya
tidak. Memang ada beberapa yang mulai terpengaruh modernisasi, namun juga banyak sekali
dari mereka yang tetap bertahan bahkan rela berperang demi menjaga martabat dan adat-
istiadatnya agar tak terjamah pemerasan modernisasi, yang termanifestasi ke dalam proses
industrialisasi serta intensitas teknologi.

Menonton Baraka yang mengomparasikan aktivitas suku-suku primitif dengan kehidupan urban
di berbagai belahan dunia inipun membuatku semakin terguncang, bahwa mungkin sebenarnya
justu kitalah yang harus bertanya lagi kepada diri kita sendiri. Benarkah masyarakat modern ini
bahagia?
Seperti halnya aku dan kekasihku, saling menelepon adalah agenda rutin tiap malam bagiku dan
kekasihku, bahkan seringkali kami telepon saat larut malam hingga salah satu tertidur dan
kemudian hanya terdengar dengkuran di ponsel kami. Sungguh mengenaskan, kami berdua
harus menuai rindu melalui mediasi seonggok mesin bernama telepon genggam.

Tapi tak banyak cara yang mampu kami lakukan, ini memang satu-satunya alternatif agar kami
bisa tetap berkomunikasi. Bandung-Bogor lumayan jauh untuk kami tempuh dalam periode
yang berkelanjutan, sehingga membutuhkan waktu luang yang cukup lama agar kami dapat
saling mengunjungi dan menghabiskan waktu berdua. Dan waktu luang sekaligus uang inilah
yang sangat jarang kami miliki.

Belakangan ini, kekasihku yang notabene karyawan di salah satu perusahaan besar di Bandung,
sangat sering bercerita panjang lebar tentang betapa parahnya para karyawan disana. Hampir
semua memiliki ponsel pintar terbaru, belum lagi ditambah satu ponsel lain dengan merek
berbeda. Kondisi kerja disana seakan-akan memang menuntut para pegawainya untuk memiliki
ponsel terbaru. Bagaimana tidak? Tiap ada agenda rapat, data-data atau informasi-informasi
lainnya selalu disebarkan lewat ponsel, sehingga mereka yang tidak memiliki ponsel terbaru
dengan kapasitas penyimpanan lebih besar tentu saja akan kewalahan.

Lucu? Sesungguhnya memuakkan. Ia juga sering mengeluh karena kerap diacuhkan oleh teman-
temannya yang sedang keranjingan salah satu merek ponsel ternama. Contohnya, ketika
sedang kumpul bersama di satu tempat makan dan duduk melingkar di satu meja sembari
menunggu makanan datang, mereka justru tidak saling ngobrol tetapi asyik sendiri bersosial
media bersama seseorang yang sesungguhnya berada nun jauh disana.

Akibat kondisi kerja atau mungkin juga karena gengsi maka satu-persatu teman kerjanya mulai
mengganti ponselnya dengan yang lebih canggih. Alhasil sekarang hanya tersisa segelintir orang
yang tidak memiliki ponsel terbaru, termasuk kekasihku. Hingga kerapkali ia juga diledeki
teman-temannya. Aku tahu ledekan itu hanya bercanda, tapi kupikir itu keterlaluan ketika
seseorang diledek terus menerus hanya karena tidak memiliki produk-produk yang terbaru.
Bukannya aku membela kekasihku, tapi apakah kau tidak merasa bahwa segala macam
kekisruhan akibat tuntutan gaya hidup ini semakin tidak masuk akal?

Inilah apa yang disebut Karl Marx sebagai fetisisme komoditi, dimana benda, benda dan benda
menjadi semacam berhala baru bagi masyarakat, ia telah menjelma menjadi candu atau
sesuatu-yang suci, yang-tak-boleh-disepelekan.

Tak dapat disanggah bahwa teknologi mampu menghadirkan sejuta kemudahan yang
sebelumnya mungkin tak pernah terbayangkan. Kadangkala aku sendiri pun juga merasa
kerepotan ketika harus mengerjakan tugas kuliah tanpa bantuan perangkat-perangkat
elektronik. Teknologi ibarat tuhan baru bagi umat manusia. Instrumen teknologi yang kita
nikmati sekarang ini memang mempermudah banyak pekerjaan. Tapi di satu sisi, kita juga tak
dapat mengelak dari eksternalitas negatif yang menyertainya, seperti bagaimana ia justru
sangat berpotensi untuk menyeret manusia menuju alienasi, dan melenyapkan aktivitas-
aktivitas yang benar-benar nyata tanpa determinasi produk-produk teknologi.
Tentu saja jika kita dapat menggunakannya dengan baik dan benar. Bukan kita yang
dikendalikan oleh teknologi, tetapi bagaimana kita mengontrol teknologi dan
memanfaatkannya sebijak mungkin demi kepentingan kita. Mungkin kita harus mengeksplorasi
berbagai kemungkinan baru dalam ruang kreasi kita agar mesin-mesin pengontrol ini dapat
disiasati.

Ya, meskipun pada akhirnya, karena selalu kerepotan mencari informasi, dan menurutnya juga
dapat menghambat pekerjaan maka kekasihku memutuskan untuk membeli ponsel logo buah
Apel dan berencana memberikan ponsel lamanya untuk sang keponakan. Sebenarnya aku
keberatan, tapi ia tetap bersikeras. Aku menyerah, karena memang bukan aku yang merasakan
secara langsung situasi kerja disana. Akhirnya aku hanya berkomentar, "Ya udahlah, terserah
kamu aja…"

***

Setelah selesai menonton film dokumenter tersebut, aku dan beberapa temanku
menyempatkan diri untuk membahas tentang sidang skripsi serta beberapa hal teknisnya.
Selebihnya adalah bergurau. Di antara berbagai hal tidak serius yang kami bicarakan, sempat
ada satu topik serius yang kami bahas sekilas yakni tentang Mayday dan kesadaran pekerja.

Salah seorang adik tingkatku dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Mughni pernah menjadi
partisipan SPN saat bulan Mei lalu. Ia bercerita tentang pengalamannya ketika melakukan
longmarch untuk memperingati Mayday bersama para buruh di Kota Bogor yang tentu saja
dipimpin oleh organ-organ Kiri.

Mughni menuturkan kepada kami, bahwa setelah berkeliling di jalanan kota maka aktivitas
klimaksnya adalah berhenti kemudian duduk di satu tempat yang telah dipadati gerobak
makanan. Dan tentu saja pesta hari itu benar-benar tidak memberikan makna apa-apa bagi
para peserta aksi. Karena bagi mereka Mayday hanyalah sekadar momentum perayaan dalam
satu hari. Selanjutnya pulang ke rumah masing-masing karena esok pagi harus kembali bekerja
seperti biasanya, dan menabung yang rajin untuk berbelanja seperti biasanya.

Seusai Mughni bercerita, Ruben menyambar, "mengapa para pekerja ini tidak sadar betapa
krusialnya posisi mereka, dan betapa mereka adalah kaum yang begitu tertindas?" Tanyanya.

Aku pun mengajukan pernyataan, “kalau mereka merasa bahwa tidak ada yang salah dengan
kehidupan mereka lantas apa yang harus disadari? Tidak ada. Kecuali mungkin di momen saat
mereka dihadapkan pada ancaman pemecatan kerja.” kataku.

Untuk menggambarkan secara sempurna bagaimana keadaan ini, aku mengutip eksplanasi
panjang Morpheus kepada Neo saat menguraikan tentang dunia Matrix, yang dalam bahasa
Indonesia dapat diibaratkan sebagai dunia maya atau ilusi.
“Matrix adalah sistem, Neo. Sistem itulah musuh kita. Namun ketika kau ada di dalamnya,
pandangi sekelilingmu, apa yang kau lihat? Pengusaha, guru, pengacara, tukang kayu. Benak
orang-orang yang coba kita selamatkan itu sendiri. Namun sebelum kita berhasil, orang-orang
ini masih menjadi bagian dari sistem dan itulah yang menjadikan mereka musuh kita." kataku.
"Kau harus paham, kebanyakan orang tidak siap untuk dicabut dari pekerjaannya. Dan banyak
juga di antara mereka yang begitu betah dan begitu mati-matian bergantung pada sistem,
bahkan sampai rela berjuang untuk melindunginya.”

Atau dengan gambaran yang lebih kasar, bisa jadi para pekerja sebenarnya menyukai
kapitalisme. Benarkah? Jika dirunut ke belakang, maka rumusan Morpheus yang berangkat dari
tesis Jean Baudrillard dalam bukunya “Simulacra and Simulation” ini dapat dilacak melalui
pemikiran Guy Debord, seorang yang memimpin gerombolan Situasionis International yang
menjadi salah satu pemicu Pemberontakan Paris 1968.

Ia memaparkan dengan jelas bahwa segala segi kehidupan manusia telah dikurung ke dalam
satu kerangka yang disebut spectacle atau Dunia Tontonan. Dimana tontonan ini menyajikan
ilusi-ilusi tentang hidup sehingga pada akhirnya mampu membuat masyarakat terus jendera
dan tidak mampu terbangun dari mimpi buruk tersebut.

Dunia Tontonan adalah dunia dimana pasar mengontrol eksistensi kita. Entah itu melalui
televisi, radio, komputer, atau bentuk-bentuk teknologi lainnya. Segala yang kita lihat tidaklah
nyata, sebuah dunia yang memaksa kita untuk tetap setia menonton, diam dan tunduk
terhadap komoditas-komoditas yang dijejalkan ke hadapan kita terus menerus.

Seperti para pria yang hanya merasa gagah ketika berhasil memiliki tubuh berotot atau para
wanita yang hanya merasa cantik ketika telah memakai kosmetik atau tas-tas bermerek
keluaran terbaru. Jadi janganlah heran kenapa banyak bermunculan sepatu Nike atau tas Louis
Vuitton palsu, tentu saja diperuntukkan bagi mereka yang ingin terlihat kaya dan keren tapi
tidak punya uang.

Dalam bentuk yang lain, seorang pemuda yang ingin sekali jago bermain skateboard tapi sekali
pun tidak pernah menyentuh papan skateboard selain hanya memainkan kenyataan dalam
dunia game. Ia akan menghabiskan waktunya dengan sebuah aktivitas pasif yang berarti non-
aktivitas. Atau iklan-iklan yang telah mendunia seperti: "Hei belilah kaos bergambar Che
Guevara, makanlah sayur-sayuran organik dan koleksilah buku-buku Karl Marx jika kamu ingin
terlihat sebagai pemberontak revolusioner!"

Imaji-imaji tersebut ditampilkan sebagai sesuatu yang harus kita raih demi mendapatkan
kesenangan, kebahagiaan atau nilai-nilai ideal. Padahal faktanya, justru hal-hal tersebut
bukanlah sesuatu yang esensial bagi hidup kita. Maka untuk melepaskan diri dari dunia ilusi
tersebut kita perlu mengenali diri sendiri dan mimpi-mimpi kita sekaligus mewaspadai serta
menyaring segala macam hal yang hadir di hadapan kita.

***
Setelah dari menonton film tersebut aku memutuskan untuk segera pulang. Namun saat di
perjalanan anak-anak awan itu tiba-tiba terbangun. Membuatku harus menghentikan laju
sepeda motorku di salah satu halte dan berteduh.

Sesekali aku mengenang beberapa hal lewat jalanan basah yang tak jarang tergenang. Pada
langit yang lebih sering kelabu ketimbang biru. Orang-orang suka menyebutnya Kota Hujan,
sedangkan aku menyebutnya sebagai Kota Kenangan. Sebab setiap kali hujan menyapa kota ini,
orang akan berlalu lalang mengenakan jas hujan. Warnanya tak serupa dengan yang tinggal
pada memori, hanya saja hadirnya selalu mudah mengetuk pintu kenangan.

Misalnya kenangan melaju melawan hujan di atas dua roda bersama bapak, bersembunyi
dibalik jas hujan sembari sesekali bertanya; "sudah sampai pak?"

"sebentar lagi sampai nak,"

Atau kenangan melaju melewati tikungan di atas dua roda bersamamu, bersembunyi dibalik
rasa yang belum juga sempat jadi kata; "boleh aku datang ke rumahmu bersama orang tuaku?"

Haha... Tidak. Bukan itu yang ingin ku ingat melainkan tentang Kota Jakarta yang telah
merebutmu dariku. Di ibukota, tanah kuasa yang katanya menjanjikan sejahtera, disana aku
menitipkan rasa yang begitu megah. Aku yakin, pasti mengalahkan angkuhmu sebab kau takkan
tahu betapa mahal arti kebersamaan dan kesenangan daripada kultur yang memuakkan
bernama kerja dan kekayaan!

Bagiku kau rimba petaka. Muak aku melihatmu dengan peluh yang membanjir beserta
kepalsuan yang begitu anyir. Belum lagi gedung gedung sombongmu dan ribuan penguasa jalan
yang mengerat di balik keringat para gelandangan dan kaum urban di tanah berpangkat demi
sebuah alasan: "perut ini tidak dapat jatah dari malaikat karena itu, mau tidak mau, kami harus
jilat pantat!"

Aku tak berdaya. Aku susah mendengkur karena tiap malamku selalu basah dengan linang air
mata dan juga kenangan yang berebut memainkan petasan romantika hingga kerapkali aku
terbangun dan sejenak berharap pada sang penguasa: "oh, bila kau sungguh bernyawa, tolong
kembalikan bidadariku. Jangan biarkan ia terlalu lama menggauli dunia bersama kemunafikan
mereka,"

Di ibukota, dimana ia melempar jala harapan di salah satu korporasi yang memanipulasi negeri
ini dengan ratusan pemikat imitasi selebriti yang terpampang tiap kali kau nyalakan satu kotak
ajaib bernama televisi maka raih tenar dan prestasi, tunjukkan mimpi melalui bakat dan imaji!

"Awas tertipu karena mereka hanya menjadikanmu sebagai lumbung uang saku," aku
membatin. Mungkin kali ini aku hanya bisa pasrah dan mengutuki jarak yang membunuh tiap
kali rindu ini butuh pelukan hangat dan isyarat tubuh untuk mencinta. Bertukar senyum manja
juga umpat amarah dan gelak tawa. Karena di ibukota, aku tinggalkan pelangiku. Sudah
beberapa bulan berlalu dan kini ia lebih sibuk bercinta denganmu daripada diriku.
Sungguh aku tak pernah rela, selama ini aku hanya diam dan mencoba mengalah. Entah, aku
tak tahu sampai kapan kegilaan ini berakhir. Untuk detik ini saja aku menyerah kalah padamu.
Tapi ingat, jangan kau sangka aku akan tetap membeku. Ini semua sungguh terpaksa, aku
takkan membiarkanmu menyelingkuhinya lebih lama!

Setelah darah para serdadu, bapak bapak yang tak lagi memeluk rindu karena ibu ibu yang
sibuk mengejar harga susu, kini kau begitu licik berperan sebagi penipu hingga anak anak muda
terpaksa melacur padamu dan sekarang kau rebut kekasihku!

"oh korporasi, sungguh jalang dirimu!"

***

Setetes, dua tetes, tiga tetes, empat tetes. Air hujan akhirnya kembali pulang ke kampung
halamannya. Ke tanah kering, berisi hamparan debu dan keluhan para penghuni kota yang
melebur jadi satu. Melagu, menyelimuti atmosfer kota yang dihinggapi kebosanan dan
ketergesaan. Kemajemukan dan kesamaan-kesamaan. Kebebasan dan keterbatasan.
Kesempatan dan hambatan-hambatan.

Jalan panjang menuju rumah dihuni sepi, tetesan hujan di jendela bus, dan pikiran-pikiran tak
lumrah. Trotoar basah dan langit gelap. Seorang perempuan berkemeja kotak-kotak berhenti
tepat di depanku datang menghampiri. “Hai, di sini kosong?” Tanyanya.

Aku terdiam, mengangguk, "kosong.”

Kemudian perempuan itu duduk di sebelahku, memangku tas ransel hitam, dan bertanya lagi,
“Kau tahu kenapa langit tiba-tiba menangis?”

Aku menggeleng, “Kenapa?”

Perempuan itu bicara lagi, mendekatkan kepalanya, “karena langit sedang mencari rumahnya
yang lama hilang.” Tepat saat itu aku tersadar, terlalu lama aku tenggelam dalam percakapan
yang hanya hidup di ruang imajinasiku.

Tepat pada tanggal 24 September, aku bergegas menuju kampus mengendarai motor untuk
menghadiri forum kajian. Sesampainya di pelataran parkiran kampus yang berada di antara sesak
dan sempitnya ruang kosong akibat desakan motor yang hanya sanggup di beli dengan memaksa
ketidakmampuan ayah ibunya. Orangtuanya harus membayar mahal untuk ajang kontruksi anak-
anaknya yang tanpa sadar mereka telah menjebak anaknya sendiri dalam kontestasi panggung
gengsi yang kelak akan mematikan.
Dengan tenang kakiku berjalan menuju kelas. Tak ubahnya aku melihat papan-papan iklan yang
berjalan. Bagaimana tidak? Aku menjumpai para mahasiswa yang sedang melucu dan berdiskusi.
Bukan soal buku atau tugas-tugas kuliah yang belum selesai selama liburan, melainkan
membadut soal produk trendi masa kini.
Hei! Kau terlihat kurang kekinian tau! Makanya nggak ada perempuan yang suka. Coba kamu
beli motor gede atau vespa matic, pasti banyak perempuan yang mendekatimu!
Duh, gaya kamu kurang kekinian. Aku jadi malu jalan sama kamu, nanti diledekin temen-temen
yang lain. Harusnya kamu kalau kemana-mana pake sepatu branded dong.

Menjemukan sekaligus menggelikan dan kalimat-kalimat yang begitu membosankan. Aku tak
menyangkal bahwa aku tak jauh beda dengan mereka sebab aku juga adalah remaja lulusan dari
salah satu institusi pusat perbelanjaan besar di kotaku. Aku mudah kehilangan percaya diri pun
aku juga memiliki keinginan untuk memiliki sesuatu yang sama seperti teman-temanku.
Kini aku adalah mahasiswa semester akhir, dan aku berprinsip bahwa hidup tidak harus meniru
selebriti dengan pola konsumsi label ala anak muda metropolitan. Ya... pikirku kita memang
sebaya tapi bukan berarti penampilan kita harus serupa.
Ini terasa konyol sekali. Tapi sudahlah, aku cukupkan ocehan di pagi yang berbahagia ini. Lebih
baik aku melucu tentang insureksi. Tak apa jika dilabeli utopis bodoh atau dikatakan kuno
daripada berlomba-lomba dalam memperebutkan gengsi, dan sepertinya hal yang menyenangkan
jika aku mulai belajar dan meluangkan waktu untuk tahu dan mengenal dekat tentang betapa
rumitnya seorang perempuan yang bersemayam di hatiku — sejak dua tahun lalu.

***

Aku sadar, aku tidak akan pernah mampu untuk memahami perempuan itu. Sebab hingga
kini aku masih saja bertingkah laku seperti badut lucu kesepian yang menghibur anak-anak kecil
di sudut-sudut kota dan tak pernah mengerti betapa kesegaran sebotol minuman soda adalah
hasrat yang berpacu menuju kiamat. Di mana para pekerja tetap menjadi sekumpulan jiwa yang
menunggu sekarat untuk nisan yang akan dipahat di atas tanah yang akrab dengan kelaparan,
serta konsumsi ketidakwarasan atas parodi miliaran korporasi dan institusi yang berdiri nyaman
di atas derita anak-anak bumi. Maka kau hanya bisa menemuiku dalam bengis kesepian yang
karam diantara rindu yang memanggil-manggil.
Tapi tak perlu khawatir, aku mampu menjelma menjadi alunan kidung abadi di atas pagi
yang kelak aku akan menyanyikanmu sebuah lagu dengan berani dari sang waktu yang
melahirkan sekilas pandang dan kecup ciuman dalam parade magis yang membakar altar-altar di
neraka hingga menjadi linang tawa bahagia. Ketika aku menyambut senyummu yang serupa
bulan di pekatnya malam.

Atau barangkali kau lebih tertarik untuk menemui orang-orang yang lebih tertindas? Maka
carilah mereka di dalam pabrik-pabrik yang panas dengan jam yang tak kenal puas. Kau akan
melihat dengan jelas para pekerja yang bernafas dengan peluh mengelupas, karena hari-hari
adalah modal yang berpatroli di kanvas para penjual.
Jika kau enggan mencari mereka di dalam pabrik-pabrik, kau bisa menemui mereka di
jalanan beraspal yang berselimut debu dan bau menyengat dari gubuk-gubuk renta yang
bersembunyi di balik gedung-gedung bertingkat tempat para pejabat bertransaksi kuasa yang
mana tukar menukar tumbal adalah rapat mingguan mereka yang terjadwal.

Atau setiap hari sabtu dan minggu kau bisa menemukan sekumpulan iblis berseragam
lengkap dengan sepatu larsnya yang menjual wajah beringas. Memborbardir paksa karena lapak-
lapak pedagang kecil yang dibangun adalah dosa bagi estetika kota.
Kau akan segera menyadari bahwa ketidakadilan telah kehilangan rasa malunya. Bahwa
orang-orang berseragam itu adalah penjahat yang berkedok kepentingan rakyat! mereka telah
membuat negeri ini seperti pusara dunia. Mereka tidak berbicara untuk kita tapi mereka berbicara
tentang kepentingannya masing-masing.

Mungkin serupa aku dan kau yang menjadi pembicaraan bangsawan. Menawan namun tidak
sejalan. Seperti mereka menyusun kembali beberapa peraturan dengan tanpa telinga dan mata
yang terpasang di kepalanya. Membatasi peran lembaga yang memberantas kejahatan mereka,
mengkhianati reforma agraria, dan menandatangani penindasan-penindasan lainnya.

***

"Assalamualaikum.." ucapku kepada rekan-rekan dan adik tingkatku yang sudah lebih dulu
berkumpul di kelas. Mereka menyambut salamku hangat bersama buku-buku yang telah
terpajang di mejanya masing-masing.
"Belum mulai 'kan ya?" Tanyaku dengan perasaan tidak enak karena sedikit terlambat.
"Belum, Dra. Santai saja. Andi sedang dalam perjalanan ke sini.." jawab Gusti — Ia adalah
rekanku dari Fakultas Ilmu Pangan Halal. Kami berteman sejak masa pengenalan mahasiswa
baru; bersama Rezi, Aji dan Agung.

"Iya ngopi dulu aja kita dimari..." balas Rezi — Rekanku dari Fakultas Pertanian, bersama
Agung— sembari mengeluarkan sekantung plastik berisi kopi dari tas kecilnya.

"Haha.. Silahkan Bung..." sahut Agung sembari mengetuk-ngetukan pulpennya di atas meja.
Ia duduk bersebelahan dengan Aji yang juga satu fakultas dengan Gusti.
Setelah aku bersalaman dengan mereka — Sebuah tradisi di kampusku — aku duduk
bersebelahan dengan beberapa rekan kelasku. Meskipun tak semua mahasiswa dari fakultasku
menghadiri forum hasil kajian ini. Tak apa. Mungkin sebagian dari mereka sedang berjuang
dengan cara lain yang lain.
Tak lama kemudian Presiden Mahasiwa kami tiba diikuti beberapa rekannya yang
tergabung dalam kabinet Kolaborasi Juang. Disusul juga oleh beberapa Gubernur Fakultasku
bersama jajarannya termasuk salah satu di antaranya adalah Dzaki Rizky Adam dan Garnis
Intan Agit selaku ketua dan wakil gubernur Fakultas Pendidikan.
Seperti biasanya, mereka semua menyapa kami dengan rasa kekeluargaan yang tersirat ketika
mereka menepikan kedua sudut bibirnya kepada kami. Membakar semangat kami dengan
melantangkan tiga bait jargon mahasiswa yang berbunyi: "HIDUP MAHASISWA! HIDUP
RAKYAT INDONESIA! HIDUP PEREMPUAN INDONESIA!" Sembari mengangkat kepalan
jemari tangan kiri.
Forum hasil kajian di mulai. Kami mengkaji mengenai aturan-aturan lainnya yang akan
menjadi tuntutan kami kepada mereka yang mewakilkan suara putra-putri Ibu Pertiwi. Secara
garis besar kami mendesak agar mereka membatalkan atau paling tidak membahas ulang aturan-
aturan tersebut; yang diantaranya adalah RUKHP yang dibahas dalam tidur mereka sehingga
sangat bermasalah sebab dalam salah satu pasalnya yang berisi tentang hukuman untuk para
pelaku korupsi, lebih ringan dalam pasal 603 RUKHP bahwa pelaku tindak pidana korupsi
paling minimal di hukum 2 tahun penjara.
Pasal baru itu jelas berbeda daripada yang dicantumkan dalam pasal 2 dan pasal 6 UU
TIPIKOR yang menegaskan bagi pelaku tindak pidana kasus korupsi akan di kenakan hukuman
minimal 4 tahun penjara dan paling lama adalah seumur hidup. Dan dapat kami simpulkan
bahwa RUKHP ini sangat memudahkan para penjahat itu untuk bebas bertransaksi jual beli
pasal.
Hal yang kami tuntut berikutnya adalah penundaan pengesahan RUU Penghapusan
Kekerasan Seksual. Lalu, RUU Cipta Kerja yang secara garis besar mereka mengaamiini
pengusaha-pengusaha besar untuk merampas hak para pekerja. Sebab dalam usulan itu mereka
menghapus pasal 91 dalam UU Ketenagakerjaan yang menegaskan adanya sanksi bagi
pengusaha yang tidak membayar upah bagi pekerjanya.
Dan satu hal terakhir yang tertuang dalam daftar tuntutan adalah bahwa kami menuntut agar
pihak yang berkuasa atas ranahnya untuk mengusut penjahat-penjahat ekosistem agar
bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di bumi Ibu Pertiwi; serta mendorong proses
demokrasi yang dianggap masih menjadi hal utopis; sebab, mereka telah membatasi bahkan keji
membungkam hak-hak berpendapat dengan mengkriminalisasi para aktivis.
Diantara seluruh hasil kajian yang dijelaskan. Aku hanya terfokus mendengarkan penjelasan
dari mereka mengenai dua puluh enam poin Revisi UU KPK 2019. Aku tercengang ketika aku
mendengar ada salah satu poin yang sangat janggal dan menurutku pribadi poin itu bermasalah,
dimana adanya pemangkasan kewenangan pemberantas koruptor dalam hal penyelidikan dan
penangkapan. Bahwa penyidik tidak bisa mengajukan surat larangan terhadap seseorang untuk
pergi ke negeri seberang.
Maka aku menyimpulkan bahwa pada poin ini sangat beresiko dan sama saja dengan
memberikan keamanan dan kebebasan bagi mereka yang telah mencuri kesejahteraan rakyat
untuk melarikan diri dan bersembunyi dari hukuman.
"Sialan! Sebenarnya mereka menyusun ini atas dasar suara dan kepentingan siapa?! " celoteh
Aji.
"Tentunya untuk kepentingan iblis yang menyamar sebagai anak-anak dari Ibu Pertiwi. Jadi
sudah waktunya kita sebagai pemangku peradaban untuk ikutserta melakukan perlawanan
bersama saudara kita di sana!" sahut Gen seraya mengajak seisi ruangan.
"Ga ada gunanya juga, percuma ikut demo, mending main game dah gua." celetuk salah
seorang mahasiswa yang tak kukenali namanya.
"Mau sampai kapan kita hanya tertunduk lesu atau duduk diam seribu bahasa dalam tidur
yang berkepanjangan? Sudah cukup... langit yang kita puja sudah lama menyerah. Dan kita
masih aja berharap pada mimpi? Bangun kalian, wahai yang mencintai kebenaran!" Jemariku
membidik wajah mahasiswa tadi.
"Wajah bangsa ini telah dibasahi air liur busuk. Ini negeri telah berubah menjadi ngeri.
Menjadi negeri mimpi dalam cerita surga sebelum tidur. Salam atasmu wahai pemangku
peradaban! Diammu sama saja seperti meng-Aamiinkan sebuah penindasan! Sedang saat kita
melawan maka itu adalah perjuangan menolak penindasan! Pastikan esok kita bersama mereka
berada di depan garis juang agar di lain hari tak lagi kelam dan kusam!" kataku berapi-api
kepada seisi ruangan.
"Semoga kita semua tidak terlalu lama terjebak dalam kubangan luka hati pada hari-hari yang
lalu hingga kita kehilangan kewarasan. Sebab, waktu tak akan berdiam diri dan acapkali bosan
menunggu matahari terbangun dari tidurnya apalagi berharap pada tirani yang tak patut di
percaya." sambung salah satu seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial Politik.
"Hidup mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia! Hidup Perempuan Indonesia!" seisi ruangan begitu
menggema oleh semangat revolusi.

***

Kami memasuki pembicaraan selanjutnya mengenai surat pemberitahuan kepada rektorat


untuk melakukan kuliah di jalan sekaligus menentukan koordinator lapangan, menyusun teknis
lapangan serta penanggung jawab peserta aksi dari tiap fakultas.
"Ada yang mau bertanya?" ucap Andi.
"Ini bang, memang untuk aksi seperti ini, kampus mengizinkan?"
"Persepsi kampus kita terlalu sempit sehingga aksi pun harus izin. Dan sebenarnya aksi itu
tidak membutuhkan izin, hanya perlu koordinasi saja... maka surat yang akan kami sampaikan ke
rektorat adalah surat pemberitahuan, begitupun kepada aparat yang bertugas di lokasi aksi. Sebab
tak ada yang berhak untuk menahan kebebasan berpendapat." tutur Andi selaku Presiden
Mahasiswa.
"Jadi kalian hanya perlu paham tentang apa yang akan kita tuntut, niat yang baik dan tentunya
izin kepada orang tua kalian masing-masing untuk mengikuti aksi di Jakarta, guna mendapatkan
ridho Tuhan. Untuk teknis lapangan sudah paham semua?"
"Sudah bang.." serentak seisi ruangan menjawab.
"Baik, untuk yang diberi amanah sebagai penanggung jawab dari fakultas masing-masing
atas peserta aksi, mohon mengkoordinir dan mendata siapa saja yang akan ikut aksi besok...
Kami tunggu paling lambat jam 12 malam" ujar Presiden Mahasiswa sekaligus mengakhiri
forum kajian.
Usai dari kajian, aku mendampingi Dzaki dan Garnis selaku koordinator utama di fakultas.
Kami sepakat untuk mengkoordinir peserta yang akan ikut aksi melalui undangan grup Whatsapp
yang di sebarkan oleh Departemen Luar dan Dalam Fakultas Pendidikan—Risma Dwi Yanti—
ke grup Keluarga Besar Mahasiswa FKIP.
Tak butuh waktu lama, sekitar jam satu siang kurang lebih ada seratus peserta aksi yang
terdata di Whatsapp Grup Reformasi di Korupsi. Setelah sebelumnya kami juga menyebarkan
notulensi hasil forum kajian. Walaupun begitu kami masih harus sedikit menjelaskan kembali
perihal hasil kajian, teknis lapangan dan beberapa perlengkapan pribadi yang harus di bawa
ketika aksi.
***

Pukul tiga sore aku memutuskan untuk pulang dan beristirahat di rumah untuk merebahkan
diri seiring luka yang perlahan kehilangan dirinya sendiri; dan entah ingin rasanya aku menangis.
Namun, kali ini aku tidak meneteskan air mataku untuk luka hati yang telah lalu, maupun
untuk tirani ini. Aku menangis sebab teringat kepada seorang ibu tua yang mendorong gerobak
di sekitar perumahan tempat aku tinggal. Aku menumpahkan air mataku dan
mempersembahkannya kepadanya yang menjual sayuran setiap pagi. Berkeliling menyusuri
perumahan; membiarkan telapak kakinya di tikam tajam kerikil dan mengikhlaskan kulitnya
terbakar bara surya. Terlebih pakaian usangnya yang dekil, tipis terkikis kejamnya debu
kemiskinan dan kerut wajahnya yang diludahi kejinya roh kemiskinan.
Sedang disana iblis-iblis berdasi berjalan dengan angkuh, memamerkan sepatunya yang terbuat
dari peluh para buruh. Berjalan kesana kemari dengan bangga mengenakan jas dan dasinya yang
mereka beli dari luar negeri. Sebab di dalam istana yang katanya bersahabat itu, ternyata aroma
minyak wangi mahal saling berlomba, berbagai kosmetik mahal di lelang, menjadikan gengsi
sebagai rutinitas dan amanah.
Sekali lagi kutegaskan bahwa aku tidak menangis untuk rezim ini! Karena iblis-iblis berdasi itu
telah menyihir istana menjadi sangkar serigala tempat babi-babi serakah yang memperebutkan
bursa modal dan kekuasaan.
Sampai kapanpun aku tak akan pernah sudi menumpahkan air mataku untuk rezim ini! Sebab air
mataku hampir surut untuk memandikan jenazah si miskin yang menggadaikan nyawanya untuk
sepiring nasi yang ditaburi garam dan kecap.
Air mataku akan surut setelah menangisi saudara-saudaraku di timur pertiwi yang di buru busung
lapar di atas tanahnya sendiri dan terisolasi karena alamnya telah di rampas oleh korporasi tak
tahu diri yang bekerja sama dengan para penguasa.
Dan untuk terakhir kalinya sebelum benar-benar surut, rintik-rintik air mataku yang masih tersisa
ini sekali lagi bukan untuk rezim ini maupun rezim yang itu! Tapi akan kutampung dalam botol
plastik dan memberikannya sebagai air minum untuk adik-adik kecilku yang berjudi nasib di
bawah lampu merah. Menggantungkan nyawa pada krecek tutup botol bertubuh kayu serta
kantung plastik bekas permen.
Hingga tak ada lagi air mataku yang tersisa untuk meratapi apapun. Selain surga dan neraka
rakitan dalam kepal tangan yang akan kubawa esok pagi.

***

"Lekaslah bangun dari lukamu! Hari ini penindasan semakin tak tahu malu di depan mata kita!
Buka mata kalian! Sadarkan Ibu Pertiwi dari iblis-iblis yang bersarang di nuraninya, yang
menyamar sebagai saudara setanah air!"
Tak perlu jam weker untuk membuatku terbangun hari ini. Naluriku berteriak lantang di dalam
lobus temporalku, dan sehalus suara Ibuku yang berdendang di telingaku. Padahal pagi ini di luar
sedang riuh anak-anak awan yang terlahir dewasa — menyapa pagi buta dengan rintik air langit
yang mengisyaratkan luka paling pedih.
Seusai Shalat Shubuh, aku bergegas untuk mandi. Setiap guyuran air yang membasahi kepalaku
mengantarkanku pada sebuah tanya-tanya:
"Pernahkah kita berkaca pada eksistensi yang tidak menghiraukan nurani? Perpaduan duniawi
yang selalu mengecam kesombongan karena tak pernah menyerah untuk memasung cinta dan
siluet insan palsu yang membunuh rasa sayang, sanggupkah kita menolak lupa untuk menuntut
pada kekejian yang memadamkan nyala api perdamaian?"
"Bagaimana tentang kemunafikan yang menodai kesucian sperma, fatamorgana yang
menenggelamkan panorama dan adegan kepura-puraan yang menzinahi kalam sangkakala?
Ataukah kita hanya sekedar berhenti berharap pada rentetan kalam kalbu yang terdiam
membisu menangisi parodi busuk dan ratapan sunyi yang merengek tiada pasti?"
Sejenak terpejam kunikmati betapa besarnya dunia kita di depan barisan nisan yang berada
dibawah instruksi matahari pagi. Rancangan kenyataan yang serupa alam mimpi. Takdir yang
tersusun rapi di dalam lemari para tiran yang menata ulang ambisi untuk kembali memperkosa
semua nyawa atas selembar kontrak jaminan dengan janji surga yang dikumpulkan oleh pahala
bertubi-tubi.
Bagaikan berhala konstitusi yang saling memperebutkan kursi jabatan; membuat kebebasan
hanya terasa nyata di balik layar televisi dan tugu cinta hanya akan berdiri setelah dijanjikan
serombongan nafsu konsumsi hingga puncak kesabaran, tingkat keimanan serta penghalang
impian menanti sekarat untuk mati tragis.
"Mungkin, kita yang salah arah atau mereka yang terjerumus dan menikmati persetubuhan
ini?"
Ah sudahlah. Hujan telah kembali reda. Lebih baik aku rawat tanya-tanya tadi di dalam
nurani untuk menumbuhkan setangkai bunga dari matahari. Aku akan pasrah saja dan
membiarkan tubuhku ditelanjangi oleh angkuhnya bayangan pagi buta. Tak lagi-lagi aku
memberikan kesempatan pada hasrat bulan dan bintang. Sebab mereka hanyalah penyanyi
dangdut yang bersinar di antara kelam.
Aku tak akan berharap kepada angin agar berhenti menari sebelum ia menjumpaiku untuk
meniupkan asa. Karena aku percaya bahwa air susu tidak akan dibalas dengan air tuba. Sebab
dengan harapan yang terbakar akan melahirkan reinkarnasi rasa untuk mengebiri naluri. Ketika
dewa matahari terlihat mengkhianati harmoni maka jangan izinkan dirimu untuk mati terlalu
pagi!

Di dalam tas aku membawa beberapa barang penting seperti pasta gigi, masker dan payung
berwarna hitam guna meminimalisir efek gas air mata, lalu aku berpamitan kepada kedua
orangtuaku yang sedang duduk berdua menikmati teh hangat di teras.

"Apakah kau sudah paham hal apa saja yang akan di tuntut di sana?" tanya Bapakku.
"Sudah..."
"Pintar-pintar bawa badanmu... pulanglah dengan selamat," pesan Ibuku.
Tak perlu ragu untuk mencium tangan kedua orangtuamu atau bahkan kau tak perlu malu jika
masih dipeluki dan diciumi ibumu sebelum berpamitan. Sekuat dan sedewasa apapun, kau tetap
membutuhkan doa dari mereka sebagai penolong ketika kau salah dalam melangkah dan tersesat.
Sebab ada ridho Tuhanmu di setiap doa-doa ibu dan bapakmu yang menjadikan jejak hidupmu
tak lepas dari cinta agar kau selalu menjadi sebaik-baiknya manusia.

***

Setibanya di kampus telah ada ratusan mahasiswa serta mahasiswi yang sedang menunggu
komando dari koordinator aksi. Seperti biasa, apapun kondisinya aku selalu mampir dulu di salah
satu warung kopi yang ada di sekitar kampusku.
Ada beberapa rekanku yang juga sedang menunggu sembari berbincang hangat ringan sambil
menghisap sebatang rokok.
"Hei Bung Candra!" sapa Rahmat kepadaku, "mari duduk dulu, Bung."
"Terima kasih, bagaimana kabarmu pagi ini?" tanyaku.
"Baik-baik saja tapi negeri kita sedang tidak baik-baik saja... Bagaimana peserta aksi dari
fakultas kita, Bung?"
"Sudah terkoordinir... mungkin sebelum berangkat, aku dan Garnis akan mendata ulang." kataku.
"Memangnya Dzaki kemana, Bung?" Rahmat menghisap rokoknya.
Seharusnya yang mendamlingi Garnis adalah Dzaki. Namun ia sedang dalam perjalanan menuju
kampus dan ia memastikan kepadaku bahwa ia akan telat sebab ada urusan lain yang lebih
mendesak. Dia akan menyusul ke Jakarta mengendarai motor bersama Asraf.
"Oh, baiklah Bung. Semoga Tuhan senantiasa melimpahkan hal-hal baik kepada kita semua."
pungkasnya . Aku mengaamiini.
"Oh, ya. Menurutmu, bagaimana demokrasi di negara kita?" Tanya Ruben.
"Demokrasi hanya sebuah harap-harap utopis bagi kita," kataku.
Rahmat menyeruput kopi dan mempertanyakan alasan jawabanku tadi. Ya, menurutku ketika
ketidakadilan masih berkuasa di negeri ini, maka demokrasi sudah bukan lagi sebagai anugerah
melainkan kebohongan bagi rakyat yang kebingungan. Atau katakan saja demokrasi seperti
hidangan untuk pesta para penguasa di atas kemerdekaan yang tergadaikan. Ia menghidupi
penindasan-penindasan yang telah dilegitimasi melalui pemilu.
Merunut pada sejarah, para pejuang meringkas cita-citanya dalam Pancasila. Tertulis dan sering
kita ucapkan serentak ketika upacara hari senin. Pada sila kedua yang berbunyi "Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia". Itu mulia. Tapi masih sangat lama untuk terwujud. Aku ingin
mengajakmu untuk terlepas dari perspektif bahwa setiap warga kota telah mendapatkan hak yang
sama begitupun fakir miskin dan anak-anak terlantar yang ditanggung oleh negara.
Kenyataannya adalah Negara Indonesia menjelma arena yang syarat akan persaingan. Dan
hukum rimba masih berlaku — yang kuat yang akan bertahan. Politik, Budaya, Agraria,
Ekonomi, Agama dan Tata Ruang serta Infrastruktur, semua tidak lepas dari kapitalisasi dan
liberalisasi.
Sebentar... Aku bukan seorang warga negara yang anti-kapitalis ataupun radikal sosial...
Aku memahami gagasan paling ideal tentang hidup sebagai warga negara tidak akan semanis
yang diharapkan. Sebab tak bisa dipungkiri bahwa dalam hal ini, investasi dan terjun ke dalam
dunia kapitalisasi adalah cara bertahan hidup paling menjanjikan untuk dilakukan.
Namun, jika dengan kapitalisasi justru mematikan sosial dan jati diri gotong royong kita, untuk
apa? Kita ini tak lebih dari bagian masyarakat yang terbelenggu oleh sistem padahal bangsa kita
telah lama merdeka.
Pada Sila pertama yang berbunyi, "Ketuhanan Yang Maha Esa." Menurutmu bagaimana keadilan
sosial bisa hidup di tengah pluralisme? Biarkan Kapitalisme yang membuat mereka saling
bersaing. Sebab Indonesia adalah arena yang tepat.
Biar saja yang lengah di hajar sampai jadi marjinal!
Lalu, Keadilan di negara Indonesia itu seperti apa, sih? Equal starts or Equal Finish? Biarkan
saja atas nama keteraturan negara, pertarungan dan perkelahian itu terjadi di balik kemasan
Indonesia yang menarik. Hingga kita tiba pada kesimpulan bahwa, Kapitalisme itu buruk dan
Sosialisme itu baik. Tapi kemudian yang baik itu menjadi terlalu mustahil untuk diterapkan
sedangkan yang buruk masih cukup tepat dan menjanjikan untuk dilakukan.
Dan kembali kita dihadapkan pada satu pertanyaan: Apakah kita sudah memakluminya, dan
memilih untuk bungkam? Entah bagaimana dengan jawaban kalian. Tapi kali ini aku akan
mengambil jalan yang dilantangkan Soe Hoek Gie bahwa; lebih baik diasingkan daripada
menyerah pada kemunafikan!
"Kepada seluruh rekan-rekan yang akan mengikuti aksi, di mohon untuk segera berkumpul di
lapangan...!" ujar seseorang dari lapangan kampus dibantu alat pengeras suara.

"Beh, ini uang kopinya, ya... Kami pamit dulu, hatur nuhun."

"Terima kasih kembali... hati-hati... pulanglah dengan selamat!" balas Babeh.

Lalu, aku dan beberapa rekanku bergegas untuk bergabung ke dalam barisan fakultas masing-
masing. Kembali mendengarkan simulasi aksi yang disampaikan Koordinator Lapangan. Mulai
dari aturan aksi, jalur evakuasi jika terjadi kerusuhan dan kembali mendata ulang peserta aksi.
Kemudian ditutup dengan doa keberangkatan yang dipimpin oleh Presiden Mahasiswa kami.

***

"Hai, Dra!" seorang perempuan menyapaku dari belakang ketika aku sedang berjalan sambil
melihat data peserta aksi dari Fakultas Pendidikan.

"Eee—Hai, Saaa..." jawabku gugup.

"Hahaha... Engga ada yang berubah... dari awal aku menyapamu, pasti seperti itu,"

"Aku kaget kalau kamu datangnya tiba-tiba gitu tanpa salam."


"Tidak ada yang tiba-tiba, semuanya sudah di atur, Dra..." balasnya
"Kamu ikut?" Tanyaku.
"Coba saja lihat daftar pesertanya, ada aku atau nggak?" Ia menatapku.
Kemudian jari telunjukku menyusuri tiap nama yang ada di daftar peserta aksi, "oh iya ada,
Saa... berarti kamu jangan jauh-jauh ya," kataku. Membuat wajahnya bingung. Memang ia sudah
dewasa dan mampu menjaga dirinya sendiri. Namun, aku tak ingin dia hilang di sana.
"Aku duduk disebelahmu, ya..." katanya.
Aku mengangguk. "Kamu masuk duluan saja, nanti setelah aku mengabsen peserta aksi, aku
menyusul duduk di sampingmu," kataku.
Layaknya kernet bis pada umumnya. Aku berdiri di lawang pintu bis memegang dua lembar
kertas berisi nama-nama sambil mengabsen satu persatu peserta aksi dari Fakultas Pendidikan.
"Dra, sudah ter-absen semua?" Tanya Garnis.
"Sudah... di bis ini ada 43 orang peserta aksi."
"Hmm... baiklah kalau begitu, kamu hati-hati ya, di sana, hehe..." ujar Garnis membuatku hampir
salah tingkah karena tawa kecil dan teduh tatapnya. Pikirku, mungkin itu alasan kenapa begitu
banyak mahasiswa di kampus yang tergila-gila kepadanya. Bagaimana tidak? Garnis adalah
perempuan yang begitu cerdas dan tegas. Memiliki postur tubuh yang tinggi. Tidak terlalu kurus
pun tidak terlalu gemuk. Berhidung mancung dengan kacamata yang membuat wajahnya
semakin mempesona.
Sudah kupastikan siapapun yang memandanginya akan jatuh hati! Namun tidak ada yang kuat
berlama-lama jika memandanginya. Ah! Sudah, sudah. Aku tak ingin terlalu jelas
menggambarkannya dikepalamu sebab aku takut membuatmu seperti aku yang jatuh cinta
kepadanya namun tak membuatku inginkan apa-apa.

***

Sekitar pukul 9 pagi, kami berangkat menuju Jakarta membawa segenggam asa revolusi dan
cinta. Selama perjalanan seisi bis riuh nyanyian dari mulut-mulut yang mendamba keadilan, "....
mereka dirampas haknya... tergusur dan lapar, bunda relakan darah juang kami tuk
membebaskan rakyat..." meskipun terasa begitu sumbang di telinga namun syahdu membakar
kesadaran.
"Aku pernah membaca sejarah Peristiwa 98, katanya banyak demonstran yang hilang 'ya?"
Tanya Daisha padaku yang berdiri disampingnya.
"Iya, menurut data KONTRAS ada 23 orang yang dilenyapkan oleh alat-alat negara saat itu... 1
orang ditemukan tewas, 9 orang dilepaskan dan 13 orang lainnya belum ditemukan sampai saat
ini, salah satunya adalah Wiji Thukul, seorang penyair yang dilenyapkan karena puisi-puisinya
membuat Rezim saat itu ketar-ketir ketakutan." tuturku.
"Hmm.. menurutku lebih baik diam." balasnya.
"Kalau memang menurutmu seperti itu... tak apa... Aku tak melarang pendapatmu, tapi Islam
sendiri menyuruh kita untuk berpikir kritis dan negara ini mungkin tidak akan merdeka tanpa
orang kritis, pun sebuah negara akan berantakan kalau kebijakannya tidak dikritisi, Saa..."
Daisha mengangkat setengah badannya dan berbisik di telingaku, "kalau seperti itu, maka
biarkan aku untuk terus di dekatmu, Dra..." membuatku tersenyum.
***

Tiba-tiba bis rombongan massa aksi kami berhenti di Exit Tol Cawang. Kernet Bis
menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh penumpang karena terpaksa harus menurunkan
kami di sini. Sebab ia menerima telepon bahwasannya jalan menuju Gedung DPR di blokade
oleh aparat bersenjata.
Tanpa pikir panjang kami turun perlahan dari bis dan memutuskan untuk longmarch meskipun
jaraknya lumayan jauh. Tanpa kehilangan semangat kami langkahkan kaki, menyingsing lengan,
mengeratkan tangan bersama seraya bernyanyi tentang kebencian atas penindasan tanpa ragu dan
takut mati. Lantang sahut tak bernada. Mulut-mulut sepi penuh kebisuan. Mereka datang dengan
kebohongan-kebohongan besar, dan kami hadir untuk melawan!
Aku bahagia meskipun aku tahu bahwa tak ada perjuangan yang mudah. Sebab bagiku
perjuangan adalah derita yang candu. Aku tak ingin hidupku terus menerus disesaki
pembodohan, ketidakadilan dan penindasan. Maka sadarlah bahwa kemerdekaan kita telah
dipenjarakan oleh keserakahan para penguasa. Kita benar-benar dibatasi!
Pedagang-pedagang kecil sepanjang jalanan tersenyum kepada kami bahkan beberapa dari
mereka mengangkat kepalan tangannya, ikutserta melantangkan kata 'RE-FOR-MA-SI'. Bahkan
ada seorang pengemudi ojek online yang menghampiri dan memberikan beberapa dus air mineral
kepada salah satu rekan disebelahku — Ebo.
"Ini untuk kalian... terima kasih sudah mau berusaha memperjuangkan dan menyuarakan hak-
hak kaum kecil seperti kami... semoga kebaikan selalu menyertai langkah kalian," ucap
pengemudi ojek online tersebut kepada Ebo.
"Terima kasih... semoga sejahtera untukmu, Bang..." Jawab Ebo menerima pemberiannya.
Pengemudi ojek online tersebut mengaamiini-nya seraya mengusapkan kedua telapak tangan
pada wajahnya yang masih muda. Kemudian aku dan Ebo membagikan air mineral secara estafet
dari barisan depan hingga ke belakang.
"Tolong sampahnya jangan dibuang sembarangan, kalian bisa membuangnya ke dalam plastik
sampah yang disediakan penanggung jawab aksi," kataku dipertegas pengeras suara.
Ketika kami telah menjejaki daerah Gatot Subroto, nampak dari belakang kami terlihat dua orang
pria bertubuh gagah dan berkaus hitam sedang membuntuti kami. Secara cepat aku langsung
menginstruksikan kepada rekan-rekanku untuk mempererat simpul lengan satu sama lain dan
tidak ada yang keluar dari barisan massa.
Sudah terlihat asap tebal yang mulai menjangkau udara serupa teriakan revolusi yang
memanaskan langit, jalanan dan sudut kota dimana keadilan menjadi dosa. Semua orang muak
dan lelah dengan semua yang dibicarakan oleh media. Kami jenuh dan bosan pada kebohongan
mereka!
Rasanya aku ingin berteriak dan berkata: Hei sialan! Kami ingin kebenaran!
Sebab sadar bahwa janji-janji masa depan yang sempurna tanpa ada lagi upeti untuk sang raja,
semua itu hanya omong kosong penuh tipu daya yang hanya memicu amarah dan kebencian pada
otak kita. Maka lebih baik kau dengarkan aku sekarang juga bahwa kini tak ada lagi taman
firdausi! Lupakan semua angan yang ada! Kita harus merebut dunia ini dan mengambil alih
sekarang juga! Karena dunia kita bukan milik mereka!

***

"MEREKA YANG MEMILIH DIAM AKAN HILANG DENGAN KENIKMATAN SEMENTARA MEREJA
YANG BERJUANG AKAN ABADI DALAM DERITA SEBAB PERJUANGAN TAK PERNAH
MENAWARKAN KESENANGAN!!! MAKA... SEKALI LAGI... SEKALI LAGI INI ADALAH TAK-DIR PER-
JUA-NGAN KITA SAUDARA-SAUDARA!!!" teriakku di atas mobil komando. Di bantu alat pengeras
suara diramainya massa aksi yang berdiri di depan gerbang Gedung DPR.

Mataku melirik tajam ke arah serombongan orang bersenjata yang berjaga di depan Gedung
DPR. Kuambil nafas dalam-dalam dan... "LIHATLAH... SAUDARA-SAUDARA! HAMPIR SETIAP
JALAN DIHALANGI BETON DAN KAWAT BESI! DAN KINI MEREKA ADA DIHADAPAN KITA! MEREKA
SERUPA ANJING TUJUH PEMUDA DAN KITA TAK PERNAH TAHU TAKDIR SEEKOR ANJING!
SURGA, ATAU NERAKA? ENTAHLAH... SEMUANYA ADALAH RAKYAT DIHADAPAN KEKUASAAN,
TAK ADA LAGI YANG TERDENGAR DI LUBANG TELINGA PARA PEMIMPIN DAN WAKIL
RAKYATNYA!" dengan sadar kutembakkan telunjukku ke arah wajah orang-orang bersenjata
itu.

Disinilah kami berperang melawan kebungkaman dan menghujam ketakutan ketakutan yang
bersahutan. Merupa kata, merangkai prosa, meneriakkan kegelisahan menjadi helai helai
kehidupan yang kelak menatap arah agar tak terjebak dalam pilihan suram.

"SAUDARA-SAUDARA.... KITA TAK LEBIH DARI RODA DAN KUSIR YANG MENGGERAKAN KERETA
BANTENG! BUKAAAAN MEREKA PARA PEJABAT YANG DUDUK MANIS DI KURSI PENUMPANG.
TOLAK! SEBAB KETAKUTAN MEREKA MENYUSUN ATURAN! MEMBERONTAKLAH! SEBAB TANPA
KEPATUHAN, MEREKA TIDAK AKAN PUNYA KEKUASAAN!!! HIDUP RAKYAT INDONESIA!!!" ku
akhiri orasiku dengan mengangkat kepalan tangan kiriku.

"RE-VO-LU-SI! RE-VO-LU-SI! RE-VO-LU-SI!" riuh lantang suara massa bersahutan dengan


suara pedagang-pedagang yang menawarkan makanan membuat udara panas Jakarta siang ini
semakin pecah.
Kemudian mobil orasi diisi oleh salah satu massa aksi dari kampus lain. Layaknya api hitam. Ia
begitu panas membakar. Ia mengatakan dengan lantang bahwa di hari kemarin banyak massa
yang dipukuli orang-orang bersenjata itu dan hari ini mereka mengabaikan nyanyian dan barisan
massa kita.
"Tapi dapatkah mereka mengabaikan batu dan bata? Inilah saatnya untuk melakukan sesuatu
yang lebih daripada sekadar bicara saat mereka telah mengabaikan aksi demonstrasi damai!"
pekiknya berapi-api membuat massa menyeruduk, mendorong, mengoyak-ngoyak pagar
gedung sampai hampir roboh.

"SLEEEEEEEBBBB...!" sebilah tonfa menghantam kepala seorang mahasiswa hingga membuat


tubuhnya menukik mencium bumi. Darahnya tumpah menghentikan waktu. Seluruh mata tertuju
padanya.
"Plaaaasssshh...!" tak butuh waktu lama bagi satu peluru gas air mata untuk melayang dan
menukik tepat di depan kerumunan massa. Membuat suasana kian mencekam karena wajah-
wajah panik yang mendominasi.

Semua terasa salah ketika puisi tidak lagi tentang merpati. Ketika para pelukis menumpahkan
cat pada lebar kain putih menggambar rintihan; tak dipungkiri lukisan panorama jadi tanpa
harga. Dan di saat nada-nada sudah kembali berani berorasi, telinga estetik ini mendadak tuli!
Sedangkan di acara-acara televisi segerombolan pemikir saling beradu kontemplasi.
Berargumen tentang eksistensi. Begitupun para ahli agama yang mulai sibuk dengan akhirat—
menambang pahala di tambang orang lain. Kata-kata perlahan kehilangan dirinya sendiri ketika
moral harus ditafsirkan secara perorangan bahkan dalam hal mencintai pun ada tutorialnya di
youtube; cinta hilang makna!

"Mundur, Dra...!" Ruben menarik almamaterku.

"Tidak, Bung!" jawabku seraya melepaskan tarikan tangannya dari almamaterku. Kemudian
kuoleskan pasta gigi pada kantung mataku untuk meminimalisir efek gas air mata. Lalu
membagikannya kepada massa di sekitarku yang tak gentar meskipun orang-orang bersenjata
itu semakin hilang kewarasan.

Aku melangkah ke depan bersama orang-orang yang tak kukenali. Tanpa ragu dengan cepat
kuambil dua gas air mata yang masih hangat dan melemparkannya kembali ke orang-orang
bersenjata itu. Kemudian segera aku berlari ke belakang menghindari deras air yang
disemburkan kepadaku.

Sepasang mataku tak sengaja melihat pria gagah berkaus hitam yang sedang menarik salah
seorang perempuan. Ia menyekap mulut Daisha dan begitu memaksa! Sontak, aku langsung
berlari ke arah pria itu.

"DAG!!!" Kepal tanganku mendarat keras di wajah Pria itu hingga membuatnya terjatuh.
PERSETAN DENGANMU, BUNG...! ucapku kepada Pria itu dan meludahi birahinya. Pria itu
menatap geram kesakitan. Sebelum ia bangkit, sesegera mungkin kugenggam erat tangan
Daisha dan berlari secepat mungkin ke arah gang kecil yang terhalang hingar-bingar kerumunan
massa.

***
Jauh di dalam gang aku menepikan langkah. Duduk bersandar di pagar rumah bercat merah
bersama Daisha yang enggan melepas genggam tanganku. Ia menangis tertunduk. Sesekali ia
mengangkat kepalanya dan berusaha menceritakan kejadian tadi.

Entah kenapa aku merasa payah sekali! Sebab tak ada yang bisa kulakukan selain menepikan
tiap helai rambutnya yang menutupi keningnya. Menatap matanya dalam-dalam dan
mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja, lalu menyandarkan kepalanya dekat di debar
jantungku.

Ya! Aku melihatnya! Sekejap bahagia, sejenak tertawa dan seulas tangis pada sepasang
matanya. Seperti senja indah yang terpuruk di sela lejar daksa yang memberontak! Aku menjadi
telinga yang ikhlas mendengar tangisanmu. Mengisak di sela lukamu berharap aku mampu
mengerti desah lembut nafas yang mendebarkan dari indah bibirmu yang memekakkan ruang
rasaku. Bukan karena gejolak amarah melainkan lantunan manjamu yang begitu menggelora
untuk selalu membuatku bertanya dan terdampar di sejumput kalimat cinta yang merdu;
melankolis yang sesaat membuatku meringis miris sebab aku tidak tuli— aku selalu
menafsirkannya di sela sela senyummu!

Setelah benar-benar tenang, aku memutuskan untuk lanjut berjalan keluar gang meskipun aku
tidak tahu jalan ini akan menghubungkan ke jalan yang mana, yang jelas aku merengkuhnya
dengan kepal tanganku. Saling menggandeng, bukan menuding dan meradang.

"Ternyata dunia ini terlalu indah untuk dilukis.... dan dunia ini juga terlalu luas untuk dipahami
ya, Dra," katanya sambil berjalan.

Aku tetap tak mengerti mengapa masih ada orang yang merasa dunia ini terlalu sempit untuk
diketahui dan terlalu sulit untuk dijelajahi. Apakah jendela cakrawala mereka saja yang sempit?
Atau nyali mereka saja yang tak bisa berdiri sendiri? Hanya berani menguntit ditemani mata
menyipit? Barangkali pikiran mereka juga hanya bisa mengintip?

"Dunia ini dipenuhi orang gila," Sebotol air mineral diteguknya perlahan. "Dunia ini juga
dipenuhi orang berotak kosong, kamu tahu itu," katanya kemudian.

Kukatakan dalam hati bahwa aku tahu, dan tentu saja kami berdua tahu bahwa bentala ini
dihuni benak-benak yang melayang liar di balik masing-masing bahu yang menolak diam walau
hanya menunggu waktu; menunggu pikiran gila lainnya yang merayap masuk ke dalam
kepalanya sambil menuliskan aksara pada secarik kertas hingga tinta hitam itu meleleh di
tangannya lalu melantunkan kalimat-kalimat indah menjadi sebuah sajak untuk kemudian
menyulapnya menjadi sebuah mahakarya yang terus menanjak.

Kukatakan sekali lagi dalam hati bahwa aku tahu dan tentu saja kami berdua tahu bahwa
bentala ini juga dihuni benak-benak culas tak punya urat malu yang meraup miliran untung tak
kenal waktu. Dan diam-diam aku bertanya juga, di manakah jiwa-jiwa kotor itu bisa
menyambung urat malu? Mengapa mentalnya sama persis dengan mental para benalu?

Orang-orang gila itu masih terus menunggu waktu sedang orang-orang berotak kosong itu
malah beranjak meninggalkan waktu. Orang-orang gila itu terus menciptakan mahakarya tapi
kenapa orang-orang berotak kosong itu malah dibicarakan di media massa? Padahal orang-
orang gila itu terus menumbuhkan bunga di atas nama bangsa sedang orang-orang berotak
kosong itu hanya menumbuhkan duri di bawah nama bangsa.

"Tunggu, Saa..." ujarku menghentikan langkah.

"Itu Ruben, Garnis dan Ebo 'kan?" Mataku menyipit ke arah mereka yang sedang bersembunyi
di balik tempat sampah yang tak jauh dari bibir gang.

"Iya deh kayanya," jawabnya ikut menyipit.

Dan benar saja. Dugaanku tidak salah. Ruben menyipit melihat ke arah kami. Lambaian
tangannya mengayun memanggil. Perlahan aku dan Daisha menghampiri mereka.

"Kupikir kalian sudah pulang, Bung..." kataku kepada mereka.

"Belum Dra, situasinya masih belum aman," balas Ebo.

Kemudian terlihat beberapa massa aksi menerobos masuk restoran diseberang gang tempat kami
bersembunyi. Di susul serombongan orang-orang bersenjata lengkap berdatangan ke restoran.
"Pyarrr! krompyaaanngg..." dihantamnya dinding restoran yang terbuat dari kaca hingga hancur
berantakan. "Keluar! Keluar!" teriak mereka garang.

Kemudian diseretnya keluar beberapa massa aksi dari dalam restoran. Tanpa banyak tanya
orang-orang garang itu menjambaknya bahkan sampai memukuli sebelum akhirnya menggiring
mereka masuk ke dalam truk kacang hijau.

"Setelah orang-orang garang itu pergi kita akan keluar gang tanpa mengenakan almamater,"
bisikku kepada rekan-rekanku. Kemudian kami melepaskan almamater dan membuangnya ke
tempat sampah. Lalu membersihkan sisa pasta gigi yang menempel di wajah kami masing-
masing dan meminum air mineral yang tersisa sebelum akhirnya berjalan keluar gang.

***

Orang-orang garang itu berkeliaran dengan kuda besinya. Namun syukurlah mereka tak
menghiraukan sebab kami sedang berfoto-foto layaknya turis lokal yang sedang bertamasya di
Jakarta. Siang dan malam serasa padu dan tiap pintu-pintu rela terbuka untuk pengembara yang
tersesat. Membuang dan mengubur sunyi sendiri-sendiri lalu menepi ke dalam lelap berselimut
birahi.
Tak terdengar lagi berisik ratapan gelandangan yang menggoda amarah atau darah yang
berserakan di setiap pinggiran jalan, di tikungan kelam pojokan perempatan yang menghidupkan
doa lalu mematikannya dengan letus kebencian.
Pada tiap-tiap lampu merah aku melihat bahwa tak ada lagi yang nyata di dunia ini. Kita bernafas
di zaman yang dihujani tanya-tanya. Dimana perkembangan zaman begitu semakin pesat; sebuah
euforia yang menjilati nurani setiap manusia.

Oh... Betapa hebatnya orang-orang di sana yang menggunakan ilmunya untuk menyulap
setiap sendi-sendi kehidupan sampai-sampai membuat kita kehilangan kesadaran; bahwa kita
telah kehilangan diri kita sendiri.
Disamarkannya penglihatan kita akan pilihan-pilihan hidup yang lantas kita mengikuti saja
pilihan mereka yang nyatanya menuntun diri kita pada lubang kematian identitas. Kita telah
disulap menjadi segerombolan domba-domba konsumtif yang di giring ke sabana tandus oleh
para gembala bertanduk yang menggenggam surga palsu di lengan kanannya.
Sebab pada masa ini ruang-ruang kehidupan kita telah dirampas menjadi panggung
marionette. Iblis sebagai dalangnya dan kita sebagai bonekanya yang sudah pasti kita kehilangan
kodrat sebagai makhluk merdeka.
Ya! kita telah di kontrol oleh nafsu dan birahi yang dibentuk eksploitasi media. Tak ada lagi
ruang dialog antara diri kita sendiri. Semua menjadi mayat hidup yang berjalan. Jiwa kita telah di
gantikan oleh ruh kapitalis. Sadar atau tidak, kita telah meng-aamiini penindasan ini sebab kita
telah menjadi bagian dari kesuksesan proyek-proyek kapitalisme global.
Sambil tertawa kami membicarakan hal yang sama sekali tidak jelas semata-mata untuk
meluruhkan ketakutan pada wajah kami masing-masing. Di atas gedung-gedung bertingkat itu,
mendung langit penyesalan mendapati dirinya sendiri terbaring busuk di liang penghakiman dan
memanen badai kehancuran.
Ketika nyala dimensi hati menemukan makna renungan di celah persetubuhan yang
menggerayangi dan membasahi getar nyali dengan sperma-sperma gairah imajinasi — di sanalah
putus asa hanya akan berbaris serupa nisan berdebu yang mati terbuang karena tiap jasad yang
bernyawa tak lagi perlu diziarahi tamu-tamu yang bernama kekalahan.
"Ada apa dengan cinta? Ada apa dengan bumi manusia?" Tanya Ruben.

"Entah... Tapi jika aku gagal melakukan revolusi hari ini, kupastikan kelak dari rahimku akan
lahir putra-putri yang menjunjung tinggi hal-hal baik dan mengamalkannya untuk revolusi
peradaban harmoni." celetuk Daisha.
"Di gurun Sahara yang kering.. di neraka Palestina yang tak hentinya dihujam timah panas..
di surga Las Vegas yang bertabur kesenangan duniawi ataupun di tanah tempatku menghidupi
hidup aku hanya berharap jika nanti aku mati lalu reinkarnasi... aku ingin menapaki bumi dengan
jejak kaki yang lebih bernyawa." kataku.

"Ah... puitis banget..." balas Garnis tersenyum.

"Rrrrrrgggg.." suara perut tiba-tiba membuat kami tertawa.

"Anjir bunyi perut siapa tuh? Hahaha..."

"Kamu ya 'Bo?!" tuduh Garnis menahan tawa.


"Eh bukan 'Kak... Noh Bang Ruben.."

Ruben tak bisa mengelak. Ia terkekeh mengakui bahwa suara itu berasal dari perutnya.

***

Stasiun Kereta

Stasiun kereta tak lepas dari intervensi orang-orang bersenjata. Satu persatu diperiksa bahkan
lucunya ada beberapa orang yang ditahan tanpa alasan yang jelas. Katanya mereka di tahan
karena mengikuti aksi hari ini. Sebisa mungkin aku dan rekan-rekanku harus tetap bertingkah
seperti turis lokal yang bertamasya sambil memakan roti yang kami beli dari bapak tua di luar
stasiun.
Mereka menghadang kami ketika hendak masuk ke stasiun. Memeriksa apapun yang melekat di
tubuh kami dan melontarkan beberapa pertanyaan. "Kami usai berkunjung ke Pameran Seni
Orang-orang Gila, Pak..." sambar Garnis melayangkan senyum manisnya.
Tak lagi ada pertanyaan selain wajah garang mereka yang berubah merah muda. Tak berkutik
dan lucu seperti seseorang yang baru saja jatuh cinta. "Silahkan semoga selamat sampai tujuan,
Dek.." ucap salah satu dari mereka. Wajahnya masihlah muda tampan yang gugup gemetar.
Kemudian kami masuk stasiun. Ruben mengantri di loket.

"Tunggu.." ujar lelaki muda tadi. Ia menanggalkan senjatanya lalu berjalan menghampiri kami.
"Sebentar... siapa namamu? Kok kamu mirip dengan seseorang yang ingin saya kenal? Boleh
minta kontakmu ngga?" Kata lelaki itu kepada Garnis.

Aku merasakan bagaimana rekan-rekanku berusaha untuk tidak tertawa karena kata-katanya
yang terdengar begitu polos di telinga kami. "Duh, sampai lupa... nama saya Faisal... Maaf kalau
terlalu lugas, saya ngga perlu kode untuk sekedar berterus terang bahwa sejak kali pertama
menatap matamu, saya tahu bahwa di dalam sana ada cinta yang ingin saya raih," ucapnya.

Sialan! Aku ingin segera tertawa saja melihat keluguan Lelaki itu. Bahkan Daisha sampai
menyembunyikan wajahnya di bahuku, "geli banget dengernya..." bisiknya sambil tertawa kecil.

"Tak apa kalau kamu ngga mau berjabat tangan dengan saya... mungkin di dalam kepalamu saat
ini kamu berpikir untuk segera pergi dengan perasaan yang terusik... namun jangan pergi dulu,
saya masih ingin berlama-lama bicara denganmu," mendengar itu Garnis nampak semakin tak
nyaman. "Maaf jika saya terlalu banyak berbicara... ini adalah cara saya mengatur degup yang
berdebar begitu hebatnya hanya untuk berani menghampirimu.." sambung Lelaki itu. Tapi
Garnis tetap bergeming bahkan mulai memalingkan wajahnya.
"...sebelum kamu datang ada lelaki yang tertinggal kereta, ia berlari mengejar kereta itu tapi
pada akhirnya kembali lagi dengan wajah yang tertunduk lesu... Kamu tahu sebabnya kenapa?
Karena ketidaksabarannya... ia melewatkan kesempatan menunggu, ia sibuk dengan dirinya
sendiri, "maka saya belajar darinya... saya ngga mau melewatkan kesempatan untuk berkenalan
dan mengenalmu lebih jauh..." Lelaki itu masih berusaha untuk meyakinkan Garnis.

"Sekarang apa kamu tertarik memberikan kontakmu? Mungkin kita bisa saling bertukar cerita
atau saya berhasil membuatmu jatuh cinta nantinya," namun usaha Lelaki itu tetap gagal dan
tak mendapatkan sepatah katapun dari Garnis.

Kemudian sebuah kereta yang kami tunggu telah tiba dan berhenti tepat dihadapan kami. "Ayo
Saa..." ujar Garnis kepada Daisha. Tanpa melihat Lelaki itu ia segera masuk ke dalam kereta.
"Sabar Bung..." kataku sambil menepuk pelan pundaknya.

"Oh, iya terima kasih.." jawabnya. Mencoba menahan sesak dan kesepian yang mencoba
memporak-porandakan isi dadanya. Kemudian aku bergegas menaiki kereta agar tak seperti
kisah lelaki yang ia ceritakan tadi kepada Garnis.

BLEG!!! tiba-tiba saja seorang penumpang di belakangku menendang bangku kereta. "Ada apa
sih kok tiap penumpang yang mau masuk stasiun sampai diperiksa seperti itu?! Memangnya
saya ini bandar narkoba apa!!" cetus seseorang itu dengan nada kesal. Seolah mengalamatkan
pertanyaannya kepada penumpang lainnya.

"Iya nih! katanya gara-gara ada upaya makar kepada presiden yang dianggap tak tahu malu
karena sibuk dengan rilisan album terbaru!"

"Bukan-bukan! Katanya ada ajaran sesat agama hasil karangan sendiri, bukan titah dari tuhan
tapi dogma para petinggi agama yang berkhianat demi sebuah jabatan!"
"Tidak, bukan itu tapi di sana cuma ada diskusi. Entah apa mungkin komunis atau marxis,
sosialis, anarkis atau isme isme lainnya yang bukan pancasilais atau garudais!"

Seisi gerbong dipenuhi kebingungan penumpang yang saling menebak-nebak. Tak ada yang
tahu persis bahkan orang-orang perkasa dan garang yang kami temui tadi, mereka begitu
polosnya menjalankan perintah dari atasannya yang senang berjudi dan bercinta. Ah... pikirku
hal itu sudah terlalu biasa. Di tanah merdeka dan berani ini berbeda itu dilarang, di republik
yang katanya ramah ini, dialektika dan menyampaikan aspirasi itu serupa ajakan perang.
Mungkin aku dan sebagian besar orang di sana sama-sama sadar bahwa tak ada revolusi hari ini
sebab kita hanya datang untuk kemudian berlari dan pulang. Tapi biarlah ini menjadi setitik
nafas juang bagi orang-orang utopis sepertiku yang mendambakan peradaban sejahtera. Aku
yakin bahwa congkak air mata akan menyeka kesedihannya sendiri dan menelan hembusan nafas
riang. Tak akan lagi mengisyaratkan perih yang meradang. Kita akan menyapa dunia di mana
kita tak perlu lagi berilusi karena imaji telah menemukan iluminasinya sendiri. Usah lagi kita
pasrah kepada kematian; karena kita semua hidup dan kita semua bermimpi.
***

Beberapa rekanku sudah lebih dulu pulang. Hanya ada aku dan Daisha pada kesepian bangku
Stasiun Bogor yang terasa beku menghirup malam yang telah menghitam. Pada jam dinding
yang tak kenal lelah menghitung detik yang terus berlalu. Membaca isyarat yang menjelma
kesedihan setelah Daisha menatap layar ponselnya.
"Kau kenapa?" Tanyaku.
"Pinjam bahumu sebentar, boleh? Aku ingin menyandarkan segala keresahan yang
menggantung. Ketakutan yang terlihat jelas di pelupuk mata. Kehancuran yang akan
menghampiri lagi," ucapnya. "Lelahku sudah di ujung batas. Duniaku mulai tidak baik-baik saja.
Izinkan aku untuk bersandar di bahumu malam ini saja, ya? Peluhku butuh kamu."
Sepasang lenganku segera merengkuhnya. Menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku berusaha
menjaga kesadaranku. Mengawal tiap kalimat yang keluar dari mulutku. Akan selalu datang saat-
saat memuakkan. Saat kesabaran berganti kebosanan. Saat pengertian mulai menuntut
pemahaman. Lalu, akan kemana kau hempaskan segala kekecewaanmu? Haruskah kebosanan itu
diteruskan?
Jemarimu tak seharusnya menjadi pengusap air matamu. Pakaianmu seharusnya di jauhkan sebab
ia bukan wadah bagi tetes air mata. Juga lelakimu itu seharusnya diharamkan dari memberimu
kekecewaan. Tanah bisa marah jika yang ia kira rintik hujan ternyata adalah sesengguk
kesedihan.
"Aku mengerti, tersungkur sendirian tidaklah menyenangkan," kataku.
"Lalu apakah hitam menurutku sama dengan hitam di duniamu?"
"Menurutku, terkadang kita perlu melihat lebih pada hitam untuk menemukan bintang."
Jawabku. "Kau perlu melihat lebih pada hati untuk bisa menemukan dirimu sendiri. Sebab
bintang tak butuh gelap untuk bersinar. Tapi bintang hanya butuh gelap untuk terlihat."

Kita sering bertemu pagi tapi kita tak pernah berkawan. Kita sering bertemu siang tapi kita hanya
mengeluh soal panas. Kawan kita hanya malam bukan? Pagi nanti mungkin kita perlu menengok
jendela kamar kita. Menyaksikan embun yang mulai memburam di balik tirai. Meski malam kini
tersentuh angin sunyi. Tapi bukankah kawan kita masih saja malam?
"Sekarang, apa kau membawa cermin?" Tanyaku. Ia menatapku bingung. "Aku selalu
membawanya," jawabnya sambil mengeluarkan cermin kecil dari tasnya. "Sekarang berkacalah,
dan tersenyumlah." Ujarku.
Mencoba lepas dari penyesalan memang bukan hal yang mudah. Kemanapun kau berjalan dan
berlari, kesedihan itu akan terus mengikutimu. Maka tak ada cara lain selain menghadapi dan
memeluk kesedihan itu sendiri, lalu memaafkan segala penyesalan yang ada untuk kembali
melangkah dengan kepala yang tegak tersenyum.
"Lihat.. betapa ia sedang bosan dan kecewa, tapi, bukankah ia sedang tersenyum di sana?"
Kataku. Sesaat ia memalingkan senyumnya kepadaku. "Aku ingin berterima kasih kepadamu
karena sudah mau berada di sisiku saat aku pun tidak yakin dengan diriku sendiri," ucapnya.
Lalu aku balas menatapnya sambil menyeka sisa air matanya dan mengatakan kepadanya, "ayo
menjadi pulih bersama-sama, menjadi sempurna di antara luka-luka yang ada. Aku bersedia."

Sebab meski Tuhan merawat segala perasaan, manusia kadang menciptakan keterikatan; dan
menyusurimu berarti mempersiapkan diri memerangi hama bunga tidurmu.
"Aku tidak bisa lepas dari penyesalan masa lalu,"
"Berarti kau tidak pantas untuk masa depan," balasku.
"Meski dunia ini luas, apakah ia cukup menerima segala keputusasaan kita? Sebab hari depan tak
menjamin lolos dari kemalangan." ucapnya. "Mari meragu satu sama lain, Dra.. seperti seseorang
yang dungu dan tak tahu malu hingga seluruh doa mengenai masa depan hanyalah bualan
semata. Karena mungkin setelah ini segalanya akan berakhir."
"
Di hadapan langit kemerahan sore itu disaksikan jutaan bintang yang berkilau pada mendung
malam di bawah gedung-gedung tinggi di Kota Jakarta, mari kita saling meragu dengan ribuan
tawa dan ketakutan yang lelah dan menyimpannya dalam kotak ingatan dengan miliaran harapan
yang masing-masih pernah kita rencanakan dalam puluhan dialog romansa yang begitu terasa
menjanjikan. Seperti kalimat aku tak akan meninggalkanmu.
Ia memalingkan tatapannya. "Aku mau kau mengerti bahwa seringkali yang terlintas dibenakku
adalah perpisahan yang menyakitkan dan waktu yang perlahan membunuhku," Ia kembali
menatapku. "Kau harus tahu bahwa aku pun ingin terbebas dari penyesalan yang mengurungku
dan kembali berlari menyusun kisah-kisah baru."
"Aku telah mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu, sampai sekarang," ucapku.
"Aku ingin sekali lagi mencoba sekalipun aku telah berkali-kali terjatuh di hari kemarin. Tapi
sulit. Mungkin aku akan terlambat menyadari seberapa dalam perasaanmu padaku, atau mungkin
sebaliknya." Suaranya mulai gemetar.
"Bahkan mungkin aku akan menyakitimu dan diriku. Lalu kembali terjatuh dan mencaci diri
sendiri pada segala yang terjadi, kemudian menyusun tembok-tembok yang retak itu. Lagi, dan
lagi." Sepasang aliran sungai perlahan mengalir dari matanya yang teduh.
Sepasang lenganku merengkuhnya. Dadaku menjadi muara yang tabah untuk air matanya. "Aku
mengerti, tersungkur sendirian tidaklah menyenangkan," ucapku. "
"Aku ingin menegaskan bahwa aku tidak ingin mengalami hal yang sama seperti masa-masa
yang baru saja kumaafkan." ucapnya. "Kalaupun pun harus terjadi, bisakah kau tetap memilih
untuk mengusap kepalaku lembut, menggenggam jemariku dan menyeka air mataku?"
Karena aku mengerti, tersungkur sendirian tidaklah menyenangkan.
Aku ingin berterima kasih kepadamu, sudah memilih berada di sisiku saat aku pun tidak yakin
kepada diriku sendiri. Sebab seringkali aku tidak mengerti, seberapa banyak usaha yang telah
dilakukan untuk sebuah kebahagiaan yang membahagiakan. Tapi, kurasa tak perlu untuk
dibicarakan, karena aku percaya bahwa itu cukup dirasakan, dan diterjemahkan melalui
perlakuan secara nyata tanpa perlu diungkapkan satu sama lain. Sebab sudah banyak yang
menamparku sejauh ini, membuat aku lupa menjadi aku. Namun ini adalah bagian ceritaku
tentang pertemuan yang akan selalu kusimpan dalam kotak ingatan; salah satunya bertemu
denganmu.
"Aku pulang, 'ya?"
"Biar aku memakaikan sepatuku di kakimu, Saa," ujarku sembari melepas sepatuku.
"Terima kasih. Tapi engga perlu, Dra." Jawabmu menahan rasa malu. Namun tak kuhiraukan,
aku langsung memakaikan sepatuku di kakinya dan kulihat betapa ia tersenyum, "Ternyata di
balik sikap dinginmu, kamu bisa romantis juga ya, Dra," Ungkapmu.
"Tapi, bagaimana dengan kakimu?" Tanyamu seketika.
"Jangan dipikirkan. Sebab surga seorang lelaki ada pada telapak kaki perempuan, dan sebagai
lelaki, aku engga mau surgaku rusak. Aku mencintaimu," balasku, lalu kita sama-sama beranjak
dan menaiki angkutan kota, "Terima kasih 'ya, untuk hari ini. Aku lebih dulu mencintaimu."
Ungkapmu sekali lagi sebelum akhirnya kita berpisah dipersimpangan kota—dan menumpas
kerinduan dengan memeluk ibu dan ayah kita di rumah masing-masing, lalu melahirkan
kerinduan-kerinduan baru tentang hari ini; bersamamu.

Anda mungkin juga menyukai