Anda di halaman 1dari 8

Pulang

Sudah seminggu sejak kepulangannya ke Indonesia. Matahari, lewat sela-sela, mulai


menyinari sebagian kamarnya. Sastrawaan itu sudah bangun sejak tadi, menilik isi dari
lukisan yang tertempel di kamar ia tinggali. Tertulis “Hendra Gunawan” di sana, pemilik
lukisan itu. Lalu ia buka jendela kamarnya dan ia resapi udara yang masuk—dibantu dengan
suasana kamar itu yang Indonesia banget membuat udara yang ia hirup semakin berbekas.
“Edgar Degas lebih baik” katanya, meninggalkan lukisan itu, pergi melihat hal lain yang bisa
memanjakan matanya

Namanya Linggo dan ia tak menyukai Indonesia—katanya. Umurnya 24 tahun tetapi


tak pernah merestui dirinya sendiri sebagai orang Indonesia. Memang tak sepenuhnya salah
sebab ia adalah blasteran—blasteran Indo-Prancis. Tetapi kebenciannya terhadap Indonesia
sudah meruak sejak ia kecil. Ini semua karena luka yang berbekas di hatinya. Bayangkan saja
kehilangan sosok “Superman” sejak bocah, menurutmu apa yang akan terjadi?

"Ayo kita pergi" Kartini, sepupu Linggo memanggilnya untuk bersiap-siap karena
sebentar lagi mereka akan pergi. Sejak Linggo pulang ke Indonesia, ialah yang mengenalkan
Indonesia pertama kali. Dia yang menjemput Linggo dari bandara dan membawa Linggo ke
rumahnya. Kartini adalah anak yang periang, ramah, menggebu-gebu setiap saat, tetapi ia tak
bodoh—tetapi ia tidak lemah juga—definisi sempurna yang dipegang orang-orang Indo,
membuat perempuan-perempuan Indonesia iri. Ia adalah wanita kurus yang kulitnya kuning
langsat mulus sekali. Ia mestilah sosok yang membentak laki-laki di sekolah saat mereka
mengejek kelompok perempuannya. Mendukung keras emansipasi wanita persis seperti
namanya.

"Satu lukisan lagi" Linggo melambat-lambatkan waktu, sudah seminggu pula.


Seharusnya ia sudah pergi sejak awal kedatangannya ke Indonesia. Tentu dia juga tak mau
memberatkan sepupunya yang baru ia kenal seminggu itu. Mereka memang sefrekuensi
dalam beberapa hal. Walau begitu, Linggo tentu saja tak sejahat itu, ia paham perasaan
manusia—maka dengan gravitasi yang tiba-tiba memenuhi kakinya, ia angkat kakinya untuk
pergi keluar.

Tak mungkin ia mau pulang ke Indonesia jika bukan dipaksa Ibunya. Dia memang
anak yang celingus, sering menghabiskan waktu sendiri, dan menghabiskan kesehariannya
dengan buku. Tetapi ia penuh cinta—hanya kepada Ibunya. Dia cinta setengah mati dan
mungkin inilah yang membuatnya tak mempunyai kekasih di umurnya yang ke 24. Ibunya
tentu tak menyuruhnya pulang tanpa alasan. Ayahnya meninggal dunia. Dari sanalah darah
Indonesianya berasal, dari seorang pria kurang ajar yang meninggalkannya di umur yang ke
lima. Memangkunya dan membacakan Jean de La Fontaine atau legenda-legenda Indonesia
seperti Malin Kundang dan Legenda Roro Jonggrang. Membuat Linggo merinding jika tiba-
tiba terlintas di kepalanya ingatan itu. Tetapi dengan seluruh tekad yang sudah ia kumpulkan,
akhirnya ia bertatap-tatapan dengan ayahnya—kuburan ayahnya. Dia enggan bertemu dengan
ayahnya, dan ia juga takut.

“Bagaimana dengan tidurmu, Ayah? apakah nyenyak? Aku—aku masih terjerat


denganmu, tidurku selalu saja sulit. Bukan semata-mata karena aku membencimu, tetapi Ibu
selalu saja menangis di sepertiga malam, memanggil-manggil namamu.”

Ia kini duduk di samping kuburan ayahnya ditemani dengan Kartini yang berdiri di
sampingnya. Padahal sejak kecil ia sudah melahap buku-buku Victor Hugo, Marcel Proust—
dan mencuri beberapa waktu membaca cinta dalam gelas karya Andrea Hirata atau pulang,
Leila S. Chudori yang sudah di translatekan—Ah bukan karena menginginkannya hanya saja
ia sedang dalam kondisi bosan dan tak tahu ingin membaca apa. Tetapi ia bingung kata-kata
apa yang harus dikeluarkan dari dalam mulutnya saat ini. Mungkin saja ini karena marahnya
matahari saat itu yang membuat kerongkongan kering dan tak bisa mengeluarkan kata-kata.
Alasan konyol.

“Kau tau Linggo? ada beberapa hal yang tak pernah engkau tahu.” Kartini mengisi
kesunyian.

“Perihal tentang apa itu?”

“Tentang ayahmu.”

“Kenapa pula itu menjadi hal yang penting?”

“Tentu saja hal itu bisa mengubah dirimu, sepenting itu.”

Linggo terdiam sejenak, berpikir, lalu mengabaikannya. Linggo tak pernah mau
menerimanya, mungkin itulah kelemahan Linggo. Memberi makan kebenciannya setiap saat
hingga membenci hal-hal yang tak seharusnya ia benci. Susah merelakan, mungkin kata-kata
yang tepat untuk mendeksrepsikannya. Tetapi Kartini memandangnya dari sudut pandang
yang berbeda. Seorang bocah yang malang dan dilanda kesedihan. Ia melihat Linggo sebagai
anak yang murung, justru. Hal ini karena Linggo tak bisa berpikir terbuka tentang kehidupan.
Tak bisa menerima kepergian sesorang yang merupakan siklus hidup. Tetapi siapalah
Kartini? Tak mungkin ia pantas mengatakan hal-hal seperti itu. Dia tak pernah merasakan
ditinggal tanpa alasan seperti Linggo. Tetapi tentu saja ia bukan seorang wanita yang mudah
menyerah.

“Linggo, ayo pulang. Aku tak tau—entahlah kau kebingungan, takut, marah, atau
apapun itu. Jelas sekali hal ini penting untuk sepupuku. Kau mungkin blasteran—terus terang
saja, mungkin benar aku tak mudah untuk dekat denganmu. Tetapi sejak pertama kali kulihat
dirimu itu. Bukan kebencian atau hal semacam itu yang tersiratkan. Melainkan kata seperti
‘tolong’ yang menjadi peran utama. Ada suatu hal yang tak pernah kutunjukkan sebelumnya
di rumah yang kita tinggali itu. Kau pasti menerimanya—kuharap.”

Lengang. Linggo kembali berpikir. Baiklah, ia akan pulang. Apalah yang dikatakan
Kartini tadi, bukan menjadi alasan kembali. Ia berpikir untuk apa pula menghabiskan waktu
dengan menatap kosong nisan “Dimas Pranata” ini? Ya—ya, ayo kita kembali.

“Baiklah, ayo” Linggo beranjak dari batu-batuan yang ia duduki tadi untuk kembali
ke rumah yang ia tinggali itu.

***

Sampailah mereka kembali ke rumah itu. Linggo sebernanya—walaupun sudah


seminggu—ia tak pernah memperhatikan rumah itu—yang ternyata berasitektur bernuansa
ramah nan tenang. Ia terus saja berpaling ke arah lain karena tak ingin melihat keestetikan
rumah itu. Tetapi hati tak pernah berbohong, dalam beberapa kasus justru kita tak bisa
mengontrol hati kita sendiri. Rumah dengan gaya arsitektur tropis itu benar-benar membuat
mata Linggo terlena. Rumahnya luas sekali dan di buat hidup oleh barang-barang yang
beridentik dengan Indonesia. Lihatlah betapa cantiknya dinding yang dicat dengan motif—ya
—baiklah—Linggo tahu ini adalah batik, ia sempat membacanya di beberapa majalah. Lalu
ada barang-barang antik seperti topeng-topeng yang—baiklah, Linggo mengakuinya ia tahu
beberapa topeng yang disangkut di dinding itu, seperti topeng kelana yang menggambarkan
seseorang yang senang berkelana mencari jati dirinya—eh ia mengetahui hal itu hanya karena
pernah membacanya sedikit. Lalu ada barang-barang antik Indonesia yang berbahan kayu jati
di rumah itu.

Kartini terus melanjutkan perjalanannya, bertujuan sama seperti Linggo, memasuki


kamar Linggo.
“Kenapa kau juga ke sini?” tanya Linggo kebingungan

“Memang di sini tempat yang kutuju, kamarmu”

Linggo tak memahaminya. Apa yang hendak Kartini tunjukkan kepadanya? Ia sudah
melihat seluruh isi kamar ini dan tak ada yang mengejutkan baginya. Tetapi Linggo lupa akan
satu hal, Kartini membuka karpet berbahan bambu yang terletak di kamar itu—sumpah
Linggo tak salah melihatnya, ada beberapa keramik yang bisa dibuka di sana. Menyisakan
sebuah tangga menuju ruangan bawah tanah.

Jantung Linggo semakin berdebar, entah kenapa. Dia mengikuti Kartini yang terus
berjalan melewati anak tangga satu-satu. Linggo tak tahu kenapa, tetapi menyusuri tangga ini
jauh lebih menakutkan daripada diterkam singa.

Tiba-tiba Kartini berhenti di anak tangga terakhir dan berkata kepada Linggo, “kau
mesti masuk duluan.” Linggo injaklah lantai ruangan itu dan lampu sahut-menyahut
menyambutnya. Ini seperti markas perkumpulan penggerak Indonesia. Berbentuk segi empat
dan lumayan luas, Lalu ia berjalan sedikit ke depan dan melihat satu-satu . Ia lihat dinding di
sebelah kirinya yang ditempel dengan rak buku. Seluruh dinding itu berisikan buku-buku—
seperti novel, cerpen, majalah atau koran-koran yang tersisa. Tetapi semuanya terlihat sangat
bersih tanpa debu sedikit pun. Ia masih bisa membaca nama-nama penulis di buku-buku itu
seperti Enid Blyton, Agatha Cristie, Louisa May Alcott, atau penulis-penulis Indonesia
seperti Widji Thukul, dan kawan-kawannya. Ruangan ini berhasil membuat Linggo berdiri
takzim dan terbelalak.

“Ini adalah tempat perkumpulan ayahmu dulu saat masih remaja. Oh—ya—ya,
ayahku juga tentunya. Pamanmu” Kartini berbicara terus terang kepada Linggo.

Sembari Linggo melihat sekitarnya lamat-lamat, Kartini melanjutkan perkataannya,


“ini adalah ruangan yang diimpikan ayah-ayah kita dulu—dan teman-temannya. Mereka
bersembilan. Martha, Fariz, Cut Nyak Dien, Affandi, Mutia, si kembar—Mawar dan Melati,
Dimas, dan ayahku. Hendra.”

Linggo menatapnya sejenak, suara Kartini melemah, “benar sekali. lukisan-lukisan


yang kau lihat di dinding kamarmu—kamar ayahmu—itu dilukis oleh pamanmu sendiri, adik
ayahmu.”
Lalu Linggo menghadap ke dinding yang dia belakangi tadi. Banyak sekali warna di
dinding itu. Penuh dengan coret-coretan isi kepala mereka dengan pensil bewarna. Warna-
warni yang Linggo lihat di dinding itu mencerminkan betapa hidupnya pertemanan mereka.
Ada foto mereka yang dipajang di sana—menampakkan gigi-gigi putih mereka yang
kelihatan manis sekali. Sepertinya ini foto saat mereka masih remaja SMA dulu. Ia lihat
wajah ayahnya yang tertampang di sana dan—sayup-sayup hatinya tergores. Ia tahu bahwa
ayahnya pastilah menyayangi mereka segenap hatinya, terlukis di senyuman itu. Setia. Ya—
benar, setia adalah satu kata yang cocok untuk mendeskripsikan mereka. Satu lanskap yang
benar-benar membuat hati Linggo iri. Bangsat betul, kau pastilah menyayangi mereka
sepenuh hatimu seperti kau menyayangiku dengan penuh kebohongan. Aku tak mengerti.

“Ayahku meninggal sebab serangan jantung, padahal sebelumnya kami baik-baik


saja, aku tidur di pahanya dan kami bercerita tentang bodohnya dunia. Ruangan ini
kubersihkan setiap minggu. Aku tak mau ruangan berkisah ini pupus begitu saja. Ayahku
sering bercerita tentang masa remajanya, ketika ia masih berumur 20an dan bagaimana ia
dihantui oleh bayang-bayang sahabatnya sekarang. Mengutuk dirinya sendiri sebagai
pengkhianat.”

“Rumah ini didanai oleh Martha. Teman ayah kita yang paling kaya—sekaya itu. Lalu
musik-musik yang menghanyutkanmu setiap kau berlalu-lalang dimainkan oleh Fariz si
musisi. Alasan kenapa banyak sekali lukisan di rumah ini karena tiga dari mereka adalah
pelukis. Hendra, Cut Nyak Dien, dan Affandi. Merekalah yang menghangatkan mata kita di
setiap sudut-sudut rumah ini. Lalu ada ayahmu, Dimas yang membuat setiap dinding rumah
ini terasa lebih keras dan mencekam, sebab tulisan-tulisannya yang sarkasme.”

Linggo memasangkan telinga dan matanya pada saat yang bersamaan. Ia


mendengarkan cerita tentang kehidupan masa lalu ayahnya. Linggo hanya bisa diam
mendengar karena mulutnya sedang dilakban dengan kebingungan. Ia tak tahu bagaimana
cara mengungkapkan perasaannya saat ini. Semuanya berembuk menjadi satu dan satu-
satunya yang dapat ia lakukan hanyalah mendengar

“fantastis” adalah kata pertama yang keluar dari mulut Linggo saat menilik lukisan di
sebelah kanannya. Mereka benar-benar membuat lukisan di satu dinding penuh. Indonesia
baru saja diperkenalkan kepada Linggo di satu dinding. Lihatlah mereka berhasil melukis
peta Indonesia dan segala budaya yang melekat di satu daerah ke daerah yang lainnya.
Mereka melukis satu garis yang menghubungi seluruh wilayah Indonesia dengan lukisan
tarian Indonesia, makanan tradisionalnya, baju adat, dan rumah-rumah tradisional. Betapa
berbakatnya tangan-tangan yang melukis dinding itu, pikir Linggo.

Indonesia sungguhlah melalaikan mata Linggo saat itu. Linggo tak sadar bahwa
serpih-serpihan dinding itu terbang, berkumpul menjadi sayap dan zirah lalu melekat ke
tubuh Linggo. Indonesia baru saja berhasil menyentuh hatinya yang malang.

Tetapi ada yang hilang saat itu. Bahwa hatinya tetap kehilangan seseorang. Mau
dikorek sebagaimanapun tak akan bisa hancur—alias sudah melekat penuh. Mungkin itulah
yang membuatnya tak sadar bahwa Indonesia sudahlah terisi di hatinya sejak awal. Bukan
lagi setengah Prancis dan setengah hitam, tetapi sudah resmi Prancis-Indonesia. Ruangan ini
tetap saja tak mengartikan apapun. Hanya ruangan segi empat yang diisi dengan kenangan.

Lalu ia lihat ada satu pintu kosong yang melekat di sana, Kartini berkata lirih, “Ini
adalah tujuan akhir kita, bukalah.”

***

“Indonesia?” kalau ada rakyat Indonesia yang terus mengambangkan nama negaranya
itu di kepalanya karena benci, muak, dan jijik mungkin itu Linggo. Benar, mungkin ini hanya
karena Linggo blasteran. Terlahir dari seorang ayah Indonesia dan ibu Prancis. Tetapi ia tak
memutar-mutar kata “Indonesia” itu di kepalanya lagi. Tidak untuk kedepannya.

Ia hirup udara segar di negara kelahirannya itu. Berjalan kembali menuju rumahnya.
Ia begitu mencintai Prancis—dan ya, mencintai Indonesia—sekarang. Sebenarnya ia malu
untuk mengatakannya apakah boleh ia mencintai Indonesia? Tak ada lagi rasa kebencian dan
jijik yang ia pendam sendirian selama 24 tahun itu. Seperti kura-kura yang mengurung diri di
cangkang sampai mati. Lupa untuk keluar dan melihat bahwa dunia tak hanya berada di
cangkang itu.

Setelah satu minggu ia menghabiskan waktu di Indonesia akhirnya ia paham segala


teka-teki di hidupnya. Saat itu ia buka pintu ruangan terakhir dan melihat wajahnya dan
ibunya yang terlukiskan di seluruh penjuru ruangan itu—tetapi sungguh, tak satupun terlihat
seperti seadanya. Lalu terdapat satu kanvas di tengah-tengah ruangan itu—sama seperti
sebelumnya, mencoba melukis wajahnya dan ibunya. Kartini menguak segala hal yang
berenang di kepala Linggo saat itu. Kartini menjelaskan bahwasanya yang sedang ia pandang
saat itu adalah bagaimana terbengkil-bengkil adik ayahnya mencoba melukis keluarga
kakaknya di Paris. Karena pada saat itu Dimas tak memiki telepon genggam dan lupa
membawa pulang foto keluarganya. Lukisan itu hanyalah berasal dari onggokan kata-kata
Dimas Pranata. “ah bukan seperti ini, Dik—mestilah lebih cantik dari ini wajah istriku dan—
apa-apaan ini?! Apakah kau baru saja membuat sebuah penghinaan karena melukis anakku
yang sama sekali tidak imut?” Kartini memperagakan omongan ayah Linggo—yang ia lihat
dari ayahnya.

Belum habis Linggo mendengar perkataan Kartini ia langsung terjatuh ke lantai dan
menatap kosong sekitarnya. Air saat itu diam-diam keluar dari matanya—dan mulutnya tanpa
berpikir panjang berteriak. Ruangan langsung saja dipecahi oleh tangisan berat seorang laki-
laki malang. Ia mengulang kata-kata maaf dalam sanubarinya.

Lalu Kartini menatap prihatin ke sepupunya itu dan bertanya apakah ia sanggup
mendengarnya kelanjutannya? Linggo mencoba kuat, dan mengiyakan. Lanjutkanlah. Kartini
menjelaskan, kepulangan ayah Linggo di tahun 2004 serta merta hanya karena rindu. Ingin
melihat Kembali apa kabar Indonesianya? Tetapi itu adalah tindakan gegabah yang dilakukan
ayahnya saat itu. Suatu hari, di malam yang hangat—mereka sedang makan malam untuk
mengisi perut. Selalu saja diisi oleh gelak tawa yang dihasilkan oleh kedua orang tua itu. Lalu
tiba-tiba polisi mendobrak pintu rumah kencang-kencang dan menangkap Dimas Pranata,
paman Kartini, ayah Linggo.

Kartini ingat dengan jelas apa yang terjadi di depan matanya. Umurnya masih delapan
tahun saat itu. Ayahnya langsung saja memeluk Kartini erat-erat, menatap kosong yang
terjadi di hadapannya. Pamannya tak memberontak dan tetap tenang tersenyum saat itu.
Dimas berkata dengan suaranya yang putus-putus “kau menangkapku pun tak ada artinya.
Aku hanyalah secuil dari api Indonesia. Kau baru saja membuat apinya menjadi lebih besar.
Lihat saja nanti INDONESIA AKAN MEMBUANG ORANG-ORANG SEPERTIMU”

Lantas sebenarnya apa yang terjadi? Kartini melanjutkan, ini semua karena tulisan
Dimas yang mengkritik Masa Orde Baru. Ia mempubliskan bukunya itu pada tahun 1992
yang bertajuk dengarkanlah. Mengundang seluruh masyarakat saat itu untuk berani bersuara.
Alhasil ini menambah beban untuk komplotannya itu, memikirkan bagaimana cara untuk
kabur dari masalah ini. Lalu dengan kepintaran mereka, larilah Dimas ke Paris. Menetap
selama bertahun-tahun di Paris hingga mempunyai istri dan anak. Tetapi mana mungkin ia
tahan untuk tak kembali ke Indonesia, mau seburuk apapun kondisinya.

Teman-temannya berhasil untuk kabur—sementara, sampai akhirnya pada tahun 1995


mereka pun kena imbasnya. Semua teman-teman ayahnya dimasukkan ke penjara atas
tuduhan menentang Masa Pemerintahan saat itu. Mereka disiksa bertahun-tahun diintrogasi
habis-habisan “kemana perginya Dimas Pranata?” Tentu saja mereka semua bungkam.
Hendra Gunawan dilepas pada saat itu. Tentara-tentara itu sengaja melakukannya untuk
meningkatkan kedendaman mereka satu sama lain. Menjadikan Hendra seperti tulang kering
yang hidup saat itu. Bebas yang berartikan kesengsaraan.

Pada saat itulah—saat air bergelinang di mata Linggo—mendengar cerita lengkap dari
Kartini. Terlihat sebuah pintu masuk menuju kebebasan di sana. Kebebasan. Memang benar
tak ada yang dapat dilakukan blasteran itu, tentu saja. Mungkin kalian tak akan percaya
seberapa membekas Indonesia di hatinya dan seberapa malu ia untuk mencintai Indonesia.
Sebagaimana ia adalah setengah Indonesia yang sempat membenci dirinya sendiri. Tak
mungkin ia tam membaca “Laut Bercerita” yang marak di seluruh bagian Indonesia. Ia telah
mencintai Indonesia sejak awal—mencintai segala jenis keragamannya. Tetapi ia selalu
menutupinya dengan membandingkan tentu saja Paris lebih baik.

Kini warna hitam di tubuhnya itu sayup-sayup menghasilkan warna lain. Tetapi
Linggo tak tahu apakah cintanya terhadap Indonesia ini cukup atau berlebih. Apakah anak-
anak muda Indonesia sekarang jauh lebih mencintai Indonesia daripadanya? Atau paling
tidak menonton film-film Indonesia? Ia tak pernah tahu tentang takaran itu. Tetapi yang pasti
—kini ia berani untuk berteriak kencang seperti berisiknya burung-burung Paris di pagi hari
mengatakan bahwa ia mencintai Indonesia. Bahwa ia sangat mencintai Indonesia.

Ia akhirnya sampai di depan pintu rumahnya, mengetuk pelan-pelan. Ibunya


membuka dan—tak membiarkan waktu berjalan kosong, Linggo langsung memeluk ibunya
erat-erat.

“Bu, aku pulang”

Bu, aku pulang.

“Ya, Nak. Kau sudah di rumah”

“Bukan, Bu. Aku benar-benar pulang. Indonesiaku menyala-nyala.”

Aku benar-benar pulang. Indonesiaku menyala-nyala.

Berairlah mata Ibunya saat itu. Menangis karena begitu gembira. Kini anaknya telah
terbang. Mengepakkan sayap-sayapnya untuk pergi berkelana. Indonesia? Indonesia adalah
jalan pulang. Indonesia itu tempat untuk pulang.

Anda mungkin juga menyukai