Anda di halaman 1dari 48

Good and Bad April

Oleh : ghe rimis kecil

Daftar Isi

1. Namanya April

2. Kehidupan Baru April

3. Nenek dan Kakek

4. Kucing itu Bernama Lulo

5. Sekolah Baru

6. Teman Baru

7. Catatan kecil

8. Rahasia Nadia

9. Ke Pantai

10. Serangan Pertama

11. Sebuah Pengakuan

12. Kronologis Traumatis

13. Ayah Membawa Hadiah Istimewa

14. Semesta Rindu

15. Sebuah Biola

16. Sang Malaikat

17. Ucapan yang Terlambat


18. Keajaiban

19. Perayaan yang Mengejutkan

20. Akhir dan Awal

- Namanya April -

April yang periang, senang berteman dengan siapa saja. Suka menolong dan yang pasti April suka sekali
bercerita apa saja kepada teman-teman sekelasnya. Mereka mencintai April yang periang itu.

"April, apa cita-citamu?" Tanya Bu Hartini yang sedang berada di depan kelas.

"Saya ingin menjadi Mentri buk" Jawab April semangat. April belum tahu dia ingin menjadi mentri apa
nantinya. Dia hanya bercita-cita dengan mulutnya dia mampu menyampaikan hal-hal yang bermanfaat
untuk orang lain. Salah satu cita-cita yang dipilihnya adalah menjadi seorang mentri. Teman-teman April
berdecak kagum mendengar cita-citanya, dan mereka bertepuk tangan. April begitu bahagia memiliki
teman-teman yang mencintainya.

Ketika pulang sekolah April selalu berjalan ke rumah bersama teman-temannya. Kadang mereka singgah
sebentar di taman kota hanya untuk bermain lompat tali atau bergelantungan di besi-besi warna warni
untuk mereganggakan otot tangan mereka. Lalu tertawa bersama, hingga senja pun tiba.

Sesampai di rumah, April yang sudah kotor karena keringat dan debu itu menghampiri Ibunya yang
sedang ada di dapur.

"Bu, April lapar"

"Ada roti cokelat diatas meja, makanlah. Ganti pakaian dan cuci tangan terlebih dahulu"

"Oke bu"

Aprilpun mengganti pakaian dan mencuci tangannya lalu kembali ke meja makan untuk menikmati roti
cokelat dna secangkir teh buatan Ibu. Sembari menikmati roti yang lezat itu, Aprilpun memulai bercerita
tentang kegiatannya selama disekolah. Dimulai dia belajar berkelompok dengan teman sekelasnya,
kemudian ketika bu Hartini menanyakan cita-citanya. Ketika makan siang bersama dan saling berbagi
makanan. April merasa gembira sekali. Hidupnya adalah yang paling istimewa di dunia ini.

Seusai makan roti, April menyambut Ayah yang baru saja pulang dari kantor. April menghamburkan
pelukan kepada Ayahnya dan mulai lagi bercerita yang sama kepada Ayahnya. Raut wajah Ayah yang
kelelahan berubah menjadi sebuah senyuman ketika melihat April yang ceria mulai bercerita.

Kisah yang sangat diinginkan oleh siapa saja di dunia ini. Hidup bahagia dan dicintai banyak orang.
Sore itu, ketika April sedang menuju pulang ke rumah. Dino, teman sekelas April memberitahu April
bahwa akan ada pertunjukan badut di taman kota. Aprilpun ingin melihat pertunjukkan itu dengan
teman-temannya.

"Ayo kita nonton sebentar saja!" Ajak April.

Dengan senang hati, teman-temannya mengikuti permintaan April. Mereka mengitari pertunjukkan
badut yang mengaggumkan. Bola warna warni dilempar ke udara dan dengan sigap sang badut
menangkap 4 bola sekaligus tanpa jatuh ke tanah. Semua mata memandang kagum melihat atraksi itu.
Selanjutnya badut membagikan beberapa balon kepada anak-anak yang menonton. Selepas pertunjukan
badut yang mengagumkan itu, April dan teman-teman pulang ke rumah masing-masing sambil
membawa balon sebagai hadiah mereka.

Sesampai di rumah, seperti biasa April langsung ke dapur. Namun, dia tidak melihat ibunya disana. Lalu
diapun berteriak.

"Ibu....ibu...ibu....ibu dimana?"

Aprilpun terhenti di depan pintu kamar ibunya. April mematung, tak bergerak. Ketika melihat ibunya
sedang keluar dari kamar bersama entah siapa itu, dia tidak tahu.

"Ibu, dia siapa?" Tanya April masih memandang aneh pria yang belum dikenalnya itu. Bahkan dia belum
pernah melihat pria itu sebelumnya.

"Nanti ibu jelaskan" kata Ibu dengan buru-buru merapikan rambutnya, dan membawa pria asing itu
keluar dari pintu belakang.

April masih menunggu ibunya di depan pintu kamar tidur ibunya. Bertanya dalam hati, apa yang sedang
terjadi. Lalu Ibunya menghampiri April yang masih mematung.

"April, mandi dulu dan ada kue keju lapis cokelat yang sudah ibu masak"

"Tapi, bu. Itu siapa sih?" April masih penasaran.

"Nanti ibu beritahu, tapi setelah kamu mandi"

"Ok bu" April kembali ceria dan segera mandi karena ingin sekali mendengarkan cerita dari ibunya
tentang pria yang tidak dikenalnya bersama ibunya itu.

Seusai mandi, April langsung ke dapur. Aroma sup ikan buatan ibunya memang menggoda sekali.
Masakan ibu adalah makanan favorit bagi April.

Aprilpun duduk di kursi makan dan mengambil sepotong roti keju lapis cokelat. Dia bernyanyi lirih
dengan nada yang berantakan. Lalu, ibunya datang dan memberikan secangkir susu cokelat hangat.

Terdengar pintu depan terbuka, April langsung berlari menyambut ayahnya. Dan mulutnya tak berhenti
mengoceh.

"Ayah...ayah. Mau dengar ceritaku tidak?"

"Hari ini cerita apa?"


"Tentang pertunjukan badut yang seru Ayah"

"Ayo ceritakan ke Ayah"

Ibu yang melihat keceriaan Suami dan Anaknya itu merasa senang, namun sedikit luka dihatinya. Hingga
dia menitiskan airmata dibalik pintu dapur.

"Ayah, ayah. Tadi ada laki-laki yang tidak aku kenal sedang bersama ibu dikamar" kata April dengan
nyaring.

Ibu yang berada didapur, berhenti mengaduk sup ikannya. Dan Ayahpun tiba-tiba kembali duduk tegak
yang awalnya mulai menyandarkan punggung yang lelah seharian bekerja.

Ibu segera berlari ke ruang TV, dan melihat ke arah Ayah. Begitu juga Ayah yang langsung melihat ke
arah Ibu. Suasana sedikit menegang, namun April tidak tahu bahwa dia telah salah bercerita. Bahwa
ocehannya itu merupakan hukuman yang akan menghantuinya seumur hidupnya.

Keesokan paginya di hari minggu, ibu sedang mengemasi pakaiannya. April yang mengintip dari balik
celah pintu kemar itu bertanya dalam hati. Ibu mau pergi kemana?. Kemudian ibunyapun keluar dari
kamar sedang menggeret koper yang sudah dipenuhi pakaian.

Dengan wajah bertanya-tanya, April menghampiri ibunya.

"Ibu mau kemana?" Tanya April, memasang wajah sedih.

"April, dengarkan ibu. Berhentilah untuk bicara apapun kepada orang lain. Karena orang lain muak
dengan cerita yang kamu berikan. Mereka sudah muak...muak...tau muak. Ini semua gara-gara April,
Ayah dan Ibu berpisah" jawab ibunya sambil menangis. Hati April terasa sakit, dia adalah penyebab
ibunya pergi hari ini. April terdiam, dan tak banyak bicara. April menunduk dan meresapi perkataan
ibunya yang dianggapnya benar itu.

Aprilpun berubah, hukuman bagi anak kecil yang terlalu banyak bicara itu membuat April mengurung
diri di rumah. Ayah yang kesal melihat April berubah langsung membawa April ke desa tempat neneknya
tinggal.
- Kehidupan Baru April -

Sebelum pergi ke desa nenek, April berpamitan dengan teman-teman sekolahnya. April tak banyak
bicara, dia hanya menunduduk. Bu Hartini yang mewakilinya. Teman-teman sekelas April saling
memasang wajah sedih karena kehilangan teman terbaik mereka. Teman yang selalu membawa
keceriaan di kelas.

"Baiklah, anak-anak. Mari kita beri salaman terkahir untuk April. Ayo bergiliran salamannya dan beri
pelukan seorang teman yang baik hati ini" kata Bu Hartini yang berada disamping April.

Teman-temannya secara bergiliran memberikan salam dan pelukan. Terutama Nay dan Dino.

"April, aku harap kita bisa tetap menjadi teman terbaik" kata Nay sambil melepaskan pelukannya. April
tak menjawab dia hanya menunduk. Dia menahan untuk berbicara karena ibunya sudah melarangnya
untuk berbicara.

Acara perpisahan kecil itupun telah usai. April bersama Ayahnya meninggalkan ruang kelas April yang
penuh kenangan, kelas 3-Mawar. April menurut saja, tak ada kata-kata perpisahan dari April. Teman-
temannya juga memakluminya, karena mungkin April sangat sedih harus berpisah.

Kereta api melaju, menembus angin siang itu. Angin yang membawa suara tangis April yang tak
terdengar. Angin yang membawa rindu April yang tak terucap. April tidak bisa menolak permintaan
Ayahnya untuk pindah ke desa. Karena April tahu, Ayahnya tidak akan mampu mengurus dirinya sendiri.
Apalagi harus mengurus April juga.

April memandang kosong lereng-lereng bukit yang menghijau diterpa sinar matahari. Sawah-sawah
terbentang indah bak karpet alam yang empuk. Aprilpun tertidur karena menahan lelah untuk tidak
bicara.

Didalam tidurnya, April melihat ibu memakai baju merah yang dipenuhi api. Lalu melihat Ayahnya yang
hampir tenggelam didalam kolam. April yang kecil kebingungan ingin menolong siapa, karena tubuhnya
yang kecil. Ibu yang mulai terbakar dan ayah yang terlihat hanya tangannya saja. April bingung, ingin
berteriak tidak bisa. Lehernya seperti di cekik oleh tali yang bisa berbicara.

"Hai, April. Berhentilah untuk berbicara. Lihat apa yang sudah kau lakukan terhadap mulutmu itu.
Mulutmu itu mengambil kebahagiaan orang lain. Dan bahkan kebahagiaanmu juga. Mulai sekarang
berhentilah berbicara" suara terdengar entah dari mana, menggema dialam tidur April.

Ketika hendak berteriak, tali yang melilit leher April semakin kuat mencekik. April, semakin kesulitan
untuk bernafas.
"Sudah kukatakan, jangan mencoba untuk berbicara ataupun berterial. Karena tali itu akan terus
mencekikmu jika kau masih juga berusaha untuk berbicara" suara itu kembali terdengar menggema di
dalam tidur April.

Lalu Aprilpun mengikuti perintah suara yang tak terdengar itu. Mencoba untuk tidak bersuara ataupun
berteriak.

Ketika itu juga, April terbangun dari tidurnya. Mendengar suara ayahnya memanggil namanya.

"April, bangun. April Bangun. Kita sudah hampir sampai di rumah nenek"

April mengangguk, dan meraih tas ranselnya lalu mengikuti langkah ayah yang menuju pintu keluar
kereta api.

Kahidupan baru akan dimulai dari desa ini, desa dimana ayahnya dulu dibesarkan oleh kakek dan nenek.

- Nenek dan Kakek -

Senyum nenek dan kakek menyambut April yang masih setengah mengantuk. Jemari April, terus
mengucek-ngucek matanya yang masih ingin dipejamkan. Tapi, April bersyukur bahwa Ayah telah
membangunkannya dari mimpi buruk dan aneh itu. Nenek dan kakek memeluk hangat April. Suasana
stasiun yang tidak terlalu ramai karena di hari kerja. Membuat April merasa nyaman.

Dengan menggunakan mobil tuanya, Kakek yang masih lihai untuk menyetir membawa Ayah dan April
menuju rumah nenek dan kakek. Sepanjang jalan, April hanya menikmati terpaan angin desa yang masih
segar. Hamparan persawahan akan menjadi area bermain bagi April. Suasana yang jauh berbeda dengan
kota yang penuh keributan. Mungkin desa akan menjadi pelarian hukuman bagi April dan resikonya April
harus kehilangan teman-teman terkasihnya.

Terlihat beberapa orang menyapa kakek, orang-orang desa terkenal ramah. April mulai menikmati ritme
angin di desa dan mencoba untuk tidak banyak bicara.

"April kenapa diam saja?" Tanya nenek

April tak menjawab, matanya lebih sibuk melihat perbukitan kebun kopi dan hamparan sawah serta
padang rumput yang dipenuhi kerbau yang sedang asik makan rumput.
"Mungkin dia sedih, bu. Karena harus meninggalkan teman-teman di kotanya", jawab Ayah sambil
mengelus-elus kepala April lembut.

"Nenek yakin, April akan betah disini"

"Ayah juga yakin April akan mendapatkan teman yang baik disini"

"Akh, tetangga kita juga seumuran denganmu. Aku lupa namanya" kata nenek mencoba mengingat
nama anak laki-laki yang suka membantunya memetik cabai dikebun belakang rumah.

"Okto" sambung kakek

"Iya...iya....Okto"

"Hehehehe" kakek dan nenek yang berada di kursi depan tertawa bersama.

April masih menikmati pikiran dan mimpinya tadi. Disela-sela angin berhembus, April mencoba
mengeluarkan suaranya. Nyatanya yang dia rasakan adalah sakit. Seperti ada yang mencekik lehernya.
Lalu dia mengelus lembut lehernya.

Setibanya di rumah nenek dan kakek yang terbuat dari kayu itu. April langsung dibawa ke kamarnya
untuk beristirahat. Ada boneka beruang, hadiah ulang tahun ke 5 ketika April mengunjungi rumah nenek
dan kakeknya 5 tahun yang lalu. Lalu April memeluk boneka beruang yang besar itu sambil menangis
karena rindu teman atau karena kesalahan yang dibuatnya.

Ayah, Nenek dan Kakek sedang duduk menikmati ubi rebus yang dimasak nenek sebelum berangkat
menjemput Ayah dan April. Seceret teh manis hangat menjadi teman terbaik sore itu.

"Aku akan bercerai dengan Fatma"

"Kenapa tiba-tiba?" Tanya Nenek terkejut

"Dia berselingkuh, bu. Berani sekali dia membawa selingkuhannya ke rumah. Dan April tak sengaja
melihatnya" jelas Ayah sambil menitiskan airmata dan memijit-mijit dahinya karena sakit.

"Sudahlah, ibu juga sudah memperingatkanmu sebelum menikah dengan Fatma. Ibu tidak bisa melarang
waktu itu, karena Fatma pilihanmu"

"Iya bu. Tapi, aku kasian lihat April yang jadi korban. Sejak ibunya pergi meninggalkan rumah, April
hanya diam saja. April berubah"

"Dia juga merasa sedih. Dia masih terlalu dini untuk berpisah dengan kedua orang tuanya" jawab kakek
sambil mengelus pundak Ayah yang terasa lelah.

"April akan tetap disini sampai dia tamat SMA. Ayah dan Ibu akan menjaga April. Kau sebaiknya tetap di
kota dan bekerja. Kau tahu sendiri ekonomi didesa tidak sedang baik"

"Iya bu. Makanya aku mohon pada ayah dan ibu jaga dan didik April. Kembalikan April yang dulu ceria
bu. Aku mohon" ayah menangis, dan April yang melihat dari jendela kamarnya juga menangis. Tak bisa
bicara, April hanya sedih melihat Ayah menangis.
- Kucing itu bernama Lulo -

Dua hari setelah mengantar April, Ayah kembali ke kota. Dengan berat hati, April harus melepaskan
pelukan rindunya itu.

"Sebulan sekali ayah akan menjenguk April kesini. Jadi, anak yang baik. Bantu Nenek memasak, bantu
kakek berkebun"

April hanya menangguk dan menangis sedu. Tak rela harus ditinggalkan Ayahnya, April memeluk
kembali Ayahnya. Suasana yang mengharukan ini terlihat oleh seorang anak bernama Okto yang diam-
diam mengikuti naik sepeda hingga stasiun kereta api.

Suara sirine kereta api berbunyi, tanda kereta harus bergerak menuju kota sesuai jadwal. Tidak boleh
terlambat, karena akan merusak semua jadwal kereta.

Ayah melambaikan tangannya, diantara keterpaksaan dan ketidakberdayaannya Ayah lebih memilih
pasrah untuk meninggalkan April bersama orang tuanya. April juga melambaikan tangan, ingin berlari
mengejar keretanya. Namun itu akan percuma karena kereta sudah melaju cepat dan menghilang
bersama kerinduan.

Okto yang diam-diam mengikuti dari belakang, memberikan sebuah kejutan yang dia letakkan di
belakang mobil. Sebuah kotak berwarna cokelat, terbungkus rapi dengan tulisan "adopsi aku".
Nenek heran, mengapa ada kotak cokelat dibelakang mobil. Nenek melihat sekitar dan bertanya kepada
kakek.

"Kotak siapa ini?"

"Aku tidak tahu"

"Sepertinya ada isinya"

"Coba buka"

Nenekpun membuka kotak cokelat itu dan melihat seekor anak kucing berwarna belang tiga. Putih,
hitam dan kuning. Lalu nenek membaca tulisan didalamnya.

"Tolong adopsi aku, karena aku melihatmu merasa kesepian. Maka aku dikirim Tuhan untuk
menemanimu gadis kecil yang sedang kesepian" baca nenek.

"Wah, ternyata ada malaikat baik yang memberimu teman. April" kata kakek sambil merangkul pundak
April yang kecil itu.

"Yuk kita bawa pulang kucingnya. April boleh kok memelihara kucing. Nanti kakek akan membuatkan
kandangnya" kata nenek sembari mengajak April masuk ke dalam mobil bersama kotak cokelatnya.

Okto yang masih diam-diam bersembunyi akhirnya ketahuan oleh nenek yang tak sengaja melihat Okto
sedang berjongkok dibalik semak dekat parkiran kenderaan. Nenekpun tersenyum sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya.

"Aku tahu siapa malaikat baik itu" kata nenek yang sedang memasang sabuk pengaman.

"Siapa?" Tanya kakek penasaran, begitu juga April yang penasaran.

"Itu rahasia Nenek dengan Tuhan saja ya. Hehehehehe" jawab nenek sambil tertawa lucu.

Sebelum pulang ke rumah. Kakek dan nenek singgah ke pasar ikan yang berada dekat pelabuhan. Disana
banyak sekali orang yang sedang hilir mudik. Suara yang begitu bising membuat April merasa tidak
nyaman. Makanya dia memilih untuk tetap diparkiran bersama kucing barunya. April ingin sekali
memberi nama kepada kucing yang menggemaska itu. Tapi, rasanya percuma karena April tidak akan
pernah memanggil namanya.

"Namanya Lulo" tiba-tiba suara nyaring terdengar entah dari mana. Mata April mengitari parkiran yang
memang sepi. Tapi, matanya tak menangkap satu bayangan yang berada didekatnya.

Okto yang bersembunyi dibalik salah satu mobil pengangkut ikan, ngos-ngosan karena harus berlari
cepat agar tidak ketahuan oleh April.

April tersenyum, sambil berkata dalam hati.

"Hai lulo. Salam kenal. Semoga kamu bisa mendengar suara hatiku"

"Meong....meong"

Aprilpun merasa senang karena seperti menemukan teman baru yang memahaminya.
"Mulai sekarang kita berbicara lewat hati saja ya" kata April dalam hati yang senang.

Kakek dan Nenek sudah kembali membawa setengah keranjang ikan untuk kebutuhan selama seminggu.
Nenek pandai sekali membuat ikan asap, dan kakek juga pandai membuat sambal yang enak sekali.

Ada sedikit ruang bahagia di hati April hari ini. Hadiah kucing dan senyuman kakek serta nenek yang
membuat dia harus tetap bertahan dan mencoba mengurai belenggu hukuman ini.

- Sekolah Baru -

Seminggu April disini, membuatnya sudah cukup beradaptasi dengan alamnya. Udara sejuk sepanjang
hari. Apalagi ketika hujan turun suhu udara dilembah perbukitan yang dingin. Ketika cuaca panas, angin
laut yang tiba-tiba hadir menambah keringat ditubuh. Nenek yang sedang merebus sawi di dapur harus
terganggu oleh kedatangan tamu. Seorang wanita berkacamata dengan rambut sebahu dan berpakaian
rapi.

"Selamat pagi, Nana" sapa nenek yang melihat wanita itu yang sudah ada di telinga pintu samping
rumah.

"Selamat pagi, Nek"

"Maaf agak lama, aku sedang memasak"

"Tidak apa-apa, Nek. Bagaimana kabar nenek?"

"Sehat, Nana. Kamu kesini untuk mengambil formulir yang kemarin kamu berikan ke nenek ya?"

"Iya, Nek. Sekalian Nana mau lihat April juga. Dimana dia?"

"Sebentar ya" nenek kembali masuk ke dalam rumah dan memanggil April yang sedang bermain
bersama Lulo di kamar.

April menunduk malu, ketika nenek ingin mengenalkannya kepada Nana. Wanita yang bekerja sebagai
staff di kantor kepala desa yang selalu mendata penduduk baru. Termasuk April yang akan bersekolah
besok. Data April harus masuk ke dalam keluarga nenek selama di desa. Agar memudahkan segala
urusan, terutama dalam bidang kesehatan dan pendidikan.
"Hai April" sapa Nana, April tak menyambutnya. Sebenarnya dia ingin menyapa balik. Tapi, sakit itu
muncul lagi ketika April mencoba untuk berbicara.

"Dia memang seperti ini sejak orang tuanya berpisah. Mungkin trauma" jawab nenek.

"Bisa jadi seperti itu, Nek. Tapi, dia akan kembali seperti yang dulu. Jika kita terus bersamanya Nek"

"Iya" jawab nenek sambil tersenyum.

"Aku dengar besok dia sudah mulai bersekolah?"

"Iya, Nana. Tapi, nenek bingung harus menitipkannya kepada siapa. Karena besok nenek harus ke pasar
menjual hasil kebun"

"Sama aku saja, Nek. Aku akan membawa April, sekalian mengantar Okto"

"Ah, iya. Terima kasih banyak"

"Sama-sama, Nek. Besok jam 7 kita berangkat ke sekolah ya, April" kata Nana dengan tersenyum. Kali ini
April mengangguk pelan.

Keesokan paginya, pukul 5 pagi April juga harus sudah bangun. Karena Nenek dan Kakek harus
membawa sayuran dan hasil kebun ke pasar mingguan. April harus mandiri melakukan semuanya.
Nenek dan Kakek berpamitan untuk ke pasar. April, yang belum mandi segera mandi ditengah air yang
sangat dingin. Lalu menyiapkan sarapannya dan bekal makan siang sendiri. April jadi teringat, rasanya
baru kemarin April masih bisa merasakan masakan ibunya. Roti cokelat dan keju kesukaannya. April
menangis sambil menyendoki nasi ke dalam tas bekal makan pagi dan siangnya. Seusai menyiapkan
makanan yang sudah dimasakan nenek, Aprilpun bergegas mandi dan memakai seragam sekolah
lamanya. Airmata April juga menetes kembali, dia rindu dengan Nay dan Dino serta teman-teman yang
lainnya.

"April....April...." suara Nana sudah terdengar dari luar. April sesegera mungkin untuk menyeka
airmatanya yang tersisa. Lalu berlari ke dapur dan menemui Nana di pekarangan depan.

Pagi ini Nana mengantarkan April dan Okto menggunakan sepeda motor bututnya. Suara knalpot yang
agak berisik itu mudah sekali dikenali penduduk desa. Karena hanya motor milik Nana lah yang
mempunyai suara nyaris mirip suara gledek ditengah hujan turun.

"Ayo, berangkat" teriak Nana yang diikuti gema nyaring suara mesin motor bututnya. Okto yang duduk
didepan dengan bangku cadangan yang dimodifikasi oleh Nana dan teman-temannya itu terlihat
tersenyum ke arah April. Namun, April yang sibuk berlari hingga lupa mengunci pintu dan harus kembali
lagi lalu berlari lagi ke arah pintu gerbang. Membuat Okto tertawa, ini hiburan yang menyenangkan bagi
Okto.

Nana memberikan sabuk ikatan pengaman yang melingkari tubuh April.

"Pegang pinggangku, April" perintah Nana, sebelum melaju. Aprilpun nurut.

Suara mesin motor yang membelah kesunyian pagi yang dingin ini hingga mataharipun enggan untuk
muncul sepagi ini. Sekolah yang tidak terlalu jauh itupun sudah terlihat. Tepat diatas bukit yang
pemandangannya langsung ke hamparan laut luas. Angin pagi yang sejuk dan dingin menyambut sapaan
guru-guru yang sedang berdiri didepan pintu gerbang. Nana memegangi tangan April, sedangkan Okto
sudah lincah berlari meninggalkan mereka.

"Selamat pagi, Pak Bian"

"Selamat pagi, Nana. Siapa yang kamu bawa ini?" Tanya Pak Bian, guru olahraga yang tampan itu
membuat pagi Nana terasa berbunga-bunga.

"Namanya April, murid pindahan dari kota. Cucunya Nenek Minna"

"Oh iya, ternyata hari ini ya datangnya. Kamu jumpai Bu Alma di kantor guru. Beliau yang antar April ke
kelasnya"

"Terima kasih, Pak Guru Bian" Nana dengan senyum centilnya meninggalkan kegelian dihati Pak Bian.

- Teman Baru -

Setibanya dikantor guru, Nana menjumpai Bu Alma yang sedang sibuk merapikan rambutnya yang
sudah mulai ditumbuhi uban. Nana menyapanya dan menyerahkan April kepada Bu Alma. Dengan
senanh hati, Bu Alma menyambut April yang masih canggung dengan lingkungan sekolah yang baru.

Situasi yang sangat berbeda jauh. Anak-anak sekolah disini dibebaskan memakai seragam apa saja. Tidak
ditentukan, pakaian bebas. Bahkan untuk pakaian olahraga sekalipun. Bu Alma menuntun April menuju
kelasnya. Pintu kelas terbuka, suasana kelas menjadi hening. April dengan malu-malu membawa kakinya
untuk masuk ke kelas barunya itu.

"Selamat Pagi, anak-anak" sapa Bu Alma yang masih bermasalah dengan rambut depannya yang tidak
mau mengalah untuk rapi.

"Pagi, bu" jawab serempak dan nyaring sekali menggema didinding-dinding kayu kelas.

"Hari ini kita kedatangan teman baru. Namanya April, datang dari kota. Hanya saja dia agak susah untuk
berbicara. Kalian boleh berkenalan dengannya setelah jam istirahat nanti ya"

"Apakah dia bisu bu?" Tanya anak berwajah tirus sambil tertawa mengejek.

"Dia tidak bisu", jawab Bu Alma yang agak kebingunan.

"Mungkin dia Tuli" sahut anak berbadan besar, yang mirip dengan ketua mafia.

"Hahahaha, mungkin dia tuli dan bisu" seorang anak perempuan juga ikut menyeletuk dan tertawa
diikuti beberapa anak lainnya.

"Sudah, sudah cukup. Hm....April tidak bisu ataupun tuli. Dia hanya sedang dalam masa penyembuhan
traumatis. Jadi, ibu harap kalian bisa berteman baik dengannya"

"Iya bu" jawab mereka serempak.

"Nah, sekarang kamu duduk dekat Nadia ya. Kursi nomor tiga dari sini"

Nadiapun menyambut April dengan senyuman terbaiknya.


Kelaspun kembali sepi, mereka akan makan pagi bersama sebelum pelajaran di mulai. Aroma beraneka
ragam masakanpun tercium hingga ke hidung Pak Bian. Diapun langsung segera meluncur untuk melihat
aneka ragam masakan dan berharap ada murid yang mengajaknya makan bersama.

Ketika Nadia membuka bekal makan paginya, tercium wangi daging panggang yang membuat April harus
menelan air liurnya. Nadia tahu bahwa April sedang memperhatikan menu makan paginya.

"Apakah kamu mau berbagi makanan pagi ini?" Tanya Nadia.

April mengangguk pelan. Menu April pagi dan siang ini sama. Hanya telur dadar dan sayur brokoli serta
sambel ikan teri.

Nadia dan Aprilpun berbagi makanan. Setidaknya, perhatian Nadia menutupi luka didalam hatinya
akibat ocehan teman-teman sekelasnya tadi.

- Catatan Kecil -

Bel berbunyi, tanda istirahat pertama dimulai. Beberapa anak perempuan mendekati April yang awal
hanya menunduk saja. Nadia mencoba untuk berbicara dengan April, yang didapat hanya anggukan dan
gelengan saja. Lalu terdengar suara Okto yang nyaring.

"Minggir, minggir....." kata Okto sambil berlari kearaha meja April dan setelah meletakkan buku
berukuran kecil itu diatas meja April. Oktopun kembali berlari seperti kilat.
"Anak yang aneh" kata anak perempuan berkuncir ekor kuda.

"Hahahaha" mereka tertawa bersama.

Mata April melihat buku kecil yang diberikan Okto untuknya. Aprilpun meraih buku tersebut dan
membukanya. Mata anak-anak perempuan yang sedang berkumpul di meja Nadia dan April
menunjukkan rasa penasaran.

"Ayo dibuka saja, April" kata Jude, anak perempuan berambut batok kelapa.

April mengangguk, dan membuka buku kecil tersebut. Ada tulisan yang sulit untuk dibaca, namun
membutuhkan tempo yang lama untuk bisa terbaca.

"Jika kamu merasa kesulitan untuk mengobrol dengan teman-teman barumu. Maka kamu bisa
mengobrol dengan mereka lewat tulisan disini" tulis pesan yang ada dihalaman buku pertama itu,
sungguh itu tulisan yang paling jelek yang pernah dibaca oleh April. Walaupun begitu, April tersenyum
dalam hati dan merasa senang.

"Si Okto kok bisa dapat ide cemerlang seperti ini sih" kata Jude heran

"Iya, setahuku otaknya itu ada dikakinya saja" timpal Audry si rambut kuncir kuda.

"Hihihihi, kalian benar" kata Nadia tertawa geli.

Okto memang terkenal jago lari. Bahkan Okto pernah disebut pahlawan ketika mampu mengejar maling
yang ketauan sedang masuk ke dalam lingkungan sekolah. Namun, gelar pahlawan itu segera memudar.
Karena Okto salah tangkap.

"Okto itu nyaris otaknya berada di kakinya. Bisanya dia lebih cepat berlari daripada harus menjawab 2 +
2" kata Audry sambil tertawa.

Merekapun tertawa bersama pada istirshat pertama itu.

Ini merupakan kemajuan bagi April. Selama ini dia bingung harus mengobrol apa dengan temannya.

Lalu April memberikan buku catatan yang sudah ditulisnya.

"Terima kasih, sudah mau berteman dengaku" tulis April.

Nadia, Jude dan Audry saling pandang dan merekapun tersenyum bersaman.

"Kami juga senang berteman denganmu, April" jawab mereka serempak.

Bel pelajaran terakhirpun berbunyi, bertanda mereka akan pulang. Anak-anak berhamburan keluar
kelas. Begitu juga dengan kelas 3-B, saling berebutan untuk keluar kelas. April dan Nadia memilih untuk
tidak terburu-buru keluar dari kelas. Setelah anak murid yang lain sudah keluar, dan kelaspun menjadi
sepi.

"April, ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu" Nadia diam sejenak.

"Aku akan menulisnya di buku catatan kecil ini" sambung Nadia.


April menyerahkan buku catatan kecil itu kepada Nadia. Dan Nadiapun menuliskan sesuatu yang hendak
dia katakan sedari tadi. Hanya dia tak ingin menceritakan hal yang ingin dikatakannya diketahui teman-
teman yang lainnya. Nadia masih bingung apa yang ingin dia tulis. Akhirnya dia berubah pikiran.

"Besok aku akan memberikan buku khusus obrolan kita berdua saja ya. Teman-teman yang lain tidak
boleh tahu" kata Nadia sambil berbisik ditengah sepinya kelas.

April mengangguk, dan merekapun berjalan berdua keluar gedung sekolah. Mobil butut kakek sudah
terlihat, dengan warna kuning yang suram itu sangat terlihat jelas dari kejauhan. Nadiapun izin pamit
karena sudah dijemput oleh supirnya. April menuju mobil kakek, disana sudah ada Nenek dan Kakek
serta Okto yang melambaikan tangannya.

"Bagaimana sekolah barunya?" Tanya Nenek setelah mereka semua masuk dalam mobil, kecuali Okto
karena dia dijemput oleh Nana, kakaknya.

April mengeluarkan buku catatan kecil yang ada didalam tasnya dan menuliskan jawaban dari
pertanyaan neneknya.

"Aku senang bisa diterima disekolah baru in, Nek" Seusai menulis, Aprilpun memberikan tulisan
jawabannya kepada nenek.

"Apa ini?" Tanya nenek heran sambil menerima buku kecil itu.

"Ya ampun, ide siapa ini?" Tanya nenek takjub.

April mengambil kembali bukunya dan menulis jawabannya.

"Okto"

Ketika April menyerahkan bukunya, dan mata nenek berkaca-kaca membacanya.

"Dasar malaikat kecil yang baik hati" kata nenek dalam hati sambil tersenyum.

"Mengapa kamu menangis nek?" Tanya kakek dibalik kemudi. April terkejut, melihat nenek menangis
lalu Aprilpun mengusap-usap pundak neneknya dengan lembut.

"Aku terharu membaca tulisan ini. Akhirnya April mempunyai teman baru. Kakek lihat, ini obrolan hari
ini dengan teman-teman baru April" Nenek menunjukkan tulisan yang tidak rapi itu kepada Kakek yang
hanya bisa melihat sekilas.

Siang itu, angin baru menghampiri April bersama dengan senyum kebahagiaan yang tak terbayangkan
oleh April sebelumnya.

Hukuman ini masih berlanjut, titah ibunya masih menjadi tali dilehernya. Kalimat-kalimat kesakitan itu
masih terasa didalam hati April yang terluka.
- Rahasia Nadia -

Pelajaran olah raga baru saja selesai. Anak-anak murid kelas 3-B pun kembali ke kelas setelah keringat
mengering oleh udara pagi yang sejuk. Matahari hari ini sepertinya sedang bahagia, muncul lebih awal
dan bersinar terang. Terlihat kilauan dari jauh seperti hamparan kaca-kaca yang berombak, lautan sana.

Seperti janji Nadia kemarin, Dia akan memberikan buku catatan baru khusus untuk obrolannya dengan
April. Dikelas yang masih sepi, Nadia langsung menyerahkan buku kecil itu.

"Buku ini boleh kamu baca setelah pulang sekolah" kata Nadia. Aprilpun mengangguk.

"Aku percaya kamu sejak awal bertemu kemarin, kamu tidak akan memberitahu siapapun tentang
rahasia ini. Kecuali, kamu dengan sengaja memberitahu catatan kecil ini"

April mengangguk paham pernyataan Nadia, memberika isyarat bahwa buku ini adalah rahasia yang
harus disimpan oleh April. Entah mengapa April merasa sangat berguna, walaupun sedang tidak bisa
mengobrol baik dengan teman-temannya.

"Nadia, dipanggil Pak Bian" teriak si gembul Fatah dari luar kelas.

"Sebentar" Sahut Nadia. "Sebentar ya, aku segera kembali". Nadiapun berlari keluar kelas menuju
kantor guru menemui Pak Bian.

April sedang duduk sendiri menatap kebun samping sekolah. Bunga mawar yang berwarna merah itu
cukup menggoda April untuk mendatanginya. Aprilpun ke kebun bunga mawar itu, menikmati aroma
wewangian khas mawar yang membuat April nyaman.

"Hei, anak baru sedang apa kamu disini?" Seorang bertubuh tinggi, berkulit sawo mata dan bermata
cokelat menegurnya. Dia Juni, kakak kelasnya. Sekarang Juni duduk dikelas 5-A. Murid yang paling
populer karena pintar dan pandai bermain piano. Salah satu pemain alat musik intrumental terbaik
kabupaten.

April terkejut, sekaligus terpana dengan mata cokelat yang bersinar. Seperti mata Lulo.

Karena merasa keadaan tidak nyaman lagi, Aprilpun meninggalkan kenyamanan yang baru saja dia
temui di kebun mawar yang indah sekaligus beraroma sedap.
"Dari mana saja kamu, April?" Tanya Nadia ketika mendapati April yang berlari ke dalam kelas.

April langsung menunjukkan ke arah kebun bunga mawar. April langsung mengambil catatan kecilnya
dan menuliskan sesuatu.

"Kamu kenal siapa anak laki-laki yang sedang berdiri dikebun itu?"

Nadia membaca tulisan April, lalu melihat ke arah kebun mawar disebelah kelas mereka.

"Oh, dia kak Juni. Pemain piano andalan kabupaten. Semua orang menyukai permainannya"

April mengangguk pelan, dan paham.

"Ada apa dengannya?" Tanya Nadia.

April menggeleng-gelengkan kepalanya. April jadi teringat dengan Dino yang juga pandai bermain piano.
Ketika mereka berkumpul, maka mereka akan membuat pertunjukkan musik di sekolah. April menyanyi,
Nay bermain flute dan Dino bermain piano. Sebuah kombinasi yang luar biasa indah. Sebuah lagu yang
menjadi andalan mereka, I Have a dream by AbbA.

Sepulang sekolah, April disambut oleh Lulo yang sudah ingin bermain dengannya. Kepala Lulo yang
berbulu itu, dielus-elus oleh April yang harus segera berganti baju dan mengerjakan PR dari sekolah.
Setelah mengerjakan PR, April teringat dengan buku catatan kecil yang diberikan oleh Nadia tadi pagi di
sekolah. Dengan pelan Nadia membuka halaman pertama yang kosong, lalu lembar kedua juga kosong.
Dengan cepat Nadia membuka lembar demi lembar kertasnya. Akhirnya April menemukan sebuah
catatan yang cukup panjang untuk dibaca, yang terletak entah dihalaman ke berapa.

"Hai, April. Aku senang bisa mengobrol denganmu lewat catatan kecil ini. Aku berharap kamu juga
merasa senang membaca tulisanku yang agak lumayan tidak rapi ini. Ada hal yang ingin aku beritahukan
padamu, yang tidak ada orang lain boleh mengetahuinya. Bahkan nenek ataupun kakekmu sekalipun.
Aku sudah kenal lama dengan Okto, kami sejak TK sudah bersama. Okto atlit lari, aku juga atlit lari. Kami
sama-sama memiliki kimiripan. Karena aku beranggapan, bahwa Okto adalah pangeranku dimasa depan.
Jadi, aku mohon jaga rahasia ini. Walaupun didepan teman-teman lain aku juga sering mengejek Okto.
Tapi, itu sebenarnya tidak ingin aku lakukan. Jika tidak aku lakukan, maka teman-teman akan curiga
denganku. (Catatan 1)"

Rasanya April ingin tertawa, usia mereka masih 10 tahun. Memang untuk 2 bulan lagi mereka akan naik
ke kelas empat. Dan itu masih terlalu panjang perjalanan untuk mengatakan hal "pangeran masa
depan". Karena Nadia yang memulai, maka Aprilpun membalasnya di lembar yang entah keberapa itu.

"Nadia memang hebat sudah menempah pangeran masa depannya. Kalau aku sendiri, akan memilih
Lulo untuk aku jadikan pangeran masa depanku. Karena hanya Lulo yang mengerti aku. Lain kali aku
akan memperkenalkan Lulo kepadamu. (Balas 1).

Aprilpun menghampiri Lulo, sambil mengelus-ngelus lembut kepala Lulo yang sedang bermanja itu.
- Ke Pantai -

Hari minggu ini demi menemani Nana dan Pak Guru Bian berkencan ke pantai, April dan Nuno menjadi
alasan Nana untuk bisa melanjutkan misinya itu. Nana menjemput April di rumah, padahal April sedang
membaca komik kesukaannya. Nenek yang sedang ada di pekarangan depan, memanggil April.

"Sebentar ya, Nana. Nenek segera kembali" Nenekpun masuk ke rumah, karena April tidak menyahut
panggilannya tadi.

"April, Nana mencarimu. Segeralah ke depan" kata Nenek yang berada dibalik pintu kamar April. Segera
April membuka pintu kamarnya, dan menuju ke depan menemui Nana yang sedang berdiri dengan
wajah senangnya.

"April, kamu harus ikut ke pantai bersama kami. Maksud kata kami disini adalah, Aku, Pak Guru Bian dan
Okto. Kita akan bergembira disana, air pantai yang hangat" bujuk Nana.

April mengangguk, dan meminta Nana menunggu karena April akan mengambil tas ranselnya, tidak lupa
juga buku catatan kecilnya.

April menyerahkan buku catatan kecilnya, memberitahukan agar Nana membaca tulisannya.

"A...jak Na....di...a" eja Nana setelah melihat tulisan April.

"Ok!, tapi itu agak sulit. Karena Nana anak pejabat, aku tidak berani. Tapi, aku akan usahakan" kata Nana
sambil mengepal kedua tangannya.
Demi ambisinya untuk berkencan dengan Pak Guru Bian, demi ambisinya untuk menikmati pantai
bersama orang yang diam-diam dia kaguminya, demi ambisnya Nana rela melakukan apa saja. Termasuk
membujuk Mamanya Nadia yang sangat overprotective.

"Nadia tidak boleh pulang diatas jam 4 sore ya" kata Mama Nadia cemas dan wajah ketat kepada Nana.

Mama Nadia setuju karena memang sudah lama Nadia tidak bermain kepantai, sejak Ayahnya
merupakan salah satu pejabat di ibukota kabupaten. April dan Nadia saling tersenyum senang.

Dengan motor butunya, Nana melaju pelan menuju rumahnya. Okto sudah menunggu dipekarangan
depan rumah. Okto berlari kencang menyambut kehadiran mereka. Nadia tersipu malu, April
tersenyum. Kepala April sekarang tidak banyak menunduk lagi. Dia hanya bisa berbagi senyuman kepada
teman-temannya.

Tin...tin...tin....suara klakson mobil milik Pak Guru Bian terdengar. Mobil yang seharusnya untuk muatan
sayur dan buah itu mereka gunakan untuk jalan-jalan mereka dihari minggu ini.

"Kalian bertiga dibelakang" kata Nadia lirih sedikit mengancam.

"Hahahaha, aku tidak mau" kata Okto sambil berlari mengitari mobil dan tertawa.

"Kalian harus paham sebagai wanita. Bantu aku ya sekali lagi" bujuk Nana kepada April dan Nadia.

"Ok, Kak" jawab Nadia riang.

"Nah, ini baru ok. Kamu memang cocok jadi adik iparku. Hahahahaha"

Mendengar kalimat itu Nadia langsung senang sekali. Hatinya berbunga-bunga, aroma wewangian yang
dia tidak tahu berasal darimana itu membuat Nadia merasa nyaman. Seperti wangi lavender dan citrus.

Nana menggendong Nadia untuk menaiki bak belakang yang sudah dilapisi terpal biru. Lalu mengangkat
April yang agak ketakutan.

"Ini akan menjadi hal yang menyenangkan, April" bisik Nadia.

Tak lama, Okto melompat naik ke dalam bak mobil. Merekapun tertawa ketika Okto tak berhasil
mendarat dengan baik. Kepalanya pasti sakit karena ulahnya sendiri. Oktopun mengusap-ngusap
kepalanya yang terantuk besi mobil.

"Kebanyakan tingkah sih" kata Nana yang segera masuk ke bagian depan mobil.

Mobil itu menuju ke pantai dengan angin yang cukup kencang. Disebelah perbukitan ada sebuah pantai
yang memiliki air yang jernih. Pasir putih bagaiman berlian yang berkilauan.

Okto tiba-tiba bangkit, lalu berdiri menyandarkan tubuhnya ke dinding mobil bagian depan. Pelan-pelan
dia merentangkan tangannya. Dengan rambut yang berantakan karena diterpa angin, Okto mulai
menarik napas pelan-pelan. Memejamkan matanya sejenak. Dan sedetik kemudian, dia berteriak.

"Aaaaaaaaaaaaaasaaaaaaaaaaaaa"

Teriakan Okto membuat Nadia dan April terkejut. Mereka berdua memperhatikan tingkah aneh Okto.
"Hei, kalian berdua kesini. Ini hal yang paling seru. Berteriak sambil makan angin. Rasanya seperti makan
buah strawberry"

Nadia mengernyitkan dahinya, bagaimana Okto bisa merasakan angin yang diakuinya mirip seperti rasa
stawberry itu.

"Kalian masih tidak percaya, sini. Ayo lakukan. Kalian akan membuktikannya sendiri"

April dan Nadia masig tidak bergeming dari duduknya. Mereka menyudut jauh dari Okto yang memang
terkenal anehnya. Karena tidak sabar Oktopun menarik tangan April dan Nadia untuk merengakak ke
araha dinding mobil bagian depan. April dan Nadia sedikit gugup dan ketakutan. Apalagi Nadia, jelas
rasanya bercampur aduk seperti diblender.

"Nah, pegang besi ini. Pakai kedua tangan kalian. Lalu berdiri pelan-pelan" kata Okto.

April menggeleng-gelengkan kepalanya, lain halnya dengan Nadia. Nyalinya seperti tertantang untuk
mengikuti keanehan Okto. Mungkin ini antara rasa pamer atau rasa penasaran. Nadiapun bergerak naik
untuk bangkit. Angin langsung menerpa rambutnya yang panjang.

"April berdirilah, ini betul-betul menyenangkan. Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa"

Okto dan Nadia saling sahut menyahut untuk berteriak. April masih terduduk dibawah antara kaki-kaki
Nadia dan Okto.

April bukannya tak ingin berdiri. Hanya saja, April merasa cemburu ketika kedua temannya mampu
berteriak dengan lantang. Sedangkan dia hanya terdiam dalam sedih.

Setibanya dipantai, merekapun langsung mandi sebuah kolam asin berwarna biru akibat alga yang sudah
tua. Kolam itu tidak dalam, hanya berbentuk bulat dikelilingi bebatuan. Jika air sedang pasang, maka
kolam itu akan terlihat. Okto yang lihai berenang memamerkan seluruh gaya yang dia bisa.

Sedangkang Nana dan Pak Guru Bian menyiapkan tempat untuk makan siang.

Berlari, melompat menikmati angin pantai yang kencang. Membasuh muka yang mengering karena
matahari. Kulit berkilat-kilat pekat karena berjemur seharian. Sehabis makan merekapun beristirahat,
lalu tertidur.

Hingga pulang Nana kesusahan sendiri harus menggendonh ketiganya naik ke atas mobil dan menyusun
mereka dengan nyaman agar mereka tidak terganggu tidurnya.
- serangan pertama -

Audry berlari sekencang-kencangnya ke ruang kelas. Matanya berair. Hidungnya memerah. Audry
menangis ketakutan. Sambil mencari seseorang yang tak ditemukannya di kelas. Lalu dia berlari lagi ke
ruang olahraga dan ke lapangan. Dia menemukan seseorang yang bukan dicarinya. Tapi, cukupu untuk
membantunya.

"Oktooooooooo" teriak Audry dari selasar kelas 5-A.

Tak hanya Okto, anak murid lainnya juga terkejut dengan teriakan Audry yang begitu lantang. Oktopun
berlari menuju Audry.

"Ada apa?" Tanya Okto yang masih mengatur nafasnya.

"April....April sedang dibully di sebelah gudang sekolah"

Tanpa bertanya apa-apa lagi, Okto langsung mengeluarkan seluruh tenaga untuk berlari sekencang
mungkin, bak kilat. Maka sejak saat itulah Okto mendapat julukan baru. Sang Kilat dari Langit. Setibanya
Okto disana, yang tertinggal hanya April dan Juni. Okto mendekati mereka.

"Apa yang kak Juni lakukan kepada April?"

"Tidak sengaja aku lewat dan melihatnya sedang di kerumuni oleh anak-anak yang nakal"

"Siapa mereka, kak?" Tanya Okto.

"Siapa lagi kalau bukan teman sekelasnya, Guntur dan kawan-kawannya" jawab Juni yang beranjak
bangkit dari duduknya.

"Terima kasih kak sudah membantu"

"Tidak masalah. Tapi, yang aku permasalahkan. Apakah dia bisu?" Tanya Juni dengan lirik ditelinga Okto.

Okto menggelengkan kepalanya.

"Terus mengapa dia tidak teriak?"

"Dia dalam penyembuhan dari trauma suara kak. Makanya dia harus lebih banyak diam"

Mendengar alasan itu, April tak percaya kalau otak Okto berada di kakinya. Okto itu luarbiasa, kecepatan
berpikir mencari alasannya cukup masuk akal bagi semua orang.

Jadilah, alasan itu sumber terpecaya bahwa April tak bisa bicara karena sedang trauma dengan suaranya
sehingga dia harus lebih banyak diam.
Okto membantu April berdiri, lalu datanglah Nadia dan Audry serta Jude. Mereka langsung mengahmpiri
Okto dan April. Memeriksa keadaan April yang ternyata tidak ada luka, hanya saja baju sekolahnya
terlihat basah dan kotor.

"Aku akan melaporkan kepada Bu Alma. Kalian bertiga urus April" kata Okto kembali berlari cepat.

Nadia mencoba memberishkan rok yang dipakai April. Jude merapikan rambut April sedang kan Audry
memasangkan sepatu April. Tiba-tiba airmata April jatuh, dia menangis ingin mencoba mengeluarkan
suaranya. Namun, lehernya mengalamai sakit yang luar biasa.

Nadia, Jude dan Audry terkejut ketika April kesakitan sambil memegang lehernya. April mengerang
tanpa suara. Raut wajahnya menunjukkan kesakitan yang luar biasa. April tak tahan lagi dengan sakitnya
itu.

Nadia yang juga pelari segera memanggil kakak kelas yang sedang membersihkan halaman belakang
dekat gudang. Beberapa anak laki-laki bertubuh besar mengangkat tubuh April yang mulai melemas ke
ruang UKS. April diantara sadar dan jatuh kedalam sakit yang luar biasa.

Perawat sekolah segera menangani April. Memeriksa kondisi tubuh April, mengecek suhu tubuhnya lalu
memberikan beberapa tetes vitamin ke mulut April yang tak sadarkan diri.

"Dia tidak apa-apa. Kalian bisa panggilkan wali kelasnya. Terima kasih sudah mau membantu
membawanya ke UKS" kata perawat sekolah itu kepada Nadia, Audry dan Jude serta 3 orang anak laki-
laki bertubuh besar itu.

Audry dan Jude segera menemui Bu Alma yang juga sedang menuju UKS. Dipertengahan jalan mereka
saling bertemu. Audry segera memberitanu Bu Alma keadaan April sekarang.

"Ibu sudah menghukum Guntur dan kawan-kawannya"kata Bu Alma kesal, karena Guntur dan kawan-
kawannya selalu membuat resah siswa lain.

April yang masih tertidur pulas sedang berada diantara dunia yang tidak diketahuinya. Bayangan Ibu
dengan baju penuh api dan Ayah yang hendak tenggelam sudah berubah menjadi ladanga bungan
matahari. Disana dia melihat Nay dan Dino. Lalu ada Nadia, Audry dan Jude. Serta Okto dan June yang
sedang berlarian. Nenek juga ada disana sedang memetik bungan matahari. Kakek tak terlihat.
Semuanya sedang bergembira, hanya April yang sendiri tanpa suara. Walaupun ribut dia tidak merasa
sedang dalam keramaian. April masih merasa sepi.

"April....April...." Panggil Bu Alam pelan.

April melihat Bu Alma sedang melambaikan tangannya ke arahnya. Segera April menuju ke arah Bu
Alma. Rambut depannya tidak berantakan lagi. Lalu April memeluk Bu Alma.

"April...April..."

Lalu terbukalah mata April yang membengkak karena tangis menahan sakit.

"Syukurlah" bu Alma memeluk April dengan penuh kasih sayang.


- Sebuah Pengakuan -

Setelah kejadian kemarin Guntur dan kawan-kawannya mendapatkan hukuman yang harus mereka
terima setiap harinya. Membersihkan pekarangan depan sekolah. Lalu menyiram bunga di pekarangan
samping setelah itu meminta maaf kepada April di depan khalayak umum.

Tangan Guntur yang berbadan gempal itu gemetaran. Microphone ditangannya hampir saja jatuh dari
gengamannya. Seluruh mata memandangnya.

"April...aku minta maaf. Aku tidak akan melakukan hal itu lagi di sekolah" kata Guntur.

Lalu, anak-anak murid yang melihat itu bertepuk dan bersorak gembira. Aprilpun menjawab dengan
anggukan pelan.

Selepas pengakuan kesalahan itu, seluruh murid-murid kembali ke kelas masing-masing. Wajah tak
senang jelas terlihat dari wajah Agro, sang pemimpin Mafia Guntur cs. Dia merasa dipermalukan, lelaki
kurus ceking itu merasa tidak senang dengan jatuhnya harga dirinya sebagai ketua Mafia sekolah.
Diapun mulai mengatur strategi yang tak terhendus oleh hidung setajam milik Bu Alma sekalipun.

April dan kawan-kawannya kembali ke kelas. Merekapun menanti guru yang akan masuk ke kelas.
Sembari menunggu Audry dan Jude menghampiri bangku April dan Nadia. Mereka bercerita tentang
liburan kepantai. Jude dan Audry merasa cemburu karena tidak diajak.

"Lain kali, aku akan meminta Kak Nana mengajak kalian berdua", tulis April di buku catatan kecil itu.

"Benar ya. Aku juga ingin bermain ke pantai" kata Jude

"Iya, mencari kerang. Aku suka mencari kerang" kata Audry.

Obrolan singkat itu terhentikan ketika Bu Alma masuk ke dalam kelas.

Kelaspun mulai tertib dan sepi. Diam-diam April menyerahkan buku rahasia kepada Nadia. Melihat buku
itu, Nadia merasa senang dan ingin segera membukanya. Tapi, perjanjian tetaplah perjanjian. Buku itu
hanya dibuka ketika sudah sampai di rumah.

Bu Alma sedang menjelaskan mengenai jenis-jenis hewan berdasarkan makanannya.

"Ada 3 jenis hewan berdasarkan makanannya. Yang pertama hewan herbivora, hewan ini pemakan
tumbuhan. Yang kedua hewan karnivora, hewan ini pemakan daging. Dan yang terakhir hewan omnivora
adalah hewan pemakan tumbuhan dan daging. Coba siapa yang bisa berikan contoh hewan herbivora?"

"Kelinci bu" jawab Anggun, anak perempuan berkacamat duduk paling depan.

"Benar sekali. Beri tepuk tangan untuk Anggun. Nah, siapa yang bisa berikan contoh untuk hewan
karnivora?"

"Harimau bu" jawab Bram, anak laki-laki yang mirip dengan Anggun. Mereka memang raja dan ratu
kelas dengan kecepatan daya tangkap otak yang sangat super cepat.
"Nah, yang terakhir nih. Siapa yang bisa memberikan contoh untuk hewan omnivora?"

"Saya buk" teriak Agro dari bangku paling belakang.

"Sialakan , Agro"

"Guntur bu. Dia hewan pemakan tumbuhan dan daging"

"Hahahahahaha" semua teman sekelasnya tertawa. April juga ingin ikut tertawa, tapi dia tak ingin
menertawakan hal yang sebenarnya bisa melukai hati Guntur. Walaupun itu hanya sebuah candaan.

Cukuplah tadi pagi hukuman buat Guntur dan kawan-kawan untuk kapok tidak mengulanginya kembali.

"Sudah...sudah cukup. Jangan biasakan untuk menertawakan orang lain. Itu sama halnya dengan
mengejek orang lain. Jika orang tersebut tersinggung dan bisa sakit hati. Ok, anak-anak, sudah cukup
tertawanya" kata Bu Alma yang mulai meninggi. Sehingga murid-muridpun satu persatu menutup
mulutnya.

"Ingat pembullyan atau perisakan itu dilarang oleh siapapun. Jangan sekali lagi ibu mendapatkan kabar
tentang perisakan atau pembullyan ya"

"Iya bu" jawab mereka serentak.

- Kronologis Traumatis -
Waktu begitu cepat berlalu, April sekarang sudah naik ke kelas 4-B, masih bersama teman-teman yang
lama. Hanya saja Agro dan Guntur tidak lagi bersama mereka saat ini.

Kejadian yang amat fatal dilakukan Agro dan Guntur adalah ketika mereka membalas jatuhnya harga diri
mereka setelah pulang sekolah. April dibekap oleh Guntur yang berbadan besar, lalu Agro mengikat
tangan April disebuah tiang besi dekat gudang sekolah. Karena yakin April tak mampu berteriak, maka
mereka membiarkan April sendiri karena sekolah sudah sepi.

Adegan singkat, dan tidak ada yang menyangka sudah diatur rapi oleh anak kelas 3 SD.

Awalnya, mereka hanya meminta bantuan Caca. Kakak kelas yang memiliki tujuan yang sama. Membuat
April merasa jera karnea telah mempermalukam mafia kriminal kecil disekolah. Caca setuju untuk
memerankan seorang kakak kelas yang butuh bantuan.

Saat itu April baru saja keluar dari perpustakaan sekolah dengan membawa beberapa buku untuk dibaca
di rumah nanti. Tak sengaja yang disengajakan, Caca menabrak April hingga kertas-kertas yang dibawa
Caca bertaburan. Caca tidak marah.

"Maaf ya , aku buru-buru"

April menjawab dengan gelengan kepalanya.

"Apakah kamu sibuk?"

April menjawab dengan gelengan kepala sekali lagi.

"Baguslah, aku ingin membuang sampah-sampah ini. Tapi, aku harus buru-buru karena ada latihan di
kelas seni. Apakah kamu bisa membantuku membuang sampah-sampah ini"

Caca memohon dengan wajah memelas.

April menjawab dengan anggukan. Wajah Caca berubah menjadi senyum bahagia yang terlihat licil
disana. Caca berhasil membawa April masuk ke perangkap Agro dan Guntur.

Tidak pernah ada dibenak April, bahwa hari itu merupaka sebuah kronologis cerita yang menjadi
kesakitan kedua baginya.

Hari semakin sore, tak seorangpun yang mencarinya. Hingga malam tiba, ketika nenek merasa bahwa
April belum pulang juga ke rumah. Nenek dan Kakek mulai panik. Setiap rumah tetangga didatanginya.
Menanyakan ke setiap rumah.

"Apakah ada yang melihat April?" Nenek bertanya dengan wajah cemas dan ketakutan.

Kakek berinisiatif untuk ke sekolah, dan meminta tukang kebun memeriksa kembali seluruh kamar
mandi, ruangan kelas bahkan setiap ruangan yang didatangi oleh April. Hasilnya nihil. April tak
ditemukan. Kakek dan Nenek khawatir telah terjadi sesuatu pada April hari ini. Maka merekapun
melaporkan kepada polisi.

"Nek, kami akan memproses kehilangan ini setelah 24 jam. Jika besok pagi April belum pulang juga.
Maka kami akan segera mencarinya" kata seorang polisi dengan membaca prosedur orang hilang.
"Apakah Pak Polisi pernah kehilangan anak? Mungkin Pak Polisi tidak pernah merasakan kekhawatiran
sedalam ini. Kami kesini meminta pertolongan karena pak polisi memiliki kewenangan untuk hal ini.
Kami berharap dengan kami ke kantor ini, kami segera menemukan cucu kami. Bukan harus menunggu
24 jam. Bahkan sedetik kami rasakan itu sudah 24 jam, Pak Polisi" tangis nenek pecah. Ruangan piket
kantor polisi malam itupun mejadi riuh. Beberapa warga membantu pencarian April.

Tepat jam 12 malam, seorang warga yang ikut serta mencari di kawasan sekolah berteriak.

"Aku menemukan April"

Segera polisi yang bekerja menjemput nenek dan kakek ke rumah dan mempertemukan April yang
sudah tak sadarkan diri.

Nenek dan Kakek menangis sekencang-kencang.

"April, cucuku" nenek memeluk erat tubuh April yang mendingin karena udara malam yang memang
sangat dingin.

Sejak itulah, Agro dan Guntur dikeluarkan dari sekolah karena sudah bertindak kriminal. Agro dan
Guntur tidak boleh bersekolah selama 1 tahun. Taka ada satupun sekolah dikecamatan ataupun
dikabupaten yang menerima kehadiran Agro dan Guntur. Mereka pelaku bullying yang sangat kejam.
Bagaimana dengan Caca, dia juga dikeluarkan dari sekolah karenasudah dengan sengaja membantu Agro
dan Guntur melancarkan perbuatan mereka.

Suasana berubah ketika akhirnya April mampu melewati kenangan yang begitu amat menjadi trauma
bagi dirinya. Kini April sudah pulih untuk melanjutkan di kelas barunya bersama teman-teman
sekelasnya yang menyenangkan.

- Ayah membawa hadiah Istimewa -

Terakhir ayahnya menjenguk. April menitipkan surat kepada Ayahnya untuk diberikan kepada Teman-
temannya yang berada di sekolah terdahulunya. April berpesan kepada Ayahnya agar surat itu segera
diberikan jika Ayahnya sudah tiba di kota nanti.

Janji Ayah sudah ditetapi. Nay dan Dino serta teman sekelas lainnya sedang mendengarkan Bu Hartini
membacakan surat dari April.

"Selamat Pagi teman-teman. Bagaimana kabar kalian?


Jika kalian bertanya kabarku, maka aku jawab kabarku sungguh bahagia. Aku pikir, aku tidak akan
mempunyai teman seperti kalian disini. Ternyata aku salah. Teman-teman di desa juga sama seperti
kalian. Mereka baik sekali denganku. Walaupun begitu, entah mengapa aku sangat merindukan kalian
semua.

Kalian dapat salam dari Nadia, Audry dan Jude serta Okto. Mereka teman baruku disini. Aku berharap
kita bisa bertemu lagi dengan kalian semua. Salam rindu dari, April" setelah membaca surat dari April,
Bu Hartini menyuruh murid-murid untuk membalas surat itu dan akan diberikan langsung kepada Ayah
April jika Ayahnya menjenguk dilain waktu nanti.

Pemandangan di desa itu memang masih sangat Asri sekali. Decak kagum dua pasang mata itu tak
mampu berkedip. Sesekali sepasang mata itu melihat hingga harus berdiri diatas bangku kereta. Lalu
sepasang mata lagi juga tak ingin kalah. Kereta semakin menanjak jauh ke dalam perbukitan. Lalu turun
kelembah yanh disambut dangan kilauan laut lepas berwarna biru. Dua pasang bola mata itu sangat
menikmati pemandangan di luar. Keretapun berhenti di stasiun terakhir ini. Semua penumpang turun
membawa barang bawaan masing-masing. Kedua anak itu sedang mengikuti langkah kaki yang ada
didepan mereka.

Setibanya di depan pintu keluar stasiun. Seorang anak perempuan yang sedang membaca buku sangat
terkejut dengan apa yang dilihatnya. Lehernya tercekik, hendak berteriak.

"April" teriak Nay yang langsung memeluk April yang menyembunyikan rasa sakit dilehernya.

"April" sapa Dino yang keluar dari balik tubuh Ayah April.

Senyuman April mengembang ketika melihat kedua sahabatnya ikut pergi bersama ayahnya ke desa
untuk menjenguknya.

"Sebentar" kata April dalam hati dengan gerakan, menahan mereka berdua.

"Aku senang kalian disini" tulis April di buku catatan kecilnya.

Nay dan Dino saling berpandangan karena heran.

"Apakah April benar-benar kehilangan suaranya?" Tanya Nay.

"Tidak. Aku hanya sedang masa penyembuhan" tulis April.

"Gak...April....kamu ga boleh kehilangan suara bagusmu. Itu asetmu dimasa depan. Aku tak percaya ini"
kata Dino.

"Tenang saja. Aku pasti sembuh" tulis April.

"Kamu memang harus sembuh. Kamu berjanji kita akan melalukan pertunjukan yang istimewa di masa
depan" kata Nay yang menahan airmatanya.

"Iya, aku tahu" tulis April.

Nenek dan Kakek kembali dari toko makanan yang ada diseberang jalan stasiun kereta api.

"Nenek membeli roti keju, kata April kalian bertiga menyukai roti keju"
"Terima kasih nek" jawab Nay dan Dino serempak.

Merekapun menuju rumah nenek. Tak banyak cerita disepanjang jalan. Yang ada dipikiran Nay adalah
Dia masih belum menerima keadaan April yang saat ini. Betapa kuatnya April harus menerima
keadaannya yang sekarang. Tangan Nay menggenggam erat tangan April. Tangan yang penuh rindu dan
kecewa.

Setibanya di rumah nenek, Nay dan Dino langsung disuguhi makan siang yang luar biasa banyak. Ada
gulai ikan asap, sambal terasi serta rebusan sayur hasil panen kebun kemarin.

"Ayo makan dulu. Setelah itu baru mengobrol ya"

"Iya nek" jawab Nay yang masih menggandeng tangan April.

Mereka duduk berdekatan, begitulah rindu. Rasanya ingin dekat terus.

Selepas makan, Nay dan Dino langsung mengeluarkan isi tas mereka yang penuh dengan surat dari
teman-teman sekolah April dulu. Merekapun mulai membaca satu persatu tulisan surat itu. Sambil
terkadang suara tawa Nay dan Dino terdengar sangat renyah sekali. Lalu tiba-tiba saja menangis karena
mengingat masa lalu bersama April.

"Besok kita akan ke pantai. Aku akan mengajak teman-temanku" tulis April.

"Benarkah?, aku sudah lama sekali tidak ke pantai" kata Dino senang.

Kado istimewa itu bukanlah barang berharga mahal. Dengan melepas rindu saja sudah cukup bagi
mereka yang sedang dilanda kerinduan yang terdalam.

- Semesta Rindu -

Seperti janji April kemarin, Dia akan membawa Dino dan Nay untuk pergi ke pantai. Kali ini Nana
sukarela untuk membantu mereka tanpa harus ada ambisi mendekati Pak Guru Bian.

April juga memberitahukan Nadia, Jude, Audry dan Okto untuk ikut serta dalam perjalanan pergi ke
pantai.

Mobil pengangkut sayur yang dipinjam dari pemilik kebun sebelah rumah Nana membawa mereka
berkelana menyusuri tempat baru.

"Ini pantainya lebih indah dari yang kemarin" seru Okto.


"Apa nama pantainya?" Tanya Audry

"Pantai Semesta Rindu" jawab Okto

Dan semua tertawa setelah mendengar nama pantai seaneh yang Okto ciptakan.

Begitulah anak-anak ketika sudah ketemu hal yang menyenangkan tidak perlu lagi berkenalan secara
formal dengan menyebut nama dan mengatakan senang berkenalan denganmu. Mereka akan
mengobrol dengan terbawa suasana yang mengalir begitu saja.

"Apakah disana ada kerang?" Tanya Nay

"Tentu saja, bukan hanya kerang. Kamu beruntung bisa lihat lumba-lumba menari ditengah lautan"
jawab Okto bersemangat.

"Bagaimana cara melihat lumba-lumba?" Tanya Nadia

"Aku sudah membawa alatnya, teropong Lumba"

Kembali lagi mereka tertawa mendengar nama aneh yang Okto ciptakan itu.

April hanya bisa membuka mulutnya tanpa harus bersuara. Walaupun sedikit sedih April tak bisa ikut
mengobrol asik dengan teman-temannya.

Nana menghentikan mobilnya dipinggir jalan. Lalu memberitahukan mereka untuk segera turun juga.

"Sudah sampai. Tapi, kita harus berjalan 500 meter masuk ke dalam hutan" kata Nana yang sedang
mengangkat peralatan untuk memasak disana nanti.

"Apakah ada harimau di dalam hutan?" Tanya Nay yang sedikit ragu dan takut.

"Tidak, tenang saja. Tapi kalian harus memakai ini" Nana mengeluarkan lotion anti nyamuk untuk
dioleskan ke seluruh kulit badan.

Mereka pun mulai memakai lotion anti nyamuk itu bersama-sama. Membawa tas perbekalan masing-
masing, piknik kali ini akan lebih menyenangkan.

Menyusuri jalan setapak yang seprtinya jarang di lalui oleh manusia, membuat suasana semakin menarik
untuk dijelajahi. Suara burung-burung hutan menyambut kedatangan mereka. Beberapa serangga
pohon terlihat sedang asik bercengkrama yang mendengungkan seperti suara terompet. Nyamuk-
nyamuk berukuran besar, juga sedang mencari kulit mana yang akan dihinggapinya. Kupu warna-warni
yang sedang menari diatas kelopak bunga ungu itu menarik perhatian mereka.

"Bunganya jangan disentuh. Nanti bisa jadi gatal-gatal di kulit tangan" kata Nana mencoba
menghentikan Audry yang penasaran dengan bunga berwarna ungu itu.

"Itu bunga apa?" Tanya Audry.

"Aku tidak tahu nama ilmiahnya, tapi mereka menyebutnya bunga serbuk gatal" jawab Nana.

"Nama yang aneh" gerutu Dino.


Tiba-tiba Okto berteriak "pantainya sudah kelihatan" sambil menunjuk ke arah jernihnya air laut dengan
hamparan pasir berwarna putih yang berkilau.

Merekapun tak sabar segera berlari menuju pantai, dan meninggalkan Nana yang sedang tergopoh-
gopoh membawa peralatan masak yang begitu banyak.

"Hei, kalian semua tunggu aku" kata Nana sambil berteriak kesal karena ditinggalkan begitu saja.

Mereka tidak perduli, mereka langsung menyeburkan diri ke dalam air yang dingin itu.

"Ayo sini sini semua, ada cumi-cumi sedang berenang" kata Audry

"Eh, disini ada ikan"

Semua bergembira, pantai semesta rindu menjadi saksi bahwa kebahagian terbaik adalah bisa
berkumpul dengan orang-orang yang saling menyayangi. Liburan akhir pekan yang menyenangkan.
Aprilpun menulis kenangan indah ini dibuku hariannya.

Setelah seharian bermain dipantai, merekapun kelelahan. Sepanjang perjalanan mereka berbaring
sambil memejamkan mata menikmati angin sore yang mulai sejuk.

"Kapan kita bisa berkumpul lagi seperti ini?" Tanya Audry menatap langit sore.

"Apakah setelah dewasa kita bisa seperti ini lagi?" Tanya Jude sambil merentangkan tangannya
menghadap langit.

Semuapun terlelap karena tubuh yang terlalu lelah.

Keesokan harinya, Nay dan Dino harus pamit. Sebelum pulang Ayah memberikan sebuah kado kepada
April.

"Semoga April senang dengan kado ini" kata Ayah sambil mengelus-elus kepala April dengan lembut.

April mengangguk.

Lambaian tangan Ayah, Nay dan Dino menjadi salam perpisahan yang April tidak tahu kapan mereka
akan bertemu lagi.
- Sebuah Biola -

Semenjak kado yang diberikan ayah April kemarin lalu sudah dibuka. April masih terus memandangi
biola tersebut. April masih bingung cara menggunakannya. Bahkan alat musik biola ini untuk pertama
kalinya dia melihatnya secara langsung. Setiap pagi, April membersihkan biola yang belum pernah
dipergunakannya itu. Beberapa saran dari teman-teman sekelasnya agar April masuk klub seni musik
intrumental. Akan tetapi, April masih merasa belum pantas untuk bergabung dengan group musik yang
luar biasa itu.

"Jangan dibersihkan terus. Kapan nenek bisa mendengarkan suara biola itu berbunyi?" Kata nenek yang
tiba-tiba membuyarkan lamunan April. Yang hanya membalas dengan senyuman ringan.

"Nenek berharap April bisa seperti yang dulu lagi. Walaupun nenek sekarang melihat April sudah bisa
tersenyum dan berwajah ceria. Tapi nenek merindukan suara April" Nenek menangis seketika. Lalu April
memeluk hangat neneknya sambil mengelus-elus punggung rapuh sang nenek.

Sebuah selebaran dipapan pengumaman tertempel rapi penuh dengan seni. Warna warni tulisan sangat
mencolok dan ingin sekali dibaca. Sebuah pengumaman yang membuat Okto kembali berlari kencang
yang nyaris menabrak dinding pembatas ruang kelas. Napasnya sudah bisa dikontrolnya, tidak lagi
terengah-engah.

"Perlu kamu tahu, April" kata Okto sambil menunjukkan selembaran pengumuman yang Okto copot dari
papan majalah dinding sekolah.

Mata April dan Nadia saling pandang, Audry dan Jude juga sibuk mendekati meja April.

"Ada apa?" Tanya Jude ingin tahu

"Ya, ampun. Benarkan. Mereka butuh seorang pemain biola" kata Audry yang sudah bebetpaa kali
menyarankan kepada April untuk mendaftar menjadi anggota klub seni musik instrumental.

"Bagaimana?" Tanya Okto sambil mengacak pinggang "kami berharap kamu mau mendaftar".

Sekali lagi mata Nadia dan April berpandangan. April berharap Nadia memberi saran juga.

"Lakukanlah" kata Nadia sambil tersenyum.

Maka siang itu, setelah kelas telah usai. April ditemani Nadia datang ke ruang klub musik untuk
mendaftarkan April menjadi anggota baru di klub musik intrumental.
Juni, sebagai ketua klub menyambut senang keikutsertaan April dalam klub musik. Juni
memperkenalkan April kepada seluruh anggota, dan menjelaskan beberapa peraturan klub yang harus
dipatuhi oleh setiap anggota.

Dan hari itu juga, April belajar bermain biola bersama teman-teman barunya.

"Apakah kamu memang benar-benar tidak bisa bicara?" Tanya Juni seusai latihan mandiri.

"Dulu aku bisa bicara" tulis April di buku catatannya.

"Terus kenapa sekarang tidak bisa?"

"Aku sedang menerima hukuman. Hehehehe"

"Hukuman apa?"

"Karena aku terlalu berisik" tulis April sambil tersenyum.

"Ayo pulang bersamaku, rumah kita searah. Aku naik sepeda"

"Aku harus menunggu nenekku menjemput"

"Oh, baiklah. Jangan lupa terus belajar menggunakan biola yang baik dirumah. Ingat target kita tahun ini
harus mendapatkan piala. Tahun terakhit bagiku dan beberapa teman yang lain. Semangat"

April mengangguk sambil tersenyum senang.

Sebuah biola pemberian Ayah menjadi pembuka jalan untuk April lebih produktif selama di desa.

Hari sudah terlalu sore, dan April juga sudah terlalu lama menunggu di sekolah. Walaupun masih ada
anak-anak klub atlit sedang berlatih. Nenek juga tidak kunjung menjemput. Ini sudah lewat waktu. April
merasa gelisah, bertanya-tanya kemana neneknya yang belum juga menjemput.

"April" panggil Okto dengan membawa sepeda yang baru saja selesai latihan. Dan Nadia berada
disamping Okto. April melambaikan tangannya ke arah mereka.

"Kamu pulang sama siapa?" Tanya Okto

April mengangkat bahunya.

"Nenek belum menjemput?" Tanya Okto lagi.

April menggelengkan kepalanya.

"Astaga, mungkin hari ini mereka sedang panen tomat. Baiklah kalau begitu, kita pulang bersama.
Bagaimana Nadia?" Tanya Okto yang membuat Nadia salah tingkah dan kebingungan harus
menjawabnya.

"Iya, tidak apa-apa" jawab Nadia singkat.

"Ok mari kita pulang"

Mereka bertiga berjalan, menyusuri tanah yang menurun. Okto yang juga membawa sepeda punya akal
yang brilian.
"Hm...aku ada ide. Bagaimana siapa yang menang aku bonceng mulai turunan pertama. Lalu yang kalah
berjalan"

April mengangguk seru, Nadia juga begitu. Lalu merekapun berhompimpa untuk menentukan siapa yang
menjadi pemenang dan mendapatka boncengan bersama Okto. Setelah 3 kali berhompimpa, maka
untuk yang pertama di bonceng Okto adalah Nadia. Turunan pertama, tidak terlalu curam. Jadi, Okto tak
perlu mengkhawatirkannya. Nadia yang ketakutan memegang erat besi tempat duduk boncengan.
Setelah sampai, mereka menunggu April yang masih berjalan.

"Ayo lagi" teriak Okto.

Akhitnya mereka bersenang-senang bersama, hingga diturunan terkakhir. Kini giliran siapa yang akan
menjadi pemenang terakhir. Nadia atau April?

Beberapa kali hompimpa akhirnya, April pemenang yang akan digonceng setelah 3 kali menjadi
pemenang. Nadia, agak kesal. Tapi, dia tetap tersenyum dan bergembira.

"Biar lebih keren, bagaimana kalau aku bantu mendorong kalian?" Usul Nadia

"Setuju!!!" Jawab Okto kegirangan.

"Ok....1.....2....ti......ga" maka terdoronglah Okto dan April meluncur ke bawah. Karena turunan yang
terakhir ini begitu curam. Lalu, akibat dorongan dari Nadia yang begitu bersemangat. Okto mulai lepas
kendali. Ban sepeda mulai oleng kanan dan kiri. Tubuh Okto tak sanggup menahan terpaan angin dari
samping dan akhirnya mereka berdua jatuh terjerembab ke dalam parit kecil yang berada disepanjang
jalan.

"Kamu tidak apa-apa?" Okto memeriksa keadaan April yang tergeletak dan tak bisa bangkit sendiri.
Tubuh April menimpai kotak penyimpanan biola. Dengan sigap April meraih kotak hitam itu, dan
membukanya lalu memeriksa isinya.

Airmata April menetes. Biolanya rusak. Okto melihat itu merasa bersalah.

"Maafkan aku, April. Maafkan aku" kata Okto yang mencoba membenarkan posisi batang biola yang
retak itu.

April menggeleng-gelengkan kepalanya.

Nadia langsung mendekati April dan Okto yang sudah terduduk ditanah, dan melihat airmata April
menetes.

"Ada apa?" Tanya Nadia terkejut.

"Aku yang salah, maafkan aku April" Okto masih merasa bersalah karena kurang hati-hati.

"Ada apa sih?" Tanya Nadia sekali lagi.

"Ini" kata Okto sambil memperlihatkan biola April yang rusak.

"Ya Ampun, seharusnya kamu lebih berhati-hati Okto. Kamu tau itu benda kesayangan April saat ini"
Nadia marah, lalu mengajak Aprul untuk bangkit dan meninggalkan Okto dengan rasa bersalahnya.
"Ayo kita pulang saja, biarkan Okto sendirian disitu" Ajak Nadia.

Sebenarnya April tidak mau meninggalkan Okto sendirian dengan rasa bersalahnya. Karena baginya itu
bukan kesalahan Okto sendiri. Ada April yang suka rela untuk dibonceng, seharusnya Okto juga
menyalahkan April. Mengapa dia mau saja mengikuti permainan berbahaya ini. Tapi Okto tak
mengatakan itu, yang dilakukannya hanya menyalahkan dirinya. April dan Nadiapun semakin jauh
berjalan menuruni jalanan itu.

"Untuk besok dan seterusnya, kamu tidak perlu berteman dengan Okto lagi. Dia tak pantas untuk
dijadikan teman. Bagaimana seorang teman tega melukai perasaan temannya" papar Nadia.

April tahu betul itu bukan kesengajaan. Tapi, entah mengapa yang dikatakan Nadia itu ada benarnya.
Seharusnya Okto tidak mengajaknya untuk berboncengan. Perkataan Nadia berhasil membuat April dan
Okto menjauh hanya gara-gara biola April rusak akibat kecerobohan Okto.

- Sang Malaikat -

Sudah beberapa hari April latihan menggunakan biola kakak kelasnya. Karena perlombaan festival seni
musik instrumental sebentar lagi. Maka April harus sering latihan dan rutinitas baru itu membuat April
semakin jauh dengan Nadia, Jude, Audry dan Okto. Mereka tak ada waktu lagi untuk bermain. Begitu
juga Nadia dan Okto, mereka sibuk latihan olah fisik untuk perlombaan pekan olah raga yang akan
dilakukan 2 minggu lagi.

"Kenapa kecepatan lari berkurang, Okto!" Teriak pelatih lari yang juga guru olah raga mereka, Pak Guru
Bian.

"Maaf Pak. Aku terlalu lelah"

"Musim panen belum dimulai Okto. Kamu lelah kenapa?"

"Aku harus mencari uang pak"

"Kamu masih kelas 4 SD, belum waktunya mencari uang. Harusnya kamu lebih melatih fisikmu untuk
lebih kuat lagi. Pekan olah raga 2 minggu lagi" kata Pak Guru Bian.

"Iya Pak"

" Ayo lanjutkan lagi latihanmu. Nadia, bantu bapak menghitung waktu rekor untuk Okto"

"Iya Pak!" Jawab Nadia berlari mendekati garis start.


Didalam ruang musik intrumen, Juni masih memberi motivasi untuk agar anggota club musik
instrumental lebih giat untuk berlatih. Anggota Club paham maksud Juni, karena tahun ini adalah tahun
terakhir bagi Juni untuk mengikuti lomba.

"Aku ingin ada ubahan sedikit dibagian akhir" kata Juni yang sedang berdiri didepan.

"Iya aku juga sudah memikirkannya" sambung Lessi, kakak kelas yang sangat dekat dengan Juni.

"Iya, Aku ingin dibagian akhir. Ada permainan tunggal piano dan biola. Aku sudah menemukan lagu yang
cocok" kata Juni yang membuat kaget Lessi.

"Tapi...." kata Lessi ingin menyangkal dengan wajah kesal. Tidak sesuai harapannya.

"Bagaimana April, apa kamu setuju?" Tanya Juni sambil memasang senyum.

April merasa ragu-ragu. Karena dia tidak menyangka bahwa Juni akan mengajaknya berkolaborasi di
bagian akhir lagu. Tapi, itu juga tantangan yang seru untuk dirinya. Hanya saja April belum merasa
percaya diri untuk tampil hanya berdua dengan Juni yang sudah mahir dalam memainkan piano.

Setelah perubahan dibagian akhir itu, rutinitas Juni dan April semakin sering.

"Setiap jum'at, sabtu dan minggu datanglah ke studioku. Kita akan latihan disana. Bisakan?" Tanya Juni

April mengangguk pelan dan tersipu malu.

Sepulang sekolah April menunggu kakeknya menjemput. Dibalik pohon besar sang malaikat sedang
menunggu waktu yang tepat. Namun, waktunya belum saja tepat untuk memberitahukan apa yang
disebut kejutan.

Mobil kakek sudah kelihatan, Aprilpun pulang bersama kakek diikuti sang malaikat yang sedang
mengayuh sepeda yang mempunyai ban tidak stabil untuk melaju didataran menurun.

Sesampai di rumah, April bercerita mengenai latihan di studio milik Juni.

"Nenek tidak masalah April mau latihan bermusik. Tapi, jangan lupa untuk belajar juga. Karena waktu
ujian akan segera tiba"

April mengangguk dan tersenyum. Aprilpun kembali kekamarnya dan selalu memeriksa biolanya yang
rusak setiap hari. Tapi, kali ini biolanya tak kelihatan. April kebingungan dimana terkahir kalinya dia
meletakkan biola kesayangannya itu. Aprilpun kembali ke dapur menemui nenek yang sedang menyuci
beras.

Sambil menguit-nguit pundak nenek, April menyerahkan catatannya.

"Nenek melihat biolaku?" Tulis April

"Eh...." nenek tampak terkejut. Tapi, tak menjawab pertanyaan April.

"Nek, biolaku dimana?" Tulis April cepat dengan rasa ingin menangis.

"Hm...." nenek memasang wajah sedih. Tapi, nenek tak mau menjawab. Ada rahasia yang nenek harus
simpan karena sudah berjanji untuk tidak memberitahu April.
April menangis sambil berjalan ke kamarnya.

"Jangan menangis" kata Kakek tiba-tiba masuk kamar. "Besok kita cari lagi ya, setelah kamu pulang
latihan dari studio Kak Juni"

April mengangguk sambil mengusap airmatanya.

Juni sudah merapikan studio yang setiap harinya betantakan. Akan ada tamu spesial yang mengisi ruang
studio itu hari ini. Rasa tak sabar membuat jantung Juni berdegup lebih kencang dari biasanya.
Sepertinya Juni sedang terlena dengan perasaan yang dibuat-buatnya sendiri alias halusinasi. Sebuah tas
hitam yang akan menjadi awal terbukanya jalan untuk menjadi lebih dekat berulang kali Juni bersihkan.
Sambil tersenyum-senyum sendiri.

"Juni, tamumu sudah datang" teriak Ibunya dari lantai bawah. Tanpa perlu aba-aba lagi Juni langsung
turun dan melihat April dengan stelan baju one piece berwarna krim membuat hati Juni semakin
berdebar.

"Ayo naik keatas" ajak Juni. April mengikut saja dan sesekali matanya terhenti pada dinding yang
dipenuhi beberapa foto Juni sejak kecil dengan piano dan beberapa settifikat juara untuk tingkat
kabupaten.

"Ini studio miniku, ayahku yang membuatnya sebelum meninggal" kata Juni sambil menunjukkan
ruangan 3 x 5 itu dengan sebuah piano berwarna hitam yang berada ditengah ruangan. Lalu merekapun
berlatih bersama, tidak membutuhkan waktu lama. April langsung menyukai lagu yang diberikan Juni.

"Aku suka lagunya" tulis April diselembar kertas putih dan memberikannya pada Juni.

"Lagunya memang bagus. Ayahku suka sekali memainkannya ketika aku masih kecil. Jadi setiap nadanya
aku hapal semua"

"Wah kak Juni hebat" puji April.

"Hm...ada kejutan buat kamu, April" kata Juni sambil melirik tas berwarna hitam itu.

April mengernyitkan dahinya, tanda tanya. Kejutan apa itu?

"Ini adalah biola Mamaku. Kamu boleh membawanya pulang" kata Juni menyerahkan tas hitam itu. April
sangat terkejut dengan kejutan yang diberikan Juni. Sebuah biola milik Mamanya diperbolehkan untuk
dibawa pulang.

"Kamu juga bisa memilikinya, Mama sangat senang ada seorang anak yang bisa meneruskan bakatnya
itu" Ujar Juni.

Ini benar-benar membuat April yang tidak dapat bicara ingin berteriak dan mengucapkan terima kasih.
Begitu selesai latihan, mereka turun ke lantai satu. April pamit kepada Mamanya Juni sambil memeluk
dan mencium pipi Mamanya.

"April mau mengucapkan terima kasih kepada Mama" kata Juni tersenyum.

"Tante senang biola itu bisa dipakai lagi" kata Mamanya Juni "semoga kamu senang ya"

April mengangguk pelan dengan mata berkaca-kaca karena terharu.


Dalam perjalanan pulang, April berjalan sendiri dengan hati yang senang. Karena jarak rumah Juni dan
rumah Nenek tidak terlalu jauh maka nenek mengizinkan April untuk pergi sendirian. Sesampainya di
rumah dengan hati yang senang, April berlari menuju ruang makan. April ingin membagi kebahagiannya
hari ini. Begitu sampai pintu ruang makan, langkah April terhenti. Melihat nenek sedang membawa
biolanya yang rusak, tapi sekarang biola itu telah kembali seperti semula.

Nenek tersenyum kepada April.

"Ada malaikat baik yang sudah memperbaiki biolanya" kata nenek dengan mengembangkan senyuman
dipipinya yang keriput itu. Langkah April pelan menuju nenek, April masih tak percaya bahwa biolanya
sudah diperbaiki. Dia mengelus-elus badan biolanya. Tak melihat retak dibatang senar biolanya. Lalu
April langsung memeluk biolanya dengan terharu.

"Apa yang kamu bawa itu, April? Tanya nenek melihat tas berwarna hitam dipunggung April.

Dengan cepat April membuka isi tasnya dan menunjukkan kepada Nenek.

"Ya ampun, ini biola miliknya Salsa Mamanya Junu?"

April mengangguk, lalu nenek tersenyum.

"Ternyata banyak yang menyayangi cucu nenek, malaikat kebaikan selalu bersamamu, April" ucap nenek
sambil mencium dahi April.

Nenek membawa April ke kamar dan menunjukkan secarik kertas dari sang malaikat. Aprilpun membaca
isi kertasnya.

"Maafkan aku!"

April langsung tahu tulisan jelek itu milik siapa. Orang yang paling merasa bersalah, Okto. April melihat
wajah nenek.

"Anak laki-laki aneh itu selalu menjadi malaikat untuk April. Dia akan selalu begitu. Nenek berharap
kalian selalu bisa akur"

- Ucapan yang Terlambat -

Karena kesibukan masing-masing demi mengembangkan bakat sejak dini. April belum menemukan Okto
beberapa hari ini di sekolah. Begitu juga dengan Nadia. Dikelas yang mulai ramai dipenuhi murid-murid
yang sibuk membersihkan kelas April mencari sosok Jude dan Audry. Kedua orang inilah yang akan
membantu April mencari keberadaan Okto dan Nadia. Ketika April melihat Audry masuk kelas, segera
April mendekat ke meja Audry.

"April, bukannya kamu sedang sibuk latihan?" Tanya Audry terkejut.


April menggelengkan kepalanya.

"Dimana Nadia dan Okto?" Tanya April dalam tulisannya.

"Mereka sedang dikarantina untuk seleksi juara tingkat kecamatan selama seminggu di wisma olah raga"
jawab Audry membenarkan tali dasinya yang melilit dikerah bajunya.

Mendengarkan jawaban Audry itu membuat April merasa bersedih. Karena belum sempat mengucapkan
terima kasih kepada Okto.

"Apakah pak guru Bian ikut dengan mereka?" Tanya April

"Tentu saja, ada Pak Guru Bian juga ikut kesana membantu latihan mereka"

Aprilpun mengangguk, segera mungkin April merobek lembaran kertas bukunya dan menulis sesuatu
untuk Okto. Pesan singkat itu langsung diberikan kepada Pak Guru Bian yang sedang ke sekolah
mengambil peralatan yang tertinggal. April berharap Okto segera membaca pesan singkat itu.

Hari ini masih seperti biasa, April terus latihan dengan klub musik instrumental. Hari perlombaan
semakin dekat. Latihan yang rutin membuat April dan Juni semakin sering bersama. Dan itu membuat
beberapa siswi merasa tidak nyaman dengan kedekatan mereka. Sepertinya hari-hari tenang untuk April
tiada habisnya. Setelah selesai dibully oleh Agro dan Guntur, kini April harus menghadapi mata sinis
ketika harus latihan berdua dengan Juni. Anak-anak klib juga terpancing hasutan oleh seseorang yang
tidak suka melihat keberadaan April dekat dengan Juni.

"Akhir-akhir ini aku merasa aneh" kata Juni, ketika selesai latihan diruang klub.

April menganggkat bahunya merasa tak mengerti dengan keanehan yang dirasakan Juni.

"Anak-anak klub semakin malas latihan. Mereka sepertinya sedang protes. Tapi, aku bingung apa yang
mereka proteskan" Juni memegang dahinya, sedikit pusing.

April tersenyum, sambil mengepalkan kedua tangannya memberi tanda semangat.

"Latihan berikutnya akan aku tanyakan kepada mereka"

Sebenarnya, April sudah memahami kondisi anggota klub yang protes. April tahu meteka protes karena
Juni terlalu perhatian sekali kepada April. Itu juga yang membuat April merasa terganggu dengan
pandangan-pandangan sini itu.

Ditempat latihan para atlit, Pak Guru Bian mengahampiri 4 orang murid dari sekolah mereka. Okto dan
Nadia lomba dicabang lari, dan dua orang lagi dicabang lompat jauh dan lompat tinggi. Pak Guru Bian
memberikan motivasi kepada keempat anak muridnya.

"Kita sudah berusaha untuk latihan, dan berusahalah juga untuk menang. Kita pasti bisa!" Semangat Pak
Guru Bian menular pada keempat muridnya.

"Pak, aku melihat Okto tak bersemangat" bisik Nadia ketelinga Pak Guru Bian.

"Okto, kemarilah" panggil Pak Guru Bian.

"Ada apa, Pak?"


"Ada sesuatu untukmu" Pak Guru Bian mengeluarkan sebuah amplop putih kepada Okto.

"Apa ini, Pak?" Tanya Okto membolak-balik amplop yang tidak ada nama pengirimnya itu.

"Buka saja, kamu akan tahu isinya apa"

"Iya Pak" Oktopun menepi kebangku kayu yang berada ditepi lapangan tempat latihan mereka. Dengan
rasa penasaran, Okto membuka pelan-pelan amplop dan meningintip isinya. Secarik kertas dengan
sebuah tulisan yang membuat Okto tersenyum kecil.

"Terima kasih sudah memperbaiki Biolaku. Aku berdoa agar kamu mendapatkan hasil yang terbaik dan
naik keatas podium. Semangat!!. Maaf aku terlambat mengucapkan terima kasih, dari April"

Selepas Okto membaca surat itu, rasa semangatnya kembali memuncak. Dengan pasang kuda-kuda dari
pinggri lapangan. Okto berlari kencang sekencangnya. Pak Guru Bian terkejut melihat Okto yang
kencang berlari. Nadia keheranan, apa yang menyebabkan Okto kembali bersemangat untuk latihan
sore itu.

"Pak Guru, apa yang terjadi dengan Okto?" Tanya Nadia.

"Bapak juga tidak tahu" jawab Pak Guru Bian sambil berpikir. "Apa jangan-jangan surat dari April"

Mendengar perkataan Pak Guru Bian, ada rasa kesal dihati Nadia. Rasa takut yang tidak terucapkan
olehnya. Rasa tidak nyaman yang tidak dia katakan pada siapapun. Hanya dia yang tahu. Dengan rasa
penasaran yang tinggi, Nadia segera memeriksa isi surat dari April. Lalu membacanya, dan meremasnya
kemudian mencampakkannya ke tanah. Hatinya sedang kacau, Okto tidak boleh berteman dengan
siapapun. Okto hanya boleh berteman dengan Nadia saja.
- Keajaiban -

Pertandingan dipekan olah ragapun dimulai. Beberapa murid diajak untuk melihat pertandingan yang
membawa nama sekolah itu. April menunjuk diri untuk turut ikut, walaupun ditengah kesibukan
latihannya. Dia juga harua mempersiapkan dan menuntaskan latihannya. Karena waktu yang semakin
dekat itu membuat dirinya tidak sempat untuk bersantai-santai. Setelah meminta izin kepada Juni untuk
pergi ke pertandingan olah raga hari ini. Dengan berat hati Juni memberikan izinnya. Berkali-kali April
menganggukkan kepalanya tanda terima kasih.

Para siswa-siswi yang turut ikut akan dibawa dengan menggunakan bus yang disewa oleh sekolah.
Pertandingannya berada diibukota kabupaten. Bus membawa mereka menuruni bukit-bukit yang hijau.
Melewati stasiun kereta api yang lengang. Lalu berbelok mendekati pasar ikan yang masih ramai.
Kemudian menjauh ke arah pantai, melewati hutan kelapa yang rimbun. Ibukota kabupaten jauh berada
di dekat dermaga pelabuhan. Terlihat jembatan kereta api yang menghubungkan dengan sebuah pulau
kecil. Pemandangan yang begitu indah, ditengah kilaunya air laut dengan deburan ombak yang
terdengar, memecahkan keriuhan sorak-sorak dari setiap tim. Wisma karantina Atlit itu tepat di pinggir
laut yang biru. Angin yang berhembus membawa harapan-harapan disetiap doa untuk menjadi
pemenang.

Mata April mencoba mengitari, mencari papan nama Atlit lomba lari. Setelah menemukannya, April
meminta Audrey dan Jude menemaninya untuk bertemu dengan Nadia dan Okto.

Sebuah papan tulis kecil berwarna putih April keluarkan dari dalam tasnya. Tulisan pemberi semangat
kepada Nadia dan Okto itu menambah energi untuk Okto, tidak untuk Nadia yanh sedari tadi hanya
cemberut.

"Kamu kenapa Nadia?" Tanya Jude

"Iya, kenapa cemberut sedari tadi" ujar Audrey

"Dia gerogi, ini pertandingan pertamanya" jawab Okto sambil tersenyum. "Ayolah, jangan gerogi seperti
itu. Semangat donk. Doa kami semoga kamu menang" tambah Okto sambil memukul pundak Nadia
pelan.

April menyetujui pernyataan Okto dengan anggukan dan senyuman. Nadia tidak gerogi dia hanya
menahan rasa kesal melihat keakraban Okto dan April akhir-akhir ini.

Suara pistol berbunyi, bertanda bahwa semua pertandingan akan dimulai. April, Audrey dan Jude
kembali kebangku penonton. Sedangkan Okto dan Nadia menuju lapangan pertandingan. Ini
pertandingan yang akan menentukan pemenang yang akan lanjut ketingkat provinsi. Okto dan Nadia
akan berusaha untuk menjadi pemenang. Giliran Okto untuk bertanding terlbih dahulu. Seragam yang
dibuat khusus untuk atlit sekolah itu sangat mencolok. Berwarna merah terang dengan bertuliskan
dipunggung nama peserta dan nomor punggung peserta. Okto bersiap-siap untuk mengambil posisi
awal. Begitu peluit dibunyikan, dorongan tubuh dan kaki Okto seirama melangkah bersama angin. Okto
melaju cepat, berada diposisi ketiga untuk putaran pertama. Hanya dengan mengingat senyum April,
Okto mengisi energinya kembali. Okto terus berlari, tak melihat pemain yang lain. Dia hanya berlaru dan
terus berlari.

Dikursi penontom sudah riuh sorak memanggil nama Okto. Ingin rasanya April berteriak menyebut nama
Okto juga. April berusaha mengeluarkan suara, akan tetapi lehernya terasa tercekat. Ini untuk kesekian
kalinya April kalah dengan belenggunya dan hukumannya. April kembali berusaha, terus berusaha agar
bisa meneriakkan nama Okto dari kursi penonton.

"Oktttooooooooooo!!!" Sebuah teriakan yang ganjil. Tak pernah terdengar sebelumnya. Audrey dan
Jude saling memandang.

"April" panggil Audrey dan Jude serentak.

"Kamu bisa bicara!" Jude memang wajah terkejut. Begitu juga dengan teman-teman yang berada
disebelah mereka.

"A....aaa.....aaku" April terbata-bata, terkejut mendengar suaranya kembali.

"Kamu bisa bicara" teriak Audrey lalu memeluk April senang.

" su....aaarraaku" April mencoba membiasakan untuk berbicara kembali.

"Ini luar biasa. Ini keajaiban, April" kata Jude juga ikut memeluk April.

Putaran terakhir, Okto memimpin pertandingan. Larinya tak terkalahkan, Okto memang pantas dijuluki
si kilat dari bukit ujung. Energi yang terkumpul semakin panas, mesin engsel penggerak rangka semakin
ringan. Laju angin membawa Okto berada di posisi pertama hingga akhir putaran. Semua orang
berteriak gembira. Okto pantas mendapatkan posisi terbaik diatas podium. Tidak dengan Nadia, dia
harus gugur tidak ikut pertandingan tingkat provinsi bulan depan. Pertandingan telah usai, dua siswa
akan mewakili sekolah tingkat provinsi bulan depan.

"Okto, Nadia......ada kejutan untuk kalian berdua" kata Jude senang. Audrey lalu menyikut lengan April.

"Se..la....maaat" kata April terbata-bata sambil menundukkan kepalanya. Suaranya begitu pelan hingga
Okto meminta April untuk mengulanginya kembali.

"Se...laaa...maaat!" Kata April sedikit berteriak.

"Kamu bisa bicara!!" Okto terkejut sekali begitu juga dengan Nadia.

Suara yang sudah hilang selama setahun, suara yang dirindukan April dan semua orang terdekatnya.
Kabar gembira ini mengudara seantero desa, bahkan kakek dan nenek membuat acara syukuran di
rumah sekaligus merayakan kemenangan Okto.

- Perayaan yang Mengejutkan -

Kabar gembira itu juga langsung terdengar oleh Ayah April yang akan ikut merayakan acara syukuran
atas kembalinya suara April. Ayah April sengaja mengambil cuti kerja hanya untuk mendengarkan
kembali suara putri kesayangannya. Ayah akan melihat kembali wajah ceria April dan suaranya yang
periang itu. Ayah rindu dengan suara yang memanggil dirinya Ayah. Segera Ayah bergegas untuk pergi
ke Desa dengan membawa hadiah yang lebih besar.
Di rumah nenek sudah mulai sibuk memetik sayuran dan menagkap beberapa ayam ternak yang kakek
pelihara. April juga sibuk membuat hiasan dari kertas warna warni dibantu dengan teman-temannya. Di
dapur para tetangga sudah sibuk memasak untuk makan malam yang luar biasa.

"Nanti malam kamu harus tampil" kata Juni yang juga ikut membantu. Juni termasuk orang ingin
mendengarkan suara April, maka dia juga ikut membantu persiapan acara perayaan itu.

"Aku masih belum percaya diri" jawab April yang mulai terbiasa dengan suaranya.

"Kamu pasti bisa" kata Juni memberi semangat.

Lalu datanglah Okto dengan keributannya.

"April, April apakah kamu suka dengan sayur kubis diberi bumbu pedas?" Tanya Okto yang tiba-tiba
keluar dari dapur.

"Aku belum pernah memakannya"

"Itu sayuran khas desa ini. Aku akan memasakkannya untukmu" kata Okto semangat.

"Lebih baik kamu membantu kami disini, Okto. Keringatmu akan mengasini sayuran didapur" kata Juni
dan membuat teman-teman yang lain tertawa.

" benar-benar, kata Juni itu benar sekali. Keringatmu sudah asin bau lagi. Hahahahaha" Jude menimpali.
Nadia tidak suka mendengarkan itu. Namun, dia tetap diam tidak membela Okto. Lalu semua tertawa
bersama.

Pukul tujuh malam, acaranya akan dimulai. Para tetangga yang diundang juga sudah mulai berdatangan.
Memberikan selamat pada Okto atas kemenangan ketingkat Provinsi, dan memberikan hadiah untuk
April yang sudah bisa kembali berbicara. Beberapa tetangga membawa kembang api yang akan
dinyalakan nanti. Nina yang sibuk melayani para tamu, hingga lupa bahwa Pak Guru Bian sedang
mencuri pandang ke arahnya. Tanpa sengaja juga mata mereka saling beradu, pipi Nina memerah.
Namun itu tidak terlihat karena cahaya yang tidak begitu terang. Para tamupun mulai memakan
makanan yang sudah disediakan.

Kakek masih dalam perjalanan membawa suatu kejutan yang akan membuat April akan senang
melihatnya.

"Apakah April bahagia disini?" Tanya seorang wanita dari bangku belakang.

"Dia banyak mendapatkan teman disini" jawab kakek sambil tersenyum.

Acara puncakpun dimulai. Dengan sedikit rasa tidak percaya diri, akhirnya April memberanikan diri
untuk tampil malam itu. Sambil membawa biola hadiah dari ayahnya, April menghela nafas dalam-
dalam. Memejaman mata sejenak, lalu nada pertama mengalun indah seraya angin malam yang
menyentuh kulit-kulit dengan penuh kesejukan. Sebuah lagu yang April pelajari sendiri, dengan terus
berlatih April akhirnya menemukan sebuah hobi baru yang membawa melangkah ke dunia teman-teman
barunya. Membawa luka dan sakitnya berlalu begitu saja, hingga akhirnya membawa kembali suaranya
yang telah hilang.
Setahun yang memberikan April pengalaman yang indah selama di desa bersama nenek dan kakek serta
teman-teman baru. Tetangga-tetangga yang menyenangkan. Ditengah permainan biola April. Mobil
kakekpun berhenti tepat di halaman depan. Kakek, ayah dan seorang wanita turun dari mobil.

"Masuklah, acaranya ada di kebun belakang" kata kakek mengajak tamu yang dijemputnya itu.

"Aku sudah tidak sabar ingin melihat April" kata wanita itu sambil menggandeng lengan Ayah April.

Suasana di kebun belakang ternyata ramai sekali. Seluruh guru dan teman April datang, serta para
tetangga yang juga ikut meriahkan datang. Acara seperti ini jarang sekali dibuat, harus menunggu hal
yang spesial dahulu baru diadakan acara semeriah ini. Ketika kakek, ayah dan wanita itu tiba di kebun
belakang disambut kemeriahan tepuk tangan untuk pertunjukan biola April.

"April" Panggil Ayah sambil teriak.

"Ayaaah!!" April dengan senang berlari menuju ke arah Ayah. Lalu memeluk Ayah.

"Ayah senang April kembali ceria" ujar Ayahnya sambil menunjukkan seorang wanita kepada April.

Raut wajah April berubah begitu saja. April melihat wanita yang telah menghukumnya, wanita yang
memberikan kutukan baginya. Aprilpun mundur selangkah lalu berlari ke dalam rumah.

"Ada apa?" Tanya nenek yang melihat April tiba-tiba masuk kedalam rumah.

Bukan kejutan seperti yang April inginkan.

"Aku akan bicara padanya, Bu" kata Ayah April pada nenek yang berlalu ke dalam rumah.

"Makanlah dulu" ajak Nenek pada Ibu April.

"Iya bu"

April masih di dalam kamarnya, mengurung diri dalam gelap. April meninggalkan acara malam itu. Ayah
mencoba mengetuk pintu kamar April. Namun, tak ada jawaban. Sekali lagi Ayah mengetuk pintu kamar
itu. Berharap April membuka pintunya.

"April, dengarkan penjelasan ayah dulu. Ayo, kita bicara" kata Ayah April yang masih berdiri di depan
pintu kamar April.

"Kenapa ada ibu?" Tanya April yang terdengar sedang menangis.

"Ibu ingin kembali bersama kita" jelas Ayah April.

"Nanti ibu menghukum April lagi. April takut, Yah"

"Ibu berjanji tidak mengulangi kesalahan yang sama, April"

"April takut, Yah"

Tiba-tiba ibu sudah masuk ke dalam rumah, dengan melangkah pelan-pelan.

"Sssst" ayah memberikan tanda untuk tidak berbicara kepada Ibu

"Jika ibu meminta maaf kepada April, apakah April menerima ibu kembali?"
"April Takut, Yah. Takut sekali"

Sebuah bunyi klik terdengar dari dalam kamar. Bertanda kunci pintu sudah dibuka April. Lalu Ayah
masuk sendirian, dan ibu menunggu di luar.

"Ayah April takut dengan ibu" kata April sambil menangis dan memeluk ayahnya.

"Ibu akan berubah, dia berjanji kepada ayah dan April" ujar Ayah sambil mengusap-ngusap punggung
April.

"April" suara ibu terdengar masuk ke dalam kamar "ibu minta maaf ya, maaf sudah membuat April
menderita karena ucapan ibu" kata Ibu dan menitiskan airmata penyesalannya.

Lalu mereka bertiga saling berpelukan, dan para tamu melepaskan kembang api dengan suara yang
indah memecah dilangit hitam. Warna warni api yang memancar, menyinari kamar April yang gelap.

"Ayo keluar, acara kembang apinya telah dimulai" ajak Ayah.

Mereka bertigapun keluar dari kamar. Dan bergabung dengan para tamu yang lainnya untuk menikmati
kembang api.

- Akhir dan Awal -

Hari yang dinantikanpun tiba, hari dimana latihan akan berbuah disini. Seluruh gedung dan bangku para
penonton sudah dipenuhi orang-orang yang hanya sekedar melihat, atau penikmat musik bahkan orang-
orang yang mendukung salah satu peserta yang ikut pertandingan.

Seluruh anggota club musik berkumpul di ruang tunggu di masing-masing group regional. Anggota dari
kecamtan lain juga sibuk mempersiapkan diri mereka. Ada yang sibuk merias wajah, memperbaiki baju
bahkan ada yang sedang sibuk menghentikan rasa cemas didalam hatinya.

April sedang duduk di sudut ruang memandangi orang-orang yang sedang sibuk. Ini kompetensi terbesar
yang pernah dia ikuti selama dia bersekolah. Tangannya mulai dingin dibasahi keringat, rasa tidak
percaya dirinya muncul tiba-tiba. Rasa takut mrnggelayuti pikirannya, ada rasa kacau yang tak dia sadari
bahwa Juni sedang memperhatikan kegelisahan April. Juni mendekatik April yang sedang dilanda
perasaan yang kacau itu.
"Gelisah ya?" Tanya Juni yang seraya duduk disebelah April

"Hu um" jawab April sambil meanggukkan kepalanya.

"Aku juga pertama kali tampil juga seperti itu. Tapi, yang aku ingat hanya wajah-wajah teman se tim.
Mereka juga gelisah, bagaimana aku bisa menyemangati mereka jika aku sendiri juga gelisah. Makanya
aku tidak boleh gelisah, biar mereka tidak cemas" ujar Juni yang membuat April mencoba tersenyum
dirasa gelisah.

"Terima kasih, kak" jawab April

"Lihatlah sekitar, mereka juga gelisah. Tapi, mereka tidak mau tunjukkan. Karena akan mempengaruhi
teman-teman mereka. Ayo kita latihan sebentar" ajak Juni menarik tangan April yang basah karena
keringat.

"Aku gugup, hingga tidak bisa berdiri kak"

"Hehehehe, ayo lawan rasa gelisah, gugup dan takut itu. Kamu pasti bisa"

April mengangguk mencoba untuk bangkit dari keresahan hatinya. Merekapun menuju ruangan yang
diperbolehkan untuk latihan selama 5 menit. Pintu ruangan itu terbuka dari dalam, karena ada tim lain
yang baru saja selesai latihan diruangan itu. April dan Juni harus menunggu satu tim lagi untuk giliran
latihan.

Langit-langit ruang itu sudah mulai terasa lapang, April mulai merasakan wangi ruangan beraromakan
kopi ringan. April meraih biola dan Juni duduk dikursi piano yang sudsh tersedia disana. Merekapun
mulai latihan, waktu lima menit begitu terasa cepat. Dan mereka juga harus segera kembali ke tim
mereka. Melihat tim sudah bersiap-siap untuk tampil, Juni mengumpulkan mereka dan membentuk
lingkaran.

"Mari kita berdoa sejenak" perintah Juni sambil menundukkan kepala, dan menyampaikan doanya
dalam hati.

"Klub Musik, BISSSAA!!" teriak Juni yang membakar semangat setiap hati anggotanya.

Nomor peserta mereka dipanggil, langkah kaki yang awalnya gugup, gelisah dan takut kini berubah
menjadi langkah kaki yang penuh keyakinan. Beberapa penonton berteriak menyebut nama Juni dan
nama sekolah mereka. Sebagian ada yang sudah bertepuk tangan ketika tim klub musik instrumental
dari SD Puncak Tinggi memberikan salam hormat kepada para juri dan para penonton.

Pertunjukkannyapun dimulai, lampu-lampu mulai diredupkan. Lingkaran lampu besar hanya tertuju
pada mereka. Alunan irama diwalai oleh kelompok flute, lalu lantunan suara piano milik Juni dan diikuti
berlahan seluruh intrumen lainnya. April yang berdiri tepat ditengah panggung juga menunjukkan
aksinya. Baginya ini adalah pengalaman terindah yang terjadi sepanjang hidupnya. April teringat
sebelum pergi, Okto mendatanginya memberikan sebuah minuman percaya diri.

"Sebelum tampil minumlah ini. Aku meraciknya untuk menumbuhkan rasa percaya diri" kata Okto
menyerahkan setermos kecil berwarna biru.

"Terima kasih" senyum April mengembang


"Maaf aku tidak bisa ikut. Karena aku harus mengulang beberapa pelajaran karena pertandingan
kemaren lalu"

"Tidak apa-apa"

"Walaupun aku tidak ikut, aku selalu menyemangatimu dari sini" kata Okto senang

"Terima Kasih"

Tak terasa alunan irama yang mengalir begitu saja, sampailah dibagian akhir pertunjukkan.
Memperlihatkan jemari Juni yang sibuk menyentuh lembut tuts-tuts piano yang bermelodi indah itu,
disambut dernyitan senar biola April yang tergabung seperti sihir yang membuat para penonton terbius.
Seperti masuk ke dalam dunia baru yang indah penuh dengan warna warni kupu-kupu yang
berterbangan. Diakhir nada, para penonton terdiam lalu seketika riuh gemuruh tepuk tangan serta sorak
sorai menggema seisi gedung perlombaan itu.

Setelah memberi penghormatan terkahir kepada juri dan penonton, merekapun kembali ke ruang
tunggu. Rasa gelisah, cemas dan gugup sirna seketika mereka saling berpelukan dan berteriak riang.
Tinggal menunggu hasil, dan kembali Juni memberikan kalimat-kalimat semangat.

"Kita sudah menampilkan pertunjukkan terbaik kita. Apapun hasilnya, kita harus tetap semangat
melanjutkan misi kita dimasa depan"

"Iya" serempak mereka bersemangat.

Malampun tiba, para ketua tim berkumpul disebuah ruangan untuk gladiresik sebelum acara penutupan.

Junipun mengikuti langkah kaki panita yang mengajaknya ke sebuah ruangan yang sudah ada beberapa
ketua tim berkumpul. Juni menyapa beberapa orang yang dia kenal. Tersenyum ramah, ditengah rasa
gugupnya. Seorang pria tua memasuki ruangan dan merekapun berbaris mendengarkan petunjuk dari
seorang pria tua yang baru saja mausk itu.

Sekembalinya Juni, duduk di sofa yang tersedia didalam ruang tunggu. Tubuhnya melemas seketika.

"Ada apa Jun?" Tanya Eve

"Sepertinya kita harus menyerah untuk kali ini"

"Kenapa?" Tanya salah satu pemain flute

"Sepertinya kita tidak masuk 5 besar. Padahal aku sudah berharap setidaknya kita masuk 5 besar"

"Darimana kamu tahu kita tidak masuk 5 besar"

"Aku berpikir kita tidak bisa masuk ke 3 besar, seperti yang kalian tahu peringkat 3 besar selalu diraih
sekolah SD musik"

"Kak Jun, apapun hasilnya kita tidak boleh melupakan misi kita" kata April

Juni menjawab dengan anggukan.

Tibalah saatnya pengumuman untuk para juara. Hadiah menarik untuk kelompok yang mendapatkan
peringkat 5 besar akan mendapatkan beasiswa ke SMP musik di Ibukota. Itulah hadiah yang sebenarnya
dinantikan oleh Juni, tapi ketika gladiresik tadi dia menjadi tak bersemangat. Kata-kata pria tua itu masih
terngiang dibenaknya.

"Untuk peringkat runner up 4 dan 3 akan tampil. Yaitu SD Harapan Bangsa dan SD Ujung Timur. Untuk
peringkat 1,2 dan 3 masih kami rahasiakan" setelah mendengar itu Juni merasa pesimis untuk masuk ke
5 besar, apalagi masuk ke 3 besar.

Seluruh tim berkumpul diatas panggung, berbaris berdasarkan urutan nomor peserta. Para juri mulai
membacakan hasil porelahan nilai. Sudah dipastikan rasa seluruh peserta bercampur aduk. Lantunan
harapan-harapan berkomat-kamit dari bibir mereka. Namun, sebelum nilai di umumkan ada
pertunjukan terakhir dari 2 nilai terendah dalam 5 besar. Yaitu runner up 3 dan 4. Mereka tampil dengan
enerjik karena mereka sudah mengetahui hasil perolehan nilai mereka. Selepas penampilan runner up 3
dan 4. Tibalah saatnya pembacaan nilai untuk peringkat 3 besar.

Cahaya lampu diredupkan, hanya ada lingkaran cahaya yang menyinari peserta. Lingkaran cahaya itu
akan berhenti pada peserta yang disebutkan nama sekolahnya.

"Untuk peringkat ketiga dengan total nilai 2555, diraih oleh Sekolah Dasar Musik Pelita I"

Seluruh pendukung sekolah dasar Musik Pelita I berteriak senang. Bertepuk tangan, dan beberapa juga
ada yang bersiul serta menyebut nama ketua tim.

"Untuk peringkat kedua dengan total nilai 2995. Nilai yang mendekati sempurna diraih oleh Sekolah
Dasar Puncak Tinggi" ketika juri menyebutkan nama sekolah dasar itu. Anggota Klub Musik Instrumen SD
Puncak Tinggi terdiam, dan tak percaya. Mereka masih terkejut dan baru tersadar ketika ada
meneriakkan nama "Juniiiii........!!!"

Seketika itu juga Juni tersadar bahwa nama sekolahnya lah yang disebut juri. Para anggota tim juga baru
tersadar, dan mereka saling melompat berpelukan. Ini usaha terakhir Juni mengharumkan nama
sekolah, dan awaln bagi Juni untuk menuju sekolah impiannya. Juni melihat kearah April yang sedang
menangis haru lalu menyunggingkan senyumannya.

"Kita Bisa" lirih Juni seraya maju ke podium untuk mendapatkan piagam dan tropi yang
dipersembahkannya untuk sekolah.

"Horeee....horee......" teriak seluruh anggota tim ketika dibelakang panggung.

Perjalanan April untuk ke jenjang berikutnya juga di mulai. April menenukan tujuan baru untuk dirinya
sendiri. Ingin menjadi pemain biola dan terjun ke dalam dunia musik bersama teman-temannya. April
teringat janji Dino dan Nay, mereka akan bermain musik bersama.

- Tamat -
April to May 2020, Paradise.

Tentang Penulis

Nama Pena : ghe rimis kecil

Lahir : hinai kiri, 24 April

Pendidikan : S1 Pendidikan Matematika

Motto : Lakukan apa yang kamu ingin lakukan, "jika dan hanya jika"

itu dipertanggung jawabkan.

Terima Kasih

Anda mungkin juga menyukai