Anda di halaman 1dari 3

Buku Resep Masakan Ibu

Kalau kita homesick pasti enaknya makan makanan kampung halaman, ‘kan? Itulah yang
diinginkan Kirana, anak rantau dari Sulawesi Utara yang rindu dengan ibunya. Saat ini, Kirana
sedang menetap di ibukota Jakarta karena Bapak harus pindah kerja di sana sehingga dia harus
ikut pindah sekolah. Besok adalah hari pertama di sekolah barunya, Kirana pun segera
mempersiapkan dirinya. Tapi sebelum itu, dia menghampiri Bapak yang sedang duduk sambil
membaca laporan kerjanya di ruang keluarga. “Pak, besok bapak masak apa buat kiran?”,
“Bapak sibuk, kak. Kakak bisa siapin makanan sendiri, ‘kan? Kamu kan sudah besar, tolong
ngertiin bapak, ya?” jawab Bapak. “Ya sudah, pak, gak apa-apa deh. Tapi besok bisa anterin
Kiran ke sekolah ‘kan, pak?”, “Kak..” jawab Bapak sambil memegang kedua pundak Kirana.
“Besok bapak harus pergi pagi-pagi jam 6. Bapak gak bisa anter karena kamu masuk jam 7, yang
ada nanti bapak bisa telat. Maaf ya, kak, nanti bapak minta sopir untuk anterin kakak kesana,
ya?” jawab Bapak dengan lembut.
Kirana pun kesal dengan sikap Bapak yang selalu mengesampingkan dirinya dari
pekerjaan-pekerjaannya yang sangat penting baginya itu. Kirana mengeluh, “Pak, besok itu hari
pertama kiran di sekolah yang baru, loh? Kiran gak tau tempatnya dimana, gurunya siapa, gak
punya kenalan siapa-siapa. Seenggaknya kalo bapak gabisa anter kiran ke sekolah, anter kiran
sampai gerbang sekolah dong!” ucap Kirana marah selagi menepis pelan tangan Bapak dari
pundaknya. Bapak tidak bisa berkata apapun dan hanya bisa menarik napas panjang dan
menghela napasnya dengan penuh beban di atas dirinya. Kirana pun meninggalkan Bapak
sendirian.
Keesokan harinya, seperti dugaan, Kirana bangun kesiangan. Langit sudah berubah
menjadi biru terang dan mataharinya yang menyilaukan mata terbiaskan oleh kaca dari kamar
Kirana itu membuatnya tergesa-gesa penuh kepanikan. Setelah siap berangkat dan
meninggalkan rumahnya, Kirana melihat ada sejumlah uang diatas kertas. ‘Bapak sudah
berangkat. Jangan lupa kunci pintu dan bawa juga kunci rumahnya, ya. Semangat ya kak
sekolahnya!’ itulah yang tertulis di kertas. Kirana pun keluar dari pintu rumah dan melihat ada
seorang pria yang menunggunya, Om Aang namanya. “Neng, udah siap? Ayo cepet nanti telat,
loh..”, “Iya, om. Maaf ya, kiran bangunnya kesiangan nih soalnya,” jawabnya buru-buru masuk
ke mobil. Sambil melihat hiruk-piruk lalu lintas kota, Kiran meminta Om Aang untuk mengebut
karena ia takut terlambat sampai di sekolah barunya.
“Neng, ayo bangun! Ini udah sampai. Nanti ikutin anak-anak yang masuk disana, ya.”,
“Iya, om. Makasih banyak ya.” ucap Kirana terbangun sambil merapikan tasnya. Ia pun turun
dari mobil dan masuk ke sekolah. Hari ini adalah hari pengenalan lingkungan sekolah. Setelah
diberi bimbingan, para siswa diperbolehkan untuk pergi ke kantin. Sesampainya Kiran di kantin,
dia melihat berbagai macam pilihan makanan disana. Dari yang ramai hingga yang paling sepi,
itulah cara yang paling mudah untuk menebak mana makanan yang enak dan yang tidak. Kirana
berjalan kearah keramaian itu dan tak membutuhkan waktu lama baginya untuk terperangkap
di dalamnya. Donat? Cuman donat coklat saja sampai seramai ini?, pikirnya. Kirana pun pergi
mencari meja kosong bersama donatnya. Harganya termasuk mahal untuk sebuah donat coklat.
Sambil dipenuhi penyesalan, dia memakannya. Rasanya memang enak, tapi tak seenak
ekspektasinya. Daripada donat, aku lebih suka kue bolu buatan ibu.. Ah, jadi kangen sama ibu,
gumamnya sambil menghabiskan donatnya.
Akhirnya, bel pulang berbunyi. Tandanya, hari pertama pengenalan lingkungan sekolah
itu sudah berakhir. Dia senang akhirnya bisa pulang ke rumah dan bermain bersama Mochi,
kucing ras Scottish Fold miliknya. ‘Om, tolong jemput kakak, ya.’ kata Kirana lewat pesan teks
telepon genggamnya. Tak lama kemudian, sopirnya sampai di gerbang dan mengantarnya
sampai ke rumah. Setelah sampai di rumah, Kirana langsung pergi ke kamarnya dan tertidur.
“Kak, bapak pulang!” kata Bapak memasuki rumah. Kirana tidak membalasnya. Ia masih
kesal terhadapnya karena tidak diantar ke sekolah tadi pagi. “Kak, bapak bawain Sambal Roa,
nih. Kakak mau gak?” tanya Bapak. Kirana pun turun tangga, “Mana?” tanya Kirana. “Ini,”jawab
Bapak sambil menunjukan kepadanya. “Oh,” ucap Kirana tampak tak tertarik. “Kakak
ngambek?”, “Nggak. Ngapain? Kiran bukan anak kecil lagi,” jawabnya ketus. Akhirnya Bapak
terbawa emosi, “Kirana! Bapak gak suka ya kamu jawabnya ketus begitu. Bapak ini baru pulang,
disambut dong!”. Kirana pun menatap Bapak dengan tajam, “Bapak egois! Kenapa giliran aku
marah, bapak minta disambut. Tapi giliran aku minta dianterin aja bapak kasih alasan terus?
Gak adil, Pak. Bapak selalu minta aku untuk nurut dan bersikap baik-baik aja, aku capek. Bapak
gak pernah ada buat aku! Bapak gak kaya’ ibu!,” ucap Kirana marah. “Kiran! Kamu kok makin
gede’ malah jadi kurang ajar begini sama orang tua!? Emangnya kamu capek karena bapak
minta kamu kerja banting tulang, hah!?”, “Bapak gak kaya’ ibu yang ngertiin aku dan selalu ada
buat aku. Bapak sibuk terus, bahkan sampai gak ada waktu untuk jenguk ibu saat ibu lagi
sekarat. Aku yang sama ibu selama ini, sampai disaat-saat terakhirnya pun bapak sama sekali
gak datang! Bapak tega!,” kata Kirana yang marah hingga menangis karena teringat saat-saat
terakhir sebelum Ibu menghembuskan napas terakhirnya dan masih menggenggam tangan
Kirana. “Cukup, Kiran! Cukup!,”akhirnya Bapak pun membentak Kirana. “Bapak gak akan pernah
bisa gantiin ibu!” ucap Kirana dengan tegas sambil beranjak pergi meninggalkan dapur.
Bapak menyesal. Tiada hari tanpa ada penyesalan bagi dirinya atas apa yang terjadi
pada istrinya yang malang itu. Pikirannya kalut, dia pun mengambil album foto dari laci di ruang
keluarga. Foto Bapak saat masih muda dengan pose ‘alay-nya. Di halaman selanjutnya ada foto
Kirana saat bayi dan batita yang sangat menggemaskan. Dan akhirnya, foto pernikahan Bapak
dan Ibu. Bapak pun tak kuasa menahan tangisannya, rasanya seperti ingin memohon kepada
tuhan agar dapat mengembalikan istrinya apapun ganjarannya.
Bapak menaruh album foto itu di sampingnya dan melihat ada buku catatan kecil
berwarna merah disudut laci itu. Ia ambil buku merah marun itu. ‘Buku Masakan Ibu’, itulah
tulisan pada halaman pertama buku itu yang disertai dengan tanda tangan Ibu. Kertasnya yang
sudah menguning dengan bercak kecoklatan itu sangat berdebu dan tulisan-tulisan di dalamnya
pun sudah pudar sehingga sulit baginya untuk membacanya. Tapi, Bapak tak mudah menyerah.
Karena mungkin, ini akan menjadi kejutan spesial yang akan membuat Kirana dekat kembali
dengannya. Bapak harus bangkit demi Kirana. Malam itu, Bapak pun mempelajari resep di buku
masakan itu.

Matahari telah terbit, Kiran masih belum beranjak dari tempat tidurnya walaupun
alarmnya sudah berbunyi setengah jam yang lalu. Tak hanya itu, terdengar pula suara bising
peralatan masak dari dapur, tapi siapa yang memasak sepagi ini? Kita ‘kan tidak punya
pembantu di rumah. Kiran pun segera keluar dari kamarnya. “Bapak? Kok bapak belum
berangkat?” tanya Kiran sedikit berharap. “Ini.. bapak masakin sedikit buat kamu sarapan, nah
yang ini bekal buat kamu. Jangan lupa ya, kak.” jawab Bapak sambil merapikan bekal untuk
Kiran. Kiran terdiam, terharu dan sedikit merasa bersalah. Campur aduk rasanya. “Emangnya
bapak bisa masakin kiran?”, “Jangan ngeledek bapak kamu. Dicoba dulu makanya,” jawab
Bapak percaya diri. Kiran pun mencicipi masakannya sesendok. Kiran pun terkejut, ini mirip
masakan Ibu!
“Pak! Ini enak banget! Mirip masakan Ibu..!” ucap Kiran terkejut tak percaya. Bapak
yang menunggu reaksi anak semata wayangnya itu pun terharu karena akhirnya ia bisa
membuktikan kepadanya bahwa tanpa Ibu pun Kirana bisa bahagia. “Suka ‘kan sama Bubur
Manado-nya? Biar makin enak tambahin pakai Sambal Roa juga,” ucap Bapak sambil
memberikan sesendok Sambal Roa di mangkuk bubur Kirana. “Kiran kira, bapak gak bisa masak.
Tapi bubur ini enak banget!”, “Ah, ini sih gampang. Kamu juga bisa kok, kak! Nanti bapak ajarin,
ya.” jawab Bapak. Kirana pun memakan habis sarapannya.
Setelah Kirana menaruh mangkuk kotornya di wastafel, ia pun kembali ke meja makan
yang letaknya tak jauh dari dapur. Dia pun duduk bersama Bapak. “.. Pak? Maafin kiran ya
kemarin. Kiran kebablasan sama bapak. Kiran begitu karena mungkin kiran merasa jadi semakin
jauh dari bapak akhir-akhir ini,” ucap Kirana pelan. “Iya, kak. Bapak maafkan. Bapak pun senang
kamu bisa introspeksi diri dan memberi tahu bapak penyebabnya. Bapak minta maaf juga kalau
kakak merasa jauh dari bapak. Bapak akan usahakan agar bisa lebih banyak meluangkan waktu
di rumah sama kakak, ya?” jawab Bapak dengan lembut. Om Aang pun memanggil Kirana agar
mempercepat dirinya agar tidak terlambat. “Ya sudah, pak. Kiran berangkat dulu, ya?” kata
kiran sambil bergegas menyiapkan tasnya dan mencium tangan Bapak. “Iya, kak, hati-hati
dijalan. Belajar yang rajin, ya.” jawab Bapak. Mereka pun berbaikan dan menjadi dekat dan
lebih terbuka satu sama lain. Tak boleh ada rahasia diantara keluarga, bukan? Dan kali ini, Ibu-
lah yang mempersatukan kembali keluarga kecilnya, walaupun sudah tak lagi bersama mereka.

Anda mungkin juga menyukai