Anda di halaman 1dari 58

Kamis euy!

Chapter 2: Bersama Malam Jum’at

Yuwna Cheese 08/12/2020 www.nekocheesepoi.com


Mentari menunjukkan sosoknya dari ufuk timur. Langit biru membentang
luas mendampingi sang fajar. Angin pagi berhembus lembut menemani
keduanya mengawali hari. Bekas hujan kemarin sore tampak jelas tertimpa
sinar mentari. Daun-daun yang menampung rintik air hujan terlihat
berkilauan menyejukkan mata. Tanah yang membentuk genangan air
memiliki keindahannya tersendiri. Aliran sungai yang awalnya kecil menjadi
deras terdengar gemercik di indera pendengar.

Alsera Azrine, gadis kota yang baru sampai kemarin sore menatap anteng
semuanya dari jendela kamar. Ia menikmati pemandangan pagi pertamanya
di desa hari ini. Melihat beberapa orang-orang pedesaan yang lewat
melakukan aktivitas pagi mereka. Suasananya sangat berbeda dari perkotaan
yang begitu berisik saat pagi. Di sini lebih menenangkan, membuat hatinya
adem. Namun ia bosan lama-lama seperti ini. Sudah sejak 30 menit yang lalu
Alsera hanya melihat, ia mau berkeliling.

Charel dan yang lainnya sudah pulang sehabis shubuh tadi, nenek juga
katanya pergi ke sawah untuk memeriksa sesuatu, dan Alsera ditinggal
sendirian di sini.

“Humm,” Alsera bersandar di kusen jendela, “katanya Charel sama


yang lain mau ke sini lagi... kok lama, ya?”

Alsera bosan, tak ada yang bisa ia mainkan untuk menghilangkan bosan
sembari menunggu Charel dkk yang akan menjemputnya dan mengajaknya
keliling desa. Laptop di-charger, hp dibuang ke empang. Teman gak ada. Mau
ngapain coba?

Iseng, Alsera menjulurkan lidahnya merasakan angin pagi yang meniupnya


dari luar.

1
“Bm bm bm.. loluleli~ hooo~ aaaa-“

Alsera berhenti bersuara menyadari empat orang menatapnya. Empat orang


yang Alsera kenal. Empat orang yang mengantar Alsera ke rumah nenek
kemarin sore. Ya, keempat orang kemarin sore. Alsera sadar, ekspresinya
anjlok.

“Ah?” Finza menambahkan.

Brak! Jendela ditutup rapat dengan keras.

“GAK JADI IKUT!” Teriak Alsera dari dalam.

“Ehhh~ Alseraaa!” Panggil Charel.

“Barusan... anggap aku gak liat apa-apa, bilang padanya. Aku cuma
lihat dalaman yang terselip di pintu,” ucap Ryan sembari buang muka.

Iris hijau Finza menatap Ryan rendah, “So alim.”

..................................................................................................................................................................
...............................................................................

Sawah hijau terhampar luas sejauh mata memandang. Rasa sejuk serta tenang
akan terasa ketika mata bertemu pandang dengan hijaunya tumbuhan
penghasil beras tersebut. Semilir angin khas pedesaan terasa nyaman
membelai kulit. Nyanyian burung melantun merdu memasuki indera
pendengar menambah kesan khas persawahan dalam sebuah pedesaan.

Nenek Gayatri atau nenek dari Alsera Azrine duduk beristirahat di gubuk
sederhananya yang terletak di tengah sawah. Ia tampak kegerahan meskipun
merasakan angin berhembus pelan.

“Untunglah padinya gak ada yang rusak parah,” ucapnya bicara sendiri,
“hahh~ hujan kamari bener-bener dahsyat”

2
“NENEEEK, WOOOYYY!!” Terdengar suara keras yang tak asing dari
arah lain, nenek menoleh.

Kenzie dan yang lainnya datang, membawa sesuatu.

“Neeek! Kami dataaang! Yuhuuu!” Teriak Kenzie sedari tadi.

Nenek tersenyum maklum, anak-anak itu tak pernah bosan mendatangi atau
menyapanya hingga memberi sesuatu untuknya.

“Hati-hati, di sana agak licin!” Ucap nenek, memperingati keempat


anak-anak itu.

Mereka sampai di gubuk nenek, ikut duduk di sana.

“Nih, Nek. Kami bawain makanan, hehe.” Charel memberikan rantang


berisi makanan itu pada nenek.

“Iya, aku juga bawa bala-bala dari mama,” wadah makanan lumayan
besar Finza letakkan di depan nenek.

“Air suci!” Tangan Ryan menyodorkan sebotol air minuman yang


langsung diterima dengan senang hati oleh nenek.

“Aku bawa cinta buat Nenek, mwah<3” Kenzie berucap tanpa


memikirkan akibatnya.

Beberapa detik kemudian...

“AAAAA! TOLONG! JANGAN KEONG! FINZA CHAREL!


HENTIKAN RYAAAN!” Teriak Kenzie menyusuri galengan sawah.

“Aku udah muak sama sia, nying,” ucap Ryan. Ia mengejar Kenzie
sambil membawa seekor keong sawah di tangannya.

“Bodo amat,” Charel berucap cuek.

3
“Aku gak lihat. Aku keju,” Finza mengalihkan pandangannya pada hal
lain.

“Makasih ya kalian”

“Gak masalah kok, Nek. Sekalian kami juga cari aktivitas,” ujar Finza.

“Iya, gak enak hari libur nganggur mulu,” tambah Charel.

Sebulir keringat muncul di pipi nenek, “Memangnya kapan nenek liat


kalian diem?”

“Habis ini Nenek mau kemana?” Tanya Charel

Nenek tampak berpikir sejenak, “Hmm mungkin pulang, Alsera


sendirian di rumah. Kasihan.”

“Umm... ada yang bisa aku atau kita bantu nggak, Nek?” Charel
kembali bertanya.

Diam sejenak, nenek melihat ke sekeliling sawah. “Ada,” pandangan


nenek terkunci pada sebuah pohon kelapa yang berbuah lumayan
banyak. “Tapi ini cuma kau yang bisa”

“Apaan emang, Nek?”

“Mampus” ucap Finza tiba-tiba, membuat perhatian Charel dan nenek


teralihkan.

“Aya apa?” Tanya nenek.

Iris hijau segar Finza menatap sesuatu dengan tatapan puas, nenek dan Charel
mengikuti kemana Finza melihat. Tak jauh dari mereka terlihat Ryan sedang
menggendong Kenzie secara bridal style. Anak itu pingsan dengan seekor
keong sawah merayap di dadanya, dan mereka berdua kotor. Penuh lumpur.

4
“Pffft” Charel tak kuasa menahan tawa.

Nenek menatap datar dua pemuda itu.

‘Ari kalakuan’ batin nenek.

..................................................................................................................................................................
........................................................................

Jarum jam menunjuk pada angka 09:30 am. Pada pagi hari menjelang siang
yang cerah ini, dua pemuda duduk di belakang rumah nenek atau lebih
tepatnya di luar dapur si nenek. Pemuda yang satu tampak biasa saja, ini
Ryan. Sedangkan yang satunya, di samping Ryan tampak menggigil, ini
Kenzie. Pemuda itu menggigil bukan karena kedinginan, melainkan karena
ketakutan mengingat keong manis mendarat mulus di dadanya beberapa jam
yang lalu.

“Gara-gara kau Ryan, aku jadi harus mandi lagi.”

“Lebay. Sendirinya bikin jijik orang, cuih.”

“Tai.”

Hening, Ryan tak membalas ucapan Kenzie. Suara kayu yang dilalap api
mendominasi sekitar. Nenek sedang merebus air hangat untuk mandi Ryan
dan Kenzie.

“Padahal mah gapapa, Nek air dingin juga.” Ucap Kenzie memecah
keheningan.

“Nanti masuk angin, udah dagoan aja sebentar lagi.”

“Emm,” Alsera yang sedari tadi diam menyimak di dalam dapur angkat
bicara, “memang apa yang terjadi?”

5
Finza menatap sejenak Kenzie dan Ryan yang berada di luar, “Biasa,
kelakuan mereka.”

“Bukan aku! Ryan!” Protes Kenzie.

“Ya, ‘kan kau yang mulai!” Sahut Charel, “bikin sebel orang, jadinya
Ryan bawa keong khusus, ‘kan buat kau”

“Hmm” Kenzie ber-hm dengan nada tak enak didengar.

Sungguh, pada awalnya Kenzie sangat bersyukur melihat Ryan terpeleset dan
jatuh ke sawah. Namun semua berubah ketika Ryan melemparkan keong
yang dibawanya dengan estetik ke arah Kenzie sehingga keong itu mendarat
mulus di dadanya. Detik itu juga Kenzie langsung jatuh kaku, berguling ke
sawah. Kenzie tak sadarkan diri dalam waktu yang lumayan lama. Ia baru
sadar 10 menit yang lalu dan langsung dibawa nenek ke sini ‘buru balik ka
imah nenek, urang rebuskan air’ ucap wanita setengah baya itu yang masih
tercetak jelas di memori Kenzie.

“Kenzie pingsan lama kali tadi, susah banguninnya,” ucap Finza.

Kekehan terdengar dari Kenzie, “Padahal tinggal cium aja, aku pasti
langsung bangun.”

“Cium keong mau?” Tawar Ryan “kucariin, nih.”

“Bagus, Yan.” Charel tertawa di dalam dapur.

“Segitu takutnya, ya? Kalo aku cuma geli aja sih, haha” gumam Alsera.

“Aaah sial! Males mandi!” Kenzie mengacak rambut kesal.

Setelah mengatakan itu, Kenzie tak sengaja melihat Amanda lewat membawa
bekal dan mengenakan dudukuy naon sih nyebut na:v untuk melindungi

6
rambutnya dari panasnya cuaca pagi menjelang siang ini. Di mata Kenzie
gadis itu tampak bersinar tertimpa cahaya cerah mentari.

“Bidadariku,” gumam Kenzie.

Seolah mendengar apa yang Kenzie gumamkan, Amanda menghentikan


langkahnya sejenak dan melambaikan tangan sembari memasang senyum
ramah.

“Yo,” Ryan membalas lambaian tangan Amanda.

Berbeda dari Kenzie yang langsung buang muka ke samping. Jual mahal
kepada sang mantan.

“Finzaku sayang dimana yaaa.” ucap Kenzie dengan suara keras yang
dibuat-buat.

Iris jingga Ryan menatap Kenzie datar, “Amanda gak denger, tolol”

“Kok bisa?!” Tanya Kenzie antara panik dan malu.

“Dia udah pergi,” Ryan menanggapi santai.

Hawa penyesalan mengelilingi Kenzie. Apalagi saat Charel menatapnya hina


dari dalam dapur, tanpa menoleh pun Kenzie tau itu karena ia merasakannya.

“Terusin, biar malu na nambah” ucap Finza yang langsung dibalas


anggukan mantap dari Charel.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Terik matahari kian terasa membakar kulit semakin siangnya hari. Angin
berhembus lembut membelai, menghilangkan rasa gerah walau tak banyak

7
berpengaruh bagi sebagian orang. Gesekan daun pohon yang saling beradu
tertiup angin memasuki indera pendengar.

Di teras rumah nenek, Finza dkk sedang bersantai setelah aktivitas mereka
tadi. Ditemani sebaskom apanyebutnyawoy:v air kelapa muda.

“Ahh, minum cai kelapa emang yang terbaik pas siang-siang kieu!”
Ucap Charel setelah meneguk air kelapa di didalam gelasnya.

“Heuh, heg tong paho sarolat!” Ucap nenek.

Ryan memandang sawah di depan rumah nenek sambil meminum air


kelapa dalam gelasnya sebelum ikut bicara, “Adzan juga belum, Nek”

“Senangnya udah mandi~” Kenzie bersandar pada tembok rumah


nenek.

Iris hijau Finza menatap Alsera, gadis itu tersenyum, “Ngomong-


ngomong Alsera, tadi pagi kau kenapa?”

“Gpp” jawab Alsera cepat, singkat, dan padat membuat Finza dan
Charel tak tahan untuk tidak tertawa.

Nenek menatap bingung, “Emang ada apa?”

“Jangan bahas,” sambar Alsera cepat

Ryan menahan tawa, “Pfft, tadi aku lihat-“

“Charel, jangan seenaknya ngabeakeun cai kalapa yang di baskom”


tegur Kenzie melihat Charel mengambil baskom itu diam-diam.

Tangan Charel meletakan kembali baskom berisi air kelapa itu dengan berat
hati.

“Apa masalahmu? Kelapanya aing yang metik,” omel Charel.

8
“Heum, kusabab eta.”

Tanpa diduga Kenzie mengambil baskom yang baru saja Charel letakan, dan
menghabiskan isi didalamnya.

“Wedus!” Kaki Charel menendang Kenzie penuh dendam.

“Habis lohor nanti pasti jalannya lumayan kering, mau ke sungai gak?”
Tawar Finza

Ryan mengangguk setuju, “Hayu, urang ngusep.”

“Yuk yuk, terus urang bakar ikan malam na,” tambah Charel.

“Dimana bakar na?” Tanya Ryan.

Kenzie mendengus sebal sebelum bicara, “Tukangeun rumah si


Amanda, sekalian bakar imah na.”

Tak sampai 10 detik, Kenzie diam dengan sebuah benjolan di kepala.

“Atuh di sini aja,” saran nenek, “jangan jauh-jauh.”

“Iya ya,” Finza setuju, “habis isya nanti, oke?” iris hijau Finza menatap
Alsera, “Alsera juga harus ikut!” Ajaknya.

“Aku?” tanya Alsera

“Iya”

“Jadi duta shampoo lain? Ahahaha ups”

Hening, semua diam menatap Alsera. Oke. Garing.

“Ehm,” Alsera berdehem sesaat sebelum melanjutkan, “gimana nanti


aja.”

Charel menengok ke dalam rumah nenek, melihat jam.

9
“Jam setengah 12, pulang dulu, yuk” Charel berdiri, “nanti kumpul lagi
di sini.”

“Kuy,” Kenzie menyusul Charel yang sudah memakai sandal, “dah


neng Alsera.”

Ryan dan Finza ikut menyusul, keempat remaja itu mengucapkan terima
kasih sebelum benar-benar pergi.

“Makasih, Nek!”

“Nuhun, Nek. Cai kalapa na!” Ucap Ryan

Nenek mengangguk dengan senyumnya. Charel protes.

“Kalapa na urang nu ngarah!” Sentak gadis berambut biru kelam itu.

“Dadah Alseraa,” Finza melambaikan tangan

Alsera membalas, “Hm, dadah” senyum mengembang di wajah manis


Alsera.

Kenzie dkk perlahan menjauh dari rumah nenek dalam langkah mereka
bersama obrolan mereka tentang hari ini.

Di jalan . . .

“Emangnya habis hujan gede kamari ikannya gak ikut hanyut?” Tanya
Charel pada ketiga sahabatnya.

Ryan menggedikan bahu sesaat, “Mungkin ikut” jawabnya santuy.

Kening Charel mengerut heran, “Terus kenapa kau ngajak mancing?”

“Karena hayang” jawab Ryan tak lepas dari santuy.

Diam-diam dalam hatinya, Charel menghujat Ryan habis-habisan. Kakinya


mencak-mencak kemudian berbelok ke rumahnya yang hampir terlewat.
10
“Jangan ngomongin aing!” Jari tengah Charel terangkat sebelum ia
masuk ke rumah.

Finza melirik sesaat, “Siapa juga yang mau ngomongin”

Kini mereka berjalan bertiga bersama. Tidak ada yang memulai sebuah
percakapan. Baik Ryan, Kenzie, dan Finza ketiganya sama-sama diam. Sibuk
dengan pikiran masing-masing. Hingga angin siang kembali berhembus,
membelai ketiga surai yang berbeda warna.

“Ngomong-ngomong soal Charel...” Kenzie memulai. Mulai ngomongin


orang.

“Kenapa?” Finza ikut-ikutan.

“Rambutnya kapan panjang?”

Pertanyaan dari Kenzie membuat Finza berpikir, sebelum akhirnya Ryan


menimpali.

“Dia sudah manis begitu, kok. Jangan ada perubahan”

Iris hijau Finza menatap Ryan tak percaya, dari mana anak ini belajar berkata
seperti itu pikir Finza.

“Ryan, kau jangan dekat-dekat Kenzie. Kau jadi ketularan omong


kosongnya”

Ryan menatap heran Finza sesaat, “Apa maksudmu? Kau juga cantik,
kok.”

Tanpa pikir dua kali Finza mempercepat langkahnya, menjauhi Ryan dan
Kenzie.

“Dia gak suka dipuji, ya?” Tanya Ryan, iris jingganya menatap Finza
yang semakin menjauh.
11
“Biasalah cewek, malu-malu bangsat.”

..................................................................................................................................................................

Sesuai janji, mereka semua berkumpul lagi di rumah nenek pada pukul 1
siang. Berbincang sejenak mengenai rencana mereka di sungai hari ini dan
apa saja yang akan mereka lakukan di sana. Kemudian tepat jarum jam
menunjukkan pukul setengah 2 siang mereka bergegas berangkat menuju
sungai untuk memancing.

Begitu sampai di sungai, tanpa banyak lagi acara mereka segera mulai
memancing. Takut keburu sore juga.

“Sial, apa asiknya mancing ikan?!” Ryan berkata tiba-tiba.

Kenzie melirik Ryan kesal, “Bukannya ini idemu, tai?”

“Yah, dan entah kenapa aku hilang mood”

Ucapan Ryan memicu mode sadis Kenzie muncul.

“Mati lu!” Kenzie menenggelamkan kepala Ryan ke dalam air.

“Tolong, akan terjadi pembunuhan di sini” Ryan bicara dalam air,


terdengar ngerebek.

Satu menit kemudian Ryan tepar di dekat batu sungai. Masih bernyawa,
membuat Kenzie berpikir jika itu sangat disayangkan.

“Masa hari ini mau hujan lagi, sih...” ucap Charel menatap gumpalan
hitam di langit.

“Ah. Awan hitam itu, ya?” Finza ikut melihat.

“Perlahan kemari,” tambah Alsera.

“Dan kita belum dapat ikan satupun” Kenzie berdiri di samping Finza.

12
“Ngomong-ngomong sekarang malam jum’at, ya?”

“Astoge! Iya, Fin! Yasinan di masjid! Kita gak boleh kalah dari Icih, Ecih,
Asep, Yusuf! Kita harus nyampe duluan!” Charel bicara heboh.

Kenzie memandang datar gadis kelapa itu, “Ini masih jam 2. Apa
maksudmu siap-siap?”

“Aku lupa, ehe.” Charel nyengir.

“Ah, kurasa kita lupakan saja rencana bakar ikannya. Soalnya habis
yasinan pasti ada ceramah 1 jam 30 menit dari pak Ustadz.” Jelas Finza.

“Yaudah, kita pulang aja.” Ajak Charel.

Mereka pun berjalan pulang bersama, sembari mengobrol di jalan untuk


mengisi adegan.

“Kayak ada yang lupa,” ucap Finza.

“Masa? Kau ‘kan gak bawa-bawa apa-apa? Apa yang lupa?” Charel
balik bertanya.

Kenzie menyahut, “Mungkin bukan sesuatu yang penting, udah biarin


we.”

Finza ber-hmm sambil mengangguk.

“Kalian sehabis yasinan mau langsung pulang?” Tanya Alsera tiba-tiba.

Kenzie melirik Alsera yang berjalan di sampingnya sesaat, “Kenapa,


Neng? Apa ada perlu sesuatu?”

“Emm iya...”

“Kenapa?” Finza ikut bertanya.

13
“Sebenarnya aku mau ngundang kalian ke rumah nenek kalo kalian gak
ada acara lagi sehabis dari masjid, haha. Tapi kalo kalian mau langsung
pulang apa boleh-“

Belum selesai bicara ucapan Alsera dipotong cepat oleh Charel.

“Bisabisabisa! Kami pasti datang!”

Alsera tertawa canggung, “Iya, buat ngeganti kegiatan mancing yang


gak jadi kita cerita-cerita horror aja gimana?” Sebelum ada respon
Alsera melanjutkan, “aku suka cerita horror khas pedesaan.”

Kenzie mengangguk, “Boleh, kayaknya seru.”

“Kami nanti datang jam 9” ucap Finza, “beresnya jam segitu”

“Hmm, Alsera. Mau denger gak?” tanya Charel tiba-tiba, namun


sebelum Alsera menjawab gadis itu melanjutkan ucapannya, “katanya
dulu ada arwah orang bunuh diri yang bergentayangan, sampai
sekarang masih ada, sih. Tapi aku udah hampir gak pernah denger ada
orang yang diganggu lagi” jelas gadis itu.

“Ohh itu” tanggap Finza, “dulu sering denger ada beberapa orang yang
pernah diganggu termasuk Ryan, eh?” Finza menyadari apa yang ia
lupakan tadi. “Iya, Ryan mana?”

“Di sini,” ucap Ryan tiba-tiba muncul di tengah-tengah Kenzie dan


Finza.

“Sejak kapan di sini, borokokok?!” sentak Finza kaget.

“Sejak kalian ngobrollah”

“Bilang daritadi kek, muncul kok pas orang lagi ngomongin horror,”
omel Charel, ia juga ikut kaget.

14
“Hehe, biar dramatis”

“Ndasmu!” Finza memukul pelan Ryan. Pemuda itu hanya terkekeh


geli.

“Bagus ya kelakuan” tambah Kenzie.

“Orangnya... bunuh diri karena apa?” tanya Alsera menarik kembali


topik yang hampir terlupakan karena kemunculan Ryan.

“Humm,” Charel berpikir sejenak, mengingat-ngingat. “Ada yang


bilang karena banyak hutang, terus dia gak sanggup bayar. Ekonominya
lagi seret, tapi gatau juga, deh.”

“Ada juga yang bilang karena ditipu orang,” timpal Finza. “Terus
keluarganya mengucilkan dia karena ya gitu, malu. Punya anggota
keluarga kena tipu, katanya sih keluarganya elit,” lanjutnya.

“Ohh,” Alsera mengangguk. “Jadi gak mau ngakuin dia sebagai


keluarga lagi karena malu ya, punya anggota keluarga yang bisa kena
tipu, elit lagi,” gadis pemilik iris citrine itu tampak berpikir, “mana yang
bener, ya?”

“Yang diomongin Finza,” timpal Ryan tiba-tiba.

“Heee~” Kenzie menatap remeh, “tau darimana?”

Ryan tertawa sejenak sebelum menjawab.

“Yaaa kalian coba denger-denger, dulu orang-orang lebih banyak


gosipin yang mana?” tanya balik Ryan.

“Sering diomongin itu nggak berarti itu juga sumbernya,” jawab Alsera.

15
“Haha, iya cerdas. Terserah kalian” Ryan nyengir sebelum melanjutkan,
“ada yang bilang kalau kalian ngomongin sesuatu kayak gitu katanya
dia bakalan muncul”

“Heh!” Finza memukul Ryan, “Jangan nakut-nakutin, tai!” ucap Finza


dan Charel bersamaan.

Ryan terkekeh, “Bercanda bercanda.”

“Bercandamu jelek!” cibir Finza.

Lamanya perjalanan tak terasa jika ada sebuah hal yang menjadi topik
pembicaraan. Mereka sampai di depan rumah nenek.

“Gak masuk dulu?” tawar Alsera.

“Gak, Neng,” Kenzie bersiap pergi bersama ketiga temannya, “mau


beberes.”

“Aku mau mampir dulu-“ belum selesai Ryan berucap, Kenzie langsung
menyeret pemuda itu pergi.

“Dah, Alseraa.” Charel melambaikan tangan, begitu juga Finza.

“Iya, aku tunggu kalian.” Alsera tersenyum, kemudian masuk ke rumah


nenek.

Sementara itu di sungai. . .

“Duh~” pemuda itu bergumam sakit merasakan kepalanya pusing saat


kesadarannya kembali, iris jingganya melihat ke sekitar. Sepi. “Loh, pada

16
kemana ieu manusa teh?” Ia menoleh ke sana kemari namun nihil, ia tetap
tidak melihat satu orangpun.

Ryan bangkit berdiri, ia mengumpat sebelum pergi darisana, “Bangsat!


Aing ditinggalin sendiri dong, asu!”

..................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................

Hari telah menunjukkan gelapnya. Tugas sang mentari telah tuntas. Bulan
bersinar sebagai pengganti. Menyinari kelamnya langit malam. Walau tak
seperti cahaya siang hari, bulan tetap bersinar dengan keindahannya.

Pukul 07:00 pm, di masjid, acara yasinan sudah selesai diganti oleh acara
ceramah 1 jam 30 menit dari pak ustadz. Di tengah-tengah acara ceramah,
Kenzie berbisik pada Ryan yang duduk tepat di sampingnya.

“Oy, Yan. Nanti kau ikut, kan?”

Ryan menatap heran Kenzie, “Ikut kamana?”

“Jangan so pikun!’

“Serius woy, milu kamana?”

Kenzie memutar bola mata kesal, “Bukannya tadi siang kau dengar
Alsera ngundang kita ke rumahnya, buat ganti acara mancing yang gak
jadi” jelas Kenzie.

“Siang yang mana, babi. Kalian ninggalin aing sendiri di sungai!” ucap
Ryan dengan emosi mengingat kawan-kawannya itu meninggalkan
dirinya sendirian tak sadarkan diri di sungai.

“Ryan, kalo pikun jangan sampai parah gini atuh”

“Lah? Kalian sendiri yang ninggalin aing sendiri di sungai, gimana sih?”
17
“Terus tadi yang ikut balik sama aing saha ari lain sia, pekok?!”

“Mana kutau, anjing!” Ryan makin nge-gas, “aing balik sendiri tadi
mah”

Mereka berdebat. Kenzie terus mendesak Ryan untuk mengaku bahwa yang
tadi siang ikut pulang itu dirinya, namun Ryan tetap mengelak bahwa itu
bukan dirinya. Ryan terus mengatakan jika dirinya pulang sendiri dari sungai,
tidak bersama Kenzie dan yang lainnya. Mau tak mau jantung Kenzie serasa
berhenti berdetak, tadi siang memang ada yang agak berbeda dari Ryan.
Pemuda itu lebih banyak terkekeh dan tersenyum. Sedangkan Ryan yang ia
kenal itu so alim dan suram.

“Pffft,” Ryan menahan tawa. “Diganggu nyah siah,” lanjutnya membuat


Kenzie merinding.

Acara ceramah selesai tepat jam 9 malam. Semua orang bubar, keluar dari
masjid termasuk Finza dkk. Kenzie segera menghampiri Charel dan Finza
yang sudah menunggu tak jauh dari pekarangan masjid. Meninggalkan Ryan,
yang tengah mencari sandal swaslow miliknya yang tercampur dengan sandal
orang lain.

“Hey, kalian harus tau.” Kenzie meneguk ludah susah payah sebelum
melanjutkan, “yang tadi siang itu bukan-“

“Bukan aing gaes!” Potong Ryan, pemuda itu berdiri di belakang


Kenzie.

Terperanjat kaget, Kenzie langsung mengambil tempat di samping Ryan,


memukul pemuda itu.

“Maksudnya?” tanya Finza.

“Bukan Ryan? Hah, kumaha?” Charel penasaran.


18
Kemudian Ryan dan Kenzie menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi tadi
siang. Menjelaskan bahwa yang tadi pulang bersama Kenzie dkk itu bukan
Ryan, dan Ryan yang pulang sendiri karena ditinggal sendirian di sungai.

......................................................................................................................................
..................................................................................................................................................................

Bulan bersinar terang di atas bersama langit kelam, menerangi jalan yang
tengah Kenzie dkk tapaki. Mereka sedang di perjalanan menuju rumah nenek
dan suara gelak tawa yang sangat bahagia terdengar menggelegar dari
pemuda bernama Ryan Satya mengiringi langkah mereka. Pemuda itu
berjalan dengan sombong sendiri di depan sambil mengenakan sarung yang
diselendangkan bak Si Kabayan.

“Bhahaha! Gak kusangka kalian juga diganggu!” ucap Ryan ditengah


tawanya, “sekaligus tiga-tiganya pula bahahahaha!”

‘Sialan’ batin Charel dan Finza.

“Hadeh” Ryan menghentikan tawanya, cape lama-lama. “Makanya


jangan ninggalin orang sendiri di sungai” perlahan Ryan menoleh, “ada
yang gantiin ‘kan.” Pemuda itu nyengir sebelum akhirnya kembali
memperhatikan jalan.

Kenzie, Finza, dan Charel merinding seketika.

“Y-ya mana kutau,” Finza berusaha menyangkal tidak tau harus


bagaimana lagi.
“Anu...” Kenzie bersuara, “Finza, Charel aku sangat senang kalian dekat
denganku. Tapi jangan dempet-dempet gini woy! Aing susah jalan ini!”
lanjutnya sambil mendorong Charel dan Finza yang mendempetnya,
namun tak didengar, dua gadis itu tetap di ‘dekat’ Kenzie.

19
Tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkah mereka. Tak jauh dari tempat
Ryan dkk berhenti, terlihat 2 orang pemuda seumuran mereka berdiri
menghadang.

“Oy, maraneh!” salah satu dari mereka memulai.

“Naon?” balas Ryan.

“Ikut, euy. Mau pada kemananya?” masih dari orang yang pertama
memulai. Asep Dadap, remaja muda yang selalu mencari kesenangan
dalam hal positif dan negatif yang tidak berlebihan.

Di samping Asep, satu orang lagi tampak menggelengkan kepalanya melihat


Kenzie didempet 2 orang gadis.

“Kenzie ish ish, meuni diborong gitu” ucapnya. Yusuf Pratama akrab
dipanggil Ucup, teman dekat dari Asep dan disebut-sebut sebagai
pangeran Desa Rambutan karena ketampanan paras serta hatinya yang
baik hati, rajin menabung, dan tidak sombong.

“Yaa gini nasib punya teman penakut,” nada mengejek terdengar di


ucapan Kenzie, membuat Finza dan Charel segera menjauh.

“Matamu,” ucap Finza.

“Awas kau,” Charel mengancam.

Ryan meneruskan langkahnya diikuti yang lain termasuk Asep dan


Yusuf, “Mau ka rumah si Nenek Gayatri, ikut?” tawarnya sembari terus
berjalan.

“Emang aya acara apa?” tanya Yusuf.

“Cerita-cerita horror, mumpung malam jum’at” jawab Kenzie.

20
“Ikut, ah. Erek moal, Cup?” ajak Asep pada Yusuf yang berjalan tepat di
sampingnya.

Yusuf mengangguk, “Hayu hayu wae.”

Mereka berjalan bersama ditemani cahaya bulan yang menerangi setiap


langkah. Bersama suara lolongan anjing yang terdengar jauh dari kampung
sebelah. Bersama hembus angin malam yang dingin menusuk kulit.

.........................................................................................................................................
..................................................................................................................................................................

“Alsera, kau gak apa kan nenek tinggal dulu sendiri?” tanya nenek,
wanita itu tampak buru-buru.

Alsera mengangguk, “Iya, Nek. Lagian aku ajak Finza sama yang lain ke
sini, mungkin sebentar lagi mereka datang.”

“Baiklah, nenek juga cuma sebentar kok ke rumah tetangganya. Kasihan


dia lagi sakit, mau nenek jenguk.”

“Iya, gih berangkat. Nanti keburu kemaleman”

Alsera bersalaman dulu dengan nenek, sebelum wanita itu berangkat. Ia


tersenyum saat sang nenek mengelus lembut puncak kepalanya.

“Jangan tidur malem pisan, ya?”

“Iya, Nek.”

..................................................................................................................................................................
.......................................................................................................

Jarum jam menunjukkan pukul 09:10, Kenzie dkk sampai di rumah nenek
setelah perjalanan dari masjid dan melewati sebuah rumah yang tidak

21
terpakai. Rumah kosong. Mereka tampak terengah-engah karena tadi sedikit
berlari.

“Hadeh, euy!” Ryan terduduk di teras rumah nenek, napasnya


terengah-engah.

“Gelo,” ucap Asep, “cape aing”

“Assalamualaikum, Nek!” Kenzie memanggil lumayan keras.

“Punten!” tambah Charel.

Pintu terbuka, menampilkan Alsera yang memasang senyum ramah.

“Ayo masuk.”

“Saha? Geulis euy,” bisik Asep pada Yusuf.

“Teuing, da awewe,” balas Yusuf.

Di dalam rumah mereka semua duduk melingkar dengan makanan yang


berada di tengah-tengah. Tidak lupa Asep dan Yusuf memperkenalkan diri,
mereka berdua berebut salaman dari Alsera. Si gadis kota tersenyum lucu
melihat tingkah kedua pemuda itu.

“Ngomong-ngomong nenek kemana, Ra?” tanya Charel.

“Baru aja nenek pergi ke rumah tetangga, kukira kalian papasan sama
nenek,” jelas Alsera

“Hooo oke,” Charel mengangguk.

“Jadi mau gimana ceritanya?” tanya Ryan, iris jingganya menatap


Alsera.

“Oh, itu.” Alsera tersenyum, “mau siapa dulu yang mulai?” Iris citrine-
nya menatap satu per satu teman-temannya.

22
“Bentar Ra,” cegah Finza kemudian ia menyeret Alsera ke tempat yang
agak jauh dari perkumpulan itu. Kenzie dan Charel menyusul.

“Kenapa, Finza? Emm Kenzie? Dan... Charel?” tanya Alsera bingung


melihat ketiga orang itu menyudutkannya.

“Kau harus tau, kalau yang tadi siang itu...”

Kenzie menjelaskan semua yang terjadi tadi siang, dan siapa Ryan yang
sebenarnya ikut pulang dengan mereka. Alsera mematung mendengarnya.
Iris citrine gadis itu menatap Ryan dengan tatapan ngeri. Seolah tahu apa
yang sedang kawan-kawannya jelaskan pada Alsera, Ryan nyengir dengan
entengnya alis terangkat naik turun.

“S-sekarang... dia asli, kan?” Alsera kembali menatap Kenzie.

“Iya, tadi ikut yasinan,” jawab Kenzie.

Setelah menjelaskan soal Ryan, Kenzie, Finza, Charel serta Alsera kembali
duduk. Ada yang sedikit berbeda dari Alsera, gadis itu duduk mendekatkan
diri dengan Finza dan Charel. Matanya menatap Ryan was-was. Ia takut.
Jujur.

“Ngomongin naon, sih?” Asep penasaran.

“Haha bukan apa-apa,” Charel memukul pelan Asep yang duduk tepat
di sampingnya.

“Ehm, jadi siapa yang mau mulai duluan?” Alsera kembali bertanya,
“bebas, kok. Pengalaman sendiri atau apapun itu”

“Ah,” Asep bersuara lagi, “aku ada pengalaman horror.”

“Iyakah?” Finza menatap Asep penasaran, “kayak gimana?”

“Kejadiannya udah lama, sih” ujar Asep, “Jadi gini...”


23
Cerita Asep. . .
Jam menunjukkan pukul 21:30, Awan kelam malam menutup cahaya bulan yang
bertugas menggantikan mentari, mengharuskan Asep dan Yusuf menyalakan sebuah
senter untuk menerangi jalan yang mereka pijak. Kedua pemuda itu baru saja pulang
dari warung sehabis membeli cemilan untuk teman begadang malam ini.

Hening, tidak ada yang membuka percakapan dari salah satu mereka berdua.
Suara langkah kaki yang menginjak tanah terdengar mendominasi indera pendengar
keduanya. Hingga Asep yang bosan diam saja memulai percakapan.

“Cup, ari kau beres sekolah mau kemana?”

“Balik ke rumahlah,” jawab Yusuf enteng.

“Iya ya, beres sekolah mah balik ke rumah”

Percakapan tidak berguna itupun berakhir begitu saja. Keduanya kembali diam.
Untuk sampai ke rumah Yusuf (tempat gadang mereka malam ini) harus melawati
sebuah pos kamling. Pos itu tampak sepi tak ada orang. Pasti yang kebagian jadwal
ronda malam ini sedang berkeliling kampung. Pos dilewati tanpa ada sebuah
keanehan. Yusuf dan Asep tampak biasa saja. Hingga sebuah suara membuat mereka
berhenti.

Tung tung tung

Suaranya terdengar seperti pentungan yang dipukul saat ada maling terlihat. Yusuf
dan Asep saling bertatapan, lalu menggedikan bahu. Acuh tak acuh mereka kembali
jalan. Namun suara itu kembali terdengar.

Tung tung tung

Kembali berhenti, Asep dan Yusuf saling menatap lagi. Mereka berdua menoleh sesaat
ke belakang melihat pos kamling yang begitu sepi. Lampu di sana menyala,
menampakkan jelas sebuah pentungan yang digantung.
24
“Naon, sih?” Asep menggaruk kepala, “angin?”

“Ntah, konslet meren, yuk ah” Yusuf berjalan lagi, Asep ngikut di
sampingnya.

“Masa? Bambu bisa konslet?” gumam Asep.

Tung tung tung

Tung tung tung

Asep dan Yusuf berhenti lagi. Geram karena bunyi itu mengganggu Asep berbalik.
Bicara keras.

“KERAS! Eh, bukan! Amang jangan jahil atuh!’

Tidak ada respon apa-apa karena memang pada dasarnya tidak ada siapapun di sana,
dan pentungan itu kembali berbunyi.

Yusuf dan Asep melihat dengan mata kepala mereka sendiri. Pentungan itu berbunyi
sendiri tanpa ada yang memukul. Pemukul yang seharusnya digunakan tetap diam di
tempat.

Tung tung tung

Tung tung tung

Tung tung tung

Mereka berdua juga merasakan tidak ada hembus angin sepelan apapun yang bertiup.
Tidak ada tanda-tanda apapun yang bisa menjelaskan pentungan itu berbunyi. Yang
jelas pentungan itu berbunyi sendiri. Tanpa ada manusia di dekatnya.

Cerita Asep selesai.

25
“Terus... kalian gimana waktu itu?” Alsera bertanya, wajahnya tegang
mendalami cerita Asep yang didengarnya. Napasnya tampak lebih
pendek dari napas normal.

“Larilah, ngapain lagi,” jawab Asep. “Bayangin aja barang yang ada di
dekatmu atau apapun itu bunyi sendiri padahal gak ada rangsangan
yang buat benda itu bunyi.”

Glek! Mereka semua menelan ludah, baru cerita pertama saja sudah membuat
seluruh bulu di badan berdiri. Kecuali Yusuf, pemuda itu terlihat biasa saja
karena memang dia dan Asep yang mengalami. Lagian itu kejadian lama, tapi
jujur itu masih membuatnya sedikit merinding walaupun tidak seperti yang
lain yang baru mendengarnya.

“K-kalian yakin di sana gak ada orang sama sekali?” Finza masih tidak
percaya sekaligus takut.

“Iya, Fin. Lagian kalo ada orang mana mungkin kami takut,” kali ini
Yusuf angkat bicara.

“Kok bisa, ya?” Ryan tampak berpikir.

“Entahlah,” jawab Asep. “Sekarang aku dan Ucup males lewat sana lagi
kalo gak ada orang,” lanjutnya.

Yusuf meng-iyakan dengan anggukan, “Hm, aku nginep di rumah Asep


aja, pulang pagi.”

“Iya, sih” Kenzie bersuara, “pasti males lewat sana lagi.”

“Bukan males, tapi takut kali.” Charel tersenyum canggung, namun


perasaannya didominasi rasa takut.

“Haha ya kira-kira seperti kitulah” ucap Asep.

26
“Em, aku gak punya pengalaman horror sih, hehe” ucap Alsera, “jadi
selanjutnya mau siapa? Aku nanti terakhir, bikin cerita sendiri.”

“Aku aku” Kenzie menawarkan diri. “Mungkin Ryan, Charel sama


Finza udah pernah denger ini dari aku tapi-“

“Hmm cerita mah cerita aja atuh,” potong Charel dengan nada sebal.

Kenzie berdecih, “Cih, iya iya.” Pemuda itu membuang napas pendek
sebelum memulai, “jadi pas hari itu...”

Cerita Kenzie. . .
Hari masih gelap, bulan pun masih menunjukkan eksistensinya di atas sana, bersama
kelamnya langit yang ditaburi kerlipan bintang. Jarum jam mengarah pada angka
04:45. Kenzie Satriya baru saja selesai menjalankan ibadah berjalan ke dapur,
barangkali melihat mamanya sedang memasak dan butuh bantuan. Namun pemuda
itu mendengar suara sang mama masih melantunkan ayat suci di kamarnya,
membuat Kenzie hampir putar balik jika indera pendengarnya tidak menangkap suara
dentingan benda beradu di dapur.

‘Siapa dah? Ayah kah? Ah masa jam segini udah pulang’ batin Kenzie

Pemuda itu paham jadwal pulang pergi sang Ayah, di hari jum’at ayahnya akan
berangkat ke pasar membuka lapak di sana dan menginap. Jum’at dan sabtu masih di
sana, dan minggu baru pulang lagi. Dan sekarang memang hari minggu, tapi sangat
jarang Kenzie mendapati sang ayah pulang pagi kecuali pria itu sangat kangen
dengan sang istri. Astaga, Kenzie menahan senyum. ‘Kapan aing gitu bhahaha’
pikirnya.

Sampai di dapur iris mata Kenzie yang sewarna emas melihat sosok sang ayah sedang
menyeduh kopi. Kenzie heran, sejak kapan?

Kenzie melangkah mendekat, “Tumben jam segini udah ba-“

27
Bunyi klakson mobil menghentikan ucapan dan langkah Kenzie. Pemuda itu menoleh.
Kemudian berlari ke depan. Suara yang ia kenal memanggil namanya, minta
dibukakan pintu.

Pintu dibuka. Kenzie mematung. Sang Ayah baru saja pulang dari pasar.

“Euy! Pagi-pagi kunaon?! Kayak yang udah liat setan wae kau mah” ucap
ayah Kenzie, “nggak nanya kenapa urang balik lebih awal, yeuh?”

Kenzie masih diam mematung, mendapat tatapan heran dari ayahnya. ‘Tumben ini
anak begini’ pikir sang ayah, karena biasanya Kenzie akan menggodanya karena
pulang lebih awal pasti merindukan Mama.

‘Y-yang kulihat tadi itu siapa, anjir?” Batin Kenzie, ‘kuajak ngomong pula’

Kenzie berkutat dengan pikirannya sendiri sebelum bunyi benda kaca yang pecah
membuyarkan pikirannya.

Ayah Kenzie menoleh. Kenzie juga. Sang Mama yang sudah selesai dengan
kegiatannya keluar kamar, menatap Kenzie dan suaminya siap memarahi salah satu
dari dua orang itu atau dua-duanya sekaligus jika penyebabnya adalah mereka.
Namun bunyi itu berasal dari dapur, dan tidak ada siapaun di sana. Mereka juga
tidak memelihara kucing atau apapun itu.

Ayah Kenzie segera pergi ke dapur, memeriksa apa yang pecah disusul istri dan
anaknya. Hawa dingin menyapa begitu mereka sampai ke dapur. Wangi kopi
bercampur bunga menerobos indera penciuman membangunkan bulu kuduk di badan.
Mereka lihat, pecahan gelas dan ceceran air kopi berantakan di ruang dapur.

“Kamu bikin kopi, Ken?” Tanya mama Kenzie, wanita itu merapatkan diri pada sang
suami. EHM.

Kenzie menggeleng, “Nggak, justru tadi aku liat ayah lagi bikin kopi.”

28
“Hah?!” Orang tua Kenzie kaget bersamaan.

“I-iya, kukira ayah udah pulang... ehh ternyata baru datang.”

Blam! Suara pintu depan yang dibanting cukup keras mengagetkan ketiganya.

“A-aku beresin ini dulu,” ucap mama Kenzie, namun sang suami menghalangi.

“Jangan, nanti luka terus ada sesuatunya, biarin dulu. Urang rek manggil orang”
ayah Kenzie berkata demikian sambil menuntun sang istri ke ruang tamu. EHM.
Kenzie ngekor di belakang dan mendengar sebuah suara tawa dari dapur.

‘Haha’

Cerita Kenzie selesai.

Semua terdiam, tidak ada yang bersuara untuk menanggapi. Bahkan Alsera
yang tadi siang mengatakan ia suka cerita horror khas pedesaan diam
membisu. Tidak tau harus berkata apa. Hingga akhirnya Finza memecah
keheningan itu. Seram lama-lama.

“Ehm! Nah itu cerita dari Kenzie” ucap gadis itu, Kenzie tersenyum
melihat Finza memancing teman-temannya untuk bersuara.

“Itu... terus gimana, Ken?” Tanya Alsera.

“Ih gila aing baru tau, kenapa kau gak cerita-cerita ke aing?” Asep
heboh sendiri.

“Aing jarang ketemu sama kau, gimana mau cerita!” Jawab Kenzie,
“nge-gay terus sih sama Ucup.”

Yusuf menendang Kenzie yang tertawa terbahak-bahak. Iris sewarna emas


Kenzie kemudian menatap Alsera.

“Apanya yang gimana?”

29
“Yaaa itu... pecahan gelasnya... diberesin sama siapa?”

“Ohh, itu diberesin sama orang yang ahli dong,” jawab Kenzie. “Itu
bukan pecahan biasa, untung insting ayah bagus ngehalangin mama”

Yusuf memandang Kenzie, “Itu... bukan sekadar diganggu biasa, kan?”

Anggukan dari Kenzie menjawab pertanyaan Yusuf ditambah sebuah


jawaban Kenzie yang makin memperjelas, “Iya, kiriman orang. Mau
ngerusak keluarga”

“Orang-orang... kalo mau ngehancurin sesuatu niat banget, ya...” ucap


Alsera.

“Ya gitu, Ra. Itu karena mereka gak bisa seperti apa yang mereka liat,
jadi mereka ngehancurin itu supaya puas dan gak liat apa yang mereka
liat itu.” tanggap Charel.

“Kenapa gak ngehancurin matanya sendiri aja, ya?” Finza kesal sendiri,
walaupun sudah pernah dengar tetap saja emosinya tersulut mengingat
keluarga sahabatnya itu hampir kenapa-napa.

“Karena mereka gak mau rusak, tapi mereka gak sadar berbuat gitu
sama orang lain udah bikin mereka rusak,” ujar Yusuf.

Ryan yang sedari tadi hanya mendengarkan angkat bicara, “Kelakuan,


kalo mau ngopi ya ngopi aja. Jangan sambil ngerusak, mau mau aja
disuruh setan kon-”

“Itu udah kelewat batas, siapa sih yang begitu?” Asep kembali bertanya.

“Orang,” jawab Kenzie sambil memasang cengiran di wajahnya. “Orang


gila,” lanjutnya.

30
“Itu kejadiannya kapan? Em sekarang udah gak apa-apa, kan?” Raut
wajah dan tatapan Alsera menunjukkan kekhawatiran.

“Tahun lalu, sekarang mah aman, Neng”

Alsera membuang napas lega. Bersyukur dalam hati.

“Giliranku ah!” ucap Charel tiba-tiba.

“Oh, boleh,” Alsera mengangguk melihat gadis bersurai biru kelam itu
menawarkan dirinya untuk bercerita.

“Ini... aku gak tau bisa nyebut ini pengalaman horror atau bukan.
Soalnya aku cuma liatin orang yang kena... yaa walaupun kita juga
sedikit terlibat”

“Kena? Kita?” Tanya Alsera.

‘Ahh cerita itu’ batin Yusuf, “dengerin aja” ucapnya.

“Kejadiannya di sekolah, dua tahun lalu...”

Cerita Charel. . . Hmm ini akan jadi cerita yang sedikit panjang
Berangkat sekolah merupakan aktivitas yang menjadi rutinitas setiap pagi bagi para
pelajar yang masih menempuh pendidikan dijenjang SMA dan SMP. Termasuk
Kenzie cs, mereka terlihat memasuki gerbang sekolah bersama-sama sambil sedikit
tertawa karena cerita yang entah dari siapa terdengar begitu lucu.

“WADUH LIAT HEY!” Teriak seseorang tiba-tiba.

Kenzie cs refleks berhenti, penasaran. Mereka menoleh ke arah sumber suara. Ahh
anak itu lagi, batin mereka bersamaan.

Tidak jauh dari gerbang tampak seorang gadis dengan pakaian lusuh memasuki area
sekolah dan ia dicegat oleh sekumpulan orang gila yang suka mengganggu.
Pemandangan ini bukan hal aneh lagi bagi siswa siswi di sana. Mereka yang tidak
31
memiliki kuasa apapun hanya bisa lewat dengan berat hati meski ingin
menyelamatkan. Iya, salah satu dari pengganggu itu adalah anak dari orang yang
memberi donasi ke sekolah ini sehingga sekolah ini bisa terus berdiri.

“Sekolah ini gak nerima gembel,” ucap gadis yang seolah berkuasa itu, cuih
padahal ortunya yang bayarin dasar NAK KON-

“Gembel bau mana boleh masuk”

Kemudian mereka tertawa. Kenzie cs bertanya-tanya apa yang lucu? Merendahkan


orang lucu bagi mereka? Padahal karena ulah mereka gadis itu jadi berpenampilan
seperti sekarang. Kenzie cs memang tidak tau asal usul gadis itu tapi dulu
penampilan gadis itu tidak begitu. Oke, kita sebut saja ‘gadis itu’ Clara dan gadis
pengganggu babi Ryna.

Pagi ini Ryna agak kelewatan, ya walaupun dia memang sudah kelewatan dan tidak
waras dari awal namun kali ini berbeda. Tindakan mereka pada Clara mengundang
Kenzie cs untuk berbuat sesuatu.

“Heh!” Charel memulai, ia menghampiri Ryna, “kamu makin hari makin jadi
ya nyakitin orang! Apa untungnya sih buatmu!”

“Hee~” Ryna menatap rendah Charel, “terus kau mau apa? Kau mau aku
bilang sama ayah untuk berhenti ‘nyumbang’ ke sekolah ini terus sekolah ini
berhenti dan kalian jadi orang yang gak berpendidikan”

“Percuma punya pendidikan tapi gak punya moral,” ucap Finza pelan namun
sampai ke telinga Ryna.

Ryna menghampiri Finza, berdiri tepat di depan gadis itu.

“Ulangi sekarang, jangan cuma-“

32
“Percuma punya pendidikan tapi gak punya moral,” ulang Finza penuh
penekanan di setiap kata tepat di depan Ryna.

PLAK!

Sebuah pukulan keras menyapa pipi Finza hingga membuat gadis itu menoleh ke
samping. Semua yang menyaksikan terdiam, mereka ingin membela Kenzie cs, apalagi
Finza gadis itu memang terkenal dengan omongannya yang menusuk tepat sasaran
dan Ryna seharusnya tertampar karena ucapan Finza. Tapi malah Finza yang terkena
tamparan.

“Ups,” Ryna menahan tawa. “Tanganku gerak sendiri maaf ya cantik”

Tidak semua diam. Kenzie menarik Finza mundur, Ryan dan Charel mendorong
Ryna.

“Kau ini apa-apaan! Lihat sekarang orang yang keliatan gak punya pendidikan
itu siapa?!” Ryan emosi.

“Dia lah,” Ryna menjawab santai, telunjuknya dengan tidak sopan menunjuk
Finza, “ah, dan kalian juga”

“Hmh!” Finza masih bisa bersuara tamparan begini cetek bukan apa-apa
untuknya, “kenapa nampar? Kesindir? Kau emang punya pendidikan tapi gak
punya moral.” Gadis itu ingin menghampiri Ryna, ingin mematahkan semua
jarinya supaya Ryna tidak bisa menunjuk sembarangan lagi, namun Kenzie
menahannya.

“Kalau kau suka ngerendahin orang lain, suatu saat kau yang bakal
direndahkan!” ucap Charel membuat Ryna meludah.

‘Memang tidak sopan si babi ini’ batin Kenzie, ia menahan diri agar tidak
melepas singa yang ada dalam pegangannya.

33
“Geli, ya. Orang kampung bilang kata-kata bijak”

“Hajar Ryn, haha” ucap teman-teman Ryna di belakang.

“Apa?” iris hijau Finza menatap nyalang, “maju sini”

Bel sekolah berbunyi, menghentikan keributan yang hampir menjadi-jadi. Namun


Ryna tidak memperdulikan itu, ia melepas sepatunya dan melemparkannya pada
Finza yang untungnya dihalangi oleh Kenzie.

“Makan tuh sepatu mahal,” ucap Ryna sambil berlalu pergi, ia melemparkan
sepatu sebelahnya pada Clara cukup keras dan menendang gadis itu.

“Bangsaaaat” Finza mendesis kesal, Kenzie tersenyum iblis maklum sembari


mengelus puncak kepala Finza berusaha meredakan amarah gadis itu.

Ryna dan kawan-kawannya pergi setelah menendang Clara. Melihat itu Kenzie cs
menghampiri Clara yang sedang bangkit berdiri, namun langkah mereka terhenti.
Mereka lihat dengan jelas bahwa Clara tersenyum. Bukan senyum biasa, senyum itu
menyiratkan sebuah arti.

“Terus?!” potong Alsera di tengah cerita, “a-apa yang-“

“Ssst!” Asep memotong ucapan Alsera.

“M-maaf hhe”

“Sans, Ra. Itu masih awal,” ucap Finza.

Charel mengangguk, “Yup, masih panjang ini.”

“Oke, lanjut” Alsera mengangguk semangat.

“Nah ‘kan beberapa hari setelah kejadian itu, Ryna jadi rada ngeganggu
kita tapi masih pro ke Clara, sih” Charel melanjutkan, “habis liat Clara
senyum aneh gitu kan aku dan yang lain jadi agak merhatiin si Clara

34
juga. Nah kayaknya Clara sadar ada yang beda dari kita, terus suatu
hari tiba-tiba Clara ngomong ‘aku tau kalian jadi agak merhatiin aku,
dan aku tau alasan kalian. Ada baiknya kalau kalian gak usah terlalu
memperhatikan yang gak perlu’ gitu katanya”

“Dan beberapa hari setelah Clara bilang itu, ini puncaknya dimana si
Ryna bener-bener keterlaluan” ucap Finza, ia mendadak memeluk
dirinya sendiri dengan pelan agar tidak ada yang menyadari. Namun
iris citrine Alsera sadar akan hal itu.

Alsera juga sadar pandangan Asep, Yusuf, Kenzie, Charel, Ryan, dan Finza
yang mendadak sedih.

“Anu... aku rasa gak perlu dilanjutin lagi kalau-“

“Lanjut dong haha,” Charel terdengar memaksakan tawanya, “jadi...”

Lanjut cerita Charel. . .


Awan tampak mendung hari ini, angin yang bertiup lebih dingin dari biasanya.
Hawa tidak enak menyeruak di sekitar sekolah seolah tahu terjadi akan sesuatu. Rintik
hujan mulai turun, perlahan namun pasti hujan makin membesar.

Di kelas Kenzie cs mata pelajaran terakhir guru tidak masuk karena suatu alasan, jadi
jam kosong tengah berlangsung, keempat sahabat itu sedang main gunting batu
kertas yang kalah kena jotos. Dan Ryan yang sering kalah hanya bisa pasrah.
Kegiatan kecil mereka di belakang bangku menjadi tontonan menarik bagi beberapa
anak apalagi saat Finza dan Charel kalah. Namun tidak sedikit yang menganggap
mereka masih kekanakan di kelas 1 SMA ini. Tapi Kenzie cs bodo amat. Toh main
begini tidak merugikan siapa pun.

Bel tanda pulang sekolah berbunyi setelah Ryan lumayan babak belur. Semua siswa
siswi bubar, pulang ke rumah dengan menerobos hujan ataupun memakai payung.

35
Namun, banyak juga yang memilih di sekolah dulu karena hujan di luar termasuk
Kenzie cs.

“Mau kemana atuh?” tanya Finza.

“Kantin aja we” jawab Ryan, “mau beli es batu”

Charel menggigit bibir, menahan diri agar tidak tertawa, “M-pfft-ehm, maaf,
Ryan”

“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA”

Deg! Kenzie cs berhenti seketika, suara jeritan yang begitu keras terdengar sampai ke
seluruh sekolah dan mereka tau suara siapa ini. Mereka segera berlari ke arah sumber
suara itu muncul.

Toilet perempuan. Banyak orang sudah berkumpul di sana, saling berbisik tentang
apa yang terjadi. Kenzie cs menerobos masuk, melihat apa yang terjadi di dalam.

Darah mengalir dari salah satu bilik toilet. Ryna yang entah habis melakukan apa
berdiri di depan sana tak jauh dari bilik itu. Sorot matanya tegang menatap apa yang
ada di dalam sana.

‘A-apa Clara di dalam sana?’ pikir Kenzie cs bersamaan.

Semua berlalu begitu cepat, guru bertindak jika korban sudah jatuh tergeletak. Hal itu
sungguh membuat Kenzie cs dan beberapa murid lain yang melaporkan kelakuan
Ryna sebelum-sebelumnya merasa kesal dan marah. Suara dari sirine ambulance
terdengar dalam derasnya hujan. Clara yang tidak sadarkan diri dibawa oleh tandu
dan dimasukkan ke dalam ambulance.

Ryna beserta teman-temannya segera dibawa oleh pihak yang berwenang untuk
dimintai keterangan.

36
Kenzie cs melihat semuanya terjadi begitu saja. Clara yang dibawa di atas tandu.
Darah yang masih menetes di tubuh gadis itu. Senyum miring gadis itu.

Tunggu, apa?!

Kenzie, Ryan, Finza, dan Charel mematung. Mereka tidak salah lihat, kan? Clara
baru saja tersenyum. Ia tersenyum. Entah orang lain ada yang menyadarinya atau
tidak, yang jelas Kenzie cs benar-benar melihat Clara tersenyum. Tersenyum untuk
apa...?

Cerita Charel selesai.

Sehabis cerita suasana kembali hening. Alsera lihat dan tahu, semua
termenung. Sepertinya mereka sedang sibuk dengan perasaan 2 tahun lalu
yang kembali bangun. Rasa sedih, kesal, dan marah. Alsera paham, ia
mengerti. Hanya dengan mendengar cerita saja Alsera tahu betapa kelamnya
masa-masa itu, apalagi ikut serta ke dalamnya. Juga rasa penasaran kenapa
gadis itu tersenyum tanpa arti di saat yang seharusnya ia menangis. Apa
gadis itu berusaha tegar? Apa gadis itu puas mengetahui Ryna dibawa pihak
berwenang? Tapi memangnya dia tahu setelah itu Ryna bagaimana?

Jika Clara adalah Alsera, ia tidak akan puas begitu saja. Iris citrine-nya harus
melihat dengan sendirinya bahwa orang menyebalkan itu mendekam di balik
dinginnya jeruji besi.

“Ehm,” deheman Asep sedikit mencairkan suasana yang kaku.

Finza menghela napas sejenak, “Haa~” kemudian iris hijaunya melirik


Alsera, “ada yang bikin kau penasaran gak, Ra?”

Alsera mengangguk. “Ada, lumayan,” jawabnya.

“Oke sok tanya aja, Neng” ucap Kenzie, “Charel yang jawab”

37
“Dih”

“Yoi tanya aja, Ra” Ryan ikut-ikutan, “santuy ae, dijawab kok sama
Charel”

“Dih” kedua kalinya Charel mengatakan ini.

Alsera terkekeh sebelum melontarkan pertanyaannya.

“Jadi...” Alsera memulai, “apa yang terjadi setelah itu pada Clara dan...
Ryna?” lanjutnya, “dan... apa kalian akhirnya tahu maksud dari
senyuman Clara?”

“Clara dirawat di Rumah Sakit. Tapi kami gak bisa menjenguknya,”


jawab Charel.

“Yahh, gak ada informasi dimana Rumah Sakit tempat Clara dirawat,”
timpal Yusuf.

“Rumah Sakitnya dimana kami gak tahu,” gumam Ryan.

“Keluarga Clara gak ada satupun yang melakukan protes ke sekolah,


ataupun menuntut ke sekolah,” lanjut Charel. “Dan beberapa hari
setelahnya, kami dapat kabar bahwa Clara gak berhasil berjuang
hidup,” tanpa sadar tangan Charel mengepal. “Kami bahkan gak tahu
dimana tempat istirahat terakhirnya, kami yang ingin melihatnya
terakhir kali gak tahu dimana rumahnya, di Rumah Sakit mana dia
gagal berjuang... kami gak tahu walaupun udah mencari tahu.”

“Keluarga Clara sangat tertutup. Pihak sekolah siapapun itu gak ada
yang ikut campur dalam pengistirahatan terakhirnya, hanya itu yang
kami dapat. Menyebalkan, bukan?” Finza tersenyum miris.

“Eh,” citrine Alsera menatap tak percaya mendengarnya.

38
“Ryna dan teman-temannya juga kembali ke sekolah seolah gak pernah
terjadi apa-apa, iya aku tahu mereka bisa beli apapun yang mereka mau.
Dana mereka banyak, sesuatu yang gak punya bentuk fisik pun bisa
mereka beli.” Charel menghela napas sejenak.

“Kebebasan,” gumam Finza masih dapat didengar.

Emosi Alsera bercampur aduk mendengarnya. Ia bisa merasakan betapa


kesal, marah, dan sedihnya Kenzie cs di masa-masa itu. Masa awal SMA yang
harusnya menyenangkan diawali dengan kelamnya kasus Clara.

‘Hah~’ Alsera buang napas kecil, ‘kayaknya udah selesai, ya?’

“Semua baik-baik saja sampai semester berganti, semester 2” Charel


kembali bercerita.

‘Ah, kukira sudah selesai’

“Ada yang aneh dari Ryna dan teman-temannya”

“Aneh gimana?” Alsera melirik Charel sesaat, gadis itu tampak serius.

“Ryna gak bisa bicara”

“A-apa? Dia... bisu?”

Charel menggeleng, “Bukan, dia cuma bisa ketawa”

“Hah?” Alsera menggumam tak percaya.

“Dia gak bisa bicara dan ngobrol kayak biasanya, dia cuma bisa
ketawa,” Finza ikut melanjutkan. “Walaupun matanya berderai air mata
kesedihan dia cuma bisa tertawa”

Kenzie berdehem sebelum ikut serta, “Teman-temannya juga... ikut


aneh”

39
“Entah mereka sadar atau enggak, penampilan mereka jadi gak terurus.
Lusuh, seperti... Clara dulu,” tambah Ryan, ia buang muka ke samping.
Tidak mau ada yang melihat seperti apa ekspresinya sekarang.

“Ada guru yang melaporkan kalo salah satu dari mereka membentur-
benturkan kepalanya sendiri ke tembok sampai... ya kau tahulah, darah”
Charel mengalihkan pandangannya ke samping.

“Mereka semua jadi menyeramkan,” ujar Finza. “Aku pernah melihat


teman Ryna minum air kloset di toilet perempuan, aku menegurnya,
tapi dia gak denger”

Napas Alsera tampak pendek, jelas sekali gadis itu sangat tegang.

“Karena dia gak denger aku tarik dia dan yang kulihat dia tersenyum
kosong ke arahku, sorot matanya gak menunjukkan semangat hidup”

“Sekolah jadi agak kacau setelah itu,” Asep yang diam menyimak
angkat bicara. “Ryna yang ditanyai hanya bisa tertawa walaupun dia
berusaha mengatakan sesuatu. Teman-temannya gak waras, semua
benar-benar kacau”

“Iya, apalagi saat itu ujian kenaikan kelas sebentar lagi tiba” tambah
Yusuf.

“Sampai kapan situasi waktu itu kacau?”

“Sampai hari kenaikan kelas, mereka semua mati”

Alsera tercekat mendengar pernyataan itu dari Charel.

“Ryna gak tahan dengan kondisi hidupnya melompat bunuh diri dari
gedung apartemennya dan kau tahu, Ra?” Charel melirik Alsera sesaat,
“mudah sekali kami melihat Ryna, gadis itu hancur”

40
“Teman-temannya juga, saat hari kenaikan kelas salah satu dari mereka
ditemukan gak bernyawa di toilet sekolah” lanjut Charel, “dan ini
berlangsung sampai sore, kau tahu? Mereka seperti menjadwal jam
kematian mereka sendiri di toilet Clara ditemukan, semua terjadi
dengan beruntun”

“Jadwal? Maksudnya?”

“Jam 8 salah satu dari mereka mati di sana, guru segera beberes. Lalu
jam 9, 10, 11, 12, jam 1 siang, begitu terus sampai jam 4 sore. Semua
kekacauan itu baru berhenti,” Finza menjelaskan, Charel mengangguk.

“Kepala sekolah pun mendadak berhenti hari itu juga karena menerima
banyak komplen dari orang tua murid teman-teman Ryna, kudengar dia
mengalami kecelakaan dan hidup ehm berkebutuhan khusus saat ini,”
Charel minum air yang disuguhkan sebelum kembali melanjutkan, “gak
bisa dengar, melihat, gak bisa bicara dan... gak bisa gerak. Kau tahu,
kan?”

Alsera mengangguk, ia menggumamkan iya dengan pelan.

“Sekolah jadi heboh sekali waktu itu, dan gosip kasus Clara berubah
menjadi kutukan Clara,” Ryan menambahkan.

“Waktu itu sedang hujan, keadaan jadi makin rumit,” ucap Yusuf.

“Iya, semua perhatian orang fokus ke teman-temannya Ryna. Sampai-


sampai mereka gak sadar ada yang datang dari arah gerbang ah bukan
datang, lebih tepatnya memperhatikan. Dia berdiri di samping gerbang,
dan tersenyum.” Charel tampak agak ketakutan di bagian ini, badannya
sedikit gemetaran, “Ini terakhir kalinya aku melihat Clara. Dia
tersenyum di samping gerbang, di tengah hujan deras”

41
“Entah manusia atau bukan, tapi aku juga lihat,” aku Yusuf.

“Sampai akhir kami gak tahu apa maksud senyumnya, Ra,” Kenzie
tersenyum kikuk, “kalaupun tahu, kami hanya menyimpannya masing-
masing”

“Dan kau Alsera, apa kau bisa menebak maksud senyum Clara?” Asep
bertanya tiba-tiba, membuat Alsera gelagapan.

“Eh, anu... nggak”

“Yah, walaupun kau bisa menebaknya kau gak akan bilang juga, kan?”
Charel tertawa kemudian.

Alsera tertawa canggung, dalam hati meng-iyakan.

“Ahhh selain gelap masa-masa itu menyebalkan sekali,” ucap Finza.

“Hm, karena saat naik ke kelas 2 kami semua gak sekelas” tambah Ryan.

“Aku kelas A, Charel B, Finza C, dan Ryan D” jelas Kenzie.

“Kudengar kalian juga gak sekelas lagi sampai sekarang” Charel


menatap Asep dan Yusuf.

Asep mengangguk, “Iya, tahun lalu Ucup di kelas A, aing di kelas C.


Terus tahun ayeuna si borokokok di kelas F, aing di kelas C”

Semua tertawa kecuali Asep dan Yusuf.

“Bhahaha anjay sakelas teh cuma setahun pas lagi kelas 1 doang sararia
mah,” ucap Ryan di sela-sela tawanya.

“Kalian sedang tidak beruntung,” Kenzie bicara seperti robot entah


untuk apa.

“Memangnya Kenzie dan yang lainnya sekarang sekelas?” tanya Alsera.

42
“Nggak,” jawab Finza. “Mereka hobi aja ngetawain orang”

“Yaaa seenggaknya ‘kan, aku sama Kenzie sekelas. Charel sama Finza
juga sekelas BHAHAHAHAHAHAHA,” Ryan makin menjadi.

Semua menatap datar pemuda itu. Stress pikir mereka bersamaan.

Tawa berhenti, mereka menghela napas sejenak lalu memakan kue yang
sudah Alsera siapkan untuk cemilan di tengah-tengah cerita. Alsera
tersenyum merasakan suasana tidak setegang tadi. Mereka mengobrol dengan
topik ringan sejenak sebelum kembali mulai bercerita.

‘Gak kusangka desa sejauh ini punya cerita luar biasa begini’ batin Alsera ‘Yah,
semua punya cerita masing-masing’

“Erm... masih ada yang mau cerita?” Tanya Alsera.

Semua saling menoleh satu sama lain. Hingga suara deheman terdengar
cukup keras.

“Ehem! Aku aja,” Ryan mengajukan diri.

Hening...

“Mau makan kue lagi?” tawar Alsera.

“Mau, euy” respon Yusuf.

“WOY!” urat kekesalan Ryan menegang.

“Iya iya cerita mah cerita aja atuh,” ucap Charel sambil mengunyah kue
dalam mulutnya.

“Cuih,” balas Ryan seolah meludah.

“Mau cosplay Ryna?” tanya Finza sembari pemanasan jari.

Glek! Ryan menggeleng cepat. Ia berdehem sebelum memulai ceritanya.


43
“Jadi gini, ini berawal pas aku datang ke rumah bibiku-“

“WOY!!!” Potong semuanya.

“Sia mau cerita apaan, babi?” tanya Kenzie penuh emosi.

“Alsera, ayo kita ke ruangan lain,” ajak Charel.

Tanda tanya muncul di kepala Ryan, “Lah? Kalian lupa kalo dulu pas
kelas 1 SMP libur semester aku liburan ke rumah bibi? Pulang dari sana
kan aku juga ceritain ini sama kalian. Lupa?”

“Ah~” Semuanya mengalihkan pandangan mereka dari Ryan yang


bersiap mengeluarkan kata-kata bijak. Alsera hanya memandang
bingung apa yang dimaksud mereka semua.

“Apa maksudnya woy?!” urat kekesalan Ryan kembali menegang,


“kalian pikir aku bakal cerita apa, hah?!”

Finza buang muka ke samping, “A-aku gak ikutan”

“GADA OTAK, PIKIRAN KLEAN GAK CLEAN! OTAK NGEN-“

Ehm, oke kita mulai saja cerita Ryan tanpa Ryan.

Cerita Ryan. . .
Cuaca cerah mengawali pagi ini, mentari bersinar tidak terlalu panas, langit biru
bersama awan mendampingi pagi. Angin yang berhembus terasa sejuk menerpa
tubuh.

Ryan Satya bersama kedua orang tuanya pergi berlibur ke rumah bibinya setelah
sekian lama tidak berkunjung ke sana. Untuk sampai ke rumah bibi, mereka harus
melewati sebuah kebun besar yang kosong. Tidak ada apa-apa di sana, hanya ada
rumput yang terhampar luas bagai karpet yang besar, tidak ada pohon atau tunggul
kayu sekecil apapun itu. Ryan menoleh ke samping, menatap kebun itu.

44
‘Enak kali, ya. Kalo dipake buat main bola’ batin Ryan.

Motor yang dikendarai sang ayah yang melewati jalan di samping kebun itu kian
terasa melaju cepat. Entah hanya perasaan Ryan saja atau memang benar.

“Ryan,” panggil sang ibu. “Liat kemana kamu, liat ke depan”

“Umm, oke.” Ryan menurut saja karena ia tidak tahu apa-apa.

Namun yang namanya anak-anak, Ryan tetap curi-curi pandang ke kebun itu hingga
akhirnya ia melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat dengan matanya.

‘Ne-nenek siapa itu?’ batin Ryan, ia bergetar. Dengan susah payah kembali menatap
jalan di depan, ‘seramz’

Sampai di rumah bibi, Ryan dan orang tuanya disambut hangat. Disuguhi berbagai
makanan dan kue. Mereka pun mengobrol tentang kelaknatan Ryan kehidupan
mereka di Desa Rambutan, dan sang bibi yang menceritakan bahwa kampungnya
yang diteror oleh sesuatu yang menyebabkan anak-anak menghilang.

“Kunaon make bisa hilang gitu eta teh?” tanya ibu Ryan.

Ryan yang sedang bermain dengan anak bibi mendadak tertarik dengan topik yang
dibahas saat ini. Ia mengajak anak bibi itu untuk berpura-pura memakan beberapa kue
di sana sembari mendengarkan.

Si bibi bercerita dengan suara yang agak pelan dari biasanya, seperti berbisik namun
masih dapat didengar. Logat sunda yang terdengar disetiap kalimat yang bibi
ucapkan terdengar kental.

“Itu kan kalian tadi pasti lewatin kebun yang kosong gak ada apa-apa, kan?”
tanya bibi, namun sebelum ibu dan ayah Ryan menjawab si bibi kembali
melanjutkan, “cenah di sana ada nenek-nenek yang suka ngambil anak-anak
yang ngeliat mereka”

45
“UHUK!” Ryan refleks tersedak.

“Ryan kenapa kamu? Minum minum,” ibu menyodorkan segelas air pada
Ryan.

“Te-terus, Bi. Anak yang hilang itu gimana?” Ryan bertanya setelah selesai
minum, napasnya lebih pendek dari biasanya.

“Ada beberapa yang pulang... tapi mereka cuma diam nggak ngomong apa-
apa,” jawab bibi. “Mata mereka kosong, hente nunjukeun tatapan hidup kitu,
Yan”

“Ji-jiwanya hilang?” Ryan bertanya kembali.

Sebelum bibi menjawab Ayah Ryan menyela, “Ari maneh kunaon meuni
riweuh, hah?”

Tanpa sadar air mata Ryan menetes, pemuda kecil itu menangis tanpa suara.
Kemudian menjawab.

“Aku tadi liat nenek di sana”

Cerita Ryan selesai.

Ryan selesai bercerita, ia menatap Alsera yang menatapnya sedari tadi.

“Naksir?”

Alsera tetap bergeming namun ia berbicara, “Bukan gitu, terus habis itu
kau gimana?”

“Aku larilah, dikejar nenek itu aku,” jawab Ryan. “Tapi aku tidur”

“Hah?” Alsera gagal paham.

“Jiwa dia yang dikejar, Ra” jelas Charel, “raganya Ryan itu lagi tidur
sambil dijaga-jaga gitu”

46
“Nah iya gitu, soalnya kalo bukan aku yang lari langsung, nenek itu
bakal datang terus ke mimpi buat bawa aku,” Ryan menambahkan,
“kalo dihalangin pake semacam apa-apa gitu gak mempan haha, ni
nenek sakti bener soalnya. Kalo dihalangin gitu dibawa dong sama
raganya”

Alsera bergetar di tempat, cerita Ryan benar-benar antara hidup dan matinya
sendiri.

“Te-terus, itu yang bisa pulang?” Tanya Alsera.

“Ohh itu mah raganya doang yang bisa kebawa, jiwanya dipegang sama
ntu nenek” jawab Ryan.

“Kenapa? Buat apa nenek itu nyulik anak-anak gitu?”

“Aku nggak tau, Ra. Soal na udah lama, hmm” Ryan tampak berusaha
mengingat-ngingat, “kalo gak salah aku denger ini, sih-“

“APA?!” Alsera tak sabaran.

Sebulir keringat muncul di pipi Ryan, “Buat nemenin main”

“Gila, ya” gumam Finza. “Untung udah lewat”

“Hmm untung Ryan berhasil balik, euy,” ucap Asep.

Ryan hanya nyengir sembari berpose peace.

“Kalo dipikir-pikir Ryan kayaknya sering ya diganggu sama yang gitu,”


Yusuf bersuara setelah lama menyimak.

“Heum, iya ya. Kunaonnya?” Ryan bertanya balik, mendapat gelengan


dari teman-temannya, kecuali Kenzie.

47
“Yang begitunya cuma mood sama kau,” jawab Kenzie. “Makanya
sering banget kau kena”

“Waow aku banyak yang naksir haha,” Ryan tertawa datar, “najis”

Si gadis kota tertawa kecil melihat candaan Kenzie yang ditanggapi datar oleh
Ryan. Kemudian gadis itu menoleh ke arah lain, melihat jam. Jarumnya
menunjukkan pukul 11 lewat dan tidak ada tanda-tanda nenek akan pulang.

“Hmm nenek lama banget,” gumam Alsera, “katanya mau sebentar”

“Alsera masih mau lanjut gak?” tanya Finza, “kalo iya aku mau cerita,
tapi sedikit”

“Oh,” Alsera mengalihkan perhatiannya dari jam dinding, “boleh boleh,


lanjut aja”

“Oke, jadi ini kejadian yang bisa dibilang masih agak baru, soalnya
kejadiannya sebelum libur...”

Cerita Finza. . .
Hari telah sampai pada puncaknya dimana matahari terasa sangat panas dibanding
pagi tadi. Awan di atas sana benar-benar memberi ruang untuk teriknya cahaya
matahari siang ini. Angin yang berhembus tidak cukup untuk menghilangkan gerah
yang terasa di tubuh.

Finza Rifa, gadis itu berjalan sendirian sambil membawa kotak berisi kue bolu untuk
diberikan pada nenek Gayatri si kembang desa. Suhu hari ini benar-benar membuat
gadis itu kepanasan di jalan hingga mengharuskan dirinya mengikat rambut.

“Haaaaah~” Finza mendesah lelah, ia berhenti berjalan. “Astagaaa~”


tangannya menjadi kipas dadakan saat tidak ada angin yang bertiup, “panas
pisan ini mah”

48
Gadis dengan rambut sewarna coklat karamel itu hampir duduk di tanah jika tidak
ada yang melempar batu seukuran kepalan tangan padanya. Batu itu tepat mengenai
lengan atas Finza, membuatnya mengaduh lumayan keras.

“ADUH!” Finza memegang lengan atasnya yang terasa nyeri, “siapa, nih?!
Kerjaan siapa, nih?!” teriak Finza di tengah hari. Iris sewarna pucuk daun teh
melihat kesana kemari, namun tidak menemukan seorang pun.

‘Mustahil kelempar kalo gak ada orang’ batin Finza, kemudian matanya menatap
rumah kosong yang memang mau tak mau harus dilewati jika ingin ke rumah nenek.
‘Dari sana, kah?’ Finza menatap lekat rumah itu hingga akhirnya melihat sesuatu
berlari di dalam sana, berlari menuju ruang belakang. Sepertinya.

Finza mendadak geram di tempat, ia ambil batu yang mengenainya itu lalu ancang-
ancang melempar balik. Cuaca yang panas mendukung emosi Finza, iris sewarna
pucuk daun teh itu menatap nyalang rumah kosong di depannya. Kemudian ia lempar
balik batu itu.

PRANK! Suara kaca yang pecah terdengar nyaring ditengah hari yang sepi. Indera
pendengar Finza bisa mendengar suara batu itu masuk ke dalam rumah melewati
pecahan kaca. Duk, bunyi itu menandakan bahwa batu itu mengenai sesuatu. Finza
terengah-engah, emosi masih sedikit menguasai, ia berdiri menatap rumah kosong itu
agak lama sebelum akhirnya melanjutkan perjalanannya ke rumah nenek yang
tertunda.

“Kalo mau jahil liat kondisi,” ucap Finza.

Cerita Finza selesai.

Bingung melanda Alsera. Gadis itu diam dengan ekspresi yang tidak bisa
dibaca. Perasaannya bingung harus menanggapi bagaimana.

“Yah dan setelahnya aku demam 7 hari 6 malam,” lanjut Finza.

49
‘Gila’ batin Alsera.

Kenzie hanya berdehem, Charel sudah cekikikan sedari tadi. Asep dan Yusuf
sama diamnya seperti Alsera.

“Ooo, jadi ini penyebab kau sakit seminggu dan gak bisa ikut UTS
waktu itu” ceplos Ryan.

“Iya,” jawab Finza. “Aku gak bilang karena kupikir bukan itu
penyebabnya, kukira karena cuaca panas dan aku yang kecapean,”
lanjut gadis itu, “tapi ternyata setelah ditanya-tanya memang gara-gara
aku lempar balik batu itu”

“Lagian-ehm,” Kenzie benar-benar menahan tawanya saat ini, “lagian


ngapain kau balas balik kayak gitu?”

“Kesal,” jawab Finza singkat, padat, dan terdengar sedikit lucu.

“Pffff,t” semua tidak kuasa menahan tawanya, mereka akhirnya tertawa


walaupun tidak terbahak-bahak.

Finza menatap datar, “Sudah kuduga, reaksi kalian sama kayak orang
tuaku”

“Kau lucu, Fin,” ucap Alsera di tengah tawanya.

“Makasih,” ucap Finza, tangannya mengambil beberapa kue dalam


toples lalu memakannya. “Tapi, ya, yang kayak gitu licik pisan!
Bukannya main fisik malah main magis bikin orang sakit”

Ryan menghela napas, “Haa~ kan emang gitu, Fin. Mungkin buat
mereka itu sama kayak adu fisik”

“Tapi kan-“

50
“Heup!” Potong Yusuf sebelum perdebatan seperti di tv-tv terjadi, “aku
selanjutnya yang cerita”

“Boleh boleh, hha” ucap Alsera, ia masih sedikit tertawa mendengar


Finza ngomel-ngomel, “belum lewat tengah malam, lanjut aja”

“Oke.” Yusuf memulai, “Jadi ini tuh kejadiannya minggu-minggu


kemarin sebelum libur, waktu itu urang lagi di hukum karena datang
telat ka kelas. Di hukum na teh suruh bersihin halaman belakang.”

Alsera memperhatikan dengan seksama, begitu juga yang lain mereka belum
pernah mendengar cerita Yusuf termasuk Asep teman terdekatnya sekalipun.

“Nah, kan udah beres pas itu teh. Terus pas mau balik ke kelas teh
pelajaran belum beres, ‘kan aku disuruh balik ke kelas kalo pelajaran eta
guru selse. Terus-“

“Ih, Ucup bolos!” potong Ryan.

“Kalo boleh disuruh masuk mana mau aku bolos anjir”

“Tau nih Ryan sok tau,” bela Charel.

“Diem makanya,” Finza ikut-ikutan.

Ryan termenung di tempat dengan Kenzie yang mentertawakannya.

“Jadi ‘kan karena bosen urang teh...”

Cerita Yusuf. . .
Yusuf menatap pagar belakang sekolahnya, tidak terlalu tinggi namun tidak juga bisa
dibilang pendek. Pemuda itu menghela napas sejenak sebelum memanjat pagar
tersebut, kemudian lompat ke bagian luar sekolah. Indera penglihat pemuda itu bisa
melihat bahwa apa yang ada di balik pagar ini bukan sesuatu yang buruk. Ia mulai

51
berjalan memasuki kawasan hutan yang tidak terlalu rimbun. Telinganya dapat
mendengar suara gemercik air yang terdengar tidak terlalu jauh.

‘Di dekat sini ada sungai’ batin Yusuf, ‘mungkin aku bisa ngabisin waktu sebentar
sebelum pelajaran kedua mulai’

Benar saja dugaan Yusuf, sehabis hutan rimbun itu Yusuf menemukan sebuah sungai
yang jernih dan seseorang di sana. Refleks Yusuf bersembunyi. Memastikan terlebih
dahulu apakah orang itu berbahaya atau tidak. Pemuda itu bersembunyi pada salah
satu pohon yang tidak jauh dari sungai. Matanya mengintip keadaan.

Di batu yang terletak di tengah-tengah sungai, terdapat seorang gadis cantik dengan
rambut hitam panjangnya dan gaun putihnya yang indah. Gaun putih itu amat
bersih di bawah cahaya mentari yang cerah, tampak menyilaukan mata. Gadis itu
tersenyum merasakan angin meniup lembut dirinya. Ia kemudian memainkan air
sehingga menimbulkan bunyi gemericik yang merdu menyapa indera pendengar.

Hampir saja, hampir saja Yusuf terpesona dan menghampiri gadis itu. ‘Mana ada
cewek di tengah hutan kayak gini, banjir!’ batin Yusuf, ‘gak bener, nih’ Yusuf bersiap
berbalik.

‘Kudu na tadi aing cicing we ka kantin’ Yusuf benar-benar menyesal sekarang,


walaupun ia melihat pemandangan yang cantik, entah kenapa bulu kuduknya berdiri
dibarengi perasaan takut. ‘Buru buru’ batin Yusuf, tidak mau gadis itu menyadari
hawa keberadaannya.

Baru menjauh sepuluh langkah, Yusuf dengan tenaga lakinya berlari sekuat tenaga.
Ia memilih jalan memutar dan sampai di depan gerbang sekolah. Yusuf bisa
merasakan gadis itu menyadari keberadaannya ketika ia berlari, karena bisa dibilang
Yusuf tidak berlari dengan gaya sehingga menimbulkan suara berisik di hutan yang
hening.

52
Satpam penjaga gerbang keheranan melihat Yusuf yang begitu berantakan dan penuh
akan dedaunan di baju serta rambutnya.

“Ari maneh timana, heh?!” tegur satpam itu, “lain mah masuk belajar”

“Pak~” Yusuf memanggil dengan napasnya yang terengah-engah, kakinya


lemas bukan main setelah mengerahkan tenaga lakinya untuk berlari tadi, ia
berjalan sempoyongan menghampiri Pak Satpam.

“Kunaon? Aya naon?” Satpam itu menuntun Yusuf ke pos-nya, membiarkan


pemuda itu tenang dulu ssebelum ia menanyakan apa yang terjadi.

“Tadi... di tukang sakola aya sungai, terus aya-“

“Ngaco!” potong satpam itu.

“Itu, Pak. Sesudah pagar belakang itu”

“Da gak ada apa-apa di sana mah, Jang” satpam itu memberi tahu Yusuf
bahwa sehabis pagar belakang sekolah ini tidak ada apapun lagi kecuali sebuah
makam kuno yang terletak setelah hutan.

Yusuf membatu. Ia terdiam seribu bahasa. Napasnya makin pendek, perasaannya


tegang memikirkan bahwa gadis itu sudah menyadari keberadaannya jauh sebelum
dirinya melihat sungai itu karena satpam itu mengatakan, di belakang sekolah sejauh
apapun itu tidak ada sungai yang akan orang-orang temukan setelah melewati pagar
belakang sekolah dan hutan di sana hanya sebuah makam kuno yang entah kenapa
tetap kelihatan terawat. Bersih dan semerbak wangi bunga.

Pemuda tampan itu tercekat, membuat satpam makin khawatir.

Gadis misterius itu melambaikan tangan dari kejauhan, sembari memasang senyum
manis dan ramah. Kemudian menghilang.

Cerita Yusuf selesai.

53
“Anjay,” Ryan bersuara lebih dulu. “Good looking orangnya, good
loking juga hantu yang dilihatnya”

“Merinding najis, kulitnya putih pisan gak kayak orang,” timpal Yusuf.

“Terus habis itu kau gimana?” tanya Alsera.

“Ah, sia mah bukannya cerita dari kemarin,” ucap Asep.

“Era aing, bisi dianggap bohong” Yusuf tertawa kecil sembari


menggaruk belakang kepalanya, kemudian menatap Alsera, “gak
gimana-gimana haha, kaget aja sih. Habis itu dikasih minum sama pak
satpam, terus di suruh masuk lagi ke sekolah pas jam istirahat”

“Tapi... itu makam apa, ya?” tanya Finza, “makam kuno kok bisa di
sana?”

“Entahlah,” Yusuf menjawab seadanya.

Alsera melihat ke jam dinding lagi, membiarkan teman-temannya mengobrol


tentang makam kuno yang terletak tak jauh setelah pagar belakang sekolah.
Jarum jam menunjukkan pukul 00:20.

‘Ah, sudah lewat tengah malam’ batin Alsera, kemudian menatap teman-
temannya.

“Udah lewat tengah malam, tapi kok nenek belum pulang, ya?” tanya
Alsera.

“Hmm mungkin nenek lupa bilang kalau dia mau nginep” ucap Charel.

“Bisa jadi,” tambah Kenzie.

“Uhm... ya sudahlah” Alsera pasrah menunggu nenek pulang nanti pagi


jika ia memang menginap, “ini udah lewat tengah malam, kalian mau
nginap atau... pulang di tengah malam?”
54
“Eh? Ceritanya udahan?” Asep menatap bingung.

“Oh? Masih mau cerita?” sebulir keringat muncul di pipi kiri Alsera,
“ini udah lewat tengah malam, tidur aja,” gadis itu tertawa canggung,
“Ryan aja udah tidur duluan” Alsera menatap Ryan yang sudah tertidur
lelap di atas sofa.

“Yaudah urang ge sare, yuk,” ajak Yusuf sembari berbaring di tikar


yang mereka duduki.

“Heuh, udah rada tunuh sih urang ge,” Asep ikut berbaring di samping
Yusuf.

“Finza, Charel mau di kamar sama aku?” tawar Alsera sembari berdiri.

Ajakan Alsera disambut baik oleh kedua gadis desa itu.

“Eh, aku gak diajak?” pertanyaan Kenzie membuahkan sebuah benjolan


di kepalanya. Pemuda itu merajuk, meringkuk di dekat Asep dan Yusuf
yang mentertawakannya. “Finzaaa, padahal aku cuma nanya”

55
1
612
20

Yu
wn
a
Chapter 2
En
d

56
Side Story:

“Hey,” gadis itu memanggil lemah, “kenapa... kau begini padaku?


Aku... salah apa?” suara lemah nan pelan gadis itu terdengar parau di
dalam toilet. Matanya menatap seseorang yang ada di depannya.

“Hmmm, salah apa yaaa?” tanya orang itu, ia menendang tubuh lemah
di depannya sebelum menjawab, “gak salah apa-apa, kau menyebalkan.
Dan setiap melihatmu begini membuatku mau tertawa, pffft kau
menghiburku, Clara”

“Begitu... ya?” suara Clara kian melemah, ia memejamkan matanya,


“baiklah kalau begitu maumu, Ryna”

Ucapan Clara membuat Ryna gemas ingin melakukan sesuatu yang lebih
pada gadis tak berdaya itu. Dan suara teriakan Clara terdengar, bersamaan
darah yang mengalir melewati bilik toilet.

En
d.

57

Anda mungkin juga menyukai