Alsera Azrine, gadis kota yang baru sampai kemarin sore menatap anteng
semuanya dari jendela kamar. Ia menikmati pemandangan pagi pertamanya
di desa hari ini. Melihat beberapa orang-orang pedesaan yang lewat
melakukan aktivitas pagi mereka. Suasananya sangat berbeda dari perkotaan
yang begitu berisik saat pagi. Di sini lebih menenangkan, membuat hatinya
adem. Namun ia bosan lama-lama seperti ini. Sudah sejak 30 menit yang lalu
Alsera hanya melihat, ia mau berkeliling.
Charel dan yang lainnya sudah pulang sehabis shubuh tadi, nenek juga
katanya pergi ke sawah untuk memeriksa sesuatu, dan Alsera ditinggal
sendirian di sini.
Alsera bosan, tak ada yang bisa ia mainkan untuk menghilangkan bosan
sembari menunggu Charel dkk yang akan menjemputnya dan mengajaknya
keliling desa. Laptop di-charger, hp dibuang ke empang. Teman gak ada. Mau
ngapain coba?
1
“Bm bm bm.. loluleli~ hooo~ aaaa-“
“Barusan... anggap aku gak liat apa-apa, bilang padanya. Aku cuma
lihat dalaman yang terselip di pintu,” ucap Ryan sembari buang muka.
..................................................................................................................................................................
...............................................................................
Sawah hijau terhampar luas sejauh mata memandang. Rasa sejuk serta tenang
akan terasa ketika mata bertemu pandang dengan hijaunya tumbuhan
penghasil beras tersebut. Semilir angin khas pedesaan terasa nyaman
membelai kulit. Nyanyian burung melantun merdu memasuki indera
pendengar menambah kesan khas persawahan dalam sebuah pedesaan.
Nenek Gayatri atau nenek dari Alsera Azrine duduk beristirahat di gubuk
sederhananya yang terletak di tengah sawah. Ia tampak kegerahan meskipun
merasakan angin berhembus pelan.
“Untunglah padinya gak ada yang rusak parah,” ucapnya bicara sendiri,
“hahh~ hujan kamari bener-bener dahsyat”
2
“NENEEEK, WOOOYYY!!” Terdengar suara keras yang tak asing dari
arah lain, nenek menoleh.
Nenek tersenyum maklum, anak-anak itu tak pernah bosan mendatangi atau
menyapanya hingga memberi sesuatu untuknya.
“Iya, aku juga bawa bala-bala dari mama,” wadah makanan lumayan
besar Finza letakkan di depan nenek.
“Aku udah muak sama sia, nying,” ucap Ryan. Ia mengejar Kenzie
sambil membawa seekor keong sawah di tangannya.
3
“Aku gak lihat. Aku keju,” Finza mengalihkan pandangannya pada hal
lain.
“Makasih ya kalian”
“Gak masalah kok, Nek. Sekalian kami juga cari aktivitas,” ujar Finza.
“Umm... ada yang bisa aku atau kita bantu nggak, Nek?” Charel
kembali bertanya.
Iris hijau segar Finza menatap sesuatu dengan tatapan puas, nenek dan Charel
mengikuti kemana Finza melihat. Tak jauh dari mereka terlihat Ryan sedang
menggendong Kenzie secara bridal style. Anak itu pingsan dengan seekor
keong sawah merayap di dadanya, dan mereka berdua kotor. Penuh lumpur.
4
“Pffft” Charel tak kuasa menahan tawa.
..................................................................................................................................................................
........................................................................
Jarum jam menunjuk pada angka 09:30 am. Pada pagi hari menjelang siang
yang cerah ini, dua pemuda duduk di belakang rumah nenek atau lebih
tepatnya di luar dapur si nenek. Pemuda yang satu tampak biasa saja, ini
Ryan. Sedangkan yang satunya, di samping Ryan tampak menggigil, ini
Kenzie. Pemuda itu menggigil bukan karena kedinginan, melainkan karena
ketakutan mengingat keong manis mendarat mulus di dadanya beberapa jam
yang lalu.
“Tai.”
Hening, Ryan tak membalas ucapan Kenzie. Suara kayu yang dilalap api
mendominasi sekitar. Nenek sedang merebus air hangat untuk mandi Ryan
dan Kenzie.
“Padahal mah gapapa, Nek air dingin juga.” Ucap Kenzie memecah
keheningan.
“Emm,” Alsera yang sedari tadi diam menyimak di dalam dapur angkat
bicara, “memang apa yang terjadi?”
5
Finza menatap sejenak Kenzie dan Ryan yang berada di luar, “Biasa,
kelakuan mereka.”
“Ya, ‘kan kau yang mulai!” Sahut Charel, “bikin sebel orang, jadinya
Ryan bawa keong khusus, ‘kan buat kau”
Sungguh, pada awalnya Kenzie sangat bersyukur melihat Ryan terpeleset dan
jatuh ke sawah. Namun semua berubah ketika Ryan melemparkan keong
yang dibawanya dengan estetik ke arah Kenzie sehingga keong itu mendarat
mulus di dadanya. Detik itu juga Kenzie langsung jatuh kaku, berguling ke
sawah. Kenzie tak sadarkan diri dalam waktu yang lumayan lama. Ia baru
sadar 10 menit yang lalu dan langsung dibawa nenek ke sini ‘buru balik ka
imah nenek, urang rebuskan air’ ucap wanita setengah baya itu yang masih
tercetak jelas di memori Kenzie.
Kekehan terdengar dari Kenzie, “Padahal tinggal cium aja, aku pasti
langsung bangun.”
“Segitu takutnya, ya? Kalo aku cuma geli aja sih, haha” gumam Alsera.
Setelah mengatakan itu, Kenzie tak sengaja melihat Amanda lewat membawa
bekal dan mengenakan dudukuy naon sih nyebut na:v untuk melindungi
6
rambutnya dari panasnya cuaca pagi menjelang siang ini. Di mata Kenzie
gadis itu tampak bersinar tertimpa cahaya cerah mentari.
Berbeda dari Kenzie yang langsung buang muka ke samping. Jual mahal
kepada sang mantan.
“Finzaku sayang dimana yaaa.” ucap Kenzie dengan suara keras yang
dibuat-buat.
Iris jingga Ryan menatap Kenzie datar, “Amanda gak denger, tolol”
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Terik matahari kian terasa membakar kulit semakin siangnya hari. Angin
berhembus lembut membelai, menghilangkan rasa gerah walau tak banyak
7
berpengaruh bagi sebagian orang. Gesekan daun pohon yang saling beradu
tertiup angin memasuki indera pendengar.
Di teras rumah nenek, Finza dkk sedang bersantai setelah aktivitas mereka
tadi. Ditemani sebaskom apanyebutnyawoy:v air kelapa muda.
“Ahh, minum cai kelapa emang yang terbaik pas siang-siang kieu!”
Ucap Charel setelah meneguk air kelapa di didalam gelasnya.
“Gpp” jawab Alsera cepat, singkat, dan padat membuat Finza dan
Charel tak tahan untuk tidak tertawa.
Tangan Charel meletakan kembali baskom berisi air kelapa itu dengan berat
hati.
8
“Heum, kusabab eta.”
Tanpa diduga Kenzie mengambil baskom yang baru saja Charel letakan, dan
menghabiskan isi didalamnya.
“Habis lohor nanti pasti jalannya lumayan kering, mau ke sungai gak?”
Tawar Finza
“Yuk yuk, terus urang bakar ikan malam na,” tambah Charel.
“Iya ya,” Finza setuju, “habis isya nanti, oke?” iris hijau Finza menatap
Alsera, “Alsera juga harus ikut!” Ajaknya.
“Iya”
9
“Jam setengah 12, pulang dulu, yuk” Charel berdiri, “nanti kumpul lagi
di sini.”
Ryan dan Finza ikut menyusul, keempat remaja itu mengucapkan terima
kasih sebelum benar-benar pergi.
“Makasih, Nek!”
Kenzie dkk perlahan menjauh dari rumah nenek dalam langkah mereka
bersama obrolan mereka tentang hari ini.
Di jalan . . .
“Emangnya habis hujan gede kamari ikannya gak ikut hanyut?” Tanya
Charel pada ketiga sahabatnya.
Kini mereka berjalan bertiga bersama. Tidak ada yang memulai sebuah
percakapan. Baik Ryan, Kenzie, dan Finza ketiganya sama-sama diam. Sibuk
dengan pikiran masing-masing. Hingga angin siang kembali berhembus,
membelai ketiga surai yang berbeda warna.
Iris hijau Finza menatap Ryan tak percaya, dari mana anak ini belajar berkata
seperti itu pikir Finza.
Ryan menatap heran Finza sesaat, “Apa maksudmu? Kau juga cantik,
kok.”
Tanpa pikir dua kali Finza mempercepat langkahnya, menjauhi Ryan dan
Kenzie.
“Dia gak suka dipuji, ya?” Tanya Ryan, iris jingganya menatap Finza
yang semakin menjauh.
11
“Biasalah cewek, malu-malu bangsat.”
..................................................................................................................................................................
Sesuai janji, mereka semua berkumpul lagi di rumah nenek pada pukul 1
siang. Berbincang sejenak mengenai rencana mereka di sungai hari ini dan
apa saja yang akan mereka lakukan di sana. Kemudian tepat jarum jam
menunjukkan pukul setengah 2 siang mereka bergegas berangkat menuju
sungai untuk memancing.
Begitu sampai di sungai, tanpa banyak lagi acara mereka segera mulai
memancing. Takut keburu sore juga.
Satu menit kemudian Ryan tepar di dekat batu sungai. Masih bernyawa,
membuat Kenzie berpikir jika itu sangat disayangkan.
“Masa hari ini mau hujan lagi, sih...” ucap Charel menatap gumpalan
hitam di langit.
“Dan kita belum dapat ikan satupun” Kenzie berdiri di samping Finza.
12
“Ngomong-ngomong sekarang malam jum’at, ya?”
“Astoge! Iya, Fin! Yasinan di masjid! Kita gak boleh kalah dari Icih, Ecih,
Asep, Yusuf! Kita harus nyampe duluan!” Charel bicara heboh.
Kenzie memandang datar gadis kelapa itu, “Ini masih jam 2. Apa
maksudmu siap-siap?”
“Ah, kurasa kita lupakan saja rencana bakar ikannya. Soalnya habis
yasinan pasti ada ceramah 1 jam 30 menit dari pak Ustadz.” Jelas Finza.
“Masa? Kau ‘kan gak bawa-bawa apa-apa? Apa yang lupa?” Charel
balik bertanya.
“Emm iya...”
13
“Sebenarnya aku mau ngundang kalian ke rumah nenek kalo kalian gak
ada acara lagi sehabis dari masjid, haha. Tapi kalo kalian mau langsung
pulang apa boleh-“
“Ohh itu” tanggap Finza, “dulu sering denger ada beberapa orang yang
pernah diganggu termasuk Ryan, eh?” Finza menyadari apa yang ia
lupakan tadi. “Iya, Ryan mana?”
“Bilang daritadi kek, muncul kok pas orang lagi ngomongin horror,”
omel Charel, ia juga ikut kaget.
14
“Hehe, biar dramatis”
“Ada juga yang bilang karena ditipu orang,” timpal Finza. “Terus
keluarganya mengucilkan dia karena ya gitu, malu. Punya anggota
keluarga kena tipu, katanya sih keluarganya elit,” lanjutnya.
“Sering diomongin itu nggak berarti itu juga sumbernya,” jawab Alsera.
15
“Haha, iya cerdas. Terserah kalian” Ryan nyengir sebelum melanjutkan,
“ada yang bilang kalau kalian ngomongin sesuatu kayak gitu katanya
dia bakalan muncul”
Lamanya perjalanan tak terasa jika ada sebuah hal yang menjadi topik
pembicaraan. Mereka sampai di depan rumah nenek.
“Aku mau mampir dulu-“ belum selesai Ryan berucap, Kenzie langsung
menyeret pemuda itu pergi.
16
kemana ieu manusa teh?” Ia menoleh ke sana kemari namun nihil, ia tetap
tidak melihat satu orangpun.
..................................................................................................................................................................
......................................................................................................................................
Hari telah menunjukkan gelapnya. Tugas sang mentari telah tuntas. Bulan
bersinar sebagai pengganti. Menyinari kelamnya langit malam. Walau tak
seperti cahaya siang hari, bulan tetap bersinar dengan keindahannya.
Pukul 07:00 pm, di masjid, acara yasinan sudah selesai diganti oleh acara
ceramah 1 jam 30 menit dari pak ustadz. Di tengah-tengah acara ceramah,
Kenzie berbisik pada Ryan yang duduk tepat di sampingnya.
“Jangan so pikun!’
Kenzie memutar bola mata kesal, “Bukannya tadi siang kau dengar
Alsera ngundang kita ke rumahnya, buat ganti acara mancing yang gak
jadi” jelas Kenzie.
“Siang yang mana, babi. Kalian ninggalin aing sendiri di sungai!” ucap
Ryan dengan emosi mengingat kawan-kawannya itu meninggalkan
dirinya sendirian tak sadarkan diri di sungai.
“Lah? Kalian sendiri yang ninggalin aing sendiri di sungai, gimana sih?”
17
“Terus tadi yang ikut balik sama aing saha ari lain sia, pekok?!”
“Mana kutau, anjing!” Ryan makin nge-gas, “aing balik sendiri tadi
mah”
Mereka berdebat. Kenzie terus mendesak Ryan untuk mengaku bahwa yang
tadi siang ikut pulang itu dirinya, namun Ryan tetap mengelak bahwa itu
bukan dirinya. Ryan terus mengatakan jika dirinya pulang sendiri dari sungai,
tidak bersama Kenzie dan yang lainnya. Mau tak mau jantung Kenzie serasa
berhenti berdetak, tadi siang memang ada yang agak berbeda dari Ryan.
Pemuda itu lebih banyak terkekeh dan tersenyum. Sedangkan Ryan yang ia
kenal itu so alim dan suram.
Acara ceramah selesai tepat jam 9 malam. Semua orang bubar, keluar dari
masjid termasuk Finza dkk. Kenzie segera menghampiri Charel dan Finza
yang sudah menunggu tak jauh dari pekarangan masjid. Meninggalkan Ryan,
yang tengah mencari sandal swaslow miliknya yang tercampur dengan sandal
orang lain.
“Hey, kalian harus tau.” Kenzie meneguk ludah susah payah sebelum
melanjutkan, “yang tadi siang itu bukan-“
......................................................................................................................................
..................................................................................................................................................................
Bulan bersinar terang di atas bersama langit kelam, menerangi jalan yang
tengah Kenzie dkk tapaki. Mereka sedang di perjalanan menuju rumah nenek
dan suara gelak tawa yang sangat bahagia terdengar menggelegar dari
pemuda bernama Ryan Satya mengiringi langkah mereka. Pemuda itu
berjalan dengan sombong sendiri di depan sambil mengenakan sarung yang
diselendangkan bak Si Kabayan.
19
Tiba-tiba sebuah suara menghentikan langkah mereka. Tak jauh dari tempat
Ryan dkk berhenti, terlihat 2 orang pemuda seumuran mereka berdiri
menghadang.
“Ikut, euy. Mau pada kemananya?” masih dari orang yang pertama
memulai. Asep Dadap, remaja muda yang selalu mencari kesenangan
dalam hal positif dan negatif yang tidak berlebihan.
“Kenzie ish ish, meuni diborong gitu” ucapnya. Yusuf Pratama akrab
dipanggil Ucup, teman dekat dari Asep dan disebut-sebut sebagai
pangeran Desa Rambutan karena ketampanan paras serta hatinya yang
baik hati, rajin menabung, dan tidak sombong.
20
“Ikut, ah. Erek moal, Cup?” ajak Asep pada Yusuf yang berjalan tepat di
sampingnya.
.........................................................................................................................................
..................................................................................................................................................................
“Alsera, kau gak apa kan nenek tinggal dulu sendiri?” tanya nenek,
wanita itu tampak buru-buru.
Alsera mengangguk, “Iya, Nek. Lagian aku ajak Finza sama yang lain ke
sini, mungkin sebentar lagi mereka datang.”
“Iya, Nek.”
..................................................................................................................................................................
.......................................................................................................
Jarum jam menunjukkan pukul 09:10, Kenzie dkk sampai di rumah nenek
setelah perjalanan dari masjid dan melewati sebuah rumah yang tidak
21
terpakai. Rumah kosong. Mereka tampak terengah-engah karena tadi sedikit
berlari.
“Ayo masuk.”
“Baru aja nenek pergi ke rumah tetangga, kukira kalian papasan sama
nenek,” jelas Alsera
“Oh, itu.” Alsera tersenyum, “mau siapa dulu yang mulai?” Iris citrine-
nya menatap satu per satu teman-temannya.
22
“Bentar Ra,” cegah Finza kemudian ia menyeret Alsera ke tempat yang
agak jauh dari perkumpulan itu. Kenzie dan Charel menyusul.
Kenzie menjelaskan semua yang terjadi tadi siang, dan siapa Ryan yang
sebenarnya ikut pulang dengan mereka. Alsera mematung mendengarnya.
Iris citrine gadis itu menatap Ryan dengan tatapan ngeri. Seolah tahu apa
yang sedang kawan-kawannya jelaskan pada Alsera, Ryan nyengir dengan
entengnya alis terangkat naik turun.
Setelah menjelaskan soal Ryan, Kenzie, Finza, Charel serta Alsera kembali
duduk. Ada yang sedikit berbeda dari Alsera, gadis itu duduk mendekatkan
diri dengan Finza dan Charel. Matanya menatap Ryan was-was. Ia takut.
Jujur.
“Haha bukan apa-apa,” Charel memukul pelan Asep yang duduk tepat
di sampingnya.
“Ehm, jadi siapa yang mau mulai duluan?” Alsera kembali bertanya,
“bebas, kok. Pengalaman sendiri atau apapun itu”
Hening, tidak ada yang membuka percakapan dari salah satu mereka berdua.
Suara langkah kaki yang menginjak tanah terdengar mendominasi indera pendengar
keduanya. Hingga Asep yang bosan diam saja memulai percakapan.
Percakapan tidak berguna itupun berakhir begitu saja. Keduanya kembali diam.
Untuk sampai ke rumah Yusuf (tempat gadang mereka malam ini) harus melawati
sebuah pos kamling. Pos itu tampak sepi tak ada orang. Pasti yang kebagian jadwal
ronda malam ini sedang berkeliling kampung. Pos dilewati tanpa ada sebuah
keanehan. Yusuf dan Asep tampak biasa saja. Hingga sebuah suara membuat mereka
berhenti.
Suaranya terdengar seperti pentungan yang dipukul saat ada maling terlihat. Yusuf
dan Asep saling bertatapan, lalu menggedikan bahu. Acuh tak acuh mereka kembali
jalan. Namun suara itu kembali terdengar.
Kembali berhenti, Asep dan Yusuf saling menatap lagi. Mereka berdua menoleh sesaat
ke belakang melihat pos kamling yang begitu sepi. Lampu di sana menyala,
menampakkan jelas sebuah pentungan yang digantung.
24
“Naon, sih?” Asep menggaruk kepala, “angin?”
“Ntah, konslet meren, yuk ah” Yusuf berjalan lagi, Asep ngikut di
sampingnya.
Asep dan Yusuf berhenti lagi. Geram karena bunyi itu mengganggu Asep berbalik.
Bicara keras.
Tidak ada respon apa-apa karena memang pada dasarnya tidak ada siapapun di sana,
dan pentungan itu kembali berbunyi.
Yusuf dan Asep melihat dengan mata kepala mereka sendiri. Pentungan itu berbunyi
sendiri tanpa ada yang memukul. Pemukul yang seharusnya digunakan tetap diam di
tempat.
Mereka berdua juga merasakan tidak ada hembus angin sepelan apapun yang bertiup.
Tidak ada tanda-tanda apapun yang bisa menjelaskan pentungan itu berbunyi. Yang
jelas pentungan itu berbunyi sendiri. Tanpa ada manusia di dekatnya.
25
“Terus... kalian gimana waktu itu?” Alsera bertanya, wajahnya tegang
mendalami cerita Asep yang didengarnya. Napasnya tampak lebih
pendek dari napas normal.
“Larilah, ngapain lagi,” jawab Asep. “Bayangin aja barang yang ada di
dekatmu atau apapun itu bunyi sendiri padahal gak ada rangsangan
yang buat benda itu bunyi.”
Glek! Mereka semua menelan ludah, baru cerita pertama saja sudah membuat
seluruh bulu di badan berdiri. Kecuali Yusuf, pemuda itu terlihat biasa saja
karena memang dia dan Asep yang mengalami. Lagian itu kejadian lama, tapi
jujur itu masih membuatnya sedikit merinding walaupun tidak seperti yang
lain yang baru mendengarnya.
“K-kalian yakin di sana gak ada orang sama sekali?” Finza masih tidak
percaya sekaligus takut.
“Iya, Fin. Lagian kalo ada orang mana mungkin kami takut,” kali ini
Yusuf angkat bicara.
“Entahlah,” jawab Asep. “Sekarang aku dan Ucup males lewat sana lagi
kalo gak ada orang,” lanjutnya.
26
“Em, aku gak punya pengalaman horror sih, hehe” ucap Alsera, “jadi
selanjutnya mau siapa? Aku nanti terakhir, bikin cerita sendiri.”
“Hmm cerita mah cerita aja atuh,” potong Charel dengan nada sebal.
Kenzie berdecih, “Cih, iya iya.” Pemuda itu membuang napas pendek
sebelum memulai, “jadi pas hari itu...”
Cerita Kenzie. . .
Hari masih gelap, bulan pun masih menunjukkan eksistensinya di atas sana, bersama
kelamnya langit yang ditaburi kerlipan bintang. Jarum jam mengarah pada angka
04:45. Kenzie Satriya baru saja selesai menjalankan ibadah berjalan ke dapur,
barangkali melihat mamanya sedang memasak dan butuh bantuan. Namun pemuda
itu mendengar suara sang mama masih melantunkan ayat suci di kamarnya,
membuat Kenzie hampir putar balik jika indera pendengarnya tidak menangkap suara
dentingan benda beradu di dapur.
‘Siapa dah? Ayah kah? Ah masa jam segini udah pulang’ batin Kenzie
Pemuda itu paham jadwal pulang pergi sang Ayah, di hari jum’at ayahnya akan
berangkat ke pasar membuka lapak di sana dan menginap. Jum’at dan sabtu masih di
sana, dan minggu baru pulang lagi. Dan sekarang memang hari minggu, tapi sangat
jarang Kenzie mendapati sang ayah pulang pagi kecuali pria itu sangat kangen
dengan sang istri. Astaga, Kenzie menahan senyum. ‘Kapan aing gitu bhahaha’
pikirnya.
Sampai di dapur iris mata Kenzie yang sewarna emas melihat sosok sang ayah sedang
menyeduh kopi. Kenzie heran, sejak kapan?
27
Bunyi klakson mobil menghentikan ucapan dan langkah Kenzie. Pemuda itu menoleh.
Kemudian berlari ke depan. Suara yang ia kenal memanggil namanya, minta
dibukakan pintu.
Pintu dibuka. Kenzie mematung. Sang Ayah baru saja pulang dari pasar.
“Euy! Pagi-pagi kunaon?! Kayak yang udah liat setan wae kau mah” ucap
ayah Kenzie, “nggak nanya kenapa urang balik lebih awal, yeuh?”
Kenzie masih diam mematung, mendapat tatapan heran dari ayahnya. ‘Tumben ini
anak begini’ pikir sang ayah, karena biasanya Kenzie akan menggodanya karena
pulang lebih awal pasti merindukan Mama.
‘Y-yang kulihat tadi itu siapa, anjir?” Batin Kenzie, ‘kuajak ngomong pula’
Kenzie berkutat dengan pikirannya sendiri sebelum bunyi benda kaca yang pecah
membuyarkan pikirannya.
Ayah Kenzie menoleh. Kenzie juga. Sang Mama yang sudah selesai dengan
kegiatannya keluar kamar, menatap Kenzie dan suaminya siap memarahi salah satu
dari dua orang itu atau dua-duanya sekaligus jika penyebabnya adalah mereka.
Namun bunyi itu berasal dari dapur, dan tidak ada siapaun di sana. Mereka juga
tidak memelihara kucing atau apapun itu.
Ayah Kenzie segera pergi ke dapur, memeriksa apa yang pecah disusul istri dan
anaknya. Hawa dingin menyapa begitu mereka sampai ke dapur. Wangi kopi
bercampur bunga menerobos indera penciuman membangunkan bulu kuduk di badan.
Mereka lihat, pecahan gelas dan ceceran air kopi berantakan di ruang dapur.
“Kamu bikin kopi, Ken?” Tanya mama Kenzie, wanita itu merapatkan diri pada sang
suami. EHM.
Kenzie menggeleng, “Nggak, justru tadi aku liat ayah lagi bikin kopi.”
28
“Hah?!” Orang tua Kenzie kaget bersamaan.
Blam! Suara pintu depan yang dibanting cukup keras mengagetkan ketiganya.
“A-aku beresin ini dulu,” ucap mama Kenzie, namun sang suami menghalangi.
“Jangan, nanti luka terus ada sesuatunya, biarin dulu. Urang rek manggil orang”
ayah Kenzie berkata demikian sambil menuntun sang istri ke ruang tamu. EHM.
Kenzie ngekor di belakang dan mendengar sebuah suara tawa dari dapur.
‘Haha’
Semua terdiam, tidak ada yang bersuara untuk menanggapi. Bahkan Alsera
yang tadi siang mengatakan ia suka cerita horror khas pedesaan diam
membisu. Tidak tau harus berkata apa. Hingga akhirnya Finza memecah
keheningan itu. Seram lama-lama.
“Ehm! Nah itu cerita dari Kenzie” ucap gadis itu, Kenzie tersenyum
melihat Finza memancing teman-temannya untuk bersuara.
“Ih gila aing baru tau, kenapa kau gak cerita-cerita ke aing?” Asep
heboh sendiri.
“Aing jarang ketemu sama kau, gimana mau cerita!” Jawab Kenzie,
“nge-gay terus sih sama Ucup.”
29
“Yaaa itu... pecahan gelasnya... diberesin sama siapa?”
“Ohh, itu diberesin sama orang yang ahli dong,” jawab Kenzie. “Itu
bukan pecahan biasa, untung insting ayah bagus ngehalangin mama”
“Ya gitu, Ra. Itu karena mereka gak bisa seperti apa yang mereka liat,
jadi mereka ngehancurin itu supaya puas dan gak liat apa yang mereka
liat itu.” tanggap Charel.
“Kenapa gak ngehancurin matanya sendiri aja, ya?” Finza kesal sendiri,
walaupun sudah pernah dengar tetap saja emosinya tersulut mengingat
keluarga sahabatnya itu hampir kenapa-napa.
“Karena mereka gak mau rusak, tapi mereka gak sadar berbuat gitu
sama orang lain udah bikin mereka rusak,” ujar Yusuf.
“Itu udah kelewat batas, siapa sih yang begitu?” Asep kembali bertanya.
30
“Itu kejadiannya kapan? Em sekarang udah gak apa-apa, kan?” Raut
wajah dan tatapan Alsera menunjukkan kekhawatiran.
“Oh, boleh,” Alsera mengangguk melihat gadis bersurai biru kelam itu
menawarkan dirinya untuk bercerita.
“Ini... aku gak tau bisa nyebut ini pengalaman horror atau bukan.
Soalnya aku cuma liatin orang yang kena... yaa walaupun kita juga
sedikit terlibat”
Cerita Charel. . . Hmm ini akan jadi cerita yang sedikit panjang
Berangkat sekolah merupakan aktivitas yang menjadi rutinitas setiap pagi bagi para
pelajar yang masih menempuh pendidikan dijenjang SMA dan SMP. Termasuk
Kenzie cs, mereka terlihat memasuki gerbang sekolah bersama-sama sambil sedikit
tertawa karena cerita yang entah dari siapa terdengar begitu lucu.
Kenzie cs refleks berhenti, penasaran. Mereka menoleh ke arah sumber suara. Ahh
anak itu lagi, batin mereka bersamaan.
Tidak jauh dari gerbang tampak seorang gadis dengan pakaian lusuh memasuki area
sekolah dan ia dicegat oleh sekumpulan orang gila yang suka mengganggu.
Pemandangan ini bukan hal aneh lagi bagi siswa siswi di sana. Mereka yang tidak
31
memiliki kuasa apapun hanya bisa lewat dengan berat hati meski ingin
menyelamatkan. Iya, salah satu dari pengganggu itu adalah anak dari orang yang
memberi donasi ke sekolah ini sehingga sekolah ini bisa terus berdiri.
“Sekolah ini gak nerima gembel,” ucap gadis yang seolah berkuasa itu, cuih
padahal ortunya yang bayarin dasar NAK KON-
Pagi ini Ryna agak kelewatan, ya walaupun dia memang sudah kelewatan dan tidak
waras dari awal namun kali ini berbeda. Tindakan mereka pada Clara mengundang
Kenzie cs untuk berbuat sesuatu.
“Heh!” Charel memulai, ia menghampiri Ryna, “kamu makin hari makin jadi
ya nyakitin orang! Apa untungnya sih buatmu!”
“Hee~” Ryna menatap rendah Charel, “terus kau mau apa? Kau mau aku
bilang sama ayah untuk berhenti ‘nyumbang’ ke sekolah ini terus sekolah ini
berhenti dan kalian jadi orang yang gak berpendidikan”
“Percuma punya pendidikan tapi gak punya moral,” ucap Finza pelan namun
sampai ke telinga Ryna.
32
“Percuma punya pendidikan tapi gak punya moral,” ulang Finza penuh
penekanan di setiap kata tepat di depan Ryna.
PLAK!
Sebuah pukulan keras menyapa pipi Finza hingga membuat gadis itu menoleh ke
samping. Semua yang menyaksikan terdiam, mereka ingin membela Kenzie cs, apalagi
Finza gadis itu memang terkenal dengan omongannya yang menusuk tepat sasaran
dan Ryna seharusnya tertampar karena ucapan Finza. Tapi malah Finza yang terkena
tamparan.
Tidak semua diam. Kenzie menarik Finza mundur, Ryan dan Charel mendorong
Ryna.
“Kau ini apa-apaan! Lihat sekarang orang yang keliatan gak punya pendidikan
itu siapa?!” Ryan emosi.
“Dia lah,” Ryna menjawab santai, telunjuknya dengan tidak sopan menunjuk
Finza, “ah, dan kalian juga”
“Hmh!” Finza masih bisa bersuara tamparan begini cetek bukan apa-apa
untuknya, “kenapa nampar? Kesindir? Kau emang punya pendidikan tapi gak
punya moral.” Gadis itu ingin menghampiri Ryna, ingin mematahkan semua
jarinya supaya Ryna tidak bisa menunjuk sembarangan lagi, namun Kenzie
menahannya.
“Kalau kau suka ngerendahin orang lain, suatu saat kau yang bakal
direndahkan!” ucap Charel membuat Ryna meludah.
‘Memang tidak sopan si babi ini’ batin Kenzie, ia menahan diri agar tidak
melepas singa yang ada dalam pegangannya.
33
“Geli, ya. Orang kampung bilang kata-kata bijak”
“Makan tuh sepatu mahal,” ucap Ryna sambil berlalu pergi, ia melemparkan
sepatu sebelahnya pada Clara cukup keras dan menendang gadis itu.
Ryna dan kawan-kawannya pergi setelah menendang Clara. Melihat itu Kenzie cs
menghampiri Clara yang sedang bangkit berdiri, namun langkah mereka terhenti.
Mereka lihat dengan jelas bahwa Clara tersenyum. Bukan senyum biasa, senyum itu
menyiratkan sebuah arti.
“M-maaf hhe”
“Nah ‘kan beberapa hari setelah kejadian itu, Ryna jadi rada ngeganggu
kita tapi masih pro ke Clara, sih” Charel melanjutkan, “habis liat Clara
senyum aneh gitu kan aku dan yang lain jadi agak merhatiin si Clara
34
juga. Nah kayaknya Clara sadar ada yang beda dari kita, terus suatu
hari tiba-tiba Clara ngomong ‘aku tau kalian jadi agak merhatiin aku,
dan aku tau alasan kalian. Ada baiknya kalau kalian gak usah terlalu
memperhatikan yang gak perlu’ gitu katanya”
“Dan beberapa hari setelah Clara bilang itu, ini puncaknya dimana si
Ryna bener-bener keterlaluan” ucap Finza, ia mendadak memeluk
dirinya sendiri dengan pelan agar tidak ada yang menyadari. Namun
iris citrine Alsera sadar akan hal itu.
Alsera juga sadar pandangan Asep, Yusuf, Kenzie, Charel, Ryan, dan Finza
yang mendadak sedih.
Di kelas Kenzie cs mata pelajaran terakhir guru tidak masuk karena suatu alasan, jadi
jam kosong tengah berlangsung, keempat sahabat itu sedang main gunting batu
kertas yang kalah kena jotos. Dan Ryan yang sering kalah hanya bisa pasrah.
Kegiatan kecil mereka di belakang bangku menjadi tontonan menarik bagi beberapa
anak apalagi saat Finza dan Charel kalah. Namun tidak sedikit yang menganggap
mereka masih kekanakan di kelas 1 SMA ini. Tapi Kenzie cs bodo amat. Toh main
begini tidak merugikan siapa pun.
Bel tanda pulang sekolah berbunyi setelah Ryan lumayan babak belur. Semua siswa
siswi bubar, pulang ke rumah dengan menerobos hujan ataupun memakai payung.
35
Namun, banyak juga yang memilih di sekolah dulu karena hujan di luar termasuk
Kenzie cs.
Charel menggigit bibir, menahan diri agar tidak tertawa, “M-pfft-ehm, maaf,
Ryan”
“AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA”
Deg! Kenzie cs berhenti seketika, suara jeritan yang begitu keras terdengar sampai ke
seluruh sekolah dan mereka tau suara siapa ini. Mereka segera berlari ke arah sumber
suara itu muncul.
Toilet perempuan. Banyak orang sudah berkumpul di sana, saling berbisik tentang
apa yang terjadi. Kenzie cs menerobos masuk, melihat apa yang terjadi di dalam.
Darah mengalir dari salah satu bilik toilet. Ryna yang entah habis melakukan apa
berdiri di depan sana tak jauh dari bilik itu. Sorot matanya tegang menatap apa yang
ada di dalam sana.
Semua berlalu begitu cepat, guru bertindak jika korban sudah jatuh tergeletak. Hal itu
sungguh membuat Kenzie cs dan beberapa murid lain yang melaporkan kelakuan
Ryna sebelum-sebelumnya merasa kesal dan marah. Suara dari sirine ambulance
terdengar dalam derasnya hujan. Clara yang tidak sadarkan diri dibawa oleh tandu
dan dimasukkan ke dalam ambulance.
Ryna beserta teman-temannya segera dibawa oleh pihak yang berwenang untuk
dimintai keterangan.
36
Kenzie cs melihat semuanya terjadi begitu saja. Clara yang dibawa di atas tandu.
Darah yang masih menetes di tubuh gadis itu. Senyum miring gadis itu.
Tunggu, apa?!
Kenzie, Ryan, Finza, dan Charel mematung. Mereka tidak salah lihat, kan? Clara
baru saja tersenyum. Ia tersenyum. Entah orang lain ada yang menyadarinya atau
tidak, yang jelas Kenzie cs benar-benar melihat Clara tersenyum. Tersenyum untuk
apa...?
Sehabis cerita suasana kembali hening. Alsera lihat dan tahu, semua
termenung. Sepertinya mereka sedang sibuk dengan perasaan 2 tahun lalu
yang kembali bangun. Rasa sedih, kesal, dan marah. Alsera paham, ia
mengerti. Hanya dengan mendengar cerita saja Alsera tahu betapa kelamnya
masa-masa itu, apalagi ikut serta ke dalamnya. Juga rasa penasaran kenapa
gadis itu tersenyum tanpa arti di saat yang seharusnya ia menangis. Apa
gadis itu berusaha tegar? Apa gadis itu puas mengetahui Ryna dibawa pihak
berwenang? Tapi memangnya dia tahu setelah itu Ryna bagaimana?
Jika Clara adalah Alsera, ia tidak akan puas begitu saja. Iris citrine-nya harus
melihat dengan sendirinya bahwa orang menyebalkan itu mendekam di balik
dinginnya jeruji besi.
“Oke sok tanya aja, Neng” ucap Kenzie, “Charel yang jawab”
37
“Dih”
“Yoi tanya aja, Ra” Ryan ikut-ikutan, “santuy ae, dijawab kok sama
Charel”
“Jadi...” Alsera memulai, “apa yang terjadi setelah itu pada Clara dan...
Ryna?” lanjutnya, “dan... apa kalian akhirnya tahu maksud dari
senyuman Clara?”
“Yahh, gak ada informasi dimana Rumah Sakit tempat Clara dirawat,”
timpal Yusuf.
“Keluarga Clara sangat tertutup. Pihak sekolah siapapun itu gak ada
yang ikut campur dalam pengistirahatan terakhirnya, hanya itu yang
kami dapat. Menyebalkan, bukan?” Finza tersenyum miris.
38
“Ryna dan teman-temannya juga kembali ke sekolah seolah gak pernah
terjadi apa-apa, iya aku tahu mereka bisa beli apapun yang mereka mau.
Dana mereka banyak, sesuatu yang gak punya bentuk fisik pun bisa
mereka beli.” Charel menghela napas sejenak.
“Aneh gimana?” Alsera melirik Charel sesaat, gadis itu tampak serius.
“Dia gak bisa bicara dan ngobrol kayak biasanya, dia cuma bisa
ketawa,” Finza ikut melanjutkan. “Walaupun matanya berderai air mata
kesedihan dia cuma bisa tertawa”
39
“Entah mereka sadar atau enggak, penampilan mereka jadi gak terurus.
Lusuh, seperti... Clara dulu,” tambah Ryan, ia buang muka ke samping.
Tidak mau ada yang melihat seperti apa ekspresinya sekarang.
“Ada guru yang melaporkan kalo salah satu dari mereka membentur-
benturkan kepalanya sendiri ke tembok sampai... ya kau tahulah, darah”
Charel mengalihkan pandangannya ke samping.
Napas Alsera tampak pendek, jelas sekali gadis itu sangat tegang.
“Karena dia gak denger aku tarik dia dan yang kulihat dia tersenyum
kosong ke arahku, sorot matanya gak menunjukkan semangat hidup”
“Sekolah jadi agak kacau setelah itu,” Asep yang diam menyimak
angkat bicara. “Ryna yang ditanyai hanya bisa tertawa walaupun dia
berusaha mengatakan sesuatu. Teman-temannya gak waras, semua
benar-benar kacau”
“Iya, apalagi saat itu ujian kenaikan kelas sebentar lagi tiba” tambah
Yusuf.
“Ryna gak tahan dengan kondisi hidupnya melompat bunuh diri dari
gedung apartemennya dan kau tahu, Ra?” Charel melirik Alsera sesaat,
“mudah sekali kami melihat Ryna, gadis itu hancur”
40
“Teman-temannya juga, saat hari kenaikan kelas salah satu dari mereka
ditemukan gak bernyawa di toilet sekolah” lanjut Charel, “dan ini
berlangsung sampai sore, kau tahu? Mereka seperti menjadwal jam
kematian mereka sendiri di toilet Clara ditemukan, semua terjadi
dengan beruntun”
“Jadwal? Maksudnya?”
“Jam 8 salah satu dari mereka mati di sana, guru segera beberes. Lalu
jam 9, 10, 11, 12, jam 1 siang, begitu terus sampai jam 4 sore. Semua
kekacauan itu baru berhenti,” Finza menjelaskan, Charel mengangguk.
“Kepala sekolah pun mendadak berhenti hari itu juga karena menerima
banyak komplen dari orang tua murid teman-teman Ryna, kudengar dia
mengalami kecelakaan dan hidup ehm berkebutuhan khusus saat ini,”
Charel minum air yang disuguhkan sebelum kembali melanjutkan, “gak
bisa dengar, melihat, gak bisa bicara dan... gak bisa gerak. Kau tahu,
kan?”
“Sekolah jadi heboh sekali waktu itu, dan gosip kasus Clara berubah
menjadi kutukan Clara,” Ryan menambahkan.
“Waktu itu sedang hujan, keadaan jadi makin rumit,” ucap Yusuf.
41
“Entah manusia atau bukan, tapi aku juga lihat,” aku Yusuf.
“Sampai akhir kami gak tahu apa maksud senyumnya, Ra,” Kenzie
tersenyum kikuk, “kalaupun tahu, kami hanya menyimpannya masing-
masing”
“Dan kau Alsera, apa kau bisa menebak maksud senyum Clara?” Asep
bertanya tiba-tiba, membuat Alsera gelagapan.
“Yah, walaupun kau bisa menebaknya kau gak akan bilang juga, kan?”
Charel tertawa kemudian.
“Hm, karena saat naik ke kelas 2 kami semua gak sekelas” tambah Ryan.
“Bhahaha anjay sakelas teh cuma setahun pas lagi kelas 1 doang sararia
mah,” ucap Ryan di sela-sela tawanya.
42
“Nggak,” jawab Finza. “Mereka hobi aja ngetawain orang”
“Yaaa seenggaknya ‘kan, aku sama Kenzie sekelas. Charel sama Finza
juga sekelas BHAHAHAHAHAHAHA,” Ryan makin menjadi.
Tawa berhenti, mereka menghela napas sejenak lalu memakan kue yang
sudah Alsera siapkan untuk cemilan di tengah-tengah cerita. Alsera
tersenyum merasakan suasana tidak setegang tadi. Mereka mengobrol dengan
topik ringan sejenak sebelum kembali mulai bercerita.
‘Gak kusangka desa sejauh ini punya cerita luar biasa begini’ batin Alsera ‘Yah,
semua punya cerita masing-masing’
Semua saling menoleh satu sama lain. Hingga suara deheman terdengar
cukup keras.
Hening...
“Iya iya cerita mah cerita aja atuh,” ucap Charel sambil mengunyah kue
dalam mulutnya.
Tanda tanya muncul di kepala Ryan, “Lah? Kalian lupa kalo dulu pas
kelas 1 SMP libur semester aku liburan ke rumah bibi? Pulang dari sana
kan aku juga ceritain ini sama kalian. Lupa?”
Cerita Ryan. . .
Cuaca cerah mengawali pagi ini, mentari bersinar tidak terlalu panas, langit biru
bersama awan mendampingi pagi. Angin yang berhembus terasa sejuk menerpa
tubuh.
Ryan Satya bersama kedua orang tuanya pergi berlibur ke rumah bibinya setelah
sekian lama tidak berkunjung ke sana. Untuk sampai ke rumah bibi, mereka harus
melewati sebuah kebun besar yang kosong. Tidak ada apa-apa di sana, hanya ada
rumput yang terhampar luas bagai karpet yang besar, tidak ada pohon atau tunggul
kayu sekecil apapun itu. Ryan menoleh ke samping, menatap kebun itu.
44
‘Enak kali, ya. Kalo dipake buat main bola’ batin Ryan.
Motor yang dikendarai sang ayah yang melewati jalan di samping kebun itu kian
terasa melaju cepat. Entah hanya perasaan Ryan saja atau memang benar.
Namun yang namanya anak-anak, Ryan tetap curi-curi pandang ke kebun itu hingga
akhirnya ia melihat sesuatu yang seharusnya tidak ia lihat dengan matanya.
‘Ne-nenek siapa itu?’ batin Ryan, ia bergetar. Dengan susah payah kembali menatap
jalan di depan, ‘seramz’
Sampai di rumah bibi, Ryan dan orang tuanya disambut hangat. Disuguhi berbagai
makanan dan kue. Mereka pun mengobrol tentang kelaknatan Ryan kehidupan
mereka di Desa Rambutan, dan sang bibi yang menceritakan bahwa kampungnya
yang diteror oleh sesuatu yang menyebabkan anak-anak menghilang.
“Kunaon make bisa hilang gitu eta teh?” tanya ibu Ryan.
Ryan yang sedang bermain dengan anak bibi mendadak tertarik dengan topik yang
dibahas saat ini. Ia mengajak anak bibi itu untuk berpura-pura memakan beberapa kue
di sana sembari mendengarkan.
Si bibi bercerita dengan suara yang agak pelan dari biasanya, seperti berbisik namun
masih dapat didengar. Logat sunda yang terdengar disetiap kalimat yang bibi
ucapkan terdengar kental.
“Itu kan kalian tadi pasti lewatin kebun yang kosong gak ada apa-apa, kan?”
tanya bibi, namun sebelum ibu dan ayah Ryan menjawab si bibi kembali
melanjutkan, “cenah di sana ada nenek-nenek yang suka ngambil anak-anak
yang ngeliat mereka”
45
“UHUK!” Ryan refleks tersedak.
“Ryan kenapa kamu? Minum minum,” ibu menyodorkan segelas air pada
Ryan.
“Te-terus, Bi. Anak yang hilang itu gimana?” Ryan bertanya setelah selesai
minum, napasnya lebih pendek dari biasanya.
“Ada beberapa yang pulang... tapi mereka cuma diam nggak ngomong apa-
apa,” jawab bibi. “Mata mereka kosong, hente nunjukeun tatapan hidup kitu,
Yan”
Sebelum bibi menjawab Ayah Ryan menyela, “Ari maneh kunaon meuni
riweuh, hah?”
Tanpa sadar air mata Ryan menetes, pemuda kecil itu menangis tanpa suara.
Kemudian menjawab.
“Naksir?”
Alsera tetap bergeming namun ia berbicara, “Bukan gitu, terus habis itu
kau gimana?”
“Aku larilah, dikejar nenek itu aku,” jawab Ryan. “Tapi aku tidur”
“Jiwa dia yang dikejar, Ra” jelas Charel, “raganya Ryan itu lagi tidur
sambil dijaga-jaga gitu”
46
“Nah iya gitu, soalnya kalo bukan aku yang lari langsung, nenek itu
bakal datang terus ke mimpi buat bawa aku,” Ryan menambahkan,
“kalo dihalangin pake semacam apa-apa gitu gak mempan haha, ni
nenek sakti bener soalnya. Kalo dihalangin gitu dibawa dong sama
raganya”
Alsera bergetar di tempat, cerita Ryan benar-benar antara hidup dan matinya
sendiri.
“Ohh itu mah raganya doang yang bisa kebawa, jiwanya dipegang sama
ntu nenek” jawab Ryan.
“Aku nggak tau, Ra. Soal na udah lama, hmm” Ryan tampak berusaha
mengingat-ngingat, “kalo gak salah aku denger ini, sih-“
47
“Yang begitunya cuma mood sama kau,” jawab Kenzie. “Makanya
sering banget kau kena”
“Waow aku banyak yang naksir haha,” Ryan tertawa datar, “najis”
Si gadis kota tertawa kecil melihat candaan Kenzie yang ditanggapi datar oleh
Ryan. Kemudian gadis itu menoleh ke arah lain, melihat jam. Jarumnya
menunjukkan pukul 11 lewat dan tidak ada tanda-tanda nenek akan pulang.
“Alsera masih mau lanjut gak?” tanya Finza, “kalo iya aku mau cerita,
tapi sedikit”
“Oke, jadi ini kejadian yang bisa dibilang masih agak baru, soalnya
kejadiannya sebelum libur...”
Cerita Finza. . .
Hari telah sampai pada puncaknya dimana matahari terasa sangat panas dibanding
pagi tadi. Awan di atas sana benar-benar memberi ruang untuk teriknya cahaya
matahari siang ini. Angin yang berhembus tidak cukup untuk menghilangkan gerah
yang terasa di tubuh.
Finza Rifa, gadis itu berjalan sendirian sambil membawa kotak berisi kue bolu untuk
diberikan pada nenek Gayatri si kembang desa. Suhu hari ini benar-benar membuat
gadis itu kepanasan di jalan hingga mengharuskan dirinya mengikat rambut.
48
Gadis dengan rambut sewarna coklat karamel itu hampir duduk di tanah jika tidak
ada yang melempar batu seukuran kepalan tangan padanya. Batu itu tepat mengenai
lengan atas Finza, membuatnya mengaduh lumayan keras.
“ADUH!” Finza memegang lengan atasnya yang terasa nyeri, “siapa, nih?!
Kerjaan siapa, nih?!” teriak Finza di tengah hari. Iris sewarna pucuk daun teh
melihat kesana kemari, namun tidak menemukan seorang pun.
‘Mustahil kelempar kalo gak ada orang’ batin Finza, kemudian matanya menatap
rumah kosong yang memang mau tak mau harus dilewati jika ingin ke rumah nenek.
‘Dari sana, kah?’ Finza menatap lekat rumah itu hingga akhirnya melihat sesuatu
berlari di dalam sana, berlari menuju ruang belakang. Sepertinya.
Finza mendadak geram di tempat, ia ambil batu yang mengenainya itu lalu ancang-
ancang melempar balik. Cuaca yang panas mendukung emosi Finza, iris sewarna
pucuk daun teh itu menatap nyalang rumah kosong di depannya. Kemudian ia lempar
balik batu itu.
PRANK! Suara kaca yang pecah terdengar nyaring ditengah hari yang sepi. Indera
pendengar Finza bisa mendengar suara batu itu masuk ke dalam rumah melewati
pecahan kaca. Duk, bunyi itu menandakan bahwa batu itu mengenai sesuatu. Finza
terengah-engah, emosi masih sedikit menguasai, ia berdiri menatap rumah kosong itu
agak lama sebelum akhirnya melanjutkan perjalanannya ke rumah nenek yang
tertunda.
Bingung melanda Alsera. Gadis itu diam dengan ekspresi yang tidak bisa
dibaca. Perasaannya bingung harus menanggapi bagaimana.
49
‘Gila’ batin Alsera.
Kenzie hanya berdehem, Charel sudah cekikikan sedari tadi. Asep dan Yusuf
sama diamnya seperti Alsera.
“Ooo, jadi ini penyebab kau sakit seminggu dan gak bisa ikut UTS
waktu itu” ceplos Ryan.
“Iya,” jawab Finza. “Aku gak bilang karena kupikir bukan itu
penyebabnya, kukira karena cuaca panas dan aku yang kecapean,”
lanjut gadis itu, “tapi ternyata setelah ditanya-tanya memang gara-gara
aku lempar balik batu itu”
Finza menatap datar, “Sudah kuduga, reaksi kalian sama kayak orang
tuaku”
Ryan menghela napas, “Haa~ kan emang gitu, Fin. Mungkin buat
mereka itu sama kayak adu fisik”
“Tapi kan-“
50
“Heup!” Potong Yusuf sebelum perdebatan seperti di tv-tv terjadi, “aku
selanjutnya yang cerita”
Alsera memperhatikan dengan seksama, begitu juga yang lain mereka belum
pernah mendengar cerita Yusuf termasuk Asep teman terdekatnya sekalipun.
“Nah, kan udah beres pas itu teh. Terus pas mau balik ke kelas teh
pelajaran belum beres, ‘kan aku disuruh balik ke kelas kalo pelajaran eta
guru selse. Terus-“
Cerita Yusuf. . .
Yusuf menatap pagar belakang sekolahnya, tidak terlalu tinggi namun tidak juga bisa
dibilang pendek. Pemuda itu menghela napas sejenak sebelum memanjat pagar
tersebut, kemudian lompat ke bagian luar sekolah. Indera penglihat pemuda itu bisa
melihat bahwa apa yang ada di balik pagar ini bukan sesuatu yang buruk. Ia mulai
51
berjalan memasuki kawasan hutan yang tidak terlalu rimbun. Telinganya dapat
mendengar suara gemercik air yang terdengar tidak terlalu jauh.
‘Di dekat sini ada sungai’ batin Yusuf, ‘mungkin aku bisa ngabisin waktu sebentar
sebelum pelajaran kedua mulai’
Benar saja dugaan Yusuf, sehabis hutan rimbun itu Yusuf menemukan sebuah sungai
yang jernih dan seseorang di sana. Refleks Yusuf bersembunyi. Memastikan terlebih
dahulu apakah orang itu berbahaya atau tidak. Pemuda itu bersembunyi pada salah
satu pohon yang tidak jauh dari sungai. Matanya mengintip keadaan.
Di batu yang terletak di tengah-tengah sungai, terdapat seorang gadis cantik dengan
rambut hitam panjangnya dan gaun putihnya yang indah. Gaun putih itu amat
bersih di bawah cahaya mentari yang cerah, tampak menyilaukan mata. Gadis itu
tersenyum merasakan angin meniup lembut dirinya. Ia kemudian memainkan air
sehingga menimbulkan bunyi gemericik yang merdu menyapa indera pendengar.
Hampir saja, hampir saja Yusuf terpesona dan menghampiri gadis itu. ‘Mana ada
cewek di tengah hutan kayak gini, banjir!’ batin Yusuf, ‘gak bener, nih’ Yusuf bersiap
berbalik.
Baru menjauh sepuluh langkah, Yusuf dengan tenaga lakinya berlari sekuat tenaga.
Ia memilih jalan memutar dan sampai di depan gerbang sekolah. Yusuf bisa
merasakan gadis itu menyadari keberadaannya ketika ia berlari, karena bisa dibilang
Yusuf tidak berlari dengan gaya sehingga menimbulkan suara berisik di hutan yang
hening.
52
Satpam penjaga gerbang keheranan melihat Yusuf yang begitu berantakan dan penuh
akan dedaunan di baju serta rambutnya.
“Ari maneh timana, heh?!” tegur satpam itu, “lain mah masuk belajar”
“Da gak ada apa-apa di sana mah, Jang” satpam itu memberi tahu Yusuf
bahwa sehabis pagar belakang sekolah ini tidak ada apapun lagi kecuali sebuah
makam kuno yang terletak setelah hutan.
Gadis misterius itu melambaikan tangan dari kejauhan, sembari memasang senyum
manis dan ramah. Kemudian menghilang.
53
“Anjay,” Ryan bersuara lebih dulu. “Good looking orangnya, good
loking juga hantu yang dilihatnya”
“Merinding najis, kulitnya putih pisan gak kayak orang,” timpal Yusuf.
“Tapi... itu makam apa, ya?” tanya Finza, “makam kuno kok bisa di
sana?”
‘Ah, sudah lewat tengah malam’ batin Alsera, kemudian menatap teman-
temannya.
“Udah lewat tengah malam, tapi kok nenek belum pulang, ya?” tanya
Alsera.
“Hmm mungkin nenek lupa bilang kalau dia mau nginep” ucap Charel.
“Oh? Masih mau cerita?” sebulir keringat muncul di pipi kiri Alsera,
“ini udah lewat tengah malam, tidur aja,” gadis itu tertawa canggung,
“Ryan aja udah tidur duluan” Alsera menatap Ryan yang sudah tertidur
lelap di atas sofa.
“Heuh, udah rada tunuh sih urang ge,” Asep ikut berbaring di samping
Yusuf.
“Finza, Charel mau di kamar sama aku?” tawar Alsera sembari berdiri.
55
1
612
20
Yu
wn
a
Chapter 2
En
d
56
Side Story:
“Hmmm, salah apa yaaa?” tanya orang itu, ia menendang tubuh lemah
di depannya sebelum menjawab, “gak salah apa-apa, kau menyebalkan.
Dan setiap melihatmu begini membuatku mau tertawa, pffft kau
menghiburku, Clara”
Ucapan Clara membuat Ryna gemas ingin melakukan sesuatu yang lebih
pada gadis tak berdaya itu. Dan suara teriakan Clara terdengar, bersamaan
darah yang mengalir melewati bilik toilet.
En
d.
57