Stine:
Makhluk Mungil Pembawa Bencana
(Goosebumps # 30)
Kat dan adiknya, Daniel, sangat beruntung. Mereka baru saja pindah ke rumah
baru yang punya banyak kamar, dua balkon, dan halaman seluas lapangan sepak
bola!
Tapi semua keberuntungan itu segera berakhir.
Karena ada sesuatu yang sangat jahat hidup di rumah itu.
Sesuatu yang bergerak. Mengamati. Menunggu.
Sesuatu yang berasal dari bawah tempat cuci piring....
Goosebumps
SEBELUM aku dan adikku menemukan makhluk kecil yang aneh di bawah tempat
cuci piring, keluargaku termasuk keluarga normal yang bahagia. Malahan bisa
dibilang kami sangat beruntung.
Tapi keberuntungan kami segera berubah setelah kami menarik makhluk itu dari
tempat persembunyiannya yang gelap.
Kisah sedih yang mengerikan ini berawal pada hari kami pindah rumah.
"Nah, ini dia, anak-anak." Dengan gembira Dad menekan klakson ketika kami
membelok ke Maple Drive dan berhenti di depan rumah kami yang baru. "Sudah
siap pindah kemari, Kitty Kat?"
Dad satu-satunya orang yang kubiarkan memanggilku begitu. Namaku sebenarnya
Katrina (ih!) Merton, tapi hanya para guru di sekolah yang memanggilku Katrina.
Semua orang lain memanggilku Kat saja.
"Tentu, Dad!" seruku. Kemudian aku melompat turun dari station wagon kami.
"Guk! Guk!" Killer, anjing cocker spaniel kami, menggonggong seakan-akan
mendukungku, lalu menyusul ke trotoar.
Daniel, adikku yang konyol, yang menamai anjing kami. Nama itu sama sekali
tidak cocok, sebab Killer takut terhadap apa saja. Satu-satunya benda yang berani
dia gigit adalah bola karetnya!
Daniel dan aku sudah berkali-kali naik sepeda lewat di depan rumah kami yang
baru. Jaraknya cuma tiga blok dari rumah kami yang dulu, di East Main.
Tapi aku tetap belum bisa percaya bahwa kami akan tinggal di sini.
Dari dulu aku menganggap rumah kami yang lama sudah cukup hebat.
Tapi rumah yang baru ini benar-benar luar biasa!
Rumahnya berlantai tiga dan terletak di atas bukit. Jendelanya paling tidak ada
selusin, dan semuanya dilengkapi dengan kerai berwarna kuning mentega. Dan di
sekeliling rumah ada teras lebar. Halaman depannya kira-kira seukuran lapangan
sepak bola.
Ini bukan rumah, tapi istana!
Ehm, hampir seperti istana. Rumahnya memang besar—tapi tidak bisa dibilang
mewah. Mom menyebutnya "rumah yang mirip sepatu tua yang nyaman".
Hari ini rumahnya malah berkesan tua dan berantakan. Beberapa kerai sudah
miring, rumputnya perlu dipotong, dan semuanya seakan-akan diselubungi debu
setebal satu inci.
Tapi Mom cuma berkomentar, "Tinggal dibersihkan, dicat, dan diketok-ketok
dengan palu di sana-sini."
Mom, Dad, dan Daniel turun dari mobil. Kami berdiri di pekarangan sambil
mengamati rumah itu. Akhirnya aku akan melihatnya dari dalam!
Mom menunjuk ke lantai dua. "Kalian lihat balkon besar itu?" dia bertanya. "Itu
kamar Dad dan Mom. Di sebelahnya kamar Daniel."
Mom meraih tanganku dan meremasnya dengan lembut. "Balkon kecil di sebelah
sana—itu di luar kamarmu, Kat," katanya dengan wajah berseri-seri.
Wah, aku bakal dapat balkon sendiri! Aku berpaling dan memeluk
Mom erat-erat. "Aku sudah tidak sabar pindah kemari," bisikku.
Tentu saja Daniel langsung merengek-rengek. Umurnya sepuluh tahun sekarang,
tapi dia terlalu sering bersikap seperti anak dua tahun.
"Kenapa kamar Kat punya balkon—dan kamarku tidak? '"dia mengeluh. "Ini tidak
adil! Aku juga minta balkon!"
"Jangan rewel, Daniel," aku bergumam. "Mom, suruh dia diam. Sudah sepantasnya
aku dapat lebih dari dia. Aku kan dua tahun lebih tua."
Hampir dua tahun lebih tua. Baru empat hari lagi aku berulang tahun.
"Jangan bertengkar, anak-anak," Mom berkata dengan tegas. "Daniel, kau tidak
dapat balkon. Tapi sebagai gantinya, Dad dan Mom punya kejutan untukmu—
tempat tidur bertingkat. Jadi Carlo bisa menginap kapan saja kau mau."
"Asyik!" seru Daniel. Carlo sahabat karib Daniel. Mereka selalu bersama-sama—
dan selalu mengusik ketenanganku.
Daniel sebenarnya baik-baik saja. Tapi sok tahunya minta ampun. Dad
menjulukinya Tuan Tahu Segala.
Kadang-kadang Daniel juga disebut si Manusia Badai oleh Dad, karena dia selalu
berlari ke sana kemari bagaikan angin puyuh, dan membuat semuanya jadi
berantakan.
Aku sendiri lebih mirip Dad—kalem dan tenang. Ehm, biasanya sih begitu. Dan
makanan kegemaran kami juga sama—lasagna, acar bawang yang benar-benar
asam, dan es krim dengan mocha chips.
Tampangku juga mirip Dad, jangkung, kurus, dengan rambut kemerahan dan
bintik-bintik di wajah. Biasanya rambutku dikuncir.
Rambut Dad terlalu sedikit untuk dibicarakan. Daniel lebih mirip Mom.
Rambutnya lurus, berwarna cokelat muda, dan selalu jatuh menutupi matanya.
Mom bilang dia berbadan "tegap".
(Tapi sebenarnya itu berarti dia agak gendut.)
Hari ini Daniel memang lagi kumat. Sepertinya dia ingin membuktikan bahwa
julukan Manusia Badai memang cocok untuknya. Dia berlari ke halaman rumput
yang luas, dan mulai berputar-putar. "Rumah besar," serunya. "Rumah raksasa.
Rumah... rumah super!"
Dia menjatuhkan diri di rumput. "Dan ini halaman super! Hei, Kat, lihat aku—aku
Super Daniel!"
"Kau super konyol," aku menyahut sambil mengacak-acak rambutnya dengan
kedua tangan.
"Hei, sudah!" pekiknya. Kemudian dia mencabut pistol supersoaker-nya dan
menyemprot bagian depan T-shirt-ku. "Kau kutangkap!" serunya. "Kau jadi
tawananku!"
"Kata siapa?" balasku, sambil berusaha merampas pistol airnya. "Ayo, serahkan
pistolmu!" perintahku. Kemudian aku menarik lebih keras lagi. "Lepaskan!"
"Oke," ujar Daniel sambil nyengir. Tiba-tiba saja dia melepaskan pistolnya,
sehingga aku mundur terhuyung-huyung—dan jatuh di trotoar.
"Huh, dasar payah!" Daniel mencemooh.
Tapi aku tahu cara tepat untuk membalas kelakuan minusnya.
Langsung saja aku berlari ke teras. "Hei, Daniel!" seruku. "Lihat nih! Aku yang
pertama masuk ke rumah baru!"
"Enak saja!" sahutnya sambil berlari menyusulku. Dia melompat ke teras dan
menangkap pergelangan "Aku duluan! Aku duluan!"
Saat itulah Dad muncul sambil membawa kardus besar bertulisan DAPUR yang
penuh barang-barang. Dia diikuti oleh dua laki-laki yang menggotong sofa kami
yang besar dan berwarna biru.
"Hei, jangan bercanda terus! Mom dan Dad butuh bantuan kalian hari ini. Karena
itulah kalian diizinkan tidak masuk sekolah," seru Dad. "Daniel, ajak Killer jalan-
jalan—dan jangan lupa beri dia makan dan minum. Kat, kau awasi Daniel."
"Dan, Kat, tolong bersihkan lemari-lemari di dapur, oke?" Dad menambahkan.
"Mom ingin segera menyimpan piring-piring dan panci-panci."
"Oke, Dad," jawabku. Aku melihat Daniel menggeledah sebuah kardus di rumput.
Kardus itu bertulisan KARTU DAN KOMIK.
"Hei, anjingnya mana?" aku berseru padanya. Dia angkat bahu.
"Daniel!" Aku mengerutkan kening. "Killer tidak kelihatan. Di mana dia?"
Daniel meletakkan setumpuk kartu bisbol. "Oke, oke, aku akan mencarinya," dia
bergumam. Dia berdiri dan mulai memanggil-manggil Killer.
Begitu ia menghilang di samping rumah, aku bergegas ke kardus bertulisan
KARTU DAN KOMIK dan memeriksa isinya. Hah, ternyata adikku yang brengsek
itu mencuri beberapa komikku.
Semua komikku kuambil, kemudian aku pergi ke dapur untuk membersihkan
lemari. Tapi begitu masuk dapur, aku langsung lemas.
Ruangan yang besar dan terang itu dipenuhi lemari dan kabinet!
Sambil menghela napas aku mengambil tisu dan sebotol cairan pembersih dari
kardus bertulisan PERLENGKAPAN KEBERSIHAN, lalu mulai bekerja.
Semprot, gosok, semprot, gosok. Ini bisa makan waktu berjam-jam!
Setelah selesai membersihkan kabinet pertama, aku mundur selangkah untuk
mengagumi hasilnya. Kemudian aku berlutut di depan kabinet di bawah tempat
cuci piring.
Tapi sesuatu—sebuah bunyi berderit, seperti bunyi langkah di tangga kayu yang
tua—membuatku tersentak kaget.
Apa itu? aku bertanya-tanya. Jantungku langsung berdegup kencang.
Perlahan-lahan kubuka kabinet itu, dan dengan hati-hati aku mencoba mengintip.
Pintunya kubuka sedikit lagi.
Sekali lagi aku mendengar bunyi itu.
Hatiku berdebar-debar.
Pintu kabinet kubuka lebih lebar.
Dan sekonyong-konyong ada sesuatu yang mencengkeram tanganku.
Sebuah cakar berbulu.
Cakar itu tidak mau melepaskanku.
Aku menjerit.
"DANIEL! Kau bikin aku kaget setengah mati!" teriakku. Dengan kesal kugebuk
punggungnya.
Sambil ketawa terpingkal-pingkal adikku membuka kostum tikusnya.
"Coba kaubisa lihat tampangmu tadi!" serunya. "Mulai sekarang, lebih baik kau
ganti nama jadi Kat si Penakut saja!"
"Ha-ha. Lucu sekali," sahutku sambil geleng-geleng kepala. Apakah aku sudah
bercerita bahwa Daniel juga rajanya lelucon konyol?
Kemudian aku teringat apa yang seharusnya dikerjakan adikku itu.
"Dad minta kau mencari Killer. Di mana dia?"
"Dia tidak perlu dicari." Daniel terkekeh-kekeh. "Soalnya dia memang tidak
hilang."
"Apa maksudmu?"
"Killer kumasukkan ke ruang bawah tanah," dia menjawab dengan bangga. "Waktu
kau ada di teras, aku cepat-cepat masuk lewat pintu samping dan bersembunyi di
bawah tempat cuci piring."
"Kau memang brengsek!" seruku.
Tiba-tiba aku mendengar bunyi "srek-srek" pada lantai. "Hei... suara apa itu?"
tanyaku.
Daniel langsung melongo.
"Aduh, itu tikus benaran!" dia memekik. "Awas, Kat! Awas!"
Tanpa berpikir panjang aku melompat ke kursi dapur... dan sedetik kemudian
Killer masuk ke dapur.
Daniel ketawa sampai terbungkuk-bungkuk. "Hahaha, kau ketipu lagi!" Sepertinya
dia bangga sekali.
Aku menerkam adikku dan mengambil ancang-ancang untuk menggelitiknya.
"Bersiaplah untuk mati ketawa!" aku berseru.
"Jangan! Tolong! Jangan!" dia menjerit-jerit. "Ampun, Kat! Ampun! Jangan gelitik
aku. Aku... tidak... tahan!"
"Menyerah?" tanyaku.
Daniel mengangguk. "Ya," sahutnya sambil ketawa. Napasnya terengah-engah.
"Oke," ujarku. "Kau boleh berdiri sekarang."
"Thanks," katanya. "Hei, sedang apa Killer di sana?"
"Jangan cari gara-gara lagi. Aku tidak bakal ketipu untuk ketiga kalinya," balasku
dengan sengit.
Tapi waktu aku melirik, Killer kelihatannya memang sangat tertarik pada sesuatu
di dalam kabinet tempat cuci piring yang masih terbuka dari tadi.
Dia menarik sesuatu keluar, lalu mulai mengendus-endus. Dia mendorong-
dorongnya dengan hidung, kemudian menggeram sambil mendongak.
Aneh, ujarku dalam hati. Killer tidak pernah menggeram.
"Hei, apa itu?" aku berseru padanya.
Killer tidak menggubrisku. Menengok pun tidak. Dengus, dengus, dengus... geram.
Aku maju sedikit agar dapat melihat lebih jelas.
"Ada apa sih, Kat?" tanya Daniel.
"Bukan apa-apa," jawabku sambil lalu. "Kayaknya cuma spons bekas."
Dengus, dengus, dengus... geram.
Benda itu kelihatan biasa saja—kecil, bulat, cokelat muda. Sedikit lebih besar
daripada telur.
Tapi spons itu membuat Killer kalang kabut dan gelisah. Dia terus melompat-
lompat mengelilinginya sambil menyalak dan menggeram.
Kuraih spons itu untuk kuamati. Dan anjingku yang manis berusaha menggigitku!
"Killer!" seruku. "Anjing nakal!"
Dia pergi ke sudut ruangan. Sambil merintih karena malu, dia berbaring dengan
kepala menumpang di atas kedua kaki depan.
Kuamati spons itu dari dekat.
Hei! Tunggu dulu!
Tiba-tiba aku mengerti kenapa tingkah Killer begitu aneh.
"Daniel... lihat ini!" seruku. "Wow! Ini benar-benar AJAIB!"
3
“AAAA!!!!!"
Jeritan Daniel pasti terdengar oleh semua tetangga.
Dan Mom langsung kalang kabut. Dia menyerbu masuk lewat pintu belakang.
"Ada apa? Ada apa? Siapa yang menjerit? Ada apa?" tanyanya.
Daniel mundur dari bawah tempat cuci piring. Dia memegang-megang kepala, lalu
menatap kami sambil memicingkan mata. "Kepalaku terbentur tempat cuci
piring," rengeknya. "Kat mendorongku !”
Mom berlutut dan mendekap Daniel. "Kasihan kau," katanya dengan nada
menenangkan. Kepala adikku ditepuk-tepuknya dengan lembut.
"Aku tidak mendorongnya," ujarku. "Aku sama sekali tidak menyentuhnya."
Daniel mengerang dan menggosok-gosok pelipisnya. "Sakit sekali," dia
menggerutu. "Kepalaku pasti benjol."
Dia menatapku sambil mendelik. "Kau sengaja mendorongku! Padahal itu bukan
sponsmu. Spons itu ada di rumah ini. Jadi milik kita semua!"
"Spons itu milikku!" aku berkeras. "Kenapa sih kau, Daniel? Kenapa kau selalu
mau merebut barang-barangku?"
"Cukup!" seru Mom gusar. "Kenapa kalian mesti bertengkar cuma karena spons?"
Mom berpaling padaku.
"Kat, kau diberi tugas menjaga adikmu, bukan?" ujarnya. "Dan, Daniel, jangan
mengambil barang yang bukan milikmu."
Mom berbalik, hendak kembali ke pekarangan belakang. "Awas kalau aku dengar
kalian bertengkar lagi soal spons!"
Begitu Mom pergi, Daniel menjulurkan lidah padaku dan menjulingkan matanya.
"Huh, dasar!" gerutunya. "Gara-gara kau aku jadi kena marah."
Langsung saja dia pergi. Killer menyusulnya.
Aku membungkuk dan mengambil spons itu dari bawah tempat cuci piring.
"Semua orang marah-marah," bisikku. "Kau ini bikin masalah saja."
Rasanya memang konyol berbicara dengan spons. Tapi benda itu tidak terasa
seperti spons. Sama sekali tidak.
Oh, ternyata hangat kalau dipegang, pikirku heran. Hangat dan lembap.
"Kau hidup, ya?" tanyaku pada bola kecil itu.
Aku menggenggamnya hati-hati—dan sekonyong-konyong terjadi sesuatu yang
benar-benar aneh. Spons itu mulai bergerak-gerak di tanganku.
Ehm, sebenarnya sih bukan bergerak.
Lebih tepat kalau dibilang berdenyut—perlahan-lahan.
Dag-dug. Dag-dug.
Jangan-jangan ini denyut jantungnya?
Dengan heran kutatap benda itu. Kuraba-raba kerut-kerut yang menyelubunginya,
dan kutekan-tekan permukaannya yang empuk dan lembap.
“Hei”, seruku karena kaget. Tiba-tiba saja aku melihat sepasang mata hitam
menatapku.
Aku merinding. "Hiiihh!"
Ternyata kau bukan spons, ujarku dalam hati. Spons tidak punya mata, kan? Kalau
begitu, sebenarnya kau ini apa?
Aku butuh jawaban atas pertanyaanku ini. Segera. siapa yang bisa kuajak bicara?
Yang pasti bukan Mom. Dia tidak mau tahu soal Spons ini.
"Dad! Dad! aku memanggil sambil berlari melintasi ruang duduk dan ruang
makan. "Dad di mana?"
"Mmmmpf," sahutnya. "Mmmmph."
"Apa?" seruku sambil bergegas dari satu ruangan ke ruangan berikut.
"Oh, di sini rupanya."
Dad sedang berdiri di puncak tangga lipat di ruang depan. Dia sedang memegang
palu dan segulung pita perekat isolasi berwarna hitam.
Dan sejumlah paku menyembul dari mulutnya. "Mmmmpf," gumamnya.
"Dad ngomong apa sih?" tanyaku.
Dad membiarkan paku-paku itu jatuh ke lantai. "Sori," katanya. "Aku hendak
membetulkan lampu ini. Kabel-kabelnya sudah tua."
Dad memandang tumpukan peralatan di lantai. "Kat, coba ambilkan tang itu. Kalau
belum bisa juga, aku terpaksa panggil tukang listrik."
Dad hebat dalam mengurus bunga dan rumput. Tapi kalau menyangkut urusan
tukang-menukang, dia selalu bikin kekacauan.
Suatu hari dia pernah berusaha membetulkan fan—dan langsung saja aliran listrik
di seluruh blok padam.
"Ini, Dad." Aku menyerahkan tang yang dimintanya dan sekaligus menyodorkan
spons yang masih kupegang.
"Coba lihat ini," desakku. Aku sampai berjinjit biar Dad bisa melihatnya lebih
jelas. "Aku menemukannya di bawah tempat cuci piring. Dia hangat, punya mata
dan hidup. Aku tidak tahu binatang apa ini."
Dad melirik. "Coba Dad lihat," katanya.
Spons itu kuangkat tinggi-tinggi, supaya Dad bisa menjangkaunya.
Dad membungkuk untuk meraihnya.
Aku tidak sadar bahwa tangganya goyah.
Dan aku juga tidak sadar bahwa tangganya mulai miring.
Aku cuma melihat perubahan ekspresi di wajah Dad. Matanya membelalak lebar.
Dan mulutnya menganga sambil mengeluarkan teriakan kaget.
Ketika mulai jatuh, dia berusaha meraih lampu di langit-langit untuk berpegangan.
"O00000h!"
Lampunya terlepas dan menimpa kepalanya. Dad terjun dari puncak tangga.
Dia terempas ke lantai, dan tergeletak tak bergerak.
"Mom! Mo-om! Mom!" pekikku. "Cepat! Dad jatuh!"
5
Mom, Daniel, dan aku berdiri mengelilingi Dad. Dia membuka mata.
Lalu berkedip-kedip.
"Hmm?" dia bergumam. "Apa yang terjadi?"
Dad menggelengkan kepala dan mengangkat badan sambil bertopang pada
sikunya. "Rasanya aku tidak apa-apa," katanya pelan-pelan.
Dia mencoba berdiri. Tapi langsung ambruk lagi. "Mata kakiku. Jangan-jangan
patah." Dia mengerang-erang kesakitan.
Mom dan aku membopongnya ke sofa. "Oh, sakit sekali rasanya," katanya sambil
mengertakkan gigi. Dengan hati-hati dia menggosok-gosok mata kakinya.
"Daniel, ambilkan es batu untuk Dad. Bungkus pakai handuk kecil,"
Mom menyuruh adikku. "Kat, ambilkan minuman dingin."
"Nah, Sayang," Mom berbisik sambil mengusap alis Papa, "coba ceritakan apa
yang terjadi."
Ketika aku kembali ke ruang duduk sambil membawa segelas air es,
Mom dan Dad menatapku dengan pandangan aneh sekali.
"Kat," Mom berkata dengan gusar, "kau mendorong Daddy, ya?"
"Kenapa tangganya kau dorong?" Dad bertanya sambil menggosok-gosok mata
kakinya.
"Hah? A-apa?" aku tergagap-gagap. "Aku tidak berbuat apa-apa! Mana mungkin
aku berbuat begitu!"
"Nanti kita bicara lagi soal ini, Non," ujar Mom tegas. "Sekarang Mom harus
mengurus Daddy dulu."
Mom membungkuk dan menempelkan handuk berisi es ke mata kaki Daddy yang
membengkak.
Wajahku terasa panas karena malu. Bagaimana mungkin Dad menyangka aku
mendorongnya?
Aku menundukkan kepala dan menyadari bahwa spons itu masih dalam
genggamanku.
Dan kemudian aku menyadari hal lain. Sesuatu yang ganjil dan menakutkan.
Di tanganku, spons itu tak lagi berdenyut pelan melainkan menyentak-nyentak.
Keras sekali. Ba-boom. Ba-boom.
Spons bergetar keras—persis seperti blender yang dihidupkan pada kecepatan
paling tinggi.
Aku duduk di lantai ruang depan. Seluruh badanku gemetaran.
Ada apa ini? aku bertanya dalam hati. Pertama-tama Daniel menuduh aku
mendorongnya. Dan sekarang Dad juga bilang begitu.
Mereka sama-sama mengira aku mendorong mereka. Kenapa bisa begitu?
Ba-boom. Ba-boom. Ba-boom. Spons itu masih terus menyentak-nyentak.
Aku merinding ketakutan. Tiba-tiba spons itu terasa menakutkan. Aku tidak
menginginkannya di dekatku—atau di dekat keluargaku.
Langsung saja aku berlari keluar. Di dekat garasi ada tong sampah besar. Serta-
merta kuangkat tutupnya. Kucampakkan spons itu ke dalamnya, lalu kupasang
tutupnya rapat-rapat.
Setelah kembali masuk, aku dipanggil Mom ke ruang duduk.
"Sepertinya mata kaki Dad hanya terkilir," katanya. "Sekarang coba jelaskan apa
yang terjadi."
***
Hari Kamis aku duduk di meja belajar dan membuat daftar tamu yang akan
kuundang untuk pesta ulang tahunku. Hari yang kunanti-nanti itu tinggal dua hari
lagi.
Daftarnya harus kuserahkan hari ini kepada Mom, supaya dia masih sempat
berbelanja sebelum hari Sabtu.
Aku mendengar Daniel bercerita kepada Carlo ketika keduanya menaiki tangga
dengan gaduh.
"Coba kaulihat nanti—bentuknya persis kayak spons bekas. Tapi spons ini hidup!"
ujar Daniel. "Aku yakin dia sebenarnya makhluk purba, seperti dinosaurus atau
sebangsanya."
Aku langsung berdiri dan menghambur keluar dari kamarku.
"Hei!" aku menghardik Daniel. "Kenapa kaubawa spons itu lagi?" ujarku sambil
menunjuk spons di tangannya. "Itu kan sudah kubuang."
"Aku menemukannya di dalam tong sampah," balas Daniel. "Ini terlalu seru untuk
dibuang. Ya, kan, Carlo?"
Carlo angkat bahu, rambutnya yang hitam dan shaggy mengenai pundaknya.
"Kenapa sih kalian mesti ribut-ribut soal spons bekas ini?"
"Itu bukan spons bekas," sahutku.
Kutarik sebuah buku besar dari rak buku yang baru. "Aku sudah cari keterangan
soal spons di ensiklopedia," aku menjelaskan. "Seharusnya kau membiarkannya di
tempat sampah, Daniel. Sungguh."
"Apa kata ensiklopedia itu?" Daniel bertanya penuh semangat sambil menjatuhkan
diri di tempat tidurku. Spons itu dipegangnya dengan. kedua tangan.
"Di sini tertulis bahwa spons tidak punya mata," jawabku. "Dan mereka hanya
hidup di air. Kalau dikeluarkan dari air untuk lebih dari tiga puluh menit, mereka
akan mati."
"Nah, Carlo? Ini bukan spons," ujar Daniel. "Makhluk kami ini punya mata. Dan
dia di luar sejak kami menemukannya."
"Hmm, matanya tidak kelihatan. Dan aku juga tidak melihat tanda-tanda kalau dia
memang hidup," Carlo berkomentar ragu.
Daniel turun dari tempat tidur dan menyodorkan spons itu kepada temannya.
"Coba pegang. Nanti kau lihat sendiri."
Dengan hati-hati Carlo memegang spons itu. Matanya yang cokelat membelalak
lebar. "Hei, badannya hangat! Dan... dan... dia bergerak. Dia bergerak! Dia hidup!"
Carlo berpaling padaku. "Tapi kalau bukan spons... apa ini sebenarnya?"
"Aku juga belum tahu," aku terpaksa mengakui.
"Barangkali ini sejenis spons super," Daniel menduga-duga. "Spons yang begitu
kuat sampai bisa hidup di darat."
"Mungkin juga campuran antara spons dan binatang lain," Carlo menimpali sambil
menatap benda bulat di tangannya. "Aku pinjam sehari, ya? Sandy pasti menjerit
ketakutan kalau melihat ini."
Sandy adalah baby-sitter Carlo. "Habis itu langsung kukembalikan lagi," Carlo
berjanji.
"Tidak boleh, Carlo," ujarku cepat-cepat. "Sebaiknya disimpan di sini saja sampai
aku tahu persis apa ini sebenarnya. Nih—tolong masukkan ke kandang marmut
ini."
"Ah, sehari saja," Carlo berusaha membujuk sambil menepuk-nepuk spons itu.
"Lihat nih. Dia suka sama aku."
"Jangan!" aku melarangnya. "Daniel, beritahu temanmu supaya jangan macam-
macam."
"Oke, oke," gumam Carlo. "Eh, ngomong-ngomong, si kecil ini makanannya apa
sih?"
"Entahlah," sahutku. "Tapi sepertinya dia tetap sehat-sehat saja biarpun tidak
makan apa-apa. Ayo, masukkan dia ke kandang."
Carlo menjulurkan tangan ke dalam kandang marmut dan menaruh makhluk itu.
Tiba-tiba saja dia membelalakkan mata karena ngeri.
Aku melihat tangannya gemetaran.
Kemudian dia menjerit, "Aduh! Tanganku! Tanganku dimakan!"
"KAT, semuanya sudah siap," Mom menyapaku sambil tersenyum lebar ketika aku
muncul di dapur untuk sarapan keesokan paginya.
"Apanya yang sudah siap?" tanyaku terkantuk-kantuk.
"Pesta ulang tahunmu besok!" sahut Mom sambil mendekapku erat-erat. Mom
memang senang sekali main peluk-pelukan.
"Masa sih kau lupa?" tanyanya heran. "Rencananya kan sudah kita susun sejak
berminggu-minggu yang lalu!"
"Pestaku!" Hatiku langsung berbunga-bunga. "Oh, aku sudah tidak sabar." Aku
duduk di meja untuk menghabiskan sarapanku-semangkuk cornflakes dan segelas
jus jeruk.
Ulang tahun selalu dirayakan besar-besaran di rumah keluarga Merton. Mom
gelalu pesan kue ulang tahun yang besar. Dan dia membuat sendiri semua
undangan dan dekorasi.
Tahun ini aku membantunya membuat undangan. Kami menggunting-gunting
karton manila berwarna ungu dan menggunakan spidol berwarna merah jambu
untuk menulisnya.
Aku biasa menyiapkan tema tertentu untuk setiap pestaku. Tahun lalu kupilih tema
"Membuat pizza sendiri". Dan acaranya benar-benar sukses. Sampai berminggu-
minggu kemudian teman-temanku masih asyik membahasnya.
Tapi sekarang aku berumur dua belas, dan rasanya aku sudah terlalu besar untuk
pesta seperti itu. Jadi Mom dan Dad akan mengajak aku dan lima sahabatku ke
WonderPark—sehari penuh.
WonderPark benar-benar seru. Di sana ada dua kolam ombak, entah berapa
luncuran, dan juga Monster Masher—roller coaster paling asyik yang pernah
kunaiki!
Seberapa asyik? Hmm, musim panas tahun lalu Carlo sampai mabuk gara-gara
naik Masher. Cukup asyik, kan?
"Ini bakal jadi pesta ulang tahun paling ramai yang pernah kuadakan," ujarku
sambil tersenyum lebar ke arah Mom di seberang meja makan.
Lalu aku berpaling kepada Daniel. "Sori, tapi kau tidak diundang. Acara ini khusus
untuk anak dua belas tahun ke atas."
"Tidak adil! Kenapa aku tak boleh ikut?" Dia merengek sambil membanting
sendoknya ke dalam mangkuk, sehingga susunya bercipratan ke segala arah. "Aku
janji takkan bicara dengan teman-teman Kat. Siapa yang mau bicara dengan
mereka? Aku boleh ikut, ya?"
Aku mulai merasa tidak enak. Aku mulai berubah pikiran.
Tapi kemudian Daniel sendiri yang merusak kesempatannya.
Sambil cemberut dia menyilangkan tangan di depan dada. "Kat selalu dapat
perlakuan istimewa," dia mengomel. "Sponsnya saja tidak dia bagi-bagi sama aku."
"Spons bekas yang ditemukan Kat di bawah tempat cuci piring?" Mom bertanya
heran. "Siapa sih yang mau barang seperti itu?"
"Aku mau!" seru Daniel.
"Hmm, aku yang menemukannya, berarti spons itu milikku," aku memberitahu
Daniel. "Dan hari ini sponsku itu akan kubawa ke sekolah."
"Untuk apa?" tanya Mom.
"Aku mau menunjukkan kepada Mrs. Vanderhoff," aku menjelaskan. "Barangkali
dia tahu apa itu sebenarnya. Sekarang aku tinggal cari tempat untuk membawa
sponsku."
Aku menggeledah lemari-lemari dapur.
"Nah, cocok sekali!" seruku sambil mengeluarkan kotak plastik bertulisan DELI.
Samar-samar masih tercium bau salad kentang.
Dengan memakai gunting tua aku menusuk-nusuk tutup kotak itu untuk membuat
lubang-lubang udara. Kemudian aku bergegas ke atas untuk mengambil spons itu.
etelah kembali ke dapur, kotak yang sudah tertutup rapat itu kutaruh di lantai. Lalu
aku membuka lemari es.
"Mom," ujarku, "kotak makan siangku yang mana?"
"Yang biru, Sayang," sahutnya.
Langsung saja kuambil kotak makan siangku dan pintu lemari es kututup lagi.
Tahu-tahu kudengar bunyi mengendus-endus dari arah lantai.
Langsung saja aku menoleh ke bawah.
"Killer, sedang apa kau?" Kutatap anjingku yang berkuping panjang sambil
tersenyum.
Snrff. Snrff. Snrff.
Dia mengendus-endus kotak plastik di lantai. Grrr. Grrr.
Lantai dapur dicakar-cakarnya sambil menggeram-geram.
Aduh, mulai lagi deh, ujarku dalam hati.
Killer menarik kupingnya ke belakang. Dengan curiga dia mengelilingi kotak
plastik itu.
Kemudian dia mulai menyalak.
Dan menyalak. Dan menyalak.
"Killer! Mundur!" seruku.
Tapi anjing itu tidak menggubris seruanku.
"Mom, Daniel!" ujarku. "Bantu aku bawa Killer keluar dari sini dong. Kayaknya
dia mau makan spons itu untuk sarapan."
Mom meraih tali leher Killer dan menariknya mundur, menjauhi kotak plastik.
Killer masih terus menggeram-geram. Mom membuka pintu dan mendorong anjing
itu ke luar, ke pekarangan belakang. "Ayo keluar. Keluar," katanya dengan lembut.
Mom berpaling padaku. "Kenapa Killer tiba-tiba bertingkah aneh? Tidak biasanya
dia begitu. Tapi cepat, berangkatlah. Nanti kalian terlambat ke sekolah."
Aku segera menyandang ransel. Setelah mencium pipi Mom, aku menyusul Daniel
yang sudah duluan meninggalkan dapur.
"Hei, lihat ini!" Daniel berseru sambil berlari ke ring basket di pekarangan
keluarga Johnson di seberang jalan.
Daniel pura-pura menggiring dan mengoper bola, lalu berputar-putar seperti orang
diuber tawon. "Kau pasti tidak bisa melompat setinggi ini," katanya, sambil
berlagak menjaringkan bola.
"Ayo dong, Daniel," sahutku, sambil bergegas menyusuri jalan. "Aku bisa
dihukum sama Mrs. Vanderhoff kalau telat."
Daniel berlari mengejarku. Tiba-tiba dia membelalak!
"Kat! Awas!" teriaknya.
Kreeek!
Di atasku terdengar bunyi menakutkan. Bunyi berderak yang keras sekali.
Aku mendongak dan melihat dahan pohon yang besar sekali jatuh dari atas.
Aku berdiri seperti patung.
Aku tidak sanggup menjerit. Aku tak sanggup bergerak.
Tak satu otot pun bisa kugerakkan.
Sebentar lagi aku bakal remuk ditimpa dahan mati.
***
"Mrs. Vanderhoff!" aku berseru sambil bergegas memasuki ruang kelas. "Ada
yang harus Anda lihat."
Mrs. Vanderhoff bisa dibilang jenius. Dia tahu segala sesuatu mengenai apa saja.
Dia pintar sekali. Dan dia sering mengajak kami sekelas ke tempat-tempat yang
asyik. Waktu Halloween yang lalu, dia mengajak kami ke gedung teater seram,
yang katanya dihuni roh-roh pemain sandiwara yang sudah meninggal.
Tapi Mrs. Vanderhoff juga kaku sekali. Setiap anak yang tidak memperhatikan
pelajaran atau mengobrol seenaknya pasti dihukumnya!
Dan ada satu masalah lagi. Dia tidak punya rasa humor. Aku belum pernah
melihatnya tersenyum.
"Coba lihat ini, Mrs. Vanderhoff," aku berkata sambil menyodorkan sponsku ke
depan hidungnya. "Saya menemukan ini di bawah tempat cuci piring di rumah
kami yang baru. Waktu adik saya hendak mengambilnya, kepalanya malah
terbentur. Dan ayah saya menyangka saya mendorongnya, dan...
Mrs. Vanderhoff menurunkan kacamatanya dan menatapku sambil mengerutkan
kening. "Ssst, Kat," katanya dengan tegas. "Nah, sekarang mulai lagi¬pelan-pelan
saja."
Aku menarik napas panjang dan mulai ceritaku dari awal; dari waktu kami pindah
rumah sampai ke dahan pohon yang nyaris menimpaku tadi.
"Dan benda ini berdenyut dan bernapas?" Mrs. Vanderhoff bertanya sambil
menatapku tajam.
"Ya!" seruku.
"Coba saya lihat," ujar Mrs. Vanderhoff.
Aku menyerahkan kotak plastiknya.
Dengan ragu dia mengambil spons yang ada di dalamnya.
"Lho, kok?" Aku mengerutkan kening karena heran. Spons itu tampak kering dan
mengerut.
Dia tidak bernapas. Tidak berdenyut-denyut.
Mrs. Vanderhoff menatapku sambil mendelik. "Kat, apa maksudnya ini?" dia
bertanya ketus. "Ini spons dapur biasa."
Dia meringis. "Spons dapur yang kotor."
"Anda keliru!" kataku cepat-cepat. Aku ingin sekali dia percaya padaku. "Ini bukan
sekadar spons. Dia hidup. Dia punya mata. Coba Anda lihat baik-baik."
Mrs. Vanderhoff memicingkan mata dan menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh, baiklah," ujarnya sambil menghela napas.
Dia menundukkan kepala dan mengamati spons itu dari dekat. Jari-jemarinya
meraba-raba permukaan spons yang berkerut-kerut.
"Saya tidak tahu apa maksudmu," Mrs. Vanderhoff akhirnya berkata dengan gusar.
Dia memberi isyarat agar aku kembali ke tempat dudukku. "Benda ini tidak
bermata. Dan juga bukan makhluk hidup. Ini hanya spons bekas yang kotor dan
sudah mengering."
Mrs. Vanderhoff memelototiku. "Kalau kau menganggap ini sebagai lelucon,
Katrina, saya tidak mengerti di mana lucunya. Saya sama sekali tidak mengerti."
"Tapi..." Aku hendak membela diri.
Mrs. Vanderhoff mengangkat sebelah tangan. "Cukup," katanya. Dia
mengembalikan sponsku dan menjatuhkannya ke tanganku seperti sepotong
sampah.
Aku kecewa sekali.
Tidak adakah yang bisa kukatakan untuk meyakinkan dia?
Bunyi penggaris yang diketuk ke tepi meja membuyarkan lamunanku.
"Saya akan mengembalikan kertas ulangan matematika minggu lalu,"
Mrs. Vanderhoff mengumumkan.
Seisi kelas langsung mengerang-erang. Ulangan mendadak mengenai pembagian
itu merupakan bencana bagi kami semua.
"Tenang!" hardik Mrs. Vanderhoff.
Dia meraih ke dalam laci untuk mengambil tumpukan kertas ulangan—dan tiba-
tiba jarinya terjepit!
Dia meraung kesakitan dan memekik, "Jari saya! Aduh... rasanya jari saya patah!"
Aku masih berdiri di samping mejanya. Mrs. Vanderhoff berpaling padaku sambil
memegangi tangannya. "Bantu saya, Kat. Antarkan saya ke ruang P3K!"
Aku membukakan pintu ruang kelas untuk Mrs. Vanderhoff.
Kemudian aku memapahnya menyusuri lorong sekolah.
"Kenapa tangan Anda?" tanya Mrs. Twitchell, petugas P3K di sekolahku. Dia
langsung berdiri dan menghampiri kami. Seragamnya yang putih dan diberi kanji
berdesir-desir setiap kali dia melangkah.
Dia membantu Mrs. Vanderhoff duduk di kursi nyaman.
"Jari saya," Mrs. Vanderhoff mengerang sambil memegangi tangannya yang
bengkak dan merah. Jari saya terjepit laci!"
"Oke," sahut Mrs. Twitchell dengan nada menenangkan. "Tangan Anda akan saya
kompres dengan es. Dan saya akan minta agar Kepala Sekolah menugaskan
seseorang untuk mengawasi kelas Anda,"
"Terima kasih," balas Mrs. Vanderhoff sambil menahan sakit.
"Katrina, kau boleh kembali ke ruang kelas sekarang. Kau sudah banyak
membantu."
Membantu?
Sepertinya ke mana pun aku pergi, ujarku dalam hati, selalu saja ada orang celaka!
Dengan galau aku kembali ke ruang kelas 6B.
"Kat! Kat!" seseorang memanggil-manggil namaku.
Daniel menghambur keluar dari perpustakaan, dan nyaris jatuh karena menginjak
tali sepatunya yang terbuka simpulnya. Serta-merta dia menabrakku.
"Aku menemukannya!" serunya sambil terengah-engah. "Aku menemukan
makhluk spons itu! Di dalam buku! Aku sudah tahu makhluk apa dia sebenarnya!"
9
TANPA sadar kutarik kerah baju adikku. "Makhluk apa dia sebenarnya? Makhluk
apa?" desakku. "Cepat dong! Jangan bikin aku tambah penasaran."
"Hei, tenang saja." Daniel menepis tanganku. "Biar kutunjukkan padamu,"
katanya. "Di dalam sini ada gambarnya."
"Di dalam mana?"
Daniel memandang ke kiri-kanan. Tak seorang kelihatan.
Dengan hati-hati dia mengeluarkan sebuah buku dari balik baju dan
menyerahkannya padaku. Bukunya besar, bersampul hitam.
Kulirik judulnya: Ensiklopedia Keanehan. "Gambarmu juga ada di sini?" aku
menggodanya.
“Ha ha. Lucu sekali," sahutnya. Dia merebut buku dari tanganku. "Kau mau lihat
atau tidak?"
“Jelas mau dong!"
Daniel membalik-balik halaman buku sambil bergumam. "Grebles, Giffins,
Grocks. Ah, ini dia!"
Buku itu disodorkannya ke bawah hidungku.
Baunya aneh—agak apak. Mungkin karena sudah lama sekali nongkrong di rak
buku di perpustakaan.
Daniel menunjuk gambar pada halaman 89. Gambar itu segera kuamati.
Kulit berkerut-kerut. Sepasang mata kecil.
"Hmm, memang mirip sponsku," aku berkomentar.
Aku mulai membaca keterangan di bawah gambar. "Ini seekor Grool."
Seekor Grool? aku bertanya dalam hati. Apa itu?
Aku kembali membaca, "Grool adalah makhluk dongeng yang hidup di masa
lampau."
"Makhluk dongeng?" seruku. "Berarti Grool hanya ada dalam khayalan! Tapi yang
ini benar-benar ada!"
"Baca lagi," Daniel mendesak.
"Grool tidak perlu makan maupun minum untuk hidup. Dia memperoleh kekuatan
dari nasib buruk."
"Da-Daniel," aku tergagap-gagap. "Ini aneh. Benar-benar aneh." Dia mengangguk
dan matanya membelalak lebar.
"Grool sejak dulu dikenal sebagai pembawa sial. Dia hidup dari nasib buruk yang
menimpa orang lain. Grool bertambah kuat setiap kali terjadi musibah di
sekitarnya."
"Ini tidak masuk akal," gumamku. Tapi aku terus membaca, "Pemilik Grool tak
ada habisnya tertimpa sial. Grool tidak bisa disingkirkan dengan cara kekerasan.
Dan dia juga tidak bisa diberikan kepada orang lain ataupun dibuang."
Kenapa tidak? aku bertanya dalam hati.
Jawabannya kutemukan pada baris berikut, "Grool hanya bisa beralih tangan kalau
pemilik sebelumnya meninggal. Barang siapa yang memberikan Grool kepada
orang lain akan MATI dalam satu hari."
"Ini benar-benar konyol!" seruku . "Konyol! Konyol! Konyol!"
Aku berpaling kepada Daniel dan berkata pelan-pelan, "Mana ada makhluk yang
hidup dari nasib sial."
"Huh, jangan sok tahu!" balas Daniel.
"Semua makhluk perlu makanan dan air," ujarku. "Paling tidak, semua makhluk
hidup."
"Entahlah," kata Daniel. "Siapa tahu buku ini memang benar."
Gambar makhluk pada halaman lain menarik perhatianku.
"Hei, apa ini?" tanyaku.
Bentuknya menyerupai kentang—bulat lonjong dan cokelat. Tapi mulutnya penuh
gigi tajam dan runcing.
Cepat-cepat kubaca keterangan di bawahnya, "Lanx adalah sepupu Grool. Tapi
Lanx jauh lebih berbahaya."
"lh," ujar Daniel sambil meringis.
Aku terus membaca, "Begitu menempel pada seseorang, Lanx takkan lepas sampai
selesai mengisap setiap tetes energi dari orang tersebut."
Langsung saja kututup ensiklopedia itu. "Nih, Daniel. Bawa buku konyol ini!"
Serta-merta kusodorkan Ensiklopedia Keanehan itu ke tangan adikku. "Ini benar-
benar sinting. Aku sama sekali tak percaya."
"Tapi kau bilang ingin tahu lebih banyak tentang spons itu," kata Daniel.
"Memang. Tapi bukan isapan jempol seperti ini!" sahutku.
Aku tahu aku bersikap buruk terhadap Daniel. Aku tahu dia cuma ingin membantu.
Tapi bagaimana lagi? Setelah segala kejadian yang kualami, aku memang agak
stres.
Beberapa hari terakhir ini penuh musibah—Dad jatuh dari tangga, dan jari Mrs.
Vanderhoff terjepit laci meja tulisnya. Dan aku hampir mati tertimpa dahan jatuh!
Aku menyusuri lorong ke arah ruang kelasku. "Buku konyol," aku mengomel
sendiri.
Namun ada satu pikiran yang terus saja menyelinap ke dalam benakku: Bagaimana
kalau buku itu benar?
Aku menatap Grool yang masih terkurung di dalam kotak plastik di sudut meja
Mrs. Vanderhoff. Langsung saja aku menghampirinya.
Dia basah lagi. Dan bernapas. Matanya yang hitam dan dingin membalas
tatapanku.
"Makhluk dongeng itu tidak ada," aku berbisik pada spons itu. "Aku tak percaya
yang dikatakan buku itu. Maaf saja!"
Spons itu menatapku sambil menarik napas. Kotak plastik itu kuangkat, lalu aku
mengguncang-guncangnya dengan kesal.
"Kau ini sebenarnya apa?" seruku. "Apa?"
***
10
11
12
***
" Daniel, hujan sudah berhenti," aku berbisik kepada adikku. "Ayo, sudah
waktunya."
Si Grool berdenyut-denyut di dalam kotak plastik.
Ba-boom.
Daniel mengalihkan pandangan dari layar monitor kumputernya.
"Sekarang?" dia bertanya. "Tunggu sebentar deh, Kat. Aku sudah sampai level
sepuluh nih, tinggal satu troll lagi yang harus dibantai Sebelum aku bisa membuka
peti harta karun."
"Tapi ini penting. Benar-benar penting," aku mendesak
Daniel menghela napas. "Kau yakin ini tidak berbahaya? Kau kan tahu apa yang
tertulis di buku itu."
"Aku tak punya pilihan!" seruku. "Jangan lupa, Killer kabur dari sini gara-gara
Grool itu."
Daniel kelihatan gelisah. Dan waswas.
Tapi dengan patuh dia menekan tombol save untuk menghentikan permainan Troll
Terror, lalu mengikutiku ke pekarangan belakang.
Sepanjang hari hujan turun lebat. Tapi kini ada beberapa bintang yang berkerlap-
kerlip di langit malam yang hitam pekat.
"Nih. Tolong pegang Grool ini," bisikku. Makhluk itu kupindahkan ke tangan
Daniel yang gemetaran.
Aku bergegas ke garasi. Untuk pertama kali dalam beberapa hari ini aku merasa
senang. "Grool ini akan kusingkirkan," aku bersenandung pelan.
Setelah mengambil sekop paling besar, aku kembali menghampiri Daniel.
Kemudian aku mulai menggali.
Lubangnya harus dalam, dalam sekali. Cukup dalam agar Grool ini tidak mungkin
keluar lagi.
Angin sejuk berembus pelan. Tapi menggali tanah keras bukanlah pekerjaan
ringan. Butir-butir keringat membasahi punggung dan keningku.
Aku sama sekali tidak takut. Aku harus melakukan sesuatu supaya hidupku
kembali normal. Aku harus menghentikan rentetan nasib sial yang menimpaku.
Dan kalau untuk itu aku harus mengubur spons hidup ini, akan kukerjakan.
Pokoknya aku tak mau lagi melihat makhluk konyol ini.
Aku mengintip ke dalam lubang yang telah kugali. Kelihatannya cukup dalam.
Ujung jariku nyaris tak dapat meraba dasarnya ketika tanganku kumasukkan.
"Nah, sudah selesai," aku berkata kepada adikku. “Mana Grool itu?"
Daniel menyerahkan makhluk itu sambil membisu.
Ketika aku memegangnya di atas lubang yang dalam, spons itu tidak berdenyut-
denyut. Dia tidak bernapas. Dia bahkan tidak terasa hangat.
Kulitnya kering dan mati, persis seperti spons dapur biasa.
Tapi aku tidak bisa ditipu.
Kujatuhkan Grool itu ke dalam lubang dan memperhatikannya merosot sampai ke
dasar.
Kemudian aku kembali meraih sekop dan mulai menimbunnya dengan tanah.
Gali. Lempar. Gali. Lempar.
Akhirnya lubang itu tertutup lagi. Kugunakan punggung sekop untuk memadatkan
tanah lubang.
"Nah," ujarku, "selain kita, tak ada yang tahu Grool itu dikubur di sini."
Aku menatap tanah basah di depan kakiku. "Selamat tinggal, Grool!" seruku
gembira. "Daniel, kurasa keberuntungan kita bakal berubah setelah ini”.
Daniel tidak menyahut.
Aku berbalik. "Daniel? Daniel? Di mana kau?" Adikku telah lenyap.
13
***
Ketika wekerku berdering keesokan paginya, aku langsung turun dari tempat tidur
dan bergegas ke jendela untuk melihat cuaca.
"Oh, ya ampun!"
Seluruh pekarangan belakang kelihatan seperti gurun!
Dalam semalam saja seluruh rumputnya jadi kering. Semua begonia yang semula
berwarna pink tampak merunduk dan berubah jadi cokelat. Bunga-bunga mawar
kebanggaan Dad pun mengerut dan menghitam.
Kasihan Dad, pikirku. Dia sudah bekerja begitu keras untuk memperindah
pekarangan kami. Dan sekarang...
Ketika aku menatap pekarangan yang tandus, aku berusaha menghalau pikiran
yang berusaha menyusup ke dalam benakku. Tapi dalam hati aku tahu persis
bagaimana ini bisa terjadi.
Si Grool.
Dia menggunakan kekuatan jahatnya terhadap pekarangan kami. Dan membunuh
setiap tanaman, setiap bunga, setiap helai rumput yang ada!
Apa yang harus kulakukan? aku bertanya-tanya dengan bingung.
Sambil terbengong-bengong aku menatap pekarangan yang kering kerontang.
Perlukah aku mengeluarkan si Grool dari kuburannya?
Apakah ada pilihan lain?
Sepertinya tak ada.
Cepat-cepat kukenakan celana jeans dan sweterku vang baru.
Kemudian aku mengendap-endap ke bawah, menuju tempat si Grool terkubur.
Lalu aku mulai menggali.
Daun-daun kering jatuh ke kepalaku. Pundakku mulai pegal karena mengangkat
tanah yang lembap dan berat. Perutku juga terasa tidak enak.
Lempar. Gali, lempar.
Semakin dalam aku menggali, semakin tidak keruan perasaanku.
Rasanya aku ingin mencampakkan sekop dan kabur dari tempat itu.
Aku ingin membiarkan makhluk pembawa sial itu terkubur selama-lamanya.
Aku harus menghadapi kenyataan.
Kalau tetap terkubur, si Grool akan terus membalas dendam padaku.
Pada seluruh keluargaku.
Aku menggali sampai ke dasar lubang. Kemudian aku membungkuk dan
menyingkirkan sisa-sisa tanah terakhir dengan kedua tangan.
Perlahan-lahan si Grool mulai kelihatan. Dia tampak lebih hidup dan lebih
bersemangat daripada yang sudah-sudah.
'Mestinya kau kuremukkan dengan sekop ini!" Aku membentaknya.
Si Grool berdenyut-denyut kencang, seakan-akan gembira mendengar ucapanku.
Ba-boom. Ba-boom.
Bunyi napasnya terdengar jelas sekali.
Dan sekali lagi dia berubah warna, dari cokelat ke pink, lalu ke merah tomat. Dan
dia terus berubah-ubah warna seiring tarikan napasnya.
Cokelat. Pink. Merah.
Cokelat. Pink. Merah.
Kutarik si Grool dari kuburannya. Dia berdenyut begitu keras sehingga terlepas
dari tanganku dan jatuh ke tanah.
"Diam kau!" teriakku sambil memungutnya.
Si Grool menatapku. Matanya yang kecil dan bulat tampak merah membara.
Aku menggigil.
Sambil mengertakkan gigi kuselipkan si Grool ke kantong sweter baruku. Lalu aku
kembali ke rumah. Aku masuk lewat pintu dapur, menuju ke arah tangga.
Di kaki tangga aku mendengar bunyi. Sepertinya bunyi itu berasal dari kamar
Mom dan Dad.
Mereka sudah bangun, aku menyadari. Aku harus buru-buru, sebelum aku tepergok
dan ditanyai macam-macam. Bisa tambah ramai lagi kalau begitu.
Tergesa-gesa aku menaiki tangga. Dengan setiap langkah aku melewati dua anak
tangga sekaligus.
GUBRAK! Aku terpeleset, lutut kananku membentur tangga.
"Aduh!" jeritku.
Aku merasa si Grool berguncang-guncang di dalam kantongku. Aku mendengar
tawanya yang membuat bulu kuduk berdiri.
heh, heh.
Dia menertawakan aku!
Langsung saja kutarik dia keluar dari kantong dan kuremas begitu keras sampai
jari-jemariku terasa sakit. Lalu aku bergegas ke kamarku dan mencampakkannya
ke dalam kandang marmut.
"Aku akan menemukan cara untuk menghancurkanmu," aku mengancamnya.
Sambil menggosok-gosok lututku yang masih terasa nyeri, aku memelototi
makhluk brengsek itu. "Aku akan menghancurkanmu sebelum kau sempat
membawa nasib sial lagi untuk keluargaku!" seruku.
Tapi bagaimana? aku bertanya-tanya.
Bagaimana?
15
"ANAK-ANAK, besok Bibi Louise akan datang," Mom memberitahu aku dan
Daniel keesokan paginya. "Jadi Mom minta kalian berdua membereskan kamar
masing-masing setelah pulang sekolah nanti."
"Bibi Louise mau datang?" tanyaku. "Wah, asyik!"
Bibi Louise kerabat yang paling kusukai. Biarpun dewasa, dia benar-benar
menyenangkan.
Dia selalu mengenakan gaun panjang bermotif bunga, dan ke mana-mana selalu
menyetir mobil convertible-nya yang berwarna kuning.
Dan dia jago meniup permen karet menjadi balon! Dan dia tahu banyak lelucon
lucu.
Mom bilang kepala Bibi Louise di awang-awang. Maksudnya mungkin dia suka
berkhayal. Entah benar atau tidak, tapi yang jelas, dia tahu banyak tentang hal-hal
seperti astrologi dan ramal-meramal dengan kartu.
Dan barangkali—juga tentang Grool.
Malam itu, setelah kubereskan kamarku dan sebelum aku tidur, aku memberi
ucapan selamat malam yang istimewa kepada si Grool.
"Besok bibiku mau datang, dan dia akan membantuku menyingkirkanmu selama-
lamanya," aku berbisik.
Si Grool menatapku sambil bernapas dengan tenang.
Seusai sekolah esok sorenya, Daniel dan aku membelok ke jalan tempat kami
tinggal. Dari jauh mobil kuning kepunyaan Bibi Louise sudah kelihatan. Daniel
dan aku langsung berlari sampai ke rumah.
"Hei—ada apa nih?" Bibi Louise menyapa ketika kami menyerbu masuk.
Rambutnya yang hitam dan ikal tertutup topi jerami lebar.
Sebelum Daniel sempat menyahut, aku sudah memeluk Bibi Louise dan berbisik
ke telinganya, "Bibi harus ikut aku ke atas. Sekarang. Ini super-penting."
Bibiku mencopot topinya, menaruhnya di kepalaku, lalu mengamatiku sambil
tersenyum. "Super-penting?" dia bertanya.
"Ya," bisikku. Serta-merta aku meraih tangannya dan menariknya ke arah tangga.
"Bibi pernah dengar tentang Grool?" tanyaku.
"Grool? Hmmm. Bibi harus ingat-ingat dulu," sahutnya sambil mengerutkan
kening. "Rasanya belum pernah. Apa itu, Grool?"
"Begini," aku mulai menjelaskan. "Daniel menemukan fotonya di ensiklopedia.
Dan di situ tertulis Grool makhluk khayalan yang hidup di zaman dulu...."
"Hmm, kalau Grool itu makhluk khayalan, Sayang, berarti mereka sebenarnya
tidak ada," Bibi Louise memotong.
"Tapi mereka benar-benar ada!" seruku. "Aku tahu karena aku punya satu. Dan dia
selalu bikin masalah."
Bibi Louise ikut ke kamarku.
"Bibi pernah dengar tentang Lanx?" tanyaku. Dia menggelengkan kepala.
"Itu makhluk lain lagi yang juga ada dalam ensiklopedia. Bentuknya seperti
kentang, tapi dengan mulut penuh gigi tajam."
"Ih, kedengarannya seram sekali!" seru Bibi Louise. "Tapi coba ceritakan tentang...
Grool ini. Bagaimana rupanya?"
"Ayo, kutunjukkan saja," kataku. Aku menariknya ke kamarku.
Aku menunjuk ke kandang marmut. Si Grool lagi mendekam di pojok.
Bibi Louise menghampiri kandangnya. "Jadi kau yang namanya Grool," katanya
sambil membungkuk. Dia mengulurkan tangan untuk meraihnya.
"Jangan!" seruku. "Sebaiknya jangan dipegang."
Tapi aku terlambat.
16
17
18
BAGAIMANA dia bisa kabur? Sebelum ini si Grool tak pernah berusaha keluar
dari kandangnya.
Malahan, spons konyol itu sepertinya sama sekali tak berminat meninggalkanku.
Kenapa dia menghilang sekarang? Dan ke mana dia pergi?
Dan musibah apa lagi yang sedang direncanakannya?
Dia tak mungkin pergi jauh-jauh, ujarku dalam hati. Dia kan tidak punya kaki.
Aku hendak memanggil Daniel. Tapi tenggorokanku seakan-akan tercekik karena
ngeri.
Dengan kalang kabut aku mulai mencari-cari si Grool. Aku tiarap di lantai dan
mengintip ke kolong tempat tidur. Tapi dia tidak di situ.
Kukeluarkan semua baju dari lemari pakaianku. Kubuka semua laci meja riasku.
Tapi tetap belum ketemu.
Aku memeriksa setiap jengkal di kamarku. Aku bahkan memanggil-manggilnya,
"Sini, Grool. Sini, Grool."
Sia-sia saja. Makhluk itu tetap lenyap.
Aku teringat keterangan dalam Ensiklopedia Keanehan: Barang siapa memberikan
Grool kepada orang lain akan MATI dalam satu hari.
"Daniel!" jeritku. "Daniel!" Aku berlari menuruni tangga dan menyerbu ke ruag
TV. Saking kerasnya aku mengguncangkan dia, mouse komputer sampai terlepas
dari tangannya.
"Si Grool hilang!" aku berseru. "Dia kabur!"
Daniel berpaling dari layar monitor. "Apa? Hilang?!"
"Dia kabur! Kandangnya kosong!" kataku.
Daniel mengerutkan kening, seakan-akan sedang berpikir keras. "Aku tahu di mana
dia," ujarnya. "Pasti dibawa Carlo."
"Hah?" seruku. "Aduh, kenapa kau membiarkan Carlo membawanya?"
"Aku tidak tahu kalau Carlo mau membawanya," balas Daniel sengit. "Dia pasti
mengambilnya waktu mau pulang tadi. Dia pikir ini cuma lelucon. Dia tidak
percaya spons itu membawa nasib sial."
"Dasar brengsek!" aku menggerutu. "Mungkin lebih baik Grool itu kita biarkan
saja di tempat dia. Biar dia tahu rasa."
"Jangan, Kat!" seru Daniel. "Carlo kan sahabatku. Si Grool harus kita ambil lagi—
sebelum ada kejadian fatal!"
Daniel dan aku menyambar jaket masing-masing dari gantungan di ruang depan.
Kemudian kami berlari ke garasi. Kami melompat ke sepeda dan melaju sepanjang
Maple Lane.
"Kira-kira ke mana dia?" tanyaku.
"Coba ke lapangan di sekolah dulu," ujar Daniel. "Di sana selalu ada anak-anak."
"Yeah, dan Carlo memang tukang pamer," aku berseru. "Dia pasti langsung ke
sana untuk memamerkan si Grool."
"Dia bukan tukang pamer!" Daniel memprotes.
"Dia tukang pamer!" sahutku tegas. Lalu kugenjot sepedaku dengan kencang,
mendului adikku.
Dalam beberapa menit aku sudah sampai di Chestnut Street. "Tinggal dua blok
lagi!" aku berseru sambil terengah-engah. Aku mengurangi kecepatan agar Daniel
bisa menyusulku.
Aku membelok.
"Oh, aduh!" jeritku.
Serta-merta aku menekan rem. Dan berhenti mendadak.
Apa itu yang tergeletak di tengah jalan? Carlo-kah itu?
Ya!
Carlo. Tergeletak dalam posisi tengkurap. Tangan dan lengannya terjulur di aspal.
"Kita telat!" teriak Daniel. "Kita telat!"
19
DANIEL dan aku langsung melompat turun, tanpa peduli bahwa sepeda kami
terbalik di jalan. Kami berlutut di samping Carlo dan memanggil-manggil
namanya.
"Ohhhh, wow," Carlo mengerang tertahan. Dia memegangi kaki kanannya.
"Carlo!" seruku. "Ada apa? Apa yang terjadi? Kau tidak apa-apa?"
Aku menoleh dan melihat sepedanya tergeletak di bawah pohon di tepi jalan.
"Bagaimana kejadiannya?" tanya Daniel pelan-pelan. Adikku memang paling tidak
tahan melihat darah.
"Anak-anak yang lebih gede mengajakku balapan," ujar Carlo.
"Sebenarnya aku tidak mau tapi mereka bilang aku pengecut."
Dia duduk dan mengusap-usap lututnya. "Wow, aku benar-benar terbang tadi!
Terus, ehm, sepedaku selip gara-gara kerikil—dan menabrak pohon. Anak-anak itu
menganggapnya lucu sekali. Mereka jalan terus dan membiarkanku di sini."
"Daniel, bantu aku mengangkat dia," kataku. Kami memapah Carlo dan
menggiringnya ke trotoar.
Kemudian kami duduk sambil menatap sepeda Carlo yang rusak berat.
Setangnya sampai bengkok.
"Anehnya," ujar Carlo, "aku tidak melihat pohon brengsek itu sampai aku
menghantamnya."
Daniel menyikutku. Aku tahu pikiran dia sama dengan pikiranku.
Si Grool beraksi lagi.
Kami harus mendapatkannya kembali.
"Carlo, di mana si Grool?" tanyaku.
"Dalam keranjang." Dia menunjuk sepedanya. Aku meraih lewat setang dan
meraba-raba isi keranjang.
Tak ada apa-apa di dalamnya. Keranjang itu kosong.
"Carlo, jangan main-main!" aku menggerung. "Si Grool tak ada di situ. Mana dia?"
Nada suaraku jadi tinggi dan melengking. Rasa panik mulai mencengkeram diriku.
"Hah? Tadi di situ kok!" seru Carlo. "Aku menaruhnya di situ. Aku mau
membawanya pulang."
"Hah, mana mungkin!" ujarku. "Kau pasti mau membawanya ke lapangan sekolah
untuk memamerkannya. Ya, kan?"
Carlo menundukkan kepala. "Ehm, tapi cuma sebentar kok."
"Bagus! Bagus sekali!" aku menggerutu. "Gara-gara kau, si Grool hilang benaran."
Daniel menatapku. Wajahnya pucat pasi. "Kita harus menemukannya, Kat,"
bisiknya. "Ingat apa yang ditulis dalam ensiklopedia. Kalau kita tidak berhasil
menemukannya dalam satu hari, kau bakal mati!"
"Aku ingat," sahutku sambil merinding. "Tapi di mana kita harus mencarinya? Di
mana?"
20
"ADUH, dari mana kita harus mulai mencari?" Aku menghela napas.
"Barangkali dia terlempar dari keranjang waktu aku menabrak pohon," ujar Carlo.
"Mungkin dia masih ada di sekitar sini."
Daniel menarik lengan jaketku. "Ayo," desaknya. "Kita harus mulai mencari."
Carlo berdiri. "Sebaiknya aku pulang dulu," katanya. Dia berjalan sambil
terpincang-pincang. Untung saja rumahnya hanya berjarak satu blok.
Daniel dan aku mencari di mana-mana. Di depan pintu-pintu, di bawah mobil-
mobil, di kebun-kebun bunga—pokoknya, di mana saja si Grool mungkin
menggelinding.
Tapi sia-sia.
Ketika kami sudah mau menyerah, aku melihat tutup gorong-gorong di dekat
sepeda Carlo. Mungkinkah si Grool jatuh ke situ?
Daniel juga melihatnya. "Kat? Aku yakin dia menggelinding masuk ke gorong-
gorong! Dia pasti ada di bawah sana. Aku yakin!"
Aku tiarap di trotoar. Sambil tengkurap aku memandang ke kegelapan di balik kisi-
kisi besi.
"Terlalu gelap. Aku tak bisa melihat apa-apa," laporku. "Salah satu dari kita harus
masuk ke situ."
"Ehm... salah satu? Mungkin... mungkin lebih baik kalau aku saja," adikku
menawarkan dengan suara gemetaran.
Daniel suka berlagak berani. Tapi aku tahu dia takut pada banyak hal.
Termasuk gorong-gorong gelap.
Dia bisa pingsan kalau harus turun ke situ. "Jangan. Biar aku saja," ujarku. "Si
Grool lebih kenal aku daripada kau."
Berdua kami mengangkat kisi-kisi yang berat. Aku meraba-raba dengan kakiku.
Ternyata ada tangga sempit di dinding lubang gorong-gorong.
"Kelihatannya cuma ini jalan untuk turun," ujarku pelan-pelan.
"Hmm, apa boleh buat."
Perlahan-lahan aku masuk ke lubang gelap dan basah. Semua anak tangganya
basah dan licin. Dinding lubangnya tertutup lumpur tebal.
"Huh, baunya minta ampun!" aku berseru ke atas. "Kalau tidak terpaksa, aku
takkan mau turun ke sini."
Srooot!
Ketika aku sampai di dasar gorong-gorong, sepatuku menginjak sesuatu yang
basah dan lengket.
"Idih!" aku memekik sambil menarik kakiku ke atas.
"Kau tidak apa-apa?" Daniel memanggil. Sepertinya dia berada sepuluh mil di
atasku.
"Aku tidak apa-apa!" sahutku. "Tapi sepertinya aku menginjak timbunan lumpur.
Wow, gelap benar di bawah sini."
Dengan hati-hati kakiku kuturunkan lagi. Kucengkeram tangga erat-erat dengan
sebelah tangan. Aku takut jalan keluarnya tak bisa kutemukan lagi kalau tangga itu
sampai kulepaskan.
Terlalu gelap, aku menyadari. Aku takkan bisa menemukan si Grool di bawah sini.
Kemudian aku mendengarnya.
Ssss-ahhh. Ssss-ahhh.
Bunyi napas!
Ssss-ahhh. Ssss-ahhh.
Si Grool. Di mana dia?
Aku menahan napas dan berdiri seperti patung. Aku memusatkan perhatian dan
berusaha menentukan dari arah mana suara napas itu berasal.
Ssss-ahhh. Ssss-ahhh.
Dari sebelah kananku?
Aku tahu aku harus berjalan ke sana dan menangkap si Grool. Tapi aku ngeri
melepaskan tangan dari tangga. Akhirnya kuputuskan aku akan menghitung jumlah
langkah yang kutempuh, mencari si Grool - lalu menghitung jumlah langkah yang
sama ke arah tangga.
Aku menelan ludah, dan melepaskan tangga. Aku melangkah ke kegelapan dan
mulai menghitung.
"Satu... dua... tiga... empat..." Bunyi napasnya semakin dekat. "Lima... enam..."
Aku berhenti dan pasang telinga.
"Hei?" aku berkata kepada diriku sendiri. "Kok seperti ada yang mengais-ngais?"
Kemudian aku melihat mata-mata itu.
Bukan mata si Grool yang kecil dan bundar.
Mata-mata yang besar. Beberapa pasang.
Dan semuanya menatapku sambil bersinar dalam gelap.
21
22
"KALIAN tahu anak-anak yang mengajakku balapan tadi?" Carlo bertanya sambil
menyeretku ke jalan. "Anak-anak yang suka nongkrong di lapangan sekolah?"
"Yeah. Kenapa memangnya?" tanyaku.
"Aku yakin si Grool diambil salah seorang dari mereka. Sepertinya aku masih
ingat..."
Daniel langsung bergerak, tanpa menunggu Carlo menyelesaikan kalimatnya.
"Ayo!" katanya. Serta merta dia melompat ke sepedanya dan melaju ke arah
lapangan sekolah.
Aku mengambil sepeda dan mulai menyusul adikku. Carlo berlari mengejar kami.
"Tunggu! Tunggu aku dong!" teriaknya.
Kami ngebut sampai di sekolah, lalu menggiring sepeda masing-masing ke
lapangan bisbol. Di situlah anak-anak yang sudah lebih besar suka berkumpul.
"Itu mereka," ujar Carlo. Dia menunjuk sekelompok cowok yang sedang berganti-
gantian memukul dan menangkap bola.
"Carlo," bisik Daniel dengan gugup. "Mereka sudah besar-besar. Sepertinya anak-
anak high school."
Aku melihat dua cowok berdiri di tepi lapangan bisbol. Mereka sedang
membungkuk sambil memandang sesuatu yang dipegang oleh anak yang lebih
jangkung.
Sesuatu yang kecil, bundar, dan cokelat. Si Grool!
Aku bergegas menghampiri mereka. "Hei, apa kabar?" kusapa mereka seramah
mungkin. "Aku tahu kedengarannya aneh, tapi kalian bawa spons kesukaanku.
Boleh aku minta lagi?"
Cowok yang jangkung menatapku sambil memicingkan mata.
Tampangnya lumayan keren, dengan mata hijau serta rambut pirang lurus yang
menyentuh pundaknya.
"Spons kesukaanmu?" dia mengulangi. Kemudian dia nyengir lebar. "Sori. Kau
keliru. Ini spons kesukaanku."
" Aku serius," aku berkeras. "Spons itu jatuh dari sepeda anak itu."
Aku menunjuk Carlo. Dia dan Daniel memperhatikanku dari jauh.
"Aku benar-benar membutuhkannya."
"Apa buktinya spons ini memang kepunyaanmu?" tanya anak itu. Dia memutar-
mutar si Grool di tangannya. "Aku tidak melihat namamu tertulis di sini."
Aku memicingkan mata dan menatapnya setajam mungkin.
"Sebaiknya kau kembalikan padaku," aku mengancam. "Soalnya itu bukan spons.
Kau bakal ketimpa sial kalau tidak mengembalikannya."
"Oh, aku jadi ngeriii," dia mengejek. "Tapi kelihatannya justru kau yang ketimpa
sial—soalnya aku tak mau mengembalikannya!"
Dia mengayun-ayunkan si Grool di depan hidungku, lalu memanggil temannya.
"Hei, Dave! Tangkap nih!"
Dia mengoperkan si Grool kepada Dave.
"Ayo, kembalikan!" seruku. Aku melompat maju untuk merebut si Grool. Tapi
spons itu melayang tinggi di atas kepalaku.
Bolak-balik mereka melemparkan si Grool sambil ketawa-ketawa.
Mereka menikmati permainan itu. Aku tidak. Setelah sepuluh menit aku menyerah.
Oke, pikirku. Biar saja mereka main-main sama si Grool.
Sebentar lagi mereka bakal tahu makhluk brengsek itu selalu main curang.
Aku berbalik, lalu menghampiri Daniel dan Carlo. Tapi sebelumnya aku masih
sempat berkata, "Kalian akan menyesal."
Anak yang berambut pirang cuma angkat bahu dan ketawa. Kemudian dia
bergegas untuk mengambil giliran memukul. Dia sengaja menyelipkan si Grool ke
dalam kantong celana—supaya aku tidak bisa mengambilnya.
Dia mengambil posisi, tongkat pemukul digenggamnya dengan erat...
Tak!
Lemparan pertama langsung menghantam kepalanya.
Matanya berputar-putar. Dia terhuyung-huyung, lalu ambruk, dan tak bergerak
lagi.
"Tolong!" teriak teman-temannya. "Tolong!"
Si Grool beraksi lagi. Untuk kesekian kalinya dia mendatangkan sial bagi orang
yang membawanya.
"Dia tidak apa-apa?" tanya Daniel. "Dia tidak ma...?
Aku tidak menyahut. Aku melihat si Grool menggelinding dari kantong celana
anak itu.
Cepat-cepat aku maju untuk memungutnya. Tapi tanganku cuma menyambar
rumput kering.
Dave, teman si pirang, memungut si Grool sebelum aku sempat meraihnya.
"Ayo, kejar!" serunya. Sehabis itu dia melemparkan makhluk mungil itu ke udara
sekuat tenaga.
24
AKU berusaha menjangkaunya. Tapi Dave jauh lebih jangkung daripada aku.
Dengan mudah dia menangkap si Grool.
"Nih, bawa saja," katanya. Dia melemparkan si Grool padaku.
Kemudian dia segera menghampiri temannya.
Anak pirang tadi sudah duduk dan menggosok-gosok kepala. "Aku tidak apa-apa,"
ujarnya berulang-ulang. "Sungguh. Aku tidak apa-apa. Kepalaku kena apa sih?"
Daniel dan aku bergegas mengambil sepeda. Carlo berlari mengejar kami.
Makhluk spons itu berdenyut begitu keras, keranjang sepedaku sampai bergetar.
Tubuhnya„ berubah-ubah warna dari merah ke hitam, merah ke hitam, seirama
dengan tarikan napasnya.
Ba-boom. Ba-boom.
Dia terkekeh-kekeh kesenangan.
Heh, heh, heh.
Dia kelihatan gembira sekali. Gembira karena berhasil membuat anak pirang tadi
jatuh pingsan.
"Kau benar-benar menyebalkan!" seruku. "Kau akan kubawa pulang dan kukurung
di dalam kandang!"
Sepedaku kugenjot sambil berdiri, supaya bisa melaju lebih kencang lagi. Pulang,
pikirku. Aku harus segera pulang.
Aku melesat melewati Oak Street sambil membungkuk dan menundukkan kepala.
Kayuhanku semakin kencang saja.
Angin mengacak-acak rambutku.
Aku mendengar Daniel memanggil-manggilku dari belakang.
Tapi aku terlalu kencang. Anginnya terlalu keras, sehingga aku tak mengerti apa
yang dikatakan adikku.
Sekali lagi dia memanggilku.
Dan kemudian aku mendengar bunyi klakson dan rem berdecit-decit.
Aku segera menoleh dan masih sempat melihat truk besar berwarna hitam dan
perak menggelincir di jalan.
Aku bakal tertabrak!
25
26
27
BIARPUN dengan berat hati, kuangkat Grool yang berdenyut-denyut dari tempat
cuci piring dan kupegang dia dengan lembut.
Pelan-pelan aku menepuk-nepuk kepalanya yang berkerut-kerut. Lalu aku
bernyanyi dengan manis, "Mari tidur, Grool kecil, aku sayang kamu. Tidurlah yang
nyenyak, Grool kecil, la la la, la la la."
"Kat, kau kok makin aneh saja sih?" Daniel berkomentar. "Sudah deh. Kau lagi
agak bingung. Lebih baik kau berbaring dulu."
Tapi aku terus bernyanyi semerdu mungkin.
"Apa sih maunya?" Daniel bertanya. pada Carlo. "Kau mengerti, tidak?"
Carlo menggelengkan kepala.
Aku tidak menggubris mereka.
Aku harus berkonsentrasi.
Aku harus memaksakan diri untuk membelai-belai si Grool dengan penuh kasih
sayang. Aku mendekap makhluk brengsek itu dan mengayun-ayunkannya dengan
lembut—persis seperti orang memeluk anak anjing.
Aku berbisik ke telinganya,
"Grool kecil, Grool manis, kau begitu baik, begitu lucu, begitu cantik. Aku sayang
kau, Grool."
"Sudah dong, Kat," Daniel memohon. "Kau bikin aku jadi senewen. Aku benar-
benar menguatirkanmu."
"Bisa-bisanya makhluk itu kaugendong," ujar Carlo. "Dia begitu menjijikkan!"
"Grool manis," aku berbisik. "Begitu manis." Kulitnya yang berkerut-kerut
kubelai-belai dengan lembut.
Kalau ini tidak berhasil juga, aku berkata dalam hati, tak ada lagi yang bisa
kulakukan.
"Aku panggil Mom dan Dad, lho," Daniel mengancam. Dia hendak menuju pintu
dapur.
"Sssst!" Aku menempelkan jari ke bibir. Kemudian aku menunjuk si Grool. "Lihat
nih."
Makhluk itu kini hanya berdenyut sesekali, dan itu pun pelan-pelan.
Aku terus bernyanyi dengan merdu.
Tanpa berkedip kami menyaksikan warna si Grool memudar. Dari merah ke pink,
dan—akhirnya kembali ke warna cokelat kusam seperti semula.
"Wow!" ujar Daniel.
"Perhatikan terus," kataku, sambil mendekap si Grool lebih erat lagi.
Aku kembali menyanyikan satu lagu.
Si Grool mendesah perlahan. Aku melihatnya mengerut dan mengering di
tanganku.
Dia memejamkan mata, yang kemudian segera tertutup oleh kulitnya yang cokelat
dan kering.
"D-dia makin lemah, Kat," bisik Daniel.
"Pokoknya, perhatikan terus," aku berkata sekali lagi. Lalu aku berbisik kepada si
Grool, "Nah, Grool kecil. Kau manis sekali."
Kuayun-ayunkan dia seperti bayi.
Napas si Grool semakin pelan—pelan—sampai akhirnya berhenti sama sekali.
Dia diam tak bergerak dalam pelukanku. Tak ada suara. Tak ada denyut.
"Nah, sekarang perhatikan ini!" aku berseru kepada Daniel dan Carlo.
Kuangkat spons yang berkerut-kerut itu, lalu kuberi ciuman mantap.
28
29
***
Aku hendak menyerahkannya kepada Daniel. Tapi tiba-tiba jariku tertusuk benda
tajam. "Aduh!" aku memekik kaget.
Kentang itu kubalik di tanganku. Rasanya hangat. Dan aku bisa merasakannya
menarik napas.
"Daniel, kayaknya ada yang tidak beres nih." Kentang itu ternyata punya mulut
yang penuh gigi.
End