Anda di halaman 1dari 103

Chapter 1

Josh dan aku tidak menyukai rumah baru kami.


Rumah itu memang besar. Jauh lebih besar dibanding rumah
kami yang lama. Tinggi, dengan dinding bata merah, atap landai
berwarna hitam, dan daun-daun jendela yang juga berwarna hitam.
Gelap sekali, pikirku ketika melihat rumah itu dari jalan.
Seluruh rumah diselimuti kegelapan, seolah-olah bersembunyi di balik
bayang-bayang pohon-pohon besar yang mengelilinginya.
Ketika itu pertengahan Juli, tapi daun-daun kering memenuhi
halaman depan. Daun-daun itu berderak remuk terinjak sepatu karet
kami, ketika kami berjalan di jalan masuk yang berkerikil.
Semak-semak tumbuh meninggi di sela-sela dedaunan kering.
Kebun bunga di samping serambi depan dipenuhi semak-semak liar.
Pohon bunganya sudah mati semua.
Rumah ini kelihatan seram, pikirku.
Josh pasti merasakan hal yang sama. Kami berdiri memandang
rumah itu dan sama-sama mengeluh.
Mr. Dawes, dari kantor real estate, berhenti berjalan dan
berbalik ke arah kami.
"Kalian baik-baik saja?" tanyanya, memandang Josh, lalu
memandangku. Mr. Dawes masih muda, matanya berwarna biru dan
sikapnya hangat bersahabat.
"Josh dan Amanda tidak senang pindah rumah," Dad
menjelaskan sambil memasukkan ujung bajunya ke dalam celana. Dad
agak kegemukan, dan ujung bajunya selalu saja lepas keluar.
"Memang tidak menyenangkan untuk anak-anak," Mom
menambahkan sambil tersenyum kepada Mr. Dawes. Mom berjalan ke
pintu depan dengan kedua tangan dimasukkan ke saku celana jeans-
nya. "Mereka terpaksa berpisah dengan teman-teman mereka, pindah
ke tempat yang masih asing."
"Asing dan aneh," Josh menggelengkan kepala. "Rumah ini
seram."
Mr. Dawes tertawa sekilas. "Ini memang rumah tua," katanya,
menepuk bahu Josh.
"Cuma perlu diperbaiki sedikit-sedikit, Josh," kata Dad sambil
tersenyum kepada Mr. Dawes.
"Rumah ini sudah lama tidak ditinggali, jadi perlu beberapa
perbaikan."
"Lihatlah, rumah ini besar sekali," Mom menambahkan, lalu
mengusap rambutnya yang hitam ke belakang dan tersenyum pada
Josh. "Kita bisa punya ruang baca, dan mungkin ruang rekreasi juga.
Kau suka kan, Amanda?"
Aku hanya mengangkat bahu. Embusan angin dingin
membuatku menggigil. Hari itu sebenarnya hari musim panas yang
hangat dan indah. Tapi semakin dekat ke rumah itu, aku merasa
semakin dingin.
Dugaanku karena pohon-pohon rimbun itu.
Aku mengenakan celana pendek putih dan baju kaus biru tanpa
lengan. Di mobil tadi panas sekali, tapi sekarang aku menggigil
kedinginan. Barangkali di dalam rumah akan lebih hangat, pikirku.
"Berapa umur mereka?" tanya Mr. Dawes pada Mom, ketika
mereka melangkah masuk ke serambi.
"Amanda dua belas tahun," jawab Mom. "Dan Josh baru bulan
lalu merayakan ulang tahunnya yang kesebelas."
"Mereka sangat mirip," kata Mr. Dawes pada Mom.
Aku tak tahu apakah itu suatu pujian, atau apa.
Tapi rasanya benar. Josh dan aku sama-sama tinggi dan kurus.
Rambut kami keriting, warnanya cokelat, seperti rambut Dad. Mata
kami berwarna cokelat tua. Orang bilang, wajah kami serius.
"Aku mau pulang," kata Josh, suaranya bergetar. "Aku benci
tempat ini."
Adikku memang anak yang paling tidak sabaran di dunia. Dan
kalau ia sudah punya keinginan, tak ada yang bisa mengubahnya. Ia
agak manja, menurutku. Bila ia ribut menginginkan sesuatu, biasanya
ia akan mendapatkannya.
Kami memang mirip, tapi tidak persis sama. Aku jauh lebih
sabar daripada Josh. Lebih banyak pakai akal sehat dan pertimbangan.
Mungkin karena aku lebih tua dan karena aku anak perempuan.
Josh memegang tangan Dad, mencoba menariknya kembali ke
mobil. "Ayo pergi. Ayo, Dad. Kita pergi."
Aku tahu, sekali ini Josh tak akan mendapatkan apa yang
dimauinya. Kami akan pindah ke rumah ini. Pasti. Apalagi rumah ini
gratis. Seorang saudara kakek Dad, yang tak pernah kami kenal
sebelumnya, meninggal dunia dan mewariskan rumah ini pada Dad.
Aku takkan pernah lupa ekspresi wajah Dad waktu ia membuka
surat dari kantor pengacara. Dad bersorak keras dan menari-nari
berkeliling ruang depan. Josh dan aku berpikir jangan-jangan Dad
agak miring.
"Saudara kakekku, Charles, mewariskan sebuah rumah kepada
kita," ia menjelaskan. Dibaca dan dibacanya lagi surat itu. "Rumah itu
terletak di sebuah kota kecil bernama Dark Falls."
"Hah?" Josh dan aku berseru. "Dark Falls itu di mana sih?"
Dad hanya angkat bahu.
"Aku tak ingat ada saudara kakekmu yang bernama Charles,"
Mom mendekat ke belakang Dad, ikut membaca surat itu dari balik
pundaknya.
"Aku juga tidak ingat," Dad mengaku. "Tapi beliau pasti orang
baik! Wow! Kedengarannya rumah ini hebat!" Dad menggenggam
tangan Mom dan menyeretnya berdansa berkeliling ruangan.
Dad kelihatan sangat gembira. Sudah beberapa lama ia mencari
alasan untuk meninggalkan pekerjaan kantornya yang membosankan,
ingin mencurahkan seluruh waktu dan perhatiannya sebagai penulis.
Rumah gratis ini bisa menjadi alasan yang sudah lama ditunggu-
tunggunya.
Dan sekarang, seminggu setelah itu, kami berada di Dark Falls,
empat jam perjalanan dari rumah kami, melihat rumah baru ini untuk
pertama kalinya. Kami bahkan belum masuk ke dalam rumah, dan
Josh sudah menarik-narik Dad kembali ke mobil.
"Josh, jangan menarik-narikku!" Dad membentak tak sabar,
mencoba menarik tangannya dari genggaman Josh.
Dad menoleh sekilas pada Mr. Dawes. Sepertinya ia agak malu
atas kelakuan Josh. Mungkin aku bisa membantu.
"Lepaskan, Josh," kataku perlahan sambil menggenggam bahu
Josh. "Kita sudah setuju untuk memberi kesempatan pada Dark Falls,
iya, kan?"
"Sudah kuberi kesempatan," Josh merengek tanpa melepaskan
tangan Dad. "Rumah ini sudah tua dan jelek. Aku benci rumah ini."
"Kau belum masuk ke dalamnya," kata Dad marah.
"Ya. Mari kita masuk ke dalam," Mr. Dawes menganjurkan,
matanya menatap Josh.
"Aku di luar saja," Josh berkeras.
Kadang-kadang ia memang keras kepala. Aku punya perasaan
yang sama dengan Josh tentang rumah tua dan gelap ini, tapi berbeda
dengan Josh, aku tak pernah memaksakan kemauanku sendiri.
"Josh, kau tak ingin memilih kamarmu sendiri?" tanya Mom.
"Enggak," Josh menjawab pendek.
Ia dan aku sama sama memandang ke atas. Di tingkat dua ada
dua jendela yang menjorok ke luar, bersebelahan, seperti dua buah
mata yang menatap kami.
"Sudah berapa lama tinggal di rumah yang sekarang?" Mr.
Dawes bertanya pada Dad.
Dad perlu berpikir sedetik sebelum menjawab. "Kira-kira empat
belas tahun. Anak-anak ini sudah tinggal di rumah itu sejak lahir."
"Pindah rumah memang berat," suara Mr. Dawes bernada
simpati. Ia menoleh ke arahku. "Tahu tidak, Amanda, aku baru
beberapa bulan yang lalu pindah ke Dark Falls ini. Pertama kali aku
tidak menyukainya. Tapi sekarang aku tak ingin tinggal di tempat
lain." Ia mengedipkan sebelah mata kepadaku. Kalau ia tersenyum,
ada lekukan manis di dagunya. "Ayo, masuk ke dalam. Rumah ini
sebetulnya bagus. Lihat saja."
Kami semua, kecuali Josh, mengikuti Mr. Dawes. "Ada anak-
anak lain enggak di blok ini?" tanya Josh. Suaranya lebih mirip
tantangan daripada pertanyaan.
Mr. Dawes mengangguk. "Sekolah hanya berjarak dua blok dari
sini," katanya sambil menunjuk ke ujung jalan.
"Tuh, enak, kan?" Mom cepat-cepat menukas. "Jalan kaki
sebentar sudah sampai. Tak perlu lagi jauh-jauh naik bus setiap pagi."
"Aku senang naik bus," debat Josh.
Tekadnya sudah bulat, tak akan membiarkan Mom dan Dad
tenang, walaupun kami sudah berjanji untuk berpandangan terbuka
mengenai rencana kepindahan ini.
Aku tak tahu apa yang diharapkan Josh dengan sikapnya yang
keras kepala ini. Maksudku, Dad sudah terlalu banyak pikiran. Salah
satunya adalah urusan rumah lama. Dad belum berhasil menemukan
pembeli.
Aku juga tidak senang pindah. Tapi aku mengerti bahwa rumah
warisan ini adalah kesempatan baik untuk kami semua. Rumah lama
yang kecil rasanya sudah sesak. Dan begitu Dad berhasil menjual
rumah lama, urusan uang tidak akan menjadi persoalan lagi.
Josh harus bisa mengerti, pikirku.
Tiba-tiba dari dalam mobil terdengar suara Petey menyalak dan
menggonggong, membuat gaduh.
Petey adalah anjing kami, seekor anjing terrier berbulu putih
keriting. Ia biasanya manis dan lucu, mau saja ditinggal sendirian di
dalam mobil. Tapi sekarang ia menyalak, menggeram, menggonggong
sekeras-kerasnya, mencakar-cakar jendela mobil, memaksa ingin
keluar dari mobil.
"Petey! Diam! Diam!" teriakku. Petey biasanya patuh padaku.
Tapi kali ini tidak.
"Biar kukeluarkan dia!" kata Josh. Ia lari sepanjang jalan
kerikil, menuju mobil.
"Jangan. Tunggu!" Dad memanggil.
Tapi kurasa panggilannya tak akan terdengar oleh Josh, karena
gonggongan Petey yang memekakkan telinga.
"Biar saja anjing itu ikut melihat-lihat," kata Mr. Dawes. "Ini
akan jadi rumahnya juga."
Beberapa detik kemudian, Petey berlari menyeberangi halaman
depan, membuat daun kering berhamburan, menyalak riang,
mendekati kami. Ia melompat ke arah kami semua, seakan-akan sudah
berminggu-minggu tidak bertemu, dan kemudian, yang membuat kami
semua keheranan, ia menggeram kepada Mr. Dawes, menyalak dan
memperlihatkan giginya.
"Petey! Stop!" teriak Mom.
"Biasanya dia tidak begini," Dad meminta maaf. "Biasanya dia
jinak."
"Mungkin dia mencium sesuatu di tubuh saya, bekas bau anjing
lain barangkali," kata Mr. Dawes. Ia melonggarkan dasinya, melihat
dengan khawatir ke anjing kami yang masih menggeram.
Josh menangkap Petey dan mengangkatnya. "Jangan, Petey,"
Josh memarahinya, memegang anjing itu dekat sekali ke wajahnya,
sehingga hidung mereka hampir bersentuhan. "Mr. Dawes teman
kita."
Petey merengek dan menjilati wajah Josh. Tak lama kemudian,
Josh menurunkan Petey kembali ke tanah. Petey mendongak ke arah
Mr. Dawes, kemudian ke arahku, lalu memutuskan untuk pergi
mencium-cium ke sekeliling halaman depan.
"Mari kita masuk ke dalam," ajak Mr. Dawes sambil mengusap
rambutnya yang pirang dengan sebelah tangan. Ia membuka kunci
pintu depan, lalu membuka pintunya lebar-lebar.
Mr. Dawes menahan pintu ayun berkawat kasa dan
mempersilakan kami masuk. Aku mengikuti orangtuaku masuk ke
dalam. ĒΒυΚυLάWάS.Β£OGŞρOT.ČøM
"Aku di sini saja sama Petey," kata Josh.
Dad sudah membuka mulut untuk menyuruhnya ikut masuk,
tapi akhirnya mengurungkan niatnya. "Baiklah," ia menghela napas
dan menggelengkan kepala. "Aku tak akan berdebat denganmu. Tak
usah masuk. Kau boleh tinggal di luar kalau kau mau." Dad
kedengaran jengkel.
"Aku ingin menemani Petey," kata Josh lagi, memperhatikan
Petey menelusuri kebun bunga yang sudah mati.
Mr. Dawes mengikuti kami masuk ke dalam, menutup pintu
kasa di belakangnya, dan menoleh ke arah Josh di luar. "Dia akan
terbiasa juga nantinya," katanya lembut sambil tersenyum kepada
Mom.
"Memang dia kadang-kadang keras kepala," kata Mom,
meminta maaf. Mom melongok ke kamar tamu. "Maafkan kelakuan
Petey. Saya tak tahu kenapa anjing itu jadi begitu."
"Tidak apa-apa. Mari kita mulai dari kamar tamu," kata Mr.
Dawes. Ia berjalan mendahului kami. "Kalian akan tercengang melihat
betapa luasnya rumah ini. Tentu saja perlu beberapa perbaikan."
Ia membawa kami memeriksa seluruh kamar dan ruang di
rumah itu. Aku mulai tertarik. Rumah itu bagus. Kamarnya banyak.
Kamar tidurku besar, ada kamar mandinya sendiri. Di depan jendela
ada tempat untuk duduk-duduk memandang ke luar jendela.
Sayang Josh tidak ikut masuk. Kalau melihat betapa hebatnya
rumah ini dari dalam, ia pasti senang.
Banyak sekali kamar di rumah itu. Bahkan ada ruang di bawah
atap, penuh dengan perabotan tua dan tumpukan kotak karton.
Aku tak tahu persis berapa lama kami di dalam. Mungkin
sekitar setengah jam. Kami bertiga merasa gembira setelah melihat
keadaan rumah itu dari dalam.
"Rasanya sudah kita lihat seluruhnya." Mr. Dawes melihat jam
tangannya. Ia mulai berjalan kembali ke pintu depan.
"Tunggu... aku ingin lihat kamarku sekali lagi," kataku dengan
riang. Aku berlari menaiki anak tangga, dua-dua sekaligus. "Sebentar
saja."
"Jangan lama-lama, Sayang. Mr. Dawes punya janji dengan
orang lain," Mom memanggilku dari bawah.
Aku sampai ke tingkat dua dan berjalan melewati gang yang
agak sempit, menuju kamarku yang baru. "Wow!" aku berseru keras.
Suaraku bergema sayup-sayup, dipantulkan oleh dinding kosong di
sekelilingku.
Besar sekali. Aku senang jendela yang menjorok ke luar itu.
Bagian dalam jendela yang menjorok masuk ke dinding kamar bisa
dipakai untuk duduk. Aku berjalan ke sana dan menengok ke luar.
Dari sela-sela pepohonan, aku bisa melihat mobil kami di jalan masuk
halaman, dan di sana, di seberang jalan, ada sebuah rumah yang mirip
sekali dengan rumah kami.
Aku akan menempatkan tempat tidur merapat ke dinding di
seberang jendela, pikirku dengan perasaan riang. Lalu meja di ujung
sana. Akhirnya sekarang aku akan punya tempat untuk komputer!
Aku berjalan masuk ke dalam lemari dinding, memeriksanya
sekali lagi. Lemari dinding itu sangat lebar dan panjang, dengan
lampu di langit-langitnya dan rak-rak lebar di dinding belakang.
Keluar dari lemari dinding, aku melangkah ke pintu kamar
sambil berpikir tentang poster mana yang akan kubawa pindah untuk
menghiasi kamar ini. Tiba-tiba kulihat anak laki-laki itu.
Ia berdiri di ambang pintu. Sedetik kemudian ia berbalik dan
menghilang ke gang.
"Josh?" teriakku. "Hei... lihat sini!"
Dengan terkejut kusadari bahwa anak itu bukan Josh.
Rambutnya pirang.
"Hei!" Aku berteriak memanggilnya. Di depan kamar aku
berhenti, menoleh ke kiri-kanan. "Siapa tadi?"
Tapi gang panjang itu kosong. Semua pintu tertutup.
"Ah, Amanda," aku mengejek diriku sendiri.
Apakah aku membayangkan sesuatu yang tak ada?
Mom dan Dad memanggilku dari bawah. Sebelum turun,
kuperhatikan lagi seluruh gang, tetap tak ada siapa pun.
"Mr. Dawes," panggilku ketika aku berlari menuruni tangga,
"apakah rumah ini ada hantunya?"
Ia terbahak. Kelihatannya ia menganggap pertanyaanku lucu.
"Tidak. Maaf," katanya sambil memandangku dengan mata birunya.
"Warisannya tidak termasuk hantu. Kata orang, di sekitar sini banyak
rumah tua yang berhantu. Tapi yang ini tidak termasuk."
"Aku... kupikir aku melihat sesuatu tadi." Aku merasa seperti
orang bodoh.
"Bayangan saja barangkali," kata Mom. "Karena banyak pohon
besar, rumah ini memang gelap."
"Pergilah ke luar, dan ceritakan pada Josh tentang rumah ini,"
saran Dad sambil memasukkan ujung bajunya. "Aku dan ibumu harus
berbincang dengan Mr. Dawes."
"Baik, Sir," sahutku sambil membungkukkan badan. Dengan
patuh aku lari ke luar untuk menceritakan pada Josh tentang segala
sesuatu yang tidak ikut dilihatnya tadi. "Hai, Josh," panggilku. Mataku
mencari-cari ke sekeliling pekarangan.
"Josh?"
Jantungku terhenti sejenak.
Josh dan Petey tidak ada di sana.
Chapter 2

"JOSH! Josh!"
Kupanggil-panggil nama Josh. Lalu Petey. Tapi tetap tak ada
tanda-tanda di mana mereka berada. Aku lari ke mobil, mengintai ke
dalam, tapi mereka tak ada di sana. Mom dan Dad masih di dalam
rumah, berbicara dengan Mr. Dawes. Aku pergi ke jalan, menengok
ke kiri dan ke kanan, tapi mereka tak terlihat juga.
"Josh! Hei, Josh!"
Mendengar teriakanku, Mom dan Dad tergesa-gesa keluar dari
rumah dengan wajah cemas. "Josh dan Petey tidak ada!" teriakku dari
jalan.
"Barangkali mereka pergi ke belakang," teriak Dad.
Aku lari masuk ke pekarangan, daun-daun kering berterbangan
tertendang kakiku. Di jalanan tadi, sinar matahari terasa terik, tapi
begitu masuk ke pekarangan, aku kembali berada di bawah bayang-
bayang pohon. Langsung hawanya terasa dingin lagi.
"Hei, Josh! Josh! Di mana kau?"
Mengapa aku merasa begitu ketakutan? Josh pergi berjalan-
jalan adalah hal biasa. Ia sering melakukan itu.
Aku berlari sekuat tenaga melalui samping rumah. Pohon-
pohon besar memayungi rumah di halaman samping ini, sinar
matahari hampir tak bisa menembusnya.
Pekarangan belakang lebih besar dari yang kuduga. Berbentuk
empat persegi panjang, melandai sampai ke batas pagar kayu di
belakang. Seperti halaman depan, halaman belakang juga tak terurus.
Semak-semak tumbuh di mana-mana, muncul di sela-sela daun-daun
kering yang menutupi tanah. Sebuah tempat minum burung dengan
kaki dari batu terguling di tanah. Di sebelah sana, kulihat sebuah
garasi, gelap, berdinding bata seperti bangunan rumah utama.
"Hei... Josh!"
Ia tidak ada juga di sini. Aku berhenti, memperhatikan
tumpukan daun kering, mengamati kalau-kalau ada bekas jejak kaki
yang menandakan ia pernah berjalan atau berlari ke sini. Tidak ada
tanda-tanda.
"Ada?" Dad berlari-lari menyusul, kehabisan napas.
"Tidak ada," sahutku. Aku sendiri heran mengapa aku begitu
cemas.
"Sudah lihat di dalam mobil?" suara Dad lebih mendekati
marah daripada khawatir.
"Sudah. Itu yang pertama kali kulakukan." Aku menebarkan
pandang berkeliling. "Aku tak percaya Josh akan pergi begitu saja."
"Bisa saja," kata Dad. "Kau tahu sendiri tingkah adikmu kalau
kemauannya tidak dituruti. Barangkali dia ingin kita mengira dia
minggat." Dad mengerutkan kening.
"Di mana dia?" tanya Mom ketika kami kembali ke depan
rumah.
Dad dan aku mengangkat bahu. "Mungkin dia dapat kenalan,
lalu pergi jalan-jalan," kata Dad sambil menggaruk-garuk kepalanya.
Kulihat ia mulai khawatir.
"Harus kita cari dia," kata Mom sambil memandang ke jalan.
"Dia tidak kenal daerah ini. Bisa-bisa dia tersesat."
Mr. Dawes mengunci pintu depan dan melangkah turun dari
teras. "Dia tak akan pergi jauh," katanya menenangkan Mom. "Kita
cari saja dengan mobil keliling blok. Pasti ketemu."
Mom menggeleng-gelengkan kepala dan menatap Dad dengan
gelisah. "Awas anak itu kalau ketemu nanti," gumamnya. Dad
menepuk pundak Mom. Mr. Dawes membuka bagasi mobil Honda,
melepas jaketnya, dan melemparkannya ke dalam bagasi. Kemudian
diambilnya sebuah topi koboi hitam berpinggir lebar, dipakainya di
kepala.
"Hei... topi Anda bagus," kata Dad sambil masuk ke tempat
duduk depan.
"Untuk menahan sinar matahari," kata Mr. Dawes. Ia duduk di
belakang setir dan menutup pintunya.
Mom dan aku duduk di belakang. Aku menoleh sekilas ke arah
Mom. Kulihat ia pun sangat cemas.
Kami berkendaraan lambat-lambat mengelilingi blok sambil
menengok ke luar jendela. Semua rumah yang kami lewati terlihat
sudah tua. Sebagian besar dari rumah-rumah itu bahkan lebih besar
daripada rumah kami. Semuanya dalam keadaan yang lebih baik,
catnya masih bagus, pekarangannya terurus.
Aku tak melihat ada seorang pun di rumah atau pekarangan,
begitu juga di jalan.
Daerah perumahan yang sepi, pikirku. Dan rindang. Semua
rumah itu dikelilingi pohon-pohon tinggi, besar, dan rimbun. Semua
halaman depan yang kami lewati terlindung di bawah bayang-bayang.
Hanya jalan raya yang disinari matahari, bagaikan pita emas
membelah kerimbunan pepohonan.
Mungkin itu sebabnya kota ini dinamai Dark Falls, pikirku.
"Ke mana perginya anak itu?" kata Dad sambil terus menatap
ke luar jendela.
"Awas. Akan kuberi pelajaran padanya," gumam Mom. Bukan
untuk pertama kalinya Mom mengeluarkan ancaman semacam itu
terhadap Josh.
Kami sudah dua kali memutari blok. Josh dan tidak juga
kelihatan.
Mr. Dawes menyarankan untuk mengelilingi beberapa blok
lain, dan Dad cepat-cepat menyetujui. "Mudah-mudahan kita tidak
tersesat, saya juga baru di sini," kata Mr. Dawes ketika membelok di
pojok jalan. "Nah, itu dia gedung sekolah." Ia menunjuk ke sebuah
bangunan berdinding bata merah. Kelihatannya model bangunan lama,
dengan dua buah pilar putih di kiri-kanan pintu ganda. "Sekarang
sedang liburan," Mr. Dawes menambahkan.
Di belakang gedung sekolah ada lapangan tempat bermain.
Kosong. Tak seorang pun ada di situ.
"Mungkinkah Josh berjalan sejauh ini?" tanya Mom. Suaranya
lebih tinggi dari biasa.
"Josh tidak pernah berjalan. Dia berlari," kata Dad sambil
memutar-mutarkan mata.
"Kita pasti akan menemukannya," Mr. Dawes terdengar yakin
sekali. Ia mengemudi sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke setir.
Kami berbelok lagi. Blok ini pun rimbun oleh pepohonan.
Nama jalan terbaca jelas. Jalan Pemakaman. Betul saja, di depan
terlihat sebuah tempat pemakaman yang luas dengan bukit kecil di
tengah-tengah. Seluruh lereng bukit dan dataran di sekelilingnya
dipenuhi batu nisan yang berderet-deret.
Beberapa rumpun semak tumbuh di tanah pemakaman, tapi
tidak banyak pohon besar di sini.
Mobil kami berjalan lambat melewati pemakaman. Aku baru
sadar bahwa tempat pemakaman ini adalah satu-satunya tempat yang
terang dan cerah di seluruh kota ini.
"Itu dia anak Anda," kata Mr. Dawes kepada Dad, tangannya
menunjuk ke luar jendela, lalu ia menghentikan mobil.
"Oh, syukurlah!" seru Mom. Ia mengulurkan tubuhnya, melihat
keluar dari jendela tempat dudukku.
Betul, itu dia Josh, sedang berlari di antara batu-batu nisan yang
berderet tak teratur. "Apa yang dikerjakannya di sini?" tanyaku sambil
membuka pintu.
Aku melangkah keluar dari mobil, berjalan beberapa langkah ke
lapangan rumput, lalu berteriak memanggil Josh. Mula-mula ia tidak
mengacuhkan panggilanku. Ia kelihatan seperti sedang berlari sambil
merunduk dan mengelak di antara batu-batu nisan. Ia lari ke satu arah,
tiba-tiba berbelok, dengan cepat berlari ke arah lain lagi.
Kenapa dia?
Aku maju lagi beberapa langkah, lalu berhenti, dicekam
ketakutan.
Tiba-tiba aku sadar mengapa Josh melesat ke sana kemari,
berganti-ganti arah, merunduk, berlari seperti orang gila di antara
batu-batu nisan. Ia sedang dikejar-kejar.
Seseorang—atau sesuatu—sedang mengejarnya.
Chapter 3

KETIKA aku maju beberapa langkah lagi ke arah Josh yang


masih lari berkelok-kelok sambil merunduk dengan tangan terjulur,
baru aku sadar bahwa kejadiannya sama sekali terbalik.
Josh bukannya sedang dikejar. Josh sedang mengejar.
Ia mengejar Petey.
Oke, oke. Kadang-kadang memang aku tenggelam dalam
khayalanku sendiri. Tapi jangan salahkan aku. Di kuburan tua seperti
ini, walaupun dalam keadaan terang-benderang di siang hari, wajar
saja kalau pikiran aneh-aneh bisa muncul di kepala.
Kupanggil Josh sekali lagi. Sekali ini ia mendengar panggilanku
dan menoleh. Wajahnya cemas. "Amanda! Sini, bantu aku!" teriaknya.
"Ada apa, Josh?" Aku lari secepat kemampuanku, mengejar
Josh. Josh tetap lari berkelok-kelok di antara batu-batu nisan, pindah
dari baris yang satu ke baris yang lain.
"Tolong!"
"Josh! Ada apa?" Aku berbalik, kulihat Mom dan Dad berlari di
belakangku.
"Petey," kata Josh dengan napas tersengal-sengal. "Dia tidak
mau berhenti. Tadi sudah berhasil kutangkap, tapi dia berontak lagi."
"Petey! Petey!" Dad memanggil anjing itu. Petey tidak juga
mau berhenti. Ia lari dari nisan ke nisan, menciumi setiap nisan, lalu
lari ke nisan berikutnya.
"Bagaimana kalian bisa sampai ke sini?" tanya Dad ketika kami
berhasil menyusul Josh.
"Aku mengejar Petey," Josh menjelaskan, wajahnya masih
terlihat cemas. "Dia lari begitu saja. Tadinya dia mencium-cium kebun
bunga yang sudah rusak di pekarangan. Tiba-tiba dia lari. Dia tidak
mau berhenti waktu kupanggil. Menoleh pun tidak. Dia lari terus
sampai ke sini. Aku mengejarnya, takut kalau dia hilang."
Josh berhenti, dengan senang hati menyerahkan urusan
pengejaran kepada Dad. "Tidak tahu kenapa anjing konyol itu jadi
begitu," kata Josh kepadaku. "Aneh."
Beberapa kali Dad gagal, tapi akhirnya ia berhasil menangkap
Petey dan mengangkatnya dari tanah. Petey menyalak memprotes
beberapa kali, membiarkan dirinya dibawa pergi.
Kami berjalan beriring-iring, kembali ke mobil di pinggir jalan.
Mr. Dawes menunggu di dalam mobil. "Mungkin lebih baik anjing itu
diberi tali," katanya prihatin.
"Petey tidak pernah diikat," Josh memprotes sambil masuk ke
dalam mobil.
"Mungkin kita memang perlu mengikatnya," kata Dad perlahan.
"Apalagi kalau dia sering kabur seperti ini." Dad melemparkan anjing
itu ke tempat duduk belakang. Dengan senang hati Petey berbaring
melingkar di pelukan Josh.
Setelah kami semua masuk ke mobil, Mr. Dawes membawa
kami semua ke kantornya, sebuah bangunan kecil, putih, beratap
datar, di ujung sederetan kantor kecil. Sepanjang perjalanan kuusap
kepala Petey.
Kenapa dia lari kabur seperti itu? Petey tak pernah berbuat
begini sebelumnya.
Mungkin Petey juga tak suka pindah rumah. Petey juga sudah
lama sekali tinggal di rumah kami yang lama. Mungkin ia merasakan
hal yang sama dengan yang dirasakan Josh dan aku. Repotnya
berberes-beres, pindah, dan setelah itu tak akan pernah lagi melihat
lingkungan tempat tinggal yang lama.
Rumah baru, jalan baru, bau-bau asing, pasti membuat Petey
tidak betah. Josh ingin lari meninggalkan semua ini. Begitu juga
Petey.
Setidaknya, itulah teoriku.
Mr. Dawes memarkir mobil di depan kantornya yang kecil,
menyalami Dad, lalu memberikan kartu namanya. "Anda berdua bisa
kembali minggu depan. Saya akan mempersiapkan dokumen-
dokumennya. Setelah semua surat ditandatangani, Anda bisa pindah
setiap waktu."
Ia membuka pintu, tersenyum kepada kami semua, bersiap
melangkah keluar.
"Compton Dawes," Mom membaca kartu namanya dari balik
bahu Dad. "Bukan nama yang umum. Apakah Compton itu nama
salah seorang leluhur?"
Mr. Dawes menggelengkan kepala. "Bukan," sahutnya, "saya
satu-satunya Compton di keluarga saya. Saya juga tidak tahu dari
mana asalnya nama itu. Barangkali juga orangtua saya tidak tahu
bagaimana mengeja 'Charlie'!"
Sambil tertawa, ia turun dari mobil, menurunkan topi Stetson
hitamnya, mengambil jaket dari bagasi, lalu menghilang masuk ke
kantornya.
Dad bergeser ke belakang setir, lalu memundurkan kursi,
memberi tempat bagi perutnya. Mom pindah ke tempat duduk depan,
dan kami memulai perjalanan jauh pulang ke rumah. "Hari ini kau dan
Petey dapat pengalaman baru," kata Mom pada Josh. Mom menutup
jendela, karena Dad mulai menghidupkan AC.
"Iya," sahut Josh tanpa semangat. Petey sudah mendengkur,
tertidur lelap di pangkuan Josh.
"Kamarmu enak, lho," aku memberitahu Josh. "Rumah itu
hebat. Sungguh."
Josh menatapku tanpa menjawab sepatah pun. Kusikut
rusuknya. "Ngomong apa, kek. Kaudengar kata-kataku, tidak?"
Tapi ekspresi aneh di wajah Josh tidak berubah.
****************************************
Dua minggu berikutnya serasa merayap bagaikan keong. Aku
berjalan mondar-mandir di rumah, membayangkan bahwa aku takkan
pernah lagi melihat kamarku, takkan pernah lagi sarapan di dapur ini,
tidak akan lagi menonton TV di kamar duduk ini. Pikiran-pikiran aneh
semacam itu.
Rasa sedih hampir tak tertahan ketika pada suatu sore sebuah
truk datang membawa tumpukan kotak karton kosong. Sudah
waktunya mengepak barang-barang. Semua ini jadi kenyataan.
Walaupun saat itu masih sore, aku pergi ke kamarku dan
membaringkan diri di tempat tidur. Tapi aku tidak tidur. Hanya
berbaring diam di sana, menatap langit-langit selama lebih dari satu
jam. Berbagai macam bayangan dan pikiran yang tidak ada
hubungannya satu sama lain berkelebat di kepalaku, bagaikan mimpi.
Aku bukan satu-satunya yang merasa gugup mengenai
kepindahan ini. Mom dan Dad sering bertengkar mengenai hal-hal
kecil yang tidak penting. Suatu pagi mereka bertengkar hebat
mengenai sarapan, apakah daging asap terlalu garing atau tidak.
Sekilas terasa lucu melihat kelakuan mereka yang kekanak-
kanakan. Josh tidak berhenti bersungut-sungut. Ia hampir tak pernah
berbicara dengan siapa pun. Begitu juga Petey. Anjing tolol itu bahkan
tak mau bergerak dari tempatnya berbaring untuk mengambil remah
sisa makanan yang kuberikan padanya.
Rasanya saat paling berat adalah waktu harus mengucapkan
selamat berpisah pada teman-teman. Carol dan Amy sedang
berkemah, jadi kutulis surat pada mereka. Tapi Kathy ada di rumah,
dan ia adalah temanku yang paling lama dan paling baik, dan paling
berat mengucapkan selamat berpisah padanya.
Banyak orang heran bahwa Kathy dan aku bisa bersahabat
sedemikian lama. Kami berdua sangat berbeda satu sama lain. Aku
tinggi kurus dan kulitku agak gelap, sedangkan ia berkulit putih
dengan rambut panjang berwarna pirang dan agak gemuk. Tapi kami
telah berteman sejak sebelum sekolah, dan menjadi sahabat karib
sejak kelas empat.
Ketika ia datang ke rumah malam-malam sebelum hari
pindahan kami, kami berdua merasa agak canggung. "Kathy, kau tak
usah bingung dan gugup," kataku. "Bukan kau yang harus pindah
untuk selamanya dari sini."
"Kau bukannya pindah ke Cina atau tempat lain macam itu,
Amanda," sahutnya sambil mengunyah permen karetnya keras-keras.
Dark Falls hanya empat jam perjalanan dari sini. Kita masih akan
sering bertemu.
"Yah, kuharap begitu juga," kataku. Tapi aku tidak sungguh-
sungguh percaya akan hal itu. Menurutku empat jam perjalanan sama
parahnya dengan pindah ke Cina. "Rasanya kita masih bisa bicara
lewat telepon," kataku sedih.
Ia meniup permen karetnya menjadi balon, lalu menyedotnya
lagi ke dalam mulut. "Yah. Pasti," ia berusaha mengatakannya dengan
bersemangat. "Kau memang beruntung, tahu enggak? Pindah dari
lingkungan jelek ini ke rumah besar."
"Ini bukan lingkungan jelek," kataku agak sengit. Aku sendiri
tak tahu mengapa aku membela lingkungan ini. Tak pernah
sebelumnya. Salah satu kesenangan kami adalah membicarakan
tempat-tempat lain yang lebih menyenangkan sebagai tempat tinggal
daripada daerah ini.
"Pergi sekolah enggak asyik lagi sekarang." Ia mendesah dan
melingkarkan kakinya di atas kursi yang didudukinya. "Siapa lagi
yang mau menyelipkan kertas contekan matematik?"
Aku tertawa. "Jawaban yang kuselipkan ternyata selalu salah."
"Yang penting niatnya," kata Kathy. Lalu ia mengerang. "Uh!
SMP. Di sekolahmu yang baru, SMP jadi satu dengan SMA atau
bagian dari Sekolah Dasar?"
Aku mengerenyitkan seluruh wajahku. "Semuanya di satu
gedung. Ingat, itu kota kecil. Sekolahan tidak dipisah-pisah. Aku
hanya melihat satu gedung sekolah."
"Kacau," katanya.
Betul. Kacau.
Kami berbincang-bincang selama beberapa jam, sampai ibu
Kathy menelepon menyuruhnya pulang.
Kami saling berpelukan. Aku sudah bertekad tak akan
menangis, tapi aku merasa segumpal besar air mata memanasi sudut
mataku. Tak tertahan lagi air mata itu jatuh mengalir ke pipiku.
"Aku sedih sekali!" kataku di sela isak tangis. Semula aku ingin
bersikap tenang dan dewasa. Tapi Kathy adalah teman terbaikku, apa
lagi yang bisa kulakukan?
Kami saling berjanji untuk selalu bertemu pada hari ulang tahun
masing-masing—apa pun yang terjadi. Kami akan memaksa orangtua
masing-masing agar kami selalu bisa berkumpul pada hari ulang tahun
kami.
Lalu kami berpelukan lagi, dan Kathy berkata, "Jangan takut.
Kita akan sering bertemu. Pasti." Matanya berkaca-kaca.
Ia berbalik dan lari ke luar. Pintu depan terbanting menutup.
Aku berdiri menatap kegelapan di luar, sampai Petey datang
mendekatiku dan menjilat-jilat tanganku.
************************************
Hari berikutnya, hari pindahan, hari Sabtu, hujan turun. Tidak
lebat. Tanpa geledek atau petir. Hanya tetesan air dan embusan angin,
cukup untuk membuat perjalanan menjadi lambat dan tidak
menyenangkan.
Langit sepertinya makin gelap ketika kami sema kin dekat ke
lingkungan tempat tinggal kami yang baru. Pohon-pohon besar
merunduk ke jalan. "Pelan-pelan, Jack," Mom memperingatkan Dad
dengan suara melengking. "Jalannya licin."
Tapi Dad terburu-buru, ingin sampai di rumah baru sebelum
truk pengangkut barang-barang kami tiba. "Mereka akan menaruh
barang-barang seenaknya saja kalau tidak kita awasi," katanya.
Josh duduk di sampingku, di tempat duduk belakang. Seperti
biasa, ia selalu menyusahkan. Tak henti-hentinya mengeluh. Mula-
mula ia haus. Ketika tak berhasil menarik perhatian, ia mulai
merengek lapar. Padahal kami semua sudah sarapan banyak sebelum
berangkat. Jadi rengekannya juga tidak dipedulikan.
Kelihatannya ia memang hanya ingin mencari perhatian. Aku
berusaha menyenangkan hatinya; kuceritakan tentang rumah baru itu,
betapa hebatnya dilihat dari dalam, dan betapa besar kamar tidurnya
nanti. Ia belum pernah melihat rumah itu dari dalam.
Tapi ia tak ingin disenangkan. Ia mulai bergulat dengan Petey
sampai anjing itu berontak membuat gaduh, menyalak-nyalak. Dad
membentak Josh agar diam dan tenang.
"Mari kita sama-sama berusaha untuk tidak mengganggu orang
lain. Semua orang sedang banyak pikiran saat ini," saran Mom.
Dad tertawa. "Setuju, Sayang."
Jangan mengolok-olokku," Mom kesal.
Mereka mulai bertengkar tentang siapa yang paling lelah karena
mengepak barang-barang. Petey berdiri di atas kedua kaki
belakangnya dan melolong ke arah kaca belakang.
"Suruh dia diam!" Mom menjerit.
Kutarik kaki belakang Petey, dan kini ganti Josh yang
melolong. Mom menoleh ke belakang, memelototi Josh. Josh tidak
menghentikan lolongannya. Dikiranya ia paling lucu.
Akhirnya Dad berbelok masuk ke pekarangan rumah kami yang
baru. Kertak-kertuk suara kerikil dilindas ban mobil bersahutan
dengan suara air hujan di atap mobil.
"Tak ada tempat seindah rumah sendiri," kata Mom. Aku tak
tahu Mom sungguh-sungguh atau menyindir. Yang jelas, aku tahu
Mom senang perjalanan panjang ini sudah berakhir.
"Kita sampai lebih dulu daripada truk itu," kata Dad. Ia melihat
jam tangannya, lalu wajahnya berubah. "Mudah-mudahan mereka
tidak kesasar."
"Gelap, ih, kayak sudah malam," Josh mengomel. Petey
meloncat-loncat di pangkuanku, ingin segera keluar dari mobil.
Biasanya ia tenang dalam perjalanan, tapi begitu mobil berhenti, ia
ingin cepat-cepat keluar.
Kubuka pintu mobil. Petey melompat ke luar dan mulai berlari
berkelok-kelok di pekarangan. "Lumayan, ada yang senang berada di
sini," kata Josh perlahan.
Dad lari ke teras, mengeluarkan seikat kunci, dan setelah
mencoba beberapa kunci, akhirnya berhasil membuka pintu depan. Ia
melambaikan tangan, menyuruh kami masuk ke dalam rumah. Mom
dan Josh berlari-lari melintasi jalan setapak, agar cepat terhindar dari
hujan yang masih terus turun. Kututup pintu mobil, lalu berlari
menyusul mereka.
Sekilas mataku menangkap sesuatu. Aku berhenti dan menatap
jendela tingkat atas yang menjorok ke luar di atas serambi.
Kuangkat telapak tangan, melindungi mata; kucoba melihat
lebih jelas, menembus air hujan.
Ya. Aku melihatnya sekarang.
Sebuah wajah. Di jendela sebelah kiri.
Anak lelaki itu.
Anak lelaki yang kulihat dulu, sekarang berada di jendela,
memandang ke bawah, menatapku.
Chapter 4

"KAKI dibersihkan dulu! Jangan mengotori lantai yang sudah


bersih!" perintah Mom. Suaranya bergema di ruang duduk yang
kosong.
Aku melangkah ke ruang depan. Seluruh rumah berbau cat.
Tukang cat baru selesai mengecat hari Kamis. Di dalam rumah panas
sekali, lebih panas ddripada di luar.
"Lampu dapur mati," Dad berteriak dari belakang. "Apa tukang-
tukang cat itu memutuskan aliran listrik ke belakang?"
"Mana aku tahu," Mom balas berteriak.
Suara mereka terdengar keras di rumah yang dan kosong ini.
"Mom... ada orang di atas!" teriakku saat aku menggosokkan
kaki ke keset baru bertuliskan Selamat Datang. Aku cepat-cepat
masuk ke ruang duduk.
Mom berdiri di jendela, memandang hujan yang masih turun di
luar. Mungkin menunggu truk pengangkut barang. Ia berputar ke
arahku ketika aku masuk. "Apa?"
"Ada anak laki-laki di atas. Kulihat dia di jendela," kataku
dengan napas masih memburu.
Josh masuk ke ruang duduk dari gang yan menuju ke belakang.
Mungkin ia bersama Dad tadi. Ia tertawa. "Ada yang sudah tinggal di
sini?"
"Tak ada siapa pun di atas," Mom mendelik, "Kalian tak mau
membiarkan aku agak tenang hari ini, atau bagaimana?"
"Memang aku berbuat apa?" Josh mengomel.
"Dengar, Amanda, kita semua sedang tidak tenang hari ini...,"
Mom mulai bicara.
Tapi kupotong. "Aku lihat wajahnya, Mom. Di jendela. Aku
kan tidak sinting."
"Kata siapa?" Josh mengambil kesempatan.
"Amanda!" Mom menggigit bibir bawahnya, tanda ia sudah
benar-benar kesal. "Kau hanya melihat pantulan sesuatu. Pohon,
barangkali." Ia berbalik kembali ke arah jendela. Hujan makin lebat,
air hujan diembus angin menerpa kaca jendela.
Aku lari ke tangga yang menuju tingkat atas, membuat corong
dengan kedua tanganku di depan mulut, lalu berteriak ke lantai dua,
"Siapa di atas sana?"
Tidak ada jawaban.
"Siapa di atas?" teriakku lagi, lebih keras.
Mom menutup kedua telinganya dengan tangan. "Amanda...!"
Josh menghilang ke kamar makan. Akhirnya ia tertarik juga
menjelajahi rumah ini.
"Ada orang di atas sana," aku berkeras. Tanpa berpikir panjang,
aku melangkah naik ke tangga kayu itu, sepatu karetku berbunyi plak-
plok-plak-plok di setiap anak tangga.
"Amanda!" kudengar Mom memanggil.
Tapi aku sudah terlalu marah, tak kuhiraukan panggilannya.
Mengapa ia tak percaya padaku? Kenapa ia mesti bilang bahwa aku
hanya melihat bayangan?
Aku betul-betul ingin tahu. Aku ingin tahu siapa yang ada di
atas tadi. Aku harus membuktikan bahwa Mom salah. Harus
kutunjukkan bahwa aku masih bisa membedakan mana bayangan
mana kenyataan. Kupikir kadang-kadang aku bisa keras kepala juga.
Mungkin sudah sifat turun-temurun.
Tangga berderik-derik menahan tubuhku. Sama sekali tak ada
rasa takut di hatiku. Tapi begitu aku mencapai lantai tingkat dua, ada
perasaan aneh di perutku.
Aku berhenti, bernapas kencang, bersandar di pagar tangga.
Kira-kira siapa itu tadi? Maling? Anak tetangga yang sedang
bosan dan mencari pengalaman seru di sebuah rumah kosong?
Mungkin seharusnya aku tidak pergi ke atas seorang diri.
Siapa tahu anak laki-laki di jendela itu berbahaya
"Ada siapa di sini?" panggilku, suaraku berubah lemah dan
gemetar.
Aku tetap bersandar ke pagar, berdiri diam, mendengarkan.
Kudengar suara langkah kaki di seberang gang.
Bukan.
Bukan langkah kaki.
Suara hujan. Ya, betul. Suara hujan di atas genting sirap.
Entah mengapa, suara itu membuatku agak tenang. Aku
melangkah ke gang yang panjang dan agak sempit itu. Gelap sekali di
sini, kecuali seberkas cahaya kelabu dari jendela kecil di ujung gang.
Aku melangkah beberapa tindak, lantai kayu yang sudah tua itu
berderik-derik di bawah kakiku. "Ada orang di sini?"
Lagi-lagi tak ada jawaban.
Aku melangkah ke pintu pertama di sebelah kiri. Pintu itu
tertutup. Bau cat menyesakkan napas. Ada tombol lampu di dinding
dekat pintu. Barangkali lampu gang, pikirku. Kupencet tombol lampu
itu. Tak ada lampu menyala.
"Siapa di sana?"
Dengan tangan gemetar kupegang tombol pintu. Terasa hangat
dan lembap.
Kuputar tombol pintu itu, lalu sambil menarik napas panjang,
kudorong pintu hingga terbuka.
Aku melongok ke dalam kamar. Cahaya kelabu masuk melalui
jendela. Cahaya kilat yang tiba-tiba berkelebat membuatku terlompat
ke belakang. Suara geledek yang mengikutinya terdengar sayup-sayup
di, kejauhan.
Pelan-pelan, dengan hati-hati, aku masuk selangkah ke dalam
kamar. Lalu selangkah lagi.
Tak ada seorang pun di dalam.
Ini kamar tidur tamu. Atau kamar tidur Josh kalau ia
menginginkannya.
Cahaya kilat berkelebat lagi. Langit kelihatannya semakin
gelap. Di luar gelap sekali, walaupun saat ini masih siang.
Aku melangkah mundur, kembali ke gang. Kamar berikutnya
akan menjadi kamarku. Kamar itu juga memiliki jendela yang
menjorok ke arah halaman depan.
Jangan-jangan anak yang menatapku tadi ada di kamarku?
Aku merapat ke dinding, beringsut-ingsut merayap maju sambil
memegangi tembok. Aku berhenti di depan pintu kamarku yang
tertutup.
Aku menarik napas dalam, lalu mengetuk pintu. "Ada yang di
dalam?" panggilku.
Aku diam mendengarkan.
Sunyi.
Terdengar suara petir, lebih dekat dari sebelumnya. Aku berdiri
kaku, seakan-akan lumpuh, sambil menahan napas. Terasa panas
sekali di sini, panas dan lembap. Bau cat membuatku pusing.
Kugenggam kenop pintu. "Ada yang di dalam?"
Aku baru mulai memutar kenop pintu ketika anak laki-laki itu
mengendap-endap di belakangku dan mencengkeram pundakku.
Chapter 5

Aku tak bisa bernapas. Aku tak bisa berteriak. Jantungku


seolah-olah berhenti. Dadaku serasa akan meledak.
Dengan putus asa dan ketakutan, aku memutar tubuhku.
"Josh!" jeritku. "Kau membuatku terkejut setengah mati!
Kukira..."
Ia melepaskan pundakku dan mundur selangkah. "Kena!"
serunya, lalu mulai tertawa. Suara tawanya bergema di sepanjang
gang.
Jantungku berdetak keras. Ubun-ubunku berdenyut-denyut.
"Enggak lucu!" aku marah-marah. Kudorong ia ke tembok. "Aku
sampai ketakutan setengah mati."
Ia tertawa dan berguling-guling di lantai. Dasar penyakit!
Kucoba mendorongnya sekali lagi, tapi tidak kena.
Masih marah, aku berbalik—tepat pada waktu pintu kamarku
membuka perlahan-lahan.
Napasku tertahan sejenak, tak percaya pada apa yang kulihat.
Aku berdiri membeku, menatap pintu kamarku yang terbuka sendiri.
Josh berhenti tertawa dan bangkit berdiri. Wajahnya serius,
matanya terbelalak ketakutan.
Aku mendengar suara orang bergerak di dalam kamar.
Aku mendengar suara berbisik-bisik.
Suara orang tertawa-tawa.
"Siapa... siapa itu?" aku masih mampu mengeluarkan suara,
dengan nada tinggi yang hampir tak kukenali sebagai suaraku sendiri.
Pintu itu berderit, membuka lebih lebar, lalu mulai bergerak
menutup.
"Siapa itu?" aku mendesak, lebih tegas.
Lagi-lagi kudengar suara berbisik-bisik, suara orang bergerak.
Josh mundur merapat ke dinding, beringsut-ingsut mendekati
tangga. Rasa ngeri di wajahnya belum pernah kulihat sebelumnya.
Pintu itu masih berderit-derit seperti pintu di film horor tentang
rumah hantu, lalu menutup sedikit demi sedikit.
Josh hampir sampai ke tangga. Ia menatapku, melambai-
lambaikan tangan dengan cepat, agar aku mengikutinya.
Tapi aku malah melangkah ke depan, menggenggam kenop
pintu dan mendorong pintu itu kuat-kuat.
Pintu terbuka dengan ringan.
Kulepaskan kenop pintu dan berdiri menutupi ambang pintu.
"Siapa itu?"
Kamar itu kosong.
Petir menggelegar.
Beberapa detik kemudian, baru aku sadar apa yang membuat
pintu itu bergerak sendiri. Jendela di dinding seberang ternyata
terbuka beberapa inci. Pasti embusan angin dari jendela itu yang
menyebabkan pintu ini bergerak menutup dan membuka. Rasanya
suara-suara yang kudengar tadi juga berasal dari angin yang masuk ke
dalam.
Siapa yang membiarkan jendela terbuka? Tukang cat,
barangkali.
Aku menarik napas dalam, lalu mengembuskannya perlahan-
lahan, menenangkan jantungku yang berdegup kencang.
Aku merasa seperti orang bodoh. Kuhampiri jendela, lalu
kututup.
"Amanda... kau tak apa-apa?" Josh berbisik dari gang.
Aku hampir menyahut, tapi mendadak aku punya pikiran lain.
Ia membuatku takut setengah mati tadi. Sekarang kesempatan
untuk membalasnya. Biar tahu rasa.
Jadi aku diam saja, tidak kujawab pertanyaannya.
Kudengar ia melangkah takut-takut beberapa tindak, mendekati,
kamarku. "Amanda? Amanda? Kau baik-baik saja?"
Aku berjingkat-jingkat ke lemari dinding, kubuka pintunya
sedikit, lalu kubaringkan tubuhku telentang dengan kepala dan bahu
berada di dalam lemari. Bagian tubuhku yang lain menjulur ke luar.
"Amanda?" Josh kedengaran takut sekali.
"Ohhhhh," aku mengerang.
Aku tahu, begitu ia melihat aku tergeletak seperti itu, ia akan
menjerit seperti melihat setan! "Amanda—kenapa kau?"
Ia di ambang pintu sekarang. Sesaat lagi ia akan melihatku,
tergeletak di dalam kamar yang gelap, kepalaku tersembunyi dari
pandangan, kilat menyambar-nyambar dan petir bersahut-sahutan di
luar jendela. Wow! Pemandangan yang hebat.
Aku menarik napas dan mati-matian berusaha menahan tawaku.
"Amanda?" bisiknya. Dan kemudian ia pasti sudah melihatku,
karena segera kudengar pekikannya, "Hah?"
Betul saja. Ia menjerit sekeras-kerasnya, lalu lari secepat-
cepatnya melalui gang, menuju tangga, sambil berteriak-teriak,
"Mom! Dad!" Kudengar sepatu karetnya menapaki anak tangga, di
sela-sela suara jeritannya.
Aku tertawa sendiri. Sebelum aku sempat berdiri, terasa sebuah
lidah yang kasar dan hangat menjilati mukaku.
"Petey!"
Ia menjilati pipi dan kelopak mataku dengan kalut, seakan-akan
berusaha menyadarkan diriku dari pingsan, atau seolah-olah ingin
mengatakan bahwa tak ada yang perlu ditakutkan lagi.
"Oh, Petey! Petey!" teriakku sambil tertawa. Kupeluk anjing
manis itu. "Sudah! Sudah! Mukaku lengket semua!"
Ia tidak mau berhenti. Terus menjilat-jilatiku. Petey juga
gelisah, pikirku.
"Ayo, Petey, tenang." Kudorong kepalanya dari wajahku. "Tak
perlu gelisah. Tempat ini akan menyenangkan. Lihat saja."
Chapter 6

MALAM itu aku tersenyum sendiri sambil menepuk-nepuk


bantal, sebelum naik ke tempat tidur. Masih terbayang betapa takutnya
Josh sore tadi. Teringat olehku rasa ngeri yang tidak juga hilang dari
wajahnya, walaupun ia sudah melihatku turun dari tangga dalam
keadaan segar bugar. Ia marah sekali ketika sadar aku membodohinya.
Tentu saja Mom dan Dad tidak menganggap itu sebagai hal
yang lucu. Mereka sedang gelisah dan kesal karena truk yang
mengangkut barang terlambat lebih dari satu jam. Mereka memaksa
Josh dan aku untuk berdamai. Tidak boleh lagi menakuti satu sama
lain.
"Susah mau tidak takut di tempat seram seperti ini," gumam
Josh. Dengan perasaan enggan kami berjanji untuk tidak membuat
lelucon konyol, menakut-nakuti satu sama lain.
Para pengangkut barang, sambil mengeluh tentang hujan, mulai
memasukkan barang-barang kami. Josh dan aku membantu
menunjukkan tempat perabotan kamar harus ditaruh. Mereka
menjatuhkan meja riasku di tangga; untung hanya lecet sedikit.
Perabotan kami terlihat kecil di rumah besar ini. Josh dan aku
berusaha untuk tidak mengganggu sementara Mom dan Dad bekerja
seharian, mengatur barang-barang, mengosongkan kotak-kotak karton,
mengatur pakaian di lemari. Bahkan Mom sempat memasang gorden
di jendelaku.
Hari yang sangat sibuk!
Sekarang sudah jam sepuluh lewat. Aku mencoba untuk tidur.
Tidur pertama di kamar baruku. Aku berguling ke kiri, lalu ke kanan,
kemudian kembali telentang. Walaupun berbaring di tempat tidurku
yang lama, aku tidak merasa nyaman.
Segalanya terasa berbeda, terasa salah. Tempat tidur tidak
menghadap ke arah yang sama seperti di kamarku yang dulu. Dinding
terasa kosong. Aku belum sempat menempelkan poster-posterku.
Kamar ini terlalu besar dan kosong. Bayang-bayang sepertinya jadi
jauh lebih gelap.
Punggungku mulai terasa gatal, lalu seluruh badanku juga.
Tempat tidur ini pasti penuh kutu, pikirku sambil bangkit duduk. Tapi
tak mungkin. Ini tempat tidurku yang dulu juga, lagi pula seprainya
baru.
Kupaksakan diriku untuk berbaring kembali dan mencoba
memejamkan mata. Kadang-kadang, kalau tidak bisa tidur, aku
menghitung dalam hati, dua-dua, sambil membayangkan setiap angka
di kepalaku. Biasanya itu akan membantu mengosongkan pikiranku,
sehingga aku bisa tertidur. Kucoba sekarang, sambil membenamkan
kepala ke bantal, membayangkan angka-angka yang terus bergerak...
4... 6... 8...
Aku menguap lebar-lebar, belum juga bisa tidur. Jam dua lewat
dua puluh menit.
Aku akan melek terus seumur hidup, pikirku. Aku takkan
pernah bisa tidur di kamar baru ini.
Tapi kemudian aku pasti jatuh tertidur tanpa kusadari. Aku tak
tahu berapa lama. Mungkin satu jam, paling lama dua jam. Tidur
ringan yang tidak nyaman. Sesuatu membuatku terbangun. Aku
bangkit terduduk dengan perasaan kaget.
Walaupun kamar itu panas, seluruh tubuhku terasa dingin.
Rupanya waktu tertidur tadi, tanpa sadar aku menendang selimutku ke
lantai. Sambil mengeluh, aku membungkuk meraih selimut itu, tapi
gerakanku terhenti.
Kudengar suara berbisik.
Seseorang berbisik di seberang kamar.
"Siapa... siapa itu?" Suaraku yang keluar juga hanya bisikan,
kecil dan gemetar.
Kuambil selimut, lalu kututupi tubuhku sampai ke dagu.
Kudengar bisikan-bisikan lagi. Mataku mulai terbiasa melihat
dalam cahaya remang-remang.
Gorden. Gorden panjang dari kamarku yang lama, yang
dipasang Mom tadi sore, berkibar-kibar di jendela.
Ah. Jadi itulah yang membuat suara berbisik tadi. Pasti gorden
yang berkibar-kibar ditiup angin itulah yang membuatku terbangun.
Cahaya kelabu yang lembut menembus masuk dari luar,
sehingga gorden membentuk bayang-bayang yang bergerak-gerak di
kaki tempat tidurku.
Aku menguap, meregangkan tubuh sebentar, lalu turun dari
tempat tidur. Hawa terasa dingin ketika aku melangkah menuju
jendela untuk menutupnya.
Ketika aku melangkah semakin dekat, gorden berhenti berkibar.
Kusibakkan gorden ke samping, lalu kuraih daun jendela.
"Oh!"
Aku berseru perlahan, karena ternyata jendela tertutup rapat.
Lalu mengapa gorden bisa melambai-lambai seperti tertiup
angin kalau jendela tertutup rapat? Aku berdiri di sana beberapa saat,
memandang kegelapan malam. Tak ada angin berembus di luar.
Jendela pun tertutup rapat, tanpa lubang angin. Apakah gorden yang
bergerak-gerak tadi hanya khayalanku saja? Mungkinkah mataku yang
salah melihat?
Sambil menguap aku berjalan melewati bayangan-bayangan
aneh, kembali ke tempat tidur. Selimut kutarik setinggi-tingginya.
"Amanda, jangan ketakutan sendiri seperti itu," aku memarahi diriku
sendiri. Ketika kembali tertidur beberapa menit kemudian, aku
bermimpi. Mimpi buruk yang paling mengerikan dan menakutkan.
Aku bermimpi kami semua sudah mati. Mom, Dad, Josh, dan
aku.
Mula-mula kulihat kami semua duduk di sekitar meja makan, di
kamar makan yang baru. Kamar sangat terang, menyilaukan mata,
sehingga aku tak bisa melihat wajah-wajah kami dengan jelas. Wajah-
wajah itu hanya terlihat sebagai bayangan putih yang terang sekali.
Tapi kemudian, berangsur-angsur, semuanya mulai menjadi
tajam dan jelas, dan aku bisa melihat bahwa di bawah rambut kami,
kami tidak mempunyai wajah. Kulit wajah kami sudah lenyap, hanya
tinggal tulang tengkorak berwarna kelabu-kehijauan. Beberapa potong
daging masih melekat di tulang pipiku. Di tempat mataku seharusnya
berada hanya terlihat dua buah lubang yang dalam dan hitam.
Kami berempat, semua sudah mati, sedang duduk dan makan
tanpa berbicara. Piring makan kami berisi tulang kecil-kecil. Di atas
sebuah piring besar di tengah meja makan bertumpuk tulang-tulang
berwarna kelabu-kehijauan, mirip tulang manusia.
Lalu kemudian, di dalam mimpi itu, acara makan kami yang
menjijikkan itu diganggu oleh suara ketukan keras di pintu. Ketukan
yang sangat memaksa, semakin lama semakin keras. Kathy, teman
lamaku, yang mengetuk pintu. Aku bisa melihatnya berdiri di pintu
depan, menggedor-gedor pintu dengan kedua tangan terkepal.
Aku ingin membukakan pintu. Aku ingin lari dari kamar
makan, membuka pintu, dan menyambut Kathy. Aku ingin bicara
dengan Kathy. Aku ingin menceritakan kepadanya apa yang telah
terjadi padaku, menjelaskan kepadanya bahwa aku sudah mati dan
bahwa seluruh mukaku terkelupas berjatuhan tinggal tulang.
Aku tak tahan lagi ingin bertemu Kathy.
Tapi aku tak bisa berdiri dari kursiku. Kucoba dan kucoba lagi,
tapi aku tetap tak mampu berdiri.
Gedoran di pintu semakin lama semakin keras, memekakkan
telinga. Tapi aku hanya duduk di sana bersama keluargaku yang
mengerikan, mengambil tulang dari piringku dan memakan tulang-
tulang itu.
Aku terbangun dengan kaget, impian seram masih memenuhi
kepalaku. Suara gedoran masih terngiang di telingaku. Kugelengkan
kepala untuk mengusir impian tadi.
Sudah pagi. Langit di luar jendela sudah berwarna biru.
"Oh!"
Gorden itu. Melambai-lambai lagi, berkibar-kibar dengan
berisik, tertiup masuk ke kamar.
Aku duduk menatap jendela.
Jendela masih tertutup rapat.
Chapter 7

"NANTI kuperiksa jendelanya. Mungkin ada celah-celah yang


terbuka, sehingga angin bisa masuk," kata Dad waktu sarapan. Ia
menyuapkan sesendok penuh telur orak-arik dan daging ham ke dalam
mulutnya.
"Tapi, Dad... seram sekali!" Aku masih belum bisa mengusir
perasaan takutku. "Gorden itu berkibar kencang, padahal jendelanya
tertutup.
"Mungkin ada kacanya yang lepas," Dad menduga-duga.
"Amanda memang perlu berkaca!" Josh mengejekku.
"Jangan mulai mengganggu kakakmu," kata Mom sambil
menaruh piringnya ke meja, lalu menjatuhkan tubuhnya ke kursi.
Mom kelihatan capek. Rambut hitamnya yang biasanya rapi kali ini
kusut. Ia mengencangkan ikatan dasternya. "Wuh! Rasanya tidurku
tak sampai dua jam tadi malam."
"Aku juga," kataku sambil menghela napas. "Kupikir anak laki-
laki itu akan muncul lagi di kamarku."
"Amanda, berhentilah membicarakan omong kosong itu," tukas
Mom dengan tajam. "Anak laki-laki di kamarmu. Gorden berkibar-
kibar. Kau hanya sedang gelisah dan lelah, sehingga membayangkan
hal yang aneh-aneh."
"Tapi, Mom..."
"Barangkali ada hantu di balik gordenmu," Josh menakut-
nakuti. Ia mengangkat kedua tangannya seperti sepasang cakar dan
menirukan suara hantu, "Huuuuu, huuuuu."
"Heeii." Mom menaruh tangannya ke pundak Josh. "Ingat tidak
janjimu, tak akan saling menakut-nakuti?"
"Tidak mudah bagi kita semua untuk menyesuaikan diri dengan
tempat baru ini," kata Dad. "Mungkin saja gorden yang bergerak-
gerak itu hanya mimpimu, Amanda. Barusan kaubilang kau mimpi
buruk, kan?"
Mimpi buruk yang mengerikan itu berkelebat lagi di kepalaku.
Terbayang lagi piring besar penuh berisi tulang di tengah meja makan.
Aku merinding.
"Lembap sekali rasanya di sini," kata Mom.
"Hanya perlu sedikit sinar matahari untuk membuat tempat ini
kering," sahut Dad.
Aku mengintai ke luar jendela. Langit sudah berubah kelabu.
Pohon-pohon seakan-akan menyebarkan kegelapan ke seluruh
halaman belakang. "Mana Petey?" tanyaku.
"Di luar, di belakang," jawab Mom. Ia menelan sesuap telur,
lalu meneruskan, "Dia juga bangun pagi-pagi sekali. Tidak bisa tidur
juga, barangkali. Jadi kukeluarkan dia ke belakang rumah."
"Apa yang akan kita lakukan hari ini?" tanya Josh. Ia selalu
ingin tahu rencana hari itu. Sampai sekecil-kecilnya. Sehingga ia bisa
mendebatnya.
"Ayahmu dan aku masih banyak pekerjaan membereskan
barang-barang," kata Mom. Ia menoleh sekilas ke gang yang dipenuhi
kotak-kotak karton yang belum dibuka. "Kalian berdua boleh jalan-
jalan di sekitar sini. Barangkali kalian dapat teman sebaya."
"Dengan kata lain, kita berdua disuruh minggat sementara!"
kataku.
Mom dan Dad tertawa. "Kau memang cerdik, Amanda."
"Tapi aku ingin membantu mengatur barang-barangku," Josh
merengek. Aku sudah tahu, rencana apa pun akan didebatnya, seperti
biasa.
"Cepatlah berpakaian, lalu jalan-jalan yang jauh," kata Dad.
"Bawa Petey, ya? Jangan lupa bawa talinya. Ada satu di tangga
depan."
"Aku mau naik sepeda saja, ah," kata Josh.
"Sepeda kalian tertimbun di belakang garasi," Dad
memberitahukan. Kalian takkan bisa mengambilnya sekarang. Lagi
pula bannya kempes."
"Kalau tidak naik sepeda, aku tidak mau pergi," Josh mulai
keras kepala. Ia menyilangkan kedua tangannya di depan dada.
Mom dan Dad terpaksa berdebat dengannya, lalu
mengancamnya. Akhirnya ia setuju pergi ber-jalan-jalan "dekat-dekat
saja".
Kuhabiskan sarapanku sambil berpikir tentang Kathy dan
teman-teman lain di rumah lama. Aku tak tahu seperti apa anak-anak
di Dark Falls ini. Aku tak tahu apakah aku akan mendapatkan teman
baru yang betul-betul bisa jadi teman baik.
Tanpa disuruh, kucuci piring-piring bekas sarapan, karena Mom
dan Dad masih banyak pekerjaan lain. Air pencuci piring terasa
hangat dan nyaman di tanganku. Mungkin kedengarannya aneh, tapi
aku memang menyukai pekerjaan mencuci piring.
Dari depan rumah kudengar suara Josh bertengkar dengan Dad.
Sayup-sayup kudengar suara mereka di atas gemericiknya suara air
yang mengalir dari keran.
"Bola basketmu dipak di salah satu karton ini," terdengar suara
Dad. Lalu Josh mengatakan sesuatu. Kemudian Dad berkata, "Mana
aku tahu karton yang mana?" Lalu Josh mengatakan sesuatu lagi.
Kemudian terdengar lagi suara Dad, "Aku tak punya waktu sekarang.
Masih banyak yang lebih penting daripada bola basketmu."
Kutaruh piring terakhir di rak piring. Tak ada lap untuk
mengeringkan tangan, mungkin masih di dalam kotak, belum
dibongkar.
Kusapukan saja tanganku yang basah ke baju tidurku, lalu aku
melangkah ke tangga. "Aku ganti baju dulu, lima menit," teriakku
pada Josh yang masih berdebat dengan Dad di kamar duduk. "Habis
itu kita bisa pergi."
Aku naik beberapa anak tangga, lalu berhenti.
Di ujung tangga sebelah atas, berdiri seorang anak perempuan
yang tak kukenal, kira-kira seumur denganku, dengan rambut hitam
pendek. Ia tersenyum padaku; bukan senyuman hangat, bukan
senyuman bersahabat, tetapi senyuman paling dingin dan paling
menakutkan yang pernah kulihat.
Chapter 8

SEBUAH tangan menyentuh pundakku.


Aku berbalik.
Ternyata Josh. "Aku tidak mau pergi jalan-jalan kalau tidak
bawa bola basket," katanya.
"Josh, jangan begitu!" Aku menoleh kembali ke atas tangga.
Anak perempuan tadi sudah lenyap dari pandangan.
Seluruh tubuhku terasa dingin. Kakiku gemetaran. Kugenggam
pegangan tangga.
"Dad! Ke sini sebentar!" aku berteriak memanggil Dad.
Wajah Josh berubah cemas. "Eei, aku tidak berbuat apa-apa!"
teriaknya.
"Bukan—bukan kau," kataku, lalu berteriak lagi memanggil
Dad.
"Amanda, aku sibuk sekali," kata Dad ketika datang ke kaki
tangga. Ia sudah bersimbah peluh, membongkar perabotan kamar
duduk.
"Dad, aku tadi melihat ada orang," kataku. "Di atas sana. Anak
perempuan." Aku menunjuk.
"Amanda, yang benar saja," jawab Dad sambil merengut.
"Berhentilah melihat yang tidak-tidak, oke? Tak ada orang lain di
rumah ini kecuali kita berempat... dan beberapa ekor tikus."
"Tikus?" tanya Josh, perhatiannya tergugah. "Dimana?"
"Dad, ini bukan khayalan," kataku dengan suara serak. Aku
betul-betul sakit hati karena Dad tidak mempercayaiku.
"Amanda, lihat ke atas," kata Dad sambil memandang kepala
tangga. "Apa yang kaulihat?"
Aku mengikuti arah pandangannya. Di lantai di atas tangga ada
setumpuk pakaianku. Pasti Mom yang habis membongkarnya dari
kotak.
"Itu cuma pakaian," kata Dad tak sabar. "Itu bukan seorang
anak perempuan. Hanya tumpukan pakaian." Dad memutar-mutar
matanya.
"Maaf," kataku lemah. Kuulangi lagi saat aku menaiki tangga.
"Maaf."
Aku bukan betul-betul minta maaf; aku merasa bingung. Dan
takut.
Mungkinkah setumpuk pakaian kukira seorang gadis sedang
tersenyum? Tidak. Tak mungkin. Aku tidak gila. Dan penglihatanku
baik sekali.
Jadi?
Kubuka pintu kamarku, kuhidupkan lampu, dan kulihat gorden
bergerak-gerak di depan jendela. Oh, gawat, pikirku.
Kudekati jendela. Tapi kali ini jendela itu memang terbuka.
Siapa yang membukanya?
Aku menduga Mom.
Angin berembus ke dalam kamar, terasa lembap dan hangat.
Awan tebal dan kelabu menutupi langit. Tampaknya seperti akan
hujan.
Ketika menoleh ke tempat tidur, aku mendapat satu kejutan
lagi.
Seseorang sudah menyiapkan baju untukku. Celana jeans yang
sudah pudar dan kaus biru tanpa lengan. Jeans dan kaus itu diletakkan
berdampingan di kaki tempat tidur.
Siapa yang menaruhnya di situ? Mom?
Aku berdiri di ambang pintu dan berteriak memanggil Mom.
"Mom? Mom yang menyiapkan baju untukku di tempat tidur?"
Kudengar Mom berteriak menyahut dari bawah, tapi kata-
katanya tidak jelas.
Tenang, Amanda, kataku dalam hati. Tenang. Sudah tentu Mom
yang menyiapkan baju ini. Siapa lagi?
Dari pintu kudengar suara berbisik di dalam lemari dinding.
Bisikan dan tawa kecil yang ditahan-tahan di balik pintu lemari
dinding.
Aku tak tahan lagi. "Ada apa di sini?" Aku berteriak sekuat
tenaga.
Kuserbu lemari dinding, kutarik pintunya hingga terbuka lebar.
Seperti orang gila, kusingkapkan baju-bajuku yang tergantung
di lemari. Tak ada seorang pun di sana. Tikus? Apakah yang kudengar
tadi suara tikus yang dikatakan Dad?
"Aku harus keluar dari sini," kataku keras-keras. Ruang ini
membuatku hampir gila.
Bukan. Aku membuat diriku hampir gila. Semua kejadian aneh
ini hanya bayanganku saja.
Pasti ada penjelasan yang logis dan masuk akal untuk semua
ini. Semua.
Sambil memakai dan mengancingkan jeans, kuucapkan kata
"logis" berulang-ulang dalam hati, sampai kata itu terdengar seakan-
akan tidak mengandung arti lagi.
Tenang, Amanda. Tenang.
Aku menarik napas panjang, menahannya, dan menghitung
sampai sepuluh.
"Boo!"
"Josh! Percuma. Aku tidak takut," suaraku terdengar lebih
marah daripada yang kumaksudkan.
"Yuk, pergi," katanya dari ambang pintu. "Tempat ini bikin
merinding."
"Eh? Kau juga?" seruku. "Apa yang membuatmu takut?"
Ia membuka mulut, tapi tidak jadi bicara. Mendadak saja ia
kelihatan malu. "Ah, tidak usah," gumamnya.
"Ayo, ceritakan," aku mendesaknya. "Mau cerita apa tadi?"
Ia menjejak-jejak lantai. "Aku mimpi seram tadi malam,"
akhirnya ia mengaku, memandang gorden yang melambai-lambai di
jendela di belakangku.
"Mimpi?" Aku ingat mimpiku yang seram.
"Ya. Ada dua anak laki-laki di kamarku. Mereka jahat."
"Apa yang mereka lakukan?" tanyaku.
"Aku tidak ingat lagi," kata Josh, menghindari tatapan mataku.
"Aku cuma ingat bahwa mereka membuatku takut."
"Terus, apa yang terjadi?"
"Aku bangun," katanya. Lalu dengan tak sabar ia
menambahkan, "Ayo, cepat. Kita pergi."
"Cowok-cowok itu ngomong apa-apa, tidak?" tanyaku.
"Tidak. Tidak ngomong apa-apa," jawabnya sambil berpikir.
"Mereka cuma tertawa."
"Tertawa?"
"Ya, terkekeh-kekeh," kata Josh. "Sudah, ah. Aku tidak mau
ngomong tentang itu lagi," katanya tajam. "Ayo, dong, kita jadi jalan-
jalan, tidak?"
Aku mengikutinya berjalan melalui gang. Ketika melewati
tumpukan baju di kepala tangga, aku berpikir tentang gadis yang tadi
kulihat berdiri di sana. Juga tentang anak laki-laki di jendela, ketika
pertama kali kami tiba di sini. Dan dua anak laki-laki yang dilihat Josh
dalam mimpinya.
Kesimpulanku Josh dan aku sama-sama gelisah dan gugup
menghadapi kepindahan kami ke tempat baru ini. Mungkin Mom dan
Dad benar. Mungkin memang kami membiarkan khayalan
mengalahkan akal sehat.
Pasti semua ini hanya khayalan.
Habis apa lagi?
Chapter 9

BEBERAPA sat kemudian, kami melangkah ke halaman


belakang, mencari Petey. Seperti biasanya, ia sangat gembira melihat
kami. Ia melompat-lompat, menggapai-gapai dengan kakinya yang
penuh lumpur, menyalak tak henti-hentinya, dan lari berputar-putar.
Hatiku agak terhibur melihat kelakuannya.
Hawa terasa lembap dan panas, walaupun langit tertutup
mendung kelabu. Sama sekali tak ada angin. Pohon-pohon besar
berdiri tegak, tak bergerak bagaikan patung.
Kami berjalan di jalan kerikil di halaman, sepatu karet kami
menyibakkan daun-daun kering. Petey lari berliku-liku di samping
kami, kadang di depan, kadang-kadang di belakang. "Masih untung
kita tidak disuruh membersihkan semua daun kering ini," kata Josh.
"Pasti nanti juga disuruh," sahutku. "Sekarang barangkali Dad
belum sempat membongkar garunya dari peti."
Josh mencibir. Kami berdiri di pinggir jalan, memandang ke
rumah kami. Kedua jendela tingkat atas yang menjorok ke luar
tampak bagaikan sepasang mata yang menatap kami.
Baru saat itu kuperhatikan bahwa rumah sebelah hampir sama
besarnya dengan rumah kami. Bedanya, rumah sebelah dinding
luarnya terbuat dari papan, bukan dari batu bata. Gorden di ruang
duduk tertutup rapat. Begitu juga jendela-jendelanya. Pohon-pohon
besar membuat rumah itu gelap, seperti rumah kami.
"Ke mana?" tanya Josh. Ia melemparkan sepotong kayu agar
dikejar oleh Petey.
Aku menunjuk ke ujung jalan. "Gedung sekolah ada di sebelah
sana," kataku. "Kita lihat, yuk?"
Jalan yang kami lalui agak mendaki. Josh memungut sebatang
ranting kayu dari tepi jalan dan menggunakannya sebagai tongkat.
Petey berusaha mengejar dan menggigit tongkat ranting kayu itu,
sementara Josh terus berjalan.
Kami tidak melihat seorang pun di jalanan maupun di
pekarangan rumah yang kami lewati. Tak satu mobil pun lewat di
jalan.
Aku baru mulai menyangka bahwa seluruh kota ini sudah
ditinggalkan penduduknya, ketika seorang anak laki-laki muncul dari
balik pagar tanaman yang tidak begitu tinggi.
Ia muncul begitu tiba-tiba, sehingga Josh dan aku tersentak
kaget dan berhenti melangkah.
"Hai," katanya malu-malu, sambil melambaikan tangannya
kepada kami.
"Hai," Josh dan aku menjawab berbarengan.
Mendadak, sebelum kami sempat menahannya, Petey lari ke
arah anak itu, menciumi sepatu karetnya, lalu mulai menggeram dan
menggonggong. Anak itu melangkah mundur dan mengangkat
tangannya, seakan melindungi dirinya. Ia terlihat sangat ketakutan.
"Petey! Stop!" teriakku.
Josh menangkap Petey dan mengangkatnya, tapi anjing itu tidak
henti-hentinya menggeram.
"Dia tidak menggigit," anak itu kuberitahu. "Biasanya dia juga
tak pernah menggonggong. Maaf."
"Tidak apa-apa," anak itu memandang Petey yang sedang
menggeliat-geliat, berusaha melepaskan diri dari pelukan Josh.
"Barangkali dia mencium bau aneh di badanku."
"'Petey! Stop!" aku berteriak. Anjing itu tidak juga mau berhenti
menggeliat. "Awas, kuikat kau nanti."
Anak itu berambut pirang, ikal, dipotong pendek. Matanya biru
pucat. Ujung hidungnya agak melengkung ke atas, kelihatan janggal
di wajahnya yang serius. Ia mengenakan sweater merah tua berlengan
panjang, walaupun udara panas. Celananya jeans berwarna hitam. Di
kantong belakang celananya tersembul sebuah topi bisbol berwarna
biru.
"Namaku Amanda Benson," aku memperkenalkan diri. "Ini
adikku, Josh."
Perlahan-lahan Josh menaruh Petey ke tanah lagi. Anjing itu
menyalak satu kali, menatap anak itu, menggeram perlahan, lalu
duduk di jalan dan menggaruk-garuk badannya.
"Aku Ray Thurston," kata anak laki-laki itu. Ia memasukkan
kedua tangan ke saku celananya, matanya masih melirik takut-takut ke
arah Petey. Ketika melihat Petey sudah tidak lagi berminat
menggonggonginya, ia jadi lebih tenang.
Tiba-tiba aku sadar bahwa wajah Ray terasa tidak asing.
Rasanya aku pernah melihatnya. Di mana? Kupandangi terus
wajahnya, sampai aku ingat.
Seketika itu juga aku terbelalak dan ternganga.
Dialah anak laki-laki itu; anak laki-laki di kamarku. Anak laki-
laki di jendela.
"Kau...," aku menudingnya sambil tergagap. "Kau ada di
rumahku!"
Ia kelihatan bingung. "Hah?"
"Kau yang di kamarku, kan?" aku mendesaknya.
Ia tertawa. "Aku tidak mengerti maksudmu," katanya. "Di
dalam kamarmu?"
Petey mengangkat kepala dan menggeram ke arah Ray. Lalu ia
kembali menggaruk-garuk dengan serius.
"Kupikir aku melihatmu." Aku jadi agak ragu-ragu. Barangkali
bukan dia. Barangkali...
"Aku sudah lama tidak berada di rumahmu," kata Ray sambil
melirik Petey.
"Sudah lama?"
"Ya. Dulu aku tinggal di rumahmu," jawabnya.
"Hah?" Josh dan aku menatapnya dengan terperanjat. "Di
rumah kami?"
Ray mengangguk. "Ketika pertama kali kami pindah ke sini,"
katanya menjelaskan. Ia memungut sebuah kerikil dan
melemparkannya ke jalan.
Petey menggeram, berlari mengejar batu itu, lalu berubah
pikiran, dan kembali berbaring di jalan. Ekornya yang pendek
bergerak-gerak cepat.
Awan hitam bergerak menutupi langit. Cuaca semakin gelap.
"Di mana rumahmu sekarang?" tanyaku.
Ray melemparkan sebutir batu lagi, lalu menunjuk ke ujung
jalan.
"Kau suka rumah kami?" tanya Josh pada Ray.
"Yah, lumayan," kata Ray. "Rindang dan nyaman."
"Kau senang rumah itu?" seru Josh. "Menurutku rumah itu jelek
sekali. Gelap dan..."
Kata-kata Josh terputus oleh Petey. Anjing itu memutuskan
untuk kembali menggonggong ke arah Ray. Sambil menggonggong ia
berlari mendekati Ray, sampai tinggal beberapa inci di depan Ray,
lalu mundur menjauh. Dengan hati-hati Ray mundur beberapa
langkah, ke pinggir trotoar.
Josh menarik tali dari kantongnya. "Apa boleh buat, Petey,"
katanya. Kupegang anjing yang menggeram-geram itu, sementara
Josh memasang tali pada ban lehernya.
"Dia biasanya tidak begini. Sungguh," kataku, meminta maaf
pada Ray.
Tali itu membuat Petey kebingungan. Ia menyentak-nyentak,
menarik Josh ke seberang jalan. Tapi akhirnya ia berhenti
menggonggong.
"Kita lakukan sesuatu, yuk," Josh tidak betah berdiam diri.
"Apa?" tanya Ray yang sudah tenang lagi setelah Petey diikat.
Kami berpikir-pikir sejenak.
"Kita ke rumahmu saja, yuk?" usul Josh pada Ray.
Ray menggelengkan kepala. "Tidak, aku tidak mau," katanya.
"Jangan sekarang."
"Orang-orang lain ke mana?" tanyaku sambil memandang
jalanan dari ujung yang satu ke ujung yang lain. "Seperti kota mati di
sini."
Ray tergelak. "Yaa, bisa kausebut begitu," katanya. "Mau pergi
ke lapangan di belakang sekolah?"
"Oke," aku setuju.
Kami bertiga berjalan, Ray memimpin di depan. Aku beberapa
langkah di belakangnya. Josh memegang tongkat rantingnya di satu
tangan, dan tali pengikat Petey di tangan sebelahnya. Petey lari ke
sana kemari, berubah-ubah arah, mempersulit Josh.
Kami tidak melihat rombongan anak-anak itu, sampai kami
berbelok di sudut jalan.
Ada sepuluh sampai dua belas orang anak di dalam rombongan
itu, sebagian besar anak laki-laki, tapi ada beberapa anak perempuan
juga. Mereka tertawa dan bersorak-sorak, saling mendorong satu sama
lain, berjalan di tengah jalan, menuju ke arah kami bertiga. Beberapa
dari mereka kira-kira seumurku. Selebihnya sudah remaja. Mereka
memakai jeans dan kaus berwarna gelap. Salah satu anak perempuan
mudah sekali dibedakan dari yang lain karena rambutnya yang
panjang, lurus, dan berwarna pirang. Ia memakai celana spandex ketat
berwarna hijau.
"Hei, lihat!" seorang anak laki-laki jangkung berambut hitam
panjang yang disisir lurus ke belakang berseru sambil menunjuk ke
arah kami. Begitu melihat Ray, Josh, dan aku, mereka terdiam, tapi
terus melangkah mendekati kami. Beberapa dari mereka tertawa-tawa,
seakan-akan menikmati sesuatu yang lucu.
Kami bertiga berhenti dan memperhatikan mereka mendekat.
Aku tersenyum, menunggu kesempatan untuk mengatakan "hai".
Petey menarik-narik talinya dan menggonggong keras-keras seperti
seekor anjing gila.
"Hai, Kawan," anak laki-laki jangkung berambut hitam itu
menyapa sambil meringis. Entah mengapa, yang lain menganggapnya
lucu sekali, sehingga mereka tertawa terbahak-bahak. Anak
perempuan bercelana hijau mendorong seorang anak laki-laki pendek
berambut merah, sehingga anak itu terhuyung-huyung hampir
menabrakku.
"Apa kabar, Ray?" seorang anak perempuan dengan rambut
hitam pendek bertanya sambil tersenyum pada Ray.
"Lumayan. Hai, Teman-teman," jawab Ray. Ia menoleh pada
Josh dan aku. "Ini teman-temanku. Mereka semua tinggal di sekitar
sini."
"Hai," aku menyapa dengan canggung. Kuharap Petey berhenti
menggonggong dan menarik-narik talinya. Kasihan Josh, dengan
susah payah ia berusaha menahan anjing itu.
"Ini George Carpenter," kata Ray, menunjuk anak laki-laki
pendek berambut merah yang menganggukkan kepala ketika
dikenalkan. "Itu Jerry Franklin, Karen Somerset, Bill Gregory..." Ia
memperkenalkan semua anak itu satu per satu. Kucoba mengingat
semua nama itu, tapi tentu saja tak mungkin.
"Apa pendapatmu tentang Dark Falls?" salah seorang anak
perempuan bertanya padaku.
"Aku belum tahu," jawabku. "Ini hari pertamaku di sini.
Kelihatannya sih menyenangkan."
Beberapa orang anak tertawa mendengar jawabanku, entah
kenapa.
"Anjing jenis apa itu?" George Carpenter bertanya pada Josh.
Josh, sambil memegang tali Petey erat-erat, memberitahunya.
George menatap tajam ke arah Petey, mengamat-amatinya, seakan-
akan belum pernah melihat anjing seperti Petey.
Karen Somerset, seorang gadis jangkung yang cantik, dengan
rambut pirang dipotong pendek, berjalan mendekatiku ketika yang
lain-lain mencurahkan perhatian mereka pada Petey. "Tahu tidak, dulu
aku juga pernah tinggal di rumahmu," katanya perlahan.
"Masa?" aku tak yakin aku mendengarnya dengan benar.
"Yuk kita pergi ke lapangan," kata Ray, menengahi
pembicaraan kami.
Tak seorang pun memberi reaksi atas usul Ray. Mereka semua
terdiam. Bahkan Petey pun berhenti menggonggong.
Betulkah Karen berkata bahwa ia pernah tinggal di rumah
kami? Aku ingin bertanya padanya, tapi ia sudah melangkah kembali
ke lingkaran teman-temannya.
Lingkaran.
Mulutku ternganga ketika aku sadar bahwa mereka telah
membentuk lingkaran mengelilingi Josh dan aku.
Rasa takut bagaikan menikam jantungku. Apakah ini hanya
khayalanku? Atau memang akan terjadi sesuatu?
Tiba-tiba saja mereka terlihat lain. Mereka masih tersenyum,
tapi wajah mereka tegang, waspada, sepertinya mereka bersiap-siap
menghadapi kericuhan.
Dua dari mereka kulihat membawa pemukul bisbol. Si anak
perempuan bercelana hijau menatapku dari kepala sampai ke kaki,
seperti sedang menimbang-nimbang.
Tak seorang pun berbicara. Jalanan sunyi, kecuali suara Petey
yang menggeram perlahan.
Saat itu aku merasa sangat takut.
Mengapa mereka menatap kami seperti itu?
Atau mungkinkah khayalanku mengalahkan akal sehatku lagi?
Aku menoleh ke Ray yang berdiri di sampingku. Ia tidak
kelihatan terganggu. Tapi ia tidak membalas tatapanku.
"Eei, Teman-teman...," kataku. "Ada apa, sih?" Aku berusaha
membuat suaraku ringan, tapi suaraku terdengar gemetar.
Aku menengok ke arah Josh. Ia sibuk menenangkan Petey dan
tidak menyadari bahwa situasi sudah berubah.
Dua anak laki-laki yang membawa pemukul bisbol mengangkat
pemukul mereka dan bergerak maju.
Aku melihat sekilas ke sekeliling lingkaran, rasa takut
mencengkam dadaku.
Lingkaran itu semakin rapat. Anak-anak itu bergerak
mengurung kami.
Chapter 10

AWAN hitam di langit rasanya semakin rendah. Udara terasa


berat dan lembap.
Josh masih repot dengan ban leher Petey dan tidak melihat apa
yang sedang terjadi. Aku tidak tahu apakah Ray akan berbuat sesuatu
untuk menghentikan mereka. Ia berdiri mematung di sampingku.
Anak-anak itu semakin mendekat, dan lingkaran itu semakin
rapat.
Semula aku tak sadar bahwa aku menahan napas. Begitu sadar,
kutarik napas pajang dan kubuka mulutku untuk berteriak.
"Hai, Anak-anak... sedang apa?"
Suara seorang laki-laki, dari luar lingkaran. Semua orang
menoleh. Terlihat Mr. Dawes bergegas mendatangi kami,
menyeberang jalan dengan langkah-langkah panjang, jaketnya yang
tidak dikancing melambai-lambai di belakangnya. Senyumnya yang
ramah nampak di wajahnya. "Sedang apa?" tanyanya lagi.
Kelihatannya ia tak sadar bahwa gerombolan anak-anak itu
sedang mengepung Josh dan aku.
"Kami mau ke lapangan," George Carpenter menjelaskan
sambil mengayun-ayunkan pemukul bisbol. "Mau main bisbol."
"Bagus," kata Mr. Dawes. Ia membetulkan letak dasinya yang
tertiup angin ke bahu. Lalu ia menengadah ke langit yang semakin
gelap. "Mudah-mudahan tidak kehujanan."
Beberapa anak sudah mundur. Mereka berdiri terpisah dalam
beberapa gerombol, masing-masing dua atau tiga anak. Tidak lagi
membentuk lingkaran mengelilingi kami.
"Pemukul itu untuk softball atau hardball?" Mr. Dawes bertanya
pada George.
"George tidak tahu," seorang anak lain menjawab. "Dia tidak
pernah bisa memukul apa pun!"
Semua anak tertawa. George pura-pura akan menyerang anak
yang mengolok-oloknya dengan pemukul bisbol.
Mr. Dawes melambaikan tangan dan bergerak pergi. Tapi
kemudian ia berhenti, matanya terbuka lebar melihat Josh dan aku.
"Hai," katanya sambil melemparkan senyum ramah kepadaku. "Josh.
Amanda. Aku tidak melihat kalian tadi."
"Selamat pagi," gumamku. Aku bingung. Beberapa saat yang
lalu aku takut dikeroyok anak-anak itu. Sekarang semua orang
tertawa-tawa dan bersenda gurau.
Apakah pengepungan tadi hanya ada di dalam khayalanku saja?
Ray dan Josh sepertinya tidak melihat sesuatu yang aneh. Apakah tadi
itu hanya khayalanku saja?
Apa yang akan terjadi kalau Mr. Dawes tidak kebetulan
muncul?
"Bagaimana rasanya rumah baru?" tanya Mr. Dawes.
Tangannya mengusap rambut pirangnya ke belakang.
"Lumayan," Josh dan aku menjawab bersamaan. Melihat Mr.
Dawes, Petey mulai lagi menggonggong dan menarik-narik talinya.
Mr. Dawes memasang wajah seolah-olah hatinya sangat terluka.
"Aku menyerah," katanya. "Anjingmu masih tetap tidak menyukaiku."
Ia membungkuk ke Petey. "Hei, anjing kecil... jangan galak-galak."
Petey menggonggong dengan sengit.
"Kelihatannya hari ini dia tidak menyukai semua orang," kataku
meminta maaf.
Mr. Dawes berdiri tegak dan mengangkat bahu. "Yah, memang
tak mungkin memenangkan semuanya." Ia berjalan kembali ke
mobilnya yang diparkir beberapa meter jauhnya. "Aku mau ke
rumahmu," katanya memberitahu Josh dan aku. "Cuma mau lihat
kalau-kalau ada yang bisa kubantu. Selamat bermain, Anak-anak."
Kulihat ia naik ke mobil dan meluncur pergi.
"Dia orang baik," kata Ray.
"Yaa," aku setuju. Aku masih merasa tidak enak, tidak tahu apa
yang akan dilakukan anak-anak itu setelah Mr. Dawes pergi.
Apakah mereka akan membuat lingkaran mengepung kami
lagi?
Ternyata tidak. Semua berjalan menuju lapangan di belakang
gedung sekolah. Mereka saling bergurau satu sama lain, berbicara
sewajarnya, dan tidak menghiraukan Josh dan aku.
Aku merasa seperti orang tolol. Jelas sekali bahwa mereka tak
pernah mencoba mengancam Josh dan aku. Semua itu pasti hanya
khayalanku.
Pasti.
Kupikir-pikir, untung juga tadi aku belum sempat berteriak.
Untung aku belum sempat melakukan tindakan bodoh yang
memalukan.
Lapangan bermain kosong. Mungkin anak-anak yang lain lebih
suka tinggal di rumah karena cuaca mendung. Lapangan itu besar,
rata, dan ditumbuhi rumput. Keempat sisinya berpagar besi. Di sisi
yang paling dekat dengan gedung sekolah ada ayunan dan jungkat-
jungkit. Di sisi lain ada dua buah lapangan bisbol. Di seberang pagar
kulihat sederet lapangan tenis yang juga kosong.
Josh mengikat Petey ke pagar besi, lalu lari bergabung dengan
kami. Anak laki-laki yang bernama Jerry Franklin mengatur
pembagian regu. Ray dan aku berada dalam satu regu. Josh di regu
lain.
Ketika reguku yang kebagian jaga mulai mengambil tempat,
aku merasa agak gugup. Aku bukan pemain softball terbaik di dunia.
Aku bisa memukul bola, tapi di lapangan, aku canggung sekali.
Untung Jerry menempatkan aku di bagian kanan lapangan yang jarang
didatangi bola.
Awan mulai agak menipis dan langit berangsur terang. Kami
main dua inning penuh. Regu lawan unggul 8-2. Aku menikmati
permainan ini. Aku cuma membuat satu kesalahan fatal. Dan aku
berhasil memukul bola dengan baik waktu pertama kali giliranku
memukul.
Memang menyenangkan punya sekumpulan teman baru.
Mereka baik-baik, terutama anak perempuan yang bernama Karen
Somerset. Ia mengajakku mengobrol ketika menunggu giliran kami
memukul bola. Senyum Karen sangat menarik, walaupun ia memakai
kawat gigi. Ia kelihatan ingin sekali bersahabat denganku.
Matahari mulai mengintai dari balik awan ketika reguku
bersiap-siap mengambil tempat di lapangan, di awal inning ketiga.
Sekonyong-konyong kudengar suara peluit, nyaring dan keras. Aku
memandang berkeliling, sampai akhirnya kulihat Jerry Franklin
sedang meniup sebuah peluit perak.
Semua berlari mengerumuninya. "Lebih baik kita berhenti,"
katanya sambil menengok langit yang semakin cerah. "Jangan lupa,
tadi kita janji akan pulang ke rumah pada waktu makan siang."
Kutengok jam tanganku. Sebelas tiga puluh. Masih terlalu pagi
untuk makan siang.
Tapi herannya tak seorang pun memprotes.
Mereka saling melambaikan tangan, mengucapkan sampai
ketemu, lalu berlari cepat-cepat. Aku hampir tak percaya melihat
betapa cepatnya mereka berlari. Seakan-akan mereka berkejaran
dengan sesuatu.
Karen berlari melewatiku seperti yang lain juga, kepalanya
menunduk, wajahnya yang cantik terlihat serius sekali. Mendadak ia
berhenti dan berputar menghadap ke arahku. "Aku senang berkenalan
denganmu, Amanda," serunya. "Lain kali kita main sama-sama lagi,
ya?"
"Bagus!" seruku. "Kau tahu rumahku?"
Aku tidak mendengar jawabannya dengan jelas. Ia
mengangguk, dan kalau tidak salah ia berkata, "Ya. Aku tahu. Aku
pernah tinggal di rumahmu."
Tapi rasanya tak mungkin ia mengatakan itu.
Chapter 11

BEBERAPA hari sudah berlalu. Josh dan aku mulai terbiasa


dengan rumah kami yang baru dan teman-teman baru kami.
Anak-anak itu kami temui setiap hari di lapangan. Mereka
belum betul-betul menjadi teman. Mereka berbicara dengan Josh dan
aku, dan menerima kami bergabung dengan mereka. Tapi tidak
banyak yang kami ketahui tentang diri mereka.
Di kamar, aku masih juga mendengar suara-suara berbisik di
waktu larut malam. Dan suara tertawa perlahan. Tapi kupaksa diriku
untuk tidak menghiraukan suara-suara itu. Pada suatu malam, kupikir
aku melihat seorang anak perempuan berpakaian serba putih di ujung
gang tingkat atas. Tapi ketika kudekati, hanya terlihat setumpuk seprai
dan sarung bantal kotor di pojok dinding.
Josh dan aku mulai bisa menyesuaikan diri, tapi Petey masih
berlaku aneh. Kami ajak dia ke lapangan setiap hari, tapi harus diikat
di pagar. Kalau tidak, ia akan menggonggong dan mencoba menggigit
anak-anak itu.
"Dia masih gelisah, belum biasa dengan tempat baru ini,"
kataku pada Josh. "Nanti juga dia akan tenang."
Tapi Petey tidak juga jadi tenang. Kira-kira dua minggu,
kemudian, ketika kami baru saja selesai bermain softball bersama
Ray, Karen Somerset, Jerry Franklin, George Carpenter, dan
segerombolan anak-anak lain, aku menoleh ke pagar dan melihat
Petey sudah tidak ada di sana.
Entah dengan cara apa, kelihatannya ia berhasil melepaskan
ikatan talinya dan lari entah ke mana.
Kami mencarinya berjam-jam, memanggil-manggil namanya,
menjelajah blok demi blok, memeriksa halaman depan dan
pekarangan belakang setiap rumah, memeriksa lapangan-lapangan
rumput dan kebun-kebun yang ditumbuhi pohon-pohon besar. Setelah
dua kali mengelilingi lingkungan perumahan tanpa hasil, akhirnya
Josh dan aku terpaksa mengakui bahwa kami sama sekali tidak punya
bayangan di mana anjing itu berada.
Jalan-jalan Dark Falls mirip sekali satu sama lain. Semuanya
diapit rumah-rumah besar dan tua, berdinding batu bata atau papan,
dan semua halamannya ditumbuhi pohon-pohon besar yang rindang.
"Celaka. Kita kesasar," kata Josh. Ia bersandar ke sebatang
pohon, mengembalikan napasnya yang terengah-engah.
"Dasar anjing bodoh," aku menggerutu. Mataku masih mencari-
cari. "Kok jadi begini, sih? Dulu-dulu dia tidak pernah kabur."
"Heran, bagaimana dia bisa lepas dari ikatannya?" kata Josh. Ia
menggeleng-gelengkan kepala, lalu menghapus keringat di dahinya
dengan lengan baju kausnya. "Padahal kuikat kencang sekali tadi."
"Eh, jangan-jangan dia lari pulang," seruku. Pikiran itu
menimbulkan harapan baru..
"Iya, betul!" Josh melangkah dari batang pohon, mendekatiku.
"Rasanya kau benar, Amanda. Barangkali dia sudah di rumah berjam-
jam yang lalu. Wow. Dasar kita tolol. Seharusnya pertama kali kita
cari di rumah dulu. Ayo!"
"Cuma...," kataku sambil menebarkan pandang. "Pertama-tama
kita harus tahu dulu, bagaimana caranya mencari jalan pulang."
Aku menoleh ke kiri-kanan, mencoba mengingat-ingat belok ke
mana saja kami tadi, sejak meninggalkan lapangan sekolah. Aku sama
sekali tak ingat berapa kali kami berbelok, berapa kali belok kiri,
berapa kali belok kanan. Jadi akhirnya kami asal melangkah saja
mengikuti jalan.
Untung, begitu kami sampai di persimpangan berikutnya,
terlihat gedung sekolah. Ternyata kami berjalan melingkar waktu
mencari Petey tadi. Dari sekolah, mudah sekali mencari jalan pulang.
Ketika melewati lapangan, aku memandang ke pagar tempat
kami mengikat Petey. Anjing pengacau itu. Kelakuannya aneh-aneh
saja sejak tiba di Dark Falls.
Apakah ia sudah di rumah? Mudah-mudahan. Beberapa menit
kemudian, Josh dan aku berlari masuk ke halaman, berteriak sekuat
tenaga, memanggil-manggil nama Petey. Mom membuka pintu depan.
Rambutnya diikat selendang merah, lutut celananya kotor berdebu.
Mom dan Dad sedang mengecat serambi belakang. "Ke mana saja
kalian? Waktu makan siang sudah lewat dua jam yang lalu!"
Josh dan aku menjawab bersamaan, "Petey ada di sini, tidak?"
"Kami mencari-cari Petey!"
"Ada, tidak?"
Mom kelihatan bingung. "Petey? Kukira dia bersama kalian
tadi."
Jantungku serasa mau copot. Josh mengempaskan diri ke tanah
sambil menghela napas, lalu berbaring telentang di kerikil dan daun-
daun kering.
"Mom tidak melihat Petey?" tanyaku dengan suara gemetar.
"Memang dia tadi ikut kami, tapi dia lari."
"Oh," kata Mom sambil memberi isyarat pada Josh agar
bangkit. "Dia lari? Memangnya tidak diikat?"
"Mom, tolong bantu kami mencarinya," Josh memohon tanpa
bangkit dari tanah. "Pakai mobil. Kita harus mencarinya sekarang
juga!"
"Dia tak akan lari jauh-jauh," kata Mom. "Sedangkan kau pasti
sudah kelaparan. Makan saja dulu, habis itu baru kita..."
"Tidak! Sekarang!" Josh menjerit.
"Ada apa ribut-ribut?" Dad, wajah dan kepalanya penuh dengan
bintik-bintik cat putih, menyusul Mom ke serambi depan. "Josh,
kenapa menjerit-jerit?"
Kami menceritakan pada Dad apa yang terjadi. Kata Dad, ia
sangat sibuk, tak punya waktu untuk membantu mencari Petey. Mom
bilang ia bisa membawa kami dengan mobil, tapi kami harus makan
dulu. Kutarik Josh dengan dua tangan dan kuseret ia ke dalam rumah.
Kami membasuh tangan dan menelan beberapa potong roti
dengan selai kacang. Lalu Mom mengeluarkan mobil dari garasi dan
kami berputar-putar beberapa kali di jalan-jalan sekitar rumah,
mencari anjing kami yang hilang.
Kami belum beruntung.
Petey tidak kelihatan di mana-mana.
Josh dan aku merasa sangat sedih. Patah hati. Mom dan Dad
menelepon pos polisi. Dad terus berusaha meyakinkan kami bahwa
Petey mempunyai perasaan tajam mengenai arah, dan bahwa ia bisa
muncul setiap saat.
Kami tidak terlalu percaya.
Di manakah ia?
Kami berempat makan malam tanpa berbicara. Malam itu
adalah malam terpanjang, malam paling mengerikan dalam hidupku.
"Padahal sudah kuikat kuat-kuat," Josh mengulangi lagi, hampir
menangis. Piring makannya hampir tak disentuhnya.
"Anjing memang ahli melepaskan diri," kata Dad. "Jangan
takut. Dia akan pulang."
"Malam yang jelek untuk pergi pesta," kata Mom dengan
murung.
Aku sama sekali tak ingat bahwa Mom dan Dad akan pergi
malam itu. Ada tetangga yang mengundang mereka menghadiri pesta
makan malam sederhana.
"Aku juga tak ingin pergi sebetulnya," kata Dad sambil
menghela napas. "Aku capek sekali sehabis mengecat sepanjang hari.
Tapi kita harus jadi tetangga yang baik. Kalian tidak apa-apa tinggal
sendiri di rumah?"
"Tidak, tidak apa-apa." Aku masih memikirkan Petey.
Kupasang telingaku untuk mendengar suara menyalak atau
menggaruk-garuk pintu.
Tapi tak ada suara-suara semacam itu. Jam demi jam berlalu.
Petey masih belum pulang juga saat tiba waktu tidur.
Josh dan aku menyelinap ke atas. Aku capek sekali rasanya,
capek pikiran dan capek badan. Tapi aku tahu aku takkan bisa tidur.
Dari gang di depan pintu kamarku kudengar suara berbisik di
dalam kamar, dan suara kaki melangkah perlahan-lahan. Suara-suara
yang sudah biasa terdengar di kamarku. Aku tidak lagi takut atau
terkejut mendengar suara-suara semacam itu.
Tanpa ragu-ragu aku masuk ke kamar dan menghidupkan
lampu. Kamar itu kosong, seperti telah kuduga sebelumnya. Suara-
suara aneh tadi menghilang. Aku menoleh ke arah gorden yang diam
tak bergerak.
Lalu kulihat baju-baju yang berserakan di tempat tidurku.
Beberapa celana jeans. Beberapa potong kaus. Dua buah
sweater. Dan satu-satunya baju pestaku.
Aneh, pikirku. Mom orangnya rapi sekali. Kalau ia habis
mencuci pakaian-pakaian itu, pasti disimpannya dengan rapi di dalam
lemari.
Sambil mendesah kelelahan, kukumpulkan pakaian-pakaian itu
dan kusingkirkan dari tempat tidur. Mungkin Mom terlalu banyak
pekerjaan lain. Barangkali sehabis mencuci semua pakaian itu ia
sengaja meninggalkannya di tempat tidur, agar kusimpan di lemari.
Atau bisa juga ia menaruh pakaian-pakaian itu di tempat tidur,
bermaksud kembali lagi untuk menyimpannya, tapi akhirnya tidak
sempat karena terlalu banyak pekerjaan lain.
Setengah jam kemudian, aku berbaring di tempat tidur, mata
terbuka lebar, menatap ke bayangan-bayangan di langit-langit kamar.
Beberapa lama setelah itu—aku tak tahu persis jam berapa—aku
masih belum juga bisa tidur, masih memikirkan Petey, teman-tenanku
yang baru, dan lingkungan tempat tinggal kami yang baru. Tiba-tiba
kudengar Pintu kamarku berderik dan bergerak terbuka.
Lalu bunyi langkah kaki di lantai kayu.
Aku bangkit terduduk, sementara seseorang mengendap-endap
masuk ke kamarku.
"Amanda... sssttt... ini aku."
Rasa cemas membuatku tidak segera mengenali suara itu. Baru
beberapa detik kemudian aku menjawab, "Josh! Mau apa? Kenapa kau
ke sini?"
Aku tersentak kaget ketika cahaya menyilaukan memaksaku
menutup mata. "Ups. Maaf," kata Josh. "Ini lampu senterku. Aku tak
bermaksud..."
"Ouw, terang sekali," kataku sambil mengedip-ngedipkan mata.
Josh mengarahkan sinar putih yang kuat itu ke langit-langit kamar.
"Yaa. Ini lampu senter halogen," katanya.
"Lalu, kau mau apa," tanyaku dengan kesal. Aku masih belum
bisa melihat dengan jelas. Kugosok-gosok mataku, tapi tidak banyak
membantu.
"Aku tahu Petey ada di mana," Josh berbisik. "Aku mau
menjemputnya. Mau ikut?"
"Huh?" Aku menengok ke jam kecil di meja. "Ini sudah lewat
tengah malam, Josh."
"Lalu kenapa? Cuma sebentar, kok. Benar, deh."
Mataku sudah mulai normal lagi. Ketika kupandang Josh di
bawah sinar lampu halogen itu, kulihat ia sudah berpakaian lengkap.
Celana jeans dan kaus lengan panjang.
"Aku tidak mengerti, Josh," kataku sambil menurunkan kaki ke
lantai. "Sudah kita cari ke mana-mana. Lalu menurutmu ada di mana
si Petey?"
"Di kuburan," sahut Josh. Matanya terlihat besar, gelap, dan
serius di bawah cahaya putih lampu senter.
"Hah?"
"Ingat tidak waktu dia pertama kali lari dulu? Waktu pertama
kali kita datang ke Dark Falls? Dia lari ke kuburan di sebelah sana
sekolahan. Ingat, tidak?"
"Nanti dulu, sebentar...," kataku.
"Kita melewati kuburan itu tadi sore, tapi kita tidak mencarinya
ke dalam. Dia ada di sana, Amanda. Aku tahu. Pasti. Aku akan
menjemputnya, tak peduli kau ikut atau tidak."
"Josh, tenang dulu," kataku sambil menaruh tangan ke
pundaknya. Aku tak menyangka ia gemetar. "Memang apa yang
membuat Petey ingin pergi ke kuburan itu? Tidak ada apa-apa, kan?"
"Tapi dia pergi ke sana waktu pertama kali lari dulu," Josh
bersikeras. "Dia mencari sesuatu di sana hari itu. Aku tahu. Pasti dia
akan pergi ke sana lagi, Amanda." Ia mundur menjauhiku. "Kau mau
ikut atau tidak?"
Adikku memang betul-betul anak yang paling keras kepala di
dunia.
"Josh, kau betul-betul mau pergi ke kuburan di tengah malam
begini?" tanyaku.
"Aku tidak takut," katanya. Ia memutar-mutarkan sinar lampu
senternya ke sekeliling kamarku.
Sekilas kukira lampu itu memergoki seseorang yang
bersembunyi di balik gorden. Aku membuka mulut, hendak berteriak,
tapi tidak ada siapa-siapa di sana.
"Ikut, tidak?" Josh bertanya lagi dengan tak sabar.
Aku hampir berkata tidak. Tapi kemudian aku berpikir sambil
menatap gorden. Mungkin lebih menyeramkan berada sendirian di
kamar ini daripada di kuburan!
"Yah, oke," sahutku sambil menggerutu. "Keluarlah dulu. Aku
mau ganti pakaian."
"Oke," bisiknya. Ia mematikan lampu senternya, sehingga
kegelapan menyelubungi kami. "Aku tunggu di depan rumah."
"Josh, kita tengok sebentar ke kuburan, terus kita cepat-cepat
pulang. Janji?" kataku.
"Iya, deh. Kita sudah sampai di rumah lagi sebelum Mom dan
Dad pulang dari pesta." Josh berjalan ke luar. Kudengar suara
langkahnya menuruni tangga.
Ini pikiran yang paling gila, kataku pada diri sendiri ketika aku
meraba-raba dalam gelap, mencari bajuku.
Tapi memang seru juga, sih.
Josh pasti salah. Aku yakin. Petey tak mungkin berkeliaran di
kuburan. Untuk apa?
Untungnya tak perlu berjalan jauh. Dan ini akan merupakan
pengalaman seru. Bisa kuceritakan kepada Kathy lewat surat nanti.
Dan kalau Josh benar dan kita bisa menemukan Petey, hmh,
bagus sekali.
Beberapa menit kemudian, setelah memakai jeans dan sweater,
aku berjalan ke luar, menyusul Josh yang menunggu di depan rumah.
Udara malam itu masih agak hangat. Bulan bersembunyi di balik
awan tebal. Aku baru sadar bahwa di blok ini tidak ada lampu jalan.
Josh sudah menyalakan lampu senternya. "Siap?" tanyanya.
Pertanyaan tolol. Masa aku akan berdiri di sini kalau aku belum
siap?
Daun kering bergemeresik terinjak kaki kami, ketika kami
berjalan menuju gedung sekolah. Dari sana, hanya dua blok lagi ke
kuburan.
"Gelap sekali," bisikku. Rumah-rumah di kiri-kanan jalan gelap
dan sepi. Sama sekali tak ada embusan angin. Rasanya seperti berada
sendirian saja di dunia ini.
"Tidak ada suara apa-apa, ya?" Aku melangkah lebih cepat,
agar tidak tertinggal oleh Josh. "Suara jangkrik pun tak ada. Kau
betul-betul yakin mau pergi ke kuburan?"
"Yakin," sahutnya. Matanya mengikuti lingkaran cahaya putih
yang menerangi jalan kami. "Aku benar-benar yakin Petey ada di
sana."
Kami melangkah di jalan, merapat ke trotoar. Kami sudah
berjalan kira-kira dua blok. Gedung sekolah mulai terlihat di blok
berikutnya ketika kami mendengar suara langkah kaki di belakang
kami.
Kami berhenti berjalan.
Kami berdua mendengar suara itu lagi. Jadi bukan hanya
khayalanku.
Seseorang membuntuti kami.
Chapter 12

JOSH sangat terkejut, sehingga lampu senternya terlepas dari


tangan dan jatuh ke jalan. Lampunya berkedip, tapi tidak sampai
padam.
Begitu Josh memungut lampu itu kembali, orang yang di
belakang sudah menyusul kami. Aku berbalik ke arah orang itu,
jantungku berdgup kencang.
"Ray! Mengapa kau ada di sini?”
Josh mengarahkan lampu senternya ke wajah Ray, tapi Ray
mengangkat tangan melindungi wajahnya dan merunduk menghindari
cahaya lampu. "Mengapa kalian berdua ada di sini?" Ray balik
bertanya.
Ia kelihatan sama terkejutnya denganku.
"Kau... kau mengagetkan kami," Josh marah-marah. Lampu
senternya ia arahkan kembali ke bawah.
"Maaf," kata Ray. "Aku tadinya mau memanggil, tapi aku tidak
yakin itu kau."
"Josh mendapat pikiran gila. Dia pikir dia tahu Petey ada di
mana," kuberitahu Ray. Napas dan denyut jantungku masih belum
kembali normal. "Itulah sebabnya kami ada di sini."
"Kau sendiri bagaimana?" tanya Josh pada Ray.
"Mmm... aku sering tidak bisa tidur," sahut Ray perlahan.
"Orangtuamu membolehkan saja kau keluar tengah malam
begini?" tanyaku.
Di bawah cahaya remang-remang, aku melihat senyum bandel
di wajahnya. "Mereka tidak tahu."
"Kita jadi ke kuburan atau tidak?" Josh mulai tak sabar. Tanpa
menunggu jawaban, ia mulai berlari-lari kecil, sinar lampu senternya
menari-nari di atas aspal di depannya. Aku cepat-cepat mengikutinya,
tak ingin jauh-jauh dari cahaya lampu.
"Ke mana kalian pergi?" Ray memanggil sambil mengejar.
"Ke kuburan," seruku kembali.
"Jangan," kata Ray. "Tidak boleh."
Suaranya rendah, nadanya mengancam, sehingga langkahku
terhenti. "Apa?"
"Kalian tidak boleh pergi ke sana," Ray mengulangi. Aku tak
bisa melihat wajahnya. Tersembunyi dalam kegelapan. Tapi nada
suaranya terdengar mengancam.
"Ayo cepat!" Josh memanggil. Ia tidak berhenti. Kelihatannya
ia tidak menyadari nada ancaman dalam ucapan Ray.
"Berhenti, Josh!" Ray memanggil Josh. Suaranya lebih mirip
perintah daripada permintaan. "Kau tak boleh pergi ke sana!"
"Kenapa tidak boleh?" aku menuntut penjelasan. Aku merasa
takut. Apakah Ray mengancam Josh dan aku? Apakah ia tahu sesuatu
yang kami tidak tahu? Atau barangkali lagi-lagi aku membesar-
besarkan persoalan sepele?
Aku mencoba mengamati wajahnya di dalam gelap.
"Kalian gila, malam-malam pergi ke kuburan!" cetusnya.
Aku mulai berpikir bahwa aku telah salah menilainya. Ia takut
pergi ke sana. Karena itu ia mencoba menghalangi kami.
"Kalian ikut atau tidak?" Josh sudah semakin jauh.
"Lebih baik kita tidak ke sana," Ray memperingatkan.
Ya, betul, dia takut, aku menarik kesimpulan. Aku hanya
berkhayal saja bahwa ia mengancam kami.
"Kau memang tidak perlu ke sana, tapi kami harus," Josh
bersikeras; ia berjalan semakin cepat.
"Jangan. Percayalah," kata Ray. "Ini ide konyol."
Kini Ray dan aku lari berdampingan, mengejar Josh yang sudah
jauh.
"Petey ada di sana," kata Josh. "Aku tahu dia ada di sana."
Kami melewati gedung sekolah yang gelap dan sunyi. Di
malam hari, gedung itu kelihatan lebih besar. Cahaya lampu senter
Josh menerangi cabang-cabang pohon yang rendah ketika kami
berbelok ke Jalan Pemakaman.
"Tunggu... dengarkan aku," Ray memohon. Tapi Josh tidak
memperlambat langkahnya. Begitu pun aku. Aku ingin cepat-cepat
sampai dan cepat-cepat selesai.
Kuusap dahiku dengan lengan baju kaus. Udara terasa panas.
Tahu begini, aku tidak pakai kaus lengan panjang. Kuraba rambutku.
Basah kuyup.
Awan masih menyembunyikan bulan saat kami sampai di
kuburan. Kami melangkah masuk melalui pintu di pagar tembok yang
rendah. Di kegelapan, kulihat batu-batu nisan berderet tidak teratur.
Sinar lampu senter Josh berpindah dari nisan ke nisan, bergerak
naik-turun, seirama dengan langkahnya. "Petey!" ia berteriak
memanggil, memecahkan kesunyian.
Orang-orang mati ini akan terganggu tidurnya oleh teriakan
Josh, pikirku. Aku menggigil.
Jangan seperti orang tolol, Amanda. "Petey!" aku ikut
memanggil, mengusir pikiran-pikiran seram dari kepalaku.
"Kalian bodoh," kata Ray yang berdiri dekat denganku.
"Petey! Petey!" Josh memanggil-manggil.
"Aku tahu ini ide bodoh," aku mengaku. "Tapi aku tak ingin
Josh pergi ke sini sendirian."
"Tapi kita betul-betul tidak boleh ke sini seharusnya," Ray
bersikeras.
Aku mulai berharap agar ia pergi. Tak ada yang memaksanya
ikut. Mengapa ia tak henti-hentinya mengomeli kami?
"Hei, lihat ini!" Josh berseru dari jarak beberapa meter di depan.
Sepatu karetku menginjak tanah lembut. Aku berjalan cepat di
antara deretan kuburan. Aku tak sadar bahwa kami sudah menyusuri
tanah pemakaman dari ujung ke ujung.
"Lihat," kata Josh lagi, lampunya menyinari bangunan aneh di
pinggir tanah pemakaman.
Kuamati bangunan itu beberapa saat. Sama sekali tak kuduga
sebelumnya. Bangunan itu adalah semacam teater. Kalau tidak salah,
namanya amfiteater. Tempat duduk penonton digali melingkar ke
dalam tanah, menurun seperti tangga, dan berakhir dengan pentas
berbentuk bundar di bawah.
"Bukan main!" aku berseru.
Aku melangkah ke depan, ingin melihat lebih jelas lagi.
"Amanda... tunggu! Kita pulang saja," Ray memanggilku. Ia
menyambar lenganku, tapi aku mengelak, sehingga ia hanya
menggenggam angin.
"Aneh! Kenapa orang membangun teater terbuka di pinggir
kuburan?" tanyaku.
Ketika aku menoleh ke belakang untuk melihat apakah Josh dan
Ray mengikutiku, sepatu karetku tersandung sesuatu. Aku tersungkur
ke depan, lututku membentur tanah dengan keras.
"Ow! Apa sih itu?"
Josh mengarahkan lampunya ke benda itu, sementara aku
bangkit pelan-pelan sambil meringis kesakitan. Rupanya aku
tersandung akar pohon yang menonjol ke permukaan tanah.
Dengan bantuan cahaya lampu senter, mataku menelusuri akar
itu, menuju sebuah pohon tua berbatang besar, beberapa meter dari
tempatku berdiri. Pohon besar itu berdiri miring ke arah teater bawah
tanah yang aneh itu, sangat miring, sehingga kelihatannya pohon itu
bisa roboh setiap waktu. Akar-akarnya yang besar terungkit naik ke
atas permukaan tanah. Cabang-cabangnya yang besar dan dibebani
daun rimbun seakan-akan bersandar ke tanah.
"Akarrrr!" Josh berteriak.
"Macam-macam saja!" seruku. "Hei, Ray... ini tempat apa, sih?"
"Tempat berkumpul," Ray menjawab datar. Ia berdiri dekat
denganku, menatap ke depan, ke arah pohon yang miring tadi.
"Mereka menggunakan ini sebagai tempat pertemuan. Rapat kota
diadakan di tempat ini."
"Di kuburan?" tanyaku. Sulit dipercaya.
"Yuk, kita pergi," ajak Ray, kelihatan gelisah sekali.
Kami bertiga mendengar suara langkah kaki di belakang kami,
di suatu tempat di antara barisan makam. Kami berbalik. Sinar lampu
Josh menyapu permukaan tanah.
"Petey!"
Itu dia, berdiri di antara dua baris batu nisan. Aku menoleh
dengan gembira ke arah Josh. "Betul-betul aku tak percaya!" teriakku.
"Ternyata kau benar!"
"Petey! Petey!" Josh dan aku berlari ke arah anjing kami itu.
Tapi Petey menekukkan kaki belakang, seperti siap-siap untuk
berlari. Ia menatap kami, matanya memantulkan cahaya lampu senter,
berkilau merah bagaikan batu permata.
"Petey! Akhirnya ketemu juga kau!" teriakku lagi.
Anjing itu merundukkan kepala dan berlari menjauh.
"Petey! Hei... kembali! Kau tidak mengenali kami?"
Josh berlari cepat sekali, menyusul Petey dan mengangkatnya.
"Hei, Petey, kenapa, sih, kamu?"
Ketika aku mendekat, Josh menjatuhkan Petey ke tanah dan
melangkah mundur. "Ooh... dia berbau busuk!"
"Apa?" teriakku.
"Petey... dia berbau busuk. Baunya seperti tikus mati!" Josh
memencet hidungnya. Petey melangkah pergi.
"Josh, dia tidak kelihatan senang bertemu kita," aku meratap.
"Bahkan mengenali kita pun tidak. Lihat saja sendiri!"
Dan memang betul. Petey berjalan ke deretan batu nisan, lalu
berbalik menatap kami.
Sekonyong-konyong aku merasa mual. Apa yang telah terjadi
pada Petey? Mengapa ia berlaku aneh? Mengapa ia tidak kelihatan
senang bertemu kami?
"Aku tidak mengerti," kata Josh, masih mengernyitkan hidung.
"Biasanya, kalau kita tinggal pergi setengah menit saja, waktu kita
kembali dia seperti gila, kegirangan."
"Ayo, kita pergi saja!" Ray memanggil. Ia masih berdiri di
pinggir kuburan, di dekat pohon miring tadi.
"Petey... kau kenapa, sih?" Aku berteriak memanggil anjing itu,
tapi ia tidak menghiraukanku. "Memangnya kau lupa namamu
sendiri? Petey? Petey?"
"Ih! Busuk sekali baunya!" Josh mengomel.
"Harus kita bawa pulang, kita mandikan," kataku. Suaraku
bergetar. Aku sedih sekali. Dan takut.
"Jangan-jangan ini bukan Petey," kata Josh sambil merenung.
Mata anjing itu berkilau merah lagi disinari cahaya lampu senter.
"Itu memang dia," kataku perlahan. "Lihat, talinya masih terikat
di lehernya. Tangkap dia, Josh, lalu kita pulang."
"Kau saja!" seru Josh. "Aku tidak tahan baunya!"
"Tangkap talinya saja. Anjingnya tidak usah dipegang." kataku.
"Tidak, ah! Kau saja!"
Josh mulai keras kepala lagi. Kelihatannya aku tak punya
pilihan. "Oke," kataku. "Biar aku saja. Tapi aku perlu lampu itu."
Kutarik lampu itu dari tangan Josh, lalu kukejar si Petey.
"Duduk, Petey. Duduk!" Hanya itu perintahku yang selalu
dipatuhi Petey.
Tapi kali ini ia tak mau mematuhinya. Ia bahkan berlari
menjauh, dengan kepala merunduk.
"Petey... berhenti! Ayo, Petey!" Aku berteriak jengkel. "Awas
kalau kau berani lari!"
"Jangan sampai dia kabur!" teriak Josh yang berlari di
belakangku.
Lampu senter kugerak-gerakkan ke kiri ke kanan. "Mana dia?"
"Petey! Petey!" Josh memanggil. Suaranya melengking. Putus
asa.
Petey tak terlihat.
"Oh, celaka. Dia hilang lagi!" kataku.
Kami berdua memanggil-manggil nama Petey. "Ada apa, sih,
anjing itu?" jeritku.
Kugerakkan lampu senter di sepanjang barisan batu nisan, lalu
di barisan sebelahnya. Tidak ada juga. Kami tak henti-hentinya
berteriak memanggil nama Petey.
Dan kemudian cahaya lampu berhenti di depan sebuah batu
nisan dari granit.
Tak sengaja terbaca olehku nama di batu nisan itu. Aku
terenyak. Napasku terasa sesak.
"Josh... lihat!" Kurenggut lengan baju Josh. Kupegang kencang-
kencang.
"Hah? Ada apa?" Wajahnya kebingungan.
"Lihat! Nama di batu nisan itu."
Karen Somerset.
Josh membaca nama itu. Ia menatapku, masih kelihatan
bingung.
"Itu teman baruku. Karen. Gadis yang setiap hari ngobrol
bersamaku di lapangan," kataku.
"Hah? Ini pasti neneknya atau buyutnya," kata Josh, lalu
menambahkan dengan tak sabar. "Ayo. Kita cari Petey."
"Bukan. Lihat tanggalnya," kataku lagi.
Kami baca tanggal di bawah nama Karen Somerset. 1960-1972.
"Tak mungkin ibunya atau neneknya," kataku. Cahaya lampu
senter tetap kuarahkan ke batu nisan itu, walaupun tanganku
gemetaran. "Anak ini meninggal pada umur dua belas tahun. Seumur
denganku sekarang. Dan Karen juga berumur dua belas tahun."
"Amanda...," Josh menegurku.
Aku maju beberapa langkah, mengarahkan sinar lampu ke
kuburan di sebelahnya. Ada nama di batu nisan, tapi tak pernah
kudengar sebelumnya. Aku maju lagi ke kuburan di sampingnya.
Sebuah nama yang tak kukenal juga.
"Amanda, ayo!" Josh merengek.
Batu nisan yang berikut bertuliskan nama George Carpenter.
1975-1988.
"Josh, lihat! Ini si George," teriakku.
"Amanda, kita harus menangkap Petey," Josh memaksa.
Tapi aku tak bisa menjauhkan diri dari batu-batu nisan itu. Aku
berjalan dari satu batu nisan ke batu nisan lain, menyinari nisan-nisan
itu dengan lampu senterku.
Rasa ngeriku semakin bertambah ketika kutemui nama Jerry
Franklin. Lalu Bill Gregory.
Semua anak yang bermain softball dengan kami.
Mereka semua mempunyai batu nisan di kuburan ini.
Jantungku berdegup kencang. Aku berjalan menelusuri barisan
makam yang berkelok-kelok, sepatu karetku melesak ke rerumputan
yang lembut. Tubuhku terasa kaku ketakutan. Dengan susah payah
aku berusaha agar lampu senter tidak jatuh dari tanganku yang
gemetaran ketika kuarahkan sinarnya ke batu nisan terakhir di barisan
itu.
RAY THURSTON. 1977-1988.
"Hah?"
Kudengar Josh memanggilku, tapi tidak jelas apa yang
dikatakannya.
Dunia serasa berputar. Kubaca sekali lagi tulisan yang terpahat
di batu nisan itu: RAY THURSTON. 1977-1988.
Aku berdiri tak bergerak, menatap huruf-huruf dan angka-angka
itu. Kutatap terus, sampai tulisan itu terlihat kabur.
Mendadak aku sadar bahwa Ray mengendap-endap di antara
batu-batu nisan, mendekati sambil menatapku.
"Ray..." Aku masih bisa mengeluarkan suara. Kusinari batu
nisan itu. "Ray... ini... ini kau!"
Mata Ray menyorot tajam, bersinar bagaikan bara.
"Ya, itu memang aku," katanya perlahan, sambil melangkah
mendekatiku. "Maaf, Amanda."
Chapter 13

AKU mundur selangkah. Sepatu karetku terbenam ke lumpur.


Udara terasa berat, tak ada angin berembus. Tak seorang pun
berbicara. Tak sesuatu pun bergerak. Mati.
Aku terkurung dunia kematian, pikirku.
Aku membeku tak bergerak. Tanpa mampu bernapas.
Kegelapan membelit tubuhku. Batu-batu nisan berpusar di tengah
bayangannya sendiri. Lalu pikiranku kembali ke dunia nyata. Apa
yang akan dilakukan Ray padaku?
"Ray..." Dengan susah payah aku berhasil berbicara. Suaraku
terdengar jauh dan lemah. "Ray, apa benar kau sudah mati?"
"Maaf. Sebenarnya belum waktunya kau mengetahui hal ini,"
katanya. Suaranya mengambang di udara malam yang serasa
mencekik.
"Tapi... bagaimana? Maksudku... aku tak mengerti...." Aku
memandang ke belakangnya, ke arah cahaya putih lampu senter yang
bergerak-gerak. Josh berada beberapa baris dari tempat kami, agak
lebih dekat ke jalan, masih mencari Petey.
"Petey!" bisikku, mulai mengerti. Rasa takut mencekik leherku,
otot perutku tegang ditarik rasa ngeri.
"Anjing selalu tahu," Ray menjelaskan dengan suara datar.
"Anjing selalu bisa mengenali mayat hidup. Karena itulah anjingmu
harus disingkirkan dulu. Mereka selalu tahu."
"Maksudmu... Petey... sudah mati?" Kata-kataku keluar
tersendat-sendat.
Ray mengangguk. "Mereka membunuh anjingmu lebih dulu."
"Tidak!" Aku menjerit dan melangkah mundur lagi. Hampir
jatuh tersandung sebuah batu nisan di belakangku. Aku meloncat
menjauhinya.
"Kami tak mengira bahwa kau akan menemukan ini," kata Ray.
Wajahnya tidak menunjukkan perasaan apa-apa, hanya matanya yang
mengungkapkan kesedihan mendalam. "Kau tidak diharapkan
mengetahui hal ini, setidaknya untuk beberapa minggu lagi. Aku
ditunjuk sebagai pengawas. Aku diberi tugas menjaga agar kalian
tidak mengetahui semua ini sampai waktunya tiba."
Ia maju selangkah mendekatiku, matanya merah bersinar,
menembus mataku.
"Kaukah yang menatapku dari jendela?" tanyaku. "Engkaukah
yang berada di kamarku?"
Sekali lagi ia mengangguk mengiakan. "Dulu aku pernah
tinggal di rumahmu," katanya sambil maju selangkah lagi. Aku
terpaksa mundur merapat ke batu nisan marmer yang dingin.
"Sekarang aku jadi pengawas."
Kupaksa diriku untuk mengalihkan pandangan, untuk tidak
menatap terus ke matanya yang bercahaya. Aku ingin berteriak
memanggil Josh agar ia lari mencari bantuan. Tapi Josh terlalu jauh.
Sedangkan aku sendiri hanya bisa berdiri kaku ketakutan.
"Kami memerlukan darah segar," kata Ray.
"Apa?" teriakku. "Apa katamu?"
"Kota ini tak akan bertahan tanpa darah segar. Tak seorang pun
dari kami bisa bertahan. Kau akan segera mengerti, Amanda. Kau
akan mengerti mengapa kami terpaksa mengundangmu ke rumah itu,
ke Rumah Mati."
Dari sinar lampu senter yang bergerak berkelok-kelok, aku tahu
Josh sedang berjalan mendekat ke arah kami.
Lari, Josh, pikirku. Lari jauh-jauh. Cepat. Cari bantuan. Siapa
saja.
Aku bisa memikirkan kata-kata itu, tapi kenapa aku tak bisa
meneriakkannya?
Mata Ray bersinar lebih terang. Ia berdiri tepat di hadapanku.
Wajahnya kaku, keras, dan dingin.
"Ray?" Walaupun aku memakai celana jeans, rasa dingin batu
nisan marmer masih menembus ke kakiku.
"Aku mengacaukan rencana ini," bisik Ray. "Aku ditunjuk jadi
pengawas, tapi aku mengacaukan segalanya."
"Ray, apa yang akan kaulakukan?"
Matanya berkerlip. "Maaf."
Ia mengangkat tubuhnya dari permukaan tanah, melayang di
atasku.
Napasku serasa tercekik. Aku tak bisa bernapas. Tak mampu
bergerak. Aku membuka mulut untuk memanggil Josh, tapi tak
mampu bersuara.
Josh? Di mana dia?
Mataku mencoba menelusuri kuburan yang berderet-deret, tapi
sinar lampu senternya tak terlihat.
Ray melayang agak lebih tinggi. Mengambang di atasku,
membuatku tercekik, membuat mataku menjadi gelap, membuatku
mati lemas.
Aku mati, pikirku. Mati.
Sekarang aku juga mati.
Chapter 14

LALU tiba-tiba secercah cahaya menembus kegelapan. Cahaya


itu menyinari wajah Ray, cahaya putih lampu halogen.
"Ada apa?" tanya Josh dengan suara melengking dan gugup.
"Amanda, apa yang terjadi?"
Ray menjerit dan jatuh ke tanah. "Matikan! Matikan lampu itu!"
ia memekik. Suaranya kecil nyaring, bagaikan suara angin bersiul
melalui celah jendela.
Tapi Josh tetap mengarahkan sinar lampu senter yang kuat itu
kepada Ray. "Ada apa ini? Apa yang kaulakukan?"
Aku bisa bernapas kembali. Begitu aku melihat ke arah sinar
lampu, aku harus berusaha keras menenangkan jantungku yang
hampir copot.
Ray menggunakan tangannya untuk melindungi diri dari cahaya
lampu senter. Tapi bisa kulihat apa yang terjadi atas dirinya. Cahaya
lampu yang sangat terang itu berakibat buruk padanya.
Kulit Ray seakan meleleh. Seluruh wajahnya terkulai, merosot,
lalu jatuh, lepas dari tulang tengkoraknya.
Aku menatap ke lingkaran cahaya, tak mampu melepas
pandanganku ke tempat lain, sementara sedikit demi sedikit seluruh
kulit Ray melipat, terkulai, meleleh dan mengalir jatuh. Tulang-
tulangnya mulai terlihat. Biji matanya menggulir keluar dari
lubangnya dan jatuh ke tanah.
Josh terbelalak ketakutan. Entah bagaimana, tangannya masih
mampu mengarahkan senter tanpa bergeming. Kami berdua menatap
tengkorak yang seolah-olah meringis itu. Kedua lubang matanya yang
kosong dan gelap balik menatap kami.
"Oh!" Aku menjerit ketika Ray bergerak maju ke arahku.
Tapi kemudian aku sadar bahwa Ray bukannya melangkah. Ia
jatuh.
Aku melompat ke samping ketika ia roboh ke tanah. Tengkorak
kepalanya menghantam ujung batu nisan dan pecah dengan suara
menjijikkan.
"Ayo!" teriak Josh. "Amanda... ayo!" Ia menyambar tanganku
dan mencoba menarikku pergi.
Tapi aku belum bisa melepaskan pandanganku dari Ray yang
sekarang hanya tinggal setumpukan tulang belulang terbungkus
pakaian usang.
"Amanda, ayo pergi!"
Lalu, sebelum aku sendiri sadar apa yang kulakukan, aku sudah
berlari di samping Josh, secepat kakiku bisa membawaku, di sela-sela
deretan makam, menuju jalan. Sinar lampu senter berkelebat
menyinari batu-batu nisan di kiri-kanan kami, sementara kami berlari
terpeleset-peleset di rerumputan yang lunak dan berembun; paru-paru
kami bekerja keras, terengah-engah menghirup udara.
"Kita harus ceritakan pada Mom dan Dad. Kita harus pergi dari
sini!" teriakku.
"Mereka takkan percaya!" sahut Josh ketika kami sampai di
jalan. Kami terus saja berlari, sepatu karet kami menapak keras di atas
aspal. "Aku sendiri hampir tak percaya rasanya!"
"Mereka harus percaya!" kataku. "Kalau tidak, kita seret mereka
keluar dari rumah itu."
Berkas cahaya putih menyinari jalan sementara kami berlari
melalui jalan-jalan yang gelap dan sunyi. Tak ada lampu jalan, tak ada
sinar dari jendela rumah-rumah yang kami lewati, tak ada cahaya
lampu mobil.
Memang dunia gelap yang kami masuki.
Tapi sekarang sudah waktunya untuk keluar.
Kami berlari terus sampai ke rumah. Berkali-kali aku menengok
ke belakang untuk melihat apakah ada yang mengejar kami. Tapi tak
seorang pun terlihat. Sunyi dan sepi.
Dadaku terasa sakit ketika kami sampai di rumah. Tapi kupaksa
diriku untuk terus berlari, melalui jalan kerikil yang diselimuti daun-
daun kering, naik ke serambi depan.
Kudorong pintu, dan kami berdua bersama-sama menjerit.
"Mom! Dad!"
Sunyi.
Kami berlari ke ruang duduk. Gelap.
"Mom? Dad? Di mana?"

Mudah-mudahan mereka ada di sini, pikirku. Jantungku


berdebar cepat, dadaku terasa sakit. Mudah-mudahan mereka ada di
rumah.
Kami mencari di seluruh rumah. Mereka tidak ada.
"Pesta itu!" Mendadak Josh teringat. "Apa mereka belum
pulang dari pesta?"
Kami berdiri di tengah ruang duduk dengan napas memburu.
Rasa sakit di dadaku sudah agak berkurang. Lampu sudah kunyalakan
semua, tapi ruangan itu masih terasa suram.
Aku menoleh sekilas ke jam di atas rak. Hampir jam dua.
"Mestinya mereka sudah pulang," kataku dengan suara lemah
dan bergetar.
"Ke mana mereka pergi? Mereka meninggalkan nomor telepon,
tidak?" Josh berjalan ke dapur.
Aku mengikutinya, sambil menyalakan semua lampu yang kami
lewati. Kami langsung menuju tempat kertas catatan di atas rak.
Tidak ada apa-apa. Kertas catatan putih bersih, tanpa tulisan.
"Kita harus cari mereka!" teriak Josh. Ia terdengar takut sekali.
Matanya yang membelalak lebar menunjukkan betapa takutnya dia.
"Kita harus pergi dari sini."
Bagaimana kalau terjadi sesuatu dengan mereka?
Aku hampir saja mengatakan itu. Tapi aku sempat menahannya.
Aku tak ingin menambah rasa takut Josh.
Di samping itu, mungkin ia sendiri sudah punya pikiran yang
sama.
"Atau kita telepon polisi?" tanya Josh saat kami berjalan
kembali ke ruang duduk dan mengintai dari jendela depan ke
kegelapan di luar.
"Tidak tahu, deh," sahutku sambil menekankan dahi ke kaca
jendela. "Aku tidak tahu apa yang harus kita lakukan. Aku ingin
mereka ada di rumah. Aku ingin mereka ada di sini, supaya kita bisa
cepat-cepat pergi dari sini."
"Kenapa harus buru-buru?" terdengar suara seorang anak
perempuan dari belakangku.
Josh dan aku menjerit kaget dan berbalik ke belakang.
Karen Somerset berdiri di tengah ruangan, kedua tangannya
dilipat di depan dada.
"Tapi... kau... sudah mati!" kata-kataku meluncur begitu saja.
Ia tersenyum, senyum sedih, senyum pahit.
Dua orang anak melangkah masuk. Salah seorang dari mereka
mematikan lampu. "Terlalu terang di sini," katanya. Mereka berdua
bergerak ke samping Karen.
Seorang anak lagi, Jerry Franklin—anak yang sudah mati
juga—muncul di dekat perapian. Lalu kulihat anak perempuan
berambut hitam pendek yang dulu kulihat di atas tangga; ia ada di
sebelahku, di dekat gorden.
Mereka semua tersenyum, mata mereka memancarkan sinar
redup di bawah cahaya remang-remang.
Mereka semua bergerak merapat ke arah Josh dan aku.
"Kalian mau apa?" aku menjerit, suaraku terdengar asing. "Apa
yang akan kalian lakukan?"
"Kami pernah tinggal di rumahmu," kata Karen lembut.
"Huh?"
"Dulu kami juga hidup di rumahmu ini," kata George.
"Dan sekarang? Coba tebak," Jerry menambahkan. "Sekarang
kami mati di rumahmu ini!"
Yang lain tertawa terkekeh sambil bergerak makin merapat ke
arah Josh dan aku.
Chapter 15

"MEREKA akan membunuh kita!" jerit Josh.


Kulihat mereka bergerak maju tanpa berbicara. Josh dan aku
sudah mundur sampai ke jendela. Aku memperhatikan seputar
ruangan, mencari jalan untuk meloloskan diri.
Tapi tak ada tempat untuk melarikan diri.
"Karen, selama ini kau kelihatan manis," kataku. Kata-kata itu
keluar begitu saja. Aku bahkan tak sempat berpikir sebelum
mengucapkannya.
Matanya bersinar lebih terang. "Dulu aku memang anak manis,"
katanya datar, "sampai aku pindah ke sini."
"Kami semua dulunya anak-anak manis," kata George
Carpenter, juga dengan nada datar. "Tapi kami semua sudah mati
sekarang."
"Lepaskan kami!" teriak Josh. Tangannya diangkat, melindungi
tubuhnya. "Tolonglah, biarkan kami pergi."
Mereka tertawa lagi, tawa serak dan kering, tawa kematian.
"Jangan takut, Amanda," kata Karen. "Sebentar lagi kau akan
bersama kami. Itulah sebabnya mereka mengundangmu ke rumah ini."
"Hah? Aku tak mengerti," suaraku gemetar.
"Ini Rumah Mati. Semua orang hidup di rumah ini waktu
pertama kali mereka tiba di Dark Falls. Waktu mereka masih hidup."
Yang lain menganggap kata-katanya lucu. Mereka nyengir dan
tertawa.
"Tapi kakek buyut kami..." Josh mulai bicara.
Karen menggelengkan kepala, matanya bersinar. "Tidak, Josh,
tidak ada kakek buyut. Itu hanya tipu daya untuk membujukmu
kemari. Setiap tahun selalu ada orang pindah ke sini. Tahun-tahun
lalu, kami mendiami rumah ini, sampai saat kematian kami. Tahun ini
giliranmu."
"Kami perlu darah baru," kata Jerry Franklin. Matanya
memancarkan sinar merah. "Sekali setahun, kami memerlukan darah
baru."
Mereka bergerak maju, mengurung Josh dan aku. Aku menarik
napas dalam. Napas terakhir barangkali. Dan menutup mataku.
Kemudian kudengar pintu depan diketuk orang. Ketukan keras,
berulang-ulang.
Kubuka mataku, Anak-anak hantu itu lenyap semua.
Udara berbau busuk.
Josh dan aku saling memandang tanpa bergerak, sampai suara
ketukari terdengar lagi.
"Itu Mom dan Dad!" Josh berteriak.
Kami berlari menuju pintu depan. Josh menabrak meja tamu,
sehingga aku lebih dahulu mencapai pintu.
"Mom! Dad!" teriakku sambil membuka pintu. "Ke mana saja?"
Kuulurkan tangan untuk memeluk mereka—dan berhenti di
tengah jalan. Mulutku ternganga; aku berteriak tertahan.
"Mr. Dawes!" seru Josh yang sudah berdiri di sampingku.
"Kami kira..."
"Oh, Mr. Dawes," teriakku gembira. "Untung ada Anda."
Kubuka pintu lebar-lebar untuknya.
"Anak-anak, kalian tidak apa-apa?" tanyanya sambil
memperhatikan kami berdua. Wajahnya yang tampan menunjukkan
perasaan cemas. "Oh, terima kasih, Tuhan!" serunya. "Aku tidak
terlambat."
"Mr. Dawes..." aku tak bisa meneruskan, masih tenggelam
dalam perasaan lega. Mataku berkaca-kaca. "Aku..."
Ia menggenggam lenganku. "Tak ada waktu untuk berbicara,"
katanya sambil menoleh ke jalan. Kulihat mobilnya di halaman depan.
Mesinnya masih hidup. "Aku harus membawa kalian dari sini sebelum
terlambat."
Josh dan aku sudah akan mengikutinya, tapi aku bimbang.
Jangan-jangan Mr. Dawes salah seorang dari mereka.
"Cepat," desak Mr. Dawes. Ia menahan pintu depan, menoleh
ke jalan yang gelap dan sunyi dengan gelisah. ''Kita dalam bahaya
besar."
"Tapi..." Aku mengamati wajahnya dan matanya yang
ketakutan, mencoba memutuskan apakah ia bisa dipercaya.
"Aku ada di pesta bersama orangtua kalian," cerita Mr. Dawes.
"Sekonyong-konyong mereka membentuk lingkaran. Mereka semua.
Mengurung aku dan kedua orangtuamu di tengah-tengah. Kemudian
mereka bergerak merapat mendekati kami."
Persis seperti yang dilakukan anak-anak itu, pikirku.
"Kami menerobos kepungan dan lari," Mr. Dawes meneruskan
ceritanya, matanya menoleh sekilas ke jalan. "Kami berhasil lolos.
Cepat. Kita harus pergi dari sini—sekarang!"
"Josh, ayo kita pergi," ajakku. Kemudian aku menoleh ke arah
Mr. Dawes. "Di mana Mom dan Dad?"
"Ayo kutunjukkan. Mereka dalam keadaan aman sekarang. Tapi
entah untuk berapa lama."
Kami mengikutinya keluar dari rumah, melalui jalan kerikil,
menuju mobilnya. Awan sudah menyibak. Bulan sabit bersinar pucat
di langit.
"Ada yang aneh di kota ini," kata Mr. Dawes ketika membuka
pintu mobil untuk kami. Josh dan aku masuk ke dalam mobil.
Aku duduk bersandar sambil menghela napas. Mr. Dawes
menutup pintu. "Aku tahu," kataku setelah ia duduk di belakang setir.
"Josh dan aku. Kami berdua..."
"Kita harus berada sejauh-jauhnya dari sini, sebelum mereka
mengejar," kata Mr. Dawes. Ia memundurkan mobil ke jalanan. Ban
mobil mencicit di aspal jalan ketika ia melarikan mobilnya dengan
kecepatan tinggi.
"Ya, betul," aku menyetujuinya. "Untung tadi Anda datang.
Rumah kami... penuh anak-anak. Anak-anak yang sudah mati dan..."
"Jadi kalian sudah melihat mereka," Mr. Dawes berkata
perlahan. Rasa takut memenuhi matanya. Kakinya menginjak pedal
gas lebih dalam.
Ketika aku menengok ke luar, matahari hampir terbit. Fajar
jingga terlihat di atas kehijauan puncak pohon. "Di mana orangtua
kami?" tanyaku tak sabar.
"Di dekat tanah pekuburan ada sebuah teater terbuka," kata Mr.
Dawes. Ia memandang lurus ke depan, matanya agak menyipit,
wajahnya tegang. "Dibangun masuk ke tanah, dan tersembunyi di
balik pohon-pohon besar. Kutinggalkan mereka di sana. Kukatakan
agar mereka jangan ke mana-mana. Kupikir mereka akan aman di
sana. Tak seorang pun akan mencari ke sana."
"Kami tahu tempat itu," kata Josh. Seberkas sinar terang tiba-
tiba memancar dari kursi belakang.
"Apa itu?" tanya Mr. Dawes sambil melihat ke belakang
melalui kaca spion.
"Lampu senter," jawab Josh. Dimatikannya lampu itu. "Aku
bawa, kalau-kalau perlu. Tapi matahari sebentar lagi terbit. Mungkin
kita tidak memerlukan ini."
Mr. Dawes menginjak rem dan menepikan mobil ke pinggir
jalan. Kami sudah sampai di kuburan. Aku cepat-cepat keluar dari
mobil, tak sabar untuk menemui orangtuaku.
Langit masih gelap, kecuali secercah fajar di sebelah timur.
Matahari baru mulai muncul, masih rendah sekali di kaki langit, di
balik kerimbunan pepohonan. Di seberang jalan, di ujung deretan batu
nisan, terlihat bayangan gelap pohon miring yang menyembunyikan
amfiteater dari pandangan.
"Cepat," ajak Mr. Dawes setelah menutup pintu mobil. "Pasti
orangtua kalian sudah menunggu-nunggu."
Kami menyeberang jalan, setengah berjalan setengah berlari.
Josh mengayun-ayunkan lampu senternya.
Tiba-tiba Josh berhenti. "Petey!" teriaknya.
Kuikuti arah pandangan matanya, dan betul juga, anjing kami
yang putih itu sedang berjalan di antara batu-batu nisan.
"Petey!" Josh berteriak sekali lagi, lalu mulai berlari mengejar
anjing itu.
Jantungku berhenti berdetak beberapa saat. Aku belum sempat
memberitahu Josh mengenai ucapan Ray tentang Petey. "Jangan,
Josh!" aku memanggilnya.
Mr. Dawes sangat cemas. "Kita tak punya waktu. Kita harus
cepat-cepat," katanya padaku. Lalu ia pun mulai memanggil-manggil
Josh supaya kembali.
"Biar kususul dia," kataku. Aku berlari di sepanjang barisan
batu nisan, mengejar adikku. "Josh! Josh, tunggu! Jangan kaukejar
dia! Josh, Petey sudah matt!"
Josh semakin dekat ke Petey yang berjalan seenaknya,
mengendus-endus tanah tanpa menoleh, tanpa sedikit pun menaruh
perhatian pada Josh. Tiba-tiba Josh terantuk sebuah batu nisan yang
berdiri agak rendah.
Ia terjatuh sambil berteriak. Lampu senter terpental dari
tangannya dan jatuh ke atas sebuah batu nisan dengan suara keras.
Aku segera mendekatinya. "Josh, kau tak apa-apa?"
Ia terbaring menelungkup, menatap lurus ke depan.
"Josh, jawab! Kau tak apa-apa?"
Kupegang pundaknya, kutarik untuk membantunya berdiri, tapi
ia tetap menatap lurus ke depan, mulutnya ternganga, matanya
membelalak.
"Josh?"
"Lihat," akhirnya ia berkata.
Aku menarik napas lega; ternyata Josh tidak pingsan.
"Lihat," katanya lagi sambil menunjuk batu nisan yang
membuatnya tersandung.
Kuperhatikan batu nisan itu. Kubaca tulisannya; mulutku ikut
bergerak tanpa mengeluarkan suara.

COMPTON DAWES
BERISTIRAHAT DENGAN TENANG
1950-1980

Kepalaku serasa berputar. Aku merasa pusing. Sambil


berpegangan pada Josh, aku berusaha untuk tetap berdiri.
COMPTON DAWES.
Ini bukan kuburan ayahnya atau kakeknya. Ia pernah
mengatakan bahwa ia satu-satunya yang bernama Compton di
keluarganya.
Jadi Mr. Dawes pun sudah mati.
Mati. Mati. Mati.
Sudah mati seperti yang lain-lainnya.
Ia salah seorang dari mereka. Salah seorang dari mayat hidup
itu.
Josh dan aku saling berpandangan dalam cahaya subuh yang
remang-remang. Terkepung. Terkurung kematian.
Sekarang bagaimana?
Harus berbuat apa?
Chapter 16

"CEPAT berdiri, Josh," bisikku. "Kita harus lari dari sini."


Terlambat.
Sebuah tangan mencengkeram bahuku.
Aku berputar ke belakang. Kulihat Mr. Dawes. Matanya
menyipit ketika ia membaca tulisan di kuburannya sendiri.
"Mr. Dawes... Anda juga...!" teriakku. Aku merasa sangat
kecewa, bingung, dan takut!
"Ya, aku juga," katanya sedih. "Kita semua." Matanya serasa
membakar, menghunjam ke mataku. "Dulu kota ini sebuah kota yang
normal. Dan kami semua manusia normal. Sebagian besar bekerja di
pabrik plastik di pinggir kota. Lalu terjadilah kecelakaan itu. Sesuatu
lepas dari pabrik. Gas berwarna kuning. Melayang ke kota. Sangat
cepat, kami tidak sempat melihatnya... tak sadar apa yang terjadi. Dan
kemudian segalanya sudah terlambat. Dark Falls bukan lagi sebuah
kota normal. Kami semua mati, Amanda. Mati dan dikubur. Tapi kami
tak bisa beristirahat dengan tenang. Kami tak bisa menutup mata
dengan tenang. Dark Falls menjadi kota mayat hidup."
"Apa... apa yang akan Anda lakukan terhadap kami?" dengan
terbata-bata aku berhasil mengeluarkan suara. Lututku gemetaran
begitu keras, sampai aku hampir tak bisa berdiri. Seorang yang sudah
mati sedang mencengkeram pundakku. Orang mati ini menatap tajam
ke mataku.
Berdiri sedekat itu, aku bisa mencium bau napasnya yang
busuk. Kutolehkan wajahku ke samping, tapi bau busuk itu sudah
membuat napasku sesak.
"Mana Mom dan Dad?" tanya Josh. Ia bangkit dan berdiri tegak
dengan kaku, matanya memancarkan sinar permusuhan pada Mr.
Dawes.
"Mereka berada di tempat yang aman," kata Mr. Dawes sambil
tersenyum kecil. "Mari ikut aku. Sudah waktunya kalian bertemu
dengan mereka."
Aku berusaha melepaskan diri, tapi tangannya begitu kuat
mencengkeram pundakku. "Lepaskan!" teriakku.
Senyumnya melebar. "Amanda, mati itu tidak menyakitkan,"
katanya perlahan, hampir terdengar lembut. "Mari ikut aku."
"Tidak!" teriak Josh. Secepat kilat ia melompat dan memungut
lampu senternya.
"Ya!" teriakku. "Sinari dia, Josh!" Lampu itu bisa
menyelamatkan kami. Cahaya lampu bisa mengalahkan Mr. Dawes,
seperti Ray tadi. Sinar lampu bisa menghancurkannya. "Cepat, sinari
dia!"
Beberapa saat Josh berkutat sendiri dengan lampu senternya.
Akhirnya ia berhasil mengarahkan lampu itu ke wajah Mr. Dawes
yang terkejut, lalu menghidupkan tombolnya.
Tidak terjadi apa-apa.
Tak ada sinar.
"Ini... lampu ini rusak," kata Josh. "Waktu jatuh tadi
barangkali."
Jantungku berdegup. Aku menoleh ke belakang. Senyum
kemenangan tersungging di wajah Mr. Dawes.
Chapter 17

"HAMPIR berhasil," kata Mr. Dawes kepada Josh. Senyumnya


dengan cepat menghilang dari wajahnya.
Dari dekat, ia tidak kelihatan muda dan tampan. Kulitnya,
seperti kulihat, kering dan mengelupas, tergantung longgar di bawah
matanya.
"Ayo jalan, Nak," katanya sambil mendorongku. Ia menengok
sekilas ke langit yang mulai terang. Matahari mulai menampakkan diri
di atas pucuk pepohonan.
Josh agak ragu-ragu.
"Kubilang jalan," Mr. Dawes membentak tak sabar. Ia
melepaskan pundakku dan melangkah dengan sikap mengancam ke
arah Josh.
Josh melirik lampu senternya yang sudah tak berguna. Tanpa
disangka-sangka ia mengayunkan tangannya, melemparkan lampu
senter itu ke kepala Mr. Dawes.
Lampu senter itu mengenai sasarannya dengan suara 'krak' yang
memualkan. Lampu itu menghantam kepala Mr. Dawes, persis di
tengah-tengah dahinya, membuat lubang besar di kulitnya, sehingga
tulang tengkoraknya terlihat.
Mr. Dawes berteriak. Matanya terbelalak kaget. Tangannya
meraba kulit kepalanya yang berlubang. "Lari, Josh!" aku berteriak.
Tak perlu menyuruhnya. Ia sudah lebih dulu berlari berkelok-
kelok di antara batu-batu nisan, sambil merundukkan kepala. Aku pun
berlari mengikutinya.
Ketika aku menoleh ke belakang, kulihat Mr. Dawes terhuyung-
huyung mengejar kami, tangannya masih memegang dahinya yang
robek. Ia mengejar beberapa langkah, lalu mendadak berhenti dan
menengok ke langit.
Aku tahu sinar matahari pagi ini terlalu terang untuknya. Ia
harus berlindung di bawah bayangan.
Josh berhenti di balik sebuah monumen dari marmer yang
sudah tua dan miring, dan retak bagian tengahnya. Aku menyelinap di
sampingnya, sambil megap-megap mencari napas.
Kami mengintai dari balik monumen marmer yang dingin itu.
Mr. Dawes, dengan wajah cemberut, berjalan ke arah amfiteater,
berusaha untuk terus berada di bawah bayang-bayang pohon.
"Dia... dia tidak mengejar kita," bisik Josh. Dadanya bergerak
naik-turun, berjuang untuk menarik napas dan untuk menghilangkan
rasa takutnya. "Dia balik ke sana."
"Sinar matahari terlalu terang untuknya," kataku sambil
memegang pinggir monumen. "Dia pasti mau mengambil Mom dan
Dad."
"Lampu senter brengsek," Josh mengomel.
"Sudah, jangan dipikirkan lagi lampu itu." Aku memperhatikan
Mr. Dawes sampai ia menghilang di balik pohon besar yang miring
itu. "Sekarang kita mau apa? Aku tak tahu..."
"Ssstt. Lihat!" Josh menumbuk pundakku dengan tinjunya.
"Siapa itu?"
Kuikuti pandangannya dan kulihat beberapa sosok tubuh
bergegas lewat di antara deretan batu nisan. Mereka muncul begitu
saja, tanpa terlihat dari mana datangnya.
Apakah mereka bangkit dari kubur?
Mereka berjalan cepat, seperti melayang di atas tanah, menuju
tempat terlindung di bayangan pohon. Semua bergerak tanpa bersuara,
mata mereka melihat lurus ke depan. Mereka tidak berhenti untuk
saling menyapa. Tujuan mereka hanya satu, amfiteater yang
tersembunyi di balik pohon. Mereka bagaikan boneka yang ditarik
dengan tali.
"Wah! Lihat mereka itu!" Josh berbisik dan menyembunyikan
kepalanya di balik monumen.
Sosok-sosok gelap itu semakin banyak, bergerak ke satu
jurusan. Seluruh pepohonan, batu-batu nisan, bahkan seluruh
pekuburan itu seolah-olah hidup, dan semuanya seakan-akan bergerak
menuju ke amfiteater.
"Itu Karen," bisikku sambil menunjuk. "Dan George. Dan yang
lain-lain."
Anak-anak dari rumah kami, dalam kelompok dua-dua atau
tiga-tiga, bergegas mengikuti bayangan-bayangan yang sudah lebih
dulu ada di depan mereka. Semua bergerak tanpa bersuara.
Semua ada di sini, kecuali Ray, pikirku.
Karena kami sudah membunuh Ray.
Kami membunuh seseorang yang sudah mati.
"Menurutmu Mom dan Dad betul ada di bawah sana?"
Pertanyaan Josh membuyarkan pikiran-pikiran seramku.
"Ayo kita lihat," kataku. Kutarik tangannya, kuajak keluar dari
tempat persembunyian kami di balik monumen batu marmer.
Sosok gelap terakhir melayang melewati pohon miring.
Bayang-bayang berhenti bergerak. Pekuburan sunyi dan hening.
Seekor burung gagak terbang tinggi di langit yang biru dan jernih.
Kami berjingkat-jingkat menuju ke amfiteater, mengendap-
endap di balik batu-batu nisan, berusaha membungkuk serendah
mungkin.
Untuk mencapai tujuan kami, diperlukan perjuangan berat.
Tubuhku terasa berat, rasanya seperti ratusan kilogram. Diberati rasa
takut, mungkin.
Aku sudah tak sabar ingin melihat apakah Mom dan Dad ada di
sana.
Tapi di lain pihak, aku tak ingin melihat.
Aku tak ingin melihat mereka menjadi tawanan Mr. Dawes dan
teman-temannya.
Aku tak ingin melihat mereka... dibunuh.
Pemikiran itu membuatku berhenti. Kuulurkan tangan untuk
menghentikan Josh.
Saat itu kami berada di belakang pohon besar yang miring itu,
tersembunyi di balik akar-akarnya yang besar, yang muncul ke atas
permukaan tanah. Di balik pohon, di teater di bawah tanah, kudengar
suara-suara bergumam.
"Ada Mom dan Dad tidak di sana?" bisik Josh. Ia mengulurkan
kepalanya dari balik batang pohon, tapi cepat-cepat kutarik dia.
"Hati-hati," bisikku. "Jangan sampai mereka melihatmu.
Mereka persis di bawah kita."
"Tapi aku harus tahu apakah Mom dan Dad ada di sana," Josh
berbisik, memohon dengan matanya yang memancarkan rasa takut.
"Aku juga," sahutku.
Kami mengintai dari balik pohon besar itu. Kulit pohon terasa
halus tersentuh tanganku ketika aku melongok ke teater yang
dipayungi bayang-bayang pohon besar tempat kami bersembunyi.
Dan kulihat mereka.
Mom dan Dad. Mereka diikat saling membelakangi, berdiri di
tengah pentas amfiteater, di hadapan semua orang.
Mereka kelihatan menderita dan ketakutan. Tangan mereka
diikat kencang di samping tubuh mereka. Wajah Dad merah. Rambut
Mom kusut masai, terjurai ke depan wajahnya, kepalanya tertunduk.
Mr. Dawes berdiri di samping mereka, bersama seorang lelaki
yang lebih tua. Seluruh tempat duduk teater terisi penuh. Tak ada
tempat kosong satu pun.
Pasti seluruh isi kota hadir di situ, pikirku.
Kecuali Josh dan aku.
"Mereka akan membunuh Mom dan Dad," Josh berbisik. Ia
menggenggam lenganku, kencang sekali. "Mereka akan membuat
Mom dan Dad jadi seperti mereka."
"Lalu mereka akan mengejar kita," kataku. Otakku berputar
mencari akal. Di bawah sana, kedua orangtuaku berdiri dengan kepala
tertunduk, di hadapan sekian banyak orang yang duduk diam tanpa
bersuara. Mereka berdua sedang menunggu nasib.
"Apa yang akan kita lakukan?" berbisik Josh.
"Huh?" Perhatianku sedang tercurah sepenuhnya ke Mom dan
Dad, sehingga pertanyaan Josh membuatku agak terkejut.
"Apa yang akan kita lakukan?" Josh mendesak lagi, tangannya
masih menggenggam lenganku dengan kencang. "Kita tak bisa berdiri
diam di sini dan..."
Tiba-tiba aku tahu apa yang akan kami lakukan. Ide itu datang
begitu saja. Aku bahkan tak perlu berpikir keras.
"Mungkin kita bisa menyelamatkan mereka," bisikku sambil
melangkah mundur menjauhi pohon. "Mungkin kita bisa melakukan
sesuatu."
Josh melepaskan genggamannya dari lenganku. Ia menatapku
dengan penuh harapan.
"Kita dorong pohon ini," aku berbisik lagi padanya dengan
penuh rasa percaya diri yang bahkan membuatku sendiri heran. "Kita
robohkan pohon ini, sehingga cahaya matahari akan memenuhi
amfiteater.
"Ya, betul!" bisik Josh bersemangat. "Coba lihat pohon ini.
Tanpa kita dorong pun mungkin pohon ini sebentar lagi roboh sendiri.
Kita pasti bisa!"
Aku tahu kami pasti berhasil. Entah dari mana datangnya rasa
percaya yang begitu besar. Tapi aku tahu kami akan bisa
melakukannya.
Dan aku pun tahu kami harus melakukannya dengan cepat.
Aku mengintai lagi dari balik pohon, berusaha melihat
menembus bayangan gelap. Semua orang di teater sudah berdiri.
Mereka mulai bergerak maju mendekati Mom dan Dad.
"Ayo, Josh," bisikku. "Kita lari dari jauh, lalu sambil lompat
kita dorong pohon ini. Ayo!"
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi, kami mundur
beberapa langkah.
Kami hanya perlu mendorong keras satu kali, dan pohon itu
pasti akan roboh. Akar-akarnya sudah hampir tercabut semua dari
tanah.
Satu dorongan keras. Itu saja yang kami perlukan. Lalu cahaya
matahari akan membanjiri teater. Cahaya matahari yang indah
berwarna keemasan. Cahaya matahari yang cerah.
Orang-orang mati itu akan rontok semua.
Mom dan Dad akan selamat.
Kami berempat akan selamat.
"Ayo, Josh," bisikku. "Siap?"
Ia mengangguk, wajahnya serius.
"Oke. Ya!" aku berteriak memberi komando.
Kami berlari maju, sepatu karet kami menapak dalam ke tanah.
Kami berlari secepat kami bisa, tangan terulur ke depan, bersiap
mendorong pohon itu.
Sedetik kemudian, kami membentur pohon itu dan
mendorongnya sekuat tenaga, dorong... dorong... dorong....
Pohon itu bergeming.
Chapter 18

"DORONG!" aku berteriak. "Dorong lagi!"


Josh berteriak putus asa. "Tidak bisa, Amanda. Tidak bisa
roboh."
"Josh!" kupelototi dia.
Ia mundur beberapa langkah untuk mencoba lagi. Di bawah
kudengar suara-suara terkejut, suara-suara marah.
"Cepat!" aku berteriak. "DORONG!"
Kami meluncur menerjang pohon itu dengan pundak kami.
Seluruh otot kami terasa sakit, mulut kami mengerang, wajah kami
merah. "Dorong! Dorong terus!"
Pembuluh darah di ubun-ubunku serasa mau pecah.
Bergerakkah pohon ini?
Tidak.
Pohon itu bergerak sedikit, tapi melenting kembali.
Suara-suara di bawah semakin keras.
"Tidak bisa." Aku merasa sedih dan kecewa, dan takut. "Pohon
ini tidak bisa roboh."
Aku merosot terduduk di bawah pohon dan menutup muka
dengan kedua tangan. Kalah. Kami sudah kalah.
Aku terlompat kaget ketika mendengar suara "krak" yang
lemah. Suara berderak itu semakin keras dan menjadi suara gemuruh,
seakan-akan tanah tempat kami berpijak merekah.
Pohon tua itu roboh dengan suara bergemuruh. Tanah
terguncang, seakan-akan dilanda gempa bumi.
Kugenggam tangan Josh dan kami berdiri dengan mulut
ternganga melihat pemandangan di teater ketika sinar matahari
memancar masuk.
Suara jeritan terdengar di mana-mana. Jeritan ngeri. Jeritan
marah. Jeritan kebingungan.
Teriakan berubah menjadi lolongan. Lolong kesakitan. Lolong
kematian.
Orang-orang di amfiteater itu, mayat-mayat hidup itu, terjebak
oleh cahaya keemasan. Mereka berdesak-desakan, saling menginjak,
menjerit histeris, dorong-mendorong, berusaha lari menuju tempat
yang terlindung bayang-bayang.
Tapi terlambat.
Aku terbelalak ngeri dengan mulut terbuka ketika kulihat kulit
mereka mulai terkelupas sedikit demi sedikit dari tulang-tulangnya,
hancur menjadi bubuk dan jatuh berhamburan ke tanah. Baju mereka
pun ikut hancur.
Suara jeritan masih terdengar terus sementara tubuh mereka
hancur berantakan, kulit meleleh, tulang-belulang rontok ke tanah.
Kulihat Karen Somerset berjalan terhuyung-huyung di lantai teater.
Kulihat bagaimana rambutnya rontok ke tanah, sehingga tampak
tulang tengkoraknya. Ia menoleh ke arahku, memandangku dengan
rindu, penuh penyesalan. Lalu bola matanya menggelinding keluar
dari lubangnya. Ia membuka mulutnya yang tak bergigi dan berteriak,
"Terima kasih, Amanda! Terima kasih!" kemudian roboh ke tanah.
Josh dan aku menutup telinga kami rapat-rapat, tak sanggup
mendengar jeritan-jeritan ngeri. Kami membuang muka, tak sanggup
melihat seluruh isi kota panik ketakutan, rontok menjadi bubuk,
dihancurkan oleh sinar matahari yang cerah dan hangat.
Ketika kami menoleh kembali, suara teriakan sudah berhenti,
mereka semua sudah lenyap.
Mom dan Dad masih berdiri di tempat semula, terikat saling
membelakangi, wajah mereka campur aduk antara takut, ngeri, dan tak
percaya.
"Mom! Dad!" aku berteriak.
Takkan pernah kulupakan senyuman di wajah mereka ketika
mereka melihat Josh dan aku berlari mendekat untuk membebaskan
mereka.
*********************************
Tak perlu waktu lama bagi kedua orangtuaku untuk mengepak
semua barang dan menelepon perusahaan pengangkutan yang akan
membawa barang-barang kami pindah kembali ke rumah lama.
"Untung juga kita belum berhasil menjual rumah itu," kata Dad ketika
kami semua dengan senang hati masuk ke mobil untuk meninggalkan
kota yang menyeramkan ini.
Dad memundurkan mobil keluar dari halaman, dan kami baru
saja mulai bergerak maju di jalan.
"Sebentar!" aku berteriak menghentikan mobil. Entah mengapa,
aku ingin sekali melihat rumah tua itu untuk terakhir kalinya.
Tanpa memedulikan kedua orangtuaku yang berteriak bingung,
kubuka pintu mobil dan berlari kembali ke halaman rumah. Aku
berdiri di halaman depan, menatap rumah itu. Sunyi, sepi, masih juga
diselimuti bayang-bayang pohon yang membuatnya tampak gelap.
Aku berdiri diam, memandang rumah itu bagaikan orang
dihipnotis. Aku tak tahu sudah berapa lama aku berdiri di sana.
Suara ban mobil melindas kerikil menyadarkan aku dari
lamunanku. Ketika aku menoleh, kulihat sebuah station wagon
berwarna merah berhenti di jalan kerikil di halaman rumah.
Dua orang anak laki-laki seumur Josh melompat keluar dari
tempat duduk belakang. Kedua orangtua mereka mengikuti. Mereka
berdiri mengamati rumah, kelihatannya mereka tak sadar aku ada di
sana.
"Ini dia, Anak-anak," si ibu berbicara sambil tersenyum.
"Rumah kita yang baru."
"Kelihatannya tidak baru. Kelihatannya tua," salah satu dari
kedua anak itu berkata.
Anak yang satu lagi menyadari kehadiranku. "Siapa kau?"
tanyanya.
Yang lain-lain menoleh ke arahku.
"Oh. Aku... uh..." Pertanyaannya tak kusangka-sangka,
sehingga aku agak gelagapan menjawabnya. Kudengar Dad
membunyikan klakson di jalan. "Aku... uh... aku tadinya tinggal di
rumahmu ini," akhirnya aku bisa menjawab.
Kemudian aku berbalik dan lari secepat-cepatnya ke jalan.
Bukankah itu Mr. Dawes yang berdiri di teras, memegang buku
catatan? pikirku ketika sepintas kulihat sesosok tubuh berdiri di teras,
di bawah bayangan gelap.
Tidak, ah! Masa Mr. Dawes yang berdiri menanti mereka,
pikirku.
Tak mungkin.
Aku tidak menoleh lagi. Kubanting pintu mobil, hingga,tertutup
dengan suara keras. Dan kami bergegas pergi dari sana.END

Anda mungkin juga menyukai