Anda di halaman 1dari 11

Mengapa?

Hai Namaku Alex Will. Umurku 16 tahun. Aku memiliki kakak yang bernama Alca Will
dia seorang perempuan yang cantik, kuat, dan penyabar sama seperti ibuku. Saat ini umurnya
sudah 16 tahun. Ya, benar kami memang kembar tetapi tidak identik. Sifat kami saja sudah
berbeda. Aku juga memiliki seorang adik laki-laki yang sangat keras kepala, sama sepertiku.
Walaupun begitu, dia adalah seorang yang jujur. Tim Will hanya berjarak tiga tahun dari kami.
Aku memang asli orang sini, aku lahir dan dibesarkan di kota Nidanru. Aku dan dua
saudaraku dibesarkan oleh kakekku. Ayah dan ibuku sudah meninggal. Kakekku sering bercerita
kepada kami tentang masa kecil ayahku bahkan, kakek sering bercerita bagaimana ayah dan
ibuku dapat bertemu. Kakek pun sering menasehati kami apalagi tentang pentingnya menjunjung
tinggi kejujuran. Huh, rasanya sudah seperti makan tiga kali sehari saja.
Pernah disuatu saat, umurku baru sekitar tujuh tahun pada saat itu, aku sedang bermain
petak umpet bersama Alca dan Tim. Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Alca yang
menjadi penjaganya dan aku bersama Tim yang bersembunyi. Aku dan Tim sepakat untuk
bersembunyi di sekitaran kamar tidur. Aku bersembunyi di dalam lemari pakaian dan Tim yang
bersembunyi di atas lemari. Kebetulan di atas lemari terdapat dus-dus kosong, jadi Tim
bersembunyi di balik dus-dus tersebut. Bisa dibilang Tim anak yang cerdas dibandingkan dengan
teman seusianya dan aku baru menyadari betapa bodohnya aku, mengapa aku harus bersembunyi
di dalam lemari? Karena kebodohanku itulah Alca dapat menemukanku dengan mudah. Lalu
aku pun menunggu di ruang makan. Daripada aku hanya melamun sambil menunggu Alca
menemukan Tim, lebih baik aku menunggunya sembari makan. Makanan dari piring
telah ditransfer ke perut. Rasanya sudah hampir satu jam aku disini, tetapi mengapa mereka
belum kembali juga? Aku pun bergegas mencari mereka. Tiba-tiba Alca berlari ke arahku sambil
berteriak.
“Tim tidak ada”
“Hah masa?”
“Aku sudah mencarinya kemana-mana tetapi tetap tidak ada”
“Tadi dia bersembunyi di atas lemari tempat aku bersembunyi, dibalik dus-dus, kamu sudah
mencarinya?”
“Mungkin aku terlalu panik, aku belum mencarinya kesana”
Alca pun segera berlari ke kamar tidur dan aku menyusulnya. Benar saja apa yang telah
kita takuti terjadi, Tim tidak ada. Tiba-tiba datang kakek ke kamar.
“Ada apa ini ribut-ribut?”
Kami pun menjawab dengan tegang.
“mmm tidak ada apa-apa kek”
Aduh Aku dan Alca tidak sengaja berbohong, bagaimana ini? Setelah kakek pergi, aku dan Alca
kembali mencari Tim. Hari sudah mulai gelap, Tim masih belum ketemu. Tetapi terdengar suara
anak kecil yang sedang menangis, dari tangisannya ia seperti yang sedang ketakutan. Ini seperti
suaranya Tim, terus terngiang-ngiang di kepalaku. Apakah ini hanya perasaanku saja?
“Alca aku mendengar seperti ada anak kecil yang sedang menangis”
“Aku pun begitu Alex”
Aku dan Alca segera mengikuti asal suara tersebut, ternyata suara itu berasal dari luar
rumah. Setelah dilihat lagi, benar saja itu Tim! Kakek pun terkaget karena mendengar kegaduhan
kami dan suara tangisan Tim. Kakek segera keluar dan menanyakan apa yang sebenarnya telah
terjadi. Aku dan Alca pun menceritakan semuanya. Tetapi aku terheran setelah mendengar cerita
dari Tim. Tim berkata bahwa memang berpindah tempat persembunyian tetapi tidak jauh dari
tempat persembunyian asal yaitu, lemari tempat aku bersembunyi tadi dan Tim masih mendengar
kegaduhanku dan Alca ketika kami sedang mencarinya. Tetapi, ketika ada kakek yang sedang
menanyakan “Ada apa ini ribut-ribut” Tim pun tiba-tiba tidak ingat apa-apa. Dia baru sadar
kalau ia sudah berada di luar rumah dalam keadaan langit sudah gelap. Kakek kembali
menasehati kami.
“Kakek kan sudah bilang kalian jangan berbohong kepada kakek, kebohongan tidak akan
menyelesaikan permasalahan”
Berhubung aku baru berumur tujuh tahun pada saat itu, aku hanya menganggukkan kepalaku saja
tanpa mengerti maksud yang sebenarnya dari nasehat kakek tersebut.

***

Pagi itu adalah pagi Minggu yang sangat cerah. Burung-burung berkicauan. Udara segar
dihisap oleh hidung dan masuk ke paru-paru. Hah, sungguh menyegarkan. Alca dan aku
membantu kakek berkebun. Aku bagian yang menyiram tanaman dan Alca yang memangkas dan
merapikan tanaman-tanamanya. Biasalah, anak perempuan jauh lebih handal dalam soal rapih-
merapihkan. Sedangkan Tim, dia hanya membantu dengan mengirimkan doa saja – dasar anak
manja.
Setelah selesai kami berpindah menuju ke dalam rumah. Aku membantu menyapu dan mengepel,
Alca membantu mencuci pakaian dan piring-piring kotor, dan seperti biasa Tim hanya membantu
dengan mengirimkan doa.
Pekerjaan pun telah beres. Hah, lelah sekali rasanya. Aku berbaring di sofa sambil menonton TV.
Lima menit kemudian aku sudah tidak sadarkan diri.
***

Siang menuju sore. Aku sudah mulai bosan. Tak ada pekerjaan yang bisa kukerjakan. Kakek
sedang tidak di rumah. Aku pun diam-diam pergi ke luar. Tiba tiba …
“Lex, mau kemana?”
“Eh Alca, mm hanya berjalan jalan sebentar ga lama kok”
“Baliknya jangan kemaleman!”
Aku segera pergi keluar. Sial, aku tidak sengaja berbicara seperti itu padahal niat awalku adalah
pergi ke rumah Krez. Seketika aku teringat akan pesan-pesan kakek ah tapi, sudahlah.
Krez adalah sahabatku biasanya ketika aku tidak ada kegiatan aku pasti bermain ke rumahnya.
Krez berumur sama sepertiku. Dia seorang anak laki-laki yang sifatnya tidak jauh berbeda
denganku oleh karena itu, aku sangat dekat dengan Krez. Krez juga memiliki adik perempuan
yang seumuran dengan Tim, namanya Kaley.
Kami pun bermain video games, permainan yang sangat digandrungi oleh anak berumur 12
tahun. Permainan dimenangkan oleh Krez. Ya, aku memang jarang sekali menang terhadapnya.
Aku pun berbaring sejenak. Tak sengaja aku melihat ke arah jendela kamar Krez, langit tampak
begitu gelap dan dihiasi kemerlap bintang. Tunggu sebentar, ada yang aneh sepertinya. Ya
ampun hari sudah tampak gelap! Aku pun segera berpamitan dengan Krez dan langsung berlari
menuju rumah. Keadaan di luar gelap, hanya sinar bulan yang menerangi jalan pulangku. Aku
sudah tidak peduli dengan keadaan sekitar, yang penting aku bisa pulang dan tidak kena marah
kakek. Rasanya sudah terlalu lama aku berlari, aku pun mulai kelelahan. Mengapa tidak sampai-
sampai ya? Baru kusadari, entah mengapa tiba-tiba aku sudah sampai ke tengah hutan! Aneh
sekali, aku sudah terlalu sering pergi ke rumah Krez mana mungkin aku bisa lupa jalan pulang.
Aku mulai ketakutan. Apa yang bisa dilakukan oleh anak berumur 12 tahun di tengah hutan,
dalam keadaan gelap, dan sendirian? Aku pun menangis dan memanggil-manggil kakek. Aku
segera duduk, memejamkan mata, dan mulai menenangkan diri agar dapat berpikir dengan
jernih.
Aku mulai mendengar suara aneh, itu seperti suara kakek! Aku mulai membuka kedua mataku
secara perlahan. Dan aku pun tersadar aku sudah berada di rumah dan masih berbaring di atas
sofa. Ya ampun, ternyata ini semua hanyalah mimpi.

***
Hawa dingin pagi mulai terasa di sekujur tubuh. Aku bangun dari tidurku dalam keadaan
kepala masih pening. Entah kenapa aku teringat kembali dengan kejadian lima tahun yang lalu.
Aku menjadi risih dan was-was. Semoga mimpi semalam itu tidak benar-benar akan terjadi.
Seperti biasa setiap pagi Alca membuatkan sarapan untuk seluruh anggota keluarga. Aku
mengambil sarapanku dan memakannya di ruang tengah sembari menonton TV. Telur mata sapi
dengan kuning telur yang masih setengah matang adalah favoritku, ditemani dengan segelas susu
madu yang juga membuatku bahagia ketika meminumnya. Setelah selesai sarapan aku pun pergi
untuk mandi. Setelah mandi aku memutuskan untuk duduk di teras depan dan memandang langit
yang nampak akan hujan sebentar lagi. Langit berwarna kelabu, sinar sang surya yang mulai
tertutup kapas-kapas yang bergumpalan, angin yang meruntuhkan dedaunan, dan air yang mulai
berjatuhan. Rintik-rintik hujan terdengar seperti irama musik alam yang menenangkanku. Seolah
aku lupa dengan semua kepenatan dan kewas-wasan yang ada. Datanglah Alca yang
membawakan teh susu untukku.
“Nih minum dulu!”
“Eh makasih”
“Lex kamu tahu tidak?”
“Tahu apa?”
“Tentang ayah dan ibu...”
“Maksudnya?”
“Terkadang aku suka memikirkan kenapa mereka pergi secepat itu. Aku ingin
seperti anak-anak lain yang tumbuh dan berkembang di tangan ayah dan ibu mereka sendiri”
“Alca jangan sedih seperti itu, kita masih memiliki kakek yang menyayangi kita dan
bisa kita angap sebagai orang tua kita sendiri. Harusnya kamu besyukur Alca.”
Aku dan Alca pun masuk ke dalam rumah karena awan semakin menangis, mungkin ia
semakin menangis karena Alca juga bersedih.

***

Keesokan harinya aku membuat kejutan untuk kakek, Alca ,dan Tim. Kali ini aku yang
membuatkan sarapan untuk mereka. Secangkir kopi dan roti panggang untuk kakek, segelas susu
madu hangat dan telur mata sapi dengan kuning telur yang masih setengah matang untuk Alca –
memang selera kami selalu kembar, dan segelas susu hangat diiringi oleh roti panggang cokelat
untuk Tim si kecil.
Sebenarnya aku melakukan ini semua agar Alca tidak bersedih lagi. Dan dia dapat
melihat bahwa masih ada orang di sekitar dia yang menyayangi dan memperhatikannya.
Setelah selesai makan Alca dan aku menaruh piring-piring kotor ke dapur. Alca mencuci
piring-piring kotor tersebut. Entah mengapa dari samping aku melihat dia seperti sesosok ibu
yang cantik, kuat, tegar, dan penyayang. Aduh kenapa aku bisa berhalusinasi seperti itu.
Aku melewati hari-hariku ya, seperti itu. Bangun tidur, sarapan, mandi, membantu kakek,
tidur lagi. Sangat monoton sekali bukan?

***

Tak terasa sudah hari Minggu lagi. Aku mulai bosan dengan rutinitasku. Biasanya ketika
aku bosan aku akan bermain ke rumah Krez. Krez adalah sahabatku. Krez seorang anak laki-laki
yang memiliki sifat tidak jauh berbeda dariku dan dia berumur 12 tahun. Karena faktor tersebut,
aku sangat dekat dengan Krez. Krez juga memiliki adik perempuan yang umurnya sama dengan
Tim, namanya Kaley.
Diam-diam Aku pergi ke luar rumah dengan niat ingin ke rumah Krez. Tetapi, ternyata
kakek melihatku aku pun hanya bilang kalau aku hanya akan berjalan-jalan sebentar mencari
udara segar. Akhirnya aku sampai di rumah Krez. Kami langsung bermain video games,
permainan yang sangat disukai oleh anak berumur 12 tahun. Mario Bros yang sedang kami
mainkan saat ini. Aneh, aku jarang sekali memenangkan permainan ini, berbeda dengan Krez
yang sangat handal memainkan level-level yang susah itu. Lelah dengan kekalahan yang terus
mendatangiku. Aku pun berbaring sejenak. Tidak sengaja aku melihat ke arah jendela kamar
Krez, langit tampak begitu gelap dan dihiasi bintang yang tak pernah sendirian. Tunggu sebentar,
ada yang salah sepertinya. Ya ampun hari sudah memasuki waktu malam! Aku pun segera
berpamitan dengan Krez dan langsung berlari menuju luar rumah. Keadaan di luar gelap, hanya
sinar bulan yang menerangi jalan untuk sampai ke rumah. Aku sudah tidak peduli dengan
keadaan sekitar, yang penting aku bisa pulang dan tidak dimarahi kakek. Rasanya sudah terlalu
lama aku berlari, aku pun mulai kelelahan dan napasku sudah terengah-engah. Mengapa tidak
sampai-sampai ya? Baru kusadari, tiba-tiba aku sudah sampai ke tengah hutan! Aneh sekali, aku
sudah terlalu sering pergi ke rumah Krez mana mungkin aku bisa lupa jalan pulang. Aku mulai
ketakutan. Apa yang bisa dilakukan oleh anak berumur 12 tahun di tengah hutan, dalam keadaan
gelap, dan sendirian? Aku pun menangis dan memanggil-manggil kakek. Aku segera duduk,
memejamkan mata, dan mulai menenangkan diri agar dapat berpikir dengan jernih. Hmm,
rasanya ada yang ganjal. Aku seperti pernah mengalami kejadian ini tetapi, kapan ya? Ya ampun
Aku ingat ini mimpiku seminggu yang lalu, inide javu! Oh tidak yang selama ini aku takutkan
pun datang.
Tiba-tiba terdengar suara dari kejauhan yang memanggil namaku, tapi sepertinya aku
mengenali suara itu. Pada awalnya aku merasa ketakutan, tetapi aku merasa penasaran. Aku pun
segera berlari menuju arah datang suara tersebut. Astaga, itu Krez! Untunglah dia datang.
“Alex, Alex, Alex”
“Krez!! Astaga benarkah itu kamu Krez?”
“Alex, kenapa kamu bisa sampai tidak mendengarku? Sedari tadi aku memanggilmu, tapi
kamu terus-menerus berlari tanpa menoleh ke belakang. Jadi aku memutuskan untuk
mengejarmu, tetapi kamu malah berlari ke arah hutan. Disitu aku panik aku tetap
berteriak memanggil-manggilmu tetapi kamu masih saja tidak menoleh sedikit pun ke
belakang. Aku takut ada sesuatu yang akan terjadi kepadamu Alex, jadi aku segera
menyusulmu. ”
“Hah untung ada kamu Krez, aku sangat ketakutan.”
“Ini jaketmu tertinggal”
“Ayolah Krez, aku sudah tidak peduli dengan ini (menunjuk ke arah jaket), aku ingin
pulang Krez.”
“Ayo kita pulang Lex, kebetulan aku masih ingat jalan tadi kita masuk hutan.”
Aku dan Krez berjalan menuju ke luar hutan sambil sedikit berbincang.
“Sebenarnya apa yang sedang terjadi kepadamu Alex? Kau tidak tampak seperti
biasanya.”
“Akhir-akhir ini aku mengalami kejadian-kejadian aneh Krez, bukan akhir-akhir ini saja
sih sebenarnya. Lima tahun yang lalu, aku, Alca, dan Tim pernah bermain petak umpet.
Alca yang menjadi penjaganya sedangkan aku dan Tim yang bersembunyi. Aku
bersembunyi di dalam lemari dan Tim di atas lemari. Ketika aku sudah ditemukan oleh
Alca aku pun makan dan Alca masih mencari Tim. Dan hal yang janggalnya adalah Tim
tidak ada dimana-mana! Padahal aku dan Alca sudah mencarinya. Sewaktu hari sudah
mulai gelap, tiba-tiba terdengar suara tangisan anak kecil yang berasal dari luar rumah
ternyata itu Tim. Dia seperti yang sedang ketakutan. Setelah ditanya, Tim bilang ia tidak
ingat apa-apa. Itu tuh serem banget kan Krez?. Dan kejadian aneh itu sekarang terjadi
lagi.”
“Kamu udah pernah bilang ke kakek sebelumnya tentang kejadian seperti ini?”
“Yang kejadian lima tahun lalu sih kakek melihat sendiri kejadiannya. Tapi, aku masih
heran deh Krez mengapa hal kaya gini bisa terjadi kepada aku?”
Akhirnya kami sampai ke luar hutan. Krez pergi menuju rumahnya sedangkan aku
menuju rumahku. Aku berlari menuju rumahku karena memang sudah larut malam. Aku berlari
semampu yang aku bisa. Lelah sih sebenarnya, tetapi aku lebih takut akan sesuatu hal aneh
terjadi lagi. Berhubung ini sudah larut malam pastilah aku kena marah. Siapa sih orang tua yang
membolehkan anak 12 tahun keluar di malam hari sendirian. Dan benar saja ketika sudah sampai
di rumah aku dimarahi oleh kakek. Tetapi aku melihat dari mukanya dia tidak benar benar
marah. Kakek marah kepadaku karena ia sangat sayang kepadaku. Aku pun segera meminta
maaf kepada kakek. Sampai-sampai aku berlutut di depannya. Aku sangat sayang kepada
kakekku. Dia yang telah membesarkanku karena aku memang sudah tidak memiliki ayah dan
ibu. Lagi-lagi kakek menasehatiku dan berkata “Kakek kan sudah bilang jangan berbohong
kepada kakek, kebohongan tidak akan menyelesaikan permasalahan”. Tampak tak asing kata-
kata itu terdengar di telingaku. Apakah inide javu lagi? Ah tidak mungkin.

***

Kejadian semalam membuatku sakit kepala hebat. Ingat-tak ingat akan kejadian semalam.
Sinar matahari yang sudah sangat menyengat masuk melalui jendela kamar dan membangunkan
aku dari tidurku. Aku pikir itu cahaya surga! Aku membuka mataku, mengucek-nguceknya dan
menguap. Tak lupa aku meregangkan badanku seperti ulat. Aku melihat ke arah jam dinding. Ya
ampun sudah jam 10 pagi! Mungkin kejadian semalam yang membuatku sampai kesiangan
bangun. Aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Aku mencuci muka dan melihat ke
arah kaca. Ada sesosok penampakan dengan muka yang lusuh dan mata yang sembab. Hah itu
aku! Mataku sudah seperti marshmallow saja.
Seperti biasa, aku menjalani kehidupan dengan kegiatan-kegiatan monoton. Aku mulai
kegiatan monotonku. Aku pun membereskan ruang tengah, tempat dimana kakek sedang
membaca koran paginya ditemani dengan secangkir kopi hitam tanpa gula.
“Alex, tolong bereskan kamar kakek.”
“Iya kek, sehabis ini ya kek.”
Setelah selesai membereskan ruang tengah, aku pun melanjutkan dengan membereskan
kamar kakek. Tak lupa sudut-sudut ruangan pun aku bersihkan. Bantal dan guling aku susun
dengan rapih, seprai aku tarik agar tidak ada lagi gelombang-gelombang abstrak di atas tempat
tidur. Barang barang di atas laci aku susun juga sampai rapih. Dengan hati-hati dan pasti aku
membersihkan debu yang berada di lemari sakral tempat kakek menyimpan buku yang sudah tua
dan penuh dengan kesan. Terlihat debu yang sangat banyak di atas lemari tersebut. Perpanjangan
cakram epifisisku belum sampai tahap maksimal memang. Oleh karena itu, aku mengambil kursi
dan mencoba meraih debu tersebut dengan cara naik ke atas kursi.
Terdengar seperti suara barang yang terjatuh ‘buk’. Aku melihat ke bawah dan ternyata
memang benar ada yang terjatuh. Tak sengaja aku telah menjatuhkan buku milik kakek. Aku
turun dari kursi dan mengambil buku tersebut. Bukunya sudah berdebu, jadi aku menyingkirkan
debu-debu tersebut dengan kemoceng. Terpampang huruf-huruf yang sudar pudar. Aku pun
mencoba untuk membacanya. “ K – E – N – A – N – G – A – N “. Buku apa ini? Otakku
memerintahkan aku untuk segera membuka buku tersebut. Jadi, aku membawanya ke atas tempat
tidur dan kemudian membukanya. Ternyata, buku ini berisikan foto-foto. Mungkin ini sebuah
album. Aku membuka buku tersebut. Di buku itu, terdapat foto-foto seorang anak laki-laki yang
mirip sekali denganku sewaktu aku kecil. Kalau itu fotoku, mengapa foto tersebut tampak sudah
kusam dan tua ya? Warnanya pun masih hitam putih. Aku membuka lembaran selanjutnya. Dan
sekarang foto orang itu makin mirip aku saja ketika aku sudah remaja. Aku kemudian membuka
lembaran buku tersebut lagi. Disana terdapat seorang laki-laki dan seorang perempuan yang
terlihat begitu serasih dan yang anehnya, perempuan ini mirip sekali Alca. Loh sebenarnya ini
foto siapa sih, mengapa mukanya tampak tidak asing, kenapa juga kakek harus menyimpan foto-
foto yang sudah usang ini. Mungkin lebih baik aku menyimpannya di kamarku dan suatu saat
akan kutanyakan kepada kakek.

***

Di suatu siang aku dan Alca pergi ke luar rumah. Kami sekedar berjalan-jalan tanpa
memiliki tujuan. Tak terasa kami sudah sampai di tengah kota. Kebetulan hari ini ada karnaval.
Kami pun pergi ke sana. Tak sengaja aku bertemu dengan Mebel.
Mebel adalah sahabatku – dulunya. Aku dan Mebel sering bermain bersama. Ya, bisa
dibilang posisinya sama seperti Krez. Tetapi, di suatu hari aku bertengkar hebat dengan Mebel.
Memang Mebel itu orang yang sangat keras kepala tetapi, sebenarnya dia adalah sesosok yang
baik. Akhirnya aku memutuskan untuk tidak menemuinya lagi. Aku pun tidak pernah bertemu
dengannya sudah hampir empat tahun. Sebenarnya waktu itu aku memiliki perasaan terhadap
Mebel. Mebel itu perempuan yang lucu dan cantik. Dia juga sangat perhatian. Mungkin waktu
itu aku masih terlalu kecil untuk mengungkapkan perasaanku umurku baru 11 tahun saat itu.
Jadi, kuurungkan niat awalku. Aku sempat bercerita kepada Alca tentang hal ini.
“Lex liat tuh, itu ada siapa”
“Hah mana? Siapa apanya?”
“Ga usah pura-pura tidak tau deh! Itu coba kamu lihat ke arah jam dua!”
“Siapa sih Ca?”
“Itu tuh Mebel Lex, dia cantik banget ya. Kamu masih suka sama dia Lex?”
“Ya engga lah itu kan cuman perasaan masa lalu. Cuman suka boongang itu mah”
“Masa sih Lex? Dulu waktu kamu cerita ke aku kayanya kamu emang beneran suka deh
Lex”
“Itu kan dulu Ca, udah deh ga usah dibahas bikinmood aku berubah aja. Kita kan mau
seneng-seneng disini!”
“Hi, sewot dia. Ya udah yu, kita pergi kesana aja naik bianglala”
Aku dan Alca pun pergi kesana. Di perjalanan menuju kesana aku sempat berbicara
dengan hati kecilku. Aku sebenarnya masih memiliki perasaan terhadap Mebel. Bagaimana aku
bisa langsung melupakannya? Dia orang pertama yang dapat membuat aku tersenyum-senyum
sendiri di tengah malam dan membayangkan wajah lucu dan imutnya itu.
Huh antrian agar bisa menaiki bianglala cukuplah panjang. Tetapi Alca ingin sekali naik
bianglala itu jadi, kami hanya bisa bersabar menunggunya. Agar tidak bosan, aku pun berinisiatif
untuk keluar dari antrian dan membeli permen kapas. Sementara Alca tetap menunggu di antrian
agar tidak ada yang menyerobot antrian kami.
“Pa pesan dua permen kapasnya ya!”
“Ini permen kapasnya nak”
“Berapa harganya pa?”
“20 N saja nak”
Aku pun mengeluarkan uang sebesar 20 N dari dompetku. Setelah aku mengambil kedua
permen kapas tersebut, aku berbalik. Ah sial! Ternyata ada Mebel di belakangku sedari tad.
“EH hei Mebel”
“hmmm kamu Alex kan?”
“Iya, emm kamu mau ngapain kesini?”
“Aku mau membeli permen kapas Lex sama sepertimu”
“Ini ambil saja yang aku”
“Eh gausah aku kan bisa beli sendiri”
“Udah gapapa”
“Makasih ya!”
“Kembali”
Percakapan yang singkat namun dapat membuat jantungku berdegup dengan sangat
kencang, sampai mau lepas dari tubuh saja. Walau canggung seperti tadi rasanya senang sekali.
Aku pun berjalan menuju antrian dimana Alca sudah menunggu. Berjalan saja sudah seperti
tidak menapakkan kaki ke tanah. Rasanya aku benar-benar melayang dan sedang berada di
bianglala yang datang karena awan telah selesai menangis dan matahari muncul membawa
kebahagiaan.
Aku kembali ke antrian. Lumayan sudah maju cukup jauh dibanding kan sebelumnya.
“Nih Ca permennya.”
“Asyik, makasih Lex”
“Ca, tadi aku ketemu Mebel lagi.”
“Loh tadi marah-marah pas kamu denger namanya, kok sekarang malah seneng? Muka
kamu merah tuh Lex”
“Engga ah biasa aja, ya udah terus ngobrol aja sedikit.”
“Tuh kan masih suka ya?”
“Apaan sih Ca engga kok! Yu ah naik udah beres nih antriannya”
Untung saja aku menaikki bianglala ini di sore hari. Kalau tidak, bisa-bisa kulitku
berubah warna seperti bagian belakang wajan. Sejuk dan tenang rasanya. Dapat menikmati
panorama kota dari ketinggian ditemani angin yang berhembus mengenai tubuh.
Tiba-tiba saja angin berhembus tambah kencang. Langit menjadi lebih gelap dari
sebelumnya. Keitka aku telah sampai di puncak bianglala. Tiba-tiba bianglala tersebut berhenti.
Pikirku mungkin memang dari sistemnya seperti ini agar semua pengunjung dapat merasakan
pemandangan yang indah dari ketinggian maksimal bianglala. Aku pun menunggu selama hampir
1 jam. Sepertinya ada yang tidak beres. Aku pun mengintip ke bawah. Semua orang terlihat panik.
Yang di bawah saja panik, apalagi aku dan Alca yang terjebak di ketinggian. Alca segera
memelukku.dia tampak sangat ketakutan. Aku pun bingung harus berbuat apa. Sambil memeluk
Alca, aku pun memejamkan mata. Aku tetap berusaha tenang. Aku teringat akan pesan kakek
“Kakek kan sudah bilang jangan berbohong kepada kakek, kebohongan tidak akan menyelesaikan
permasalahan”. Tunggu sebentar, apakah selama ini kejadian aneh selalu terjadi setelah aku
membuat suatu kebohongan? Aku berusaha mengingat kejadian-kejadian aneh yang telah terjadi.
Pertama, umur aku dan Alca baru tujuh tahun saat itu, kami berbohong kepada kakek ketika aku,
Alca, dan Tim bermain petak umpet dan Tim tiba-tiba menghilang. Ia sudah ditemukkan di luar
rumah pada malam hari sambil menangis. Kedua, tiga tahun yang lalu kejadiannya. Aku
berbohong kepada kakek lagi. Aku pergi ke rumah Krez dan lupa waktu. Ketika aku pulang langit
sudah gelap dan aku malah tersesat ke hutan. Untung ada Krez, kalau tidak aku bisa saja mati dan
menjadi santapan serigala. Dan yang terakhir ya yang sedang aku alami
saat ini.
Tiba-tiba mesin besar ini pun kembali menyala.
“Alca lihat mesinnya kembali menyala”
“Hah syukurlah.”
Setelah sampai di bawah aku melihat Mebel. Dia segera menghampiriku.
“Kamu gapapa kan Lex?”
“Untungnya tidak apa-apa”
“Tadi aku memanggilmu tapi kamu tidak mendengar. Jadi aku melihatmu dari kejauhan
kalau kamu mengantri di antrian permainan bianglala. Lalu aku melihat orang-orang yang
ribut di sekitaran permainan bianglala. Aku segera kesini untuk memastikan kamu baik-
baik saja. Syukurlah kalau kamu tidak apa-apa”
“Terimakasih Mebel. Tapi, aku harus segera pulang ada hal penting yang harus aku
tanyakan kepada kakek. Kapan-kapan kita ketemuan lagi ya Mebel. Ayo Alca cepat kita
pulang. Dah Mebel”
“Dah Mebel”
“Dadah Alca, Lex hati-hati”
Aku dan Alca pun bergegas pulang ke rumah. Sesampainya aku di rumah ternyata kakek sudah
tertidur lelap di kamarnya. Aku pun mengurungkan niatku untuk menceritakan semua ini kepada
kakek. Berhubung aku baru saja dari kamar tidur kakek, aku teringat akan buku ‘KENANGAN’
itu. Aku segera ke kamar dan membuka kembali album foto tersebut. Sepertinya aku tahu ini
foto siapa. Mungkin anak kecil yang mirip aku tersebut adalah ayah dan perempuan yang mirip
Alca adalah ibu. Karena sangat mustahil jika itu semua adalah foto

Anda mungkin juga menyukai