Anda di halaman 1dari 21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Diabetes Melitus


2.1.1 Definisi Diabetes Melitus

Diabetes melitus adalah penyakit yang ditandai dengan terjadinya

hiperglikemia dan gangguan karbohidrat, lemak, dan protein yang dihubungkan

dengan kekurangan secara absolut atau sekresi insulin.

Diabetes melitus tipe 2 merupakan penyakit hiperglikemia akibat

insensitivitas sel terhadap insulin. Kadar insulin mungkin sedikit menurun atau

berada pada rentang normal. Karena insulin masih tetap dihasilkan oleh sel-sel beta

pankreas, maka diabetes melitus tipe 2 dianggap sebagain non insulin dependent

diabetes melitus (Fatimah, 2015).

2.1.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

Klasifikasi diabetes melitus berdasarkan etiologi menurut Perkeni (2015)

adalah sebagai berikut :

a. Diabetes melitus tipe 1

Diabetes melitus yang terjadi akibat kerusakan atau destruksi sel beta

di pankreas. Kerusakan ini berakibat pada keadaan defisiensi insulin yang

terjadi secara absolut. Penyebab dari kerusakan sel beta antara lain

autoimun dan idiopatik.

b. Diabetes melitus tipe 2

Penyebab diabetes melitus tipe 2 seperti yang diketahui adalah

resistensi insulin. Insulin dalam jumlah yang cukup tetapi tidak dapat

bekerja secara optimal sehingga menyebabkan kadar gula darah tinggi

6
7

didalam tubuh. Defisiensi insulin juga dapat terjadi secara relatif pada

penderita diabetes melitus tipe 2 dan sangkan mungkin terjadi defisiensi

insulin absolut.

c. Diabetes melitus tipe lain

Penyebab diabetes melitus tipe lain adalah bervariasi. Diabates melitus

tipe ini dapat disebabkan oleh defek genetik fungsi sel beta, defek genetik

kerja insulin, penyakin eksokrin pankreas, endokrinopati pankreas, obat, zat

kimia, infeksi, kelainan imunologi, dan sindrom genetik lainnya yang

berkaitan dengan deabetes melitus.

d. Diabetes melitus gestasional

2.1.3 Diagnosis diabetes melitus tipe 2

Diagnosis diabetes melitus ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar gula

darah. Pemeriksaan gula darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan secara enzimatik

dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan

dengan menggunakan pemeriksaan gula darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis

tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria.

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada pasien dengan penyakit diabetes

melitus. Kecurigaan adanya diabetes melitus perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan

seperti:

a. Keluhan klasik diabetes melitus: poliuria, polidipsia, polifagia, dan

penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya.

b. Keluhan lain: lemah, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi

pada pria, serta pruritus vulva pada wanita.


8

Kriteria diagnosis diabetes melitus meliputi, pemeriksaan gula darah puasa

(GDP) ≥126 mg/dl. Gula darah puasa adalah kondisi dimana pasien tidak ada

asupan kalori minimal 8 jam. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah

Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram, atau

pemeriksaan gula darah sewaktu (GDS) ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik

(Kemenkes, 2018).

2.1.4 Komplikasi diabetes melitus

Komplikasi akut yang sering dialami oleh pasien diabetes melitus adalah

hipoglikemia dan hiperglikemia. Hipoglikemia adalah diamana kadar gula darah

seseorag mengalami penurunan di bawah nilai normal. Hipoglikemia lebih sering

terjadi pada pasien diabetes melitus tipe 1 yang dapat dialami 1-2 kali per minggu.

Kadar gula darah yang terlalu rendah dapat menyebabkan sel-sel otak tidak mendapat

pasokan energi sehingga tidak berfungsi bahkan mengalami kerusakan. Hiperglikemia

adalah apabila kadar gula darah meningkat secara tiba-tiba, dapat berkembang

menjadi keadaan metabolisme yang berbahaya, antara lain ketoasidosis diabetik,

Koma Hiperosmoler Non Ketotik (KHNK) dan kemolakto asidosis (Fatimah, 2015).

2.2 Konsep Hipoglikemia

2.2.1 Definisi Hipoglikemia

Hipoglikemia merupakan suatu keadaan dimana kadar glukosa dalam darah

dibawah normal (<70 mg/dl) (ADA, 2012). Hipoglikemia dapat dialami oleh semua

penderita diabetes melitus yang sedang dalam terapi pengendalian kadar gula darah,

di mana pasien DM tipe 1 dapat lebih sering mengalami hipoglikemia dibandingkan

dengan pasien DM tipe 2. Tidak seperti nefropati diabetik atau retinopati diabetik
9

yang berlangsung secara kronis, hipoglikemia dapat terjadi secara akut dan tiba-tiba

dan dapat mengancam nyawa (Seaquist, E. R., 2013).

Pasien diabetes yang tidak terkontrol dapat mengalami gejala hipoglikemia

pada kadar gula darah yang lebih tinggi di bandingkan dengan orang normal,

sedangkan dengan pasien diabetes yang mengalami pengendalian gula darah yang

ketat dapat mentoleransi kadar gula darah tanpa mengalami gejala hipoglikemia.

Tabel 2 1 Klasifikasi dan Manifestasi Klinis Hipoglikemia

Ringan 1. Dapat diatasi sendiri dan tidak ada gangguan aktivitas


sehari-hari
2. Penurunan glukosa yang dapat merangsang saraf simpatis,
seperti : tremor, takikardi, berkeringat, dan gelisah
3. Penurunan glukosa yang apat merangsang saraf
parasimpatis, seperti : lapar, mual dan tekanan darah
menurun

Sedang 1. Dapat diatasi sendiri dan mengganggu aktivitas sehari-hari


2. Suplai glukosa sebagai sumber energi ke otak mengalami
penurunan, dapat menimbulkan gangguan sistem saraf
pusat, seperti : sakit kepala, vertigo, gangguan konsentrasi,
penurunan daya ingat, perubahan emosi, perilaku
irasional, penurunan fungsi perasa, gangguan koordinasi
gerak.

Berat 1. Membutuhkan bantuan orang lain dan terapi glukosa


2. Mengalami gangguan sistem saraf pusat berat, seperti :
disorientasi, kejang, penurunan kesadaran

Sumber : (Soemadji, 2006)


10

American Diabetes Assosiation Workgroup on Hypoglycemia mengklasifikasikan kejadian

hipoglikemia menjadi 5 kategori sebagai berikut :

Tabel 2 2 Klasifikasi Hipoglikemia menurut American Diabetes Assosiation


Roekgroupon Hypoglycemia Tahun 2005

Severe Hypoglycemia Kejadian hipoglikemia yang membutuhkan

bantuan dari orang lain

Documented Symtomatic Kadar gula darah plasma kurang dari 70 mg/dl

Hypoglicemia disertai gejala klinis hipoglikemia

Asymptomatic Kadar gula darah plasma kurang dari 70 mg/dl

Hypoglycemia tanpa disertai gejala klinis hipoglikemia

Probable Symptomatic Gejala klinis hipoglikemia tanpa disertai

Hypoglycemia pengukuran kadar gula darah plasma

Relative Hypoglycemia Gejala klinis hipoglikemia dengan pengukuran

kadar gula darah plasma lebih dari 70 mg/dl dan

terjadi penurunan kadar gula darah

Sumber : (ADA, 2012).


11

2.2.2 Penyebab Hipoglikemia

Dosis pemberian insulin yang kurang tepat, kurangnya asupan karbohidrat

karena menunda atau melewatkan makan, konsumsi alkohol, peningkatan konsumsi

karbohidrat karena latihan atau penurunan berat badan (Kedia, 2011).

2.2.3 Tanda dan Gejala Hipoglikemia

Tanda dan gejala hipoglikemia merupakan akibat dari aktivitas sistem saraf

otonom dan neuroglikopenia. Pada pasien usia lanjut dan pasien yang mengalami

hipoglikemia berulang, dapat mengalami respon sistem saraf otonom berkurang

sehingga pasien yang mengalami hipoglikemia tidak menyadari bahwa kadar gula

darahnya rendah (hypoglycemia unawareness). Kejadian ini dapat memperberat kejadian

hipoglikemia karena pasien terlambat untuk mengkonsumsi glukosa untuk

meningkatkan kadar gula darahnya.

Tabel 2 3 Tanda dan gejala yang muncul pada keadaan hipoglikemia

Kadar Gula Gejala Neurogenik Gejala Neuroglikopenik


Darah

79,2 mg/dL Gemetar, goyah, gelisah Irritabilita, kebingungan

70,2 mg/dL Gugup, berdebar-debar Sulit untuk berfikir, sulit


berbicara

59,4 mg/dL Berkeringat Ataxia, paresthesia

50,4 mg/dL Mulut kering, rasa Sakit kepala, stupor


kelaparan

39,6 mg/dL Pucat, midriasis Kejang, koma dan


kematian

Sumber : (Setyohadi, 2011).


12

2.2.4 Patofisiologi Hipoglikemia

Dalam penyakit diabetes, hipoglikemia terjadi akibat dari kelebihan insulin

relative maupun absolute dan dapat mengganggu pertahanan fisiologis yaitu

penurunan plasma glukosa. Mekanisme pertahanan fisiologis dapat menjaga

keseimbangan kadar glukosa darah, baik pada pasien diabetes tipe 1 maupun diabetes

tipe 2. Glukosa sendiri merupakan bahan bakar metabolisme yang harus ada untuk

otak. Efek hipoglikemia dapat terkait dengan sistem saraf pusat, sistem pencernaan

dan sistem peredaran darah (Kedia, 2011).

Glukosa merupakan bahan bakar metabolisme yang utama untuk otak. Selain

itu otak tidak dapat mensintesis glukosa dan hanya dapat menyimpan cadagan

glukosa (dalam bentuk glikogen) dalam jumlah yang sangat sedikit. Oleh karena itu,

fungsi otak normal sangat tergantung pada konsentrasi asupan glukosa dan sirkulasi.

Gangguan pasokan glukosa dapat menimbulkan disfungsi sistem saraf pusat sehingga

menjadi menurunan suplai glukosa ke otak. Karena terjadi penurunan suplai glukosa

ke otak dapat menyebabkan terjadinya penurunan suplai oksigen ke otak, yang akan

menimbulkan pusing, bingung, dan lemah (Kedia, 2011).

Konsentrasi glukosa darah normal, sekitar 70-110 mg/dL. Penurunan

kosentrasi glukosa darah akan memicu respon tubuh, seperti penurunan kosentrasi

insulin secara fisiologis seiring dengan turunnya kosentrasi glukosa darah,

peningkatan kosentrasi glucagon dan epineprin sebagai respon neuroendokrin pada

kosentrasi glukosa darah di bawah batas normal, dan timbulnya gejala gejala

neurologic (autonom) dan penurunan kesadaran pada kosentrasi glukosa darah di

bawah batas normal (Setyohadi, 2011).


13

Batas kosentrasi glukosa darah berkaitan erat dengan system hormonal,

persyarafan dan pengaturan produksi glukosa endogen serta penggunaan glukosa

oleh organ perifer. Insulin memegang peranan utama dalam pengaturan kosentrasi

glukosa darah. Apabila konsentrasi glukosa darah menurun melewati batas bawah

konsentrasi normal, hormon-hormon konstraregulasi akan melepas. Dalam hal ini,

glucagon yang diproduksi oleh sel α pankreas berperan penting sebagai pertahanan

utama terhadap hipoglikemia. Selanjutnya epinefrin, kortisol dan hormon

pertumbuhan juga berperan meningkatkan produksi dan mengurangi penggunaan

glukosa. Glukagon dan epinefrin merupakan dua hormon yang disekresi pada

kejadian hipoglikemia akut. Glukagon hanya bekerja dalam hati. Glukagon mula-mula

meningkatkan glikogenolisis dan kemudian glukoneogenesis, sehingga terjadi

penurunan energi akan menyebabkan ketidakstabilan kadar glukosa darah (Herdman,

2010). Penurunan kadar glukosa darah juga menyebabkan terjadi penurunan perfusi

jaringan perifer, sehingga epineprin juga merangsang lipolisis di jaringan lemak serta

proteolisis di otot yang biasanya ditandai dengan berkeringat, gemetaran, akral dingin,

klien pingsan dan lemah (Setyohadi, 2011)..

2.2.5 Komplikasi Hipoglikemia

Komplikasi dari hipoglikemia, yaitu gangguan tingkat kesadaran yang berubah

yang dapat menyebabkan gangguan pernafasan, selain itu hipoglikemia juga dapat

mengakibatkan kerusakan otak akut. Hipoglikemia berkepanjangan dapat

menyebabkan gangguan neuropsikologis sedang sampai dengan berat karena efek

hipoglikemia berkaitan dengan system saraf pusat yang biasanya ditandai oleh

perilaku dan pola bicara yang abnormal. Menurut Kedia (2011) hipoglikemia yang

berlangsung lama bisa menyebabkan kerusakan otak yang permanen, hipoglikemia

juga dapat menyebabkan koma sampai kematian.


14

2.2.6 Pengobatan Hipoglikemia

2.2.6.1 Hipoglikemia Ringan

a. Pemberian asupan makanan tinggi glukosa (karbohidrat sederhana.

b. Glukos murni adalah pilihan utama, namun bentuk karbohidrat

lain yang berisi glukosa juga efektif untuk memabntu

meningkatkan kadar gula darah.

c. Makanan yang mengandung lemak dapat menghambat respon

kenaikan glukosa darah.

d. Glukosa 15-20 g (2-3 sedok makan) yang dilarutkan dalam air

adalah terapi pilihan pada pasien dengan hipoglikemia yang masih

sadar.

e. Pemeriksaan glukosa darah dengan glukometer harus dilakukan

setelah 15 menit pemberian terapi. Jika pada monitoring glukosa

darah 15 menit setelah pengobatan, hipoglikemia masih ada makan

pengobatan dilanjutkan.

f. Jika hasil meperiksaan gula darah kadarnya sudah mencapai

normal, pasien diminta makan atau mengkonsumsi snack untuk

mencegah berulangnya hipoglikemia.

2.2.6.2 Hipoglikemia Berat

a. Jika didapat gejala neuroglikopenia, terapi parentenal diperlukan

berupa pemberian dekstrose 20% sebanyak 50 cc (jika terpaksa

maka diberikan dextore 40% sebanyak 40 cc), diikuti infus D5%

atau D10%.
15

b. Pemeriksaan gula darah 15 menit setelah memberian IV. Jika kadar

gula darah belum mencapai target, dapat diberikan ulang dextrose

20%.

c. Selanjutnya monitoring gula darah setiap 1-2 jam jika masih terjadi

hipoglikemia berulang, pemberian dekstrose 20% dapat di ulang.

d. Lakukan evalusi terhadap pemicu hipoglikemia.

(PERKENI, 2015).

2.2.7 Pencegahan Hipoglikemia

a. Lakukan edukasi tentang tanda dan gejala hipoglikemia, dan

penanganan sementara.

b. Anjurkan melakukan pemantaun gula darah mandiri (PGDM),

khususnya bagi pasien yang menggunakan insulin atau obat oral

golongan insulin sekretagog.

c. Lakukan edukasi tentang obat-obatan atau insulin yang

dikonsumsi, tentang: dosis, waktu mengkonsumsi, dan efek

samping.

d. Bagi dokter yang menghadapi pasien diabetes melitus dengan

kejadian hipoglikemia perlu melakukan :

1. Evaluasi secara menyeluruh terkait kesehatan pasien.

2. Evaluasi program pengobatan yang diberikan dan bila

diperlukan melakukan program ulang dengan memperhatikan

berbagai aspek, seperti: jadwal makan, kegiatan olahraga, atau

adanya penyakit penyerta yang memerlukan obat lain yang

mungkin berpengaruh terhadap gula darah.


16

3. Bila diperlukan mengganti obat-obatan yang lebih kecil efek

sampinya dalam menimbulkan hipoglikemia (PERKENI,

2015).

2.3 Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Hipoglikemia


2.3.1 Usia

Meskipun hipoglikemia pada lansia (>75 tahun) dengan diabetes terbilang

cukup umum, namun diagnosis pada rentang usia ini sulit diidentifikasi. Karena

didominasi oleh gejala neurologis daripada gejala otonom, gejala yang muncul seperti

pusing atau gangguan penglihatan yang dapat mengakibatkan misdiagnosis. Sehingga

gejala hipoglikemia kurang spesifik dengan bertambahnya usia. Penderita diabetes

lansia memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami hipoglikemia (Abdelhafiz,

Rodrí, Morley, & Sinclair, 2015).

Menurut Shufyani (2017), menjelaskan bahwa pasien yang berusia lansia (60

tahun- 74 tahun) yang mengalami hipoglikemia sebanyak 30 pasien, usia dewasa (45

tahun- 59 tahun) sebanyak 7 pasien. Pada kelompok usia yang lebih muda

menunjukkan respon yang lebih cepat terhadap gejala hipoglikemia. Artinya pasien

usia muda memiliki kemampuan untuk mengenali gejala hipoglikemia lebih baik

daripada lanjut usia.

Sedangkan menurut Supadi (2011), menjelaskan bahwa hasil penelitian

mendapatkan bahwa umur di antara 40 – 60 tahun merupakan kelompok umur yang

paling banyak di antara pasien yang mengalami diabetes melitus tipe 2. Resistensi

insulin cenderung meningkat pada usia di atas 65 tahun. Lansia lebih beresiko

mengalami penurunan fungsi mekanisme counterregulatory dan penurunan kognitif.

Penurunan fungsi counterregulatory menyebabkan frekuensi hipoglikemia meningkat,

dan penurunan kognitif pada lansia mengakibatkan kegagalan mengenal gejala


17

hipoglikemia, sehingga kemampuan penatalaksanaan hipoglikemia juga mengalami

penurunan (Ernawati, 2010).

Kategori lanjut usia terbagi menjadi beberapa kelompok menurut WHO, yaitu :

1. Usia pertengahan 45 – 59 tahun

2. Lanjut usia 60 – 74 tahun

3. Lanjut usia tua 75 – 90 tahun

4. Usia sangat tua > 90 tahun

2.3.2 Aktivitas Fisik/ Olahraga

Aktivitas fisik/ olahraga mengaktivasi ikatan dan reseptor insulin di

membrane plasma sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah. Manfaat latihan

fisik adalah menurunkan kadar glukosa darah dengan meningkatkan pengambilan

glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian insulin, memperbaiki sirkulasi darah

dan tonus otot, mengubah kadar lemak darah yaitu meningkatkan kadar HDL-

kolestrol dan menurunkan kadar kolestrol total serta trigliserida. Aktivitas fisik/

olahraga merupakan faktor risiko hipoglikemia, karena aktivitas fisik/ olahraga

berlebih dapat memicu menurunan berat badan, meningkatkan sensitivitas insulin

pada jaringan hepar dan perifer, meningkatkan pemakaian glukosa, dan kesehatan

kardiovaskuler.

Namun pada pasien diabetes dengan mengendalikan gula darah yang intensif,

olahraga dapat meningkatkan resiko terjadinya hipoglikemia tanpa disertai

penyesuaian terapi insulin atau sumplementasi karbohidrat. Hipoglikemia dapat

terjadi saat berolahraga, sesaat setelah berolahraga, atau beberapa jam setelah

berolahraga. Beberapa studi terakhir menemukan bahwa hipoglikemia setelah

olahraga dipengaruhi oleh kegagalan sistem otonom pada pasien diabetes

(Budidharmaja, 2013).
18

Menurut (Nurayati & Adriani, 2017), bahwa responden penderita Diabetes

Melitus tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas Mulyorejo kota Surabaya sebagian besar

mempunyai aktivitas fisik yang rendah (<600 MET). Responden cenderung

melakukan aktivitas sedentari dibandingkan dengan melakukan aktivitas fisik seperti

berolahraga dan lainnya. Karena sebagian besar responden mengaku sudah tidak

bekerja setelah terdiagnosa Diabetes Melitus sehingga mereka lebih banyak

melakukan aktivitas sedentari (duduk dan menonton televisi). Sehingga dapat

disimpulkan bahwa aktivitas fisik dapat menurunkan kadar gula darah, tetapi jika

terlalu sering dan tanpa ada asupan makanan akan mengakibatkan hipoglikemia.

Prinsip latihan fisik pasien DM pada umumnya, yaitu mengikuti F, I, D, J

yang dapat dijelskan sebagai berikut :

F : Frekuensi 3 kali/minggu secara teratur

I : Intensitas ringan dan sedang (60-70% Maximum Heart Rate)

D : Durasi 30 menit selakukan latihan jasmani

J : Jenis latihan fisik yang dianjurkan adalah aerobic yang bertujuan

untuk meningkatkan stamina seperti jalan, jogging, berenang, senam

berkelompok atau aerobic dan bersepeda (Damayanti, 2015).

2.3.3 Ketidakpatuhan diet (asupan makanan tidak mencukupi atau melewatkan

makan)

Ketidakpatuhan diet merupakan salah satu penyebab terjadinya hipoglikemia.

Sehingga untuk mencegah hipoglikemia pada malam hari maka pasien perlu diedukasi

untuk selalu menjaga kadar gula tengah malam diusahakan sekitar 120-180mg/dL.

Pasien juga disarankan untuk mengkonsumsi makanan pada malam hari seperti

karbohidrat yang lambat dicerna (sus, roti, pisang, apel dan protein) (Ristanto, 2015).
19

Prinsip pengaturan makan pada diabetes mellitus hamper sama dengan

anjuran makan untuk orang sehat masyarakat umumnya, yaitu makanan yang

beragam bergizi dan berimbang atau lebih dikenal dengan gizi seimbang maksudnya

adalah sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi masing-masing individu. Hal yang

sangat penting ditekankan adalah pola makan yang disiplin dalam hal Jadwal makan,

Jenis dan jumlah makanan atau dikenal dengan istilah 3J (Priyoto, 2015). Prinsip

pengaturan diet diabetes mellitus adalah 3J, yaitu :

1. J 1 = Jadwal (Tepat Jadwal)

Tepat jadwal sangat penting bagi penderita diet untuk pasien DM, karena

memakan makanan yang tepat jadwal sudah sangat membantu menjaga kadar gula

dalam darah. Tepat jadwal yang dimaksud disini adalah penderita harus mengikuti

jadwal makanan yang sudah deprogram yaitu jadwal makan harus diikuti interval 3

jam. Yaitu 6x makan, yaitu 3x makan berat dan 3x makan selingan atau snack. Itu

berarti jika pasien sudah sarapan, penderita tidak boleh makan makanan yang berat

seperti nasi dan kue sampai jadwal makan siang. Pasien hanya diperkenankan makan

snack yang berupa potongan kecil makanan rendah karbohidrat dalam selang waktu 3

jam setelah sarapan dan 3 jam setelah snack penderita boleh makan makanan utama

lagi, begitu samapai makan malam. Pada malam hari tidak diperkenankan makan lagi

setelah makan malam. Contoh jadwal makan pasien adalah makan pasien adalah

sebagai berikut :

a. Makan pagi atau sarapan dilakukan pada pukul 07.00

b. Snack pertama dikonsumsi pada pukul 10.00

c. Makan siang dilakukan pada pukul 13.00

d. Snack kedua dikonsumsi pukul 16.00


20

e. Makan malam dilakukan pukul 19.00

f. Snack ketiga dikonsumsi pukul 21.00

Usahakan makan tepat waktu. Apabila terlambat makan maka akan bisa

terjadi hipoglikemia atau rendahnya gula darah. Hipoglikemia meliputi gejala seperti

pusing, mual dan pingsan. Apabila terjadi hal seperti ini segera minum air gula atau

the manis.

2. J 2 = Jenis (Tepat Jenis)

Ada beberapa jenis makanan yang sebaiknya dihindari dalam melakukan diet.

Untuk pasien diabetes mellitus bukan karena tidak enak namun karena makanan

tersebut dapat membuat kadar gula darah naik secara drastis. Makanan-makanan yang

harus dibatasi misalnya segala macam kue dan roti yang mengandung banyak gula,

selai, es krim, permen, susu manis, buah- buhan yang berasa manis dan tentu saja

gula. Sementara itu makanan yang dianjurkan adalah banyak mengkonsumsi sayuran

mentah, sayuran olahan dan buah-buahan yang tidak terlalu manis.

3. J 3 = Jumlah (Tepat Jumlah)

Bagi penderita DM, gula dalam darah mereka sudah sangat tinggi oleh sebab

itu tubuh tidak membutuhkan banyak tambahan gula.Dan ketika pasien DM makan,

maka kalori yang masuk harus tepat bagi pasien DM, maka jumlah makanan yang

boleh dimakan harus tepat jumlahnya.Hal ini bisa dihitung dengan IMT (Index Masa

Tubuh) yang didapat dengan membagi berat badan dan tinggi badan.Jika IMT

tergolong kurus mengkonsumsi 40-60 kalori/hari x berat badan.Jika normal bisa

mengkonsumsi 30 kalori x berat badan.Untuk orang gemuk 20 kalori x berat badan.

Untuk orang obesitas kalori yang diperbolehkan yaitu 10-15 kalori x berat badan.
21

Tabel 2 4 Klasifikasi status gizi berdasarkan IMT

Klasifikasi Status Gizi Indek Masa Tubuh


(IMT)(kg/m2)
1. Kurus (Underweight) <18,5
2. Normal 18,5-22,9
3. Gemuk (Overweight) >23
4. Resiko obesitas (At Risk) 23-24,9
5. Obesitas I 25-29,9
6. Obesitas II >30

Menurut Priyoto (2015) pengaturan porsi makan sedemikian rupa sehingga

asupan zat gizi tersebar sepanjang hari. Penurunan berat badan ringan atau sedang (5-

10 kg) sudah terbukti dapat meningkatkan control diabetes, walaupun berat badan

idaman tidak tercapai. Penurunan berat badan dapat diusahakan dicapai secara baik

dengan penurunan asupan energi moderat dan peningkatan pengeluaran energi.

Dianjurkan pembatasan kalori sedang yaitu 250-500 kkal lebih rendah dari asupan

rata-rata sehari. Komposisi makanan yang dianjurkan meliputi :

1. Karbohidrat

Rekomendasi untuk sukrosa lebih liberal. Buah dan susu sudah terbukti

mempunyai respon glikemik yang lebih rendah dari pada sebagian besar tepung-

tepungan. Walaupun berbagai tepung-tepungan mempunyai respon glikemik yang

berbeda, prioritas hendaknya lebih pada jumlah total karbohidrat yang dikonsumsi

daripada sumber karbohidrat. Anjuran konsumsi karbohidrat untuk penderita

diabetes mellitus di Indonesia :

- 45-65% total asupan energy

- Pembatasan karbohidrat tidak dianjurkan <130 g/hari


22

- Makanan harus mengandung lebih banyak karbohidrat terutama berserat

tinggi.

- Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% sehari (3-4 sdm)

- Makan 3 kali sehari untuk mendistribusi asupan karbohidrat dalam sehari.

Penggunaan pemanis alternative pada penderita diabetes mellitus, aman

digunakan asal tidak melebihi batas aman (Acceted Dialy Intake).

2. Serat

Rekomendasi asupan serat untuk orang dengan diabetes sama dengan untuk

orang yang tidak diabetes yaitu dianjurkan mengkonsumsi 20-35 gr serat makanan

dari berbagai sumber bahan makanan. Di Indonesia anjurannya adalah kira-kira 25

gr/100 kalori/hari dengan mengutamakan serat larut air.

3. Protein

Menurut konsensun pengelolaan diabetes di Indonesia tahun 2006 kebutuhan

protein untuk diabetes 15-20% energy. Perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8

g/kg berat badan / hari atau 10% dari kebutuhan energy dengan timbulnya nefropati

pada orang dewasa dan 655 hendaknya bernilai biologis tinggi. Sumber protein yang

baik adalah ikan, seafood, daging tanpa lemak, ayam tanpa kulit, prpduk susu rendah

lemak, kacang-kacangan dan tahu tempe.

4. Total lemak

Anjuran nanjuran asupan lemak di Indonesia adalah 20-25% energy.Lemak

jenuh <7% kebutuhan energy dan lemak tidak jenuh ganda <10% kebutuhan energy,

sedangkan selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.Asupan kolestrol makanan

hendaknya dibatasi tidak lebih dari 300 mg/hari.Apabila peningkatan LDL

merupakan masalah utama, dapat diikuti anjuran diet disiplin diet disiplidemia.Tujuan
23

utama pengurangan kosumsi lemka jenuh dan kolestrol adalah untuk menurunkan

resiko penykit kardiovaskular/penyakit jantung.

5. Garam

Anjuran asupam untuk orang dengan diabetes sama dengan penduduk biasa

yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-7 g (1 sdt) garam dapur, sedangkan

bagi yang menderita hipertensi ringan samapi sedang dianjurkan 2400 mg

natrium/hari atau sama dengan 6 gr/hari garam dapur. Sumber utam anatrium antara

lain adalah garam dapur, vetsin dan soda.

Menurut penelitian (Bistara, 2018), menunjukkan bahwa sebagian besar

responden mempunyai pola makan yang cukup baik. Berdasarkan umur, hampir

sebagian reponden berumur 46-55 (38%), karena semakin tinggi umur semakin tinggi

juga keperluan asupan gizinya. Berdasarkan jenis kelamin, sebagian besar responden

berjenis kelamin perempuan (60%) dikarenakan perempuan lebih sering makan

makanan manis seperti coklat, gula dan jajanan siap saji dibandingka laki-laki.

Sehingga dapat dilihat bahwa asupan makanan juga dapat berpengaruh terhadap

kadar gula darah pada pasien diabetes melitus.

Menurut penelitian (Isnaini, 2018), dijelaskan bahwa hasil penelitian pada

pola makan nilai p= 0,031 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan pasien

dengan pola makan sehat dan pasien dengan pola makan tidak sehat. Pola makan

merupakan salah satu komponen yang penting dalam menjaga agar tubuh dalam

keadaan stabil dan tidak berisiko menimbulkan kasus DM.

2.3.4 Riwayat Hipoglikemia

Hipoglikemia berulang akan memunculkan fenomena hypoglycemic unawareness

yaitu kondisi glukosa darah yang rendah tetapi tidak apa-apa. Fenomena ini akibat

menurunnya ambang hipoglikemia pasien diabetes melitus tipe 2 sehingga penderita


24

tidak akan merasakan gejala awal hipoglikemia, yang tentunya akan membahayakan

penderita (Ristanto, 2015).

Menurut penelitian (Supadi, 2011), dijelaskan bahwa 7 (43,8%) pasien pernah

mengalami gula darah rendah yang mampu melakukan deteksi hipoglikemia,

sedangkan 13 (38,2%) pasien belum pernah mengalami gula darah rendah yang

mampu melakukan deteksi hipoglikemia. Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,951

sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan pasien yang pernah

mengalami penurunan gula darah dengan pasien yang belum pernah mengalami

penurunan gula darah.

2.3.5 Sulfonilurea

Penggunaan obat hipoglikemik oral yang memiliki cara kerja meningkatkan

sekresi insulin pada pankreas dapat menyebabkan terjadinya hipoglikemia. Obat-obat

tersebut antara lain dipeptydil peptidase-4 inhibitor, glucagon-like peptide-I, golongan glinide,

golongan sulfonylurea (PERKENI, 2015).

Menurut penelitian (Sutawardana, 2016), dari observasi dan wawancara studi

pendahuluan yang telah dilakukan terdapat 12 orang mengalami diabetes melitus di

kota Depok dan 1 pasien di rawat di rumah sakit di Jakarta diperoleh bahwa

hipoglikemia pada pasien sering terjadi pada saat pasien lupa makan tetapi tetap

mengkonsumsi obat sulfonylurea. Mereka megganggap bahwa obat oral yang mereka

konsumsi dapat menyembuhkan diabetes melitus, sehingga mereka rutin

mengkonsumsi obat pagi dan sore tanpa diikuti dengan asupan makanan yang sesua.
25

2.3.6 Pengetahuan

Pengetahuan memiliki pengaruh terhadap pemahaman tentang gejala

hipoglikemia, pencegahan hipoglikemia, dan penanganan jika terjadi hipoglikemia.

Pada pasien yang memiliki pengetahuan yang tinggi ditemukan kejadian hipoglikemia

yang lebih rendah, karena dapat menghindari penyebab dan mengontrol penyebab

dari hipoglikemia, sehingga pasien yang pengetahuannya rendah tidak dapat

mengontrol penyebab dari hipoglikemia (Shriraam et al., 2015).

Menurut penelitian (Shufyani et al., 2017), berdasarkan tingkat pengetahuan

dari 37 pasien terdapat kelompok yang mengalami hipoglikemia terdapat 31 pasien

(83,7%) memiliki tingkat pengetahuan yang kurang baik, dan 6 pasien (16,2%)

memiliki tingkat pengetahuan baik. Sehingga dapat dilihat bahwa tingkat kemampuan

yang kurang dapat mempengaruhi kejadian hipoglikemia.

Menurut penelitian (Supadi, 2011), dijelaskan bahwa ada sebanyak 9 (32,1%)

pasien yang berpengetahuan buruk yang mampu melakukan deteksi hipoglikemia.

Sedangkan diantara pasien yang berpengetahuan baik, sebanyak 11 (50%) pasien yang

mampu melakukan deteksi hipoglikemia. Hasil uji statistik diperoleh nilai p= 0,323

sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan proporsi kejadian

hipoglikemia antara pasien yang berpengetahuan buruk dan pasien yang

berpengetahuan baik.

2.3.7 Jenis Kelamin

Wanita memiliki resiko hipoglikemia lebih besar daripada pria. Pada keadaan

glukosa darah stabil/ normal kadar epinephrine atau glucagon menunjukkan level yang

sama antara wanita dan pria, namun pada keadaan hipoglikemia terjadi peningkatan

kadar epinephrine dan glucagon lebih besar pada pria daripada wanita, sehingga
26

disimpulkan bahwa pria memiliki respon yang lebih cepat daripada wanita (Sunaryo,

2008)

2.3.8 Gangguan Ginjal

Hipoglikemia pada gangguan fungsi ginjal dapat diakibatkan oleh penurunan

glukoneogenesis, kerja insulin yang berlebih atau berkurangnya asupan kalori. Pada

gangguan fungsi ginjal dapat terjadi penurunan kebutuhan insulin karena perubahan

pada metabolisme dan ekskresi insulin (insulin clearance). Insulin eksogen secara

normal dimetabolisme oleh ginjal. Pada gangguan fungsi ginjal, waktu paruh insulin

memanjang karena proses degradasi insulin berlangsung lebih lambat (Budidharmaja,

2013).

2.3.9 Durasi Diabetes

Durasi/ lama menderita diabetes dan diikuti dengan hipoglikemia berulang

berpengaruh terhadap kerusakan glucosensitif. Sehingga sering dijumpai respon

simpatoadrenal yang berkurang walaupun dengan tingkat gangguanyang bervariasi.

Pasien tersebut rentan terhadap terjadinya hipoglikemia. Penurunan epinefin dan

glukagon pada penderita diabetes melitus yang lama menyebabkan hilangnya glucose

counterregulasi sehingga terjadi hipoglikemia yang tidak disadari. Kegagalan mengenal

gejala hipoglikemia pada pasien diabetes akibat kerusakan glucpse counterregulator

tersebut berpengaruh terhadap penanganan hipoglikemia dan berisiko berkembang

kedalam fase yang lebih berat. Pasien diabetes melitus yang telah berlangsung lama

memiliki pengalaman terhadap kejadian hipoglikemia lebih sering daripada pasien

yang baru didiagnosa diabetes melitus (Sunaryo, 2008).

Anda mungkin juga menyukai