Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Dan Konsep Penelitian

1. Diabetes

a. Definisi Diabetes

Diabetes Melitus (DM) adalah kelainan metabolik yang ditandai

dengan hiperglikemia akibat gangguan sekresi dan atau kerja insulin

(Huether & McCance, 2018) Dan juga merupakan penyakit kronis

progresif yang ditandai dengan ketidakmampuan tubuh untuk

melakukan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein, yang

mengarah ke hiperglikemia (kadar glukosa darah yang tinggi) (Black,

2014). Diabetes Melitus disebabkan oleh kurangnya aktivitas insulin

yaitu penyakit dengan etiologi kompleks yang bermanifestasi hasil dari

kelainan biokimia yang disebabkan oleh ketidakmampuan untuk

mengontrol metabolisme karbohidrat (Govan et al, 1986).

Diabetes Melitus Tipe II, sebelumnya disebut NIDDM (Non

Insuline Dependent Diabetes Melitus) atau Diabetes Melitus Onset

Dewasa merupakan respons terbatas sel beta terhadap hiperglikemia,

yang menjadi faktor mayor dalam perkembangannya. Sel beta terpapar

secara kronis terhadap kadar glukosa darah tinggi menjadi secara

progresif kurang efisien ketika merespons peningkatan glukosa lebih

lanjut (Black, 2014).

Diabetes Melitus Tipe II adalah gangguan metabolisme yang

ditandai dengan hiperglikemi yang disebabkan oleh kegagalan relative


sel beta dan resistensi insulin, dengan faktor reisiko berhubungan

dengan usia, obesitas, riwayat dan keluarga (Nurarif, 2015).

Diabetes tipe 2 (sebelumnya bernama non-insulin-dependent)

merupakan berakibat dari ketidakmampuan tubuh untuk merespon

dengan benar terhadap aksi insulin yang diproduksi oleh pankreas.

Diabetes tipe 2 jauh lebih umum dan menyumbang sekitar 90% dari

semua kasus diabetes di seluruh dunia. Hal ini terjadi paling sering

pada orang dewasa, namun juga saat ini tercatat berkembang pada

remaja (WHO, 2017).

Diabetes adalah masalah dimana kadar glukosa darah naik lebih

tinggi dari biasanya. Ini juga disebut hyperglycemia. Diabetes tipe 2

adalah bentuk diabetes yang paling umum. Pada diabetes tipe 2, tubuh

tidak menggunakan insulin dengan benar. Ini disebut resistensi insulin.

Pada awalnya, pankreas membuat insulin ekstra untuk menebusnya.

Tapi, seiring berjalannya waktu tidak bisa bertahan dan tidak bisa

cukup insulin untuk menjaga kadar gula darah pada tingkat normal

(ADA / American Diabetes Association, 2017).

Diabetes mellitus tipe 2 adalah kelainan metabolik yang

menyebabkan hiperglikemia (kadar glukosa darah tinggi) karena tubuh:

(1) Tidak efektif dalam menggunakan insulin yang telah dihasilkannya;

juga dikenal sebagai resistensi insulin, (2) Tidak mampu menghasilkan

cukup insulin. Diabetes tipe 2 ditandai oleh tubuh yang tidak mampu

memetabolisme glukosa (gula sederhana). Hal ini menyebabkan


tingginya kadar glukosa darah yang dari waktu ke waktu bisa merusak

organ tubuh (Diabetes Digital Media, 2017).

b. Klasifikasi Diabetes

Terdapat dua kategori utama diabetes mellitus yaitu diabetes

mellitus tipe 1 dan diabetes mellitus tipe 2. Diabetes tipe 1 disebut juga

insulin-dependent atau juvenile/childhood-onset diabetes, ditandai

dengan kurangnya produksi insulin. Diabetes mellitus tipe 2 disebut

juga dengan non-insulin-dependent atau adult-onset diabetes,

disebabkan oleh penggunaan insulin yang kurangefektif oleh tubuh,

diabetes tipe 2 adalah 90% dari seluruh penyakit diabetes. Sedangkan

untuk katagori lain adalah diabetes gestasional merupakan keadaan

hiperglikemia pada saat kehamilan. Toleransi glukosa terganggu (TGT)

atau Impaired glucose tolerance dan gula darah puasa terganggu (GDP

terganggu) atau impaired fasting glycaemia (IFG) Merupakan kondisi

transisi antara normal dan diabetes, orang dengan IGT atau IFG

mempunyai risiko tinggi berkembang menjadi diabetes (Kemenkes, RI,

2014)

c. Patofisiologi Diabetes Melitus Tipe II

Resistensi insulin merupakan penurunan respon jaringan yang

sensitive terhadap insulin (teritama hepar, otot, dan jaringan lemak)

yang dikaitkan dengan obesitas. Mekanisme yang berperan dalam

abnormalitas jalur sinyal insulin, kadar antagonis insulin yang tinggi,

penurunan ekspresi reseptor insulin dan gangguan protein pembawa

glukosa (Huether & McCance, 2019)


Obesitas berperan terhadap perkembangan resistensi

insulin melalui mekanisme Adipokin (leptin dan adiponektin) hormone

yang dihasilkan oleh jaringan lemak. Obesitas menyebabkan kadar

leptin meningkat dan kadar adiponektin menurun. Kemudian terjadi

peningkatan kadar asam lemak bebas dan akumulasi trigliserida dan

kolesterol di intraseluler dan menyebabkan penurunan respons jaringan

terhadap insulin, gangguan kerja inkterin, dan memicu terjadinya

inflamasi. Sitokin pro-inflamasi yang lepas dari adiposity intra

abdomen menyebabkab resistensi insulin. Obesitas ini berkaitan dengan

hiperinsulinemia dan menurunkan densitas reseptor insulin (Huether &

McCance, 2019)

Penurunan massa dan fungsi sel beta yang masih normal

menyebabkab disfungsi sel beta dan defisiensi insulin relative.

Kurangnya responsive sel alfa terhadap hambatan oleh glukosa akan

mengakibatkan konsentrasi glukagon meningkat. Selanjutnya

menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah melalui stimulus

glikogenolisis dan glukoneogenesis (Huether & McCance, 2019).

d. Penyebab Diabetes

Ada tiga hal yang terjadi pada insulin sehingga mengakibatkan

DM yaitu (Waluyo, 2013):

1. Jumlah insulin yang diproduksi pankeas mencukupi, namun insulin

tidak bekerja sesuai mestinya, sehingga gula dalam darah cukup

banyak
2. Produksi insulin tidak cukup, sebagian gula darah tidak terangkut

insulin.

3. Tubuh berhenti memproduksi insulin.

e. Gejala dan Tanda Diabetes Melitus Tipe II

a. Komplikasi Akut Diabetes Melitus

1) Hipoglikemia :

Berisiko pada pasien yang menggunakan insulin, pada pasien

dengan kadar glukosa fluktuatif cepat, pada pasien tipe 2 dengan terapi

Sulfonilurea.

Gejala Klinis :

Keluhan Adrenergik: Keluhan Neurogenik :

1. Pucat - Lemah

2. Berkeringat - Irritability

3. Takikardia - Sakit Kepala

4. Berdebar-debar - Sulit berkonsentrasi

5. Terasa lapar - Gangguan penglihatan

6. Gelisah - Pusing

7. Lemas - Terasa lapar

8. Tremor - Bingung

9. Defek sensorik atau motorik sementara

10. Kejang

11. Koma

12. Kematian
13. Laboratorium: Kadar glukosa <30mg/dl pada bayi baru

lahir, dan < 55-60 mg/dlpada dewasa.

2) Ketoasidosis Diabetikum: Syndrome Coma Diabeticum

Berisiko pada pasien tipe 1 pada pasien yang belum

terdiagnosa DM

Gejala klinis :

1. Malaise - Nyeri perut

2. Mulut kering - Lemah

3. Sakit kepala - Sesak napas

4. Polyuria - Kusmaull

5. Polidipsi Napas bau buah dan aseton

6. Penurunan BB

7. Mual

8. Muntah

9. Pruritus

10. Laboratorium: Kadar glukosa >250mg/dl, konsentrasu

bicarbonate rendah, gap anion meningkat, kadar -hidroksibutirat,

asetoasetat, dan aseton meningkat

3) Hyperglycemic hyperosmolar State : Koma hyperosmolar

hiperglikemia nonketonik

Berisiko pada pasien DM Tipe 2 usia lanjut atau usia sangat

muda, individu yang belum terdiagnosa DM, usia lanjut atau usia

sangat muda, yang belum terdiagnosis DM,


Tanda & Gejala

1. Polyuria - Penurunan Berat Badan

2. Polidipdia - lemah

3. Hipovolemi - Mual, muntah

4. Dehidrasi - Nyeri perut

5. Hipotensi - Hipotermi

6. Takikardia - Stupor

7. Hipoperfusi - Koma

8. Kejang -

9. Kadar glukosa > 600 mg/dl, ketosis ringan, serum

osmolaritas >320 mOms/L, ureum kreatinin meningkat

b. Komplikasi Kronik Diabetes mellitus

1) Mikrovaskuler Retinopati

2) Nefropati

3) Neuropati

4) Makrovaskuler

5) Infeksi

DM tipe II muncul perlahan hingga jadi gangguan yang jelas.

Yang biasanya diderita oleh orang yang berusia 40 tahun ke atas,

sekarang prevalensi pada remaja dan anak semakin tinggi. Pada tahap

awal gejala berupa sering kencing (poliuria), terus menerus merasa

haus sehingga banyak minum (polidipsia), dan mudah lapar sehingga

banyak makan (poliphagia), kelelahan berkepanjangan tanpa tahu


penyebab yang pasti, mudah sakit yang berkepanjangan. Gejala tersebut

sering terabaikan (Irianto, 2018).

Poliuria adalah gejala berupa keseringan buang air kecil,

terutama pada malam hari. Kadar glukosa dalam darah tinggi yaitu di

atas 160-180 mg/dlApabila insulin tidak efektif, ginjal tidak dapat

meyaring glukosa kembali. Ginjal akan mengambil air dalam darah

untuk mencairkan glukosa kemudian mengisi kandung kemih sehingga

urin yang keluar lebih banyak dari orang sehat, yaitu lebih dari 2.500

ml yang normalnya berkisar 600-2.500 ml (Shanty, 2017).

Polidipsia berawal dari poliuria, buang air kecil lebih dari

biasanya memerlukan pengganti cairan yang hilang menyebabkan akan

minum lebih banyak dari biasanya. Polifagi disebabkan karena insulin

dalam darah tidak bekerja dengan baik, dan sel-sel dalam tubuh tidak

mendapatkan energi (Onggo, 2015). Tubuh merespon untuk makan

agar dapat mencukupi kebutuhan gula darah yang dapat direspon

insulin. Jika terlambat makan, tubuh akan memecah cadangan energi

lain seperti lemak. Hal ini menyebabkan badan menjadi kurus. Kalori

yang hilang menyebabkan penurunan berat badan. Kemudian penderita

mengalami lapar yang luar biasa (Shanty, 2011), Gejala lain yang dapat

muncul yaitu:

1. Penglihatan kabur.

2. Luka yang lama bahkan tidak kunjung sembuh sampai membusuk.

3. Kaki terasa kebas, geli, bahkan terasa terbakar.

4. Infeksi jamur pada saluran reprosuksi wanita.


5. Impotensi pada pria (Irianto, 2014).

Kadar Gula Darah Sewaktu dan Puasa

Kadar glukosa darah


sewaktu
Bukan Belum DM
DM pasti
DM
Plasma Vena < 110 110 – ≥20
199 0
Darah Kapiler < 90 90 – 199 ≥20
0
Kadar glukosa darah
puasa
Bukan Belum DM
DM pasti
DM
Plasma Vena < 110 110 – 125 ≥12
6
Darah Kapiler < 90 90 - 109 ≥11
0

Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan

penyaring dan diagnosis DM (mg/dl) (PERKENI, 2011)

f. Komplikasi Diabetes Melitus Tipe II

Kompilkasi diabetes diantaranya :

1. Kehilangan kesadaran karena hiperglikemia.

2. Tekanan darah tinggi, penyakit jantung, dan kerusakan ginjal.

3. Gangguan penglihatan hingga mengalami kebutaan.

4. Infeksi kulit berat.

5. Koma diabetik.

6. Gangguan toleransi glukosa (Sustrani, 2006).

g. Penatalaksanaan Diabetes Melitus


Pengaturan diet dan aktivitas fisik menjadi bagian penting
dalam pencegahan dan manjemen Diabetes Melitus tipe 2. Asupan
makanan harus sesuai dengan tingkat aktivitas fisik dengan
meningkatkan komponen karbohidrat kompleks, menurunkan
komposisi lemak, dan mencukupi kebutuhan protein dan serat.
Pembedahan Bariatrik untuk pasien obesitas dapat mengendalikan
glukosa darah, menurunkan risiko kardiovaskuler, dan menurunkan
berat badan. Pemberian obat oral untuk intervensi lanjut (Huether &
McCance, 2019)

Terapi Diabetes Mellitus Tipe 2


Perubahan pola hidup pasien dengan Diabetes Mellitus
sangatlah menentukan kualitas hidup pasien, yaitu pola makan yang
baik dan olah raga teratur. Dengan atau tanpa terapi farmakologik, pola
makan yang seimbang dan olah raga teratur (bila tidak ada
kontraindikasi) merupakan kegiatan yang harus dijalankan secara
terus menerus.
Penatalaksanaan terapi obat-obatan pada pasien Diabetes
Melitus :
1. Metformin
menurunkan “hepatic glucose output” dan menurunkan kadar glukosa
puasa. Monoterapi dengan metformin dapat menurunkan A1C sebesar
-1,5%. Efek samping obat yang sering dikeluhakan pasien adalah
keluhan gastrointestinal. Jenis obat ini dapat digunakan dan aman
tanpa menyebabkan hipoglikemia dan tidak menyebabkan penambhan
berat badan yang signifikan. Kontraindikasi untuk pemakaian
metformin adalah penurunan fungsi ginjal karena akan meningkatkan
risiko asidosis laktik ; komplikasi ini jarang terjadi tetapi fatal.
2. Sulfonilurea Sulfonilurea
Menurunkan kadar glukosa darah dengan cara meningkatkan
sekresi insulin. Tidak jauh berbeda dengan metformin, yaitu
menurunkan A1C ~ 1,5%. Efek yang tidak diinginkan adalah
hipoglikemia yang bisa berlangsung lama dan mengancam hidup.
Episode hipoglikemia yang berat lebih sering terjadi pada orang tua.
Risiko hipoglikemia lebih besar dengan chlorpropamide dan
glibenklamid dibandingkan dengan sulfonylurea generasi kedua yang
lain. Sulfonilurea sering menyebabkan penambahan berat badan
sampai 2 kg.
3. Glinide : Untuk menstimulasi sekresi insulin dan menurunkan A1C
sebesar ~ 1,5 % Risiko peningkatan berat badan pada glinide
menyerupai sulfonylurea, akan tetapi risiko hipoglikemia nya lebih
kecil.
4. Glukosidase
Menghambat pemecahan polisakharida di usus halus sehingga
monosakharida yang dapat diabsorpsi berkurang; dengan demikian
peningkatan kadar glukosa postprandial dihambat. Metformin lebih
efektif dari jenis obat ini. A1C dapat turun sebesar 0,5 - 0,8 %.
Meningkatnya karbohidrat di colon mengakibatkan meningkatnya
produksi gas dan keluhan gastrointestinal.
5. Thiazolidinedione (TZD)
Meningkatkan sensitivitas otot, lemak dan hepar terhadap
insulin baik endogen maupun eksogen. Efek TZD dalam menurunkan
kadar glukosa darah pada pemakaian monoterapi adalah penurunan
A1C sebesar 0,5-1,4 %. Efek samping yang paling sering dikeluhkan
adalah penambahan berat badan dan retensi cairan sehingga terjadi
edema perifer dan peningkatan kejadian gagal jantung kongestif.
6. Insulin
Merupakan obat yang sudah lama digunakan untuk diabetes,
paling efektif dalam menurunkan kadar glukosa darah. Bila digunakan
dalam dosis adekuat, insulin dapat menurunkan setiap kadar A1C
sampai mendekati target terapeutik. Tidak seperti obat
antihiperglikemik lain, insulin tidak memiliki dosis maximal. Terapi
insulin berkaitan dengan peningkatan berat badan dan hipoglikemia.
2. Kepatuhan
Dengan tujuan untuk menetapkan besarnya kejadian di mana pasien

mengikuti instruksi perawatan diri dan mematuhi indikasi resep terapeutik,

berbagai istilah telah diciptakan dari akademi untuk mengidentifikasi

dimensi ini. Jadi, istilah kepatuhan, keterikatan, kepatuhan (dalam bahasa

Inggris, yang paling banyak digunakan adalah kepatuhan dan kepatuhan)

[5]. Ada beberapa definisi yang bertujuan untuk mengintegrasikan konsep

ini, kepatuhan didefinisikan sebagai peristiwa di mana dua kondisi positif:

kepatuhan dalam minum obat dan ketekunan selama waktu formulasi [6].

Definisi lain yang disebarluaskan oleh Organisasi Kesehatan Dunia

(WHO), menganggap kepatuhan sebagai “suatu kontinum di mana, setiap

pasien mencapai tingkat perilaku diri yang berfokus pada penggunaan obat-

obatan, pemantauan diet dan perolehan kebiasaan yang membentuk gaya

hidup sehat, sesuai dengan rekomendasi yang diberikan oleh agen

kesehatan”, dalam hal ini definisi tersebut melampaui konsep kepatuhan

farmakologis, karena juga melibatkan perubahan perilaku


B. Kerangka Teori Penelitian

Parenting Self- self-efficacy parenting task index


(SEPTI)
Efficacy
Faktor- faktor

1. Pengalam semasa
kecil
2. Budaya dan self-efficacy yang rendah self-efficacy yang tinggi
menganggap kesulitan anak menganggap kesulitan anak
komunitas sebagai ancaman sebagai sebuah tantangan yang
3. Pengalam dengan membutuhkan usaha yang
anak lebih besar dan cara yang
kreatif
4. Tingkat kesiapan
kognitif perilaku
untung parenting
5. Dukungan sosial
dan pernikahan Factor Yang Mempengaruhi
6. Karakteristik anak Stres Pengasuhan

1. Factor Anak
2. Factor Ibu
Anak Berkebutuhan Khusus

Parenting Stress Index - Short Form


Klasifikasi Anak Stres (PSI-SF).
Berkebutuhan Khusus

1. Tunanetra Dampak Stress


2. Tunarungu
3. Tunagrahita Mengalami lebih banyak kendala dalam menghadapi
4. Tunadaksa anak (Ibu)
5. Tunalaras Menderita secara sosial, emosional, perilaku, dan
perkembangan (Anak)
Keterangan:
: bagian yang diteliti
: bagian yang tidak diteliti

Modifikasi dari: Indra kurniawan (2017), Nurul Chairini (2013)

Skema 2.1
Kerangka Teo

Anda mungkin juga menyukai