Anda di halaman 1dari 45

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT DIABETES

MILITUS
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Medikal Bedah I
Dosen Mata Ajar : Maria Putri Sari Utami, S.Kep.,Ns., M.Kep

Disusun Oleh :

Nama : Ganjar Shiam


Nim : 2920183298

PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN NOTOKUSUMO
YOGYAKARTA
2020
A. Definisi Penyakit

Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang


ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.
(Brunner & Sudarth, 2010). Diabetes melitus adalah gangguan
metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan
mani!estasi berupa hilangnya toleransi karbohidrat. "ika telah
berkembang penuh secara klinis, maka diabetes melitus ditandai dengan
hiperglikemia puasa dan postprandial, aterosklerotik dan penyakit
askular mikroangiopati dan neuropati. Diabetes mellitus ataupun yang
sering disebut dengan penyakit kencing manis merupakan suatu penyakit
yang dapat terjadi ketika tubuh tidak mampu untuk memproduksi cukup
insulin atau tidak mampu menggunakan insulin (resistensi insulin).

Diabetes melitus merakan sekelompok kelainan heteogen yang


ditandai oleh kelainan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia.
Glukosa secara normal bersirkulasi dalam jumlah tertentu dalam darah.
Glukosa di bentuk da hati dari makanan yang di konsumsi, insuli, yait
suatu hormon yang di produksi pankreas, mengendalikan kadar glukosaa
dalam daran dengan mengatur produksi dan penyimpanannya. ( Smeltzer
& Bare, 2010)
B. Etiologi Penyakit

Umumnya diabetes mellitus disebabkan karena rusaknya sel-sel  pulau

langerhans pada pankreas yang bertugas menghasilkan insulin, oleh

karena itu terjadilah kekurangan insulin (Hasdiana, 2012).

Menurut Smeltzer & Bare (2001), penyebab dari diabetes mellitus tipe

II/NIDDM masih belum diketahui, faktor genetic diperkirakan

memegang peranan penting terhadap proses terjadinya resistensi insulin.

Selain itu terdapat juga faktor-faktor resiko tertentu yang ada

hubungannya dengan proses kejadian diabetes mellitus yaitu.

a. Usia (resistensi insulin cendrung terjadi peningkatan pada usia diatas

40 tahun)

b. Obesitas (kegemukan)
v
c. Riwayat keluarga (genetic)

d. Kelompok etnik (di Amerika Serikat, golongan Hispanik lebih besar

kemingkinan terjadinya diabetes tipe II dibandingkan dengan

golongan Afro).

Tubuh manusia mengubah makanan tertentu menjadi glukosa, yang

merupakan suplai energy utama untuk tubuh. Insulin dari sel-sel beta

pancreas perlu untuk membawa glukosa ke dalam sel-sel tubuh dimana

glukosa digunakan untuk metabolism sel. Diabetes mellitus terjadi ketika

sel beta tidak mampu memproduksi insulin (diabetes mellitus tipe 1) atau

memproduksi insulin dalam jumlah yang tidak cukup


(diabetes mellitus tipe 2). Akibatnya, glukosa tidak masuk kedalam sel,

melainkan tetap didalam darah. Naiknya kadar glukosa didalam darah

menjadi sinyal bagi pasien untuk meningkatkan asupan cairan dalam

upaya mendorong glukosa keluar dari tubuh dalam urin. Penderita

kemudian menjadi haus dan urinasi meningkat. Sel-sel menjadi

kekurangan energy karena berkurangnya glikosa dan memberi sinyal

kepada pasien untuk makan, membuat pasien menjadi lapar. Ada tiga tipe

DM. tipe 1, dikenal sebagai insulin-dependent (IDDM), dimana sel beta

dirusak oleh proses autoimun; tpe 2, dikenal sebagai non-insulin-

dependent (NIDDM), di mana sel beta memproduksi insulin dalam

jimlah kurang; dan gestasional diabetes mellitus (DM yang terjadi selama

kehamilan) (Donna Jacson, DKK, 2014)

C. Patofisiologi Diabetes mellitus

Diabetes melitus tipe I. Pada diabetes tipe I terdapat ketidakmampuan

untuk menghasilkan insulin karena sel-sel beta pankreas tela


dihancurkan oleh proses autoimun. Hiperglikemia-puasa terjadi akibat

produjsi glukosa yang tidak terukur oleh hati. Diamping itu, glukosa

yang berasal dari makanan tidak dapat disimpan dlam hati meskipun

tetap berada dalam darah dan menimbulkanhiperglikemia postprandial

(sesudah makan).

Jika konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat

menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar, akibatnya

glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang

berlebihan diekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan dsertai

pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini

dinamakan diuresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan yang

berlebihan, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemih

(poliuria) dan rasa haus (polidipsia).

Defisensi insulin yang mengganggu metabolisme protein dan lemak yang

menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dapat mengalami

peningkaatan selera makan (polifagia)akibat menurunnya simpanan

kalori. Gejala lainnya mencakup kelelahan dan kelemahan.

Dalam keadaan normal insulin mengendalikan glikogenolisis

(pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukoneogenesis (pembentukan

glukosa baru dari asam-asam amino serta substansi lain), namun pada

penderita defisiensi insulin, proses ini akan terjasi tanpa ambatan dan

lebih lanjut menimbulkan hiperglikemia. Di saming itu akan terjasi

pemecahan lemak yag mengakibatkan peningkatan


produksi badan keton yang merupakan produk samping pemecahan

lemak. Badan keton merupakan asam yang mengganggu keseimbangan

asam basa tubuh apabila jumlahnya berlebihan. Ketoasidosis diabetik

yang diakibatkan dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti

nyeri abdomen, mual, muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton, dan

bila tidak ditangani akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma,

bahkan kematian. Pemberan insulin bersama cairan dan elektrolit sesuai

kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik tersebut

dan mengatasi gejala hiperglikemia serta ketoasidosis. Diet dan latihan

disertai pemantauan terapi yang penting.

Diabetes Melitus tipe II. Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama

yang berhubungan dnegan insulin, yaitu: resistensi insulin dan gangguan

sekresi insulin. Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus

pada permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor

tersebut, terjadi suatu rangkaian reaksi dalam metabolisme glukosa

didalam sel. Resistensi insulin pada diabetes tipe II disertai dengan

penurunan reaksi intrasel ini. Dengan demikian insulin menjadi tidak

efektif untuk menstimulasi pengambilan glukosa oleh jaringan.

Untuk mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa

dalam darah, harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang

desekrsikan. Pada penderita toleransi glukosa terganggu, keadaan ini


terjadi akibat sekresi insulin yang berlebihan, dan kadar glukosa akan

meningkat dan terjadi diabetes tipe II.

Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan ciri khas

diabetes tipe Ii, namun masih terdapat insulin dnegan jumlah yang

adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton

yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada

diabetes tipe II. Meskipun demikian, Diabetes tipe II yang tidak

terkontrol dapat menimbulkan masalah akut lainya yang dinamakan

sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik (HHNK).

Diabetes Tipe II paling sering terjadi pada penderita diabetes yang

berusua lebih dari 30 tahun dan obesitas. Akibat intoleransi glukosa yang

berlangsung lambat (selama ertahun-tahun) dan progresif, maka awitan

diabetes tipe II dapat berjalan tanpa terdeteksi. Jika gejalabya dialami

pasien, gjala tersebut sering bersifat ringan dan dapat mencakup

kelelahan, iritabilitas, poliurua, polidipsia, luka pada kulit yang lama

sembuh-sembuh, infeksi vagina atau pandangan yang kabur (jika kadar

glukosanya sangat tinggi).

D. Manifestasi Klinis

Gejala umum yang biasa timbul pada penderita diabetes diantaranya

adalah sering buang air kecil (poliuria) dan terdapat kandungan gula pada

urinnya (glukosuria) yang merupakan efek langsung kadar glukosa darah

yang tinggi (melewati ambang batas ginjal). Poliuria mengakibatkan

penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga banyak minum

(polidipsia). Poliuria juga dapat mengakibatkan terjadinya polifagia


(sering lapar), kadar glukosa darah yang tinggi pada penderita diabetes

tidak mampu diserap sepenuhnya oleh sel-sel jaringan tubuh. Penderita

akan kekurangan energy, mudah lelah, dan berat badan menurunn (Utami

et al, 2003; Nethan & Delahanty, 2005; Purwatresna, 2012).

Menurut buku Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth (2011)

ada beberapa tanda-tanda dan gejala dari diabetes mellitus yaitu:

1. Tipe I

a. Serangan cepat karena tidak ada insulin yang diproduksi

b. Nafsu makan meningkat (polyphagia) karena sel-sel

kekurangan energy, sinyal bahwa perlu makan banyak.


c. Haus meningkat (polydipsia) karena tubuh berusaha membuang

glukosa

d. Urinasi meningkat (polyuria) karena tubuh berusaha membuang

glukosa

e. Berat badan turun karena glukosa tidak dapat masuk ke dalam

sel

f. Sering infeksi karena bakteri hidup dari kelebihan glukosa

g. Penyembuhan tertunda/lama karena naiknya kadar glukosa di

dalam darah menghalangi proses kesembuhan

2. Tipe II

a. Serangan lambat karena sedikit insulin diproduksi

b. Haus meningkat (polydipsia) karena tubuh berusaha membuang

glukosa

c. Urinasi meningkat (polyuria) karena tubuh berusaha membuang

glukosa

d. Infeksi kandida karena bakteri hidup dari kelebihan glukosa

e. Penyembuhan tertunda/lama karena naiknya kadar glukosa di

dalam darah menghalangi proses penyembuhan

3. Gestasional

a. Asimtomatik

b. Beberapa pasien mungkin mengalami haus yang meningkat

(polydipsia) karena tubuh berusaha membuang glukosa.

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Glukosa darah sewaktu
2. Kadar glukosa darah puasa
3. Tes toleransi glukosa
Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)
Bukan DM Belum pasti DM DM
Kadar glukosa darah sewaktu
- Plasma vena
- Darah kapiler < 100 100-200 >200
Kadar glukosa darah puasa <80 80-200 >200
- Plasma vena
- Darah kapiler
<110 110-120 >126
<90 90-110 >110

Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali


pemeriksaan :
1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L)
2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L)3.
3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah
mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl

Menurut McCloskey & Bulechek (2015)


1. Glukosa darah: darah arteri / kapiler 5-10% lebih tinggi daripada darah vena,
serum/plasma 10-15% daripada darah utuh, metode dengan deproteinisasi 5% lebih
tinggi daripada metode tanpa deproteinisasi
2. Glukosa urin: 95% glukosa direabsorpsi tubulus, bila glukosa darah > 160-180%
maka sekresi dalam urine akan naik secara eksponensial, uji dalam urin: + nilai
ambang ini akan naik pada orang tua. Metode yang populer: carik celup memakai
GOD.
3. Benda keton dalam urine: bahan urine segar karena asam asetoasetat cepat
didekrboksilasi menjadi aseton. Metode yang dipakai Natroprusid, 3-
hidroksibutirat tidak terdeteksi
4. Pemeriksan lain: fungsi ginjal ( Ureum, creatinin), Lemak darah: (Kholesterol,
HDL, LDL, Trigleserid), Ffungsi hati, antibodi anti sel insula langerhans ( islet
cellantibody)
F. Komplikasi Diabetes Mellitus

1. Hipoglikemia ( kadar glukosa darah yang abnormal rendah) terjadi

kalau kadar glukosa darah turun dibawah 50 hingga 60 mg/dl (2,7

hingga 3,3 mmol/L). Keadaan ini dapat terjadi akibat pemberian insulin

atau preparat oral yang berlebihan, konsumsi makanan yang telalu

sedikit atau karena aktivitas fisik yang berat. Hipogikemia dapat


terjadi setiap saat pada aat siang atau malam hari. Kejadian ini bisa

dijumpai sebelum makan, khsusnya jika waktu makan tertunda atau bila

pasien lupa makan camilan.

2. Diabetes ketoasidosis

Diabetes ketoasidosis disebabkan oleh tidak adanya insulin atau tidak

cukupnya jumlah insulinyang nyata.keadaan ini mengakibatkan

gangguan pada metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Ada tiga

gambaran klinis yang penting paa diabetes ketoasidosis:

a. Dehidrasi

b. Kehilangan eletrolit

c. Asidosis

Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel

akan berkurang pula. Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi

tidak terkendali. Kedua faktor ini akan menimbulkan hiperglikemia.

Dalam upaya untuk mneghilngkan glukosa yang berlebihan dari dalam

tubuh, ginjal akan mengekskresikan gukosa bersama-sama air dan

elektrolit (seperti natrium dan kalium). Diuresis osmotik yang dtandai

oleh urinasi berlebihan (poliuria) ini akan menyebabkan dehidrasi dan

kehilangan elektrolit. Penderita ketoasidosis diabetik yang berat dapat

kehilangan kira-kira 6,5 lite air dan sampai 400 hingga 500 mEq

natrium, kalium serta klorida selama periode waktu 24 jam


Akibat defisiensi insulin yang lain adalah pemecahan lemak (lipolisis)

menjadi asam-asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak bebas akan

diubah menjadi badan keton oleh hati. Pada ketoasidosis diabetik

terjadiproduksi badan keton yang berlebihan sebagai akibat dari kekurangan

insulin yang secara normal akan mencegah timbulnya keadaan tersebut.

Badan keton bersifat asam, dan bila tertumpuk dalam sirkulasi darah, badan

keton akan menimbulkan asidosis metabolik.

3. Penyakit arteri koroner

Perubahan aterosklerotik dalam pembuluh arteri koroner meyebabkan

peningkatan insiden infark miokard pada penderita diabetes (dua kali lebih

sering pada laki-laki da tga kali lebih sering pada wanita).

Salah sat ciri unik pada penyakit arteri koroner yang diderita oleh pasien-

pasien diabetes adalah tidak terdapatnya gejala iskemik yang khas. Jadi,

pasien mungkin tidak memperlihatkan tanda-anda awal penurunan aliran

darah koroner dan dapat mengalami infark miokard asmptomatik dimana

keluhan nyeri dada atau gejala khas lainnya tidak dialaminya. Infark

miokard asimtomatik ini hanya dijumpai melalui pemeriksaan

elektrokardiogram. Kurangnya gejala iskemik ini disebabkan oleh neuropati

otonom.

4. Penyakit serebrovaskuler

Peubahan aterosklerotik dalam pembuluh darah besar pada ekstremitas

bawah merupakan penyebab menngkatnya insidens (dua atau tiga kali lebih

tinggi dibandingkan pada pasien-pasien diabetes. Tanda-tanda dan


gejala penyakit vaskuler perifer dapat menyangkut berkurangnya denyut

nadi perifer dan klaudikasio intermiten (nyeri pda pantat atau betis ketika

berjalan). Bentiuk penyakit oklusif arteri yang parah pada ektremitas bawah

ini merupakan penyebab utama meningkatnya insidens gangren dan

amputasi pada pasien pasien diabetes.

Nuropati dan gangguan kesembuhan luka juga berperan dalam proes

terjadinya pnyakit kaki pada diabetes

5. Retinopati diabetik

Kelainan patologis mata yang disebut retinopati diabetik disebabkan leh

perubahan dalam pembuluh-pembuluh darah kecil pada retina mata. Retina

eruakan bagian mata yang menerima bayangan dan mengirimkan informasi

tentang bayangan tersebut ke otak. Bagian ini mengandung banyak sekali

pembuluh darah dari berbagai jenis pembuluh darah arteri serta vena yang

kecil, arteriol, venula dan kailer.

6. Nefropati

Penyait diabetes turut menyebbkan kuran lebih 25% ari pasien-pasien

dengan penyakit ginjal stdium terminal yang memerlukan dialisis atau

transplantasi. Pasien diabetes yang menderita penyakit renal stadium awal

sering mengalami hipertensi. Namun, hpertensi esensial terjadi hingga

mencapai 50% dari semua penyandang diabetes dengan penyebab yang

tidak diketahui.

Bukti menunjukkan bahwa segera sesudah terjadi diabetes, khususnya bila

kadar glukosa darah meninggi, maka mekanisme filtrasi ginjal akan


megalami stres yang menyebabkan kebocoran protein darah ke dalam urin.

Sebagai akbatnya, tekanan dalam pembuuh darah ginjal meingkat. Kenaikan

tekanan tersebut diprkirakan berperan sebagai stimulus untuk terjadinya

nefropati.

7. Neuropati diabetes

Neuropati diabetes mengacu pada sekelompok penyakit yang menyerang

semua tipe saraf, termasuk saraf perifer (sensorimotor), otonom dan spiral.

Kelainan tersebut tampak beragam secara klinis dan bergantung pada lokasi

sel saraf yag terkena.

Patogenesis neuropati dalam diabetes dapat diakitkan dengan mekanisme

vaskuler atau metabolik atau keduanya, meskipun perannya yang

berhubungan mekanisme ini maasih belum berhasil ditentukan. Penebalan

membran basalis kapiler dan penutupan kapiler dapat dijumpai.

G. Penatalaksanaan Diabetes Mellitus

a. Penatalaksanaan Medis

Menurut Sugondo (2009) penatalaksaan secara medis sebagai berikut :

a) Obat hiperglikemik Oral

• Golongan sulfoniluria

Cara kerja golongan ini adalah: merangsang sel beta pankreas

untuk mengeluarkan insulin, jadi golongan sulfonuria hanya

bekerja bila sel-sel beta utuh, menghalangi pengikatan insulin,

mempertinggi kepekatan jaringan terhadap insulin dan menekan

pengeluaran glukagon. Indikasi pemberian obat golongan


sulfoniluria adalah: bila berat badan sekitar ideal kurang lebih

10% dari berat badan ideal, bila kebutuhan insulin kurang dari 40

u/hari, bila tidak ada stress akut, seperti infeksi berat/perasi.

• Golongan biguanid

Cara kerja golongan ini tidak merangsang sekresi insulin.

Golongan biguanid dapat menurunkan kadar gula darah menjadi

normal dan istimewanya tidak pernah menyebabkan hipoglikemi.

Efek samping penggunaan obat ini (metformin) menyebabkan

anoreksia, nausea, nyeri abdomen dan diare. Metformin telah

digunakan pada klien dengan gangguan hati dan ginjal,

penyalahgunaan alkohol, kehamilan atau insufisiensi

cardiorespiratory.

• Alfa Glukosidase Inhibitor

Obat ini berguna menghambat kerja insulin alfa glukosidase

didalam saluran cerna sehingga dapat menurunkan penyerapan

glukosa dan menurunkan hiperglikemia post prandial. Obat ini

bekerja di lumen usus dan tidak menyebabkan hipoglikemi dan

tidak berpengaruh pada kadar insulin. Alfa glukosidase inhibitor

dapat menghambat bioavailabilitas metformin. Jika dibiarkan

bersamaan pada orang normal.


• Insulin Sensitizing Agent

Obat ini mempunyai efek farmakolagi meningkatkan sensitifitas berbagai masalah

akibat resistensi insulin tanpa menyebabakan hipoglikemia.

b) Pembedahan Pada penderita ulkus DM dapat juga dilakukan pembedahan yang

bertujuan untuk mencegah penyebaran ulkus ke jaringan yang masih sehat,

tindakannya antara lain :

• Debridement : pengangkatan jaringan mati pada luka ulkus diabetikum.

• Neucrotomi

• Amputasi
H. Penatalaksanaan Keperawatan

A) Pengkajian
1) Identitas
Tn St, usia (DM Tipe 1 Usia < 30 tahun. DM Tipe 2 Usia > 30 tahun, cenderung meningkat pada usia
> 65 tahun), kelompok etnik di Amerika Serikat golongan Hispanik serta penduduk asli Amerika
tertentu memiliki kemungkinan yang lebih besar, jenis kelamin, status, agama, alamat, tanggal MRS
RS. Kardinah / R. Lavender, diagnosa masuk. Pendidikan dan pekerjaan, orang dengan pendapatan
tinggi cenderung mempunyai pola hidup dan pola makan yang salah. Cenderung untuk
mengkonsumsi makanan yang banyak mengandung gula dan lemak yang berlebihan. Penyakit ini
biasanya banyak dialami oleh orang yang pekerjaannya dengan aktivitas fisik yang sedikit.

2) Keluhan utama
(a) Kondisi hiperglikemi:
lemas, rasa haus kurang pengetahuan akan penyakitnya, gelisah .
(b) Kondisi hipoglikemi
Tremor, perspirasi, takikardi, palpitasi, gelisah, rasa lapar, sakit kepala, susah konsentrasi,
vertigo, konfusi, penurunan daya ingat, patirasa di daerah bibir, pelo, perubahan emosional,
penurunan kesadaran.

3) Riwayat penyakit sekarang


Dominan muncul adalah sering kencing, sering lapar dan haus, berat badan berlebih. Biasanya
penderita belum tahu kalau itu penyakit DM, baru tahu setelah memeriksakan diri ke pelayanan
kesehatan.

4) Riwayat kesehatan dahulu


DM dapat terjadi saat kehamilan, penyakit pankreas, gangguan penerimaan insulin, gangguan
hormonal, konsumsi obat-obatan seperti glukokortikoid, furosemid, thiazid, beta bloker,
kontrasepsi yang mengandung estrogen.

5) Riwayat kesehatan keluarga


Menurun menurut silsilah karena kelainan gen yang mengakibatkan tubuhnya tidak dapat
menghasilkan insulin dengan baik.
B) Pemeriksaan Fisik
a) Aktivitas dan Istirahat
Gejala: lemah, letih, sulit bergerak atau beijalan, kram otot, tonus otot menurun, gangguan
istirahat dan tidur.
Tanda: takikardia dan takipnea pada keadaan istirahat atau dengan aktivitas, letargi, disorientasi,
koma.
b) Sirkulasi
Gejala: adanya riwayat penyakit hipertensi, inpark miokard akut, klaudikasi, kebas, kesemutan
pada ekstremitas, ulkus pada kaki, penyembuhan yang lama. Tanda: takikardia, perubahan TD
postural, nadi menurun, disritmia, krekels, kulit panas, kering dan kemerahan, bola mata cekung.
c) Integritas ego
Gejala: stress, tergantung pada orang lain, masalah finansial yang berhubungan dengan kondisi.
Tanda: ansietas, peka rangsang.
d) Eliminasi
Gejala: perubahan pola berkemih (poliuria), nokturia, rasa nyeri terbakar, kesulitan berkemih,
ISK, nyeri tekan abdomen, diare.
Tanda: urine encer, pucat, kuning, poliuri, bising usus lemah, hiperaktif pada diare.
e) Makanan dan cairan
Gejala: hilang nafsu makan, mual muntah, tidak mengikuti diet, peningkatan masukan glukosa
atau karbohidrat, penurunan berat badan, haus, penggunaan diuretik.
Tanda: kulit kering bersisik, turgor jelek, kekakuan, distensi abdomen, muntah, pembesaran
tiroid, napas bau aseton.
f) Neurosensori
Gejala: pusing, kesemutan, kebas, kelemahan pada otot, parastesia, gangguan penglihatan.
Tanda: disorientasi, mengantuk, letargi, stupor/koma, gangguan memori, refleks tendon
menurun, kejang.
g) Pernapasan
Gejala: merasa kekurangan oksigen, batuk dengan atau tanpa sputum. Tanda: pernapsan cepat
dan dalam, frekuensi meningkat.
h) Seksualitas
Gejala: rabas vagina, impoten pada pria, kesulitan orgasme pada wanita.
i) Penyuluhan
Gejala: fakor resiko keluarga DM, PJK, HT, stroke, penyembuhan yang lambat, penggunaan
obat steroid, diuretik, dilantin, fenobarbitol. Mungkin atau tidak memerlukan obat diabetik.
B) Diagnosa Keperawatan
1. Defisit volume cairan berhubungan dengan Kehilangan volume secara aktif ( NANDA NIC NOC
2018-2020)
2. Resiko Infeksi area pembedahan erhubungan dengan Diabetes Militus ( NANDA NIC NOC 2018-
2020)

3. Kurang Pengetahuan berhubungan dengan Keterbatasan Kognitif . ( NANDA NIC NOC 2018-
2020)

4. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan penurunan imunitas ( NANDA NIC NOC 2018-
2020)
Penatalaksaan Keperawatan

No Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional

1. Defisit volume cairan Tujuan: setelah dilakukan Management Cairan (4120)


berhubungan dengan tindakan keperawatan (1) Pantau TTV, catat adanya 1.Tekanan Darah dan Nadi
Kehilangan volume secara diharapkan adanya perubahan TD. dalam batas Normal
aktif keseimbangan volume cairan R/ penurunan volume cairan darah
dan tidak terjadi syok akibat diuresis osmotik dapat
hipovlemik dimanifestasikan oleh hipotensi,
. takikardi, nadi teraba lemah.
Kriteria hasil: TTV stabil
(N.80-88 x/menit, TD: 100-
140/80-90 mmHg, S: 36,5- (2) Timbang berat badan setiap hari 2. berat badan dalam batas
37°C, RR: 16-22 x/menit), nadi dan monitor status pasien normal dan status pasien
perifer teraba, turgor kulit baik, membaik

2. Resiko Infeksi area Tujuan: setelah dilakukan Kontrol Infeksi (6540)


pembedahan erhubungan tindakan keperawatan 1. Bersihkan lingkungan setelah di 1. lingkuan dalam kondisi
dengan Diabetes Militus diharapkan status imun normal, pakai steril
. control resiko supaya tidak
terjadi infeksi
2. Batasi Jmlah pengunjung 2. pengunjung dalam jumlah
Kriteria Hasil : normal minimalisir tejadi nya
Klien bebas dari tanda dan resiko infeksi
gejala infeksi, menunjukan
kemampuan untuk menjaga
timbul nya infeksi, 3. Instruksikan kepada pengunjung agar 3. mencuci tangan sangat
menunjukan perilaku hidup mencuci tangan ketika berkunjung pentng agar terhindar dari
sehat . infeksi
3. Kurang Pengetahuan Tujuan: setelah dilakukan Pengajaran proses penyakit (5602)
berhubungan dengan tindakan keperawatan 1. gambarkan tanda gejala penyakit 1. asal mula penyakit tersebut
Keterbatasan Kognitif . diharapkan adanya terjadi
peningkatan perilaku kesehatan
2. sediakan informasi pada pasien 2. kondisi kemajuan pasien
Kriteria hasil tentang kondisi sangat penting
Pasien dan keluarga mampu
melaksakan prosedur dan
program pengobatan , 3. sediakan informasi bagi keluarga 3. penting nya kemajuan
Pasien dan keluarga tentang kemajuan pasien informasi kondisi pasien bagi
menyatakan pemahamn keluarga
tentang penyakit, pasien dan . 1.
keluarga mampu menjelaskan
kembali apa yang di jelaskan
oleh tenaga kesehatan

4. Kerusakan integritas kulit Tujuan: setelah dilakukan Manajemen tekanan (3500)


berhubungan dengan tindakan keperawatan 1. Anjurkan pasien menggunakan 1) pakaian longgar agar
penurunan imunitas diharapkan integritas kulit pakaian longgar terhindar dari dekubitus
membaik dan tidak teijadi
perluasan kerusakan.
2. Hindari kerutan pada tempat tidur 2. supaya posisi permukaan
Kriteria hasil: badan tetap nyaman dan
Integritas kulit yang baik bisa terhindar dari resiko infeksi
dipertahankan ( Sensasi,
elastistas, temperature, hidrasi 3. jaga kebersihan kulit agar tetap 3. kebersihan kulit sangat di
), tidak ada luka, perfusi bersih dan kering jaga terhindar dari infeksi
jaringan baik
I. Reading Jurnal

Judul/Penulis Tujuan Metodologi Intervensi Hasil


Motivasi Dan Efikasi Tujuan dilakukan Desain dalam Hasil analisis univariat 1) Hasil analisis hubungan
Diri Pasien Diabetes penelitian ini penelitian ini adalah menggambarkan distri- busi motivasi dengan efikasi diri
Melitus Tipe 2 Dalam Penelitian ini deskriptif analitik responden berdasarkan didapatkan sebanyak 19
Asuhan Keperawatan bertujuan cross sectional karakteristik demo- grafi responden (73,1%) memiliki
mengidentifikasi responden (umur, jenis motivasi baik menunjukkan
hubungan antara kelamin, tingkat pendidikan, efikasi diri yang baik.
Penulis : motivasi dan efikasi pekerjaan, status sosial 2) Hasil analisis hubungan
Yesi Ariani1,2*, Ratna diri pasien DM tipe 2 ekonomi, sta- tus pernikahan, dukungan keluarga dengan
Sitorus3, Dewi di RSUP X, Medan. dan lama menderita DM), du- efikasi diri menunjukkan
Gayatri3 kungan keluarga, depresi, bahwa sebanyak 54
motivasi, dan efikasi diri. responden (58,7%) yang
mendapatkan dukung- an
keluarga yang baik
menunjukkan efikasi diri
yang baik.
3) hasil penelitian pada tabel 5,
dapat disimpulkan indi- vidu
yang memiliki motivasi yang
baik berpe- luang 3,736 kali
untuk memiliki efikasi diri
yang baik dibandingkan
dengan individu yang memili-
ki motivasi kurang baik
setelah dikontrol oleh
depresi
4) Hasil penelitian
menggambarkan lebih dari
se- paruh pasien DM tipe 2
(58,7%) di RSUP X, Medan
mendapatkan dukungan yang
baik dari anggota keluarga.
5) Hasil penelitian
menggambarkan lebih dari
se- paruh (60%) pasien DM
tipe 2 di RSUP X Medan
tidak mengalami depresi.
6) Hasil penelitian
menunjukkan bahwa
sebagian besar (76,4%)
responden memiliki motivasi
yang kurang dalam
perawatan DM.
J. Kesimpulan Jurnal

Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada hubungan antara motivasi dengan efikasi
diri. Individu menunjukkan efikasi diri yang baik dibandingkan dengan individu yang
memiliki motivasi kurang baik setelah di- kontrol oleh depresi,Penelitian ini juga menyimpulkan
bahwa tidak ada hubungan antara karakteristik responden dengan efikasi diri, kecuali status
sosial ekonomi. Selain itu, faktor dukungan keluarga dan depresi memiliki hubungan yang
signifikan dengan efikasi diri.

Diharapkan perawat mampu meningkatkan motivasi dan efikasi diri pasien DM tipe
2 dengan memberikan pendidikan kesehatan terstruktur. Selain itu, dukungan baik fisik maupun
psikologis dari perawat, keluarga, dan kelompok pendukung agar pasien mampu mengelola
penyakitnya dengan baik.
MOTIVASI DAN EFIKASI DIRI PASIEN DIABETES MELITUS TIPE 2
DALAM ASUHAN KEPERAWATAN
Yesi Ariani1,2*, Ratna Sitorus3, Dewi Gayatri3
1. Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, Medan 20155, Indonesia
2. Program Studi Magister Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia
3. Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

*Email: yesiariani@yahoo.com

Abstrak
Efikasi diri diperlukan bagi pasien Diabetes Mellitus (DM) tipe 2 untuk meningkatkan kemandirian pasien dalam mengelola
penyakitnya. Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi hubungan antara motivasi dan efikasi diri pasien DM tipe 2 di RSUP X,
Medan. Desain dalam penelitian ini adalah deskriptif analitik cross sectional dengan jumlah sampel 110 pasien DM tipe 2.
Analisis data menggunakan Chi square, uji t independen, dan regresi logistik berganda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
karakteristik responden tidak ada yang berhubungan dengan efikasi diri, kecuali status sosial ekonomi (p= 0,046; α= 0,05).
Ada hubungan antara dukungan keluarga, depresi, dan motivasi dengan efikasi diri (p= 0,01, 0,026, 0,031; α= 0,05). Individu
yang memiliki motivasi yang baik berpeluang 3.736 kali menunjukkan efikasi diri yang baik dibandingkan dengan individu
yang memiliki motivasi kurang baik setelah dikontrol depresi (CI 95% OR= 1.35; 10,32). Hasil ini me- rekomendasikan
perawat untuk dapat meningkatkan motivasi dan efikasi diri pasien DM tipe 2 dengan memberikan pendidik- an kesehatan
terstruktur, memfasilitasi pemberian dukungan sosial, dan memberikan intervensi untuk mencegah munculnya depresi.

Kata kunci: efikasi diri, DM tipe 2, motivasi

Abstract
Self-efficacy is required for patient with type 2 diabetes in managing the disease independently. This study aimed to identify
the relationship between motivation and self-efficacy in patient with type 2 diabetes in X Hospital Medan. This study was a
cross sectional analytic, recruited 110 respondents. Statistical analysis used for this study was chi-square, independent t-test,
and multiple logistic regression. The results showed that the characteristic of respondents were not associated with self-
efficacy, except sosioeconomic state (p= 0.046; α= 0.05). There were relationships between family support, depression, and
motivation and self efficacy (p= 0.010, 0.026, 0.031; α= 0.05). People with good motivation had chance 3.736 times more
to show a good self-efficacy than people with average motivation as this condition had been controlled by depression (CI 95%
OR= 1.35; 10.32). It is recommended that nurses would be able to enhance motivation and self-efficacy of type 2 diabetes
patients through developing structrured educational programmes, facilitating the social support, and providing intervention
to prevent depression symptoms.
Keywords: type 2 diabetes, self-efficacy, motivation

terjadi akibat kelainan sekresi insulin, kerja


Pendahuluan insulin atau keduanya (American Diabetes
Assosiation, 2004, dalam Smeltzer & Bare,
Diabetes Mellitus (DM) merupakan sekelompok
2008). Diabetes me- litus sudah menjadi salah
penyakit metabolik dengan karakteristik pening-
satu ancaman bagi ke- sehatan umat manusia
katan kadar glukosa darah (hiperglikemia) yang
pada abad 21.
Jumlah penderita diabetes melitus di Indonesia,
menurut IDF diperkirakan pada 2020 nanti akan didapatkan 8,2 juta pasien dengan diabetes
me- litus (Soegondo, Soewondo, &
Subekti, 2009). Tingginya angka tersebut
menjadikan Indonesia peringkat keempat
jumlah penderita diabetes me- litus
terbanyak di dunia setelah negara Amerika
Serikat, India, dan Cina (Suyono, 2006).
Berdasar- kan data Surveilens Terpadu
Penyakit (STP) tahun 2009, kasus diabetes
melitus di Propinsi Sumatera Utara
mencapai sejumlah 108 pasien yang dira-
wat di rumah sakit dan sejumlah 934 pasien
di- rawat di puskesmas selama Januari
hingga Juni 2009 (Supriadi, 2009).
30

Perubahan tersebut meliputi kepatuhan diet,


Mengingat jumlah pasien DM yang terus mening- latih- an fisik, dan penurunan HbA1c.
kat dan besarnya biaya perawatan pasien DM, Sedangkan, untuk penurunan berat badan
maka upaya yang paling baik dilakukan adalah tidak terjadi perubahan signifikan.
pencegahan. Upaya pencegahan ini memerlukan
keterlibatan semua pihak baik dokter, perawat,
Pasien perlu memiliki pengetahuan yang
ahli gizi, keluarga, dan pasien itu sendiri. Perawat
benar, motivasi, dan efikasi diri yang tinggi
sebagai edukator sangat berperan untuk mening-
untuk me- ningkatkan aktivitas perawatan
katkan pengetahuan pasien mengenai DM, mem-
diri dan men- cegah komplikasi DM.
berikan informasi yang tepat pada pasien DM
Berdasarkan hasil wa- wancara pada studi
mengenai penyakit, pencegahan, komplikasi, pe-
pendahuluan di RSUP X Medan,
ngobatan, dan pengelolaan DM (Suyono, 2006),
didapatkan pasien memiliki motivasi yang
termasuk didalamnya antara lain memberi mo-
kurang dan kurang yakin akan kemampu-
tivasi dan meningkatkan efikasi diri (Wu, et al.,
annya untuk melakukan perawatan diri,
2007).
seperti pemeriksaan kadar glukosa darah
mandiri, pe- ngontrolan diet, dan olah raga.
Efikasi diri merupakan gagasan kunci dari teori
sosial kognitif (social cognitive theory) yang
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk
dikembangkan oleh Albert Bandura. Bandura
meneliti lebih lanjut bagaimanakah
(1997) mendefinisikan bahwa efikasi diri sebagai
hubungan antara mo- tivasi dengan efikasi
keyakinan individu akan kemampuannya untuk
diri pasien DM tipe 2 di RSUP X Medan.
mengatur dan melakukan tugas-tugas tertentu yang
Adapun tujuan umum dalam pe- nelitian ini
dibutuhkan untuk mendapatkan hasil sesuai yang
adalah untuk mengidentifikasi hu- bungan
diharapkan. Ia menyatakan bahwa efikasi diri
antara motivasi dengan efikasi diri pasien
bersumber dari pengalaman individu, pengalaman
DM tipe 2 di RSUP X Medan.
orang lain, persuasi sosial serta kondisi fisik dan
emosional.
Metode
Selain itu, efikasi diri dapat terbentuk dan ber-
Penelitian ini menggunakan desain
kembang melalui empat proses yaitu kognitif,
penelitian analitik cross sectional dengan
motivasional, afektif dan seleksi. Intervensi ke-
jumlah sampel 110 pasien DM tipe 2.
perawatan untuk meningkatkan efikasi diri pa-
Sampel pada penelitian ini adalah pasien
sien dapat dilakukan melalui pendekatan pada
DM tipe 2 yang berobat jalan di poliklinik
empat sumber dan proses efikasi diri tersebut
endokrin RSUP X Medan pada bulan
(Stipanovic, 2003).
November 2010. Teknik pengambilan
sampel dengan menggunakan teknik
Hasil penelitian Osborn (2006) yang menjelas- purposive sampling.
kan dengan menggunakan Information, Moti-
vation, and Behavioral Model (IMB Model) Adapun kriteria inklusinya adalah; pasien
menunjukkan bahwa sebelum dilakukan inter- DM tipe 2 yang telah menderita DM selama
vensi kedua kelompok responden baik kelompok > 4 bulan dan < 11 tahun, mampu membaca,
kontrol maupun intervensi menunjukkan penge- menulis dan berbahasa Indonesia dan
tahuan, motivasi, dan perilaku yang hampir se- bersedia menjadi res- ponden. Penelitian ini
bagian responden masih rendah. Namun, sete- lah dilakukan dengan meng- gunakan pedoman
pemberian informasi dan motivasi selama 3 (tiga) etika penelitian self deter- mination,
bulan pada kelompok intervensi telah ter- jadi privacy, anonymity, informed consent dan
perubahan perilaku ke arah yang lebih baik. protection from discomfort.
31

Pengumpulan data dengan menggunakan kuesi-


oner karakteristik demografi responden, kuesio-
ner motivasi, efikasi diri, skala dukungan keluarga,
32

Tabel 1. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin, Tingkat Pendidikan, Pekerjaan, dan Status Pernikahan

Variabel Kategori n (%)


Jenis Kelamin Laki – laki 44 40
Perempuan 66 60

Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah 2 1,8


SD 16 14,5
SMP 17 15,5
SMA 40 36,4
Perguruan Tinggi 35 31,8

Pekerjaan Tidak Bekerja 72 65,5


Petani/ Pedagang/ Buruh 6 5,5
PNS/ TNI/ POLRI 24 21,8
Lain – lain 8 7,3

Status Pernikahan Menikah 86 78,2


Duda/ Janda 24 21,8

dan skala depresi. Kuesioner motivasi dimodifi- Hasil


kasi dari Treatment Self-Regulation Question-
naire (TSRQ) yang bertujuan untuk menilai Karakteristik Responden
motivasi responden dalam penatalaksanaan DM Hasil analisis univariat menggambarkan
yang terdiri dari 17 pernyataan. Kuesioner efikasi distri- busi responden berdasarkan
diri dimodifikasi dari The Diabetes Manage- karakteristik demo- grafi responden (umur,
ment Self-Efficacy Scale for tipe 2 DM (DMSES) jenis kelamin, tingkat pendidikan,
yang terdiri atas 15 pernyataan. pekerjaan, status sosial ekonomi, sta- tus
pernikahan, dan lama menderita DM), du-
Skala dukungan keluarga dan depresi menggu- kungan keluarga, depresi, motivasi, dan
nakan Numerical Rating Scale (NRS). Setelah efikasi diri. Analisis karakteristik demografi
dilakukan uji validitas dan reliabilitas, kuesioner responden sebagai berikut; rerata umur
motivasi memiliki nilai alpha 0.839 dengan nilai r= responden 59,32 ± SD tahun dengan
0,258 – 0,603 dan kuesioner efikasi diri memili- ki penghasilan responden per bulan
nilai alpha 0,904 dan nilai r= 0,206 – 0,751. Rp1.952.910,00 ± SD, dan rerata lama
menderita DM 6.05 ± SD tahun.
Analisis data dilakukan dengan menggunakan
uji Chi-Square dan uji t independent. Uji Chi- Pada penelitian ini, responden sebagian
Square untuk mengidentifikasi hubungan antara besar berjenis kelamin perempuan (60%),
motivasi, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pe- sebanyak 36,4% berpendidikan SMA,
kerjaan, status pernikahan, dukungan keluarga, sebanyak 65,5% responden tidak bekerja,
dan depresi dengan efikasi diri pasien DM tipe 2. dan mayoritas respon- den masih memiliki
Uji t independent untuk mengidentifikasi hu- pasangan hidup (78,2%) (lihat pada tabel 1).
bungan antara umur, status sosial ekonomi dan
lama DM terhadap efikasi diri pasien DM tipe 2. Pada tabel 2 menunjukkan bahwa mayoritas
Analisis multivariat dalam penelitian ini meng- res- ponden mendapatkan dukungan
gunakan uji regresi logistik berganda dengan model keluarga yang baik (83,6%), sebanyak 60%
faktor risiko. responden tidak me- ngalami depresi,
sebanyak 76,4% memiliki mo- tivasi yang
33

kurang baik, dan sebanyak 52,7% responden


memiliki efikasi diri yang baik.
34

Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga, Depresi, Motivasi, dan Efikasi Diri Responden

Variabel Kategori N (%)

Dukungan keluarga Kurang 18 16,4


Baik 92 83,6

Depresi Tidak depresi 66 60


Depresi 44 40

Motivasi Kurang baik 84 76,4


Baik 26 23,6

Efikasi Diri Kurang baik 52 47,3


Baik 58 52,7

Hubungan antara Karakteristik ada hubungan dukungan keluarga dengan


Demografi Responden dengan efikasi
Efikasi Diri

Berdasarkan hasil pada tabel 3, menunjukkan


bahwa hanya variabel status sosial ekonomi yang
berhubungan dengan efikasi diri (p= 0,046; α=
0,05). Hal ini berarti umur, jenis kelamin, ting- kat
pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, dan
lama DM kurang berhubungan dengan efikasi diri
(p>α).

Hubungan antara Motivasi,


Dukungan Keluarga, dan Depresi
dengan Efikasi Diri

Hasil analisis hubungan motivasi dengan efikasi


diri didapatkan sebanyak 19 responden (73,1%)
memiliki motivasi baik menunjukkan efikasi diri
yang baik. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
ada hubungan antara motivasi dengan efikasi diri
(p= 0,03; α= 0,05). Berdasarkan nilai OR, dapat
disimpulkan responden dengan moti- vasi yang
baik memiliki peluang 3,13 kali me- nunjukkan
efikasi diri yang baik dibandingkan dengan
responden yang memiliki motivasi yang kurang
baik (CI 95% OR= 1,19; 8,24) (lihat
pada tabel 4).

Hasil analisis hubungan dukungan keluarga dengan


efikasi diri menunjukkan bahwa sebanyak 54
responden (58,7%) yang mendapatkan dukung-
an keluarga yang baik menunjukkan efikasi diri
yang baik. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa
35

diri (p= 0,01; α= 0,05). Berdasarkan nilai OR,


dapat disimpulkan bahwa responden yang men-
dapatkan dukungan keluarga yang baik memiliki
peluang 4,97 kali menunjukkan efikasi diri yang
baik dibandingkan responden yang kurang men-
dapat dukungan keluarga (CI 95% OR= 1,52;
16,29) (lihat pada tabel 4).

Hasil analisis hubungan depresi dengan efikasi


diri menunjukkan bahwa 41 responden (62,1%)
yang tidak mengalami depresi menunjukkan efi-
kasi diri yang baik. Hasil uji statistik menunjuk-
kan ada hubungan dukungan keluarga dengan
efikasi diri (p= 0,03; α= 0,05). Berdasarkan nilai
OR, dapat disimpulkan responden yang tidak
depresi memiliki peluang 2,61 kali menunjukkan
efikasi diri yang baik dibandingkan dengan res-
ponden yang mengalami depresi (CI 95% OR=
1,19;5,71) (lihat pada tabel 4).

Hubungan Motivasi dengan


Efikasi Setelah Dikontrol oleh
Variabel Konfonding
Untuk mengetahui hubungan motivasi dengan
efikasi setelah dikontrol oleh variabel konfon-
ding, penelitian ini menggunakan regresi logis-
tik dengan model faktor resiko. Berdasarkan hasil
penelitian pada tabel 5, dapat disimpulkan indi-
vidu yang memiliki motivasi yang baik berpe-
luang 3,736 kali untuk memiliki efikasi diri yang
baik dibandingkan dengan individu yang memili-
ki motivasi kurang baik setelah dikontrol oleh
depresi (CI 95% OR: 1,351;10,332).
36

Tabel 3. Hubungan Karakteristik Demografi Responden

Variabel p

Umur 0,513
Jenis kelamin 0,508
Tingkat pendidikan 1,000
Pekerjaan 1,000
Status sosial ekonomi 0,046*
Status pernikahan 0,593
Lama DM 0,180

* signifikan pada α= 0,05

Pembahasan terkait dengan kemampuan untuk


menyelesai- kan masalah yang dihadapi dan
Karakteristik Demografi berusaha men- capai kesuksesannya
Responden dengan Efikasi Diri (Bandura, 1994). Dalam penelitian yang
Hasil penelitian mengenai hubungan karakteris- dilakukan oleh Quackenbush, Brown, dan
tik demografi responden dengan efikasi diri me- Dunchin (1996 dalam Butler, 2002), yang
nunjukkan tidak ada hubungan antara karakte- menyatakan bahwa lansia lebih memiliki ke-
ristik demografi responden dengan efikasi diri percayaan mengenai kemampuannya untuk
kecuali status sosial ekonomi. Wu, et al. (2007) me- ngelola dan mengontrol diabetesnya
dalam penelitiannya mendapatkan bahwa tidak dengan lebih baik dibandingkan dengan
ada hubungan antara umur, jenis kelamin, ting- dewasa muda.
kat pendidikan dengan efikasi diri pasien DM
tipe 2. Status pekerjaan berhubungan dengan
aktuali- sasi diri seseorang dan mendorong
Berbeda dengan penelitian Stipanovic (2003) seseorang lebih percaya diri dan
yang menjelaskan bahwa ada hubungan anta- ra bertanggung jawab untuk menyelesaikan
tingkat pendidikan dengan efikasi diri dan tugas. Namun, responden yang bekerja
perilaku perawatan diri DM dimana responden kemungkinan besar memiliki kegiatan
yang memiliki pendidikan tinggi memiliki efika- si yang padat dan mengalami stres yang tinggi
diri yang baik. Menurut Ford, Tilley, dan Mc- ter- hadap pekerjaan sehingga dapat
Donald, (1998), yang menjelaskan bahwa pen- mempengaruhi efikasi dirinya dalam
didikan secara positif mempengaruhi kesehatan pengelolaan penyakit dia- betesnya.
dan kontrol glikemik. Responden yang tidak bekerja lebih me-
miliki banyak waktu untuk mengelola
Efikasi diri pada lanjut usia berfokus pada pe- penyakit diabetesnya.
nerimaan dan penolakan terhadap kemampuan-
nya seiring dengan kemunduran fisik dan inte- Secara statistik diperoleh hasil bahwa ada
lektual yang dialami. Sedangkan, pada usia de- hu- bungan antara status sosial ekonomi
wasa berfokus pada efikasi diri yang dimiliki dengan efi- kasi diri responden di RSUP X,
Medan (p= 0,046; α= 0,05). Hasil penelitian
37

Rubin (2000) yang me- nemukan bahwa pasien


DM dengan penghasil- an baik berpengaruh
positif terhadap kesehatan dan kontrol glikemik.
38

Tabel 4. Hubungan antara Motivasi, Dukungan Keluarga dan Depresi terhadap Efikasi Diri Responden

Efikasi Diri
OR
Kurang Baik p
Variabel (95% CI)
n % n %

Motivasi
• Kurang baik 45 53,6 39 46,4 1
• Baik 7 26,9 19 73,1 3,13 0,03*
(1,19-8,24)
Dukungan Keluarga
• Kurang 14 77,8 4 22,2 1
• Baik 38 41,3 54 58,7 4,974 0,01*
(1,52-16,29)
Depresi
• Depresi 27 61,4 17 38,6 1
• Tidak depresi 25 37,9 41 62,1 2,605 0,03*
(1,19-5,71)

Status sosial ekonomi dan pengetahuan menge- Hanya status sosial ekonomi yang
nai diabetes mempengaruhi seseorang untuk me- berhubungan dengan efikasi diri.
lakukan manajemen perawatan diri dengan DM. Sedangkan umur, jenis ke- lamin,
Dengan keterbatasan finansial akan membatasi pendidikan, pekerjaan, status pernikah- an,
pasien mencari informasi tentang penyakitnya dan dan lama DM tidak berhubungan dengan
mem-pengaruhi motivasi dan efikasi diri pasien efi- kasi diri.
untuk melakukan perawatan sehingga mengganggu
dalam terapi medis dan perawatan DM (Butler,
Hubungan Dukungan
2002).
Keluarga dengan Efikasi Diri
Wu, et al. (2007) menyatakan bahwa efikasi diri Hasil penelitian menggambarkan lebih dari
responden tidak berhubungan dengan keberada- se- paruh pasien DM tipe 2 (58,7%) di
an pasangan hidup. Hal itu juga diperkuat oleh RSUP X, Medan mendapatkan dukungan
penelitian Kott (2008) yang menyatakan bahwa yang baik dari anggota keluarga. Hasil uji
tidak ada hubungan antara status pernikahan statistik menunjuk- kan bahwa ada
dengan efikasi diri dan kontrol glikemik. hubungan yang signifikan an- tara
dukungan keluarga dengan efikasi diri (p=
Lamanya mengalami DM tipe 2 tidak berhubung- 0,010; α= 0,05; 95% CI: 1,152; 16,286).
an dengan efikasi diri bisa disebabkan karena
dengan lamanya mengalami DM, akan terjadi Berdasarkan nilai OR dapat disimpulkan
banyak kerusakan sel dan fungsi dalam tubuh bahwa responden yang mendapat
sehingga semakin mudah muncul berbagai gang- dukungan keluarga memiliki peluang 4,97
guan fisik dan metabolik atau dengan kata lain kali menunjukkan efikasi diri yang baik
sudah terjadi komplikasi. Seseorang dengan dibanding responden yang kurang
komplikasi akan mengalami kesulitan dalam me- mendapatkan dukungan keluarga. Hasil
lakukan perawatan diri karena adanya berbagai pene- litian ini didukung oleh penelitian
gangguan dan keterbatasan yang dapat menye- Belgrave dan Lewis (1994, dalam Wu,
babkan efikasi diri pasien menjadi rendah (Bernal, 2007), yang menyata- kan bahwa
et al., 2000). dukungan keluarga memiliki hu- bungan
39

yang signifikan dengan efikasi diri, pe- rilaku


kesehatan yang positif dan kepatuhan dalam
melakukan aktivitas perawatan diri dengan DM.
40

Tabel 5. Hasil Pemodelan Akhir Variabel Utama dan Variabel Konfonding dengan Efikasi Diri Responden

Variabel B p OR CI 95%

Motivasi
• Kurang 1
• Baik 3,318 0,011 3,736 1,351; 10,332
Depresi
• Depresi 1
• Tidak depresi 1,108 0,009 3,029 1,320; 6,948

Constant -0,846 0,018 0,492

Adanya dukungan keluarga sangat membantu dapat meningkatkan efikasi diri dan
pasien DM tipe 2 untuk dapat meningkatkan mekanisme koping dari pasien.
keyakinan akan kemampuan pasien dalam me-
lakukan tindakan perawatan diri DM (Skarbek, Hubungan Depresi dengan
2006). Pasien DM tipe 2 yang berada dalam Efikasi Diri
lingkungan keluarga dan diperhatikan oleh ang-
gota keluarganya akan dapat menimbulkan pe- Hasil penelitian menggambarkan lebih dari
rasaan nyaman dan aman sehingga akan tumbuh se- paruh (60%) pasien DM tipe 2 di RSUP
rasa perhatian terhadap diri sendiri dan mening- X Medan tidak mengalami depresi. Hasil
katkan motivasi untuk melaksanakan perawatan penelitian ter- hadap hubungan depresi
diri. dengan efikasi diri me- nunjukkan bahwa
mayoritas (62,1%) responden yang tidak
Mills (2008) menyatakan bahwa ada beberapa mengalami depresi memiliki efikasi diri
hal penting yang dapat dilakukan untuk mendu- yang baik. Sebaliknya 61,4% responden
kung anggota keluarga yang menderita DM. yang mengalami depresi memiliki efikasi
Salah satu cara adalah meningkatkan kesadaran diri yang kurang baik.
diri untuk mengenali penyakit DM. Kesadaran
akan prognosis DM yang tidak dapat disembuh- Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
kan, memberikan kesadaran diri pasien untuk me- ada hubungan yang signifikan antara
ngelola penyakitnya. kejadian dep- resi dengan efikasi diri (p=
0,026; α= 0,05). Hal ini sesuai dengan
Bentuk kegiatan lain yang dapat diberikan dalam penelitian Ikeda, et al. (2000 dalam
rangka memberi dukungan kepada anggota ke- Skarbek, 2006) yang menemukan bahwa
luarga yang sakit adalah dengan tinggal ber- adanya hubungan antara kecemasan,
samanya. Selain itu, memberikan bantuan, me- depresi, efikasi diri, regulasi gula darah dan
nyediakan waktu, mendorong untuk terus belajar mekanisme koping pada pasien DM tipe 2.
dan mencari tambahan pengetahuan mengenai
DM. Depresi dapat berkontribusi pada penurunan
fungsi fisik dan emosional yang dapat
Saltzman dan Holahan (2002 dalam Skarbek, menye- babkan seseorang menjadi
2006) menjelaskan bahwa dukungan dari kelu- kehilangan motivasi untuk melakukan
arga pada pasien DM tipe 2 dapat menurunkan perawatan diri harian secara rutin (Lustman,
gejala depresi secara tidak langsung, sehingga 2000 dalam Wu, 2007). Pasien DM tipe 2
yang mengalami depresi cenderung lebih
41

mudah menyerah dengan keadaannya di-


bandingkan dengan pasien yang tidak mengalami
depresi.
42

Williams, et al. (1998 dalam Butler, 2002)


Bandura (1997) menjelaskan bahwa kondisi me- nyatakan bahwa lingkungan sosial,
emosional mempengaruhi seseorang dalam me- keluarga, dan tenaga kesehatan berpengaruh
ngambil keputusan terkait efikasi dirinya. Se- dalam me- ningkatkan motivasi dan
seorang yang memiliki keyakinan akan ke- perubahan perilaku pasien. Dukungan
mampuan dirinya untuk menyelesaikan berba- gai keluarga juga berhubungan dengan gejala
masalah, maka ia akan memilih dan melaku- kan depresi pada pasien DM tipe 2. Dukungan
tindakan yang bermanfaat dan efektif untuk keluarga yang suportif akan men- cegah
menyelesaikan masalahnya dengan baik. atau menurunkan gejala depresi pada pasien
DM tipe 2. Sebaliknya, dukungan yang non
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa dep- suportif dapat meningkatkan terjadinya
resi merupakan faktor konfonding terhadap efi- gejala depresi pada pasien DM tipe 2
kasi diri. Hasil penelitian ini lebih lanjut menun- (Skarbek, 2006).
jukkan bahwa responden yang tidak mengalami
depresi menunjukkan efikasi yang baik 2,605 Depresi dapat berkontribusi terhadap
kali dibandingkan dengan responden yang me- penurun- an fungsi fisik dan mental yang
ngalami depresi (CI 95% OR= 1,19; 5,471). menyebabkan pasien DM tipe 2 kehilangan
Responden yang tidak mengalami depresi ber- motivasi untuk melakukan perawatan diri
arti memiliki kondisi emosional dan koping yang harian. Sehingga ter- jadi gangguan kontrol
baik sehingga memiliki keyakinan untuk me- glikemik dan beresiko terjadinya
motivasi diri sendiri dan berprilaku sesuai dengan komplikasi lebih lanjut (Lustman, 2000
tujuan yang diharapkan. dalam Wu, 2007).

Hubungan antara Motivasi dengan Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa


Efikasi Diri ada- nya hubungan antara motivasi dengan
efikasi diri responden di RSUP X Medan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian setelah dikon- trol oleh variabel depresi.
besar (76,4%) responden memiliki motivasi yang Responden yang me- miliki motivasi yang
kurang dalam perawatan DM. Hal ini sesuai baik mempunyai peluang 3,736 kali
dengan penelitian yang dilakukan William, et al. menunjukkan efikasi diri yang baik
(1998 dalam Butler 2002) yang menyatakan dibandingkan dengan responden yang
bahwa motivasi sebagian besar pasien kurang memili- ki motivasi yang kurang baik
dalam perawatan diri. setelah dikontrol oleh variabel depresi (CI
95% OR= 1,351 ; 10,322).
Hasil penelitian terhadap hubungan motivasi
dengan efikasi diri menunjukkan responden yang Pada hasil penelitian ini didapatkan bahwa
memiliki motivasi yang baik menunjukkan efi- fak- tor internal dari diri individu sangat
kasi diri yang baik. Hasil analisis statistik me- berpengaruh terhadap efikasi diri, yaitu
nunjukkan bahwa ada hubungan antara motiva- si motivasi dan depresi. Efikasi diri
dengan efikasi diri (p= 0,031; α= 0,05). merupakan suatu bentuk perilaku kesehatan.
Menurut Bloom (dalam Notoatmodjo,
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sese- 2005), menjelaskan bahwa perilaku yang
orang yang memiliki motivasi yang tinggi akan terben- tuk di dalam diri seseorang
menunjukkan hasil yang positif dalam pengelo- dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu
laan DM seperti peningkatan partisipasi dalam stimulus yang merupakan fak- tor dari luar
program latihan fisik dan melaporkan gejala diri seseorang (faktor eksternal) dan respons
depresi yang rendah (Talbot & Nouwen, 1999 yang merupakan faktor dari dalam diri
dalam Wu, 2007). orang yang bersangkutan (faktor internal).
43

Faktor eksternal merupakan faktor lingkungan


baik fisik seperti iklim, cuaca maupun non-fisik
dalam bentuk sosial, budaya, ekonomi, politik,
44

dengan metode atau modul tertentu terhadap


dan sebagainya. Sedangkan faktor internal ada- efi- kasi diri pasien DM tipe 2 atau pengaruh
lah perhatian, pengamatan, persepsi, motivasi, self- help group terhadap efikasi diri pasien
fantasi, sugesti, depresi, dan sebagainya yang DM (SS, ENT, KN).
merespon stimulus dari luar.

Jika seorang individu tidak berminat atau ter- Referensi


motivasi untuk merespon stimulus dari lingkung-
an luar seperti dukungan sosial, keluarga, dan Bandura, A. (1994). Self efficacy.
Diperoleh dari
lingkungan maka akan sulit untuk merubah peri- http://www.des.emory.edu/mfp/BanEncy
lakunya ke arah yang positif. Misalnya, pada . html.
individu yang mengalami depresi yang sulit untuk
menerima stimulus dari luar dirinya. Bandura, A. (1997). Self-efficacy: The
exercise of control. Diperoleh dari
Seberapa besar pun keluarga dan lingkungan http://www.des.
emory.edu/mfp/effbook5.html.
memberikan dukungan, tidak akan merubah
perilaku individu tersebut, jika tidak ada keingin- Butler, H.A. (2002). Motivation: The role in
an dari individu itu sendiri untuk berubah. Hasil diabetes self-management in older adults.
penelitian menegaskan pada hubungan antara Diperoleh dari http://proquest. umi.com/pq
motivasi dengan efikasi diri. Depresi merupakan dweb.
faktor konfonding dalam hubungan antara moti-
vasi dan efikasi diri. Ford, M.E., Tilley, B.C., & McDonald, P.E.
(1998). Social support among African-
American adults with diabetes, part 2: A
Kesimpulan review. Journal of The National Medical
Association 90 (7). Diperoleh dari
Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada hu- http://www.medscape.com.
bungan antara motivasi dengan efikasi diri. In-
dividu yang memiliki motivasi yang baik me- Notoatmodjo, S. (2003). Pendidikan dan
miliki peluang 3,736 kali menunjukkan efikasi perilaku kesehatan. Jakarta: PT. Rineka
diri yang baik dibandingkan dengan individu Cipta.
yang memiliki motivasi kurang baik setelah di-
kontrol oleh depresi (CI 95% OR= 1,351; 10,322). Notoatmodjo, S. (2005). Promosi kesehatan:
Teori dan aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.
Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa tidak
ada hubungan antara karakteristik responden Osborn, C.Y. (2006). Using the IMB models
dengan efikasi diri, kecuali status sosial ekonomi. of health behavior change to promote
Selain itu, faktor dukungan keluarga dan dep- resi self- management behaviors in Puerto
memiliki hubungan yang signifikan dengan efikasi Rican with diabetes. Diperoleh dari
diri. http://proquest. umi.com/pqdweb.

Diharapkan perawat mampu meningkatkan mo- Rubin, R.R. (2000). Psychotheraphy and
conselling in diabetes mellitus.
tivasi dan efikasi diri pasien DM tipe 2 dengan
Psychology in Diabetes Care, 235-263.
memberikan pendidikan kesehatan terstruktur. Chickester: John Wiley & Sons, Ltd.
Selain itu, dukungan baik fisik maupun psiko-
logis dari perawat, keluarga, dan kelompok pen- Skarbek, E.A. (2006). Psychosocial
dukung agar pasien mampu mengelola penya- predictors of self care behaviors in type
kitnya dengan baik. Bagi penelitian selanjutnya, 2 diabetes mellitus patient: Analysis of
dapat diteliti pengaruh pendidikan kesehatan social support, self-efficacy, and
depression (Dissertation, Texas Tech
45

University Health Science Center). Texas Tech


University, USA. Diperoleh dari
http://citeseerx.ist.psu.edu.
46

Smeltzer, S., & Bare, B.G. (2008). Brunner & Suddarth’s textbook of medical surgical nursing.
Philadelpia: Lippincott.

Soegondo, S., Soewondo, P., & Subekti, I. (2009). Penatalaksanaan diabetes melitus terpadu. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.

Stipanovic, A.R. (2003). The effects of diabetes education on self-efficacy and self care (Thesis master, University
of Manitoba). University of Manitoba, Canada. Diperoleh dari http://proquest.umi.com/pqdweb.

Supriadi, T. (2009). Rumah Sakit di Sumut belum berikan data penyakit. Waspada Online. Diperoleh dari
http://www.waspada.co.id/.

Suyono, S. (2006). Buku ajar ilmu penyakit dalam (Edisi 3). Jakarta: Pusat penerbit Departemen Penyakit Dalam
FKUI
47

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth (2010). Buku Ajar Keperawatan Medlkal - Bedah Ed. 8. Jakarta: EGC.
Carpenito & Moyet (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC.
Doenges, dkk., (2000). Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. Jakarta: EGC.

Hasdiana. (2012). Mengenal Diabetes Melitus Pada Orang Dewasa dan Anak- Anak dengan Solusi Herbal,
Yogyakarta: Nuha Medika.

http://www.kemkes.go.id/ di akses pada tanggal 24 Juni 2019

Hasil Riskesdas (2013). https://www.google.com/search?client=firefox-b-d&q= riskesdas+2013 diakses

pada tanggan 23 Juni 2019

Smeltzer& Bare. (2010) .Keperawatan Medikal BedahVol 2 edisi 8.EGC. Jakarta

Soegondo, S dkk. (2009). Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu edisi 2.


Balai Penerbit Fakultas Kedokteran universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai