Anda di halaman 1dari 18

PRAKTIKUM II

STUDI KASUS RAWAT INAP MEDIK


DIABETES MELITUS

I. TUJUAN
Mahasiswa dapat memahami dan mengevaluasi tatalaksana terapi pada penyakit yang
berhubungan dengan diabetes mellitus

II. TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Diabetes Melitus Tipe II

II.1.1. Definisi
Diabetes Melitus
Menurut American Diabetes Association/ADA 2010 dikutip dari
PERKENI 2011 Diabetes Melitus (DM) merupakan penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikimia yang terjadi karena kelainan sekresi
insulin, kerja insulin atau kedua–duanya, seseorang didiagnosa Diabetes
Melitus jika kadar gula darah sewaktu <200 mg/dl dan kadar gula darah
puasa >126mg/dl. Diabetes Melitus adalah sindrom yang disebabkan oleh
terganggunya insulin di dalam tubuh sehingga menyebabkan hiperglikemia
yang disertai abnormalitas metabolisme karbohidrat, lemak dan protein
(Donelly, 2015). Pada diabetes, kemampuan tubuh untuk bereaksi terhadap
insulin dapat menurun, atau pankreas dapat menghentikan sama sekali
produksi insulin. Keadaan ini menimbulkan hiperglikemia yang dapat
mengakibatkan komplikasi metabolik akut seperti diabetes ketoasidosis
dan sindrom hiperglikemik hiperosmoler nonketotik. Hiperglikemia jangka
panjang dapat menyebabkan
komplikasi mikrovaskuler yang kronis (penyakit ginjal dan mata) dan
komplikasi neuropati (penyakit pada saraf). Diabetes juga disertai dengan
peningkatan insiden penyakit makrovaskuler yang mencakup infak
miokard, stroke dan penyakit vaskuler perifer. (Smeltzer, 2002). Terdapat
klasifikasi DM menurut American Diabetes Association (ADA) Tahun
2010, meliputi DM tipe I, DM tipe II, DM tipe lain dan DM gestasional.
1. Diabetes melitus tipe I
Diabetes melitus tipe I yang disebut diabetes tergantung insulin IDDM
merupakan gangguan katabolik dimana tidak terdapat insulin dalam
sirkulasi, glukagon plasma meningkat dan sel-sel beta pangkreas gagal
berespon terhadap semua rangsangan insulinogenik. Hal ini disebabkan
oleh penyakit tertentu (antara lain infeksi virus dan autoimun) yang
membuat produksi insulin terganggu (Guyton, 2006). Diabetes melitus
ini erat kaitannya dengan tingginya frekuensi dari antigen HLA
tertentu. Gen-gen yang menjadikan antigen ini terletak pada lengan
pendek kromosom. Onset terjadinya DM tipe I dimulai pada masa
anak-anak atau pada umur 14 tahun (Guyton, 2006).
2. Diabetes melitus tipe II
Diabetes melitus tipe II merupakan bentuk diabetes nonketoik yang
tidak terkait dengan marker HLA kromosom ke 6 dan tidak berkaitan
dengan autoantibody sel pulau Langerhans. Dimulai dengan adanya
resistensi insulin yang belum menyebabkan DM secara klinis. Hal ini
ditandai dengan sel β pankreas yang masih dapat melakukan
kompensasi sehingga terjadi keadaan hiperinsulinemia dengan glukosa
yang masih normal atau sedikit meningkat (Guyton, 2006). Pada
kebanyakan kasus, DM ini terjadi pada usia > 30 tahun dan timbul
secera perlahan (Sudoyo, 2006). Menurut perkeni (2011) untuk kadar
gula darah puasa normal adalah 126 mg/ dl, sedangkan untuk kadar
gula darah 2 jam setelah makan yang normal 200 mg/dl.
3. Diabetes melitus tipe lain
Biasanya disebabkan karena adanya malnutrisi disertai kekurangan
protein, gangguan genetik pada fungsi β dan kerja insulin, namun dapat
pula terjadi karena penyakit eksorin pankreas (seperti cystic fibrosis),
endokrinopati, akibat obat-obatan tertentu atau induksi kimia (ADA,
2010).
4. Diabetes melitus gestasional.
Diabetes melitus gestasional yaitu DM yang timbul selama kehamilan.
Pada masa kehamilan terjadi perubahan yang mengakibatkan
melambatnya reabsorpsi makanan, sehingga menimbulkan keadaan
hiperglikemik yang cukup lama. Menjelang aterm kebutuhan insulin
meningkat hingga tiga kali lipat dibandingkan keadaan normal, yang
disebut sebagai tekanan diabetonik dalam kehamilan. Keadaan ini
menyebabkan terjadinya resistensi insulin secara fisiologik. DM
gestasional terjadi ketika tubuh tidak dapat membuat dan menggunakan
seluruh insulin saat selama kehamilan. Tanpa insulin, glukosa tidak
dihantarkan kejaringan untuk dirubah menjadi energi (ADA, 2010).
II.1.2. Etiologi

II.1.3. Patogenesis

II.1.4. Patofisiologi

- Pada diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan untuk menghasilkan


insulin karena sel-sel beta pankreas telah dihancurkan oleh proses
autoimun. Hiperglikemia puasa terjadi akibat produksi glukosa yang
tidak terukur hati. Di samping itu, glukosa yang berasal dari makanan
tidak dapat disimpan dalam hati meskipun tetap berada dalam darah
dan menimbulkan hiperglikemia postprandial (sesudah makan). Jika
konsentrasi glukosa dalam darah cukup tinggi, ginjal tidak dapat
menyerap kembali semua glukosa yang tersaring keluar akibatnya,
glukosa tersebut muncul dalam urin (glukosuria). Ketika glukosa yang
berlebihan diekskresikan ke dalam urin, ekskresi ini akan disertai
pengeluaran cairan dan elektrolit yang berlebihan. Keadaan ini
dinamakan dieresis osmotik. Sebagai akibat dari kehilangan cairan
yang berlebih, pasien akan mengalami peningkatan dalam berkemihan
(poliuria) dan rasa haus (polidipsia). Badan keton merupakan asam
yang mengganggu keseimbangan asam-basa tubuh apabila jumlahnya
berlebihan. Ketoasidosis diabetik yang diakibatkannya dapat
menyebabkan tanda-tanda dan gejala seperti nyeri abdomen, mual,
muntah, hiperventilasi, napas berbau aseton, dan bila tidak ditangani
akan menimbulkan perubahan kesadaran, koma bahkan kematian.
Pemberian insulin bersama dengan cairan dan elektrolit sesuai
kebutuhan akan memperbaiki dengan cepat kelainan metabolik
tersebut dan mengatasi gejala hiperglikemia serta ketoasidosis. Diet
dan latihan disertai pemantauan kadar glukosa darah yang sering
merupakan komponen terapi yang penting.
- Pada diabetes tipe II terdapat dua masalah utama yang berhubungan
dengan insulin, yaitu resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
Normalnya insulin akan terikat dengan reseptor khusus pada
permukaan sel. Sebagai akibat terikatnya insulin dengan reseptor
tersebut, terjadi suatu rangkaian dalam metabolism glukosa di dalam
sel. Meskipun terjadi gangguan sekresi insulin yang merupakan cirri
khas diabetes tipeII, namun masih terdapat insulin dengan jumlah yang
adekuat untuk mencegah pemecahan lemak dan produksi badan keton
yang menyertainya. Karena itu, ketoasidosis diabetik tidak terjadi pada
diabetes tipe II.

- Diabetes dan kehamilan. Diabetes yang terjadi selama kehamilan perlu


mendapatkan perhatian khusus. Wanita yang sudah diketahui
menderita diabetes sebelum terjadi nya pembuahan harus
mendapatkan penyuluhan atau konseling tentang penatalaksanaan
diabetes selama kehamilan. Pengendalian diabetes yang buruk
(hipergelikemia) pada saat pembuhan dapat disertai timbulnya
malformasi congenital. Karena alasan inilah, wanita yang menderita
diabetes harus mengendalikan penyakitnya dengan baik sebelum
konsepsi terjadi dan sepanjang kehamilannya. Diabetes gestasional
terjadi pada wanita yang tidak menderita diabetes sebelum
kehamilannya. Hiperglikemia terjadi selama kehamilan akibat sekresi
hormon-hormon plasenta. Semua wanita hamil harus menjalani
skrining pada usia kehamilan 24 hingga 27 minggu untuk mendeteksi
kemungkinan diabetes. Penatalaksanaan pendahuluan mencakup
modifikasi diet dan pemantauan kadar glukosa. Jika hiperglikemia
tetap terjadi, preparat insulin harus diresepkan. Obat hipoglikemia oral
tidak boleh digunakan selama kehamilan. Tujuan yang akan dicapai
adalah kadar glukosa selama kehamilan yang berkisar dari 70 hingga
100 mg/dl sebelum makan (kadar gulanuchter) dan kurang dari 165
mg/ dl pada 2 jam sesudah makan (kadar gula 2 jam postprandial).
Sesudah melahirkan bayi, kadar glukosa darah pada wanita yang
menderita diabetes gestasional akan kembali normal. Walaupun begitu,
banyak wanita yang mengalami diabetes gestasional ternyata di
kemudian hari menderita diabetes tipe II. Oleh karena itu, semua
wanita yang menderita diabetes gestasional harus mendapatkan
kouseling guna mempertahankan berat badan idealnya dan melakukan
latihan secara teratur sebagai upaya untuk menghindari diabetes tipe II.
(Brunner & Suddarth, 2002).

II.1.5. Manifestasi Klinik

II.1.6. Farmakoterapi

II.2. Ulkus Pedis

II.2.1. Definisi

Ulkus adalah luka terbuka pada permukaan kulit atau selaput lendir
dan ulkus adalah kematian jaringan yang luas dan disertai invasif kuman
saprofit. Adanya kuman saprofit tersebut menyebabkan ulkus berbau,
ulkus diabetikum juga salah satu gejala klinik dan perjalanan penyakit
DM dengan neuropati perifer (Wijaya & Putri, 2013).
Ulkus diabetikum adalah luka yang terjadi pada pasien diabetik yang
melibatkan gangguan pada syaraf periferal dan autonomik. Ulkus
diabetikum adalah luka yang terjadi karena adanya kelainan syaraf,
kelainan pembuluh darah dan kemudian adanya infeksi. Bila infeksi tidak
di atasi dengan baik, hal itu akan berlanjut menjadi pembusukan bahkan
dapat di amputasi (Wijaya & Putri, 2013).

II.2.2. Etiologi

Etiologi ulkus diabetik biasanya memiliki banyak komponen meliputi


neuropati sensori perifer, trauma, deformitas, iskemia, pembentukan kalus,
infeksi, dan edema. Selain disebabkan oleh neuropati perifer (sensorik,
motorik, otonom) dan penyakit pembuluh darah perifer (makro dan mikro
angiopati) faktor lain yang berkontribusi terhadap kejadian ulkus kaki
adalah deformitas kaki (yang dihubungkan dengan peningkatan tekanan
pada plantar), gender laki-laki, usia tua, kontrol gula darah yang buruk,
hiperglikemia yang berkepanjangan dan kurangnya perawatan kaki
(Menurut Benbow & Oguejiofor, Oli & Odenigbo dalam Yunus, Bahri,
2015).

II.2.3. Patogenesis

II.2.4. Patofisiologi

Terjadinya masalah kaki diawali adanya hiperglikemia pada


penyandang DM yang mengalami kelainan neuropati dan kelainan pada
pembuluh darah. Neuropati, baik neuropati sensorik maupun motorik dan
autonomik akan mengakibatkan berbagai perubahan pada kulit dan otot
yang kemudian menyebabkan terjadinya perubahan distribusi tekanan pada
telapak kaki dan selanjutnya akan mempermudah terjadinya ulkus. Adanya
kerentanan terhadap infeksi menyebabkan infeksi menjadi merebak
menjadi infeksi yang luas. Faktor aliran darah yang kurang juga akan lebih
lanjut menambah rumitnya pengelolaan kaki diabetes (Wijaya & Putri,
2013). Patofisiologi ulkus diabetikum pada gambar 2.1.
II.2.5. Manifestasi Klinik

Tanda dan gejala pada pasien dengan ulkus diabetikum yaitu sering
kesemutan, nyeri kaki saat istirahat, sensasi rasa berkurang, kerusakan
jaringan (nekrosis), penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis
dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal dan kulit
kering (Yunus&Bahri, 2015).

II.2.6. Farmakoterapi

II.3. Sepsis

II.3.1. Definisi

Sepsis adalah kondisi dimana bakteri menyebar ke seluruh tubuh


melalui aliran darah dengan kondisi infeksi yang sangat berat, bisa
menyebabkan organ-organ tubuh gagal berfungsi dan berujung pada
kematian (Purnama, 2014).

Sepsis merupakan kumpulan gejala sebagai manifestasi respons


sistemik terhadap infeksi. Respon inflamasi sistemik adalah keadaan yang
melatarbelakangi sindrom sepsis. Respon ini tidak hanya disebabkan oleh
adanya bakterimia, tetapi juga oleh sebab-sebab lain. Oleh karena itu
kerusakan dan disfungsi organ bukanlah disebabkan oleh infeksinya, tetapi
juga respon tubuh terhadap infeksi dan beberapa kondisi lain yang
mengakibatkan kerusakan-kerudasakan pada sindrom sepsis tersebut. Pada
keadaan normal, respon ini dapat diadaptasi, tapi pada sepsis respon
tersebut menjadi berbahaya (Bakta & Suastika, 2012).

II.3.2. Etiologi

Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif dengan


prosentase 60-70% kasus, yang dapat menyebabkan berbagai produk yang
dapat menstimulasi sel imun meskipun sepsis dapat disebabkan oleh virus
atau jamur. Sel tersebut akan terpacu untuk melepaskan mediator
inflamasi. Produk yang berperan penting terhadap sepsis adalah
lipopolysaccharide (LPS). Pengetahuan tentang sepsis sebagian besar
dipelajari pada mencit, dengan pemberian lipopolysaccharide (LPS) dosis
tinggi akan menghasilkan sindrom syok septik seperti pada manusia.
Lipopolysaccharide (LPS) atau endotoksin glikoprotein kompleks
merupakan komponen utama membran terluar dari bakteri gram negatif
terdiri dari lipid dan polisakarida yang berikatan kovalen. LPS merangsang
peradangan jaringan, demam dan syok pada penderita infeksi. Struktur
lipid α dalam LPS bertanggung jawab terhadap reaksi dalam tubuh
penderita.

Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis, yaitu:

a. Infeksi paru-paru (pneumonia)

b. Flu (influenza)

c. Appendiksitis

d. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)

e. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)

f. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau


kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit Infeksi pasca
operasi

g. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis

II.3.3. Patogenesis

II.3.4. Patofisiologi

Patofisiologi dari interaksi patogen dalam tubuh manusia sangat


bermacammacam dan kompleks. Mediator proinflamasi yang berperan
dalam perkembangan mikroorganisme diproduksi dan mediator
antiinflamasi mengkontrol mekanisme ini. Respon inflamasi menunjukkan
adanya kerusakan di jaringan tubuh manusia dan respon antiinflamasi
menyebabkan leukosit teraktivasi. Ketika kemampuan tubuh mengurangi
perkembangan pathogen dengan inflamasi local berkurang, inflamasi
sistemik merespon dengan mengubah menjadi sepsis, sepsis berat dan syok
sepsis (Birken dan Lena 2014).
Infeksi pada keadaan normal terdapat aktivitas lokal bersamaan dari
sistem imun dan mekanisme down-regulasi untuk mengontrol reaksi. Efek
yang membahayakan dari sindrom sepsis disebabkan oleh kombinasi dari
generalisasi respons imun terhadap tempat yang berjauhan dari tempat
infeksi, kerusakan keseimbangan antara regulator pro-inflamasi dan anti
inflamasi selular, serta penyebarluasan mikroorganisme penyebab infeksi
(Caterino dan Khan 2012).

II.3.5. Manifestasi Klinik

Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu


demam, takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi
hipotensi pada kondisi vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik
atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta
peningkatan curah jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik
hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak yang biru atau putih
dingin). Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin
berlanjut menjadi gambaran sepsis yang terlihat jelas perubahan status
mental seringkali merupakan tanda klinis pertama disfungsi organ, karena
perubahan status mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan laboratorium,
tetapi mudah terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien dengan
kemungkinan penyebab perubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi.
Penurunan produksi urine (≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis
yang lain yang mungkin terlihat sebelum hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan dan seharusnya digunakan sebagai tambahan pertimbangan
klinis (Caterino dan Khan 2012).

II.3.6. Farmakoterapi

III. STUDI KASUS


Inisial Pasien : Ny. H
Umur : 54 tahun
BB : 52 kg
TB : 154 cm
Tgl MRS : 14-10-2009
Tgl KRS : 23-10-2009 (RIP)
No RM : 1098.77.xx

Keluhan Utama :
Luka di kaki kiri mulai 1,5 bulan yang lalu dengan kondisi kecil kemudian lama-lama
membesar disertai nanah, dibawa ke dokter dan diberi Amoxycillin.
Keluhan Tambahan :
BAK sering dan banyak (± 1 botol besar), sering haus, BB ↓, kesemutan pada kedua
kaki dan rasa tebal, mual (-), muntah(-), pusing (-), sesak (-), batuk (-), perut sebah,
BAB (-) sudah 1 minggu dan diberi Dulcolax® namun tidak memberikan efek.
Diagnosis :
 Diagnosa pada saat MRS : DM + ulkus pedis (s) + sepsis + krisis hiperglikemia
 Diagnosa akhir : DM ND II + ulkus pedis + sepsis
Riwayat Penyakit :
 Hipertensi sejak (+) 3 tahun yang lalu
 Diabetes Mellitus sejak (±) 3 tahun yang lalu

Riwayat Pengobatan :
Obat Dosis Indikasi
Captopril 1 x 1 tab Hipertensi
Glibenklamid 2 x 1 tab Diabetes mellitus
Catatan Perkembangan Pasien

Tanggal Problem / Kejadian / Tindakan Klinisi


14-10-2009 Pasien MRS dengan keluhan luka di kaki kiri mulai 1,5 bulan yang lalu
awalnya kecil kemudian lama-lama membesar disertai nanah, dibawa ke
dokter dan diberi Amoxycillin, panas (-), BAK sering dan banyak, warna
kuning jernih, sering haus, BB↓, kesemutan pada kedua kaki dan rasa tebal,
perut sebah, BAB (-) sudah 1 minggu dan diberi Dulcolax® namun tidak
meberikan efek.
Kondisi umum : cukup baik, luka di kaki terasa nyeri.
VS : Nadi = 92, T= 38, RR= 20 x/menit, TD= 170/90 mmHg, BB = 54 Kg
Kesadaran : compus mentis (sadar).
Masalah yang dihadapi : hiperglikemia (GD: 624 mg/dl, ulkus pedis (s),
hipoalbumin, anemia dan def. zat besi, hiponatremia hipertonis, hipertensi
std. II JNC 7 (TD : 170/90 mmHg), pasien belum mengurus kelengkapan
maskin.
Terapi : diet glukosa 2100 kal., O2 nasal 2 lpm, infus PZ 3 fl/hr ≈ 21 tetes/hr,
infus Albumin 20 % 100 cc, Inj. Ceftazidime 3x1 g, Inj. Metronidazole
3x500 mg, Valsartan 1x80 mg, ASA 1x10 mg, Dipiridamol 2x75 mg, Fe tab.
1x1, koreksi hiperglikemia : Actrapid 3x12 U s.c 15’ a.c, rawat luka
(Venosmil tab. 3x1).
Kondisi umum : cukup baik, luka di kaki terasa gatal, belum BAB, kotoran
terasa keras.
Kesadaran : compus mentis (sadar).
VS : Nadi = 92, T= 37, RR= 26 x/menit, TD= 170/90 mmHg, BB = 52 Kg.
BUN = 40.4, ClCr= 22,95mL/min
Masalah yang dihadapi : hiperglikemia (GD: 425 mg/dl, ulkus pedis (s),
15-10-2009 hipoalbumin, anemia dan def. zat besi, hiponatremia hipertonis, hipertensi
std. II, DM ND IV
Terapi : diet glukosa 2100 kal., O2 nasal 8 lpm, infus PZ 3 fl/hr ≈ 21 tetes/hr,
infus Albumin 20 % 100 cc, Inj. Ceftazidime 3x1 g, Inj. Metronidazole
3x500 mg, Valsartan 1x80 mg, Inj. Omeprazole 1x40 mg, Dipiridamol 2x75
mg, Vit. C tab 1x1, Fe tab. 1x1, koreksi hiperglikemia : Actrapid 3x12 U s.c
15’ a.c, Humulin N 0-0-10 U, rawat luka (Venosmil tab. 3x1).
16-10-2009 -
17-10-2009 -
18-10-2009 -
Kondisi umum : cukup baik, cekot-cekot mulai lutut ke bawah, leher kaku.
Kesadaran : GCS = 456
VS : Nadi = 110, T= 39,2, RR= 32 x/menit, TD= 120/60 mmHg.
Masalah yang dihadapi : hipoglikemia (GD: 50 mg/dl, ulkus pedis (s),
hipoalbumin, anemia dan def. zat besi, hiponatremia hipertonis, DM ND IV
19-10-2009 (ClCr = 25,14).
Terapi : diet glukosa 2100 kalori, O 2 nasal 8 lpm, infus PZ 1 fl/hr ≈ 7
tetes/hr, Inj. Ceftazidime 3x1 g, Inj. Metronidazole 3x500 mg, Amlodipine
10-0-0, Inj. Omeprazole 1x1, Dipiridamol 2x75 mg, Vit. C tab 1x1, Vit. BC
tab. 3x1, Fe tab. 1x1, Parasetamol 3x500mg, koreksi hiperglikemia :
Actrapid 3x12 U s.c 15’ a.c, Humulin N 0-0-10 U, rawat luka (Venosmil
tab. 3x1).
Kondisi umum : cukup baik, kaki kesemutan.
Kesadaran : GCS = 456
VS : Nadi = 104, T= 38,5, RR= 25 x/menit, TD= 120/60 mmHg.
Masalah yang dihadapi : DM ND IV, ulkus pedis (s), sepsis.
20-10-2009 Terapi : diet B3 1900 kalori, O2 nasal 8 lpm, infus PZ 1 fl/hr ≈ 7 tetes/hr,
infus Albumin 20% 100 cc, Inj. Ceftazidime 3x1 g, Inj. Metronidazole
3x500 mg, Amlodipine 10-0-0, Inj. Omeprazole 1x1, Dipiridamol 2x75 mg,
Vit. C tab 1x1, Vit. BC tab. 3x1, Fe tab. 1x1, Parasetamol 3x500mg, koreksi
hiperglikemia : Actrapid 3x12 U s.c 15’ a.c, Humulin N 0-0-10 U, rawat
luka (Venosmil tab. 3x1).
Kondisi umum : cukup baik, kaki kesemutan
Kesadaran : GCS = 456
21-10-2009 VS : Nadi = 108 x/mnt, T= 37.4, TD= 110/60 mmHg.
Masalah yang dihadapi : DM ND IV , ulkus pedis (s), sepsis.
Terapi : tetap
Kondisi umum : cukup baik, kaki kesemutan, leher lemas.
Kesadaran : GCS = 456
22-10-2009 VS : Nadi = 92 x/mnt, RR= 24 x/menit, T= 37.4, TD= 110/60 mmHg.
Masalah yang dihadapi : DM ND IV, ulkus pedis (s), sepsis.
Terapi : tetap
Kondisi umum : lemah
23-10-2009 VS : Nadi = 100 x/mnt, RR= 20 x/menit, T= 37.2, TD= 100/70 mmHg.
Rawat luka (Venosmil tab. 3x1).
DATABASE PASIEN

No. DMK : 1098.77.xx Diagnosis : DM ND IV + ulkus pedis + sepsis Kepatuhan : -


MRS : 14-10-2009 Keluhan Utama : Luka di kaki kiri mulai 1,5 bulan yang lalu Alergi : -
dengan kondisi kecil kemudian lama-lama membesar disertai
nanah, dibawa ke dokter dan diberi Amoxycillin.
KRS : 23-10-2009 (†) [cardiovascular Riwayat Penyakit : Hipertensi sejak (+) 3 tahun yang lalu dan
Merokok/Alkohol : -
event] Diabetes Mellitus sejak (±) 3 tahun yang lalu.
Inisial Pasien : Ny. H Riwayat Obat : Captopril 1x1 dan Glibenklamid 2x1 Obat Tradisional : -
Umur/BB/Tinggi : 54 tahun /52 kg / Riwayat Sosial : Jamkesmas OTC : -
Alamat : Samarinda

PROFIL PENGOBATAN PADA SAAT MRS

Tanggal pemberian (2009)


Obat Rute Dosis Frekuensi
14/10 15/10 16/10 17/10 18/10 19/10 20/10 21/10 22/10 23/10
O2 Nasal 3-8 lpm 8
√ 8 lpm 8 lpm 8 lpm 8 lpm
lpm//
Infus PZ i.v 3 fl 1x1 1 1 1 1 1 1
√ √ √
fl/hr fl/hr fl/hr fl/hr fl/hr fl/hr
Inf. Albumin 20 i.v 100 cc 1x1
√ √ √
%
Actrapid s.c 12 U 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √
Humulin N s.c 10 U 1x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √
Ceftazidime inj. i.v 1g 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √
Metronidazole i.v 500 mg 3x1
√ √ √ √ √ √ √ √ √
inj.
Omeprazole inj. i.v 40 mg 1x1 √ √ √ √ √ √ √ √
ASA p.o 100 mg 1x1 √
Dipiridamol p.o 75 mg 2x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √
Valsartan p.o 80 mg 1x1 √ √
Amlodipine p.o 10 mg 1x1 √ √ √ √ √ √ √
Vitamin C p.o Tablet 1x1 √ √ √ √ √ √ √ √
Vitamin BC p.o Tablet 3x1 √ √ √ √ √ √ √
Fe p.o Tablet 1x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √
Asam Folat p.o Tablet 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √
Paracetamol prn p.o 500 mg 3x1 √ √ √ √ √
Venosmil p.o Tablet 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √

DATA KLINIK

DATA Tanggal Pemeriksaan (2009)


NILAI NORMAL
KLINIK 14/10 15/10 16/10 17/10 18/10 19/10 20/10 21/10 22/10 23/10
RR 20-30 x/menit 20 26 32 25 24 20
Nadi 80-100 x/menit 92 92 88 90 102 110 104 108 92 100
Suhu badan 36,5-37,5oC 38 37 36,4 36,8 38,2 39,2 38,5 37,4 37,4 37,2
Tekanan darah <120/<80 mmHg 170/90 120/70 150/90 120/60 120/60 110/60 110/60 100/70
kesemu kesemu kesemu
Luka kaki nyeri gatal nyeri
tan tan tan
Leher kaku lemas
Komentar dan Alasan :
 Pada saat MRS tekanan darah pasien tinggi (170/90). Tekanan darah yang tinggi meningkatkan resiko terjadinya komplikasi
mikrovaskular maupun makrovaskular. Oleh karena itu peningkatan tekanan darah ini harus segera diatasi dengan target tekanan
darah yang dicapai < 130/80.
 Peningkatan RR, nadi, suhu menunjukkan adanya infeksi yang terjadi.
DATA LABORATORIUM

DATA TANGGAL (2009)


LABORATOR NILAI NORMAL 13/10 KOMENTAR DAN ALASAN
IUM 14/10 15/10 16/10 19/10
(IRD)
WBC 4,5-10,5 .103 /uL 24,2 21,0  Peningkatan leukosit dapat terjadi
RBC 4,0-6,0.106 /uL 2,89 karena adanya infeksi bakteri gram negatif dan
Hb 12,0-16,0/uL 8,4 7,0 anaerob pada luka (ulkus). Hal ini juga dapat
Hct 35-60,0% 24,1 23,1 terjadi karena adanya trauma/inflamasi.
Plt 142-424. 103 /uL 322 345  Penurunan Hb, RBC dan Hct pada
MCV 84-96 79,8 pasien pada tanggal 13/10 menunjukkan
MCH 28-34 24,2 terjadinya anemia.
MCHC 33-37 30,4  Gula darah pasien tinggi sejak
Albumin 3,5-5,0 g/dL 2,3 3,1 2,8 pertama MRS. Setelah pemberian insulin terjadi
BUN 10-24 mg/dL 35 40,4 25 31,1 penurunan tetapi masih melebihi normal. Kadar
Creatinin 0,5-1,5 mg/dL 2,3 2,5 2,1 gula darah harus selalu dipantau untuk
ClCr 22,95 21,12 25,14 menentukan strategi terapi. Namun juga perlu
diwaspadai terjadinya kondisi hipoglikemia.
HDL 35-55 mg/dL 17
 Dari hasil lab tgl 15/10 terjadi
LDL 65-175 mg/dL 64
penurunan HDL. Dislipidemia merupakan salah
TG 50-200 mg/dL 120
satu komorbid yang sering muncul pada pasien
Glukosa < 120 mg/dL 624 425 100 50
dengan diabetes. Dislipidemia beresiko terhadap
Na 135-145 mmol/L 126,4 134,5 terjadinya CVD.
K 3,5-5,5 mmol/L 5,03 3,71  BUN dan kreatinin yang meningkat
Cl 98-106 mmol/L 95,2 107,5 menunjukkan penurunan fungsi ginjal (nefropati
Ca 8,6-10,2 mmol/L 8,0 diabetic). Nefropati diabetic dapat menimbulkan
hipoalbuminemia karena peningkatan
Asam urat 3,4-7,0 mg/dL 6,4 permeabilitas glomerulus sehingga
menyebabkan terjadinya proteinuria.
URINE - Pasien mengalami ketonuria. Hal ini disebabkan
Glukosa Negatif 3+ oleh adanya defisiensi insulin dan peningkatan
Bilirubin (-) (-) (-) hormone kontra regulator terutama epinefrin
KET Negatif 2+ 5+ 15+ yang akan mengaktivasi hormon lipase yang
SG 1,015 1,020 1,020 sensitif pada jaringan lemak dan meningkatkan
BLD 2+ lipolisis sehingga terjadi produksi benda keton
pH 5,5 5 dan asam lemak secara berlebihan.
PRO 3+ 150 150
URO 3,2 - Dari perhitungan klirens pada tanggal 15/10,
16/10 dan 19/10 menunjukkan adanya penyakit
NIT (-) (-)
ginjal kronik stadium 4 ( GFR=15-29 ml/menit)
LEU 2+ 1-2 0-1
ERI 25 10
Epitel Banya 0-1
k
Silinder Granu Granu
lar + lar +

Tanggal Data Tambahan


Foto : Thorax = tidak ada kelainan
13/10 Pedis = tidak ada kelainan
EKG = troma sinus
Pemeriksaan kultur bakteri :
Tgl. Permintaan : 14/10/2009
Tgl. Di jawab : 19/10/2009
 Spesimen = darah
14/10 Kultur = aerob dan anaerob
Hasil = tidak ada pertumbuhan kuman aerob dan anaerob
 Spesimen = air kemih
Kultur = aerob
Hasil = tidak ada pertumbuhan kuman aerob
14/10 BC : tata laksana DM + ulkus pedis + sepsis
Ass. : DM + diabetic foot ulcer
Saran :
 Insisi drainase abses di digiti I pedis (D) kultur pus
 Rawat luka tiap 2 hari
 Inj. Cefuroxime 3 x 750 mg/iv atau Inj. Ceftazidime 2 x 1 g/iv
 Inj. Metronidazole 3 x 500 mg iv
 Venosmile 2 x 2 tab
 Regulasi gula darah
 Perbaiki KU
BC : pemeriksaan untuk mengetahui adanya diabetic retinopati atau HT retinopati
Kesimpulan : didapatkan OS sinekia posterior + OS kekeruhan lensa dan secara oftalmoskopis didapatkan OD proliferatif
15/10
diabetic retinopati dan OS segmen psterior belum dapat di evaluasi karena adanya kekeruhan pada sinekia posterior dan lensa.
Saran : mohon kontrol poli mata bila pasien KRS
BC : tata laksana dan evaluasi EKG
Kesimpulan : saat ini pada bidang jantung didapatkan penderita dengan HT std. II JNC 7tanpa tanda-tanda gagal jantung akut.
16/10 Saran : bila teman sejawat setuju :
Amlodipin 10-0-0 diteruskan
Methyldopa 3 x 250 mg.
Pemeriksaan kultur bakteri :
Tgl. Permintaan : 17/10/2009
Tgl. Di jawab : 21/10/2009
17/10
 Spesimen = pus
Kultur = -
Hasil = pseudomonas (sensitif terhadap ceftazidime)

TUGAS PRAKTIKUM:
1. Penilaian Profil Pengobatan
2. Analisa Drug Related Problems (DRPs)
3. Monitoring Obat
4. Konseling Obat
5. Pembahasan Kasus
6. Kesimpulan Kasu
DAFTAR PUSTAKA
America Diabetes Assocition (2010). Diagnosis and Clasification of Diabtes, diabetes care 1
januari 2014 vol 27.

Aru W.Sudoyo, B. S. (2006). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (2 ed., Vol. III). Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam

Bakta, I.M., & Suastika. (2012). Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam. Jakarta: EGC

Brunner & Suddarth, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih bahasa: Waluyo
Agung., Yasmin Asih., Juli., Kuncara., I.made karyasa, EGC, Jakarta.

Caterino, J.M., Kahan, S. (2012). Master Plan Kedaruratan Medik. Indonesia: Binarupa
Aksara.

Donelly. (2015). Buku pegangan diabetes. edisi ke-4. USA: John Willey & Sons Limites.
Diterjemahkan oleh Egi Komara Yuda, S.Kp.,MM

Guyton Hall JE. (2006). Buku ajara Fisiologi kedokteran. Jakarta: EGC

Kang-Birken, S. Lena. (2014). Sepsis and Septic Shock. In: Dipiro, J.T., Talbert R.L., Yee,
G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M., Pharmacotherapy A Pathophysiology
Approach Ninth Edition. United States of America: The McGraw-Hill Companies Inc., p
1897-1910.

PERKENI. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia.


Jakarta: PERKENI; 2011.

Smeltzer, suzannec dan Bare, Brenda G.(2002) Buku ajaran keperawatan medical bedah
Brunner dan Suddarth (edis 8, vol 12).

Wijaya, A.S., & Putri, Y.M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Nuha Medika

Yunus, Bahri. (2015). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Lama Penyembuhan Luka Pada
Pasien Ulkus en centre. Makassar: Kedokteran Makassar.

Anda mungkin juga menyukai