(Goosebumps #20)
Terjemahan: Farid ZE
Aku berbalik dan memicingkan mata ke sinar matahari terang. Adikku, Mark,
masih di atas peron kereta api. Kereta telah bergerak dengan bunyi gemerisik.
Aku bisa melihatnya berjalan berbelok-belok melalui padang rumput hijau yang
rendah di kejauhan.
"Lihat di kamus untuk kata 'orang bodoh'," kataku, "dan kau akan melihat
gambar Mark."
"Hei, Mark - ayo pergi sekarang!" teriakku. Tapi ia menikmati waktu baiknya,
berjalan pelan-pelan, dalam keadaan linglung seperti biasanya.
Aku mengibaskan rambut pirangku ke belakang bahu dan berbalik kepada
Stanley. Mark dan aku tak mengunjungi pertanian selama setahun. Tapi Stanley
masih tampak sama.
Stanley berumur sekitar empat puluh atau empat puluh lima tahun, pikirku.
Rambut gelapnya tampaknya dipotong pendek-pendek, dicukur dekat
dengan kepalanya. Telinganya sangat besar. Telinganya menjulur keluar dan
selalu berwarna merah cerah. Dan dia punya mata cokelat yang besar bulat,
yang mengingatkanku pada mata anjing.
Stanley tak terlalu cerdas. Kakek Kurt selalu mengatakan bahwa Stanley tak
bekerja penuh seratus watt.
Tapi Mark dan aku benar-benar menyukainya. Dia punya rasa humor yang
tenang. Dan dia baik, lembut, ramah, dan selalu punya banyak hal menakjubkan
untuk ditunjukkan pada kami setiap kali kami mengunjungi pertanian.
Kami berdua tertawa. Kau tak pernah tahu apa yang akan Stanley katakan!
"Kurasa aku melangkah dalam sesuatu kotor," keluh Mark, mengejar kami.
Aku selalu tahu apa yang akan Mark katakan. Adikku hanya tahu tiga kata - keren,
aneh, dan kotor. Sungguh. Itulah seluruh kosakatanya.
Sebagai lelucon, aku memberinya kamus untuk ulang tahunnya yang terakhir.
"Kau aneh," kata Mark saat aku memberikan kamus itu kepadanya. "Hadiah
yang kotor sekali."
Tasnya berisi Walkman, sekitar tiga puluh kaset, buku komik, Game Boy, dan
setidaknya lima puluh slot game. Aku tahu ia berencana menghabiskan sebulan
penuh untuk berbaring di tempat tidur gantung pada kasa di teras belakang
rumah pertanian, mendengarkan musik dan bermain video game.
Ibu dan Ayah bilang itu adalah pekerjaanku untuk memastikan Mark keluar
dan menikmati pertanian. Kami sangat terkurung di kota sepanjang tahun.
Itulah sebabnya mereka mengirim kami untuk mengunjungi Kakek Kurt dan
Nenek Miriam selama satu bulan setiap musim panas - untuk menikmati alam
luar.
"Akan cukup panas hari ini," kata Stanley, "kecuali jika jadi sejuk."
Aku menatap keluar ke lapangan berumput yang luas di luar tempat parkir
stasiun kereta kecil itu. Ribuan puffballs putih kecil melayang naik di langit biru
jernih.
sampai lebih besar dari bola basket. Saat sudah matang, sporanya jadi kering
robek terbuka dan sporanya dilepaskan dalam embusan bentuk seperti asap.)
Sangat indah!
Jadi Ibu membungkuskan beberapa botol obat alergi untukku - dan banyak
kertas tisu.
"Semoga Tuhan memberkati," kata Stanley. Dia melemparkan dua koper kami
di belakang pickup. Mark meluncurkan tasnya juga.
Stanley seorang pengemudi yang mengerikan. Dia tak bisa berkonsentrasi pada
kemudi dan mengemudi dengan kecepatan yang tepat pada waktu yang sama.
Jadi selalu ada belokan-belokan tajam dan lonjakan-lonjakan keras.
Stanley melaju dengan kedua tangan terbelit erat di bagian atas roda kemudi.
Dia duduk dengan kaku ke depan, membungkuk di atas roda, menatap lurus ke
depan melalui kaca depan tanpa berkedip.
"Mr Mortimer tak bertani di tempatnya lagi," katanya, mengangkat satu tangan
dari kemudi untuk menunjuk pada sebuah rumah pertanian besar putih di atas
bukit miring yang hijau.
Lihat kan apa yang kumaksud? Kau tak pernah tahu apa akan Stanley katakan.
Kami melambung di atas bekas roda yang dalam di jalanan. Aku yakin Mark
bersenang-senang di belakang.
Jalan mengarah melalui kota kecil, begitu kecil hingga tak punya nama. Para
petani selalu menyebutnya Kota.
Kota itu punya toko makanan, gabungan pompa bensin dan toko kelontong,
gereja bermenara putih, toko perangkat keras, dan kotak pos.
Ada dua truk yang diparkir di depan toko makanan. Aku tak melihat siapa pun
saat kami meluncur lewat dengan cepat .
Pertanian kakekku sekitar dua mil dari kota. Aku mengenali ladang jagung saat
kami mendekat.
"Jagung itu sudah begitu tinggi!" seruku, menatap melalui jendela yang
memantul. "Ada yang sudah kau makan?"
Aku tak tahu harus berkata apa, jadi aku tertawa. Kupikir mungkin dia sedang
membuat lelucon.
Aku suka lumbung dengan bau manisnya. Aku suka suara-suara lenguhan
rendah sapi menjauh di padang rumput. Aku suka melihat batang-batang
jagung yang tinggi, semuanya bergoyang bersamaan di dalam angin.
Klise, ya?
Aku juga suka kisah-kisah hantu mengerikan yang Kakek Kurt ceritakan pada
kami malam hari di depan perapian.
Dan aku harus menyertakan kepingan kue serabi cokelat Nenek Miriam. Kue-kue
itu begitu enak, kadang-kadang aku memimpikannya di rumah di kota.
Aku juga menyukai ekspresi bahagia di wajah kakek-nenekku ketika kami datang
terburu-buru untuk menyapa mereka.
Tentu saja aku yang pertama kali keluar dari truk. Mark lambat seperti biasanya.
Aku berlari ke kasa teras di belakang rumah besar pertanian mereka yang tua.
Aku tak sabar untuk melihat kakekku.
"Bagus sekali berjumpa kalian! Ini sudah begitu lama, begitu lama!" Nenek
Miriam berteriak gembira.
Ada komentar yang biasa tentang berapa banyak lebih tinggi kami dan
bagaimana kita terlihat dewasa.
"Jodie, dari mana kau dapatkan rambut pirang itu? Tak ada yang berambut
pirang dalam keluargaku," Kakek Kurt biasa mengatakannya, menggoyangkan
rambut tengkuknya yang putih. "Kau pasti mendapatkan bahwa dari pihak
ayahmu."
"Tidak, aku tahu. Aku yakin kau mendapatkannya dari toko," katanya, sambil
menyeringai. Itu adalah lelucon kecilnya. Dia menyapaku dengan perkataan
itu setiap musim panas. Dan mata birunya akan berkilau gembira.
"Apa Anda sudah punya TV kabel?" tanya Mark, menyeret tas di tanah.
"TV kabel?" Kakek Kurt menatap tajam Markus. "Belum Tapi kami masih bisa
mendapatkan tiga saluran. Berapa banyak lagi yang kita butuhkan?"
Mark memutar matanya. "Bukan MTV," erangnya.
"Ayo kita masuk aku berani taruhan kalian kelaparan," kata Nenek Miriam. "Aku
membuat sup dan sandwich. Kita akan makan malam dengan ayam dan jagung.
Jagung ini sangat manis tahun ini. Aku tahu betapa kalian berdua menyukainya."
Aku melihat kakekku saat mereka memimpin jalan menuju rumah. Mereka
berdua tampak lebih tua untukku. Mereka bergerak lebih lambat dari yang
kuingat. Pincang Kakek Kurt jelas lebih buruk. Mereka berdua tampak kelelahan.
Nenek Miriam pendek dan gemuk. Dia berwajah bulat dikelilingi oleh rambut
merah keriting. Berwarna merah cerah. Tak ada cara untuk menggambarkan
warnanya. Aku tak tahu apa yang ia gunakan untuk mengecat warnanya itu.
Aku belum pernah melihatnya di orang lain!
Kakek Kurt tinggi dan berdada bidang. Ibu bilang dia benar-benar tampan saat
ia masih muda. "Seperti seorang bintang film," dia selalu memberitahuku.
Sekarang dia punya rambut putih bergelombang, masih sangat tebal, yang
basah dan tertata rapi turun merata di kepalanya. Dia punya mata biru
berkilauan yang membuatku selalu tersenyum. Dan janggut putih di bawah
wajah rampingnya. Kakek Kurt tak suka bercukur.
Hari ini ia mengenakan kemeja lengan panjang, berwarna merah dan hijau kotak
kotak, mengancingkan kerah kemejanya meskipun hari yang panas, dan celana
jins baggy, bernoda pada satu lututnya, yang ditahan oleh selempang putih.
Makan siang itu menyenangkan. Kami duduk mengelilingi meja dapur yang
panjang. Sinar matahari tertuang ke dalam melalui jendela yang besar. Aku
bisa melihat gudang di belakang dan ladang jagung membentang di
belakangnya.
Mark dan aku bercerita semua berita kami - tentang sekolah, tentang tim
basketku akan ikut kejuaraan, tentang mobil baru kami, tentang kumis Ayah
yang tumbuh.
Untuk suatu alasan, Stanley pikir itu sangat lucu. Dia tertawa begitu keras, dia
tersedak sup kulit kering-kacangnya. Dan Kakek Kurt harus meraih dan menepuk
punggungnya.
Sulit untuk mengetahui apa kata-kata spontan Stanley. Seperti yang akan
Mark katakan, Stanley benar-benar aneh.
Sepanjang makan siang, aku terus menatap kakek-nenekku. Aku tak bisa
melupakan betapa mereka telah berubah dalam satu tahun ini. Mereka
tampak begitu lebih pendiam, begitu lebih lambat.
Kakek Kurt berdeham keras. Aku punya perasaan ia memberitahu Nenek Miriam
untuk mengubah subjek (pembicaraan) atau sesuatu.
"Apa kau masih ikut les gitar?" tanya Kakek Kurt pada Mark.
Aku bisa melihat bahwa untuk suatu alasan, Kakek Kurt tak ingin bicara tentang
orang-orangan sawah Stanley.
"Ya," jawab Mark dengan mulut penuh keripik kentang. "Tapi aku menjual gitar
akustikku, aku ganti ke gitar listrik."
"Artinya kau harus men-cop-kannya?" tanya Stanley. Dia mulai tertawa, seolah
olah dia baru saja membuat lelucon lucu.
"Sayang sekali kau tak membawa gitarmu," kata Nenek Miriam kepada Mark.
"Tidak, tidak," godaku. "Sapi-sapi akan mulai memberikan susu yang asam!"
"Nasib buruk. Saat sapi-sapi memberikan susu asam, itu artinya nasib buruk,"
kata Stanley, matanya melebar, ekspresinya tiba-tiba ketakutan.
"Anak-anak jika kalian sudah selesai, mengapa tak pergi dengan Stanley," kata
Kakek Kurt. "Dia akan memberikan wisata pertanian. Kalian selalu
menikmatinya." Dia mendesah. "Aku ingin pergi bersama, tapi kakiku kambuh
lagi."
Nenek Miriam mulai membersihkan piring. Mark dan aku mengikuti Stanley
keluar dari pintu belakang. Rumput di halaman belakang baru saja
dipangkas. Udara terasa berat dengan bau manis.
Aku melihat seekor burung kolibri berkepak-kepak naik turun di atas taman
bunga di samping rumah. Aku menunjukkannya kepada Mark, tetapi pada saat
dia berbalik, itu burung itu pergi.
(Kolibri: burung terkecil di dunia berwarna cerah yang sebagian besar hidup di
Amerika Utara dan Amerika Selatan.)
Di belakang halaman pekarang hijau yang panjang berdiri gudang tua. Dinding
dinding putihnya sangat kotor dan mengelupas. Benar-benar perlu dicat. Pintu
pintunya terbuka, dan aku bisa melihat pak-pak persegi jerami.
Jauh di sebelah kanan gudang, hampir ke ladang jagung, berdiri rumah tamu
kecil di mana Stanley tinggal bersama putra remajanya, Sticks.
"Stanley - di mana Sticks?" tanyaku. "Mengapa dia tak makan siang?" "Pergi
ke kota," jawab Stanley dengan tenang. "Pergi ke kota, naik kuda poni." Mark
dan aku bertukar pandang. Kami tak pernah dapat mengerti Stanley.
Dari ladang jagung itu berdiri menyembul beberapa sosok-sosok gelap itu,
orang orangan sawah yang Nenek Miriam mulai bicarakan. Aku menatap
mereka, melindungi mataku dari sinar matahari dengan satu tangan.
Ia tak menjawab. Dia tak mendengarku. Dia menarik topi bisbol hitamnya
rendah ke bawah di atas dahinya. Dia melangkah panjang, bersandar ke depan
dengan jalannya yang seperti bangau, tangannya masuk ke kantong pakaian
kerja denim nya yang longgar.
Mark menggerutu pada dirinya sendiri. Dia benar-benar malas. Dia tak
pernah ingin melakukan apa-apa.
jagung. "Ayo kita lihat apa sudah siap," katanya, nyengir pada Mark
dan aku.
Jagung itu berwarna coklat menjijikkan. Dan jagung itu bergerak-gerak di atas
tongkolnya. Menggeliat-geliut. Menggeliat-geliat.
Stanley menaikkan jagung itu ke wajahnya untuk memeriksanya. Dan aku
menyadari jagung itu ditutupi dengan cacing. Ratusan cacing coklat yang
menggeliat-geliut.
"Tidak!" jerit Stanley ngeri. Dia membiarkan tongkol jagung itu jatuh ke tanah di
kakinya. "Ini nasib buruk! Buku ini mengatakan begitu. Ini nasib buruk!."
"Tak apa-apa, Stanley," kataku padanya. "Aku menjerit cuma karena aku terkejut.
Ini kadang-kadang terjadi. Kadang-kadang cacing-cacing masuk ke dalam jagung.
Kakek mengatakannya padaku"
"Tidak. Ini buruk," Stanley berkeras kepala dengan suara gemetar. Telinga
merahnya menyala. Matanya yang besar tampak ketakutannya. "Buku itu - buku
itu berkata begitu."
"Buku apa?" tuntut Mark. Dia menendang tongkol jagung bercacing itu
menjauh dengan ujung sepatu botnya.
Uh-oh, pikirku. Stanley tak seharusnya punya buku takhayul. Dia sudah menjadi
orang yang paling (percaya) takhayul di dunia - bahkan tanpa buku!
"Ya." Stanley mengangguk antusias. "Itu buku yang bagus. Buku itu
memberitahuku segalanya. Dan semua itu benar. Semua itu!"
Dia telah bekerja cukup lama. Itu membuatku merasa sedikit takut. Aku sudah
tahu Stanley seumur hidupku. Kurasa dia bekerja untuk Kakek Kurt selama lebih
dari dua puluh tahun.
Dia selalu aneh. Tapi aku belum pernah melihatnya begitu kesal tentang
sesuatu yang tak penting seperti tongkol jagung yang buruk.
Tiba-tiba, satu bayangan jatuh di atasku. Salah satu orang-orangan sawah gelap
itu bangkit di depan kami. Ia memakai mantel hitam compang-camping, diisi
dengan jerami. Lengannya terentang kaku keluar dari pinggangnya.
Orang-orangan sawah itu tinggi, menjulang di atas kepalaku. Cukup tinggi untuk
berdiri melebihi batang-batang jagung yang tinggi.
Kepalanya adalah karung goni pudar yang diisi dengan jerami. Matanya hitam
jahat dan kerutan mengancam telah dilukis dalam cat hitam tebal. Satu topi
lusuh kuno diletakkan di atas kepalanya.
"Aku yang membuat mereka," katanya dengan suara rendah. "Buku itu
yang menunjukkan kepadaku bagaimana caranya."
Mata gelap Stanley terkunci padaku. Sekali lagi, ekspresi wajahnya sangat serius.
"Aku tahu bagaimana cara melakukannya. Buku itu punya semua kata-kata itu."
Aku balas menatapnya, benar-benar bingung. Aku tak tahu harus berkata apa.
"Aku membuat mereka berjalan, Jodie," lanjut Stanley dengan suara persis di
atas bisikan. "Aku membuat mereka berjalan minggu lalu. Dan sekarang akulah
bosnya."
Aku berhenti saat, dari sudut mataku, aku melihat lengan orang-orangan sawah
itu bergerak.
Lalu aku merasa jerami kasar menyeka wajahku - saat lengan orang-orangan
sawah kering itu bergerak ke tenggorokanku.
4
Aku berbalik untuk melihat Mark dan Stanley dengan tenang melihatku.
mencekikku?
Lalu anak Stanley, Sticks, melangkah keluar dari balik orang-orangan sawah,
wajahnya tersenyum gembira.
"Sticks - Kau makhluk aneh!" teriakku marah. Aku segera tahu bahwa ia-lah yang
telah menggerakkan lengan orang-orangan sawah itu.
Sticks enam belas tahun. Dia tinggi dan kurus. Dia sudah punya lengan dan kaki
kurus yang panjang. Itulah kenapa ia dapat julukan Sticks (tongkat).
Ia mencoba untuk tampak jantan. Dia punya rambut panjang hitam turun
melewati kerah bajunya, yang jarang dicucinya. Dia memakai kemeja ketat
berotot dan
celana jins kotor yang robek di bagian lutut. Dia sering menyeringai, dan
mata gelap yang sepertinya selalu menertawakanmu.
Dia menyebut Mark dan aku "anak-anak kota." Dia selalu mengatakannya
dengan sinis. Dan dia selalu memainkan lelucon bodoh pada kami. Kupikir dia
sepertinya agak iri pada Mark dan aku. Kupikir tidak mudah bagi Sticks tumbuh
besar di pertanian, tinggal di rumah tamu kecil dengan ayahnya.
"Bersikaplah yang baik," gumam Stanley. "Jagung itu punya telinga, kalian tahu."
Kami semua menatap Stanley. Apakah ia baru saja membuat lelucon? Sulit
untuk berbicara dengannya.
"Buku itu benar semua," jawab Stanley. "Buku itu benar semua."
Sticks mengangkat bahu dan tak menjawab. Dia meraih lengan Mark
dan meremasnya.
"Kau lembek seperti biasa," katanya pada Mark. "Mau melempar bola sore ini?"
"Hari ini agak panas," jawab Mark. Dia menyeka keringat di dahinya dengan
punggung tangannya.
"Tak mungkin!" protes Markus. "Aku cuma bilang panas, itu saja." "Hei -
Aku ingin tertawa ketika aku melihat adikku lari menjerit-jerit pulang ke rumah
pertanian.
***
Makan malam yang tenang. Ayam goreng Nenek Miriam lezat seperti biasanya.
Dan dia benar tentang jagung. Jagung itu sangat manis. Mark dan aku masing
masing makan dua tongkol, menetesinya dengan mentega.
Aku menikmati makan malam itu. Tapi yang membuatku kesal bahwa kedua
kakek-nenekku tampak begitu berubah. Kakek Kurt biasanya bicara nonstop. Dia
selalu punya lusinan cerita lucu tentang para petani di daerah itu. Dan dia selalu
punya lelucon baru untuk diceritakan. Malam ini ia nyaris tak berbicara sepatah
kata pun.
Nenek Miriam terus mendesak Mark dan aku untuk makan lebih banyak. Dan dia
terus bertanya apa kami menyukai semuanya. Tapi ia, juga, tampak lebih
pendiam.
Mereka berdua tampak tegang. Tak nyaman.
Mereka berdua terus melirik ke meja Stanley, yang sedang makan dengan
kedua tangan, mentega menetes di dagunya.
Sticks duduk murung di seberang ayahnya. Dia bahkan tampak lebih tak
ramah dari biasanya.
Stanley satunya orang yang ceria di meja. Dia mengunyah ayam dengan
antusias dan meminta tiga porsi kentang tumbuk.
"Apa semuanya baik-baik saja, Stanley?" Nenek Miriam terus bertanya, menggigit
bibir bawahnya. "Semuanya baik-baik saja?"
Hari itu terlalu panas untuk membuat api. Tapi saat ia berayun, ia menatap
perapian gelap itu, ekspresi berpikir keras dalam wajahnya yang berjanggut
putih.
Nenek Miriam duduk di kursi favoritnya, kursi empuk berlengan besar berwarna
hijau di seberang Kakek Kurt. Dipangkuannya ada majalah berkebun yang belum
dibuka.
Sticks yang baru saja mengucapkan dua patah kata sepanjang malam,
menghilang. Stanley bersandar dinding, menusuk giginya dengan tusuk gigi.
Mark tenggelam ke dalam sofa panjang hijau. Aku duduk di ujung lain sofa itu dan
menatap ke seberang ruangan.
Di ujung ruangan, sebuah boneka beruang coklat besar - sekitar delapan kaki
tingginya - berdiri tegak di kaki belakangnya. Kakek Kurt telah menembaknya
bertahun-tahun yang lalu pada waktu perjalanan berburu. Cakar beruang besar
itu terulur, seolah-olah siap untuk menerkam.
"Itu beruang pembunuh," Kakek Kurt ingat, berayun perlahan, matanya tertuju
pada binatang yang tampak marah itu. "Dia melukai dua orang pemburu
sebelum aku menembaknya. Aku menyelamatkan nyawa mereka."
Aku bergidik dan berpaling dari beruang itu. Aku benar-benar membencinya. Aku
tak tahu mengapa Nenek Miriam membiarkan Kakek Kurt menyimpannya di ruang
tamu!
Dia menatap ke arahku, matanya biru tiba-tiba tak bernyawa dan jemu.
"Ya. Kami sudah lama menunggu cerita Anda," sela Mark. "Beritahu kami yang
satu itu tentang anak laki-laki tanpa kepala di lemari."
"Tidak. Beritahu yang baru," aku bersikeras penuh semangat.
"Aku agak lelah, anak-anak," katanya pelan. "Rasanya aku akan tidur."
Apa yang terjadi di sini? tanyaku pada diriku sendiri. Apa yang salah?
5
Lantai atas di kamar tidurku akhir malam itu, aku ganti baju tidur panjang.
Jendela kamar terbuka, dan angin lembut menyerbu ruangan.
Aku menatap keluar jendela yang terbuka. Satu pohon apel yang
besar melemparkan bayangannya di halaman.
Pikiran gila.
Aku bersin. Sepertinya aku alergi udara pertanian baik siang dan malam!
Aku menatap bayang-bayang panjang dibuat oleh orang-orangan sawah itu.
Embusan angin membengkokkan batang-batang jagung, membuat bayang-
bayang bergulung ke depan seperti gelombang laut yang gelap.
Di bawah cahaya bulan purnama, aku menatap dengan ngeri saat orang-
orangan sawah gelap itu mulai bergerak.
Dari atas bahunya, aku bisa melihat kedutan serempak orang-orangan sawah
itu. Rasa dingin ngeri membuatku melingkarkan lenganku pada diriku.
"Itu angin," kata Mark, mundur dari jendela. "Apa masalahmu, Jodie? Itu
cuma angin yang bertiup di sekitar mereka."
"Kau - kau salah, Mark," kataku terbata-bata, masih memeluk diriku sendiri. "Lihat
lagi."
Dia memutar bola matanya dan mendesah. Tapi dia berbalik dan bersandar ke
luar jendela. Dia menatap keluar di lapangan untuk waktu yang lama.
Saat Mark mundur dari jendela, mata birunya melebar dan ngeri. Dia
menatapku serius dan tak mengucapkan sepatah kata pun.
Akhirnya, ia menelan ludah dan suaranya keluar pelan dan ketakutan. "Kita
harus memberitahu Kakek Kurt," katanya.
Kami bergegas turun, tapi kakek-nenek kita sudah tidur. Pintu kamar tidur
tertutup. Sunyi di sisi lain.
"Mungkin sebaiknya kita tunggu sampai besok pagi," bisikku saat Mark dan aku
berjingkat-jingkat kembali ke lantai atas ke kamar kami. "Kupikir kita akan aman
sampai saat itu."
Kami bergerak pelan-pelan kembali ke kamar kami. Aku menutup jendela dan
menguncinya. Di ladang, orang-orangan sawah masih berkedut, masih
menarik narik tiang pancang mereka.
Dengan gemetar, aku berpaling dari jendela dan terjun ke tempat tidur,
menarik selimut tua di atas kepalaku.
Aku tidur dengan gelisah, melemparkan (diri) di bawah selimut tebal. Di pagi hari,
aku melompat penuh semangat dari tempat tidur. Aku menyisir rambutku dan
bergegas turun untuk sarapan.
Mark tepat di belakangku di tangga. Dia mengenakan celana jins yang sama
seperti kemarin dan kaos Nirvana merah hitam. Dia tak mau repot-repot menyisir
rambutnya. Rambutnya berdiri tegak di belakang.
"Kue serabi!" ia berhasil berbicara. Mark cuma baik untuk satu kata pada saat
pagi pagi ini.
Bagaimana aku bisa melupakan kue serabi cokelat Nenek Miriam yang
menakjubkan?
Saat kami bergegas melintasi ruang tamu menuju dapur, aku mengendus
udara, berharap mencium aroma lezat dari adonan kue serabi di atas kompor.
Mark dan aku muncul mendadak ke dapur pada saat yang bersamaan. Kakek
Kurt dan Stanley sudah di meja. Sebuah cerek kopi besar berwarna biru
mengepul berdiri di depan mereka.
Stanley menghirup kopinya. Kakek Kurt wajahnya terbenam di balik koran pagi.
Dia mendongak dan tersenyum saat Mark dan aku masuk.
Setiap orang mengucapkan selamat pagi pada semuanya.
Mark dan aku mengambil tempat kami di meja. Kami begitu bersemangat
untuk kue serabi yang terkenal itu, kami hampir-hampir menggosok tangan
kami bersama-sama seperti perbuatan tokoh kartun.
"Tidak seperti semangkuk jonjot jagung yang baik di pagi hari," kata Stanley
dengan senyum lebar. Dia meraih kotak jonjot jagung di tengah meja dan
mengisi mangkuknya dengan porsi kedua.
"Silakan - makan sebelum jadi lembek," desak Nenek Miriam dari bak cuci piring.
Mark dan aku hanya saling menatap. Musim panas lalu, Nenek Miriam
membuatkan kami setumpuk besar kue serabi coklat hampir setiap
pagi!
Perutku berbunyi. Aku mengambil sendok dan mulai makan jonjot jagungku. Aku
melihat Mark dengan sedih menyendok punyanya. Dan tiba-tiba aku teringat
orang-orangan sawah yang berkedut.
"Kakek Kurt -" aku mulai. "Tadi malam, Mark dan aku - kami memandang ladang
jagung dan kami melihat orang-orangan sawah. Mereka bergerak. Kami -"
"Itu angin," katanya, matanya terarah pada Kakek Kurt. "Ini pasti angin yang
bertiup di sekitar mereka."
dalam angin."
"Ini akan jadi hari yang cerah," kata Nenek Miriam dengan cerah dari bak cuci
piring.
Kakek Kurt berpaling ke Stanley. "Setelah kau membawa sapi ke padang rumput,
mungkin kau, Jodie dan Mark dapat memancing di sungai."
"Mungkin," jawab Stanley, mengamati kotak jonjot jagungnya. "Mungkin kita bisa
melakukannya."
"Kedengarannya menyenangkan," kata Mark. Mark suka memancing. Ini salah
satu olahraga favoritnya karena kau tak perlu terlalu banyak bergerak.
Ada sungai yang benar-benar indah di belakang padang rumput sapi di ujung
tanah milik Kakek Kurt. Di belakang sana sangat penuh dengan pepohonan, dan
sungai sempit itu mengalir pelan di bawah naungan pohon-pohon tua dan
biasanya penuh dengan ikan.
Menghabiskan sereal-ku, aku berbalik pada Nenek Miriam di bak cuci piring.
"Dan apa yang Anda lakukan hari ini?" tanyaku padanya. "Mungkin Anda dan aku
bisa menghabiskan waktu bersama dan -"
"Ohhhh." Aku mengerang ketakutan saat aku melihat tangannya. Tangannya itu
- itu terbuat dari jerami!
7
"Jodie - ada apa?" tanya Nenek Miriam.
Lalu tangan itu terlihat jelas, dan aku melihat bahwa tangannya bukan jerami -
dia memegang sapu.
Dia memegannya dengan menahan dan melepas kain tiras dari ujung jerami.
"Tak ada yang salah," kataku, merasa seperti orang yang benar-benar
brengsek. Aku mengusap mataku.
"Aku harus minum obat alergiku," kataku. "Mataku sangat berair. Aku terus
melihat hal-hal!"
***
Lalu Stanley membawa kami memancing pagi itu. Saat kami mulai berangkat ke
sungai, ia tampak dalam suasana hati yang benar-benar baik.
Dia tersenyum sambil mengayunkan keranjang piknik besar Nenek Miriam yang
disiapkan untuk makan siang kami.
Udara hangat berbau manis. Cahaya matahari turun di langit biru tak berawan.
Helaian rumput yang baru saja dipotong menempel pada sepatu putihku saat
kami menuju di halaman belakang.
"Hei - tunggu dulu!" panggil Mark terengah-engah. Adikku benci untuk terburu
buru saat ia dapat menghabiskan waktu.
"Ini akan membawa kita keberuntungan memancing kita," jawab Stanley. Lalu
menambahkan, "Ini ada dalam buku. Semuanya dalam buku."
Aku membuka mulut untuk mengatakan padanya ini benar-benar konyol. Tapi
aku memutuskan untuk tak (mengatakannya). Ia tampak begitu serius tentang
buku takhayul-nya. Aku tak ingin merusaknya.
mempercayainya.
Dan apakah salah satu dari mereka mengangkat lengan untuk melambaikan
tangan jeraminya padaku?
Aku memarahi diriku sendiri karena pikiran-pikiran bodoh seperti itu, dan
memalingkan mataku.
Ini adalah hari yang indah, dan kau tak perlu khawatir. Cobalah untuk
bersantai dan bersenang-senang.
Jalanan itu menuju ke hutan pinus yang tinggi di belakang ladang jagung. Jadi
teduh dan jauh lebih dingin segera setelah kami melangkah ke dalam hutan.
"Tak bisakah kita naik taksi di sisa perjalanan?" rengek Mark. Sebuah lelucon khas
Mark. Dia akan benar-benar naik taksi jika ada!
Jalanan berakhir, dan kami terus melewati pepohonan. Baunya begitu berpinus
dan segar di hutan. Aku melihat, tupai kecil berwarna coklat-putih melesat ke
dalam rongga gelondongan kayu.
"Biji pinus di tempat yang rindang artinya musim dingin yang panjang," katanya,
membalikkan buah pinus kering itu di tangannya.
"Buah pinusnya masih lengket. Itu pertanda yang bagus," katanya serius.
Mark terkikik. Aku tahu ia berusaha untuk tak tertawa di Stanley. Tapi entah
bagaimana tawa itu lolos.
"Ini buku yang sangat sulit," jawab Stanley. "Aku mengalami kesulitan dengan
beberapa kata-katanya."
***
Air jernih terasa dingin di kakiku. Batu-batu halus dari dasar sungai jadi licin di
bawah kakiku yang telanjang.
Kami bertiga telah mengarungi ke sungai dangkal. Mark ingin berbaring di tepi
sungai berumput untuk (memancing) ikan. Tapi aku meyakinkannya akan jauh
lebih menyenangkan - dan lebih mudah untuk menangkap sesuatu - jika kau
berdiri di dalam air.
Dia meletakkan keranjang piknik besar dengan hati-hati di rumput kering. Lalu dia
menggulung kaki pakaian kerja denimnya. Membawa tinggi-tinggi galah itu di satu
tangan, ia melangkah ke dalam air.
Dia berbalik, bingung. Telinga yang besarnya jadi merah terang. "Apa yang
kulupakan, Jodie?"
Dia melirik kail kosong di ujung talinya. Lalu ia berjalan kembali ke pantai untuk
mendapatkan cacing untuk umpan kailnya.
Beberapa menit kemudian, kami bertiga berada di air. Mark yang pertama
mengeluh tentang betapa dingin sungai itu dan tentang bagaimana batu-batu
di dasar sungai menyakiti kaki kecilnya yang halus.
Sungai saat ini dalamnya hanya sekitar dua kaki. Airnya sangat jernih dan mengalir
sedikit cepat, membuat putaran-putaran kecil dan menukik di atas batu-batu
dasar sungai.
Aku menurunkan taliku ke dalam air dan melihat plastik merah gembung
mengapung di permukaan. Jika plastik mulai tenggelam, aku tahu kailku digigit
(ikan).
Matahari terasa hangat di wajahku. Air dingin yang mengalir lewat
menyenangkan. Kuharap sungai ini cukup dalam untuk berenang di sini, pikirku.
Akhirnya, dia menyentak keras lalu - dan menarik segumpalan tebal gulma hijau.
"Bagus, Mark," kataku sambil memutar mata. "Itu sesuatu yang besar,
benar sekali."
Tangan itu menggapai naik dari air, melingkari pergelangan kakiku, dan mulai
memperketat cengkeraman basah dinginnya di sekitar kakiku.
8
Tapi kakiku terpeleset di batu-batu yang halus. Tanganku terangkat saat aku
terguling ke belakang.
Dan lalu aku melihatnya. Gumpalan gulma hijau yang telah membungkus sendiri
di sekitar pergelangan kakiku.
Aku menurunkan kakiku ke air. Aku tak bergerak. Aku hanya berbaring di
punggungku, menunggu hatiku untuk berhenti berdebar-debar, merasa sekali
lagi seperti orangg yang benar-benar brengsek.
Aku melirik ke arah Mark dan Stanley. Mereka menatap ke arahku, terlalu kaget
untuk tertawa.
"Aku tak membawa handuk," kata Stanley prihatin. "Maafkan aku, Jodie, aku tak
tahu kau ingin berenang."
"Aku tak butuh handuk," kataku pada Stanley. "Rasanya bagus. Sangat segar."
Aku berdebat apa yang harus dilakukan berikutnya saat aku mendengar
suara berderak di hutan.
Langkah kaki?
Aku berbalik dan menatap ke pepohonan. Aku tak melihat siapa pun.
Tupai lain bergegas pergi di atas selimut dedaunan cokelat yang mati.
Apakah seseorang - atau sesuatu - membuat takut tupai?
"Sticks - Aku tahu itu kau!" panggilku dengan ragu. "Aku benar-benar lelah
dengan tipuan bodohmu. Sticks?"
"Sticks -?"
Aku melihat mantel gelap menggembung. Kepala kain goni yang memudar. Topi
fedora hitam miring di atas lukisan mata hitam.
Aku melihat jerami menyembul di bawah jaket. Jerami mencuat keluar dari
lengan jaket yang panjang.
Orang-orangan sawah.
"Jodie, ada apa?" tanya Stanley. "Mark dan aku - Kami pikir kami mendengarmu
memanggil"
"Ada apa?" Mark bertanya santai. Tali di galah pancingnya telah menjadi kusut,
dan ia berusaha untuk melepaskannya. "Apa kau melihat tupai atau sesuatu?"
"Tidak - aku - aku -" Jantungku berdebar begitu keras, aku nyaris tak bisa bicara.
Aku menunjuk.
10
"Yah... Mungkin itu hanya bayangan," kataku. Aku tak ingin menakut-nakuti
Stanley.
Aku menggigil.
"Aku basah kuyup. Aku harus kembali di bawah sinar matahari," kataku pada
mereka.
"Tapi apakah kau melihatnya?" tanya Stanley, matanya yang besar terpaku
padaku. "Apa kau melihat orang-orangan sawah di sini, Jodie?"
"Aku akan mengejarnya," kataku pada Mark. "Lalu aku akan menceritakan
tentang hal ini Kakek Kurt. Bisakah kau bawa kembali pancing ini sendirian?"
Aku mengatakan kepadanya ia harus. Lalu aku berlari sepanjang jalan melalui
hutan menuju rumah pertanian.
Di depan aku melihat Stanley berlari ke rumah kecilnya. Aku menadahkan tangan
ke mulutku dan memanggilnya, tapi dia menghilang ke dalam.
Aku memutuskan untuk mencari Kakek Kurt dan bercerita tentang orang-
orangan sawah yang kulihat bergerak melalui hutan.
Rambut basahku memantul di bahuku saat aku lari ke gudang. Aku berdiri di
persegi panjang cahaya yang membentang dari pintu dan menatap
kegelapan.
Mendengar suara gesekan pelan di dinding yang jauh, aku berjalan ke arah itu.
"Kakek Kurt - bisakah aku bicara dengan Anda? Aku benar-benar perlu bicara
dengan Anda!" Suaraku terdengar kecil dan ketakutan di gudang besar gelap
itu. Sepatuku menggesek di lantai jerami kering saat aku berjalan menuju
belakang.
Aku menyelinap di atas jerami saat aku mulai bergerak maju dengan tiba-tiba
menuju pintu geser itu. Aku jatuh dengan keras, tapi dengan cepat berdiri
dengan canggung.
Saat pintu yang berat itu bergemuruh menutup, persegi panjang cahaya
jadi menyempit, menyempit.
Aku menggedor pintu gudang kayu dengan kedua tangan. Lalu dengan panik aku
menyapukan tangan di atas pintu, membabi buta untuk mencari palang pintu,
atau sesuatu yang ditarik - beberapa cara untuk membuka pintu.
Saat aku tak bisa menemukan apa-apa, aku menggedor pintu sampai tinjuku
Tenang, Jodie, kataku pada diriku sendiri. Tenang. Kau akan keluar dari gudang.
Kau akan menemukan jalan keluar. Ini tak seperti kau terjebak di sini selamanya.
Aku baru saja mulai merasa sedikit lebih baik saat aku mendengar suara
Suara langkah kaki. Suara langkah kaki pelan yang tetap, begitu dimah di lantai
gudang.
11
"Tolong -" Aku mengeluarkan suara dengan suara tersedak kecil. "Tolong - jangan
-"
Lebih dekat. Lebih dekat. (Sesutu) yang menggaruk itu ke arahku melalui
kegelapan yang pekat.
Sebelum aku sadar apa yang kulakukan, aku menaiki tangga. Lenganku gemetar,
dan kakiku masing-masing terasa seolah-olah beratnya ribuan pon.
Tapi aku bergegas melangkahi anak -anak tangga menuju loteng jerami,
menjauh dari garukan langkah kaki yang menakutkan di bawah.
Saat aku mencapai puncak, aku berbaring di lantai loteng jerami. Aku
berusaha untuk mendengarkan, mendengar langkah-langkah kaki di atas
debaran hatiku yang keras.
Tapi suara-suara itu berlanjut, kering dan kasar membuat gatal. Seperti
jerami menyapu jerami.
Berusaha untuk berlutut, aku berpaling ke jendela, jendela kecil loteng jerami
yang persegi. Sinar matahari mengalir melalui jendela. Cahaya itu membuat
jerami berserakan di atas lantai berkilau seperti helaian emas kecil.
Ya! Tali berat itu masih terikat ke samping. Tali yang selalu Mark dan aku
gunakan untuk berayun ke tanah.
Aku bisa keluar dari sini! kataku pada diriku sendiri dengan senang. Aku bisa
meraih tali itu dan berayun keluar dari loteng jerami itu. Aku bisa lolos! Dengan
penuh semangat, aku meraih tali itu dengan kedua tangan. Lalu aku melongok
keluar jendela dan menatap ke bawah, ke tanah. Menjerit terkejut dan ngeri.
12
Menatap ke bawah, aku melihat satu topi hitam. Di bawahnya, sebuah
mantel hitam.
Satu orang-orangan sawah. Bertengger di luar pintu gudang. Seolah-olah
berjaga jaga.
Dan saat aku menatap tak percaya, ia bergegas berputar ke sisi gudang,
terpincang pincang pada kaki jerami, lengannya terkepak-kepak di pinggangnya.
Tanganku terasa dingin dan basah. Aku mencengkeram tali itu lebih erat.
Mengambil napas dalam-dalam, aku meloncat keluar dengan tiba-tiba dari
jendela persegi kecil itu.
Aku melepaskan tali itu dan berlari ke sisi gudang. Aku ingin mengejar itu orang
orangan sawah itu. Aku ingin melihat apakah itu benar-benar orang-orangan
sawah, orang-orangan sawah yang dapat berjalan.
Dia mengenakan pakaian kerja jins pudar, dipotong pada kedua lutut, dan
kemeja ungu pudar berotot yang benar-benar memamerkan betapa kurusnya
dia. Rambut hitamnya diikat ke belakang model ekor kuda pendek.
13
Itu Sticks.
Dan aku tiba-tiba yakin bahwa Stick entah (dengan cara) bagaimana membuat
orang-orangan sawah itu berkedut dan menarik tiang-tiang pancang mereka
tadi malam.
Sticks benar-benar suka menipu "anak-anak kota." Sejak Mark dan aku kecil, ia
hampir sudah memainkan, lelucon paling menakutkan dan paling kejam
kepada kami.
Kadang-kadang Sticks bisa jadi pria yang baik. Tapi dia benar-benar punya sifat
kejam.
"Yah, aku tidak," bentakku. "Sticks, mengapa kau terus berusaha menakut-
nakuti kami?"
"Sticks, yang benar saja," gumamku. "Aku tahu kau adalah orang-orangan
sawah itu baru sekarang. Aku tidak bodoh!"
"Kau benar-benar gila," jawab Sticks marah. "Apa kau telah keluar di bawah sinar
matahari terlalu lama atau sesuatu?"
"Sticks - menyerahlah," kataku. "Kenapa kau melakukan ini? Mengapa kau terus
berusaha untuk menakut-nakuti Mark dan aku? Kau membuat takut ayahmu
juga."
"Jodie, kau gila!" serunya. "Aku benar-benar tak punya waktu untuk
berdandan kostum itu hanya untuk menghiburmu dan adikmu."
"Sticks - kau tak akan bisa membodohiku," aku bersikeras. "Kau -"
Aku mengangguk.
"Aku harus menemukannya!" Sticks berseru panik, "Dia - dia bisa melakukan
sesuatu yang mengerikan!"
"Sticks, leluconmu sudah kelewatan!" jeritku. "Benar-benar hentikan!"
Tapi dia sudah berlari ke arah bagian depan gudang, memanggil ayahnya,
suaranya nyaring dan panik.
***
Sticks tak menemukan ayahnya sampai makan malam. Itulah saat aku
melihatnya, juga - tepat sebelum makan malam. Dia membawa buku
takhayulnya yang besar, memegang erat-erat di bawah lengannya.
"Jangan katakan Kakek Kurt tentang orang-orangan sawah itu," bisik Stanley.
"Jangan bilang kakekmu," ulang Stanley. "Ini hanya akan membuatnya kesal. Kita
tak ingin menakut-nakutinya, bukan?"
Aku mulai menceritakan Stanley bahwa orang-orangan sawah itu cuma Sticks,
yang memainkan lelucon buruk. Tapi Nenek Miriam memanggil kami ke meja
sebelum aku bisa mengatakannya.
Dia menggerakkan bibirnya saat dia membaca. Tapi aku duduk di ujung meja dan
tak mengerti sepatah kata pun.
Sticks terus menatap di atas piringnya dan tak mengucapkan sepatah kata pun.
Kupikir dia benar-benar malu bahwa ayahnya sedang membaca buku takhayul
di meja makan.
Tapi Kakek dan Nenek Miriam Kurt tak sedikit pun terkejut. Mereka berbicara
riang pada Mark dan aku dan terus memberi kami makanan lebih banyak-
seolah olah mereka bahkan tak menyadari sikap Stanley.
Selain itu, aku bisa berurusan dengan Sticks jika aku harus. Dia pikir dia begitu
jantan. Tapi aku tak takut sedikit pun padanya.
Dia benar.
"Semua orang suka kue ceri," jawabnya, berkonsentrasi pada pekerjaannya. Lalu
ia mengangkat matanya ke Stanley. "Bukankah itu benar itu, Stanley?"
Setelah makan malam, Kakek Kurt sekali lagi menolak untuk menceritakan pada
Mark dan aku suatu cerita menakutkan.
Kami duduk di sekitar perapian, menatap derakan api yang kuning. Meskipun
sudah begitu panas, udara jadi dingin malam ini, cukup dingin untuk membuat
api unggun yang bagus.
Kakek Kurt berada di kursi goyang di samping perapian. Kursi kayu tua berderit
saat dia bergoyang perlahan-lahan maju dan mundur.
Dia selalu senang memandang api dan menceritakan pada kami salah satu kisah
menakutkan itu. Kau bisa melihat loncatan-loncatan api tercermin di mata
birunya. Dan suaranya akan jadi lebih rendah dan lebih rendah saat cerita itu jadi
menakutkan.
Tapi malam ini ia mengangkat bahu ketika aku meminta kepadanya untuk suatu
cerita. Dia menatap jemu pada boneka beruang besar pada alasnya di dinding.
Lalu ia melirik ke seberang ruangan pada Stanley.
"Seandainya aku tahu beberapa cerita yang baik," jawab Kakek Kurt sambil
mendesah. "Tapi aku sudah kehilangan itu sama sekali."
Beberapa saat kemudian, Mark dan aku berjalan ke lantai atas untuk kamar
tidur kami.
"Semua orang di sini berbeda," aku setuju. "Kecuali Sticks. Dia masih mencoba
untuk menakut-nakuti kita anak-anak kota."
"Sudahlah kita abaikan saja dia," saran Markus. "Ayo kita pura-pura kita tak
melihatnya berjalan berputar-putar dalam kostum bodoh orang-orangan
sawahnya itu."
Aku setuju. Lalu aku mengucapkan selamat malam dan menuju ke kamarku.
Aku tak akan berpikir tentang orang-orangan lagi, kataku pada diriku sendiri.
Naik ke tempat tidur, aku menarik selimut sampai ke daguku. Aku berbaring
telentang, menatap retakan-retakan di langit-langit (kaama), mencoba untuk
mencari tahu gambar macam apa yang mereka bentuk. Ada tiga retakan
bergerigi. Aku memutuskan bahwa mereka tampak seperti baut petir.
Jika aku memicingkan mata, aku bisa membuatnya terlihat seperti orang
tua berjenggot.
Aku menguap. Aku merasa sangat mengantuk, tapi aku tak bisa tidur.
Itu baru malam keduaku di sini di pertanian. Aku selalu perlu waktu untuk
menyesuaikan diri dengan berada di tempat baru dan tidur di ranjang yang
berbeda.
Aku memejamkan mata. Melalui jendela yang terbuka, aku bisa mendengar
sapi melenguh pelan dari gudang. Dan aku bisa mendengar bisikan angin saat
ia menyisir batang-batang jagung yang tinggi.
Aku menghitung sampai seratus dua belas sebelum aku memutuskan bahwa
ini juga tak bekerja.
Aku berpikir tentang beberapa temanku yang lain. Kebanyakan dari mereka
cuma berkeliaran di musim panas ini, tak melakukan apa-apa.
Ketika aku melirik jam, aku terkejut melihat itu hampir pukul dua belas. Aku harus
tidur, aku berkata pada diriku sendiri. Aku akan hancur besok jika aku tak bisa
tidur.
Aku duduk telentang, menarik selimut yang lembut sampai ke daguku lagi. Aku
memejamkan mata dan mencoba tak membayangkan apa-apa. Hanya ruang
kosong yang hitam. Ruang kosong tiada akhir.
Harus bisa tidur, pintaku pada diriku sendiri. Harus bisa tidur.
Mendengarkan keras.
Aku menarik diriku ke papan di ujung kepala tempat tidur. Aku menarik selimut
sampai ke daguku, mencengkeram erat-erat dengan kedua tangan.
Aku melihat sesuatu yang menarik diri naik ke jendela. Sesosok gelap. Menahan
sinar bulan.
"Siapa - siapa di sana?" Aku mencoba memanggil. Tapi suaraku keluar dalam
bisikan tercekat.
Bayangan itu berdiri di jendela. Bahu-bahu yang gelap. Diikuti dengan dada yang
lebih gelap. Hitam pada hitam.
Jantungku berhenti berdetak. Aku tak bisa bernapas. Tak bisa bernapas.
Terlambat.
mulut untuk berteriak saat sesuatu itu muncul dari bayang-bayang. Dan lalu aku
"Kakek Kurt!" teriakku. "Kakek Kurt -apa yang Anda lakukan di sini? Mengapa
Anda memanjat di jendela?"
Cuma jerami.
14
Tangan-tangan jerami itu menyapu ke atas wajahku saat aku berdiri. Aku
mundur selangkah, mengangkat tanganku seperti perisai.
"Kakek - Apa yang salah? Apa yang terjadi?" bisikku.
"Tidaaak!" Aku mengeluarkan jeritan panjang ngeri. Lalu aku berbalik dan
tersandung ke pintu.
"Kakek Kurt! Kakek Kurt! Apa yang terjadi!" Apa itu benar-benar suaraku, begitu
melengking dan ketakutan?
Dan kemudian kegelapan melandaku saat tangan jerami Kakek Kurt melilit
wajahku.
15
Aku butuh beberapa detik untuk menyadari bahwa aku telah tidur dengan bantal
di atas wajahku.
Aku melirik jendela, tiba-tiba takut bahwa aku akan melihat sosok gelap
memanjat masuk.
Tirai-tirai berkibar pelan. Langit pagi masih abu-abu. Aku mendengar kokok
melengking dari ayam jantan.
Aku menatap cahaya pagi abu-abu melalui jendela. Hanya mimpi, aku meyakinkan
diriku sendiri. Tenang, Jodie. Itu hanya mimpi.
Aku bisa mendengar seseorang bergerak di sekitar lantai bawah. Dengan berjalan
sempoyongan ke meja rias, aku mengeluarkan beberapa pakaian bersih -
sepasang celana denim pudar, kaos biru tanpa lengan.
Mimpi buruk yang bodoh sekali, pikirku. Aku mengguncangngkan diriku seolah
berusaha menghilangkannya dari ingatanku. Lalu aku menyisir rambutku dan
bergegas turun untuk sarapan.
Mark baru saja memasuki dapur saat aku masuk. Kami menemukan Nenek
Miriam sendirian di meja. Sebuah cangkir teh panas di depannya saat ia menatap
ke luar jendela di sinar matahari pagi.
Aku menatap kursi kosong itu. Surat kabar itu tergeletak di atas meja
belum dibuka.
Dia berdiri, berjalan ke lemari, dan membawa sebuah kotak besar jonjot jagung
ke meja. Dia memberi isyarat pada kami untuk duduk di tempat kami.
"Apa yang kalian merencanakan untuk hari ini?" tanyanya ceria. "Ini pagi yang
indah untuk pergi berkuda. Sebelum mereka pergi pagi ini, Kakek Kurt menyuruh
Stanley memasang pelana Betsy dan Maggie, jika kalian ingin berkuda."
"Apa Anda baik-baik, Nenek Miriam?" tanyaku. Kata-kata itu keluar begitu saja
dari mulutku. "Apa di sini semuanya baik-baik saja ?"
aku."
***
Kakek Kurt selalu memanggil Betsy dan Maggie "kuda betina abu-abu tua."
Kurasa karena mereka berdua tua dan mereka berdua abu-abu. Dan mereka
boleh dikatakan galak saat Mark dan aku naik ke pelana mereka dan mulai
untuk mendorong mereka dari gudang.
Mereka itu kuda-kuda yang sempurna bagi kami "anak-anak kota." Satu-
satunya waktu yang pernah kami dapat untuk berkuda itu selama musim panas
kami di pertanian. Jadi kami tak benar-benar seterampil pembalap dunia.
Memantul terus di atas kedua kuda tua itu persisnya kecepatan kami. Dan
bahkan selambat apapun kami bergerak, aku mendesakkan lututku ke pinggang
Betsy dan berpegangan tanduk pelana demi keselamatanku.
Orang-orangan sawah menatap kembali pada kami saat Mark dan aku lewat.
Mata hitam mereka memelototi kami dari bawah topi mereka yang terkulai.
Mark dan aku tak mengatakan sepatah kata pun. Kami menepati janji kami untuk
tak berbicara tentang orang-orangan sawah.
Aku memutar mataku ke hutan dan melemparkan tali kekang, mendesak Betsy
bergerak sedikit lebih cepat. Dia mengabaikanku, tentu saja, dan terus berderap
di sepanjang jalan di atas langkah tetapnya yang lambat.
"Aku ingin tahu apakah kuda-kuda ini masih bisa lari berderap," teriak Markus.
Dia beberapa langkah di belakangku di jalan tanah yang sempit.
Kuku mereka berderap keras di jalanan saat kedua kuda mulai menambah
kecepatan. Aku terpantul keras di atas pelana, memegang erat-erat,
kehilangan keseimbangan, mulai bertanya-tanya apakah ini adalah ide yang
keren.
Aku tak punya kesempatan untuk berteriak ketika sesosok gelap meluncur
di jalanan.
Betsy berlari dengan cepat. Aku memantul di pelana, terpantul begitu keras,
kakiku menyelinap keluar dari sanggurdi (pijakan kaki).
Betsy meringkik, melengking kaget - dan mundur ke belakang. Saat aku mulai
jatuh, aku melihat langsung apa yang telah melompat ke jalanan itu. Itu adalah
16
Aku meluncur ke belakang, keluar dari sadel, dari kuda, kakiku meronta-ronta liar
untuk memukul sanggurdi (pijakan kaki).
Aku hanya ingat kaget dari berhenti begitu mendadak, terkejut betapa keras
rasanya tanah itu, bagaimana betapa rasa sakit menimpa tubuhku dengan
begitu cepat.
Langit berubah merah cerah. Merah tua menyala. Seperti suatu ledakan.
Lalu warna merah tua itu memudar ke dalam, ke dalam, ke dalam hitam yang
tiada akhir.
***
"Mark -?" Aku berhasil bicara. Punggungku sakit. Bahuku terluka. Kepalaku
berdenyut-denyut.
Semuanya terluka.
Satu tangan kurus menjulur keluar dari mantel hitam yang berat. Tangan
17
"Stanley!" teriakku.
Dia membungkuk di atasku, telinga merah menyala, wajahnya tegang karena
khawatir. Dia meraih bahuku dengan lembut. "Jodie - apa kau baik-baik saja?"
"Stanley - itu kau!" seruku gembira. Aku duduk. "Kupikir aku baik-baik saja. Aku
tak tahu. Semuanya sakit."
"Jatuh yang buruk sekali," kata Stanley lembut. "Aku berada di ladang. Dan aku
melihatnya. Aku melihat orang-orangan sawah...."
"Di mana kudaku?" tanyaku, mencari-cari di kedua arah di sepanjang jalan. Aku
berdiri dengan goyah.
"Dia berlari kembali ke gudang," jawab Stanley, menunjuk. "Paling cepat. Aku
pernah melihatnya dia pergi (seperti itu) bertahun-tahun (yang lalu)!"
Dia melirik ke orang-orangan sawah itu dan bergidik lagi.
Stanley dengan tak sabar membantu Mark berdiri. Aku bisa lihat bahwa
Stanley ingin pergi dari sini - menjauh dari orang-orangan sawah itu - secepat
mungkin.
Aku melihat saat mereka melaju menuruni jalan menuju rumah. Stanley duduk di
belakang Mark di atas pelana, memegang kendali, menjaga Maggie pada
kecepatan pelan yang hati-hati. Mark menahan pergelangan tangannya ke
dadanya dan bersandar pada Stanley.
Aku tak tahu apa yang kuharapkan terjadi. Apa kupikir orang-orangan sawah akan
berteriak? Mencoba untuk menggeliat pergi?
Mark dan aku bisa saja terbunuh, kataku pada diriku sendiri.
Kami beruntung kami tak terbunuh.
Tapi mengapa?
18
Stanley dan Sticks tak ada saat makan siang. Kakek Kurt mengatakan mereka
harus pergi ke kota untuk persediaan.
Nenek Miriam menghidangkan sandwich ham dan kubis buatan sendiri. Mark
dan aku menelan makan siang kami dengan cepat. Semua kehebohan itu yang
telah membuat kami benar-benar lapar.
Saat kami makan, aku memutuskan untuk memberitahu Kakek Kurt segala yang
telah terjadi. Aku tak bisa menahan lagi.
Aku mengatakan padanya tentang bagaimana Sticks membuat orang-orangan
sawah itu bergerak di malam hari. Dan bagaimana ia berusaha menakut-
nakuti kami, mencoba untuk membuat kami berpikir orang-orangan sawah
itu hidup.
Sekilas aku melihat ketakutan di mata biru Kakek Kurt. Tapi kemudian ia
mengusap pangkal janggut putih di pipinya, dan wajahnya jadi tampak
melamun.
"Kami bisa saja terbunuh pagi ini!" Mark ikut bergabung. Pipinya berlumuran
mayones.
"Sticks anak yang baik," gumam Nenek Miriam. Dia juga tersenyum. Dia dan
Kakek Kurt bertukar pandang.
"Stiks tak akan benar-benar menyakiti kalian," kata Kakek Kurt pelan. "Dia cuma
suka bersenang-senang."
Kakek dan Nenek Miriam Kurt cuma tersenyum kembali pada kami, wajah mereka
membeku seperti wajah orang-orangan sawah yang dicat itu.
***
Aku tak berpikir leluconnya menyenangkan sama sekali. Aku benar-benar percaya
dia mencoba menakut-nakuti kami atau menyakiti kami - dan aku ingin mencari
tahu mengapa.
Aku tak melihat Sticks atau Stanley di halaman. Jadi aku berjalan melintasi rumput
ke rumah tamu di mana mereka tinggal.
Ini adalah hari indah yang hangat. Langit jernih dan terang. Udara berbau
segar dan manis.
Tapi aku tak bisa menikmati sinar matahari. Yang bisa kupikirkan hanyalah
membiarkan Sticks tahu betapa marahnya aku.
Aku mengetuk pintu rumah tamu. Aku menarik napas dalam-dalam dan
mengibaskan rambut ke belakang bahuku, mendengarkan tanda-tanda kehidupan
di dalamnya.
Aku mencoba memikirkan apa yang akan kukatakan pada Sticks. Tapi aku terlalu
marah untuk merencanakannya. Hatiku mulai berdebar-debar. Aku sadar aku
sulit bernapas.
Aku berlari-lari kecil ke gudang. Dua gagak besar melompat di tanah di depan
pintu gudang yang terbuka. Mereka mengepakkan sayapnya dengan keras
dan buru-buru keluar dari jalanku.
Sebuah mesin pengepak (rumput) berkarat berdiri di salah satu sisi pak-pak
jerami. Satu gerobak dorong (yang beroda satu) miring di dinding. Aku tak
memperhatikan benda-benda itu sebelumnya.
"Mungkin dia tak ada di sini," kataku pada diriku sendiri keras-keras.
Aku berjalan melewati gerobak dorong. Aku melihat sesuatu yang lain yang tak
kuperhatikan sebelumnya - tumpukan mantel tua di lantai gudang. Karung-
karung goni kosong ditumpuk di sampingnya.
Aku mengambilnya satu. Karung ini punya wajah yang digambar cemberut dengan
cat cat hitam. Aku menjatuhkan karung itu kembali ke tumpukan.
dibuat?
Dan aku sadar bahwa sekali lagi aku tak lagi sendirian.
19
"Tapi kenapa?" tuntutku. "Apa masalahmu, Sticks? Apa yang kami lakukan
padamu? Mengapa kau mencoba untuk menakut-nakuti kami?"
"Aku tidak," jawab Sticks. Dia melirik gugup ke belakang ke pintu gudang.
"Bohong," gumamku marah. "Kau pasti benar-benar berpikir aku tolol. Aku tahu
kau yang melemparkan orang-orangan sawah itu ke jalan kami pagi ini. Itu pasti
kau, Sticks."
"Aku benar-benar tak tahu apa yang kau bicarakan," ia bersikeras dengan
dingin. "Tapi aku memperingatkanmu -"
"Aku - aku harus pergi," Sticks berbisik tegang padaku. Dia berbalik dan mulai
berlari menuju Stanley.
Aku melihat mereka berdua bergegas (keluar) dari gudang. Sticks tak melihat ke
belakang.
Aku berdiri dalam kegelapan, mataku (tertuju) pada ambang pintu yang
kosong, berpikir keras.
Aku tahu ia membuat orang-orangan itu bergerak di malam hari. Aku tahu dia
berpakaian seperti orang-orangan sawah untuk menakut-nakutiku di hutan dan
di gudang. Dan aku tahu dia-lah yang melemparkan orang-orangan di depan
kuda pagi ini.
"Kau pasti bisa," aku meyakinkannya. "Ini akan jadi benar-benar keren."
"Tapi pergelanganku sakit lagi," rengek adikku. "Ini benar-benar mulai sakit. Aku
tak bisa menggunakannya."
Dia mulai protes lagi. Tapi kemudian senyuman mengembang di wajahnya, dan
matanya menyala gembira.
"Tentu saja itu ide yang mengagumkan," aku setuju. "Aku yang memikirkan itu!"
Kami berdiri di ambang pintu ke gudang. Cahaya putih dari bulan purnama
bersinar di atas kami. Burung-burung hantu berkaok-kaok di suatu tempat
yang dekat.
Malam itu malam cerah yang dingin. Rumput itu berpendar karena embun tebal.
Angin lembut membuat pepohonan berbisik. Cahaya bulan begitu terang, aku
bisa melihat setiap helai rumput.
Setelah Kakek Kurt dan Nenek Miriam tidur, aku menyeret Mark dari rumah. Aku
menariknya melintasi halaman ke gudang.
"Tunggu di sini," kataku. Lalu aku bergegas ke gudang untuk mendapatkan apa
yang kami butuhkan.
Agak sedikit menyeramkan dalam gudang gelap itu di malam hari. Aku mendengar
kibaran lembut suara yang tinggi di langit-langit.
Mungkin kelelawar.
Sepatuku basah karena rumput. Aku meluncur di atas jerami di lantai gudang.
Aku meraih salah satu mantel tua yang besar dari tumpukan. Lalu aku
menarik salah satu dari wajah-wajah karung goni itu dan menyandangkannya
di atas mantel.
Aku akan pergi ke rumah tamu dan mencari Sticks. Aku akan memberitahu Sticks
aku melihat sesuatu yang aneh di lapangan. Aku akan menarik Sticks keluar ke
lapangan. Mark akan mulai terhuyung-huyung ke arahnya - dan Sticks akan
sangat ketakutan, dia akan jadi pengecut!
Aku menarik kantong goni itu di atas kepala Mark. Mata dicat hitam itu menatap
ke arahku. Aku meraih ke bawah, mengambil segenggam penuh jerami, dan
mulai menjejalkan di bawah kantong itu.
"Berhentilah menggeliat!" Kataku pada Mark.
"Kau akan terbiasa akan itu," kataku padanya. Aku meraih bahunya. "Berdirilah
diam. Jangan bergerak."
Aku mengisi wajah karung goni itu dengan jerami. Lalu aku mengangkat mantel
tua itu untuk Mark pakai.
"Aku tak bisa melakukan ini!" ratapnya. "Aku akan gatal sampai mati. Aku tak
bisa bernapas!"
"Bisakah kau berdiri diam?" bisikku marah. "Ini perlu banyak kerja keras - kau
tahu?"
Dia menggerutu dengan suara pelan untuk dirinya saat aku terus bekerja.
Jerami menempel tanganku, jerami di semua di bagian depan kaus dan celana
jins ku. Aku bersin. Sekali. Dua kali. Aku pasti alergi pada benda-benda ini.
Tapi aku tak peduli. Aku begitu gembira. Aku tak sabar untuk melihat wajah Sticks
yang ketakutan. Aku tak sabar untuk membalas dendam padanya atas upayanya
menakut-nakuti kami sepanjang minggu.
"Aku butuh topi," kata Mark. Dia berdiri kaku, takut untuk bergerak di bawah
semua jerami itu.
"Hmmmm." Aku berpikir keras. Tak ada topi di gudang pada persediaan orang
orangan sawah lainnya.
"Kita agaknya akan mengambil satu dari orang-orangan sawah yang asli," kataku
pada Mark.
Aku melangkah mundur untuk melihat hasil karyaku. Mark tampak cukup bagus.
Tapi dia masih perlu lebih banyak jerami. Aku mulai bekerja, mengisi dirinya,
membuat jaket tua menggelembung.
"Nah, jangan lupa untuk berdiri tegak dan kaku, dengan lengan lurus,"
perintahku. "Apa aku punya pilihan?" keluh Mark. "Aku - aku tak bisa bergerak
sama sekali!"
"Bagus," kataku. Aku mengatur jerami yang menjulur keluar dari lengan
kemejanya, lalu melangkah mundur.
"Hah?"
Aku tertawa.
"Pikirmu ini akan bekerja?" tanya Mark, berjalan kaku. "Menurutmu kita
benar benar akan menakut-nakuti Sticks?"
Aku mengangguk. Sebuah seringai jahat menyebar di wajahku.
"Kupikir begitu," kataku pada adikku. "Kupikir Sticks akan (mengalami) sebuah
kejutan yang mengerikan."
Kami melangkah ke lapangan. Sepatu kami berderak di atas tanah yang kering
saat kami berjalan melalui jalanan yang sempit.
Batang-batang jagung naik di atas kepala kami. Angin membuatnya miring ke atas
kami, seolah-olah mencoba untuk menutupi kami di dalamnya.
Langkah-langkah kaki?
Kreeeek. Kreeeek.
Kreeeek. Kreeeek.
"Oh."
"Jodie, bisa kita pergi?" tanyanya tak sabar. "Benda ini benar-benar gatal sekali!"
Mark tak menjawab. Tapi dia membiarkan aku membawanya lebih dalam
ke ladang jagung.
Aku terkesiap keras sebelum aku menyadari itu adalah bayangan panjang
orang orangan sawah.
Aku mengulurkan tangan dan menarik topi coklat yang terkulai dari kepala
goninya. Lalu aku menurunkannya di atas kepala goni Mark dan menariknya erat
erat ke bawah.
"Aku tak akan pernah berhenti (merasa) gatal!" rengek Mark. "Bisakah kau
garukkan punggungku? Tolonglah? Seluruh punggungku gatal!?"
Aku menggosok sedikit agak keras bagian belakang jaket tua itu.
Aku terengah-engah saat aku tiba di rumah tamu. Ambang pintu itu gelap.
Tapi samar-samar cahaya oranye menyala di balik tarikan bayangan jendela.
Bagaimana aku akan mengajak Sticks untuk keluar sendirian - tanpa ayahnya?
Aku tak ingin menakut-nakuti Stanley. Dia seorang pria benar-benar baik, yang tak
pernah berpikir untuk bermain lelucon buruk pada Mark dan aku. Dan aku tahu
betapa takut dan kesalnya ia.
Aku menggigil.
Ya. Aku mengenali topi terkulai, mantel besar gelap yang turun ke bawah
melewati lutut.
Apa yang dia lakukan? tanyaku pada diriku, mengawasinya mendekat.
"Mark - apa ada yang salah?" Aku memanggil dengan bisikan keras.
"Mark - kembali di ladang!" bisikku. "Kau seharusnya tak mengikutiku. Kau akan
menghancurkan segalanya Mark? Apa yang kau lakukan di sini"
Dan saat aku menatap ke mata dingin dicat hitam - aku menyadari dengan
ngeri bahwa itu bukan Mark!
22
"Itu - itu benar-benar orang-orangan sawah!" teriakku ngeri. "Tapi itu - berjalan!"
"Maksudmu itu bukan kau?" tuntutku. "Itu bukan kau yang mencoba
untuk menakut-nakuti Mark dan aku?"
Sticks menggeleng. Dia mengangkat matanya yang gelap padaku.
"Ayah yang membuat orang-orangan sawah itu hidup," katanya pelan. "..
Minggu lalu. Sebelum kalian datang. Dia menggunakan bukunya. Dia
meneriakkan beberapa kata - Dan mereka semua jadi hidup."
"Oh, tidak," gumamku, mengangkat tangan ke wajahku.
"Ya," jawab Sticks. "Dia menidurkan mereka kembali. Tapi pertama-tama dia
menuntut kakek nenekmu membuat beberapa janji. Mereka harus berjanji
untuk tak menertawakannya lagi. Dan mereka harus berjanji untuk melakukan
semua yang dia inginkan dari sekarang."
Sticks menarik napas dalam-dalam. Dia menatap ke arah jendela rumah tamu.
"Apa kau tak melihat bagaimana hal-hal yang berbeda di peternakan?
Tidakkah kaulihat betapa takutnya kakek nenekmu?"
"Mereka sudah berusaha untuk membuat Ayah senang," lanjut Sticks. "Mereka
sudah melakukan segala sesuatu yang mereka bisa untuk menjaganya dari kesal
atau marah Nenekmu hanya menyajikan makanan kesukaannya. Kakekmu
berhenti menceritakan kisah-kisah menakutkan karena Ayah tak menyukainya."
"Mereka takut dia akan membaca mantra dalam buku lagi dan
menghidupkan kembali orang-orangan sawah itu," kata Sticks. Dia menelan
ludah.
ambang pintu.
Tetapi Stanley tak mendengarnya. Stanley telah masuk kembali ke dalam rumah.
Sticks mulai mengejarnya. Tapi Stanley muncul kembali di ambang pintu. Saat ia
melangkah keluar, aku melihat bahwa ia membawa buku takhayul besar itu.
Matanya liar. Seluruh tubuh kurusnya gemetar. Dia mulai menuju ladang
jagung, benar-benar gila. Sticks mencoba menenangkannya.