Anda di halaman 1dari 5

Bercita-cita Menikahi Tuhan

Cerpen: Muflika Nur Fuaddah

Jeli kuamati selang-seling potongan kecil acar wortel dan mentimun di atas
selada berbentuk perahu lebar di piring makanku. Berjejer untaian-untaian pipih
kwetiau emas kecokelatan, bagiku seni menyusun acar ini sama kacaunya dengan
susunan bebatuan candi yang belum selesai dibangun. Apa yang kulakukan? Aku
menegaskan makan malam dengan memesan acar sebagai pelengkap kwetiau
pengganjal perut mungilku. Hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Bahkan
jika tak sengaja dihidangkan sebagai pelengkap makanan, aku tak pernah barang
sedikitpun berminat untuk menelan acar-acar ini. Hijau-orange acar terlihat
sungguh membuatku muak. Membayangkan saja sudah dapat membuat nyeri rasa
masamnya hingga mual menyundul ke ubun-ubun.

Aku menunggu Nader menyusulku ke kafe Salcedo yang diam-diam


menjadi langganganku. Salcedo biasa menjadi tempat menyendiri saat aku ingin
bertemu dengan diriku sendiri. Tapi kali ini aku rela membagi waktu, tak
tanggung-tanggung memasukkan orang lain ke dalamnya. Alasannya? Klasik,
apalagi kalau bukan putus cinta, meski aku menyangkal segala pengertian tentang
cinta yang tak sedikitpun kurindukan. Bagaimana juga di waktu-waktu seperti ini,
aku butuh hiburan atau sekadar kata-kata motivasi basi -- yang tak akan
membuatku merasa lebih baik.

Berangkat dari pikiran licik, aku sengaja memesan makan lebih dahulu
untuk efisiensi waktu dan agar tanpa rasa bersalah dapat meninggalkan Nader
secepat mungkin nantinya. Balapan makan seperti bukan hal yang buruk, aku
selesai maka aku lekas pergi. Aku hanya butuh didengar sebentar.

Kondisi badanku ditambah malam yang berangin sebenarnya tidak


memungkinkan untuk berlama-lama di luar, tapi apa lagi kalau bukan putus cinta?
Krisis yang tersisa ini harus kukeluarkan. Malang benar nasib Nader, menjadi
satu-satunya orang yang kuanggap sebagai teman di kota kecil ini.

Setengah melahap kwetiau goreng dengan perlahan, Nader mengagetkan


dengan menepuk pundak kiriku dari belakang. Kakinya yang lincah segera
melompat dan menempatkan dirinya terduduk di depanku. Tanpa basa-basi dia
bertanya: “Ada masalah apa lagi?”

“Aku tidak percaya cinta, hubunganku sudah tamat,” jawabku datar


dengan pandangan terarah ke bola mata Nader yang berkilat-kilat merefleksikan
kuning remang-remang lampu kafe.

“Memangnya selama ini kau pernah mempercayai suatu hal?” tanya dia
menelisik sambil menyalakan sebatang cerutu.

“Tidak,” ucapku seketika.

Nader memang perokok aktif, tapi aku tidak tahu sejak kapan dia mulai
menggemari cerutu. Pria hitam manis berlesung pipit yang usianya empat tahun
lebih tua dariku memang agak menyebalkan. Dia selalu percaya bahwa, dunia,
hidup mengelilingi diri Nader. Ya, semacam narsistik yang menganggap diri
Nader begitu istimewa. Satu hal yang tidak kumiliki.

“Sebenarnya cerutu dan rokok konvensional sama-sama beracun, sih,”


kata Nader pada hisapan pertama cerutu Rizona tanpa ada yang bertanya.

Aku hanya mengusap-usap alisku sendiri sembari bersusah payah


menghabiskan acarku yang memang sialan rasa masamnya, konyol. “Tapi...”
Nader menyambung. “Cerutu ini yang make para ningrat kerajaan dan eksmud,
eksekutif biasanya yang nyerutu, sekelas prince... jadi beda kasta,” ucapnya tengil
sambil melambai-lambaikan tangan kepada pelayan.

Aku tak menggubris ucapan itu, satu-satunya reaksi dariku adalah pikiran
yang melayang pada feodalisme Jawa memuakan dan kekasihku yang sebelas jam
lewat telah resmi menjadi mantanku. Dia juga penggemar cerutu, dan tentu, sama-
sama memuakkan seperti Nader.
Aku pun teringat argumen dia tentang keistimewaan cerutu. Sensasi
menghisap bakaran tembakau kering kualitas Kuba pada detik-detik tertentu
membuatnya menjelma ‘Che Guevara.’ Ya, cerutu robusto kegemaran Nader
memang hasil varietas tembakau Kuba. ‘Menjadi Che Guevara’ kata dia, sungguh
lucu bukan? Kebanggaan macam apa lagi itu menyamakan diri macam tokoh
revolusi kiri!

Berbeda dengan Nader, yang justru mengagung-agungkan posisi kelas


ningrat, padahal akhirnya juga sama-sama dibanggakan kegagahannya. Entah, aku
tak bisa menerka air muka Nader yang mungkin serius atau hanya sekadar basa-
basi, jelas semua terasa memuakkan.

Pelayan pun menoleh ke arah kami dan sigap Nader mengetuk-ketukkan


jari ke meja memberi kode meminta balok asbak untuk diantarkan ke hadapannya.

Mungkin dunia dan orang-orang tak akan menjadi memuakkan


sebegininya, jika itu bukan aku yang menilai. Tapi untuk waktu ini setiap orang
yang kutemui dan setiap ucapan yang kudengar hanya numpang lewat jalur
telingaku sebagai omong kosong dan itu sungguh menjijikkan.

Empat bulan lalu, ya tepat bulan September, aku juga merasa jengah dan
mengalami kegelisahan luar biasa dahsyat. Namun berbeda dengan kali ini,
sekarang kegelisahanku seolah-olah naik kelas.

“Nad, aku bilang ke dia, aku telah meragukan konsep mendasar


kehidupan,” ucapku lirih memulai pembicaraan. Semua hal yang dulu aku
percayai dan kuyakini kebenarannya telah menjelma ilusi sejak empat bulan lalu.
Entah ini tipu muslihatku sendiri atau bukan, yang pasti krisis nyata sedang
bersarang dan perlahan berkembang subur di diriku waktu itu.

Aku masih teringat betapa kekagetan sesamar mungkin itu mengekspresi


pada wajah kekasihku yang lelah. Ya, dia memiliki wajah dengan rahang tegas
yang terlihat lelah namun juga dua bola mata penuh ambisi dan kasih sayang. Aku
hampir tidak percaya mengatakan hal itu kepadanya.
“Dia bilang itu bukan persoalan, ‘setidaknya kau mempercayai dirimu
sendiri’ gitu sih jawabnya,” curhatku kepada Nader. Sementara di hadapan
kekasihku, saat itu mataku sudah berkaca-kaca, mungkin dia bakal menganggapku
sudah tidak waras, tapi air mata itu berhasil kutahan saat mendengar jawaban tak
terduga yang entah datang dari alam pikir mana. Aku memang tak pernah salah
memercayai cahaya kasih sayang di pandangannya, pandangan welas asih yang
membuatku jatuh cinta sampai aku menyadari cinta hanyalah mitos.

“Aku menguasai diriku dan berhasil menenangkan perasaanku, mungkin


aku kehilangan semuanya, kepercayaan terhadap altruisme, tindakan tulus, dan
kebaikan manusia, tapi setidaknya dulu aku merasa menemukan diriku yang
sejati...” ucapku tegas melanjutkan. Namun sekarang keadaannya sudah sangat
berbeda, aku tak lagi dapat mempercayai apapun, tak juga terhadap diri sendiri.
Hal itulah yang memaksaku mengakhiri hubungan dengan dia.

Kupikir manusia tidak punya kuasa atas dirinya sendiri, mereka tidak
pernah benar-benar mengerti apa yang diinginkan. Mereka tidak pernah benar-
benar paham segala hal yang terjadi pada diri sendiri. Aku mungkin benar-benar
ingin makan acar atau butuh dihibur saat patah hati, tapi mungkin juga tidak. Ya,
kebingungan semacam itu memang siapa yang mau mengerti? Siapa yang mau
memahami?

“Kenapa? Kau itu dapat bisikan dari mana sih? Tapi ya, entah itu
kebenaran atau kesalahan, sekontradiktif apapun, dan mungkin mengecewakan,
bagiku kamu itu gadis paling jujur yang berani menjadi diri sendiri,” ucap Nader.
Aku sadar sepenuhnya mendengar apa yang dikatakan Nader, namun aku juga
muak harus berapa kali lagi menjelaskan bahwa sekarang semua tidak akan
semudah seperti yang dia katakan. “Apa yang membuatmu begitu tak lagi
memahami dan mengenali dirimu sendiri?” tanya dia.

Sementara aku berdiam diri memikirkan prediksiku yang meleset bahwa


Nader tak kunjung memesan makan, dan aku tak bisa semena-mena saja
meninggalkan sendirian di sini, lamat-lamat kuamati dia begitu nikmat
mengepulkan asap keluar dari mulut. Saat asap mulai melompati hidung paruh
beonya, dia berkata: “Mungkin kau seperti puisi Arah Maiani, bercita-cita menjadi
nabi dan hanya mau nikah dengan lelaki yang bercita-cita menjadi Tuhan.”

---

Penulis seorang pelaku seni, pembaca, pendengar Lana del Rey, reporter,
dan pemungut retakan kehidupan yang berusaha membangun harmoni di
setiap resistensinya.

Anda mungkin juga menyukai