Jeli kuamati selang-seling potongan kecil acar wortel dan mentimun di atas
selada berbentuk perahu lebar di piring makanku. Berjejer untaian-untaian pipih
kwetiau emas kecokelatan, bagiku seni menyusun acar ini sama kacaunya dengan
susunan bebatuan candi yang belum selesai dibangun. Apa yang kulakukan? Aku
menegaskan makan malam dengan memesan acar sebagai pelengkap kwetiau
pengganjal perut mungilku. Hal yang tak pernah kulakukan sebelumnya. Bahkan
jika tak sengaja dihidangkan sebagai pelengkap makanan, aku tak pernah barang
sedikitpun berminat untuk menelan acar-acar ini. Hijau-orange acar terlihat
sungguh membuatku muak. Membayangkan saja sudah dapat membuat nyeri rasa
masamnya hingga mual menyundul ke ubun-ubun.
Berangkat dari pikiran licik, aku sengaja memesan makan lebih dahulu
untuk efisiensi waktu dan agar tanpa rasa bersalah dapat meninggalkan Nader
secepat mungkin nantinya. Balapan makan seperti bukan hal yang buruk, aku
selesai maka aku lekas pergi. Aku hanya butuh didengar sebentar.
“Memangnya selama ini kau pernah mempercayai suatu hal?” tanya dia
menelisik sambil menyalakan sebatang cerutu.
Nader memang perokok aktif, tapi aku tidak tahu sejak kapan dia mulai
menggemari cerutu. Pria hitam manis berlesung pipit yang usianya empat tahun
lebih tua dariku memang agak menyebalkan. Dia selalu percaya bahwa, dunia,
hidup mengelilingi diri Nader. Ya, semacam narsistik yang menganggap diri
Nader begitu istimewa. Satu hal yang tidak kumiliki.
Aku tak menggubris ucapan itu, satu-satunya reaksi dariku adalah pikiran
yang melayang pada feodalisme Jawa memuakan dan kekasihku yang sebelas jam
lewat telah resmi menjadi mantanku. Dia juga penggemar cerutu, dan tentu, sama-
sama memuakkan seperti Nader.
Aku pun teringat argumen dia tentang keistimewaan cerutu. Sensasi
menghisap bakaran tembakau kering kualitas Kuba pada detik-detik tertentu
membuatnya menjelma ‘Che Guevara.’ Ya, cerutu robusto kegemaran Nader
memang hasil varietas tembakau Kuba. ‘Menjadi Che Guevara’ kata dia, sungguh
lucu bukan? Kebanggaan macam apa lagi itu menyamakan diri macam tokoh
revolusi kiri!
Empat bulan lalu, ya tepat bulan September, aku juga merasa jengah dan
mengalami kegelisahan luar biasa dahsyat. Namun berbeda dengan kali ini,
sekarang kegelisahanku seolah-olah naik kelas.
Kupikir manusia tidak punya kuasa atas dirinya sendiri, mereka tidak
pernah benar-benar mengerti apa yang diinginkan. Mereka tidak pernah benar-
benar paham segala hal yang terjadi pada diri sendiri. Aku mungkin benar-benar
ingin makan acar atau butuh dihibur saat patah hati, tapi mungkin juga tidak. Ya,
kebingungan semacam itu memang siapa yang mau mengerti? Siapa yang mau
memahami?
“Kenapa? Kau itu dapat bisikan dari mana sih? Tapi ya, entah itu
kebenaran atau kesalahan, sekontradiktif apapun, dan mungkin mengecewakan,
bagiku kamu itu gadis paling jujur yang berani menjadi diri sendiri,” ucap Nader.
Aku sadar sepenuhnya mendengar apa yang dikatakan Nader, namun aku juga
muak harus berapa kali lagi menjelaskan bahwa sekarang semua tidak akan
semudah seperti yang dia katakan. “Apa yang membuatmu begitu tak lagi
memahami dan mengenali dirimu sendiri?” tanya dia.
---
Penulis seorang pelaku seni, pembaca, pendengar Lana del Rey, reporter,
dan pemungut retakan kehidupan yang berusaha membangun harmoni di
setiap resistensinya.