Anda di halaman 1dari 10

Kabut Langit

Indahnya langit fajar hanyalah sekedar

hiburan, permulaan dari perjuangan hari

yang panjang-walau terasa singkat.

Seorang anak kecil berjalan keluar dari

sebuah rumah kecil namun ramai. Sejak kecil dia tinggal di sana. Kalau pagi. dengan terseok-seok dia
melangkahkan kakinya menuju ke persimpangan lampu merah. Raut mukanya haruslah dipenuhi

kesedihan. Mengapa? Agar kalian kasihan kepadanya. Dengan begitu, tiap dia lewat, kalian
memandangnya sendu. Melihat kaki kanannya menyeret kaki kirinya yang cacat

satu.

Di lampu merah, dia mulai menadahkan

tangan. Terkadang sengaja dia tertatih-tatih

berjalan ke arahmu, kalau sudah sampai,

dia minta uang dengan wajah penuh harap,

Seolah dia tidak pernah makan seumur

hidupnya.

Entah sampai kapan ini terjadi ia tidak


tahu. Delapan tahun yang lalu, dia yang

masih bayi ditemukan oleh seorang laki-laki

di pembuangan sampah. Ya, sampai sini

bagimu dia harus bersyukur ditemukan

orang

Tetapi lihat, laki-laki itu melihatnya seolah barang. Yang kilaunya adalah cacat. Kalau dia terlalu
berkilau, manusia mana yang mau berusaha cerahkan dia? Dipatahkannya

kaki anak itu satu, hingga hilang fungsinya.

Semenjak itulah, dia jadi barang yang

sempurna. Tiap orang akan sedih

melihatnya.

Dia mana tahu tentang itu. Yang dia tahu

hidup itu hanya tentang setoran dan makan.

Kalau tidak menyetor sejumlah uang,

bisa-bisa ia kehilangan hidup.

Kalau dipikir, kenapa dia tidak berpikir


untuk mati saja? Kalau kau tanya dia, dia

pun tidak tahu. Dia hanya akan menjawab.

"Nanti aku mau punya anak." Lucu, seorang

anak kecil bermimpi ingin punya anak.

Mari kita kembali ke hidupnya di jalanan.

Ada suka duka di sana. Sukanya, ya saat

orang-orang banyak memberi, Dukanya,

mungkin saat dia dimaki-maki dianggap

pengganggu jalanan. Ada juga yang bertanya

di mana ibunya, di mana bapaknya. Dia

hanya bisa menjawab. "Ada di rumah.

sedang sakit. Mereka mengangguk,

lampu sudah hijau, mereka harus pergi.

Terkadang mereka yang bertanya seperti itu

memberi uang besar sih. Jadi, tidak terlalu


menyebalkan juga.

Suatu saat, uangnya sedang banyak Baru

siang sudah melebihi setoran. Niatnya, dia

ingin pulang saja. Menemui teman-teman

seperjuangan. Ada yang buta, ada yang

patah tangan, ada yang sekedar diberi

baju koyak-koyak saja. Biasanya mereka

pulang saat senja, terkadang malam kalau

sedang sepi pemberi. Dari berbagai sudut,

mereka bertemu di sebuah rumah. Berbaris

menunggu waktu menyetorkan uang

sekaligus mengambil makan.

Yah, dalam hidupnya yang seperti itu. Sesuap

tempe pun sudah serasa surga. Sambil

makan, tertawa, serta berkelakar satu sama

lain. Si Bos tidak terlalu peduli, yang penting


setoran lancar.

Dan pada malam, mereka tak mau itu

berakhir. Berlomba-lomba siapa tidur

paling lama, terkadang sudah hampir subuh

mereka baru tertidur. Mempersiapkan diri

untuk hari esok yang akan terasa lebih

melelahkan. Oh ya, ada satu bonus riasan

muka-kantung hitam di bawah mata.

Di sisi lain ada seorang yang tuli. Tak perlu

dikasihani, dia hidup normal, punya bahasa

sendiri, hidup sendiri. Hormati saja dia. Rasa

kasihan kalian membuatnya terpisah dan

dibedakan dari masyarakat.

Walau seperti itu, dia tetap mendengar. Dia

mendengar apa yang tak kamu dengar, dia


melihat jauh dari yang kau bayangkan.

Hidupnya sederhana, bahagia. Dia membuka

jasa sol sepatu. Setiap siang berkeliling

kota. Tidak banyak bicara, yang penting

orang-orang puas dengan sepatunya

yang mengkilap. Setelah kerjanya selesai,

diperhatikannya mata pelanggan. Di sana

didengarnya sejuta suara, Tawa, bahagia,

nyanyian Bunyi-bunyian itu membuatnya

senang. Kalau dia cerita ke orang, tak ada

yang mau percaya.

Kalau dia melihat kesenangan dengan matanya, dia juga mendengar bunyi-bunyi yang bahagiakan
hatinya. Kalau dia melihat kesedihan, ngilu rasa telinganya, sesak

hatinya. Saat itu ada seorang anak di trotoar, Wajahnya datar, bunyi yang didengar si tuli

di balik mukanya terdengar aneh. Semua

ada. Benci, tawa, tangis, dia jadi murung.


Dilihatnya anak itu berjalan terseok, kakinya

cacat. Kemudian anak itu duduk di sisi jalan.

Bagi kalian, mungkin itu hanyalah anak-anak

cacat yang sedang bersedih. Tetapi tidak

untuk Si Tuli. Telinganya yang pekak

membuat pandangannya jauh menusuk.

Dilihatnya di punggung anak itu terdapat

ribuan pisau, di matanya terdapat jutaan harapan, di kakinya yang cacat itu terdapat cahaya yang
kalau menurut Si Tali, itu dari surga. Kalian pasti tidak mempercayai dia. Penasaran, didatanginya
anak itu. Tanpa

suara, dia duduk disampingnya. Anak itu

murung, dia juga. Suara-suara aneh itu

makin jelas adanya. Bayang-bayang kelam itu

semakin tergambar di dalam kepala.

Ditatapnya anak itu. Terdengar di bayangnya

suara yang sangat menyayat hati, sekejap dia tahu kalau anak itu sedang menangis, Padahal tak ada
air mata di sana. Anak itu menaikkan wajahnya, memandang balik. Pandangan si tuli langsung
terbawa jauh:
anak itu butuh uang.

Diberinya uang hasil hari ini, anak itu

berucap berterima kasih. Ya, Si tuli mendengar suara itu, jangan remehkan dia, dia dengar apa yang
tak kau dengar. Dengan cepat anak itu berlari pulang. Di sini, di pinggir trotoar ini. Si Tuli tiba-tiba

menangis, bukan karena uang. Bukan karena

dia tak bisa makan. Tetapi karena pandangan

yang dia lihat setelah anak itu pergi.

Setelah melihat anak itu, pandangannya tak

sama lagi. Seluruh dunia tampak kelam dan menyeramkan. Kala melihat langit, dia melihat kabut.
Kabut

yang tutupi semua kebenaran. Jauh di dalam

kabut, ternyata bumi sedang berjatuhan.

air mata. Sekejap tanah-tanah di depannya

menggelap tersentuh air.

Saat melihat manusia, jauh masuk ke dalam. dilihatnya kebodohan. Kebahagiaan semu karena
tipuan semesta, atau kesedihan abadi

akibat kurangnya syukur.

Tak ada yang peduli dan cukup berani untuk


membebaskan anak itu. Padahal, menurut

Si Tuli setiap kita pasti tahu kalau anak itu

hanyalah pesuruh Dan yang lebih miris, Si Tuli pun juga begitu, dia tidak begitu berani. Dia tidak
berdaya, dia kecewa dengan dirinya sendiri. Dia hanya

bisa memberi sedikit uang untuk sementara

meringankan beban anak itu. Yang tetap saja.

anak itu takkan terbebas dari beban yang dipikul sejak lahir. Lantas ini tanggung jawab siapa?
Sebuah pertanyaan menggantung di atas kepalanya.

Pertanyaan yang mungkin tidak akan

terjawab

Kini matanya lurus ke depan, memandang

lalu lalang penduduk kota. Di sana,

dilihatnya seorang ayah menasihati anak-anak peminta. Mengatakan mereka harus bersemangat
dalam hidup, mengatakan mereka harus bekerja keras. Diberinya anak itu uang berwarna merah.

Melihat hal indah itu pun. Si Tuli sudah

tidak bisa tersenyum lagi. Dia beranggapan,

pada dasarnya manusia tidak peduli kepada kepada sesama. Yang mereka pikirkan hanyalah diri
sendiri.
Sekalipun memberi, yang dicari bukanlah kebahagiaan orang, sejatinya mereka mengejar
kebahagiaan sendiri yang tercipta saat mereka merasa baik.

Memang, tidak semua orang seperti itu. Kalian jangan marah dulu.

Satu tanyaku.

Ini tanggung jawab siapa?

Anda mungkin juga menyukai