Anda di halaman 1dari 3

Cerita Dongeng Fiksi : Fabel Persahabatan Kerbau dan

Gajah
Di zamah dahulu di satu hutan yang lebat, seekor kerbau bersahabat baik
dengan Gajah mulai dari mencari makan sampai bermain di padang rumput,
mereka selalu bersama-sama.
Suatu hari, ketika mereka sedang bermain di padang rumput, tiba-tiba Raja
Raksasa datang.
Rupanya ia ingin menangkap Kerbau dan Gajah. Namun, karena Kerbau sudah
berlari menyelamatkan diri, hanya Gajah yang tertangkap.
Tertangkapnya Gajah membuat Kerbau merasa sedih. Ia takut jika ia akan
kehilangan sahabatnya untuk selama-lamanya.
"Bagaimana ini? Aku harus menyelamatkan Gajah," gumam Kerbau, khawatir.
Kerbau terus berpikir, bagaimana cara menyelamatkan Gajah. Tapi, tak
mungkin ia melawan Raja Raksasa. Tubuh Raja Raksasa sangat besar, bahkan
melebihi tubuh Gajah.
"Ah, aku akan mencoba menemui Raja Raksasa. Siapa tahu, aku bisa meminta
dengan baik-baik dan Raja Raksasa akan mendengarkanku," pikir Kerbau.
Demi menyelamatkan sahabatnya, Kerbau memberanikan diri menemui Raja
Raksasa di istana guanya.
Sesampainya di gua istana Raja Raksasa, Kerbau bersembunyi di luar gua. Ia
mengintip apa yang terjadi di dalam gua. Raja Raksasa terlihat sangat senang,
sementara Gajah tampak ketakutan dari dalam kandangnya yang sangat
besar.
"Mimpiku selalu benar. Semalam, aku bermimpi akan memakan daging gajah.
Sekarang mimpi itu akan menjadi kenyataan. Hmm, malam ini pasti aku akan
sangat kenyang," ucap Raja Raksasa sambil mengelus perutnya yang buncit.
Mendengar ucapan Raja Raksasa, Kerbau mendapat ide. Ia pun segera
menemui Raja Raksasa.
"Aku bermimpi menikahi Permaisuri raja raksasa. Mungkin itu juga akan
menjadi kenyataan." teriak Kerbau.
Raja Raksasa yang tak menyadari kedatangan Kerbau pun kaget. Ia hendak
marah, namun tiba-tiba ia terdiam. Ia memikirkan mimpi Kerbau. Selama ini,
ia sangat percaya dengan mimpi.
"Kau tak boleh menikahi istriku!" Teriak Raja Raksasa.
"Jika aku tak boleh menikahi Permaisuri, maka kau juga tak boleh memakan
Gajah," balas Kerbau.
Raja Raksasa menjadi bingung. Ia ingin sekali makan daging Gajah. Tapi, ia
juga sangat mencintai istrinya. Akhirnya, Raja Raksasa mengalah. Ia
melepaskan Gajah agar Kerbau tak menikahi permaisuri. Gajah pun bebas dan
bisa kembali ke hutan bersama Kerbau.
"Ternyata kau sangat cerdik, Kerbau. Terima kasih telah menolongku," ucap
Gajah ketika mereka kembali ke hutan.
"Sama-sama, Gajah. Itulah gunanya sahabat," jawab Kerbau. Ia senang karena
bisa menolong Gajah, sahabatnya.
Sementara itu, Raja Raksasa baru sadar. Tak seharusnya ia percaya terhadap
mimpi, karena mimpi hanya bunga tidur. Ia pun menyesal. Karena percaya
mimpi, ia tak jadi menyantap Gajah.
Sang Penguasa Hujan
-ini artikel lama, pas masih kuliah awal-awal, saya edit sebagian agar sesuai dengan

konteks kekinian. Selamat menikmati   -

Dahulu, ketika saya masih kecil, hujan adalah satu hal yang mengasyikkan untuk bermain.
Sering saya dengan teman-teman atau setidaknya kakak saya, berhujan -hujan di luar
rumah. Entah hanya sekedar merasakan derasnya hujan menerpa tubuh kami, atau pun
berlari-lari dan bersepeda mengamati apa yang terjadi di lingkungan ketika hujan ini.
Sesekali merasakan dan minum langsung dari tetesan air hujan, atau terkadang pula
mencoba derasnya air cucuran atap rumah. Setelah hujan reda, barulah kami mandi sambil
ganti baju. Apakah esok kami akan terkena flu atau pilek, kami tak peduli. Yang penting
hari itu saya senang!!

Namun semakin bertambahnya usia, kehadiran hujan justru terkadang terasa mengganggu.
Mau hujan-hujan lagi? Masa-masa itu sudah lewat. Malu dong, sudah besar masih mau
hujan-hujanan. Mending di rumah, nonton TV dengan kopi atau teh hangat plus pisang
goreng. Tapi kalau kehujanan itu sih masih wajar, tapi hujan-hujanan? Sepertinya nggak
deh. Malu ah, udah besar kok masih hujan-hujanan.

Kalaupun kita terkadang masih nekat hujan-hujanan, tentu ada alasan khusus. Semisal
bagaimana ketika pulang sekolah, tiba-tiba hujan deras datang. Mau menunggu, khawatir
kemalaman. Sementara payung ataupun jas hujan tak satupun saya bawa. Jadilah nekat
menembus derasnya hujan jadi satu-satunya pilihan. Dan malamnya, saya pun harus
menyesal karena tak lama kemudian, saya baru sadar bahwa buku-buku ataupun seragam,
banyak yang akhirnya harus disetrika agar cepat kering.

Hujan memang suatu hal yang terkadang sangat kita harapkan, namun tak jarang pula kita
berharap agar hujan jangan turun dahulu. Seolah-olah kita selalu ingin agar ia turun disaat
yang tepat bagi kita. Padahal bisa jadi saat yang tepat bagi kita untuk hujan, justru saat
yang tidak tepat untuk orang lain.

Namun ego seseorang terkadang lebih kuat dari kesadarannya tentang hal ini. Sehingga di
berbagai daerah di Indonesia pun kita mengenal yang namanya pawang hujan. Orang yang
dianggap mampu menahan, ataupun mensegerakan hujan. Dan masyarakat kita pun
mengenal bermacam klenik tentang hujan.

Pernah suatu saat di sebuah resepsi pernikahan, ketika masih kecil, saya melihat ada sapu
lidi yang di tiap-tiap lidinya ditancapkan bawang merah. Sempat terpikir bahwa hal itu
mungkin adalah sate bawang yang mau dibuat, namun tentu saja bukan!! Siapa juga mau
makan sate bawang?? Belakangan saya baru tahu bahwa itu adalah semacam benda/jimat
di budaya jawa untuk menolak hujan. Ada-ada saja orang kita itu, mengiris bawang
memang bisa membuat kita menangis, namun membuat sate bawang merah agaknya
dipercaya bisa membuat langit menunda tangisannya.

Entahlah, masyarakat kita sebagian memang masih ada yang percaya dengan hal-hal
semacam itu, Namun yang jelas saya menolak keras hal-hal tersebut, karena toh
bagaimanapun juga hal tersebut boleh jadi masuk kategori syirik, seolah-olah mempercayai
ada kekuatan lain yang berhak mengatur hujan. Padahal bukankah Allah jualah yang
berkuasa atas segala hal? Termasuk hujan ini bukan? Namun agaknya masyarakat memang
masih butuh pemahaman lebih. Tak terkecuali di kota saya, di Ponorogo.

Meskipun kota kecil dan sering disebut dusun oleh teman saya, yang jelas kota saya hampir
tak pernah sepi setiap tahunnya. Yang namanya pasar malam, minimal 4 kali dalam
setahun. Ketika idul fitri, tahun baru hijriah, saat 17 agustusan, dan tahun baru Masehi.
Sehingga yang namanya alun-alun kota, dipastikan lebih banyak ramainya daripada
sepinya.

Tak terkecuali menjelang 1 suro tahun ini. Tahun baru Hijriah, atau satu suro dalam
kalender jawa adalah momentum paling ramai di kota saya. Dalam rangkaiannya, ada
banyak kegiatan yang menjadi agenda tahunan pemerintah daerah. Contoh paling kecil,
menjelang suro seperti sekarang ini, seluruh pegawai negeri di jajaran pemda diwajibkan
memakai seragam khas Ponorogo. Para laki-lakinya berpakaian warok, hitam-hitam,
sementara di pusat kota ada penyelenggaraan Festival Reog Nasional. Di malam suro pula,
atau malam 1 muharram adalah puncaknya. Hampir "separuh" lebih penduduk ponorogo
(hiperbolis) , baik di kota, atau di pelosok desa, semua tumpah ruah ke jalan-jalan di pusat
kota. Entah hanya sekedar jalan-jalan atau apalah… saya juga tak begitu paham.

Namun yang jelas hujan sudah lama tak membasahi kota kami. Hal yang tak biasa
mengingat sekarang sudah masuk bulan Januari.

”Kalau kata orang, soalnya di alun-alun ada pasar malam, makanya nggak hujan-hujan sejak
hari raya kemarin”, ujar Papaku suatu malam.

”ada pawang hujan gitu maksudnya?” ujarku coba menghubungkan kejadian tersebut. Hal
semacam ini memang sudah biasa terdengar di kota kami, dulu ketika saya masih SMP,
katanya konon jika pawang hujannya kalah atau dengan kata lain masih tetap juga hujan,
sang pawang bahkan bisa sampai tewas. Katanya sih nggak kuat. Katanyaa….

Kulihat langit, tak banyak awan yang ada memang. ”Di Malang sama aja pa, sudah hampir
dua pekan nggak ada hujan, kalaupun ada cuman gerimis dan itu pun sangat sebentar.”,
ujarku menambahkan. Ya saat itu memang saya sedang pulang kampung. Di kampus
sedang libur setelah UAS. Ohya, FYI di Malang sedang tidak ada pasar malam.

Dan entah apapun namanya, bagaimanapun caranya yang pasti saya tidak mempercayai
hal-hal semacam itu. Bahkan kami sekeluarga sangat anti dengan hal-hal klenik semacam
itu. Pawang hujan, sate bawang, kemenyan atau seabrek benda-benda keramat lainnya
tentu toh bisa mati, bisa hancur. Keris sesakti apapun digergaji juga patah, menyan dibakar
juga habis, pohon gede kena chainsaw juga roboh. Benda selemah itu, bagaimana bisa
menguasai hujan? Pawang hujan sehebat apapun, kesambar petir paling juga mati. Coba aja
kalau ndak percaya.

Intinya adalah, kita seharusnya yakin bahwa pawang hujan itu ataupun ”sate bawang” tadi
sesungguhnya tak punya kekuatan sama sekali tentang hujan. Jika Allah menghendaki
hujan turun, tak satu pun dari orang-orang ini atau juga benda-benda tersebut yang
mampu menghalangi. Demikian juga sebaliknya. Mempercayai mereka sama artinya
mempercayai ada hal yang berkuasa selain Allah, dan bukankah ini termasuk
menyekutukanNya?

Wallahu’alam, ada atau tidaknya sang pawang hujan di rangkaian pasar malam di kotaku,
yang jelas di malam ini, malam satu suro, puncak dari rangkaian acara, di kota ini justru
turun hujan.

Ponorogo, 19 Januari 2007


Malam tahun Baru 1 Muharram 1428H
Setelah hujan reda…

*foto ilustrasi dari pixabay.

Anda mungkin juga menyukai