Anda di halaman 1dari 16

Daftar isi:

1. Desa Grojogan.
2. Watu Ulo.
3. Unsur 3 Babak.
4. Pondok Romadhon
5. Bukit Tinggi.
6. Tak ada yang Benar dalam Pikiranku.
7. Aku tak akan bercerita apapun lagi

Desa Grojogan
Restu itu bukan namaku, tapi itu adalah nama temanku. Ia sangat senang bercerita
apapun padaku, dan yang paling ku suka adalah ketika Restu banyak bercerita tentang desa
ini. Katanya nama desa ini diambil dari “Grojogan Banyu” atau yang biasa kita ketahui
dengan nama Air Terjun. Letaknya tak jauh dari watu ulo. Itu adalah salah satu mata air
langsung dari bukit tinggi desa ini. Katanya, ibu-ibu hamil yang mandi di Air Terjun ini
anaknya kelak jika perempuan akan menjadi perempuan yang sangat cantik dan jika laki laki
akan menjadi laki-laki yang sangat jelek.
Sebenarnya aku sangat sulit untuk mempercayai mitos itu, tapi semua ibu hamil di
desa ini sangat was-was dengan Air Terjun itu. Jangankan mandi, mendengar suaranya aja
sudah bergegas untuk lari. Itu biasanya terjadi untuk ibu-ibu hamil yang sedang mencari kayu
bakar untuk masak, tapi kata semua ibu-ibu hamil yang pernah mencari kayu bakar di bukit
tinggi itu. Mereka benar-benar mendengar riuhnya suara air terjun itu. Padahal posisi mereka
sangat jauh dari letak air terjun itu, tapi suaranya seperti berada tepat di depan mata mereka.
Tapi tetap saja sangat sulit untukku mempercayainya, itu juga terjadi berpuluh-puluh
tahun yang lalu. Sekarang, semua sudah serba modern, tak ada juga yang masih mencari kayu
bakar di bukitt tinggi itu. Jadi sudah tak pernah ada seorangpun yang pernah mengunjungi
bukit tinggi itu selama bertahun-tahun.
Apalagi mendengar nama watu ulo, mitos apalagi itu, konon katanya dulu Damar
Wulan dan Minak Jinggo pernah bertarung habis-habisan di desa ini, mereka bertarung 7 hari
7 malam, hancur semua, terpental semua bagian tubuhnya, terpisah tubuh mereka dari pulau
ke pulau, entah di mana penduduk desa ini tak ada yang tahu, tapi penduduk desa ini tahu
yang tersisa hanya godhone minak jinggo (pusakanya minak jinggo), ayam peliharaan Damar
Wulan, dan potongan kepala legenda ular raksasa yang terkena tebasan keris dari Damar
Wulan. Dalam keduanya penduduk desa ini tak memihak siapapun, tapi mereka cukup
bangga kepada keduanya karna telah mewarnai sejarah di desa ini.
Buktinya, penduduk desa ini masih selalu menjaga nyambangi makam ayam
peliharaan milik Damar Wulan yang kini diberi nama Kali Menur dan disambangi setiap 1
Suro.
Tak hanya itu, Desa ini memiliki seseorang yang dianggap Pahlawan yang sampai
kini tetap selalu disambangi makamnya, entah untuk sekeluarga yang ingin berpamit, berdoa,
merasa syukur, dan berduka. Namanya Mbah Lembok, 1 keluarga akan mengajak tetangga-
tetangganya dan para penduduk desa lain untuk bersama-sama menyambangi makam itu. 1
Keluarga yang ingin memenuhi nadzar selalu membawa masakan yang sangat khas dengan
Mbah Lembok seperti sego gureh, ingkung, kulupan. Aku pun sangat menikmati momen itu.
Letaknya berada jauh dari pemukiman desa ini, untuk kesana harus berjalan dan
menyebrangi anakan laut menggunakan perahu yang sudah di sediakan. Itu untuk sekarang,
tapi untuk dulu penduduk sini harus melewati air yang tingginya mencapai dada manusia
dewasa, anak-anakpun harus digendong demi menyambangi makan Mbah Lembok, akupun
juga pernah merasakan digendong seperti itu.
Letaknya yang sangat jauh dan jalan yang ribet itu juga memiliki alasan tersendiri
juga. Dulu penduduk desa asli Grojogan tinggalnya di sana, Namanya Karangan. Sebuah desa
kecil yang dikelilingi pantai dan tanaman bakau, menjadi desa asli nenek moyang penduduk
desa Grojogan.
Katanya Mbah Lembok dulu itu adalah seorang kepala desa/wali yang sangat
bijaksana, membuat desa karangan sangar makmur, perbuatanya yang sangat adil, jujur, dan
berani mempertaruhkan dirinya sendiri untuk desa ini.
Katanya, kalau hanya peluru dari para penjajah, dan senjata tajam dari pemberontak,
tak akan mempan untuknya. Beliau itu sangat berbadan besar dan tinggi, makannya saja
mencapai 2 meter lebih. Beliau pernah tertembak dan tertusuk untuk melindungi penduduk
desanya, tapi hanya menjadikan luka ringan.
Doanya juga sangat manjur, semua orang berbondong-bondong mendatangi beliau,
bahkan disaat beliau Sudah dimakamkanpun tak pernah berhenti orang-orang untuk
mendatangi makamnya.
Aku rasa semuanya sudah berjalan pada porosnya sendiri-sendiri. Entah itu benar atau
tidak, tapi cerita semacam itu sangatlah menarik dan bermakna untuk diceritakan kesiapapun,
mungkin jika diceritakan ke anak-anak jaman dahulu itu akan menjadi sebuah peringatan,
membuatnya lebih menghargai leluhur dan alamnya.
Padahal jika kita memilih mempercayai mitos itu, taka da sedikitpun mitos yang
menuju kejelekan di desa ini. Seperti jangan pergi ke bukit tinggi dengan menanamkan logika
bukit tinggi itu adalah tempat yang berbahaya, entah bisa tersesat, atau bisa bertemu dengan
binatang buas yang sangat berbahaya.
Tapi mungkin saja sangat berbeda jika diceritakan di anak-anak jaman sekarang, itu
akan dianggap mitos, tahayul, cerita dongeng, dan lain sebagainya. Contohnya saja aku, aku
tak pernah sekalipun melihat langsung air terjun itu, aku juga tak pernah sekalipun melihat
langsung watu ulo, tapi jujur saja aku masih memiliki kesempatan untuk melihat kali menur
yang dianggap sebagai makan ayam peliharaan milik Damar Wulan.
Mungkin karna aku terlalu banyak menonton film-film fiksi dan buku-buku fiksi,
membuatku terlarut dalam paham “itu semua ada penulisnya sendiri-sendiri” keyakinan itu
membuatku yakin bahwa mitos-mitos yang terjadi di desa-desa ini adalah karangan dari
orang yang pandai merangkai cerita dan apa yang diceritakan didengarkan baik oleh
penduduk lain.
Orang-orang dulu takut dengan mitos-mitos bukit tinggi karna telah tersugesti dengan
cerita-cerita mitos yang telah beredar. Dan di zaman sekarang banyak yang tak mempercayai
mitos-mitos orang dulu karna pikiranya telah tersugesti dengan paham “itu semua ada
penulisnya sendiri-sendiri”. Dan yang menjadi kebimbanganku tentang ini, jika mitos itu
semua telah ada penulisnya sendiri-sendiri, bagaimana jika mitos-mitos itu ditulis langsung
oleh Tuhan?
Semua yang aku tahu tentang desa ini hanya hasil apa yang aku dengar dari restu,
begitupun seterusnya, Restu juga tahu dari hasil apa yang didengar dari orang tuanya,
seterusnya seperti itu dari mulut ke mulut, aku tak bisa membayangkan jika itu juga terjadi
dari Tuhan ke manusia.
Watu Ulo
Tak banyak yang aku tahu tentang watu ulo selain apa yang aku dengar, akupun tak pernah
kesana sama sekali. Rasanya, aku sebagai penulis ingin benar-benar masuk ke dalam cerita
ini, aku ingin benar benar mengatakan dengan tegas kalau aku benar-benar tak pernah
sekalipun melihat Watu Ulo di Bukit tinggi itu. Dari zaman Jangkrik, Batu Akik, bahkan
sampai Walang, aku tak pernah sekalipun kesana. Kalau sampai aku ketahuan kesana, aku
akan merasa menjadi orang paling bersalah di dunia.
Dari kecil aku dititipkan ke kakek nenekku, ayah dan ibuku memilih menjadi Buruh Luar
Negeri demi masa depanku, dan aku cukup bangga dengan itu. Akupun tak pernah dididik
dengan kekerasan sedikitpun. Tapi, pernah sekali kakekku memarahiku dengan sangat keras
ketika aku memiliki luka di pipi kiriku ini.
Sebenarnya luka di pipi kiriku ini sudah tak terlalu terlihat, apalagi kalau dilihat dengan
kamera zaman sekarang. Tapi untuk kenangan di balik luka ini, tak terekam oleh kamera
apapun akan selalu tersimpan di memori pikiranku.
Anak-anak sebayaku sifatnya ngalor-ngidul dan musiman, mereka semua selalu ikut-ikutan.
Ada yang main layangan ikut main layangan, ada yang main yoyo ikut main yoyo, ada yang
main kelereng ikut main kelereng. Begitu terus, tiap bulan selalu saja berganti-ganti musim,
dan yang buat aku kagum, itu berjalan berkesinambungan dengan rapi, ngga cuman anak
anak. Nenekku pun kalau musim layangan juga jualan layangan, kalau musim kelereng juga
jual kelereng, kalau musim yoyo juga jual yoyo. Tapi anehnya, nenekku tak pernah sekalipun
menjual pentil yang digunakan untuk membuat ketapel meskipun lagi ramai anak-anak
mencari pentil.
Ketapel sangat dilarang untuk anak-anak bahkan sampai setara dengan mengunjungi watu
ulo. Padahal keduanya sama-sama larangan dan juga mitos, tapi entah kenapa rasanya aku
sangat takut ketika membicarakan watu ulo, mungkin karna aku telah tersugesti dengan
mitos-mitos buruk yang telah beredar, tapi tidak dengan bermain ketapel.
Meski sama-sama memiliki larangan yang cukup berat untuk anak-anak, aku masih saja
diam-diam membuat ketapel, menembak burung, menembak buah mangga tetangga, sampai-
sampai aku pernah iseng-iseng menembak anak perempuan dengan sepedahnya mengayun
cepat, dengan tepat sasaran aku mengenai ban sepedahnya sampai bocor.
“Duarrrr, hahahaha” Restu berteriak sangat kencang di belakangku.
Dengan keras Restu menarikku dan mengajakku berlari, kami berlari di sela-sela rumah
warga, hampir aku menangis, untung saja Restu menertawaiku, malu aku kalau dia tau aku
menangis. Bahkan bukan hanya musim yang ngalor ngidul, tapi ceritaku ini juga ngalor-
ngidul.
Dari kecil sebenarnya aku tak asing dengan Bahasa inggris, seperti plus itu tambah, back itu
kembali, dan thinking itu mikir. Dan itu semua aku tau dari pamanku, dia tak begitu pintar,
tapi untuk memberi hal-hal baru dia bisa diandalkan.
Di Sekolah aku memiliki guru yang kebetulan adalah teman akrab pamanku. Aku juga sering
ikut bermain ikut pahamku ke guruku itu, dan sangat aneh melihat seorang guru
menggunakan kaos dan celana biasa seperti warga biasa, karna sudah tertanam dipikiranku
kalau dia adalah seorang guru dan pahlawan.
“Nggak thinking kamu itu wa” lontaran guruku saat pelajaran Bahasa inggris.
Semua anak di kelasku tercengang, “Hah? Thinking?” banjir satu kelas dengan pertanyaan
seperti itu. Mungkin karna itu adalah candaan orang dewasa seperti pamanku dengan guruku,
dan sungguh jelas kurang cocok untuk anak-anak seperti itu di zamanya. Tapi lambat laun
semuanya mulai terbiasa dengan candaan seperti itu.
Selepas pulang sekolah, aku dan Restu sudah siap memburu burung yang menclok-menclok
di depan rumahku. Untuk masalah menembak dan mengatur setrategi Restu tak ada apa-
apanya bila dibandingkan denganku, sekali saja dia tidak pernah mengenai target.
Kami berdua sudah memasang kuda-kuda dan membidik satu persatu burung yang ada di atas
rumahku, tapi bodohnya restu ia malah mengenai atap rumahku, dan kaburlah semua burung
burung itu, menyisakan 1 burung yang ada di atap rumah tetanggaku.
“Nggak thinking kamu nih” Aku mengolok-ngolok Restu, biar mampus dia.
Bagaimana ngga bodoh, untuk menembak burung yang berada di atas, jangan kamu
mengusik sarangnya, kalau kamu bisa ngambil sarangnya ya ambil saja, tapi jangan pernah
sekalipun mengusik sarangnya. Dan bukankah lebih baik jika burung berada di atas, kita
lebih mendekat keatas, memanjat pohon atau atap rumah itu pilihan yang sangat tepat.
Akupun memanjat tembok rumahku dan terus berkata thinkang thinking thinkang thinking,
entah kenapa tapi sangat puas ketika melihat sangat muram wajah restu jika dilihat dari atas.
“Dewa…, Duhur-duhur gini ngga baik lo kalau manjat tembok-tembok gitu, nanti kalau ada
wali lewat jatuh kamu” ujar kebohongan Restu yang sebenarnya sangat iri denganku.
Aku ejek lagi itu Restu biar mampus “Thingking Restu, itu mitos, ga mungkin berlaku di
pemukiman sini, kalau mau percaya mitos sama Watu Ulo atau ngga Air Terjun aja tuh,
Thinking ya hahahahahaha”
Restu mengeluarkan jurus andalanya, memposisikan dirinya tepat di depanku, menarik
perlahan matanya dari bawah ke atas menuju bola mataku, kemudian ia dengan sumpah
mengatakan “aku pernah sekali mandi di Air Terjun dan sudah berkali-kali ke Watu Ulo”
Aku abaikan saja dia, aku sangat tahu jelas dia adalah pengarang cerita yang sangat handal,
aku mengabaikanya, ia pun juga mengabaikanku, dia duduk di sebarang jalan, melihatku dari
kejahuan. Ketika aku melihatnya aku melihat sesuatu yang bukan dirinya. Dan burung-
burungpun berterbangan semuanya, dan turunlah burung berwarna hitam, ukuranya cukup
besar, dan bermata merah. Dengan semangat aku ingin menembaknya, dan memamerkan ke
Restu yang sangat lemah di bawah itu.
Ketika aku membidik burung itu, entah kenapa waktu berjalan sangat cepat, pijakan
tembokku mengkikis, runtuh dia. Akupun salto dan jatuh ke bawah, seperti hilang ingatan
aku, Restupun berteriak sangat keras memanggil orang di rumahku sembari ia menenangkan
aku.
Kejadian ini membuat heboh tetangga-tetanggaku. Aku dibawa ke rumah belakang,
menggeborkan pintu kakekku ketika aku masuk ke rumah, aku menangis, tak pernah aku
dimarahi kakekku. Restu berusaha menjelaskan sedetail-detailnya ke keluargaku dan
tetanggaku yang datang.
Aku melihat ia mengusap air matanya, wajah yang muram tadi berubah menjadi sangat penuh
penyesalan. Ia sangat merasa bersalah jika ia benar-benar sadar kalau dialah yang telah
mengontrol kejadian tadi.
Ia berlari pulang ketika ada salah satu tetanggaku yang mengatakan kalau ini semua terjadi
karna aku dan restu telah nekad menjelajahi watu ulo, padahal berkunjung ke bukit tinggi saja
aku tak pernah. Dan aku percaya kalau yang dikatakan restu tadi hanya sebuah candaan, aku
tahu dia pandai mengarang cerita.
Tapi tentang mitos Watu Ulo dan Ketapel yang memiliki larangan yang sama beratnya,
ternyata juga memiliki imbas yang buruk juga. Siapa juga yang menyangka kalau bermain
ketapel bisa melukai pipi kiriku?
Setahuku bahaya dari bermain ketapel itu sebatas dimarahin warga karna mengenai atapnya,
memangsa buahnya, dan menyalah gunakan untuk membidik orang lain. Dengan aku
memiliki luka di pipi kiri sebenarnya membuktikan jika segala sesuatu itu selalu
berkesinambungan. Seperti jika ada yang main layangan pasti juga ada yang jual layangan.
Karna aku telah melakukan sesuatu yang tidak dibolehkan oleh kakek-nenekku aku terkena
karmanya sendiri, alasan ini sebenarnya sangat lemah dan alasan ini juga terjadi karna hanya
apa yang aku rasakan. Tapi aku yakin ketika restu berlari karna ada salah satu warga yang
menyinggung tentang Watu Ulo dan Air tenjun, dia pasti memiliki alasan tersendiri untuk
masalah ini.
Restu Si Hidung Panjang
Meskipun ia masih saja selalu datang ke tempat judi untuk menghabiskan uangnya, ia
masih selalu rajin membantu ibunya jualan keliling. Ibunya Restu seorang penjual ikan pepes
keliling. Setiap sorenya Restu dan ibunya masing-masing membawa 2 kerenjang ikan pepes
untuk dijual. Sore demi sore selalu saja habis terus, semua itu karna memang masakan ibunya
Restu sangat lezat, tapi ibunya Restu juga tak melupakan kelebihan Restu dalam berjualan.
Restu sangat mahir memikat pembeli, bahkan untuk orang yang tak sedang ingin ikan
pepes pun akan dengan senang hati memborong ikan pepes miliknya. Restu memiliki cara
tersendiri untuk berjualan, jika judipun bisa disenikan oleh restu, apalagi hanya menjual ikan
pepes.
Restu selalu memberikan cerita-cerita menarik untuk calon pembelinya. Dan
hebatnya, setiap pembeli memiliki cerita sendiri-sendiri. Entah apa yang menjadi dasar dari
cerita-cerita Restu, tapi kata orang-orang yang pernah mendengar ceritanya langsung ia
seperti melihat 3 kemungkinan, menggambarkan dirinya di masa lalu, menggambarkan
dirinya di masa sekarang, dan menggambarkan dirinya di masa depan.
Semua orang meng-iyakan cerita restu tentang masa lalu dan masa sekarang, tapi
setiap kali ia sampai di cerita yang menggambarkan masa depan, orang-orang selalu
memintanya berhenti. Bukan karna takut tentang hal buruk yang akan terjadi, tapi takut jika
apa yang diceritakan Restu itu benar dan si pendengar sudah percaya diri akan hal itu dan
menyebabkan masa depan itu tak pernah terjadi karna si pendengar sudah tau dengan
gambaran masa depanya.
Aku akan berbicara sebagai penulis, bukan Dewa dan juga bukan Restu. Misalnya
jika kamu telah di ramal oleh peramal terkenal di dunia bahwa besok kamu akan
mendapatkan nilai 100 di ulangan matematika. Ketika kamu sudah tahu tentang ramalan itu,
kamu tidak akan lagi fokus ke tujuanmu, tapi kamu hanya akan fokus pada dirimu sendiri
yang lain, kamu akan berhela-leha, ndengerin music, nonton film, dll. Kamu tak akan belajar
matematika lagi karna kamu sudah tahu kalau besok kamu akan mendapatkan nilai 100.
Tapi pada kenyataan saat ulangan metematika telah bersamamu, 60 menit berjalan saja
kamu masih belum selesai mengerjakan soal nomor 1. Itu semua karna kamu terlalu
meyakinkan diri dengan apa yang akan terjadi nanti dan tidak mempersiapkan apapun untuk
menghadapi ramalanmu.
“Jika aku mengatakan apa yang akan terjadi, maka tak akan terjadi.” Penulis.
Di zaman sekarang, orang yang selalu membicarakan Watu Ulo dan Air terjun selalu
bisa dihitung, dan Restulah menjadi salah satunya. Tapi anehnya setiap orang yang
mendengar cerita tentang Watu Ulo dan Air Terjun dari Restu mengatakan mendapatkan
cerita yang berbeda-beda namun sangat sesuai dengan kehidupan pendengarnya.
Sesekali ia pernah membuat pendengarnya sakit hati bahkan sampai menangis. Dan
hari ini aku didatangi gadis yang sangat cantik, Annisa namanya. Bisa dibilang ia adalah
gadis paling cantik di desa ini. Ia datang padaku dengan masih mengusap air matanya,
matanya pun memerah. Dalam pikiranku, jika ia datang karna sakit hati dengan cerita Restu,
aku adalah pilihan yang salah. Aku sudah tak sanggup setelah mendengar keluh lelaki yang
memaki Tuhan beberapa hari yang lalu.
Namun itu hanya ada dalam pikiranku, hati dan pikiranku tak sama, kadang merah
merekah kadang gelap gulita. Akupun dengan senang hati menyambut kedatangan gadis itu.
Lalu gadis itu duduk di sebelahku, menutup matanya, mengenggam tanganku, dan
menyandarkan kepalanya di pundak kiriku. Saat telah dilakukanya dia padaku, aku seperti
melihat kilatan cahaya yang kian membesar, dan membuat waktu berjalan sangat cepat
seperti aku jatuh waktu itu. Kemudian semuanya terlihat bewarna putih, aku tak tahu sedang
berada di mana, tanpa bayangan apapun, seperti aku memejamkan kedua mataku dan hanya
melihat 1 warna putih, aku benar-benar merasakan indra penglihatanku tak berfungsi total,
aku ingin mengatakan sesuatu tapi aku benar-benar tak bisa mengungkapkanya dengan
mulutku. Yang tersisa yang pendengaranku dan pikiranku.
Dalam terang aku mendengar suara gadis itu mengatakan sesuatu. Ini bukan dialog
namanya kalau hanya satu orang yang berbicara, tapi dialog juga sebenarnya karna aku masih
bisa mendengarnya.
“Apa benar aku terlahir cantik seperti ini adalah sebuah kutukan, sial Restu! Bawa dia
kemari dan aku akan membunuhnya” ujar gadis itu.
Aku ingin mengatakan sesuatu tapi aku benar-benar ketindihan. Dan aku tak tahu
kenapa ia sangat ingin sekali membunuh Restu, dan dia juga mengatakan kalau kecantikanya
adalah kutukan. Itu jadi mengingatkanku dengan cerita Restu tentang mitos Air Terjun itu.
Jika ibu hamil yang mandi di Air terjun itu kelak anaknya nanti jika perempuan akan menjadi
sangat cantik namun jika laki-laki akan menjadi sangat jelek.
“Dewa……!” Teriakanya memanggil Dewa.
Entah ia memanggil DewaNya atau memanggil namaku, aku benar-benar tak bisa
merasakan apapun, meraba pun juga tak bisa, tapi aku sesak nafas. Yang tersisa hanyalah
nafasku, pendengaranku dan pikiranku. Dengan yang tersisa hanya itu aku pun diam, aku
diam cukup lama, aku ingin membiarkan ia bercerita dengan sendirinya.
Hah! Gila! Kenapa suara dari monolognya sangat jelas terdengar seperti suara ibu-ibu
dan bukan lagi suara gadis muda cantik tadi.
“Aku masih sangat ingat ketika aku masih hidup di Boemi 15 tahun yang lalu.
Seorang anak berusia 17 tahun yang sangat malang, ayahnya mati diterjang ombak ketika
nekad melaut di sore malam jumat, dan sungguh seorang ayah yang bodoh, sama seperti
anaknya. Belasan tahun aku sakit hati karna anak bodoh tak tahu sopan santun itu
mengatakan kalau kecantikanku ini adalah kutukan.” Prolog dari suara di keterangan itu.
Kenapa ia mengetahui hal sebanyak itu, dan kenapa juga ia mengatakan kehidupanya
15 tahun yang lalu, apakah ia berasal dari masa depan?
“Iya! Aku dari masa depan” singkatnya ia menjawab isi kepalaku.
Dari sini aku tak melawan, ini bukan pertempuran, aku tak dapat mengambil apapun
untuk menyerangnya, dan sia-sia juga jika aku terus memikirkan sesuatu, dia akan tahu jelas
apa yang aku pikirkan, akupun diam.
“Dia sangat gila, anak bernama Restu itu sangat gila, kenapa masih saja ada yang
mendengarkan ceritanya, ceritanya itu bodoh, aku mati gantung diri karenanya! Dengan
begitu aku telah menjelajahi Bukit Tinggi dari timur ke barat, selatan ke utara tak ada aku
menemukan satupun batu berbentuk ular, tak ada satupun Air Terjun yang dibicarakan-
bicarakan itu. Itu semua kebohongan, bodoh, dan tolol. Menyesal aku mati hanya untuk
kebohongan yang diucapkan anak bodoh itu. Akupun di sini juga berlarian mencari arwah
ayahnya, tapi sudah berkali-kali aku berkeliling tak sedikitpun mendengar tentang kabarnya
di sini, sama seperti cerita anaknya, tak ada. Kalau sampai ayahnya ada di sini aku tak akan
segan-segan denganya, aku akan membuatnya mati untuk yang kedua kalinya, aku akan
membuat hidup anak itu sengsara setelah 7 hari di boemi. Dan tak perlu memerkukan wro-
afbk%to fh$nu*djgb lg@nagu)boe?mgeb$a.” Aku tak menemukan prolog di monolognya.
Ternyata setelah kejadian itu aku benar-benar tak tersadarkan diri. Katanya aku
langsung tergeletak saat kejadian itu. Kata dokter selama tak sadarkan diri, nafas, nadi, dan
segala aliran tubuhku masih berjalan normal. Dan kata ahli agama di desaku semuanya masih
berjalan, kecuali hati dan pikiranku.
Aku membuka mataku, aku sangat senang telah kembali melihat warna-warna selain
putih. Seseorang yang pertama aku lihat di sampingku adalah Restu. Wajar saja karna dia
sahabatku. Tapi ternyata bukan untuk itu, dia tak menanyakan apapun kepadaku. Tapi dia
hanya mengatakan kalau dia telah tidur di rumahku selama aku tak sadarkan diri 10 hari ini.
Memerah mataku, kemudian aku genggam tanganya, dia perlahan ia mencoba
menenangkanku,
“Seorang gadis yang telah membuatmu tak sadarkan diri telah ditemukan mati
gantung diri di belakang rumahnya tetap 7 hari kamu tak sadarkan diri.” Ujar Restu mencoba
menenagkanku.
Sial! Pucat wajahku, itu sama sekali tak menenagkanku, itu malah membenarkan apa
yang gadis itu katakana saat aku tak sadarkan diri.
“Kenapa Dewa? Apa yang sebenarnya terjadi.” Tanya Restu.
Aku tak mau mengatakan apapun ke Restu, aku takut, semuanya ada kaitanya dengan
Restu. Aku yakin semua ini ada kaitanya denganya. Dia sudah selalu berpura tak pernah
terjadi apapun pada dirinya, aku tak mau menambah beban pikiran lagi untuknya. Maaf Restu
tapi.
“Tidak ada apa apa.” Singkatku.
Seperti yang aku pernah bilang, masyarakat di sini masih cukup kental dengan leluhur. Meski
tak semua tapi masih tetap ada, mungkin bisa setengahnya. Contohnya saja orang tuaku,
mereka masih sangat percaya dengan hal-hal yang berbau mistis. Seperti aku terjatuh sewaktu
bermain ketapel dengan Restu dulu
Bahasa Tuhan
Sore itu tiba-tiba ibunya Restu kerumahku, tanpa omongan sedikitpun ia langsung menebasku dengan
sapu yang ia bawa dari rumahnya. Ia mamaki-makiku dengan kata-kata yang sedikitpun tak kupahami “Mau jadi
apa kamu hah? Ngajak-ngajak restu pergi ke pesta yang isinya anak-anak nakal dan kamu tinggal restu
sendirian, kamu mau dia mati? Katanya sahabat kamu bilang, kalau kamu emang ada dendam sama restu
anakku, bukan gini caranya.” serentak kata-katanya mengesampingkan rasa sakit yang kurasakan, satu-satunya
yang aku pikirkan hanya kebenaran yang restu alami, aku sama sekali tak mengkhawatirkan perkataanya, aku
hanya memikirkan apa yang dimaksud dari perkataanya. Tapi untuk merapikan suasana, aku menangis,
bersujud, dan meminta maaf kepadanya “maaf buuu…., aku tak berniat meninggalkan restu,” hanya kata itu
yang bisa aku simpulkan dari kemarahan ibunya restu, hanya karna ibunya restu mengatakan aku meninggalkan
restu sendirian, aku sudah bisa terpikir kalimat seperti itu.

Restu, satu-satunya temanku di sekolah, bisa dibilang aku anak yang hampir tak memiliki teman, dan
hanya Restulah yang selalu menemaniku, bahkan dalam keadaan semua orang tidak ada yang memercayai
ceritaku, hanya dialah yang mempercayai ceritaku, dan ini yang ingin aku terapkan juga ke Restu.

Tepat di malam hari setelah aku diamuk ibunya restu, aku datang ke rumahnya untuk menanyakan
kebenaranya, untung saja, ibunya tak ada di rumah, aku bisa dengan tenang mendengarkan cerita Restu.

Aku melihat ia sangat kotor dan kusut seperti sudah tidak mandi beberapa hari, wajahnya muram,
linglung, seperti hal besar yang baru ia rasakan, seperti sebuah kebenaran yang baru terungkap, dari bibirnya
yang masih pucat saja sudah terlihat kalau ia masih memikirkan itu, aku tak ingin memulai ia untuk bercerita,
aku membiarkan ia untuk bercerita dengan sendirinya, tapi aku dan dia hanya diam, sepi, mungkin itu yang
selalu dirasakan restu.

Aku memancingnya dengan kejadian sore yang tadi aku alami dengan ibunya “entah apa yang
membawaku kemari, tapi yang pasti, ibumu datang kerumahku dengan marah-marah dan menebasku dengan
sapu, aku tak tau ibumu marah karna apa, tapi ia mengatakan kalau aku mengajakmu ke pesta dan
meninggalkanmu sendirian.”

“Hah! benarkah begitu? Aku tak mengira ibuku akan melakukan itu kepadamu.” ujarnya, dengan hati
penuh perasaan bersalah ia mencium tanganku dan meminta maaf kepadaku.

“Cukup restu, kamu tak seharusnya meminta maaf seperti ini kepadaku, kamu cukup bercerita apa yang
sebenarnya terjadi pada dirimu” sepertinya pancinganku untuk membuat ia bercerita akan berhasil, tapi ia hanya
diam, wajahnya tetap muram, selalu terpikir dalam pikiranku bahwa ada sesuatu yang terjadi pada dirinya.

Setelah sama-sama terdiam cukup lama ia mulai bercerita kepadaku.

“Kamu pernah bertemu orang yang menggunakan Bahasa yang berbeda denganmu?” ujarnya.

Aku berbalik bertanya “apa maksudmu? bagaimana bisa? Kita hidup di desa terpencil ini, bukit tinggi
di sebelah utara kita, hutan yang sangat lebat di sebelah barat kita, dan tanah kita yang berada di sebelah timur
dan selatan masih saja bertegur sapa dengan air laut.” Aku tak paham apa yang ia maksud, bahkan jarang sekali
juga penduduk asli sini keluar dari desa ini selain untuk pergi ke laut.

Restu memposisikan dirinya tepat dihadapanku “Di bukit tinggi sebelah utara desa kita itu, aku
menemukan air terjun yang selalu aku bicarakan, tepat terjadi ketika aku berpamitan ke ibuku untuk pergi ke
rumahmu tapi aku berpaling untuk memuaskan rasa penasaranku tentang rahasia yang dipercaya di desa kita
tentang bukit itu. Kamu tahu kan kita menggunakan bahasa asing hanya untuk turis yang berkunjung ke wisata
kita dan untuk penjajah, sempat aku mengira itu turis-turis dari London yang sedang berkunjung ke bukit tinggi
kita, tapi aku berpikir lagi, emang buat apa mereka ke bukit tinggi kita, bukankah lebih baik mereka ke Bali?
Jarak dari desa kita untuk berkunjung ke Bali tidak memakan waktu lebih dari 1 jam? Bukankah begitu? Dan
ternyata itu benar, meraka bukan turis-turis dari London atau bahkan dari Amerika, mereka juga tidak
menggunakan Bahasa inggris yang kita pelajari di sekolah, mereka seperti memiliki kehidupan biasa, juga
terbangun rumah-rumah di sana, bahkan lebih mewah dari yang ada di desa kita. Aku mengintip sekumpulan
bapak-bapak entah sedang berbincang menggunakan Bahasa apa, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku, aku
melihat kebelakang, dan aku langsung pingsan, yang terakhir aku lihat sebelum pingsan aku melihat seorang
pria berumur 35 tahunan dengan badan kekar, kulit coklat, dan rambut pendek berwarna merah, kamu tau siapa
itu?”

“Ayahmu? bagaimana bisa?” dari sini aku tersimpang, aku yang sungguh telah siap mempercayai cerita
restu malah berbelok, seperti tak mungkin saja hal itu terjadi, tapi aku tak mau menghentikanya, aku
membiarkan ia untuk tetap melanjutkan ceritanya.

“Sebangun dari pingsan, aku terasa hangat, aku berada di depan api unggun, melihat pria tadi sedang
memperbaiki api unggun, aku melihat jelas karakteristik yang dimiliki ayahku padanya, aku berlari dari tempat
dudukku dan memeluk erat ayahku dari belakang, tapi ia dengan singgap menghempaskanku dan membuatku
terjatuh. ‘katamu aku sudah mati, benar begitu bukan’ mendengar ayahku mengatakan seperti itu membuat aku
menjadi sangat bingung. “Tempat seperti apa ini, jika aku yang mati, mengapa aku masih merasakan dingin dan
hangatnya bukit ini, tapi jika meraka semua yang ada di sini telah mati mengapa aku bisa memeluk ayahku.”
Kalimat ini tak pernah berhenti keluar dari pikiranku. Lalu ayahku bertanya padaku ‘kenapa kamu kemari,
tempat ini bisa membahayakan dirimu’ lantas dengan nada tinggi aku menjawab ‘Pertanyaanya bukan kenapa
aku di sini, tapi kenapa ayah di sini? Kenapa ayah di tempat seperti ini? Ayahku, seorang nelayan di desa kecil
di bawah bukit ini seharusnya sudah mati terbawa arus laut dan terkikis ombak, aku melihatnya sendiri sore itu,
aku berdiri di depan bebatuan karang, dan hanya aku yang melihatnya dari kejauhan, aku anak kecil mana
mungkin aku bisa menolongmu di tengah laut seperti itu? Bukankah tuhan bisa dengan mudah membantumu, ia
maha kuasa, ia maha penyelamat atau apalah itu, tapi mana peran Tuhan dalam detik-detik kematianmu?
Kenapa tuhan sama sekali tidak membantumu? Kenapa Tuhan tidak melakukan sedikitpun hal untuk
menyelamatkan nyawamu? Apakah ia tidak melihat anak kecil yang menangis di depan bebatuan karang pinggir
pantai itu?’ tapi Dewa, ayahku dengan enteng menjawabku ‘Tuhan tidak membantuku untuk selamat dari
kejadian itu, tapi Tuhan membantuku untuk kematianku.’ Kamu tau itu? Bahkan ayahku mengatakan Tuhan
sudah berperan, tapi aku tak tau apa peran Tuhan dalam kematianya”

Mendadak lunglai hatiku, aku seperti melihat cerita yang selalu disajikan di cerita-cerita buku
sekolahku. Dengan perlahan ia melanjutkan ceritanya.

“Lalu Dewa, aku menggunkanan nada tinggiku lagi ‘Ayahku sudah mati, aku melihatnya sendiri,
akulah yang mengumandangkan adzan di pemakamanya’ lagi-lagi dengan enteng ayahku menjawab ‘Iya,
jasadku benar telah terkubur dalam pandanganmu, tetapi itu tidak membenarkan pertanyaan bahwa aku
meninggalkanmu, aku hanya mati bukan lenyap, aku masih selalu menemanimu, aku masih selalu melihatmu,
kamu masih sama, kamu masih saja membangkang ibumu, kamu masih saja menerbangkan mimpimu setinggi
langit dengan usahamu yang tak pernah henti, tapi kamu masih saja enggan untuk meminta restu ibumu, kamu
masih saja menyepelekan ibumu, seolah-olah, tak ada artinya ibumu di dunia ini.’ Saat keaadaan seperti aku
benar-benar tak percaya bahwa ini bukan mimpi, lalu Dewa, lagi-lagi aku mulai meninggikan nadaku, ‘Tapi
yah, sebuah kehancuran yang selalu kita telusuri penyebabnya berdua, dengan kita setiap malam selalu
mendatangi rumah watu ulo itu, dan kita selalu meminta orang itu untuk mengakui kesalahanya dan meminta
maaf kepada ibu, nada tinggi yang selalu ayah keluarkan saat berbicara dengan orang itu, dan tangisan haru
yang selalu ayah keluarkan ketika bersalam pulang, itu tak ada artinya yah. Seperti sewaktu kecil ayah selalu
mengira ibu yang selalu mengambil uang Rp. 2000 sewaktu ayah tidur yang membuat aku ingin dengan jujur
mengembalikan uang itu, tapi aku juga ingin memiliki uang itu’ lalu ayahku dengan enteng lagi menjawab
‘Ayah sudah tau, dan itu tidak akan mengubah bahwa itu ibumu.’ Menangis aku Ghazali, aku peluk erat ayahku,
‘Tapi yah?’ ayahku juga memelukku dengan sangat tulus ‘Aku memang membutuhkanmu untuk berada di
tempat ini, tapi sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk itu. Sekarang pulanglah, sebrangi lorong sepi itu, dan
kamu akan bertemu orang-orang menggunakan bahasa yang sama denganmu.’ Mendengar ayahku mengatakan
seperti itu aku merasa sangat tertampar, tak pernah ada yang menegurku tentang hal itu, aku menyerah, aku tak
mengelak, aku mempercayai segala sesuatu yang terjadi di bukit tinggi itu, termasuk seluruh perkataan ayahku.
Ayahku menyuruhku untuk segera pulang, menyeberangi lorong sepi itu dan aku akan menemukan orang-
orang yang menggunakan bahasa yang sama denganku, dan benar saja, aku benar-benar bertemu dengan orang
yang menggunakan Bahasa yang sama denganku, tapi yang terpikir olehku, fisik dan karakteristik yang aku
temui di 2 tempat yang berbeda itu sangatlah sama, bahkan ada beberapa orang yang benar-beanar sama dari
fisik dan pakaiannya, yang membedakan hanya Bahasa mereka. Aku berjalan turun dari bukit ini dengan
menetapkan seluruh perkataan ayahku, dan aku berpikir akan meminta maaf ke ibuku.”

“Oh ya? Apakah kamu sudah minta maaf ke ibumu? Lalu apa yang membuat ibumu sangat marah?”
aku terus bertanya ke Restu untuk memenuhi rasa penasaranku.

“Belum, aku belum minta maaf ke ibuku, ibuku marah karna aku menceritakan yang sama namun
menggunakan bahasa yang berbeda, Bahasa yang tidak disukai ibuku” ujar Restu.

“Kenapa? Jangan bilang kamu tak menceritakan yang sebenarnya ke ibumu” kataku dengan tegas ke
Restu.
“Awalnya, aku bercerita ke ibumu sama persis dengan apa yang aku ceritakan padamu, tapi ibuku tidak
percaya, seolah-olah ibuku tak mau aku menceritakan kebenaran, apalagi ketika aku dengan jelas membahas
rumah watu ulo itu, dan akupun menceritakan hal yang sama namun berbeda bahasa” ujar Restu.

“Oh ya? Bahasa apa yang kamu gunakan?” aku masih penasaran apakah ia menggunakan Bahasa
London atau Amerika. Lalu dengan tatapan halus ia mengatkan sangat luwes.

“Ibu tidak akan mempercayaiku bahwa aku perokok, dan itu bisa aku benarkan, tapi ibu
mempercayaiku bahwa aku penjudi. 3 hari yang lalu ketika aku berpamitan kepada ibu untuk pergi ke acara
sekolah dengan membawa uang dua juta lebih lima puluh ribu itu, aku bukan pergi ke acara sekolah, tapi aku
pergi ke pesta yang diadakan di rumah yang sangat besar dan berada di atas bukit, aku berangkat dengan motor
bersama Ghazali teman sekolahku, aku melewati jalan yang mengelilingi bukit itu, di pertengahan jalan aku
menggunakan uang 50 ribu itu untuk membeli 2 bungkus rokok. Sesampai aku di pesta itu, aku banyak melihat
anak-anak dari sekolah lain, dalam satu sudut, ada sekumpulan anak bermain judi, dan benar sekali bu, sesingkat
itu, aku keluar dari rumah besar itu tak menyisakan sepersen uang, aku hanya memegang 2 bungkus rokok yang
aku beli tadi, pilihanya hanya aku bisa menjual 2 bungkus rokok itu dan aku bisa kembali bermain judi lagi, atau
aku bisa menghabiskan 2 bungkus rokok itu dengan rasa penuh penyesalan, dan aku memilih pilihan kedua.
Namun tetap terasa aneh, terasa sepi, aku menunggu Dewa di depan rumah besar itu untuk pulang, tapi ada
rombongan anak dari sekolahku yang memberitahuku bahwa Dewa sudah pulang terlebih dahulu, dan itu
kemauanku ketika Ghazali menghampiriku saat aku keasikan bermain judi, dan tak ada teman yang tersisa, aku
memutuskan berjalan untuk turun dari bukit itu, aku 3 hari tidak pulang bukan karna tersesat, tapi karna aku
harus menempuh jarak yang sangat jauh dan hanya berbekal 2 bungkus rokok milikku tadi bu.’ Lucunya Ibuku
langsung mempercayai ceritaku, ibuku menangis, entah karna aku menghabiskan uang dua juta itu untuk berjudi
atau karna melihatku sangat lelah dan sangat kotor.” Ujar Restu kepadaku.

Aku menjadi bingung, aku tak memasalahkan sedikitpun ia mengggunakan namaku di dalam sebuah
kebohonganya, tapi setelah mendengar ia menceritakan cerita yang sama dengan dua Bahasa yang berbeda dan
bukan Bahasa London ataupun Amerika, aku menjadi ragu tentang mana cerita yang sesungguhnya, atau
mungkin ia berbohong untuk keduanya, tapi untuk apa juga ia berbohong kepadaku, aku sudah menjadi
sahabatnya sedari kecil, lalu kebingungan membawaku ke pertanyaan, “tadi kamu mengatakan kalau kamu tidak
mengembalikan uang dua ribu yang kamu ambil dari dompet ayahmu selagi dia tidur, sekarang, uang 2 juta
lebih lima puluh ribu dari ibu tak kau kembalikan? Atau masih sengaja kau simpan?”

“Aku masih menyimpan uang itu, aku berpikir dua kali untk mengmembalikanya, karna aku juga membutuhkan
uang tersebut.” Ujar Restu.

Mengetahui ia bisa mengatakan perkatakaan seperti itu, membuatku semakin bingung, di sisi lain aku
percaya salah satu dari ceritanya adalah kebohongan, di sisi lain aku juga percaya kedua ceritanya adalah
kebohongan karna ia enggan mengembalikan uang ke ibunya, sudah jelas berarti ia tidak berjudi dan tidak
membeli rokok, judi yang ia maksud adalah kebingungan dengan banyak orang yang menggunakan Bahasa
berbeda beda lalu bertemu ayahnya secara singkat, dan 2 rokoh yang ia beli waktu berangkat dan enggan ia jual
untuk bisa bermain judi lagi padahal ia punya pilihan itu adalah penyerahan dirinya atas ayahnya, atas
keikhlasanya dan menerima baik buruk ayah dan ibunya, ia juga membawa pulang teguran-teguran dari
ayahnya dan ia tidak membalas lagi, tapi bagaimana lagi, Restu adalah pengarang cerita, ia selalu jadi penulis
sekaligus sutradra untuk film yang mewakili sekolah untuk lomba-lomba film nasional, itu bisa jadi faktor kalau
keduanya adalah kebohongan, tapi jika keduanya kebohongan kemana ia pergi selama 3 hari? Kenapa ia pulang
dengan wajah muram, kenapa ia terlihat seperti orang yang sangat linglung, tak menutup kemungkinan kedua
cerita yang diceritakan oleh restu itu benar benar terjadi secara bersamaan, tapi ia memisah cerita itu menjadi 2
supaya setidaknya ada orang lain yang mempercayai ceritanya, mana mungkin ada orang yang bisa percaya
kedua itu jika terjadi secara bersamaan, tapi jika itu sudah terjadi, siapa boleh buat? Ayahnya Restu saja yang
terkenal Sangat rajin beribadah di mushola dan terkenal sebagai nelayan paling Tangguh di desa ini saja tak ada
artinya ketika Tuhan sudah berkehendak, terkikis ayahnya dengan ombak lautan, padahal di hari-hari biasanya
ombak di pelawangan sebesar apapun selalu ia terjang, tak peduli hari apa, kecuali ia berlayar di hari kamis
malam jumat, dan entah ini kebetulan atau bagaimana, ayahnya Restu harus bekerja lebih keras saat ia tau
bahwa Restu hari sabtu harus membayar uang ujian untuk hari senin, dan itu membuat Ayah restu bernekat
menyeberangi dasyatnya ombak pelawangan di sore kamis malam jumat, Tuhan telah berkehendak dan kita tak
bisa mengelak kita hanya bisa percaya, kita hanya Tuhan yang telah terbagi, seperti seorang nelayan yang
mengambil ikan di laut untuk di makan bersama anak istrinya, ikan itu tak berkurang sedikitpun, dagingnya
untuk gizi yang selalu dibutuhkan tubuh kita, kepalanya untuk kucing yang mengeong tatkala kita sedang asyik
makan, dan baunya menjadi pengingat padaku desa Grojogan yang kini telah tersapu oleh lautan.

Aku rasa, aku telah gagal menceritakan isra. Aku terlalu bersembunyi di balik bayangan
Dewa. Yang menyebabkan aku kurang mengeksplor tokoh utamanya, jika kalian
beranggapan Dewa adalah tokoh utamanya, kalian salah besar, dan itu kesalahanku karna
telah membawa Dewa dalam urusan ini.
Sebenarnya dari awal aku telah menyiapkan 11 judul. Kemudian karna untuk memberi kado
temanku aku ubah menjadi 24 judul, tapi dalam beberapa waktu aku merasa tak mampu, 11
judul saja rasanya sangat berat apa lagi harus 24. Akupun sepakat untuk menulis 11 judul.
Namun, tetap saja aku kurangi 2 judul menjadi 9 judul. Dan Itu berjalan sampai aku
menyelesaikan 3 judul.
Kemudian aku mengurangi 2 judul lagi menjadi 7 judul. Sebenarnya alasanya juga sama
karna berat. Tapi ini adalah 2 alasan yang berbeda, aku menghapus 2 judul yang membahas
tentang Dewa yang menyelidiki tentang bukit tinggi itu untuk mencari keberadaan Restu
yang telah beberapa hari menghilang. Kemudian judul satunya aku membahas perjalanan
Restu Bertemu Tuhan setelah bertemu ayahnya. Tapi aku rasa itu bahasan yang sangat
berat. Karna yang aku ceritakan ini bukan tentang kisah abad ke-6, abad sebelum masehi,
maupun abad kekosongan.

Anda mungkin juga menyukai