Anda di halaman 1dari 3

Dongeng Dari Tanah Dayak

Oleh Arthamara Devina Arianto S.Psi

Setiap suku bangsa indonesia memiliki dongeng atau cerita-cerita rakyat dengan ciri serta watak
masing-masing. Dongeng dari tanah dayak, yang disusun oleh Essau Alberth Menggang ini,
merupakan himpunan berbagai dongeng kuno di kalimantan yang dikenal masyarakat dan
disampaikan secara lisan. Dongeng dari tanah dayak ini merupakan kumpulan dari beberapa buah
dongeng dari kalimantan antara lain yaitu:

Putir busu dan Bawi Sandah

Dahulu kala hiduplah dua orang gadis yang sangat berbeda perangainya (wataknya). Seorang
tersebut bernama Putir Busu dan Bawi sandah, keduanya berwajah cantik dan tidak jauh berbeda
tetapi yang membedakan keduanya yaitu hanya pada perangainya.

Putir busu adalah seorang gadis yang baik hati, sangat taat dan hormat kepada orang yang lebih tua.
Ia juga sangat mendengarkan perkataan dari ibunya dengan baik-baik, dan diturutinya juga. Tidak
heran bila putir busu menjadi buah bibir orang sekampung karena perilakunya sangat menarik, tutur
katanya sangat manis, rendah hati dan tidak ada cacat celanya. Sedangkan Bawi Sandah adalah
seorang gadis yang sangat sombong, suka iri hati kepada orang lain dan tidak sopan kepada orang
yang lebih tua.

Dalam cerita tersebut ketika mereka pergi ke suatu hutan dengan waktu yang berbeda, putir busu
dan bawi sandah pergi ke suatu hutan untuk mencari ikan, dan sampainya tengah hutan lalu ia
bertemu dengan seorang nenek atau kakek yang meminta mereka untuk singgah di gubuk
nenek/kakek itu karena sudah larut malam di tengah hutan. Ketika putir busu singgah di gubuk itu ia
sangat melayani nenek/kakek tua itu dan sangat menghormatinya, karena ia sudah ditolong dan ia
merasa sangat berhutang budi kepada nenek/kakek tersebut. Berbeda halnya dengan bawi sandah
yang selalu menyuruh-nyuruh nenek/kakek tua itu untuk masak, dan berperilaku tidak sopan. Lalu
keesokan hari nya setelah bersinggah di gubuk nenek/kakek tua tersebut mereka pun diberi
petunjuk arah menuju jalan ke rumah dan memberi pesan kepada mereka apa yang harus di ambil
untuk di jadikan sebagai suami/ jodoh nya kelak, dan mereka juga mendapatkan bungkusan dari
nenek/kakek tersebut. Putir busu sangat mematuhi perintah yang telah di ucapkan oleh
nenek/kakek tersebut yang berujung keindahan yaitu mendapatkan suami yang sangat tampan dan
gagah, ia pun juga mendapatkan bungkusan berupa berupa emas, intan, berlian dan segala macam
perhiasan. Berbeda jauh dengan Bawi sandah yang mendapatkan suami yang sudah tidak muda lagi
atau sudah tua bangka. Jalannya bungkuk dengan tongkat kayu di tangannya. Karena ia tidak
mendengarkan perkataan nenek/kakek tersebut dan tergesah-gesah dalam memilih sesuatu, bawi
sandah juga mendapat bungkusan berisi sarang lebah yang belum punya madu, tetapi penuh dengan
lebah-lebah yang garang.

Sejak itulah kalimantan penduduknya percaya bahwa gadis-gadis yang tingkah lakunya baik,sopan
santun, hormat kepada orang tua, suka membantu, penurut dan tidak tinggi hati, adalah keturunan
putir busu. Tetapi gadis-gadis yang tawanya meledak-ledak, mendengar nasihat dengan telinga kiri
keluar lagi lewat telinga kanan, serba tahu, suka memerintah orang tua, pemalas gadis seperti itu
adalah keturunan Bawi Sandah. Kata orang tua-orang tua di kalimantan juga, gadis semacam Bawi
Sandah ini bakal bersuami laki-laki tua bangka dan perpenyakitan. Berbeda dengan Putir Busu ia
selalu menjadi idaman setiap laki-laki.

Pang Awi dan Ndang Awi

Dahulu kala hiduplah dua orang suami istri. Kehidupan mereka tidak begitu beruntung karena si
suami yang bernama “Pang Awi” ini dungu dan istrinya bernama “Ndang Awi” selalu jengkel atas ke
dunguan dari sang suami. Pang awi merupakan seorang suami yang taat sekali dengan segala
perintah ndang awi. Tetapi ketaatan itu keterlaluan, dan tidak disertai dengan pertimbangan lagi.
Pada suatu saat Ndang Awi menyuruh pang awi untuk melakukan / mengambil sesuatu, seperti yang
dikatakan tadi, pang awi sangat patuh kepada istrinya, belum habis kalimat ndang awi, ia sudah
pergi. Pang awi selalu tidak mendengarkan sampai selesai dan sering lupa apa yang sudah diucapkan
oleh ndang awi.

Ketika apa yang dilakukan pang awi tidak sesuai dengan perintah ndang awi tadi, alangkah marahnya
ndang awi melihat betapa dungu suaminya yang amat dicintainya itu. Secinta-cintanya istri pada
suaminya, kalau memang dungunya keterlaluan, mana tahan juga istri membendung kemarahannya.
Tetapi akhirnya demi kasih sayangnya bpada pang awi itu juga jatuhlah telapak tangan ndang awi ke
kepala pang awi. Sebesar talenan yang dibuat dari kayu bulat, sebesar itulah pula kedunguan pang
awi terpelanting dari kepalanya. Sejak itu pang awi tidak dungu lagi dan berubah menjadi seorang
suami yang sangat bijaksana. Sejak itu lah umat manusia yang dungu sering kali kepalanya harus
menderita. Entah benar atau tidak, tetapi yang jelas orang dungu memang sering kena tempeleng
sejak peristiwa itu terjadi.

Buhis dengan Bakei (Lutung dan Kera)

Anak-anak suku Dayak ngaju, sangat percaya adanya hukuman bagi orang yang tidak adil. Setiap
perbuatan seseorang selalu mendapatkan pembalasan yang setimpal. Sehingga kita sering
mendengarnya adanya cerita berhubungan dengan pembalasan bagi orang yang tidak bersih
pikirannya. Dan mungkin inilah pula sering kali terdengar ucapan-ucapan sinis seperti misalnya:
“Kilau Baketi Ampin” artinya seperti kera tingkah lakuku. “Bakei Ikaku Toh” artinya kera engkau ini,
kalimat-kalimat yang terdengar kurang menarik itu tidak muncul sedemikian saja, tetapi mempunyai
latar belakang cerita, dimana kera selalu menjadi tokoh yang berkelakuan licik. Dahulu kala ada
seekor lutung yang sangat baik hati pergi ke sebuah hutan, dan menemukan pohon yang baru saja di
tebang, kemudian ia sangat senang menjumpai beberapa kuncup “kulat” (cendawan putih) tumbuh
pada pohon yang sudah di tebang itu. Kemudian si lutung memutuskan untuk mengambil kulat itu
nanti sore karena masih terlalu kuncup. Lalu lutung tidak mengetahui kalau pembicaraannya tadi
terdengar oleh kera yang tabiatnya tidak sebaik lutung. Setelah si lutung pergi, datang lah seekor
kera yang mengambil kulat dari pohon itu dan di makanlah sampai ia kenyang dan ia tidur
bersenang-senang di atas dahan.
Kemudian ketika sore hari datanglah si lutung untuk memetik kulat tadi yang ia jumpai ya tadi.
Ternyata kulatnya sudah tidak ada lagi di pohon itu, dan ia langsung menuduh si kera karena
keraslah satu-satunya penghuni hutan yang kurang baik tabiatnya. Si kera mengatakan kalau yang di
makannya tadi bukan kulat tetapi kilat, dan si lutung mengatakan kalau kilat itu di langit dan kulat itu
di pohon, tetapi kera mengatakan kalau kilat itu di pohon dan kulat itu di langit. setelah adanya
perdebatan antara kilat dan kulat akhirnya mereka memutuskan untuk menghadap Patih singa Mada
untuk mengadili perkara ini dan siapa yang salah akan di hukum mati. Kemudian Satu persatu di
panggilah kesebuah ruangan, si lutung menceritakan kebenarannya semua kepada Pati singa Mada,
lalu giliran kera yang di panggil, lalu di dalam ruangan si kera menghasut Pati singa Mada untuk
mengalahkan si lutung, karena daging si lutung sangat lezat dan daging si kera tidak enak di makan.
Kemudian pati singa Mada memutuskan untuk menghukum mati si lutung yang mengatakan kalau
kilat tempatnya di pohon dan kulat di langit. Dengan ikhlas akhirnya lutung berserah diri untuk di
hukum mati, dan patih singa raja pun memasak daging si lutung di dalam kuali. Kemudian tidak lama
ia memasak si lutung, biji mata lutung tadi yang sudah direbus terpelanting keluar bersama air gulai
yang mendidih tersebut keluar dan mengenai kedua biji mata Patih singa Mada yang menyebabkan
ia buta dan mukanya tersiram air gulai yang mendidih.

Kata orang itulah hukuman bagi hakim yang memutuskan sesuatu berdasarkan undang-undang
perut yang selalu menginginkan sesuatu yang enak tetapi melupakan keadilan. Dari cerita ini lah
orang Dayak selalu adil kalau memutuskan sesuatu persoalan. Orang yang ber kelakuan tidak baik
sering dikiaskan dengan “kera” (bakei ikau toh) yang artinya seperti kera kamu ini, yang berarti ada
sikap kita yang tidak di sukai atau salah.

Sangumang dan harimau

Kura-kura dan kera

Tukang Taking

Kakang kanjarau

Identitas Buku

Judul :Dongeng dari tanah Dayak

Karya : Essau Alberth Menggang

Penerbit : PT. Balai Pustaka (Persero)

Penulis resensi buku adalah guru Kampung Ilmu Purwosari

Anda mungkin juga menyukai