Anda di halaman 1dari 7

Hikayat Abu Nawas dan Rumah yang Sempit

Suatu hari, seorang lelaki datang ke rumah Abu Nawas. Lelaki itu sedang bersedih. Ia bingung
dengan masalah yang sedang ia hadapi. Ia ingin meminta tolong kepada Abu Nawas.

"Aku memiliki istri dan delapan anak. Sementara rumahku sangatlah sempit. Setiap hari kami
merasa tak nyaman tinggal di rumahku. Kami tak ingin pindah dari rumah itu. Tolong beri jalan
keluarnya, Abu Nawas,” kisah lelaki itu.

Abu Nawas berpikir sejenak. Aha ia berhasil mendapatkan ide.

"Apa kau punya domba di rumah?" tanya Abu Nawas.

"Aku tak menaiki domba," jawab lelaki itu.

“Sekarang kau pergilah, belilah seekor domba dan taruhlah domba itu di dalam rumahmu," ujar
Abu Nawas.

Lelaki itu kemudian pergi ke pasar dan membeli seekor domba. Ia menaruh domba itu di dalam
rumah sesuai usul Abu Nawas. Tetapi bukannya tambah nyaman, rumah yang mereka tempati
justru semakin sempit dan berantakan. Lelaki itu lalu datang lagi ke rumah Abu Nawas. Ia ingin
mengadukan hal itu kepada Abu Nawas.

"Coba kau beli dua ekor domba lagi dan taruh di dalam rumahmu," pinta Abu Nawas.

Lelaki itu membeli lagi dua ekor domba. ia pun menaruh dua domba itu di dalam rumahnya.
Namun, rumahnya justru semakin sempit. Lebih sempit dari sebelumnya. Lelaki itu lalu
kembali lagi ke rumah Abu Nawas. Abu Nawas kembali meminta lelaki itu untuk membeli
seekor domba lagi. Olala hal itu justru membuat rumah lelaki itu semakin sempit dan
berantakan. Bahkan, kini istrinya jadi suka marah-marah kepadanya.

Lelaki itu kembali ke rumah Abu Nawas dan menceritakan semuanya. Abu Nawas lalu
meminta lelaki itu untuk menjual semua dombanya. Lelaki itu menuruti perkataan Abu Nawas.
Esoknya ia kembali rnenemui Abu Nawas.

"Bagaimana kondisi rumahmu sekarang?" tanya Abu Nawas.

"Semenjak aku menjual semua dombaku. Rumahku kini terasa lebih nyaman dan tak sempit
lagi.” jawab Ielaki itu.

Abu Nawas pun tersenyum. Dia merasa senang karena telah menyelesaikan masalah dari lelaki
itu. Sebenarnya masalah lelaki itu, bukan terletak dari keadaan rumahnya yang sempit. Intinya
adalah terletak dari cara kita bersyukur dengan apa yang kita miliki. Janganlah kita selalu
mengeluh. Orang yang tak pernah mau bersyukur akan selalu merasa kekurangan. Jadi jika kita
pandai bersyukur, maka Tuhan akan mencukupkan segalanya.
HIKAYAT SANG POHON CANTIK
Di sebuah hutan, tumbuhlah pohon yang unik . ia memiliki batang yang sangat lurus, akarnya
yang kokoh, dan sangat harum. Hal itu, membuat para pencari kayu selalu merawatnya. Akan
tetapi, para penebang liar tidak menyukai pohon itu. Mereka berusaha untuk merusak atau
mematikan pohon itu.
Beruntung, pohon cantik tersebut mendapat penjagaan yang sangat ketat dari para pencari kayu
bakar yang baik hati.
Mereka secara bergiliran mengiring jalannya pertumbuhan Sang Pohon dengan sangat
waspada. Terlebih, pohon tersebut rupanya memiliki akar yang dapat merambat dengan cepat.
Sehingga sari-sari makanan yang ada dalam tanah dapat diserap dengan baik. Demikian juga
dengan air yang ada, dapat dimaksimalkan oleh Sang Pohon untuk menopang
kehidupannya.Singkat cerita, pohon tersebut telah tumbuh besar, daunnya yang rimbun
menghijau membuat mata tak lelah untuk memandang, dari dahan-dahannya semerbak harum
yang menyaput seantero hutan, dan satu lagi, pohon cantik tersebut memiliki buah yang sangat
manis. Selain dapat menghilangkan dahaga, juga dapat mengenyangkan bagi para
penikmatnya. Terasalah berkah Sang Pencipta bagi para pencari kayu bakar, meskipun para
penebang liar masih saja mencari celah untuk selalu meruntuhkan keberadaannya.
Namun, demikianlah kodrat keberadaan setiap makhluk yang hidup dan tumbuh di atas muka
bumi ini, tak satupun yang abadi! Tak terkecuali dengan keadaan pohon cantik yang disanjung
para pencari kayu bakar dan seluruh penghuni hutan. Pada suatu sore, ketika langit mulai gelap,
anginpun kencang berhembus. Pucuk pohon cantik bergoyang dengan hebatnya. Ia sekuat
tenaga mengimbangi keadaan yang setiap saat bisa mematahkannya.Sang Pucuk terus
bergerak, awalnya hanya berniat untuk mempertahankan diri dari keadaan alam yang ia
hadapi.
Tetapi kelamaan ia sadar, bahwa sebenarnya ia dapat mengatasi sepenuhnya serangan angin
tersebut. Ia yakin benar telah ditopang akar yang kuat, dan dahan-dahan yang kokoh, serta
dedaunan yang dapat menahan laju angin dengan sempurna.Karena keyakinannya itulah tiba-
tiba ia membuat sebuah gerakan yang tidak disangka-sangka oleh Sang Akar yang sekuat
tenaga mencengkram tanah. Sang Pucuk menari, bukan hanya mengikuti arah angin, namun
terkadang ia membuat gerakan yang membingungkan Sang Akar dalam mempertahankan
keseimbangannya.

Dan, Sang Akarpun mengeluarkan protesnya;"Hai, pucuk. Berhentilah menari! Aku bingung
melihatmu!""Kenapa mesti bingung, Akar? Aku tahu benar siatuasi yang ada. Ikut
sajalah!""Mana bisa aku ikut, kalau kamu susah diikuti""Percayalah, akar. Aku diatas mampu
melihat semuanya. Bukan hanya batang, daun, dan kau akarku sendiri. Tetapi jarak puluhan
kilo di sekeliling kitapun bisa aku lihat""Hai, apa salahnya aku mengingatkanmu, pucuk?""Kau
salah akar, harusnya kau ikut saja apa kataku.
Karena posisimu di bawah, dan kau tidak tahu apa-apa tentang dunia ini!""Aha…angkuh nian
kau, pucuk! Kalaulah tak ada aku, mana mungkin kau bisa berada di atas sana!""Sudahlah,
kenapa kalian malah bertengkar, hah?!" Sang Daun menengahi suasana yang semakin
memanas."Karena dia mulai bertingkah, daun!" akar mengarahkan serabutnya kepada Sang
Pucuk."Apa urusanmu, akar?! Ikuti sajalah kataku, dan kau akan selamat""Apa kalian lupa,
hah? Kalian itu saling membutuhkan! Tak akan ada kehidupan kalau tidak aku, kau, dan si akar
itu. Sadarlah, kawan!" Sang Daun kembali berkata-kata dengan perasaan yang
gundah.Perdebatan demi perdebatan terus bergulir di antara keduanya. Sang Pucuk tak merasa
harus mengalah sedikitpun terhadap Sang Akar. Ia merasa bahwa ialah segalanya. Ia merasa
ditakdirkan Tuhan untuk berada di atas dengan segala penglihatannya yang luas akan dunia ini.
Ia merasa Tuhan telah memberikan kewenangan mutlak kepadanya untuk berbuat sesuka hati.
Sementara, Sang Akar merasa kecewa, Sang Pucuk telah mengambil langkah yang keliru
dalam melaksanakan upaya menjaga kelangsungan hidup seluruh bagian pohon tersebut. Dan,
Sang Daun yang berusaha menengahi perdebatan itupun tak kuasa meredam keduanya, meski
ia tak pernah merasa lelah untuk mendamaikan perseteruan dua saudara satu tubuh itu.Waktu
yang digariskan mungkin saja telah tiba, karena perdebatan yang berlarut itu, Sang Akar
bermalas-malasan untuk menyerap air dan zat-zat yang dibutuhkannya. Demikian juga Sang
Daun, karena kelelahan melerai kedua saudaranya, ia lupa untuk mengolah makanan meski
matahari terus bersinar sepanjang hari.
Dan, Sang Pucuk rupanya semakin terlena. Ia tidak menyadari dua saudara dibawahnya sudah
mengalami gangguan. Ia tetap berlenggok mengikuti arah angin dengan irama yang
sekenanya.Hingga tibalah saat dimana angin justru berhembus dengan sangat perlahan. Sang
Pucuk terlena karena desirnya, ia merasakan kantuk disela-sela gerakannya yang tak beraturan,
dan iapun mulai terpejam. Terlelap dalam tidur yang tidak disadarinya datang menyerang.
Tubuhnya terkulai. Sang Daun yang lapar tak kuasa menahan tubuh Sang Pucuk yang datang
tiba-tiba. Ia ikut terjatuh. Sementara di bawah, Sang Akar yang bermalas-malasan tak lagi
memiliki cengkraman yang kuat terhadap tanah di sekelilingnya. Sang Akar tak kuasa menahan
tubuh kedua saudaranya yang terjatuh lebih dulu. Ia tercabut, bercerai-berai mengakhiri kisah
pohon cantik yang menyisakan cerita menyedihkan.Para pencari kayu bakar yang baik hati
bermuram durja, sementara para penebang liar bergelak tawa,"Tak perlu kita robohkan, kawan.
Mereka roboh sendiri karena permusuhan…!!""O, bahkan tak perlu angin yang kencang
rupanya…….kasihan betul….."
PENGEMBARA YANG LAPAR

Tersebutlah kisah tiga orang sahabat, Kendi, Buyung dan Awang yang sedang mengembara.
Mereka membawa bekalan makanan seperti beras, daging, susu dan buah-buahan. Apabila
penat berjalan mereka berhenti dan memasak makanan. Jika bertemu kampung, mereka akan
singgah membeli makanan untuk dibuat bekal dalam perjalanan.
Pada suatu hari, mereka tiba di kawasan hutan tebal. Di kawasan itu mereka tidak bertemu
dusun atau kampung. Mereka berhenti dan berehat di bawah sebatang pokok ara yang rendang.
Bekalan makanan pula telah habis. Ketiga-tiga sahabat ini berasa sangat lapar,
“Hai, kalau ada nasi sekawah, aku akan habiskan seorang,” tiba-tiba Kendi mengeluh. Dia
mengurut-ngurut perutnya yang lapar. Badannya disandarkan ke perdu pokok ara.
“Kalau lapar begini, ayam panggang sepuluh ekor pun sanggup aku habiskan,” kata Buyung
pula.
“Janganlah kamu berdua tamak sangat dan bercakap besar pula. Aku pun lapar juga. Bagi aku,
kalau ada nasi sepinggan sudah cukup,” Awang bersuara.
Kendi dan Buyung tertawa mendengar kata-kata Awang.
“Dengan nasi sepinggan, mana boleh kenyang? Perut kita tersangatlah lapar!” ejek Kendi.
Buyung mengangguk tanda bersetuju dengan pendapat Kendi.
Perbualan mereka didengar oleh pokok ara. Pokok itu bersimpati apabila mendengar keluhan
ketiga-tiga pengembara tersebut lalu menggugurkan tiga helai daun.
Bubb! Kendi, Buyung dan Awang terdengar bunyi seperti benda terjatuh. Mereka segera
mencari benda tersebut dicelah-celah semak. Masing-masing menuju ke arah yang berlainan.
“Eh,ada nasi sekawah!” Kendi menjerit kehairanan. Dia menghadap sekawah nasi yang masih
berwap. Tanpa berfikir panjang lalu dia menyuap nasi itu dengan lahapnya.
“Ayam panggang sepuluh ekor! Wah, sedapnya!” tiba-tiba Buyung pula melaung dari arah
timur. Serta-merta meleleh air liurnya. Seleranya terbuka. Dengan pantas dia mengambil ayam
yang paling besar lalu makan dengan gelojoh.
Melihatkan Kendi dan Buyung telah mendapat makanan, Awang semakin pantas meredah
semak. Ketika Awang menyelak daun kelembak, dia ternampak sepinggan nasi berlauk yang
terhidang. Awang tersenyum dan mengucapkan syukur kerana mendapat rezeki. Dia makan
dengan tenang.
Selepas makan, Awang rasa segar. Dia berehat semula di bawah pokok ara sambil
memerhatikan Kendi dan Buyung yang sedang meratah makanannya.
“Urgh!” Kendi sendawa. Perutnya amat kenyang. Nasi di dalam kawah masih banyak. Dia
tidak mampu menghabiskan nasi itu. “Kenapa kamu tidak habiskan kami?” tiba-tiba nasi di
dalam kawah itu bertanya kepada Kendi.
“Aku sudah kenyang,” jawab Kendi.
“Bukankah kamu telah berjanji akan menghabiskan kami sekawah?” Tanya nasi itu lagi.
“Tapi perut aku sudah kenyang,” jawab Kendi.
Tiba-tiba nasi itu berkumpul dan mengejar Kendi. Kawah itu menyerkup kepala Kendi dan
nasi-nasi itu menggigit tubuh Kendi. Kendi menjerit meminta tolong.
Buyung juga kekenyangan. Dia cuma dapat menghabiskan seekor ayam sahaja. Sembilan ekor
ayam lagi terbiar di tempat pemanggang. Oleh kerana terlalu banyak makan, tekaknya berasa
loya. Melihat baki ayam-ayam panggang itu, dia berasa muak dan hendak muntah. Buyung
segera mencampakkan ayam-ayam itu ke dalam semak.
“Kenapa kamu tidak habiskan kami?” tiba-tiba tanya ayam-ayam panggang itu.
“Aku sudah kenyang,” kata Buyung. “Makan sekor pun perut aku sudah muak,” katanya lagi.
Tiba-tiba muncul sembilan ekor ayam jantan dari celah-celah semak di kawasan itu. Mereka
meluru ke arah Buyung.
Ayam-ayam itu mematuk dan menggeletek tubuh Buyung. Buyung melompat-lompat sambil
meminta tolong.
Awang bagaikan bermimpi melihat gelagat rakan-rakannya. Kendi terpekik dan terlolong.
Buyung pula melompat-lompat dan berguling-guling di atas tanah. Awang tidak dapat berbuat
apa-apa. Dia seperti terpukau melihat kejadian itu.
Akhirnya Kendi dan Buyung mati. Tinggallah Awang seorang diri. Dia meneruskan semula
perjalanannya.
Sebelum berangkat, Awang mengambil pinggan nasi yang telah bersih. Sebutir nasi pun tidak
berbaki di dalam pinggan itu.
“Pinggan ini akan mengingatkan aku supaya jangan sombong dan tamak. Makan biarlah
berpada-pada dan tidak membazir,” kata Awang lalu beredar meninggalkan tempat itu.

Anda mungkin juga menyukai