Anda di halaman 1dari 3

Nama : Laila Fatimatuz Zahro

No : 12

Kelas : XI Akuntansi 1

MIE AYAM KEBERUNTUNGAN


Karya : Laila Fatimatuz Zahro

Setelah pulang sekolah, aku merasa lelah dan lapar. Aku pun ingin membeli mie ayam
makanan favoritku. Siang hari seperti ini, paling tepat makan mie ayam ditemani segelas es teh
manis. Aku bergegas ke warung mie ayam yang letaknya lumayan jauh dari rumahku dan
kupercepat sepedaku agar cepat sampai disana.

“Pak pesan mie ayam satu sama es teh manisnya satu. GPL Pak.” Ucapku dengan
semangat.

“Oke Dik."

Saat yang kutunggu-tunggu telah tiba, akhirnya semangkuk mie ayam dan segelas es teh
manis tersaji di depanku. Kulihat semangkuk mie ayam itu. Begitu kuning dan panjang mienya.
Hijau segar warna sawinya, banyak potongan daging ayamnya, bening kuahnya, dengan taburan
potongan daun bawang di atasnya, dan betapa harum aromanya sampai menusuk hidung.

Kulihat es teh manis itu, coklat muda warna tehnya, esnya sebesar genggaman tanganku.
Esnya megembun di pori-pori gelas seperti embun di pagi hari, dan gulanya mengumpul di
bagian bawah gelas. Kuambil sendok untuk mengaduk es tehnya agar gulanya dapat larut di air
teh tersebut.

Aku pun mulai menuangkan saus ke dalam mangkuk mie ayam dengan hati-hati. Untuk
menambah rasa pedas, aku menambahkan satu sendok teh sambal. Aku mengambil sendok dan
garpu untuk mengaduk mie ayam yang sangat lezat itu. Sendok kupegang sebelah kiri dan garpu
kupegang sebelah kanan. Lalu aku mulai mengaduk mie ayamku secara perlahan agar tidak
kececeran di atas meja.

Saus dan sambal sudah teraduk rata. Saatnya aku memakan mie ayam tersebut. Sebelum
memakannya tak lupa aku membaca basmallah dan doa sebelum makan terlebih dahulu. Saat aku
makan mienya, begitu panjang dan kenyal teksturnya. Potongan daging ayamnya sangat empuk,
dan rasa kuahnya sangat enak dan gurih. Aku memakan mie ayam tersebut dengan lahap dan
habis tak tersisa.
Sesudah selesai memakan mie ayam tersebut, aku merasa kepedasan, aku pun meminum
es teh manisku. Rasanya manis dan segar sampai di tenggorokan. Setelah es teh manisku habis,
aku merasa kenyang dan tak lupa aku membaca doa setelah makan agar apa yang aku makan
dapat memberikan manfaat yang baik kepadaku.

“Pak semuanya berapa? Mie ayamnya satu dan es teh manisnya satu.”

“Semuanya sepuluh ribu dik.”

Saat aku mau membayar ke penjual mie ayam tersebut. Aku merogoh saku bajuku
berulang kali. Ternyata uang dalam saku bajuku hilang. Aku baru menyadari bahwa saku baju
yang aku pakai sobek, dan membuat uangku terjatuh. Betapa malunya diriku, sampai wajahku
memerah. Aku takut dan bingung, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan? Aku mencoba
memfikirkan bagaimana caranya aku dapat membayar mie ayam itu? Tetapi aku merasa
fikiranku sudah buntu dan aku tidak mendapatkan ide lagi. Aku tidak berani menatap wajah
penjual mie ayam tersebut, kerena penjual mie ayam tampak marah kepadaku.

“Ini jadinya bagaimana dik?”

“Anu….anu….Pak.” Ucapku ketakutan.

“Anu- anu apa? Bapak tidak mau tahu, adik harus membayar mie ayam itu bagaimanapun
caranya, kalau tidak bapak akan laporkan adik ke kantor polisi.” Kata penjual mie ayam
dengan nada marah.

“Aduh… jangan Pak, jangan… saya akan bayar mie ayam itu.”

“Baiklah kalau begitu.”

“Aduh…bagaimana ini apa yang harus kulakukan?” Gumamku dalam hati.

Tiba-tiba muncul seorang laki-laki yang lebih tua dariku. Dia bertanya apa yang sedang
terjadi kepadaku. Penjual mie ayam tersebut menceritakan semua kejadian itu kepadanya. Lalu
dia merogoh uang di saku celananya dan membayarkannya kepada penjual mie ayam tersebut.

Akhirnya hatiku lega, karena mie ayamku sudah dibayarkan oleh laki-laki itu. Aku terus
memandangi laki-laki itu tanpa berkedip sedikitpun. Aku sangat tidak percaya kalau di depanku
itu adalah….

“Kak …Kak …Kak Ihsan Maulana Mustofa, apa benar ini Kak Ican?”

“Iya . Memangnya kenapa dik?”

“Ya Allah mimpi apa saya semalam? akhinya bisa ketemu sama Kak Ican. Ye…ye …ye
ye…..” Sorakku bergembira sambil berjoget-joget.
Sungguh tidak kusangka, orang yang telah membayarkan mie ayamku itu adalah idolaku
sendiri, Ihsan Maulana Mustofa, pebulu tangkis Indonesia asal Tasikmalaya yang terkenal
dengan segudang prestasinya. Aku tidak menyangka bisa bertemu dengan idolaku dan terasa
seperti bermimpi di siang hari. Hatiku senang sekali bisa bertemu dengan Kak Ican dan rasa
senang di hatiku itu tidak dapat diungkapkan dengan rangkaian kata-kata.

“Dik, kamu nggak apa-apa kan?” Tanya Kak Ican heran dengan semua tingkah lakuku.

“Nggak apa-apa Kak, saya seratus persen baik, percaya dehh…”

“Syukurlah, Kakak kira Adik kenapa-kenapa lagi.”

“Terima kasih Kak Ican sudah menolongin saya, saya tidak tahu apa yang akan terjadi
jika tidak ada Kak Ican.”

“Iya sama-sama.” Ucap Kak Ican dengan tersenyum manis.

“Ngomong-ngomong Kak Ican ngapain di sini?”

“Oh… Kakak sedang jalan-jalan di sekitar sini dan tidak sengaja Kakak mendengar ada
keributan di sini, jadi Kakak ke sini deh…”

“Hemm….Kak Ican saya nge-fans banget sama Kakak, minta tanda tangannya Kak,
disini…disini…disini Kak.”

“Oke.”

“Eh…satu lagi Kak.”

“Apa?”

“Ayo kita foto bareng Kak , buat kenang-kenangan.”

Kak Ican mengangguk, tanda dia mau berfoto. Setelah puas berfoto-foto dengan Kak
Ican, aku pun pulang ke rumah dengan perasaan senang. Ini merupakan hari yang sangat
mengesanku bagiku karena aku beruntung dapat bertemu dengan idolaku dari semangkuk mie
ayam.

Anda mungkin juga menyukai