Anda di halaman 1dari 4

SEPENGGAL CERITA UNTUKMU

“Diberitahukan dengan hormat, bersama dengan email ini saya lampirkan surat
lamaran pekerjaan serta beberapa dokumen pendukung sebagai bahan pertimbangan. Besar
harapan saya agar lamaran ini diterima. Terima kasih atas perhatian serta perkenannya”.
Begitulah kiranya sepotong penggalan email yang kutuliskan dan hendak dikirim pagi itu.
Tanggal 1 Juni 2015 tepat pukul 07.05 WIB barulah email tersebut terkirim. Email berisi
pengharapan akan penambahan pengalaman dan kapasitas diri jika memang nantinya aku
diterima. Posisi yang diincar adalah posisi dimana aku berhadapan langsung dengan
customer, mendengar keluh kesah mereka dan memberikan secara langsung solusi terbaik
yang ditawarkan. Sebelumnya aku bekerja di lembaga kursus bahasa Inggris, sambil mengisi
waktu luang selepas lulus dari salah satu perguruan tinggi negri. Hanya tiga bulan berselang,
kemudian aku putuskan keluar dari tempat kerja pertama karena keinginan untuk
mendapatkan pekerjaan yang dapat menambah pengalaman serta kapasitas diri nantinya.

Tiba-tiba ponselku berdering, ada sms rupanya. Seketika sms tersebut aku baca dan
isinya ternyata panggilan tes tahap awal di posisi yang aku incar. Tes tahap pertama
dilakukan tidak jauh dari tempat asalku, Purwakarta. Memang sengaja aku tidak melamar
kerja diluar daerah karena apalah daya orang tua tidak mengizinkan. Padahal banyak
perusahaan besar dengan posisi lebih tinggi menawarkannya untukku. Menawarkan fasilitas
serta jenjang karir yang cukup menyilaukan mata. Namun aku lebih memilih untuk mengikuti
orang tua, karena ridho serta kebahagaian orang tualah yang terpenting. Tes tahap pertama
meliputi psikotes, lima pertanyaan dalam bahasa Inggris kemudian interview. Tes tahap
pertama kulalui dengan sukses, karena memang telah dipersipakan sebelumnya. Di tes tahap
pertama ini, aku dipertemukan dengan bebarapa orang. Ada beberapa yang datang dari daerah
lebih jauh dariku. Keseruan pun dimulai dari obrolan-obrolan yang tidak begitu panjang tapi
cukup mengakrabkan dan menghibur di sela-sela tes. Resti, Randi dan Rizal (trio R) yang
masih menjadi sahabatku hingga saat ini. Seminggu kemudian aku dinyatakan lolos tahap
pertama dan masih diminggu yang sama kami diwajibkan mengikuti wawancara dengan
pihak bank.

Tahap wawancara ini aku persiapkan secara maksimal karena ingin memberikan
kesan mendalam di waktu yang terbatas. Aku persiapkan juga berbagai kemungkinan
pertanyaan yang muncul, telah kutelusuri setiap perjalanan bank serta berbagai produk yang
ditawarkan, aku tidak ingin ada tertinggal. Tes tahap kedua aku ditemani oleh papah, orang
yang selalu ada dan mencintaiku di setiap detik sepanjang hidupnya. Tes tahap kedua kembali
mempertemukan aku dengan Resti, dan Rizal, dan tentu menambah teman seperjuangan lagi
yaitu Ryan, Ayu, Hani, Hamdan, Kiki, Nurul, Mpi, Diah, dan Novi. Team besar, karena kami
bersebelas menjalin pertemanan yang begitu intim, saling support dan saling menguatkan satu
sama lain. Wawancara berjalan seperti apa yang telah aku perkirakan, berlangsung menarik
karena jawaban yang aku persiapkan berbeda dengan jawaban lain, out the box so I’ve got
this point !
Aku dinyatakan lolos dan masuk ke tahap terakhir yaitu tes kesehatan bersama dengan
kesebelas teman seperjuangan dan tentunya akan bertemu lagi pada pertarungan tahap akhir.
Tes kesehatanpun aku persiapkan dengan maksimal sama seperti tes pada tahap sebelumnya.
Mulai dari membaca artikel tentang kesehatan, makanan serta minuman yang baik agar tubuh
tetap vit hingga ragam olahraga yang dianjurkan untuk dilakukan. Makanan, minuman yang
sehat serta olah raga rutin terus aku lakukan hingga mendekati tes kesehatan. Tes kesehatan
berjalan tidak lama, hanya setengah hari. Pengumuman final penerimaan diumumkan
seminggu setelah lebaran. Harap-harap cemas menunggu pengumuman penerimaan kala itu.
Tidak hanya aku, melainkan rekan seperjuangan lain pun sama. Alhamdulillah wa syukurilah,
aku dinyatakan lolos namun dari kesebelas rekanku saat itu ada satu yang tidak lolos yaitu
Resti dari Garut.

Hari kerja pertama dimulai pertengahan Agustus 2015 di kantor cabang Cikampek.
Tepat pukul 07.00 WIB kami sudah berpakaian rapih dan siap menghadapi apapun yang
terjadi. Padahal kami belum mempersiapkan amunisi karena tidak tahu apa yang menjadi hak
dan tanggung jawab kami hhehe. Hari pertama kerja dihiasi dengan perkenalan dan
pengarahan dari Pimpinan Cabang kemudian dilanjutkan dengan Bagian SDM. Kurang lebih
10 hari kami bermarkas di kantor cabang sebelum akhirnya dipisah karena surat penempatan
yang disebar diseluruh Cikampek. Rizal dan Ayu ditempatkan di Mekarmaya, aku bersama
Hamdan di Cilamaya, Dyah ditempatkan di Kantor Kas Kosambi, sedangkan Hani
ditempatkan di Duren, Mpi di Cikalong, Nurul ditempatkan di Telagasari, Kiki di
ditempatkan di Gempol kemudian Ryan ditempatkan di Purwasari.

Lokasi yang sangat asing bahkan tidak pernah aku dengar sebelumnya. Namun jiwa-
jiwa petualang kami muncul, menelisik dan mencari tahu akan keberadaan lokasi kerja kami.
Ditemani ayah Hamdan, kamis sore kami bertiga berangkat karena esok harus langsung
bekerja di unit tersebut. Perjalanan yang cukup panjang telah ditempuh hingga pada akhirnya
kami berhasil menemukannya. Kami datang sangat pagi kala itu, namun tidak berani masuk
karena malu. Pada akhirnya kami pun masuk lalu duduk berdua bersampingan di kursi pojok,
itu pun setelah dipersilahkan masuk oleh Pak Satpam (Pak Nana Mulyana). Sapaan akrabnya
Pak Tepos. Entah atas dasar apa hingga Pak Nana mendapat julukan seperti itu. Setelah
mendapatkan pengarahan selepas doa pagi, kami memulai menjadi bayangan senior masing-
masing. Aku menjadi bayangan Navi, dan Hamdan menjadi bayangan Rieska. Learning by
doing yang diterapkan kepada kami semuanya.

Banyak tangis, canda dan juga tawa mengiringiku di Cilamaya selama kurang lebih
10 bulan. Cilamaya Squad, nama team kerja yang siap siaga membantu oprasional kantor unit
pun harus berganti- ganti. Team awal beranggotakan Navi, Rifqi (sapaan akrab kami Ikiw)
dan Hendri dengan sapaan akrab A Jabrig ( mungkin karena rambutnya yang unik maka lebih
akrab disapa Jabrig). Kebersamaan kita hanya berlangsung selama enam bulan saja, karena
Navi dan Jabrig sudah naik jabatan sehingga mereka berdua berpindah tempat kerja dengan
posisi yang juga berbeda, meninggalkanku di Cilamaya bersama dengan Rifqi. Tersisa hanya
kami dengan tambahan 2 anggota baru yaitu Nila dan Wilis. Tak lama Rifqi pun kemudian
mendapatkan SK mutasi, penggantinya yaitu Rendy. Kita ciptakan keakraban Squad baru
Cilamaya dengan memberikan julukan kesayangan. Nila yang aku beri julukan Kunil,
sedangkan Wilis aku juluki dia Jibon. Senior selalu bebas melakukan apapun kan? Karena
senior selalu benar hhhaha, toh mereka sama sekali tidak keberatan dengan julukan itu. Kala
itu kita bekerja dari mulai mentari tidak kunjung menampakan tahtanya hingga tergantikan
oleh rembulan. Aku dan sepertinya hampir semua pejuang di setiap unit pun sama, sama akan
merindukan kehangatan dan begitu bersahabatnya sinar mentari sore.

Waktu berlalu begitu saja, tepat pada bulan kesepuluh yaitu tanggal 1 Juli 2016, aku
mendapatkan SK mutasi. Mutasi ke kantor di kota rupanya. SK mutasi ini membuat aku bisa
menikmati berangkat kerja dari rumah. Hari pertama di kantor baru berjalan begitu kaku. Aku
masih kikuk dan belum dapat beradaptasi dengan rekan kerja lainnya. Masih membekas
dalam ingatanku, di hari kedua aku dipanggil masuk ke ruang kepala unit. “Aku sama sekali
tidak melakukan kesalahan atau tindakan yang merugikan orang lain, tapi ada perihal apa
sampai aku dipanggil?” pertanyaan itu berkecambuk dalam benakku kala itu. Namun ternyata
pertemuan di hari kedua itu mengantarku akan sosokmu. Sosok yang sama sekali asing
ditelingaku, bahkan hanya untuk mendengar namamu sja masih sangat asing, apalagi untuk
membayangkan wajahmu. Munkin kamu pun merasakan hal yang sama, asing.

Aku berterima kasih kepada seluruh rekan-rekan kerjaku karena niat baik mereka
mengenalkan kepadaku sosok pria misterius itu. Sosok yang sangat aku pertanyakan hingga
Bu Hj Nenden kepala unitku serta Pak Irham, senior mantri begitu sangat
merekomendasikannya. Aku menganggapnya semacam konspirasi terselubung. Pertemuan
pertama telah dirancang, pertemuan itu pun berlangsung di kantor baruku pada jam istirahat.
Kembali aku dipanggil di ruangan kepala unit, dan ternyata di ruangan itu sudah ada yang
duduk bercengkrama akrab dengan Bu Hj. Sosok pria misterius itu rupanya. Kami berkenalan
kemudian mengatur agenda untuk pergi. Pergi sekadar jalan-jalan mencari udara segar
dengan suasana berbeda. Konspirasi yang terus berlanjut.

Periode awal kita berkomunikasi melalui sebuah aplikasi perpesanan, saat itu kamu
mengirimkan gambar sendal ungu bertuliskan namaku yang kau ambil pada saat hendak
shalat. Semenjak itulah mulai tak ada jarak, kita mulai berkomunikasi satu sama lain. Ya
komunikasi yang cenderung tidak begitu intens karena kesibukan masing-masing,
komunikasi yang kadang baru di balas beberapa jam kemudian. Lucu memang tapi itulah
kami, berhubungan via perpesanan yang sangat alami dan apa adanya, mengalir begitu saja.
Hampir tiap hari Sabtu kami bertemu. Bertemu untuk sama-sama melepaskan penat beban
kerja yang telah dilalui. Obrolan demi obrolan pun berlangsung beberapa babak. Dari mulai
A hingga Z, semua kita bicarakan. Akupun heran karena selalu ada saja bahan obrolan serta
candaan yang saling kita lontarkan satu sama lain. Dan pada akhirnya kota Bandung, Bogor
dan Banten menjadi saksi perjalanan kita. Saat itu kamu tersenyum, senyuman yang renyah
dan tidak akan pernah aku lupakan. Kamu utarakan apa yang selama ini kamu rasakan,
kemudian kamu pun bertanya kepadaku tentang apa yang aku rasakan. “Yang aku rasakan?”
gumamku pelan. Ini sangat tidak adil. Aku sama sekali tidak mempersiapkan jawabannya,
aku bingung dan gamang, tak tahu dan kaku, lidah pun menjadi kelu. Mana aku yang
biasanya mempersiapkan semuanya? Dan pada akhirnya akupun menjawab “kita perlu waktu
untuk saling mengenal lebih dalam satu sama lain, karena aku tidak ingin semuanya terburu-
buru. Semuanya butuh proses, terima kasih atas waktu yang selama ini kita habiskan
bersama-sama. Itu sangat menyenangkan.” Percakapan kali itu terasa sangat lama dan
menegangkan. Suasana yang bertemankan hujan gerimis rintik serta kabut tipis menyelimuti
kita, hening.

Aku tak ingin menggenggammu seerat itu. Jika kamu adalah harapan, akan ku
sederhanakan dengan caraku meminta kepada Tuhan, dan jika kamu adalah kekecewaan akan
ku coba lupakan dengan caraku yang berbeda. Jika kita benar adalah takdir yang tak bertukar,
kamu akan datang tanpa harus ku paksakan bukan? Ternyata kamu pun kembali datang.
Datang untuk langsung berbicara kepada kedua orang tuaku. Bahasamu sungguh halus dan
santun. Pengutaraan niatmu yang ingin menggenapkan hidup bersamaku dalam ketaatanNya
itu yang membuat ku yakin bahwa ternyata kamulah orang tepat yang mengakhiri ruang
tungguku selama ini. Kita sama-sama luruskan niat untuk menjalin hubungan ke jenjang lebih
serius, membangun rumah tangga secara profesional. Semua resiko dengan mantap kita
ambil. Tidak mudah memang untuk mengambil resiko tersebut. Mulai dari aku yang harus
merelakan posisi di kantor yang baru jalani selama satu tahun enam bulan karena aturan yang
tidak memperbolehkan suami istri bekerja dalam satu naungan. Namun bukan hanya aku saja
yang harus merelakan dan berkorban, kamu pun sama. Bahkan mungkin porsi kamu lebih
banyak daripada aku. Kamu kan jago banget menutupi semuanya, sampai yang terlihat hanya
keceriaan saja dalam senyum renyahmu itu. Terima kasih banyak ya sayang.

Aku paling suka dengan tatapan matamu terhadapku, tatapan sangat teduh. Tatapan
yang seakan berbicara bahwa jangan khawatir, semuanya akan baik-baik saja selama aku ada
disampingmu. Matamu begitu coklat dan bening.

Rencana pencapaian, serta keinginan untuk masa depanku sudah dipersipkan. Tapi
aku tidak mau menjadi egois karena itu. Aku lebih suka porsiku lebih banyak untuk keluarga
daripada untuk pekerjaan. Ini tentang prioritas, dan prioritas untukku adalah keluarga. Waktu
untuk keluarga tidak terbatas karena pada akhirnya bukan berapa banyak harta yang kita
dapat, bukan pula seberapa tinggi posisi atau jabatan kita, tapi seberapa besar kontribusi kita
untuk mencetak generasi penerus yang sholeh dan sholehah untuk bekal kita di akhirat kelak.
Karena dunia ini hanya sementara, akhiratlah yang kekal. Aku lebih ingin mendapatkan ridho
dari kamu sayang. Kita sama-sama berjuang ya karena pembelajaran dalam berumah tangga
itu selamanya. Bismillah sakinah mawadah dan wa rohmah bersamamu. “Karena aku ingin
menjadi rumah yang paling nyaman untukmu. Tempat dimana kita selalu ingin pulang.
Tempat dimana kita benar-benar menjadi diri kita sendiri, jujur apa adanya, lepas tanpa batas.
Aku selalu ingin jadi tempatmu pulang. Tempat kamu melabuhkan segala rasa, tempatmu
melepas segala beban” (Nazrul Anwar dalam bukunya berjudul Genap, 2017).

Anda mungkin juga menyukai