Anda di halaman 1dari 7

Secerca Asa Bersua di Bongles

Mentari pagi kembali menapaki sinarnya di Samata pada tanggal 25 Februari 2019
sekaligus sebagai saksi bisu hari pemberangkatan mahasiswa KKN UIN Alauddin Makassar
Angkatan 60 menuju Kabupaten Sinjai, tepatnya di Kecamatan Sinjai Timur. Cuaca pagi itu
menorehkan sejuta kedamaian dan mengiringi langkahku menuju Terminal Samata, tempat
kami dikumpulkan sebelum berangkat ke lokasi yang telah di tentukan. Puluhan salam
perpisahan yang kuterima baik secara lisan maupun tulisan dari kawan seperjuangan dan
keluarga sebagai tanda dukungan untuk menjajaki sebuah desa yang sama sekali tak pernah
terlintas di benakku sebelumnya. Jarum jam telah menunjukkan pukul 06:45 WITA dan aku
perlahan melangkahkan jejak bersama sahabatku yang juga kebetulan satu kecamatan di
lokasi KKN. Jarak kostku dengan terminal Samata memang terbilang dekat dan bisa di
tempuh dengan berjalan kaki, namun kali ini harus beda. Nurfadilah, merupakan teman
seperjuanganku di jurusan akuntansi telah menantiku di sepertiga jalan lengkap dengan
sepeda motornya. Alhasil, dia berniat untuk mengantarku dan membawa barang-barangku
yang terbilang banyak.
Samata hari ini di rundung kemacetan, arus lalu lintas kendaraan yang sebelumnya
terbilang lancar kini telah tersendak akibat adanya perkumpulan mahasiswa KKN UIN
Alauddin Makassar. Di sudut terminal, aku tak kuasa menahan derai air mata melihat teman-
temanku yang diantar oleh orang tuanya. Apalah dayaku sebagai mahasiswi rantauan yang
terpisah jarak oleh orang tua, namun iringan do’a-nya tetap membersamai langkahku.
Ketegaran menuntunku untuk melangkahkan kaki menemukan perkumpulan teman poskoku.
Selang beberapa menit, akhirnya kutemukanlah Nur Hudaya Latif yang biasa disapa Yaya.
Orang yang pertama kali ku kenal saat pembagian posko. Singkat cerita, satu persatu teman
poskoku telah berkumpul dan persis di depan kami terdapat jejeran koper dan berbagai
barang-barang lainnya dalam menanti kedatangan bus.
Ratusan mahasiswa KKN telah berkumpul menanti gilirannya untuk di angkut oleh
bus tujuan ke Kecamatan Sinjai Timur. Pemberangkatan pada hari itu di luar ekpektasiku, bus
yang disediakan ternyata tidak tertulis Desa lokasi KKN karena yang tertulis hanyalah nama
Kecamatan. Bayangkan saja, di kecamatan Sinjai Timur terdapat 13 desa yang berarti
sebanyak 6 bus siap mengangkut kami. Sebenarnya, kami berangkat pada pukul 7:30 WITA
namun bergeser 30 menit setelahnya. Rini Naufaliyani yang biasa disapa Nopa bersikeras
untuk menghampiri salah satu bus dan meminta kami untuk naik di bus tersebut. Nopa juga
tidak ikut berangkat bersama kami berhubung ada ujian proposalnya. Rombongan mahasiswa
KKN tujuan Kabupaten Sinjai telah di berangkatkan dan akan di terima di 4 Kecamatan yaitu
Sinjai Timur, Sinjai Selatan, Bulupoddo, dan Tellullimpoe.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 5 jam, akhirnya kami tiba di Kantor
Camat Sinjai Timur dan di sambut hangat oleh aparatur kecamatan. Turut pula hadir Dosen
pembimbing KKN Haidir Fitrah Siagan yang di utus oleh pihak LP2M UINAM.
Penyambutannya berlangsung dengan hikmat dan diakhiri dengan perkenalan oleh 13 Kepala
Desa. Jauh hari sebelum pemberangatan, aku sudah mengetahui nama desa yang nantinya
akan menjadi poskoku, yaitu Desa Bongki Lengkese. A. Muh. Djamil yang merupakan
Kepala Desa Bongki Lengkese turut hadir mengikuti penyambutan sekaligus menjemput
kami menuju desa yang masih menimbulkan teka-teki tersebut.
Perihal teman posko adalah pokok permasalahan yang telah mengakar jauh-jauh hari
sebelum pendaftaran KKN. Beragam ketakutan mulai menghantui langkahku untuk ber-
KKN, betapa tidak dalam satu posko terdapat sepuluh kepala. Hal ini tentunya menimbulkan
berbagai perbedaan yang harus disatukan selama 45 hari ke depan. Di poskoku sendiri,
terdapat 3 laki-laki yaitu Nurzam atau akrab disapa Uccang dan bertindak sebagai
Koordinator Desa (Kordes) yang nantinya akan menahkodai posko Desa Bongki Lengkese 45
hari kedepan, Ahmad Zahron Riadi atau akrab disapa Roni yang awalnya sibuk menemani
Kordes untuk mengurusi perlengkapan sebelum berangkta KKN, dan yang terakhir adalah
Zulfahmi atau akrab disapa Fahmi. Selanjutnya ada 7 perempuan yaitu Nur Hudaya Latif
(Yaya), Duwi Kurniawati (Nia), Salmiati (Mia), Rini Naufaliyani (Nopa), Nurul
Muthmainnah (Uul), dan Dewi Syintia Taufiq (Dewi). Kami dipertemukan dalam satu posko
yang sebelumnya belum saling mengenal.
Hembusan angin segar disertai senyum hangat dan tatapan bersahabat dari masyarakat
Desa Bongki Lengkese telah mengiringi kedatangan kami. Tepat didepan sebuah rumah yang
terlihat besar, mobil pun berhenti pertanda kami telah tiba di posko yang telah disiapkan oleh
Kepala Desa. Kami pun berloma-lomba untuk masuk demi meretas rasa penasaran yang kian
menggebu. Kepala Desa Bongki Lengkese menitipkan kami di rumah Ibu Rohani yang
bertindak sebagai pemilik posko. Setibanya rombongan didalam rumah, kami langsung
disuguhkan teh hangat disertai dengan kue khas Kabupaten Sinjai. Tampak senja akan pamit
hari ini, perlahan teka-teki ku pun mulai terjawab. Malam telah tiba, kami hanya saling
bertatapan melempar senyum dan sesekali menyelinginya dengan candaan sebagai awal
untuk saling mengenal. Ibu posko menyiapkan dua kamar, satu untuk kaum Adam dan
satunya lagi untuk kaum Hawa. Kami kaum Hawa ditempatkan dalam satu kamar dengan
jumlah 7 orang ditambah lagi dengan susunan koper yang begitu banyak. Ada satu hal yang
membuatku tertawa terbahak-bahak saat menyusun koper, Nia adalah penyebab utamanya.
Betapa tidak, beliau membawa dua buah koper yang satunya khusus untuk pakaian dan yang
satunya lagi di khususkan untuk cemilan-cemilan. Malam itu sungguh terasa panjang karena
pertama kalinya kami pertemukan dalam sebuah lingkaran posko yang sebelumnya sama
sekali belum saling kenal mengenal dalam dunia perkuliahan.
Kuliah Kerja Nyata (KKN) merupakan salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi
dalam bentuk pengabdian kepada masyarakat dan menjadi program wajib sebagai persyaratan
untuk menyandang gelar sarjana. Hari pertama berada di lokasi KKN menjadi langkah awal
menuju 45 hari kedepan. Tepat di hari pertama kami semua bangun lebih awal untuk shalat
subuh secara berjamaah. Kemudian kami bergegas untuk mengambil nomor antrian untuk
mandi pagi sebelum melakukan aktivitas pertama. Jaket KKN berwarna hijau akan menghiasi
penampilanku ditambah lagi dengan topi KKN yang juga berwarna hijau. Lengkaplah semua
atribut KKN sebagai tanda kami telah siap untuk melakukan observasi sebagai bahan untuk
melaksanakan Seminar Program Kerja. Pukul 07:30 WITA telah tiba dan kami bergegas
untuk berangkat menuju ke rumah pak Desa untuk melakukan silaturrahmi sekaligus
memohon izin untuk melakukan observasi demi lancarnya kegiatan 45 hari kedepan.
Perjalanan menuju ke rumah pak Desa yang jaraknya dengan posko sangat jauh, kami
tempuh secara bersama-sama dengan berjalan kaki. Di perjalanan, kami bercanda ria seraya
mengenal karakter lebih dekat satu sama lain dan sesekali memandangi pemandangan sekitar.
Di samping kiri tampak air yang begitu derasnya mengalir di sungai dan ketika melihat secara
detail, tampak pula beberapa masyarakat yang sedang menikmati sejuknya air tersebut.
Bahkan ada yang memanfaatkannya dengan mandi dan mencuci. Konon katanya, menurut
cerita beberapa masyarakat yang kami temui air sungai tersebut tidak di jadikan sebagai
tempat untuk membuang kotoran sehingga terlihat alami dan jernih. Ada rasa penasaran yang
tiba-tiba mengakar di benakku, rasanya tidak afdal ketika hanya mendengar keindahan sungai
dari beberapa mulut masyarakat tanpa merasakan kenikmatannya secara langsung. Jarak
tempuh rumah Pak Desa membuat kami menikmati perjaanan yang sangat jauh sembari
menyapa masyarakat yang sedang berlalu lalang.
Definisi semantara Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang terlintas di benakku adalah
sebuah perjuangan dalam menggapai balasan senyuman dan sapaan dari masyarakat serta
mampu berinteraksi dengan baik. Tentu ini adalah sebuah tantangan yang harus diretas demi
merealisasikan definisi KKN yang sejati. Betapa tidak, keadaan seperti ini tidak pernah
kualami sebelumnya dengan terjun langsung dan melakoni peran sebagai mahasiswa KKN di
sebuah Desa yang masih asing. Hal ini dikarenakan kondisi desa seperti bahasa, karakter,
adat-istiadat, dan lain sebagainya harus ku retas tuntas selama 45 hari kedepan. Sebelum
dilaksanakan seminar program kerja, sebuah langkah wajib yang harus ditempuh adalah
dengan meninjau secara langsung kondisi desa melalui observasi. Selama 4 hari lamanya,
kami malaksanakan observasi guna menyesuaikan program kerja yang akan di canangkan
pada seminar program kerja dengan kondisi desa.
Observasi yang menarik kala itu ketika mencoba berinteraksi kepada masyarakat Desa
Bongki Lengkese dengan mengunjungi rumahnya satu persatu. Rata-rata diantara mereka
merespon baik niat dan kedatangan kami sembari menyuguhkan teh manis disertai dengan
cemilan keripik khas Sinjai. Tak hanya itu, kami juga mengunjungi berbagai tempat-tempat
umum diantaranya sekolah, masjid, kantor desa, dan pustu. Selang beberapa hari kemudian,
tibalah saatnya bagi kami untuk melakukan rapat pemantapan hasil observasi yang nantinya
akan kami seminarkan. Perdebatan dalam rapat adalah hal lumrah, namun bukan perdebatan
yang kuinginkan melainkan penyatuan pendapat yang akan menjadi solusi. Karakter teman-
teman posko juga terlihat jelas ketika rapat sedang berlangsung. Ada yang bersitegang
menentang pendapat, ada yang sibuk tertawa, adapula yang terdiam. But I like this situation.
Denting waktu perlahan berganti, 1 Maret 2019 pun telah tiba pertanda Seminar
Program Kerja (Proker) akan dilaksanakan. 45 hari kedepan akan terprogram melalui
kesepakatan antara mahasiswa KKN dengan masyarakat. Beberapa tamu undangan sudah
mulai terlihat menduduki kursi yang telah tertata rapi. Satu persatu dari kami telah
mengambil posisi sesuai dengan tugas yang telah ditentukan pada saat rapat. Saat itu, aku
mendapat tugas untuk membacakan rancangan program kerja dalam bidang keagaamaan.
This is the first time, tapi kupikir ini adalah sebuah tantangan singkat yang harus ku retas
demi mencapai sebuah makna sejati dalam berproses. Sesaat setelah itu, satu persatu dari
kami diundang oleh moderator untuk memperkenalkan diri secara singkat dihadapan
padatnya para tamu undangan. Sorakan masyarakat kembali memecah ruang tersebut karena
beberapa dari mereka meminta kami untuk menyebutkan status. Hal ini sontak membuat
kami tersipu malu seraya menyembunyikannya dengan senyuman.
Satu persatu masalah pun sudah mulai terkuak, namun itu bukanlah penghalang bagi
kami. Justru kondisi inilah yang nantinya akan medewasakan pribadi masing-masing dan
semakin mengkokohkan pertemanan posko yang telah kami jalin seminggu lamanya.
Solidaritas kian tercipta ketika kami dengan semangatnya menerima ajakan dari ibu posko
untuk mendatangi pusat keramaian di Lapangan Sinjai Bersatu yang berlokasi di Sinjai Utara.
Kami sangat semangat untuk bergegas mengingat ini dalah pertama kalinya kami akan keluar
dari desa dan tak sabar mengunjungi Kota Sinjai mengingat pada malam itu adalah malam
terakhir dari rangakaian perayaan HUT Kabupaten Sinjai. Sebuah pengalaman menarik
karena kami berangkat dari desa menggunakan mobil angkutan umum atau dikenal dengan
pete-pete. Muatan pada umunya hanya kisaran 12 orang, namun kami dari Desa Bongki
Lengkese meretasnya dengan manmabah muatannya menjadi 20 orang. Bayangkan saja,
betapa tersiksanya kami kala harus berdempetan dengan kondisi jalan raya yang sedikit
membuat kami senam jantung karena harus melalui jalan terjal dan tikungan tajam yang
disampingnya diselingi dengan jurang yang terlihat dalam. Semua ini adalah perjuangan demi
membunuh rindu akan suasana kota.
Rasa penasaran akan keindahan sungai yang letaknya tak jauh dari poskoku, kini telah
kuretas. Dewi dan Mia telah membersamaiku membayar rasa penasaranku dengan membawa
setumpuk pakaian yang akan dicuci disertai dengan peralatan mandi. Perlu diketahui, bahwa
air di poskoku terbilang susah mengingat hanya bisa mengalir selama 3 hari sepekan.
Selebihnya kami memanfaatkan sumur tua yang berada di samping posko, namun ketika
airnya sudah sangat kotor, dengan senang hati kami berjalan kaki menuju sungai. Selain itu,
salah satu program kerja kami adalah membantu mengajar di sekolah. Ada dua sekolah yang
kami fokuskan untuk bantu-bantu ngajar yaitu SDN 210 Lengkese dan Madrasah Ibtidaiyyah
Swasta Palie. Di SDN 210 Lengkese, saya di percayakan oleh teman-teman untuk mengisi
mata pelajaran matematika di kelas 4. Sungguh, pengalaman ini tak pernah kutemui
sebelumnya dan akan kukenang selamanya.
MIS Palie merupakan salah satu sekolah yang mengundang rasa iba dibenakku. Saat
pertama kali berkunjung dan mulai mengajar, membuatku selalu menebarkan rasa syukur
melihat kondisi di sekolah tersebut. Betapa tidak, di sekolah tersebut belum difasilitasi listrik
serta ruangannya yang terbilang terbatas. Kondisi siswa-siswi sungguh memprihatinkan,
anak-anak hanya berpakaian seragam sekolah seadanya dan sungguh jauh dari kemewahan.
Hal ini dikarenakan rata-rata siswa tersebut hanya menggunakan sandal jepit sehari-hari
sebagai alas kaki untuk ke sekolah. Bahkan bahasa Indonesia pun mereka tidak terlalu lancar,
syukurlah saya berasal dari bugis sehingga sedikit bisa mengerti dengan bahasa mereka.
waktu beristirahat telah tiba, yang kubayangkan dibenakku mereka menuju kantin untuk
melpas dahaga. Namun, sungguh tragis, mereka hanya menikmati sebungkus mi instan
mentah yang dibagi oleh beberapa diantara mereka. Permainan mereka pun masih terbilang
tradisional karena mereka hanya bermain lompatan dan kelereng tanpa ada sedikitpun
perselisihan yang terlihat di wajah mereka. Lantas ini membuatku sedikit termenung
menyaksikan mereka yang penuh dengan kesederhanaan namun mampu menciptakan
kedamaian dan keindahan yang patut dikenang.
Pada akhirnya, yang datang akan pergi dan yang bertamu akan pulang. Semua momen
terbatas oleh waktu dan setiap rasa terbatas oleh masa. Tibalah saatnya kata perpisahan
mengakar di segala penghujung program kerja. Utamanya untuk program kerja yang berada
disekolah. Perpisahan yang paling berkesan ketika harus mengakhiri untuk mengajar di MIS
Palie. Di sudut ruang guru, air mata tak mampu kubendung. Tampak anak-anak sekolah juga
tak kuasa menahan air mata. Sungguh perpisahan hari itu menyisakan kenangan yang begitu
dalam. Di ruang kelas, semua siswa di kumpulkan dan satu persatu dari kami mohon izin
pamit. Bahkan, saat kami pulang pun air mata mereka masih tetap mengalir deras pertanda
tak sanggup melepas kami. “Yah.. inilah sebuah kewajiban yang benar-benar menyisakan
kenagangan”.
Perpisahan itu masih tetap berlanjut hingga malam ramah tamah. Malam itu kami
disibukkan dengan acara ramah tamah dan aku bertindak sebagai MC. Puluhan warga turut
hadir mengisi jejeran kursi yang berada di Kantor Desa. Ku sangka malam itu adalah
perpisahan terakhir yang mengundang air mata, ternyata dugaanku salah. 10 April 2019 justru
menadi puncak perpisahan dan diiringi dengan isak tangis. Pelukan hangat untuk kedua Ibu
Posko dan Ibu Desa menjadi salam penutupku di Desa Bongki Lengkese. Semoga kelak kami
semua dapat kembali ke Desa Bongki Lengkese untuk mengurai sejuta kenangan yang pernah
digoreskan bersama dan kembali menuai cerita baru.

Anda mungkin juga menyukai