Entahlah...
Aku hanya diam menyaksikannya
Dari balik jendela rumahku
Seakan tetes demi tetes menari bersama angin
Didendang petir bertalu-talu seakan menyelaraskan nada menyatukannya bersama bayanganmu yang mengusik dalam
sanubariku.
PUISI 2
" Nyayian Rindu Pengembara"
Hai kawanku…
Mungkin waktu,
Cerita itu,
Mengalir
Membelai malam
Menjemput fajar
Tanpa tanya
Hampa jawab
Dan…
Mungkin bukan dalam waktu sekejap senja yang merangkak atau sekedip fajar menyeruak cakrawala.
Tetapi akan sampai, ketika beberapa kali mentari dan bulan bergolak dalam dekapan waktu
PUISI 4
Narasi Kopi dan Rindu Yang Terlalu
Delapan kali sudah aku mengaduk kopi di gelas yang sama, dari pagi hingga petang yang menjumput di atas ubun-ubunku.Tak
terasa, perlahan-lahan kuteguk sampai habis, hanya menyisakan endapan ampasnya saja. namun, aromanya tetap sama.
Ketika Senja menyapa bentangan cakrawala, kuambil dan kubilas kembali gelas yang sama itu. Ini yang ke -sembilan kalinya.
Tanpa rasa bosan, ia kembali menciptakan suasana hangat menjemput temaram, menemaniku duduk di serambi rumah ini. Tepat
di antara sejengkal ladang yang tak habis kutanami. Sambil memainkan gitar tua yang sudah menahun bersua dengan jari-
jemariku.
Tanpa kusadari, dua lagu telah kusenandungkan untuk sejenak duduk sendiri sembari menatap langit.
Satu lagu tentang Rindu, ia mengalir dari bibirku, begitu lembut dan syahdu namun menyayat hati sampai ia tak lapang lagi
menampungnya, sampai akhirnya kelopak mata menolak malu dan menjawabnya dengan menitikkan air mata.
Satunya lagi,Lagu tentang Bianglala, ia mengingatkan aku tentang rona warna kehidupan yang indah. Membuat aku harus
melukis kembali hingga tergambar suatu potret yang memesona menyukakan mata dan hati.
Bagiku, delapan sembilan gelas kopi itu akan hambar tanpa dua lagu yang memaknainya dan aromanya takkan menenangkan
dan menawan rasa bila aku tak mengaduknya hingga hitungan dua puluh dua kali.