Anda di halaman 1dari 3

PUISI 1

Hujan dan Hati Seorang Pria

Hanya Hujan yang memaknai saat ini


tak menyisakan jejak luruhnya dari jalan nun jauh di langit
Hadirnya menyisakan tanya.
Apakah Rinainya datang memeluk Bumi karena Rindu terlalu?
Atau datang menikam karena amarah?

Entahlah...
Aku hanya diam menyaksikannya
Dari balik jendela rumahku
Seakan tetes demi tetes menari bersama angin
Didendang petir bertalu-talu seakan menyelaraskan nada menyatukannya bersama bayanganmu yang mengusik dalam
sanubariku.

Sadrack Sarto Patampang


Sorong, 21 April 2020

PUISI 2
" Nyayian Rindu Pengembara"

Hai kawanku…

Telah lama kita tak bersua bersama senja

Mungkin sudah sepenggal bulan

Menghabiskan secangkir kopi

Bercerita kisah hidup yang tak menolak terulang-ulang

Mungkin waktu,

Kelak ketika bulan sudah menahun


Pun rambut kita sudah mulai beruban

Atau kemuning dan sudah mulai menipis

Wajah yang tak selugu dulu

Karena memeluk kodrat manusia

Cerita itu,

Akan kita habiskan

Celoteh yang tersimpan

Mengalir

Membelai malam

Menjemput fajar

Kita berlalu dalam dekapan angin

Tanpa tanya

Hampa jawab

Sementara kenangan kisah berkawan

Mengambang diantara embun

Dan…

Kopi yang kita nikmati bersama

Menyisakan gelas tua

Yang mungkin esok bertemu sekawan.

Sadrack Sarto Patampang


Sorong, 2 Februari 2020
PUISI 3

Kata dan Doa

Kata itu bertuah


Dan sederet doa yang senantiasa kita haturkan
Kelak akan sampai kepada Sang Khalik
Hingga kita menuai jawab-Nya

Mungkin bukan dalam waktu sekejap senja yang merangkak atau sekedip fajar menyeruak cakrawala.
Tetapi akan sampai, ketika beberapa kali mentari dan bulan bergolak dalam dekapan waktu

Sadrack Sarto Patampang


Sorong, 27 Mei 2020

 
PUISI 4
Narasi Kopi dan Rindu Yang Terlalu

        Delapan kali sudah aku mengaduk kopi di gelas yang sama, dari pagi hingga petang yang menjumput di atas ubun-ubunku.Tak
terasa, perlahan-lahan kuteguk sampai habis, hanya menyisakan endapan ampasnya saja. namun, aromanya tetap sama.

       Ketika Senja menyapa bentangan cakrawala, kuambil dan kubilas kembali gelas yang sama itu. Ini yang ke -sembilan kalinya.
Tanpa rasa bosan, ia kembali menciptakan suasana hangat  menjemput temaram, menemaniku duduk di serambi rumah ini. Tepat
di antara sejengkal ladang yang tak habis kutanami. Sambil memainkan gitar tua yang sudah menahun bersua dengan jari-
jemariku.

Tanpa kusadari, dua lagu telah kusenandungkan untuk sejenak duduk sendiri sembari menatap langit.
      Satu lagu tentang Rindu, ia mengalir dari bibirku, begitu lembut dan syahdu namun menyayat hati  sampai ia tak lapang lagi
menampungnya, sampai akhirnya kelopak mata menolak malu dan menjawabnya dengan menitikkan air mata.
       Satunya lagi,Lagu tentang Bianglala, ia mengingatkan aku tentang rona warna kehidupan yang indah. Membuat aku harus
melukis kembali hingga tergambar suatu potret yang memesona menyukakan mata dan hati.

         Bagiku, delapan sembilan gelas kopi itu akan hambar tanpa dua lagu yang memaknainya dan aromanya takkan menenangkan
dan menawan rasa bila aku tak mengaduknya hingga hitungan dua puluh dua kali.

Sadrack Sarto Patampang

Anda mungkin juga menyukai