Anda di halaman 1dari 6

Koleksi Artikel dari Biasawae Community

Copyleft  2005 biasawae.com

Setangkai Melati Patah di Balik Senja

Sumber : Ani Sakurano – cybersastra.net

"
Koleksi Artikel dari Biasawae Community
Copyleft  2005 biasawae.com

Kepedihan dan penyesalan telah membelenggu bibir dari tawa dan senyumku. Tak seorangpun
mendapatkannya lagi. Aku telah mempersembahkannya hanya untukmu kasih. Tapi kini
engkau telah tergolek diam dalam keabadian. Biarlah kulukis setangkai melati patah di balik
senja pada nisanmu, agar engkau selalu ingat selarik senja yang telah mempertemukan kita,
senja itu pula yang mematahkan tangkaimu.

Palgunadi termenung di teras belakang rumahnya. Ini adalah untuk kesekian dia membaca
cerpen dengan judul frase "senja", seperti yang barusan dia baca "Setangkai Melati Senja untuk
Kasihku" [1] di sebuah harian ibu kota. Selalu judul dengan senja itulah yang dipilih oleh Melati
si penulis cerpen. Palgunadi hampir hafal seluruh judul cerpen-cerpennya mulai dari menjaring
senja di puncak monas, senja di atas danau Biwa, senja di ujung penantian, senja di dua kota,
dan senja-senja lainnya.

Rasanya Palgunadi tidak akan sedemikian penasaran kalau cerita yang didongengkan tidak
sedemikian memikatkannya, bahkan dari kisah yang terus diikutinya dia mempunyai keyakinan
Melati adalah seorang gadis yang merindukan kehadiran sosok seorang laki-laki pujaan. Dan
laki-laki itu adalah dia, pikir Palgunadi. Sah-sah saja Palgunadi beranggapan seperti itu, karena
dia memang tercipta sebagai pria ganteng yang sudah melanglang buana sebagai lelananging
jagad [2]. Sayang, Palgunadi belum pernah mendengar ada acara bedah buku atau pemberian
hadiah atas karya sastra Melati, atau setidaknya ada kabar kehadirannya dalam diskusi
kebudayaan.

Ketika Palgunadi mendengar berita bahwa cerpen-cerpen Melati telah diterbitkan dalam sebuah
buku, bergegas dia membeli buku itu, berharap ada sedikit keterangan mengenai Melati.
Namun sia-sia, ketika dibuka lembar-lembar terakhir buku tersebut, data yang ada tak kalah
misteriusnya. Nama: Melati; Tempat tanggal lahir: Bandung, suatu ketika. Cukup dua
keterangan yang tidak memberikan makna apapun itulah yang didapatkan Palgunadi, setelah
itu dibawahnya cuma tertulis karya-karya yang pernah dihasilkannya. Dan foto yang tertempel
disana bukan foto seorang gadis yang sedang beraksi menebar senyum tetapi mekar bunga
melati putih dibalik tabir semburat jingga warna senja.

Melati memang sosok yang sedemikian misteriusnya, bahan redaktur harian pagi maupun sore,
tabloid, majalah serta jurnal kebudayaan tidak bisa memberikan keterangan apapun tentang
sosok Melati. Fotokopi identitas diri yang ditunjukkan setiap media selau berbeda-beda, tak
satupun bernama melati.
Koleksi Artikel dari Biasawae Community
Copyleft  2005 biasawae.com

"Redaksi hanya mencantumkan nama yang dikehendaki oleh pengarang dan setiap penulis
yang telah menunjukkan identitasnya berhak ditampilkan karyanya," begitu selalu komentar
redaktur yang didatangi menanggapi keluhan Palgunadi mengenai banyaknya identitas diri
Melati.

"Tapi ini nama samarannya sama dan judulnya selalu memakai frase yang sama yaitu senja.
Pasti penulisnya sama. Kenapa satu orang bisa menggunakan banyak identitas?"

"Apa anehnya?," sergah seorang redaktur sebuah harian senja di suatu kota pada suatu senja
yang sedemikian merah membara.

"Bisa saja penulisnya memang orang yang berbeda," lanjut redaktur tadi sambil menyedot
batang rokok kuat-kuat.

"Ah tidak mungkin. Aku sangat hapal akan gaya penulisannya. Dia sangat mengagumi senja."

"Ha..ha..ha...senja selalu datang tiap hari, menggantikan siang yang panasnya membakar kota,
setiap sore aku dan semua orang melek selalu melihat senja yang selalu sama dari hari ke hari,
apalah anehnya."

"Aku adalah pengagumnya yang ingin menemui, biarlah aku mendengarkan sendiri dia
mendongengkan tentang senja terindah untukku. Aku sudah beberapa kali ke berbagai kantor
redaksi harian, tapi selalu gagal mendapatkan identitas persis siapa Melati sebenarnya, apakah
fotokopi KTP yang anda tunjukkan ini benar-benar nama asli si penulis cerpen itu?"

"Apalah artinya sebuah nama, mau namanya Melati, Mawar atau kembang tembelekan, kalau
orangnya itu ya tetep seperti itu aja," jawab sekenanya, sok mengutip kata-kata Shakespeare
segala lagi pikir Palgunadi.

"Beribu bahkan mungkin berjuta orang membaca cerpen itu tapi tak satu pun yang keheranan,
kenapa anda begitu antusias?"

"Aku ingin mengawini Melati!" jawab Palgunadi tak kalah ngawurnya sembari berkelebat pergi
dengan hati gondok.

"Di kebun bunga banyak, bung! Ha...ha...ha...."


Koleksi Artikel dari Biasawae Community
Copyleft  2005 biasawae.com

Palgunadi bukannya tidak pernah mencoba untuk mendatangi alamat-alamat yang tertera pada
kartu identitas yang ditunjukkan oleh redaktur suatu harian, tapi selalu alamat yang
didatanginya mengatakan hanya sebagai perantara yang mendapat kiriman naskah dari
rekannya yang mengamanatkan agar dikirim ke redaksi harian tertentu. Alamat yang
disebutkan oleh orang yang mendapatkan wasiat juga mengatakan hal yang sama. Jadi
semacam surat berantai yang bisa dikirim dari mana saja oleh siapa saja, seperti pasar
multilevel yang menyebar dari mulut ke mulut.

Palgunadi tidak kehabisan akal, meskipun alamatnya bisa di mana-mana, pasti honor yang
diperoleh dikirimkan ke satu nomor rekening, pikirnya. Dicoba ditelusuri kembali alamat semula
dan ditanyakan nomor-nomor rekeningnya, tak diduga ternyata honor yang didapat juga harus
ditransfer lagi ke rekening-rekening lain secara berantai melingkar-lingkar tak ketahuan
ujungnya. Mungkinkah orang sebanyak itu semua mau melaksanakan amanat Melati, apakah
tidak ada seorang pun yang menyabot honornya? Minimal mengkorupsinya? Masih adakah
orang yang bisa sedemikian bisa dipercaya. Atau barangkali Melati memang tidak memerlukan
uang, pikir Palgunadi di setiap perjalanan pencariannya.

Entah energi apa yang menyebabkan Palgunadi tidak kenal jera dan putus harapan. Mungkin
Palgunadi berpikir bahwa untuk mendapatkan sesuatu yang dikehendaki perlu sebuah
perjuangan, apalagi untuk mendapatkan Melati yang diyakini sanggup memberikan
kebahagiaan baginya. Perjuangan yang berlawanan sekali dengan kenyataan yang ada dalam
kehidupan Palgunadi yang selalu dikerumuni dan dikejar-kejar oleh perempuan-perempuan
cantik yang selalu mengantri cintanya meskipun mereka tahu akhirnya bakalan ditinggalkan
Palgunadi juga.

Terus disusuri alamat demi alamat, bank demi bank, kota demi kota, negara demi negara,
benua demi benua, dari waktu ke waktu dari senja ke senja. Hari berganti, waktu berlalu, tahun
demi tahun telah dihabiskan Palgunadi dari taksi ke taksi, bus ke bus, kereta ke kereta, kapal
ke kapal, pesawat ke pesawat. Tak ada senja yang tak terekam dibenak, tak seorang pun
terlewatkan untuk dimintai keterangan kalau-kalau mereka pernah berjumpa dengan Melati.

Senja membara di atas Monas, senja yang mengapung di danau Biwa, senja di balik tugu,
senja yang berkilauan di laut Mediterania, sampai senja yang menyepuh Rocky Mountain. Tapi
hasilnya nihil, tak seorang pun mengaku mengenal Melati atau setidaknya memberi keterangan
pernah berjumpa dengan seorang gadis dari Indonesia yang sedang menunggu kekasihnya di
suatu senja. Melati bagaikan tumbuh di Gurun Sahara tanpa batang tanpa daun.
Koleksi Artikel dari Biasawae Community
Copyleft  2005 biasawae.com

Tak terasa uban telah menjamur di kepala Palgunadi, kulit pun tampak berkeriput. Sudah 365
kali 40 senja dihabiskan hanya untuk mencari Melati. Entah hubungan batin macam apa yang
sanggup membuat seseorang merasa terpaut dari hanya dari tulisan orang lain. Adakah
gelombang magnetik menghubungkan ikatan sedemikian kuatnya? Tak ada seorang pun yang
tahu, hanya Palgunadi yang bisa merasakannya.

Sampai suatu ketika Palgunadi mendapati sebuah fotokopi KTP lusuh dari seorang redaktur
harian yang tak terkenal di ibu kota. Tertera nama Melati di KTP itu. Binar mata Palgunadi
seolah mengalahkan semburat keemasan di langit barat. Berkali-kali dibuka kacamata, dilap
sambil mengucak-ucak matanya, tetap saja nama Melati yang tertera di situ. Bergegas dengan
tak lupa mengucapkan terimaksih berkali-kali Palgunadi menyetop taksi yang melintas.
Langsung ditunjukkan pada sopir, fotokopi KTP yang dipegangnya sembari memerintahkan
agar memacu taksi ke alamat yang tertera secepatnya.

Taksi bergerak menembus debu senja yang memadati udara Jakarta. Senja yang kilauannya
dari pantulan kaca-kaca gedung yang menjulang mampu membuncahkan perasaan Palgunadi,
jantung Palgunadi pun berdegup kencang seperti masa remaja saat pertama kali dia
mengucapkan kata cinta pada gadis pujaannya dalam sebuah taman di suatu senja yang bisu
setangkai melati disematkan di atas telinganya. Melati sebagai ungkapan putihnya cintaku kata
Palgunadi.

Cinta itu juga yang mulai dibisikkan ke telinga gadis dan wanita yang mengaguminya, ketika
nama Palgunadi sebagai jurnalis sedang meroket bak meteor. Cinta yang ketika mulai rimbun
tumbuh di hati Palgunadi tiba-tiba dihempas oleh badai taifun saat gadis pujaannya harus
menemui takdirnya. Cinta yang hadir seperti senja temaram yang tiba-tiba disergap mendung
malam yang gulita.

Pada suatu senja yang paling durjana ketika Palgunadi memergoki mereka sedang memadu
kasih. Kilatan belati pun menembus punggung kekasihnya. Ingin sekali Palgunadi mengadu
nyawa dengan laki-laki yang merobek cinta dan hidupnya, tapi siapa sangka laki-laki itu adalah
laki-laki yang paling dihormatinya. Laki-laki yang memberikan cinta sekaligus yang
mencabutnya. Pandu, bapaknya.

Pedih dan penyesalan yang menyayat hati makin menggerogoti ingatan Palgunadi karena dia
harus kehilangan kedua orang yang dicintainya. Pandu lebih memilih mengakhiri hidupnya serta
si gadis yang tenggelam di taman kamboja.
Koleksi Artikel dari Biasawae Community
Copyleft  2005 biasawae.com

Kepedihan dan penyesalan telah membelenggu bibir dari tawa dan senyum Palgunadi saat itu.
Tak seorang pun mendapatkannya lagi, Palgunadi telah mempersembahkannya hanya untuk
kekasihnya yang kini telah tergolek dalam keabadian. Kekasih yang mengalirkan cinta
sekaligus melongsorkannya. Kekasih yang dicintai sekaligus dikhianati. Adakah cinta tanpa
pengkhianatan?

"Biarlah kulukis setangkai melati patah di balik senja di atas nisanmu, agar engkau selalu ingat
selarik senja yang telah mempertemukan kita, senja itu pula yang telah mematahkanmu," kata
Palgunadi ketika mengunjungi makam kekasihnya.

Taksi terus berlari menyusuri gedung-gedung pencakar langit Jakarta yang memantulkan warna
kelabu, melaju di atas tol, memasuki jalan-jalan protokol, gang-gang sempit dan berhenti tepat
di depan alamat yang dituju: rumah Palgunadi.

Oktober, 2000

Keterangan:
[1] Dari cerpen Seno Gumira Ajidarma yang berjudul "Sepotong Senja untuk Pacarku".
[2] Dalam cerita pewayangan Arjuna mendapatkan gelar lelananging jagad dan berhak
mendapat 40 bidadari dari Dewa karena jasanya membunuh raksasa Niwitakawaca yang
hendak makar pada Dewa.

Anda mungkin juga menyukai