Anda di halaman 1dari 14

ADINDA NOOR FAIRUZ RASYIDAH

KELAS X-9 / 01
BAHASA INDONESIA

HIKAYAT MUSANG BERJANGGUT


Tertulislah pada zaman dahulu kala sebuah kerajaan Melayu bernama Negeri Parun. Kerajaan
ini dipimpin oleh Raja Negeri Parun yang bijak dan dicintai rakyatnya. Namun, satu-satunya
yang merisaukan hati beliau adalah ketiadaan pewaris, pengganti dirinya jika kelak turun tahta.
Usia sudah menanjak tinggi, belum ada tanda-tanda Permaisuri akan memberi mereka seorang
buah hati.
Maka berembuklah Raja dengan Permaisuri, dan bulat-sepakat bahwa mereka akan mencari
anak angkat yang pantas dari kalangan rakyat Negeri Parun. Raja pun menjelajahi negeri untuk
mencari bakal putra mahkota penggantinya kelak. Lama mencari, akhirnya Raja menemukan
sosok anak angkat itu dalam sebuah keluarga miskin di ujung negeri. Suka hatinya melihat
kanak-kanak dari keluarga melarat itu. Meski melarat, sopan mereka pada siapa saja. Baik
bimbingan keluarganya, taat beragama, sehat badannya dan tidak gentar menantang mata Raja.
Dengan izin dari kelurganya, maka diambillah dia, putra jelata itu, sebagai Putra Mahkota.
Menjadi kesayangan Raja dan Permaisuri. Anak itu bernama Tun Utama.
Meski tumbuh dalam keluarga kerajaan, dia tak diizinkan lupa pada muasal dirinya. Sesekali
dikunjunginya orang tuanya di sudut negeri. Tahun-tahun berganti dan Tun Utama pun tumbuh
dewasa. Seperti biasa para pangeran dalam cerita dimana-mana jua, jadilah dia kumbang yang
diharap-harap kembang, diharap bunga-bunga untuk sudi memetik dan membawa si bunga ke
istana.
Namun itulah yang merisaukan hati Raja. Usianya sudah menua, dan Tun Utama sudah tumbuh
dewasa. Tetapi tak terlihat tanda-tanda bahwa Sang Putra Mahkota akan berumah-tangga.
Pergaulannya dengan lawan jenis hanya sekilas mata, tak terlihat bahwa ada yang menarik di
hatinya.
Bukan cuma Raja yang risau, para petinggi istana yang berkehendak anak gadisnya menjadi
permaisuri Tun Utama pun sudah tak sabar, hendak melihat siapa yang dipilih oleh Putra
Mahkota di antara anak-anak gadis mereka. Dengan pengaduan mereka pula, maka kesabaran
Raja pun sampai di titik nadir.
Dipanggillah Tun Utama ke balairung istana untuk disidang di satu hari. Dengan duduk
bersimpuh dia menghadap Raja, di kiri-kanannya dilingkari para punggawa. Dan Raja pun,
setelah berpantun kian-kemari mencucurkan hikayat dan nasihat, mengutarakan keprihatinannya
soal jodoh Tun Utama.
Tun Utama pun sadar bahwa persidangan itu tak lain campur tangan para punggawa juga. Maka,
setelah Raja memuji-muji gadis-gadis di lingkar istana, dia pun memberi jawaban yang
membuat balairung terdiam. Jawaban Tun Utama adalah “Ampun beribu ampun, Tuanku. Bukan
tak ada hasrat hati hamba untuk mempersunting seorang perempuan sebagai istri. Namun apa
yang hamba cari tak ada di sini. Hamba mencari perempuan, ada pun semua gadis-gadis yang
Tuanku sebut, di mata hamba bukanlah perempuan, melainkan betina saja adanya.”
Masam lah muka para punggawa, merasa malu pula Raja sebab ucapan yang dirasa menghina
dari Tun Utama. Jelas-jelas Sang Putra Mahkota menolak memperistri salah satu dari gadis-
gadis putri pembesar kerajaan langsung di balairung tersebut. Dengan menahan geramnya, Raja
pun bertanya seperti apa kriteria “perempuan” dan apa pula maksudnya dengan kata “betina”
terhadap gadis-gadis istana.
Tun Utama pun menjawab dengan ringkas, “Seperti apa perempuan yang hamba cari, cukuplah
hamba dan hati hamba saja yang tahu, Tuanku. Namun teranglah beda antara perempuan dan
betina di mata hamba. Perempuan menjaga marwah, tapi betina menjualnya.”
Seisi balairung riuh. Para punggawa gusar dengan hinaan tersebut. Raja pun murka. Bangkit
beliau dari tahtanya dan memberi ultimatum: Akan diberi kesempatan dalam 1 tahun kepada
Tun Utama untuk mencari jenis perempuan yang disebutnya. Jika dalam tempo satu tahun Tun
Utama tidak menemukan perempuan tersebut dan tidak membawanya pulang ke Negeri Parun,
maka posisi sebagai Putra Mahkota harus diserahkan dan akan dihukum pancung.
Tun Utama menerima tantangan Raja. Dia mengundurkan diri dari balairung dengan rasa puas
pada wajah-wajah marah para punggawa. Kejemuannya diusik oleh gadis-gadis kiriman orang
tua mereka yang berhasrat hidup mewah sebagai permaisurinya, lunaslah sudah.
Pulanglah Tun Utama ke rumah keluarganya untuk mempersiapkan perjalanannya mencari
perempuan dan bukan betina, seperti yang sudah dijanjikannya. Ibu kandungnya, dengan
bercucur air mata menyesali sikap keras-kepalanya, membantu juga dengan memberikannya
sekantung beras khusus untuk dibawa serta dalam perjalanannya, dan mengajarkan bagaimana
cara membuat beras siap masak yang serupa.
Beras dalam kantung pemberian ibunya, beserta teknik pembuatannya itu, akan menjadi salah
satu penguji perempuan sejati menurut Tun Utama. Beras demikian bukan beras biasa. Meski
pun berasnya sama belaka dengan yang dimakan rakyat biasa, dalam kantung beras tersebut,
segala bumbu, kacang, lauk-pauk, yang semuanya mentah, sudah bercampur-aduk. Sekilas
melihat, orang dapur akan mengira beras tersebut sudah rusak, sudah terguncang dalam
perjalanan sehingga sukar untuk dimasak.
Dalam perjalanannya, Tun Utama menjelajahi negeri tanpa membuka identitas dirinya. Ada
beberapa kali dia bertemu rumah berisi anak gadis, yang dipintanya dengan sopan pada ahli
keluarga untuk menginap. Alasannya sebagai musafir dan keramahan orang Melayu pada
perantau asing, memudahkannya untuk menguji pencariannya. Setiap dia menginap, dengan
sopan dia selalu menolak disajikan makanan orang rumah. Dengan beralasan sedang melakukan
perjalanan nazar, maka disodorkannya karung beras yang aneh tersebut. Setiap masakan tersaji,
maka Tun Utama pun dengan pura-pura sekedar bertanya, akan memancing pemberitahuan
siapakah yang memasaknya.
Hingga lepas dari Negeri Parun, tak ada yang berkenan di hatinya, dan tak ada pula yng bisa
memasak beras tersebut. Rumah pertama yang disinggahinya, yang berisikan satu anak gadis di
dalamnya, dengan semena-mena membuang beras itu dan menggantinya dengan beras biasa.
Lepas subuh, Tun Utama pun pamit dengan dipandang kecewa oleh si anak gadis dari jendela.
Rumah berikut yang disinggahinya di ujung negeri, dengan semena-mena pula anak gadisnya
menumpahkan isi karung beras begitu saja untuk dimasak. Usai suapan pertama, Tun Utama
langsung menyudahi makannya. Rasa-rasa berhimpit tenggorokannya dengan makanan tak
bertakar serupa itu, makanan yang dimasak dengan kasar, sementah-mentah bawaan bekal.
Bulan-bulan berlalu, beras bekal ibunya sudah lama berganti dengan olahannya sendiri. Masih
juga tak ditemukannya apa yang dicari. Hingga sampailah Tun Utama di pelabuhan ujung lain.
Hasrat hatinya hendak menyeberang laut, untuk mencari perempuan yang diimpikan. Namun tak
ada kapal yang berani berlayar, sebab ombak sedang besar di lautan. Bekal keuangannya pun
sudah menipis. Ada satu kapal disebut-sebut, namun tak sembarang orang bisa menumpang di
kapal itu. Namanya Kapal Terus Mata
Di sana, di sebuah warung, bertemulah dia dengan Nahkoda Terus Mata. Nahkoda Terus Mata
ini bawaannya kasar. Kalau bicara suaranya menggelegar. Anak buahnya ramai, dan wibawanya
seperti kepala perompak yang disegani. Awal perkenalan mereka sendiri menegangkan. Tun
Utama memasuki warung dan dengan tak merasa bersalah, menarik kursi kosong. Kursi kosong
itu merupakan sebelumnya diduduki Sang Nahkoda yang sedang mabuk tuak, yang menari-nari
di dekatnya. Jatuh terduduklah Sang Nahkoda di lantai karena mengira kursinya masih di tempat
yang sama. “Siapa monyetnya yang berani mengambil kursiku?!!”
Seisi warung hening memandang Tun Utama, seakan prihatin melihat calon mayat yang masih
muda belia. Namun Tun Utama dengan cerdas dan tenang menjawab bahwa jika Sang Nahkoda
masih duduk di kursi, tentu tak akan berpindah sendiri kursi tersebut. Kursi kosong adalah kursi
tak berpenghuni, dan di warung sesiapa saja boleh duduk di kursi tak berpenghuni.
Nahkoda Terus Mata terpikat hatinya pada tutur dan keberanian Tun Utama tegak di depannya.
Meski dia berkata, “Monyet kecil ini banyak bicara!” namun tak juga dikepalkan tinjunya.
Diamat-amatinya sosok Tun Utama, yang dinilainya sebagai wajah terpelajar yang tak pantas
berada di situ. Dia pun bertanya darimana dan hendak kemana rupanya Tun Utama.
Tun Utama pun mengutarakan keinginannya untuk berlayar ke negeri seberang. Namun karena
bekalnya sudah sedikit, dia mohon dizinkan menumpang sambil bekerja di kapal Terus Mata.
Nahkoda Terus Mata tertawa terpingkal-pingkal. Badan Tun Utama memang sehat, namun
baginya tak cukup kuat untuk bekerja di kapalnya, Kapal Terus Mata yang tersohor di Selat
Malaka. Namun, diberi juga izin olehnya dengan ejekan seumpama Tun Utama tak kuat, boleh
dia menyerah melompat ke dasar laut.
Berlayarlah Tun Utama dengan kapal Terus Mata. Dalam perjalanan, lamban-laun makin
simpati Sang Nahkoda pada Tun Utama. Kedekatan mereka berdua membuka rahasia tujuan Tun
Utama yang membuatnya terheran-heran. Sebuah perjalanan mencari perempuan dan bukan
betina yang tak masuk di akalnya. Bagi Nahkoda, semua perempuan adalah betina belaka, hanya
berguna dipelihara untuk beranak dan memasak. Lain tidak. Namun, tak disembunyikan rasa
kagumnya pada keras tekad Tun Utama hendak mencari perempuan yang diimpikan.
Pelayaran pun singgah di satu pelabuhan yang jauh. Negeri Pasir [jika aku tak salah ingat].
Pelabuhan itu kering dan sepi. Tak banyak kapal yang singgah. Tun Utama mencoba
peruntungan terakhirnya dengan melompat turun dari kapal. Setahun hampir menjelang tiba.
Jika tak juga di negeri itu dia bertemu apa yang dicari, akan ditunggunya kapal untuk kembali ke
Negeri Parun, menerima hukuman yang sudah dijanjikan.
Dari pelabuhan, Tun Utama berjalan kaki memasuki pedalaman. Seharian berjalan berkelok-
kelok, dia pun berpapasan dengan seorang petani menjelang hari senja. Si Petani melihat Tun
Utama termangu-mangu di persimpangan jalan. Terjadilah percakapan antara mereka berdua
“Anak ini darimana hendak kemana?”
“Hendak mencari rumah tak berdapur. Ada rumah tak berdapur di sekitar sini, Bapak?”
Bingung Si Petani dengan jawaban serupa itu.
“Rumah tak berdapur? Daripada mencari rumah tak berdapur, bukankah lebih bagus rumah
berdapur? Tinggalah dirumahku walau hanya sekejap"
Tun Utama pun menyambut baik tawaran Si Petani untuk menginap di rumah beliau. Perjalanan
ke rumah petani menjelang senja itu menghadirkan keheranan lain pada Si Petani. Sementara
beliau membuka kasut saat memasuki lumpur, Tun Utama tak melepas kasutnya. Ketika
melewati sebuah jembatan kecil, Tun Utama menyebut “Titian kera”. Saat melintas jalanan kecil
setapak, disebut Tun Utama “jalan kelinci berlari”. Dan ketika melewati pohonan dimana
kelelawar melintas-lintas, beliau terheran-heran melihat Tun Utama membuka payung meski
hari tak hujan. Namun Si Petani tak bertanya apa-apa. Disimpannya semua pertanyaan di dalam
dadanya.
Sampailah mereka di sebuah rumah di ujung desa. Rumah itu cukup luas namun terlihat lengang.
Si Petani mempersilakan masuk, menyuruhnya mandi dan bersiap untuk shalat maghrib, sambil
memberitahu bahwa di rumah itu cuma ada mereka bertiga: dirinya sendiri, istri dan anak
gadisnya.

Pada malam hari selepas maghrib, seperti biasa Tun Utama pun menyodorkan karung yang
berisi “beras rusak” yang dibawanya itu dengan alasan nazar dalam perjalanan, kepada Si Petani.
Seperti biasa adat Melayu zaman, dimana anak gadis tak bisa menampakkan diri pada tamu non-
muhrim, maka yang ada cuma dia dan suami-istri pemilik rumah. Istri petani dengan terheran-
heran membawa beras ke dapur, dimana seorang gadis bersiap menyajikan masakan. Sajiannya
tertunda dengan “beras rusak” yang dibawa ibunya. Dengan heran dan penasaran dia bertanya-
tanya siapa tamu yang dibawa ayahnya itu. Sebab, Si Petani rupanya bukan orang yang suka
membawa orang asing ke rumah, jika tidak berkenan di hatinya. Mendengar gelak-tawa Tun
Utama dan ayahnya dari ruang depan, kentaralah bahwa ada yang mengena di antara mereka.
Sementara ibunya menyuruh mengganti beras tersebut, Si Gadis menolak dan tersenyum-
senyum melihatnya. Dia pun mengambil alat-alat masak, memisahkan bumbu yang bercampur-
aduk dan mengolah kembali isi “beras rusak” tersebut agar bisa disajikan sebagai makan malam.
Ketika hidangan tersaji di depan Tun Utama dan Si Petani, terlihat tidak ada yang istimewa. Si
Petani yang mengira isi beras berbeda dengan yang biasa mereka makan, menjadi heran
meskipun diam saja melihat sajian “beras rusak" itu tak berbeda dengan apa yang tersaji
untuknya. Tun Utama sendiri, setelah suapan pertama, tercenung dengan penasaran. Masakan
yang dimakannya membawanya serasa kembali ke Negeri Parun. Tak jauh beda dengan
masakan ibunya. Kentara bahwa “beras rusak” tersebut sudah dimasak dengan semestinya.
Dengan gaya biasa, seakan sepintas lalu, Tun Utama pun memuji masakan istri Si Petani.
Namun Si Petani dan istrinya menjawab bahwa masakan itu adalah masakan anak gadis mereka
yang di dapur. Tun Utama kini menjadi penasaran. Ketika makan malam selesai, lepas
sembahyang isya, saat rebahan di kamar tamu yang disediakan, ia menjadi bertanya-tanya
seperti apa anak gadis Si Petani itu. Hingga terdengar olehnya mereka bercakap-cakap di ruang
tak jauh dari kamarnya. Rupanya mereka sedang membicarakan dirinya.
Si Petani menceritakan anehnya pemuda yang satu itu. Keheranannya dalam perjalanan pulang
menjelang senja dituturkan kepada anak dan istrinya. Mulai dari pertanyaan tentang “rumah tak
berdapur”, sebutan “titian kera” saat melintas jembatan serta “jalan kelinci berlari”. Juga
keheranannya karena Tun Utama tak membuka kasut saat memasuki lumpur, serta berpayung
saat hujan tak turun.
Anak gadisnya tertawa kecil dan balik menyalahkan ayahnya dengan menerangkan satu per satu
maksud dari ucapan dan perilaku tamu ayahnya itu. Bahwa disebut “titian kera” dan “jalan
kelinci berlari” adalah perumpamaan semata, karena jembatan kecil itu memang lincah dilewati
kera, sementara jalanan setapak yang sempit memang seukuran tubuh kelinci meloloskan diri.
Sementara alasan kenapa kasut tak dilepas adalah karena khawatir ada onak duri di dalam
lumpur, berbeda dengan ayahnya yang sudah terbiasa melewati jalanan yang sama, orang luar
tentu mesti berhati-hati.
Si Petani masih terheran-heran. “Dan apa pula yang dimaksudnya dengan rumah tak berdapur
itu? Mana ada rumah yang tak berdapur?”
Anak gadisnya mengerling riang. "Semua rumah tentu berdapur, ayahanda. Rumah tak berdapur
adalah mushala atau mesjid adanya. Tentulah dia hendak menumpang inap di sana.”

Si Petani tertawa faham, lalu kembali bertanya, “Lantas apa pula maksudnya berpayung saat tak
hujan?”
Anak gadisnya tertawa jenaka. Diterangkannya bahwa guna berpayung demikian adalah untuk
menjaga agar kepala tak kena kotoran burung atau kelelawar yang melintas-lintas. Tergelaklah
Si Petani dan istrinya, sementara Tun Utama takjub mendengar penjelasan anak gadis itu. Dan
tersentak menciut ketika suara anak gadis itu terdengar kembali, seperti sengaja dikeraskan.
“Hanya beras rusak itu saja yang aneh. Sekilas rusak berguncang, tapi sepertinya sengaja dibuat
untuk menguji-uji orang dapur.”
Ketika pagi berlalu, selepas shalat subuh, Tun Utama memutar pikiran mencari alasan agar bisa
tinggal sedikit lama di rumah tersebut, untuk menuntaskan rasa penasarannya. Saat pagi tiba, dia
bermangu di pinggir sungai dan memandangi takjub kincir air yang belum pernah dijumpainya
dalam perjalanannya. Penasaran hendak melintas air sungai, dilompatinya bebatuan, hingga
sebuah suara terdengar mengejutkannya. Suara yang berseru, “Hati-hati, Tuan… nanti…”
Byuuuurrrr.... Terlambat. Tun Utama tercebur menginjak batu licin. Terkilir kakinya dan susah
payah berenang ke pinggir sungai, dan ditarik ke darat oleh pemilik suara yang mengagetkannya
itu. Seorang anak gadis rupawan yang baru pulang mencuci kain. Si Gadis meminta maaf karena
mengagetkannya, namun Tun Utama tak mempermasalahkan soal itu. Apa yang membuat
hatinya kaget adalah pengakuan bahwa gadis itu adalah anak dari Si Petani dimana dia
menumpang. Nama si gadis adalah, Siti Syarifah.
Dengan dipapah oleh Syarifah, pulanglah mereka ke rumah. Berpapasan dengan Si Petani yang
di hari itu cepat pulang dari sawahnya. Terkejut Si Petani melihat anaknya memapah pemuda
asing yang menjadi tamunya, namun selepas dilihatnya kaki Tun Utama terkilir, dimintalah maaf
olehnya dengan rasa tak enak hati karena tamu tercedera di rumahnya sendiri. Dipintanya Tun
Utama bertahan sedikit lama sampai sembuh, sebelum melanjutkan perjalanannya kembali.
Tun Utama diam-diam girang bukan kepalang. Hari demi hari berlalu dalam masa penyembuhan
kakinya. Dia pun sesekali berkomunikasi dengan Syarifah. Terkadang dari jendela
dipandanginya anak gadis rupawan yang cerdas itu. Hingga saat kakinya sudah sembuh, dia pun
mengutarakan keinginan untuk pulang kembali ke negeri asal.
Di lapak makan malam, di bentangan tikar, suasananya tergambar sepi. Suami istri Petani yang
sudah suka dengannya, tampak sedih. Demikian pula dengan Tun Utama. Ketika makan malam
usai, Tun Utama beringsut menghadap Si Petani. Mengutarakan sekali lagi bahwa dia akan pergi
dari negeri tersebut, namun dengan membawa serta Syarifah sebagai istri. Jika segenggam mas
kawin untuk Syarifah tidak berarti apa-apa, dia akan tetap pamit juga, dengan membawa dirinya
sendiri.
Sementara Si Gadis yang sudah jatuh cinta menangis di kamarnya, di rangkulan ibunya, mata Si
Petani berkaca-kaca. Mendapatkan menantu memang sudah lama diidamkannya, namun anak
gadisnya terlalu keras kepala. Dan kini Si Gadis sudah dipinta oleh orang muda yang mereka
suka. Tak menjadi masalah baginya, namun tentu putusan ada pada Syarifah jua.
Ketika Si Petani pamit untuk bertanya, istrinya mencegat di depan pintu kamar Si Gadis.
Menggeleng pertanda tak perlu bertanya apa-apa lagi. “Tunggu apa lagi? Terima saja! Anak kita
sudah setuju!”
Pernikahan pun dilangsungkan. Ternyata Si Petani adalah mantan pimpinan laskar kerajaan
negeri itu dahulunya. Besar namanya maka meriahlah pesta. Undangan datang dari mana-mana.
Sementara kerahasiaan identitas Tun Utama pun kemudian dibuka hanya pada istri dan
mertuanya saja. Ternyata curiga-mencurigai sudah lama ada di antara mereka. Sejak senja dia
tiba di rumah tersebut hingga beras penguji orang dapur. Syarifah tak merasa heran dengan
status pangeran Tun Utama, sudah lama dia curiga pemuda itu bukan pemuda bisa. Lagi pula, jia
pun bukan itu adanya, dia sudah terpikat sejak “beras rusak” ditumpahkan untuk disukat.
Sementara Tun Utama mengakui bahwa jatuh ke sungai lalu terkilir adalah sakit. Tapi jatuh hati
di hari itu adalah pengobatnya. Jadi, penyesalan Syarifah di hari itu tak jadi masalah. Karena
siapa yang jatuh siapa yang menjatuhkan? Hati mereka juga jadinya.
Setelah beberapa lama Tun Utama memperpanjang masa tinggalnya dengan keluarga barunya,
bersiap-siaplah dia kembali ke Negeri Parun. Dengan izin dari ibu dan bapak Siti Syarifah,
keluarlah mereka sekeluarga dari negeri itu menuju pelabuhan.
Pernikahannya dengan Siti Syarifah yang cantik rupawan, ternyata sudah mengundang dengki
seorang pemuda negeri tersebut. Anak orang kaya bangsawan yang sudah berkali ditolak oleh
Syarifah lamarannya. Si Jambat, namanya. Sudah berbini dua masih hendak menambah Syarifah
jauh sebelum Tun Utama tiba. Maka alangkah kesal hatinya, orang asing mencuri gadis
idamannya. Kepergian Tun Utama dan Siti Syarifah pun diikutinya dengan membawa beberapa
tukang pukulnya. Didahuluinya Tun Utama, memotong jalan ke arah pelabuhan, untuk
merembukkan rencana. Di sana, bertemulah Si Jambat dengan Nahkoda Terus Mata yang sedang
singgah. Dengan segera dia membayar dan naik untuk ikut kapal menuju pelabuhan lain dimana
dia akan menanti Tun Utama dan Syarifah. Tun Utama dan Siti Syarifah pun bertemu kembali
dengan Nahkoda Terus Mata. “Coba kulihat! Bukankah ini monyetku yang cerdas, Tun Utama?”
teriak Nahkoda Terus Mata.
Tun Utama mencari asal suara yang sudah dikenalnya. Melihat bekas induk semangnya, dengan
takzim disalaminya juragan kapal yang kasar tapi baik hati itu. Nahkoda Terus Mata pun
bertanya dengan kalimat kasarnya, apakah Tun Utama sudah mendapatkan perempuan yang
dicari ataukah betina seperti kebanyakan. Tun Utama mengangguk dan memperkenalkan
mertuanya serta istrinya kepada Nahkoda Terus Mata. Sang Nahkoda dengan cengiran kasar
hanya sekedar saja menyalami ibu dan bapak Syarifah. Namun sikap kasarnya menguap seketika
berhadapan dengan Siti Syarifah. Dengan kikuk disalaminya istri Tun Utama tersebut.
Ketika kapal mengangkat sauh, dan anak-beranak sudah melepas pelukan, Nahkoda Terus Mata
mendekati Tun Utama dan berucap pelan, “Jangan kau hiraukan ucapanku soal perempuan itu.
Ucapanku itu cuma berlaku bagi perempuan kebanyakan. Tapi istrimu itu, jenis satu dalam
seribu. Wajib kau jaga selama hidupmu.”
Tun Utama tergelak. Di balik perangai kasarnya, Nahkoda Terus Mata memiliki kejujuran yang
sangat langka. Maka diceritakanlah olehnya bagaimana dia bertemu dengan Syarifah.
Perkenalan yang dimesrakan oleh peristiwa jatuh di sungai, ketika dia tercebur basah dan
ditolong oleh Syarifah, yang diolok-olok Nahkoda dengan pertanyaan jenaka, “Siapakah yang
tertangguk di sungai itu? Ikan di dalam sungai ataukah penangguknya?”
Dalam perjalanan itu, makin kagumlah Nahkoda pada pilihan Tun Utama. Syarifah tak segan
bersama suaminya belajar mengemudi kapal. Sekali waktu Nahkoda Terus Mata bertanya,
“Beratkah rasanya, Puan Syarifah?” Siti Syarifah mengangguk tertawa di balik roda kemudi.
“Rasakanlah beratnya kemudi kapal itu, Puan Syarifah. "Tapi seberat-berat kemudi kapal Terus
Mata, bagiku lebih berat mengemudi bahtera rumah tangga" jawab Syarifah." Kalau itu aku jelas
menyerah!” gelak Nahkoda Terus Mata.
Jawaban Syarifah yang lincah membuat Nahkoda Terus Mata tertawa kagum, ketika Syarifah
menganalogikan bahwa kapal yang berjalan karena kerjasama awaknya, dengan nahkoda, awak
kapal, dan mualim, maka seperti itu pula bahtera rumah tangga bisa dikemudikan.
“Istrimu itu benar-benar jenis yang harus kau lindungi dengan nyawamu. Kalau tidak, berdosa
besar engkau!” Demikian desis Nahkoda Terus Mata pada Tun Utama yang berjanji akan
menjalankan amanah Nahkoda tersebut.
Perjalanan pun akhirnya tiba di pelabuhan ujung Negeri Parun. Dari sana, Tun Utama
memutuskan untuk berkuda berdua saja dengan Siti Syarifah, karena menunggu kapal langsung
ke Negeri Parun akan memakan waktu lama. Mereka pun berpisah dengan janji akan bertemu
kembali.
Sementara itu, Nahkoda Terus Mata mengajak tamu-tamunya yang menumpang kapalnya,
rombongan Si Jambat, untuk bersenang-senang sebentar di warung di pelabuhan. Namun Si
Jambat menolak halus dan berkata ada urusan penting yang hendak diselesaikan di daratan.
Mereka pun berpisah dengan sorot mata heran Nahkoda Terus Mata.
Tujuan Si Jambat pun tercapai sudah. Di satu jalan sepi pada malam esoknya, dapat juga
dikejarnya Tun Utama dan Siti Syarifah. Dengan tukang pukulnya mengeroyok Tun Utama,
dikejarnya Siti Syarifah yang disuruh lari dengan kuda oleh Tun Utama. Akhirnya Siti Syarifah
tertangkap, dan dengan segera dibawanya ke satu warung di pelabuhan ketika hari sudah
beranjak larut malam. Dalam tawa cekikik wanita-wanita penghibur, dia disambut oleh kenalan-
kenalannya di sana.
“Barang baru itu, Jambat?”
Jambat tergelak-gelak merangkul Syarifah yang berikat tali. “Barang baru. Masih ganas, perlu
dijinakkan!” Demikian kata Si Jambat, dan menyuruh anak buahnya mengamankan Syarifah ke
pojok warung dimana teman-teman kenalannya sedang bersuka.
Lalu satu suara menggelegar bertanya, “Boleh kulihat barang barumu itu, Jambat?”
Tercekat hati Si Jambat. Suara menggelegar itu tak lain adalah suara Nahkoda Terus Mata.
Dengan segan, Si Jambat pun mempersilakan Nahkoda Terus Mata mendekati Siti Syarifah.
Sang Nahkoda menatap lekat Siti Syarifah yang air matanya mencucur basah meski tak ada isak
tangis terdengar. Dengan tenang dirapikannya rambut Syarifah yang berantakan, disekanya air
mata perempuan yang dihormatinya itu, dan dirapikan kerudungnya yang terkulai di tengkuk.
Dalam penerangan lampu warung dia berpaling ke seisi ruangan, memperlihatkan wajah Siti
Syarifah. “Perhatikanlah, Kawan-kawan. Perempuan seperti ini hanyalah satu di antara seribu.
Tak akan mudah kau temui dimana pun juga.” Lalu dengan geram ia berpaling kepada Si
Jambat, “Jadi ini urusan penting yang kau katakan itu, Jambat?”
Si Jambat baru hendak menjawab, namun tinju Nahkoda Terus Mata sudah mematahkan batang
hidungnya. Dengan marah Si Jambat mencabut goloknya, diikuti oleh teman-temannya, dan
berteriak mengatakan betapa Nahkoda Terus Mata rupa-rupanya belum kenal siapa dia.
Nahkoda Terus Mata tertawa sinis. Dengan satu gerakan tangan memberi isyarat, terdengarlah
bunyi senjata tajam dicabut dari seisi ruangan. Jumlah pengikut Nahkoda Terus Mata rupanya
jauh lebih banyak dari gerombolan Si Jambat. Nahkoda Terus Mata pun memberi ultimatum:
Jika Si Jambat tak memberi tahu dimana Tun Utama, isi perutnya akan dihamburkan di situ juga.
Sadar kalah dukungan, Si Jambat pun melarikan diri. Nahkoda Terus Mata melepas Syarifah dan
bertanya kabar Tun Utama, lalu menitipkan Syarifah pada beberapa anak buahnya dan
memutuskan untuk membagi dua rombongan. Satu mencari Si Jambat dan satunya mencari Tun
Utama.
Pencarian Tun Utama pun sukses dilakukan. Di jalan lengang menuju ke arah lokasi
penghadangan Tun Utama, bertemulah mereka. Tun Utama rupa-rupanya sudah menewaskan
para pengeroyoknya, meski badannya sendiri luka-luka, dan mengambil kuda salah satu dari
mereka untuk mengejar Si Jambat. Heran Nahkoda Terus Mata, dengan apa Tun Utama
melawan, sementara dia tak bersenjata. Ternyata payung yang selalu dibawa Tun Utama, jika
ditarik di gagangnya, akan mengeluarkan sebilah pedang tipis yang tajam.

Setelah Tun Utama bertemu dengan istri, Nahkoda pun memutuskan bahwa mereka mesti segera
berangkat, langsung ke Negeri Parun. Penolakan Tun Utama dengan kekhawatiran urusan
barang niaga di kapalnya akan terlantar, ditampiknya mentah-mentah. Dia bersikeras untuk
mengantar mereka sendiri sampai selamat ke Negeri Parun.
Kepulangan Tun Utama dan Siti Syarifah pun disambut gembira. Raja dan Permaisuri yang
sudah lama menanti, sudah gelisah karena tahun akan berganti, berseri-seri menyambut Tun
Utama dan Siti Syarifah. Di balairung istana, saat Tun Utama mengenalkan istrinya, seluruh
mata terpesona. Meski tak paham seperti apa perempuan dan bukan betina yang dimaksudkan
Tun Utama, namun mereka paham bahwa Siti Syarifah memang terlihat berbeda dengan gadis-
gadis istana. Pesta pun digelar dan seisi negeri diundang untuk bersuka ria
Ketika hari-hari berlalu, makin terlihat sosok Syarifah yang menarik hati. Anak-anak suka
bermain di dekatnya, mendengarnya bercerita. Rakyat pun suka dengan calon permaisuri di
masa depan yang ramah pada mereka. Istri Tun Utama menjadi buah bibir, dari desa hingga ke
istana. Semua orang jatuh cinta padanya. Sekedar mengagumi atau memang jatuh cinta, seperti
yang dirasakan oleh beberapa punggawa istana yang mencoba meraih simpati Siti Syarifah, dan
bahkan Raja pun mulai jatuh cinta pada menantunya.
Di sinilah skandal istana bermula.
Raja yang dilanda asmara, merasa badannya tak sehat. Sudah beberapa tabib diundang untuk
mengobatkan, tapi tak juga beliau merasa badannya sehat kembali. Hingga satu hari Tuan Kadi,
jabatan salah satu punggawa yang berurusan dengan soal perkawinan, mengabarkan kepada Raja
sebuah mimpinya, bahwa obat kesembuhan Raja adalah seekor musang berjanggut.
Namun dimana akan dicari musang berjanggut? Semua orang tertawa mendengarnya, meski
Tuan Kadi Istana serius bercerita. Mencari seekor musang berjanggut adalah seperti mencari
kuda bertanduk. Bisa habis usia didunia baru bertemu musang berjanggut.
Namun mimpi tersebut rupa-rupanya mendatangkan akal bagi mereka. Semua seperti berpikiran
serupa. Inilah saat memisahkan Tun Utama dan Siti Syarifah, sehingga bisalah salah satu dari
mereka merayu-cumbu Siti Syarifah barang semalam saja, hendak pula bisa selama-lamanya.
Tentu saja pikiran demikian cuma tersimpan dalam hati masing-masing punggawa istana dan
juga Raja.
Maka dipanggil lah Tun Utama menghadap. Dengan menyinggung tekadnya yang keras karena
telah berhasil membawa pulang perempuan yang bukan betina, diharapkanlah kesediaannya
untuk mencari pula musang berjanggut, demi kesembuhan Raja. Tun Utama, meski terheran-
heran, menyanggupi perintah Raja, walau harus menghadapi hukuman pancung jika gagal
mendapatkan musang berjanggut. Raja dan para punggawa, menitahkan agar Tun Utama
berangkat hari itu juga.

Pulanglah Tun Utama ke rumah. Diceritakannyalah kepada Siti Syarifah permintaan Raja itu.
Siti Syarifah terheran-heran dengan obat yang aneh itu. Dicegahnya Tun Utama berangkat,
karena selain aneh, ada naluri lain terasa olehnya. Namun Tun Utama bersikeras juga hendak
melaksanakan amanah. “Jika ada ular beranak, mana tahu ada pula musang berjanggut.”
Siti Syarifah mengalah. Namun meminta Tun Utama menunda barang semalam, karena ada
sesuatu yang hendak ditunjukkannya jika sangkanya benar. Dimintanya agar Tun Utama
mengabarkan ke istana bahwa dia akan berangkat sore itu. Mata-mata istana bergerak-gerak di
sekitar rumah. Begitu terlihat Tun Utama keluar meninggalkan rumah, sampailah kabar ke istana
bahwa memang sudah berangkat Tun Utama mencari musang berjanggut sebagai pengobat sakit
Raja.
Tak lama berselang, langsung tiba utusan Raja memberitahu pada Siti Syarifah, bahwa jika tak
ada halangan Raja hendak bertamu ke rumah selepas isya. Siti Syarifah mengangguk dan berkata
bahwa dia akan menunggu sekitar pukul sepuluh malam. Selepas utusan Raja, datang pula
utusan Kadi Istana, mengabarkan bahwa Kadi hendak datang bertamu karena ada urusan
penting. Siti Syarifah menyanggupi, dan memberi waktu selepas maghrib. Lalu datang lagi
utusan Datuk Tumenggung, mengabarkan bahwa Datuk Tumenggung hendak bertamu. Siti
Syarifah menyanggupi dan memberitahu bahwa hendaklah Datuk Tumenggung datang selepas
isya. Lalu berturut-turut datang utusan Datuk Bendahara dan utusan Datuk Laksamana dengan
hajat bertamu yang sama. Siti Syarifah pun berjanji menunggu dengan waktu yang diaturnya
setengah sampai satu jam dari utusan terakhir.
Ketika hari senja, selepas shalat maghrib, dengan mengendap-endap Tun Utama masuk dari
pintu belakang rumah mereka. Dengan jenaka Siti Syarifah menyuruhnya bersembunyi di loteng
rumah. Dengan terheran-heran Tun Utama menuruti permintaan istrinya.
Ternyata Tuan Kadi Istana tak sabar menanti. Belum lagi maghrib berlalu, sudah terdengar
ketukan di depan pintu. Siti Syarifah mempersilakan Tuan Kadi masuk, bahkan menyuruhnya
menyembunyikan kasut di dalam rumah. Merasa sambutan begitu ramah dan hangat, Kadi Istana
berbunga-bunga. Dengan sabar dia menanti Siti Syarifah yang meminta izin hendak ke dapur,
akan membuat sajian untuknya. Pada kenyatannya, Siti Syarifah berpura-pura sibuk di dapur.
Dipercik-perciknya air ke minyak mendidih sehingga terdengar seperti orang sedang memasak.
Perasaan berbunga-bunga Kadi Istana terusik dengan suara salam yang sudah dikenalnya di
pintu rumah. Datuk Tumenggung datang bertamu. Dengan panik Tuan Kadi mencoba hendak
lari bersembunyi, namun Siti Syarifah cekatan menarik tangannya dan membujuknya untuk
bersembunyi di dalam peti besar berukuran lebar, yang terletak di ruangan itu. Tak pikir
panjang, Tuan Kadi melompat masuk ke dalam peti, tanpa mengetahui bahwa Siti Syarifah
tersenyum-senyum mengunci peti tersebut dan beranjak membuka pintu untuk Datuk
Tumenggung.
Apa yang mengherankan Tuan Kadi adalah makanan lengkap di dalam peti yang berongga-
rongga sehingga seisi ruang terlihat jelas jika diintipnya.
Sementara itu, Datuk Tumenggung yang sudah birahi, berhasil dielakkan Siti Syarifah dengan
trik yang sama seperti terhadap Tuan Kadi, membiarkannya berbunga-bunga menanti Siti
Syarifah menyajikan masakan untuknya. Dan selepas itu, Datuk Tumenggung pun tersenyum
mesum sendiri dengan khayalannya, sampai suara ketukan di pintu terdengar dengan salam yang
sudah dikenalnya. Suara Datuk Laksamana!
Gusar dan panik, Datuk Tumenggung pun berniat lari. Namun dengan sigap Siti Syarifah yang
berpura-pura heran menunjukkan lemari di ruangan itu. Tak banyak pikir, masuklah Datuk
Tumenggung ke dalamnya.
Demikianlah. Satu persatu dikerjai oleh Siti Syarifah. Yang paling naas adalah Datuk
Laksamana. Dengan mesumnya dia bertelanjang dada selagi Syarifah di dapur. Aah sedang
asyik dia berfilosofi, “ibarat gulai di tangan, tak akan lari kemana jika bukan ke mulut juga”
terhadap Siti Syarifah yang ranum di dapur sana. Tak lama terdengar suara Datuk Bendahara.
Gemetar ketakutan Datuk Laksamana mencari tempat bersembunyi. Siti Syarifah, dengan
menahan tawa, mengatakan tak ada tempat bersembunyi di rumah itu. Tak ada pintu lain.
Namun jika Datuk Laksamana mau, bisa berpura-pura menjadi patung di sudut ruangan, di
sebelah lemari. Cukuplah dengan memegang setalam buah-buahan dan berdiam diri, tak akan
terlihat nyata di ruangan dengan pelita yang sudah meredup cahayanya.
Datuk Laksamana pun bertindak sesuai anjuran. Di sudut sebelah lemari, dimana Datuk
Tumenggung bersembunyi, dia berpura-pura menjadi patung. Diam tak berkutik ketika Datuk
Bendahara masuk ke dalam rumah.
Lalu Datuk Bendahara pun kena. Sedang mesra berkhayal, sempat terheran-heran melihat
patung serupa Datuk Laksamana di sudut dekat lemari, suara Raja terdengar bertandang.
Imajinasi mesumnya buyar seketika. Siti Syarifah pun menunjukkan kolong meja di dekat
mereka, sebuah meja bertutup kain. Sigap Datuk Bendahara masuk ke kolong meja, mengintip
Raja yang masuk dengan dituntun mesra oleh Siti Syarifah.
Tak seperti yang lainnya, Raja menolak disajikan makanan. Dengan duduk berdekatan,
dicobanya merayu-rayu menantunya itu perlahan-lahan. Bercerita tentang sakitnya dan betapa
dia merindu ingin bertemu Siti Syarifah. Siti Syarifah mendengar takzim layaknya anak menantu
terhadap mertua. Namun, rupa-rupanya Sang Raja sudah mulai nakal menyentuh-nyentuh
lengannya. Siti Syarifah tiba-tiba berdiri dan berkata bahwa dia hendak bermanja dengan Raja.
Jika sudi, Raja dimintanya menjadi kuda. Raja tertawa gembira, merasa menantunya sedang
memberi pertanda, dengan segera dia pun berlutut dan bergaya seperti kuda. Siti Syarifah
tertawa dan meminta Raja tidak berposisi kuda seperti biasa, dengan kaki dan tangan masih di
lantai, tapi hendaklah mengangkat ujung tangan dan ujung kaki sehingga cuma tersisa lutut dan
siku saja sebagai kuda-kuda. Raja mengalah dengan perkiraan bahwa ini hanyalah trik Siti
Syarifah untuk bermanja. Meski siku tangannya dan lututnya terasa sakit, namun ketika Syarifah
sudah duduk di punggungnya, seakan-akan sedang naik kuda dengan duduk menyamping,
senanglah hati Raja.
Para punggawa istana terhenyak kaget di persembunyian masing-masing. Raja Negeri Parun
yang disegani lawan dan dihormati kawan, menjadi kuda yang dinaiki seorang perempuan, tanpa
sadar sedang dilihat oleh para punggawa istana. Dilihat Datuk Bendahara yang kepanasan di
kolong meja. Dilihat Datuk Laksamana yang sudah pegal-pegal tangannya berpose sebagai
patung. Dilihat Datuk Tumenggung yang kelaparan di balik lemari. Dan oleh Tuan Kadi yang
merasa paling beruntung di peti dengan makanan dan minuman tersaji.
Setelah satu kali keliling ruangan itu, Raja menyerah. Siku-siku kaki dan tangannya sakit semua.
Baru saja mereka berhenti dan Syarifah hendak mengambilkan air, sebuah tangan mengacaukan
segalanya. Tangan itu adalah tangan Datuk Tumenggung yang kelaparan. Dengan diam-diam
Datuk Tumenggung membuka lemari. Melihat ada buah-buahan di talam yang dipegang oleh
“patung serupa Datuk Laksamana”, tangannya pun menjulur. Bukan buah-buahan terpegang
olehnya, namun batang hidung Datuk Laksamana. Datuk Laksamana pun berteriak kaget,
dicampaknya talam buah-buahannya, terkena pelita dan padam. Datuk Tumenggung yang
terkejut terbentur pintu lemari keningnya. Sementara Datuk Bendahara, melihat peluang
melarikan diri, mencoba keluar lekas-lekas dari kolong meja, dan terbungkuk-bungkuk
punggungnya membentur sisi meja. Panik seisi ruangan, kalang kabut melarikan diri, seketika
menyadari bahwa bukan hanya satu dari mereka ada di sana. Dalam gelap malam berdesak dan
berpencar mereka, juga Raja, kabur dari pintu depan. Kasut tercampak berhambur dan mereka
pun dalam kegelapan malam.
Siti Syarifah pun menyalakan kembali pelita dan memanggil suaminya turun dari loteng. Tun
Utama, dengan tawa terpingkal-pingkal mendapat tontonan gratis, turun dan memeluk istrinya.
Lalu bersama mendekati peti dimana Tuan Kadi bersembunyi. Berteriak-teriak Tuan Kadi
meminta Tuan Putri Syarifah membukakan peti tersebut.
“Tak ada yang perlu dikhawatirkan Tuan Kadi. Bukankah cukup makanan dan minuman di
situ?”
Sadarlah Tuan Kadi, bahwa dirinya sudah terjebak. Tadi dikiranya dia yang paling beruntung,
namun kini jelas bahwa dia yang paling sial dari antara semua. Tun Utama, dengan tersenyum-
senyum bertanya, apakah mimpi soal musang berjanggut memang mimpi ataukah rekaan saja.
Tuan Kadi bersumpah bahwa soal musang berjanggut memang mimpi adanya. Bukan sekali-dua
kali datang padanya, sebagai obat kesembuhan Raja. Namun, Raja dan para punggawa semua,
dengan pikiran masing-masing, memutarbalikan mimpi tersebut. Tun Utama meminta Tuan
Kadi bersabar, karena esok mungkin semua ada hikmahnya.
Esoknya, sampailah kabar di istana bahwa Tun Utama sudah kembali membawa musang
berjanggut. Seisi negeri kaget dan berbondong-bondong ke istana menanti musang berjanggut
yang sudah ditangkap oleh Tun Utama. Di balairung istana, Raja dan segenap punggawa
kerajaan, kecuali Tuan Kadi, sudah berkumpul. Mereka menatap tak percaya ketika sebuah peti
besar dibawa dua prajurit istana, diiringi Tun Utama datang menghadap mengabarkan bahwa
sudah berhasil ditangkapnya musang berjanggut untuk kesembuhan Raja. Dengan beringsut
mundur Tun Utama mempersilakan diperiksa isi peti tersebut, apakah benar musang berjanggut
yang ada didalam peti itu, atau bukan.
Dari singgasananya, entah karena takut atau merasa bersalah, Raja menyuruh punggawanya satu
demi satu memeriksa isi peti, sebelum dia nanti melihatnya sendiri. Majulah Datuk Bendahara.
Ketika dibukanya peti tersebut, terkejutlah ia melihat Tuan Kadi meringkuk di dalamnya. “Apa
yang Tuan Kadi lakukan di dalam peti ini?”
“Melihat Datuk Bendahara mengganggu istri orang. Bagaimana kabar punggung Datuk? Masih
sakit membentur meja?” ujar Tuan Kadi
Datuk Bendahara terdiam. Dia pun beringsut mundur, menutup peti dan berkata kepada Raja.
“Memang benar ini musang berjanggut, Tuanku.”
Lalu maju pula Datuk Tumenggung. Reaksinya sama kaget dengan Datuk Bendahara.
“Celakalah kita! Kenapa bisa begini, Tuan Kadi?”
Kadi Istana menjawab kecut sambil menunjuk kening Datuk Tumenggung. “Tanyakanlah pada
kening Datuk yang bengkak itu.”
Datuk Tumenggung mundur dan menunduk malu. Lalu mengangguk kepada Raja. “Benar
Tuanku. Ini memang musang berjanggut adanya.”
Berikutnya majulah pula Datuk Laksamana. Tak kalah pula kagetnya Datuk Laksamana melihat
isi di dalam peti. Mendesis-desis ia berbisik, “Astaga! Malang nian nasibmu, Tuan Kadi!”
Tuan Kadi tersenyum, “Setidaknya lebih beruntung daripada menjadi patung membawa talam
berisi buah, Datuk Laksamana.”
Datuk Laksamana terpukul mundur. Ditutupnya peti dan tegak menghadap Raja yang bertanya
kepadanya, “Bagaimana, Laksamana?”
Datuk Laksamana menjawab, “Tak diragukan lagi, Tuanku. Ini memang musang berjanggut
adanya. Musang yang suka mengganggu ayam orang.”
Merasa penasaran, Raja pun turun dari singgasana mendekati peti. Dibukanya peti dan
terhenyaklah ia melihat wajah Tuan Kadi menunduk malu di dalam peti. Mendesis Raja tak
percaya, “Tak kusangka semalang ini nasibmu, Kadi!”
Kadi istana menunduk dan menjawab, “Beruntunglah hamba tidak dijadikan kuda tua untuk
ditunggangi menantu Tuanku.”
Raja terdiam lama di sisi peti tempat bersemayamnya Tuan Kadi. Sadarlah dia kini, bahwa ini
semua adalah pembalasan dari Tun Utama dan terutama Siti Syarifah yang cerdik-jenaka.
Sebuah pelajaran yang menyadarkan orang-orang tua seperti dirinya dan para punggawa istana.
Raja menutup peti tersebut, dan mengetuknya tiga kali. Lalu mengumumkan bahwa benar
adanya bahwa isi peti tersebut adalah musang berjanggut sebagai obat sakitnya.
Raja dan semua punggawa istana meminta maaf kepada Tun Utama dan Siti Syarifah serta
berterimakasih atas cara mereka memberi jera tanpa mempermalukan orang-orang tua yang
khilaf tersesat nafsu birahi.
Akhirnya Tun Utama diangkat menjadi Raja dan Siti Syarifah sebagai Permaisuri Negeri Parun.
Selain mereka berdua, Raja dan punggawa istana, tak pernah ada yang tahu rupa musang
berjanggut sesungguhnya. Bahwa musang berjanggut itu tak lain Kadi Istana yang memang
berjanggut sebesar kepalan tangan. Peti “musang berjanggut” itu pun dinyatakan sebagai harta
istana. Disimpan sebagai pelajaran dan kenangan, menjadi hikayat makrifat turun-temurun.

Anda mungkin juga menyukai