Anda di halaman 1dari 8

NAMA : VINO ALVIANSYAH

KELAS : 8.8

Si Singamangaraja XII
Ini adalah nama Batak  Toba, marganya adalah Sinambela
Si Singamangaraja XII

Ilustrasi wajah Si Singamangaraja XII pada lembaran uang 1000, berdasarkan lukisan yang
dibuat oleh Augustin Sibarani.

Berkuasa 1876–1907 M

Pendahulu Raja Sohahuaon Sinambela


(Si Singamangaraja XI)

Kelahiran Patuan Bosar Sinambela


18 Februari 1845
Bangkara, Toba

Kematian 17 Juni 1907 (umur 62)


Si Onom Hudon, Dairi

Pemakaman Soposurung, Balige, Toba

Wangsa
 Singa Mangaraja

Nama lengkap

Patuan Bosar Sinambela ginoar Ompu Pulo Batu


Ayah Raja Sohahuaon Sinambela

Ibu boru Situmorang

Pasangan boru Simanjuntak


boru Sagala
Nantika boru Nadeak
boru Situmorang
boru Siregar

Anak Patuan Nagari Sinambela


Patuan Anggi Sinambela
Lopian br. Sinambela
Raja Buntal Sinambela
Raja Sabidan Sinambela
Raja Barita Sinambela
Pangarandang Sinambela
Raja Pangkilim Sinambela
Rinsan br. Sinambela
Purnama Rea br. Sinambela
Sunting Mariam br. Sinambela
Saulina br. Sinambela
Tambok br. Sinambela
Mangindang br. Sinambela
Sahudat br. Sinambela
Nagok br. Sinambela

Kerabat Raja Ompu Babiat Situmorang (lae)


Sitor Situmorang (paraman)
Humala Fredrick Situmorang (paraman)
Si Singamangaraja XII dengan nama lengkap Patuan Bosar Sinambela ginoar Ompu
Pulo Batu (18 Februari 1845 – 17 Juni 1907) adalah seorang raja di Negeri Toba dan pejuang
yang berperang melawan Belanda. Ia diangkat oleh pemerintah Indonesia sebagai Pahlawan
Nasional Indonesia pada tanggal 9 November 1961 berdasarkan SK Presiden RI No
590/1961.
Semula, ia dimakamkan di Tarutung, Tapanuli Utara, lalu dipindahkan ke
Soposurung, Balige, Toba pada tahun 1953.
1. Nama dan gelar
Si Singamangaraja XII dilahirkan dengan nama Patuan Bosar Sinambela. Ia naik tahta
sebagai pada tahun 1876 untuk menggantikan ayahnya, Si Singamangaraja XI yang
bernama Raja Sohahuaon Sinambela. Sebagai seorang Singamangaraja, Patuan Bosar
Sinambela juga berperan sebagai raja-imam. Dari Patuan Anggi Sinambela, Si
Singamangaraja XII mendapatkan pahompu panggoaran bernama Pulo Batu Sinambela
sehingga ia digelari sebagai Ompu Pulo Batu Sinambela.
2. Asal usul
Si Singamangaraja XII adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh
raja Pagaruyung yang sangat berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling di kawasan
utara Sumatera untuk menempatkan pejabat-pejabatnya.[2] Dalam sepucuk surat kepada
Marsden bertahun 1820, Thomas Stamford Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak
menjelaskan kepadanya mengenai Si Singamangaraja yang merupakan
keturunan Minangkabau dan bahwa di Silindung terdapat sebuah arca batu berbentuk
manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung.
Sampai awal abad ke-20, Si Singamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur
kepada pemimpin Pagaruyung melalui perantaraan Tuanku Barus yang bertugas
menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung.
Sementara itu, sumber dari Pemerintah Daerah setempat menyebutkan bahwa dinasti
Singamangaraja bermula dari salah satu keturunan Si Raja Oloan. Si Raja Oloan memiliki
enam orang putra yakni Naibaho, Sihotang, Bakkara, Sinambela, Sihite, dan Simanullang.
Kemudian, Sinambela memiliki tiga orang putra, salah satunya adalah Raja Bona Ni
Onan. Raja Bona Ni Onan menikah dengan seorang boru Pasaribu. Anak dari Raja Bona
Ni Onan adalah Raja Manghuntal yang kemudian mengawali dinasti Singamangaraja
sebagai Si Singamangaraja I.
3. Penobatan
Penobatan Si Singamangaraja XII sebagai maharaja di Negeri Toba bersamaan dengan
dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal
asing yang beroperasi di Hindia Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte
Verklaring (perjanjian pendek) di Sumatera, terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di
mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara Eropa lainya. Di sisi
lain, Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut.
Politik yang berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang
Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.
4. Perang Melawan Belanda
Pada tahun 1824, seluruh wilayah koloni Inggris di Sumatera diberikan
kepada Belanda melalui Perjanjian Inggris dan Belanda (Anglo-Dutch Treaty of 1824 ).
Hal ini membuka peluang bagi Hindia Belanda untuk menganeksasi seluruh wilayah yang
belum dikuasainya di Sumatera.
Pada tahun 1873, Belanda melakukan invasi militer ke Aceh melalui Perang Aceh.
Kemudian, Belanda melanjutkan invasi ke Tanah Batak pada 1878. Para raja kampung
Batak (huta) yang beragama Kristen menerima masuknya Hindia Belanda ke Tanah
Batak, sementara Raja Bangkara, Si Singamangaraja XII, yang memiliki hubungan dekat
dengan Kesultanan Aceh, menolak dan menyatakan perang.
Pada tahun 1877, para misionaris di Silindung dan Bahal Batu meminta bantuan kepada
Pemerintah Kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Si Singamangaraja XII.
Kemudian, Pemerintah Kolonial Belanda dan para misionaris sepakat untuk tidak hanya
menyerang markas Si Singamangaraja XII di Bangkara tetapi sekaligus menaklukkan
seluruh Toba.
Pada tanggal 6 Februari 1878, Pasukan Belanda tiba di Pearaja, tempat kediaman
misionaris Ingwer Ludwig Nommensen. Kemudian, beserta misionaris Nommensen
dan Simoneit sebagai penerjemah, Pasukan Belanda terus menuju ke Bahal Batu untuk
menyusun benteng pertahanan. Kehadiran tentara kolonial ini telah memprovokasi Si
Singamangaraja XII, yang kemudian mengumumkan pulas (perang) pada tanggal 16
Februari 1878 dan penyerangan ke pos Belanda di Bahal Batu mulai dilakukan.
Pada tanggal 14 Maret 1878, datanglah Residen Boyle bersama tambahan pasukan yang
dipimpin oleh Kolonel Engels sebanyak 250 orang tentara dari Sibolga. Pada 1 Mei 1878,
Bangkara yang merupakan pusat pemerintahan Si Singamangaraja XII diserang oleh
pasukan kolonial. Pada 3 Mei 1878, seluruh Bangkara telah ditaklukkan, namun Si
Singamangaraja XII beserta pengikutnya dapat menyelamatkan diri dan terpaksa keluar
mengungsi. Sementara, para raja yang tertinggal di Bangkara dipaksa Belanda untuk
bersumpah setia dan kawasan tersebut dinyatakan berada dalam kedaulatan Hindia
Belanda.
Walaupun Bangkara telah ditaklukkan, Si Singamangaraja XII terus melakukan
perlawanan secara gerilya. Hingga akhir Desember 1878, beberapa kawasan seperti
Butar, Lobu Siregar, Naga Saribu, Huta Ginjang, Gurgur juga telah ditaklukkan oleh
Pasukan Kolonial Belanda.
Di antara tahun 1883-1884, Si Singamangaraja XII berhasil melakukan konsolidasi
pasukannya. Kemudian bersama pasukan bantuan dari Aceh, secara ofensif menyerang
kedudukan Belanda antaranya Uluan dan Balige pada Mei 1883, serta Tangga Batu pada
tahun 1884.

Cap Mohor Si Singamangaraja XII


5. Ia Penganut Islam.
1. pengaruh Islam terlihat pada bendera perang Singamangaraja dalam gambar
kelewang, matahari dan bulan; dan
2. Sisingamangaraja XII memiliki cap yang bertuliskan huruf Jawi (tulisan Arab-
Melayu).
Namun pemakaian simbol-simbol itu bukanlah sesuatu yang asing bagi agama asli
Nusantara. Maka masih menyimpan misteri mengenai agama Sisingamangaraja
Untuk butir 1 dapat dikatakan bahwa bukan hanya Singamangaraja XII yang tidak boleh
makan babi, melainkan hal itu berlaku juga untuk semua Singamangaraja sebelumnya
(penganut Parmalim). Pantangan makan babi tidak ada kaitan dengan agama Islam
melainkan juga berlaku untuk para raja yang beragama Hindu dan Parmalim. Dalam hal
ini perlu diingatkan bahwa agama asli Batak sangat kuat pengaruh Hindu.[6] Untuk butir
2, kelewang, matahari, dan bulan bukan lambang yang eksklusif Islam. Selain daripada
itu perlu diingatkan bahwa kerajaan Singamangaraja XII dikelilingi oleh kerajaan-
kerajaan Islam sehingga tidak mengherankan kalau ia sangat terinspirasi lambang yang
juga digunakan oleh para raja Melayu. Khususnya untuk butir 3. cap Singamangaraja
telah dianalisis oleh Prof. Uli Kozok.[7] Selain sebuah teks yang memakai surat
Batak (aksara Batak) terdapat pula sebuah teks berhuruf Jawi (Arab Melayu) yang
berbunyi; Inilah cap maharaja di negeri Teba kampung Bakara nama kotanya hijrat
nabi 1304 [?] sedangkan dalam aksara Batak pada cap itu tertulis Ahu ma sap tuan Si
Singamangaraja tian Bangkara, artinya "Akulah cap Tuan Si Singamangaraja dari
Bangkara". Berdasarkan analisis empat cap Singamangaraja maka Profesor Kozok tiba
pada kesimpulan bahwa keempat cap Singamangaraja masih relatif baru, dan diilhami
oleh cap para raja Melayu, terutama oleh kerajaan Barus. Pada abad ke-19 huruf Arab-
Melayu (Jawi) umum dipakai oleh semua raja di Sumatra sehingga sangat masuk akal
bahwa Singamangaraja XII juga menggunakan huruf yang sama agar capnya dapat
dibaca tidak hanya oleh orang Batak sendiri melainkan juga oleh orang luar.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa argumentasi bahwa Singamangaraja XII
telah berpindah agama cukup lemah. Sekiranya Singamangaraja memang memeluk
agama Islam maka pasti ia akan mengimbau agar rakyatnya juga memeluk agama Islam.
Laporan para penginjil[butuh  seperti I.L. Nommensen bahwa Singamangaraja telah
rujukan]

memeluk agama Islam terutama dimaksud untuk mendiskreditkan Singamangaraja dan


untuk menggambarkannya sebagai musuh pemerintah Belanda.
6. Kematian
Si Singamangaraja XII tewas pada 17 Juni 1907 saat disergap oleh sekelompok
anggota Korps Marsose – sebuah pasukan khusus Belanda. Penyergapan tersebut
dipimpin oleh Hans Christoffel di kawasan sungai Aek Sibulbulon, di suatu desa
bernama Si Onom Hudon, di perbatasan Humbang dengan Dairi.[1] Si Singamangaraja XII
menghadapi pasukan Korps Marsose sambil memegang senjata Piso Gaja Dompak.
Kopral Souhoka, seorang penembak jitu pasukan Marsose, mendaratkan tembakan ke
kepala Si Singamangaraja XII tepat di bawah telinganya. [8] Menjelang nafas terakhir, ia
tetap berucap, "Ahu Si Singamangaraja" (bahasa Indonesia: "Aku Si Singamangaraja").
Turut gugur bersamanya adalah kedua putranya, Patuan Nagari Sinambela dan Patuan
Anggi Sinambela, serta putrinya, Lopian br. Sinambela. Sementara keluarganya yang
tersisa ditawan di Tarutung. Si Singamangaraja XII kemudian dikebumikan oleh Belanda
secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak dan
dipertontonkan kepada masyarakat Dairi.[butuh rujukan] Makamnya kemudian dipindahkan ke
Makam Pahlawan Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953, yang dibangun
oleh pemerintah, msyarakat, dan keluarga.
7. Dinasti Singa Mangaraja
Patuan Bosar Sinambela adalah Singamangaraja XII sekaligus sebagai Singamangaraja
terakhir dari Dinasti Singa Mangaraja. Setelah kematiannya, tidak ada lagi penerus dinasti
Singa Mangaraja di Bangkara, sebab seluruh keluarganya telah ditawan oleh Belanda
di Siborongborong.
Ada pun nama para Singamangaraja yang pernah bertahta di Bangkara adalah sebagai
berikut:
1. Si Singamangaraja I, bernama Raja Manghuntal Sinambela
2. Si Singamangaraja II, bernama Ompu Raja Tianaruan Sinambela
3. Si Singamangaraja III, bernama Raja Itubungna Sinambela
4. Si Singamangaraja IV, bernama Sori Mangaraja Sinambela
5. Si Singamangaraja V, bernama Pallongos Sinambela
6. Si Singamangaraja VI, bernama Pangulbuk Sinambela
7. Si Singamangaraja VII, bernama Ompu Tuan Lumbut Sinambela
8. Si Singamangaraja VIII, bernama Ompu Sotaronggal Sinambela
9. Si Singamangaraja IX, bernama Ompu Sohalompoan Sinambela
10.Si Singamangaraja X, bernama Ompu Tuan Nabolon Sinambela
11.Si Singamangaraja XI, bernama Raja Ompu Sohahuaon Sinambela
12.Si Singamangaraja XII, bernama Patuan Bosar Sinambela
8. Gelar pahlawan
Si Singamangaraja XII digelari Pahlawan Nasional Indonesia dengan Surat Keputusan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 590 Tahun 1961. Surat ini tertanggal 19
November 1961.
9. Warisan sejarah
Sebilah pedang hasil tempaan pandai besi Batak yang diduga oleh Belanda digunakan
oleh Si Singamangaraja XII. Foto diambil 1907.
Usai gugurnya Si Singamangaraja XII, Pasukan Kolonial Belanda menemukan sebilah
pedang yang diduga digunakan oleh Si Singamangaraja XII. Kini, pedang tersebut
disimpan sebagai koleksi milik Nationaal Museum van Wereldculturen, Belanda.
Kegigihan perjuangan Si Singamangaraja XII dalam melawan penjajahan Belanda telah
menjadi inspirasi bagi masyarakat Indonesia. Selain menganugerahi gelar Pahlawan
Nasional Indonesia, Pemerintah Indonesia juga mengabadikan nama Si Singamangaraja
XII sebagai nama ruas jalan di banyak kawasan di Republik Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai