Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN
Tahun 1837, kolonialis Belanda memadamkan Perang Paderi dan melapangkan
jalan bagi pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan.
Minangkabau jatuh ke tangan Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing,
Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai Barus dan kawasan Sibolga.
Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu
daerah-daerah yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang
disebut Residentie Tapanuli dan Onderhoorigheden, dengan seorang Residen
berkedudukan di Sibolga yang secara administratif tunduk kepada Gubernur
Belanda di Padang. Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu daerah-daerah
Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil
dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak yang
merdeka, atau De Onafhankelijke Bataklandan.
Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan
tentaranya mendarat di pantai-pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja
Sisingamangaraja XII berkuasa, masih belum dijajah Belanda. Tetapi ketika 3
tahun kemudian, yaitu pada tahun 1876, Belanda mengumumkan Regerings
Besluit Tahun 1876 yang menyatakan daerah Silindung/Tarutung dan sekitarnya
dimasukkan kepada kekuasaan Belanda dan harus tunduk kepada Residen
Belanda di Sibolga, suasana di Tanah Batak bagian Utara menjadi panas.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Perjuangan Raja Sisingamangaraja XII


SISINGAMANGARAJA XII

Ketika Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi Raja Batak, waktu itu umurnya
baru 19 tahun. Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah
dikuasai Belanda kecuali Aceh dan tanah Batak yang masih berada dalam situasi
merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja Sisingamangaraja XII yang masih
muda. Rakyat bertani dan beternak, berburu dan sedikit-sedikit berdagang.
Kalau Raja Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang
terbeang atau ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang
terkenal anti perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai
kemerdekaan. Belanda pada waktu itu masih mengakui Tanah Batak sebagai De
Onafhankelijke Bataklandan (Daerah Batak yang tidak tergantung pada
Belanda.
Raja Sisingamangaraja XII yang kendati secara clan, bukan berasal dari
Silindung, namun sebagai Raja yang mengayomi raja-raja lainnya di seluruh
Tanah Batak, bangkit kegeramannya melihat Belanda mulai menganeksasi
tanah-tanah Batak.
Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda
mulai mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi
Humbang, Toba, Samosir, Dairi dan lain-lain.
Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil
langkah-langkah konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat
dihimpunnya dalam suatu rapat raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam
rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga keputusan sebagai berikut :
1.

Menyatakan perang terhadap Belanda

2.

Zending Agama tidak diganggu

3.

Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.

Terlihat dari peristiwa ini, Sisingamangaraja XII lah yang dengan semangat
garang, mengumumkan perang terhadap Belanda yang ingin menjajah. Terlihat
pula, Sisingamangaraja XII bukan anti agama. Dan terlihat pula,

Sisingamangaraja XII di zamannya, sudah dapat membina azas dan semangat


persatuan dan suku-suku lainnya.
Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30
tahun lamanya. Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas
selama tiga dasawarsa, 30 tahun. Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya
dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat semesta yang dipimpin Raja
Sisingamangaraja XII.
Pasukan Belanda yang datang menyerang ke arah Bakara, tempat istana dan
markas besar Sisingamangaraja XII di Tangga Batu, Balige mendapat perlawanan
dan berhasil dihempang. Belanda merobah taktik, ia menyerbu pada babak
berikutnya ke kawasan Balige untuk merebut kantong logistik Sisingamangaraja
XII di daerah Toba, untuk selanjutnya mengadakan blokade terhadap Bakara.
Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan
Laguboti masih tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Sisingamangaraja
XII antara lain Panglima Ompu Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian
Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan pasukan satu batalion tentara
bersama barisan penembak-penembak meriam.
Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh
Sisingamangaraja XII, kini giliran Toba dianeksasi Belanda. Domino berikut yang
dijadikan pasukan Belanda yang besar dari Batavia (Jakarta sekarang), mendarat
di Pantai Sibolga. Juga dikerahkan pasukan dari Padang Sidempuan. Raja
Sisingamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta
Pardede. Baik kekuatan laut dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII
dikerahkan. Empat puluh Solu Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya
sampai 20 meter dan mengangkut pasukan sebanyak 20 x 40 orang jadi 800
orang melaju menuju Balige. Pertempuran besar terjadi.
Pada tahun 1883, Belanda benar-benar mengerahkan seluruh kekuatannya dan
Sisingamangaraja XII beserta para panglimanya juga bertarung dengan gigih.
Tahun itu, di hampir seluruh Tanah Batak pasukan Belanda harus bertahan dari
serbuan pasukan-pasukan yang setia kepada perjuangan Raja Sisingamangaraja
XII.
Namun pada tanggal 12 Agustus 1883, Bakara, tempat Istana dan Markas Besar
Sisingamangaraja XII berhasil direbut oleh pasukan Belanda. Sisingamangaraja

XII mengundurkan diri ke Dairi bersama keluarganya dan pasukannya yang setia,
juga ikut Panglima-panglimanya yang terdiri dari suku Aceh dan lain-lain.
Pada waktu itulah, Gunung Krakatau meletus. Awan hitam meliputi Tanah
Batak. Suatu alamat buruk seakan-akan datang. Sebelum peristiwa ini, pada
situasi yang kritis, Sisingamangaraja XII berusaha melakukan konsolidasi
memperluas front perlawanan. Beliau berkunjung ke Asahan, Tanah Karo dan
Simalungun, demi koordinasi perjuangan dan perlawanan terhadap Belanda.
Dalam gerak perjuangannya itu banyak sekali kisah tentang kesaktian Raja
Sisingamangaraja XII. Perlawanan pasukan Sisingamangaraja XII semakin
melebar dan seru, tetapi Belanda juga berani mengambil resiko besar, dengan
terus mendatangkan bala bantuan dari Batavia, Fort De Kok, Sibolga dan Aceh.
Barisan Marsuse juga didatangkan bahkan para tawanan diboyong dari Jawa
untuk menjadi umpan peluru dan tameng pasukan Belanda.
Regu pencari jejak dari Afrika, juga didatangkan untuk mencari persembunyian
Sisingamangaraja XII. Barisan pelacak ini terdiri dari orang-orang Senegal. Oleh
pasukan Sisingamangaraja XII barisan musuh ini dijuluki Si Gurbak Ulu Na
Birong. Tetapi pasukan Sisingamangaraja XII pun terus bertarung. Panglima
Sarbut Tampubolon menyerang tangsi Belanda di Butar, sedang Belanda
menyerbu Lintong dan berhadapan dengan Raja Ompu Babiat Situmorang. Tetapi
Sisingamangaraja XII menyerang juga ke Lintong Nihuta, Hutaraja,
Simangarongsang, Huta Paung, Parsingguran dan Pollung. Panglima
Sisingamangaraja XII yang terkenal Amandopang Manullang tertangkap. Dan
tokoh Parmalim yang menjadi Penasehat Khusus Raja Sisingamangaraja XII, Guru
Somaling Pardede juga ditawan Belanda. Ini terjadi pada tahun 1889.
Tahun 1890, Belanda membentuk pasukan khusus Marsose untuk menyerang
Sisingamangaraja XII. Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil di Aceh.
Tahun 1903, Panglima Polim menghentikan perlawanan. Tetapi di Gayo, dimana
Raja Sisingamangaraja XII pernah berkunjung, perlawanan masih sengit.
Masuklah pasukan Belanda dari Gayo Alas menyerang Sisingamangaraja XII.
Tahun 1907, pasukan Belanda yang dinamakan Kolonel Macan atau Brigade
Setan mengepung Sisingamangaraja XII. Tetapi Sisingamangaraja XII tidak
bersedia menyerah. Ia bertempur sampai titik darah penghabisan. Boru Sagala,
Isteri Sisingamangaraja XII, ditangkap pasukan Belanda. Ikut tertangkap putraputri Sisingamangaraja XII yang masih kecil. Raja Buntal dan Pangkilim.

Menyusul Boru Situmorang Ibunda Sisingamangaraja XII juga ditangkap,


menyusul Sunting Mariam, putri Sisingamangaraja XII dan lain-lain.
Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom
Hudon, di perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang
sekarang, gugurlah Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan
Kapten Christoffel. Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan
Nagari dan Patuan Anggi serta putrinya Lopian. Konon Raja Sisingamangaraja XII
yang kebal peluru tewas kena peluru setelah terpercik darah putrinya Lopian,
yang gugur di pangkuannya.
Pengikut-pengikutnya berpencar dan berusaha terus mengadakan perlawanan,
sedangkan keluarga Sisingamangaraja XII yang masih hidup ditawan, dihina dan
dinista, mereka pun ikut menjadi korban perjuangan.
Demikianlah, tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah,
tanpa pernah ditawan, gigih, ulet, militan, Raja Sisingamangaraja XII selama 30
tahun, selama tiga dekade, telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan
kecintaannya kepada tanah air dan kepada kemerdekaannya yang tidak bertara.
Itulah yang dinamakan Semangat Juang Sisingamangaraja XII, yang perlu
diwarisi seluruh bangsa Indonesia, terutama generasi muda. Sisingamangaraja
XII benar-benar patriot sejati. Beliau tidak bersedia menjual tanah air untuk
kesenangan pribadi.
Sebelum Beliau gugur, pernah penjajah Belanda menawarkan perdamaian
kepada Raja Sisingamangaraja XII dengan imbalan yang cukup menggiurkan.
Patriotismenya digoda berat. Beliau ditawarkan dan dijanjikan akan diangkat
sebagai Sultan. Asal saja bersedia takluk kepada kekuasaan Belanda. Beliau akan
dijadikan Raja Tanah Batak asal mau berdamai. Gubernur Belanda Van Daalen
yang memberi tawaran itu bahkan berjanji, akan menyambut sendiri kedatangan
Raja Sisingamangaraja XII dengan tembakan meriam 21 kali, bila bersedia
masuk ke pangkuan kolonial Belanda, dan akan diberikan kedudukan dengan
kesenangan yang besar, asal saja mau kompromi, tetapi Raja Sisingamangaraja
XII tegas menolak. Ia berpendirian, lebih baik berkalang tanah daripada hidup di
peraduan penjajah.
Raja Sisingamangaraja XII gugur pada tanggal 17 Juni 1907, tetapi
pengorbanannya tidaklah sia-sia. Dan cuma 38 tahun kemudian, penjajah betulbetul angkat kaki dari Indonesia. Pada tanggal 17 Agustus 1945, kemerdekaan

Indonesia diproklamirkan Sukarno-Hatta. Kini Sisingamangaraja XII telah menjadi


sejarah. Namun semangat patriotismenya, jiwa pengabdian dan pengorbanannya
yang sangat luhur serta pelayanannya kepada rakyat yang sangat agung,
kecintaannya kepada Bangsa dan Tanah Airnya serta kepada kemerdekaan yang
begitu besar, perlu diwariskan kepada generasi penerus bangsa Indonesia.
Dalam upaya melestarikan system nilai yang melandasi perjuangan Pahlawan
Nasional Raja Sisingamangaraja XII dengan menggali khasanah budaya dan
system nilai masa silam yang dikaitkan dengan keinginan membina masa depan
yang lebih baik, lebih bermutu dan lebih sempurna, maka Lembaga
Sisingamangaraja XII yang didirikan dan diketuai DR GM Panggabean pada tahun
1979, telah membangun monumen Pahlawan Nasional Raja Sisingamangaraja XII
di kota Medan yang diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Soeharto di
Istana Negara dalam rangka peringatan Hari Pahlawan 10 Nopember 1997 dan
Pesta Rakyat peresmian monumen tersebut di Medan dihadiri sekitar seratus ribu
orang, dengan Pembina Upacara Menko Polkam Jenderal TNI Maraden
Panggabean.
Kemudian oleh Yayasan Universitas Sisingamangaraja XII pada tahun 1984 telah
didirikan Universitas Sisingamangaraja XII (US XII) di Medan, pada tahun 1986
Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli (UNITA) di Silangit Siborong-borong
Tapanuli Utara dan pada tahun 1987 didirikan STMIK Sisingamangaraja XII di
Medan.
Ada pandangan yang berkembang di kalangan orang Batak, orang
Tapanuli pada umumnya bahwa. perjuangan Raja Sisingamangaraja XII adalah
perjuangan melawan Belanda, karena rasa tidak senang, karena benci, karena
mau menjajah, menduduki tanah Batak dan mengambil hasil tanah Batak dan
membawanya ke tanah Belanda.
Ada pula yang berpandangan bahwa perjuangan Raja Sisingamangaraja adalah
sama dengan perjuangan pahlawan nasional lainnya, seperti Pangeran
Diponegoro, Iman Bonjol, Tjut Nya Din, Pattimura, dll yang menentang
penjajahan Belanda dan tetap mempertahankan tanah airnya serta bertekad
mengusir penjajah.
Dikumandangkan slogan bahwa Perjuangan Raja Sisingamangaraja adalah
perjuangan yang heroik, yang mempertaruhkan nyawa sampai titik darah

penghabisan untuk membela dan mempertahankan tanah air, bangsa dan


agamanya dari kangkangan dan pelecehan penjajah.
Semua pandangan di atas adalah benar bahwa Sisingamangaraja adalah
pahlawan bangsa yang tidak mengenal menyerah sampai titik darah
penghabisan. Demikian juga putra dan putrinya, Patuan Nagari, Patuan Anggi
dan Lopian. Ia rela membawa mereka berjuang bersama diri dan pasukannya
untuk mempertahankan tanah airnya. Tetapi pertanyaan kita ialah benarkah
hanya sebatas itu perjuangan pahlawan nasional Sisingamangaraja? Kajian
ilmiah berikut akan mencoba menganalisis dan membeberkan dengan rinci
bahwa perjuangan Raja Sisingamangaraja lebih luas dan lebih universal dari
pada hanya sekedar heroisme, membela tanah air, kepahlawanan, menolak
menyerah, titik darah penghabisan, tidak rela ditawan dan menyerah kalah.
Perjuangan Sisingamangaraja lebih dalam dari itu, lebih fungsional dan lebih
strategik.
Tentang perjuangan Sisingamangaraja secara lengkap, runtut bahkan kronologis,
silahkan membaca buku-buku sejarah yang sudah cukup banyak ditulis para
penulis Batak apalagi penulis Belanda (dari sisi pandang dan kepentingan
mereka). Dari penulis Batak saya sarankan membaca buku karangan
Dr.W.B.Sijabat, Ahu Sisingamangaraja, 1982 ; O.L.Napitupulu, Perang Batak,
Perang Sisingamangaraja, 1971. Dari penulis Belanda tulisan E.E.W.G. Schroder,
Memorie van Overgave van de Residentie Tapanoeli, 1920. Dan juga daftar
bacaan melanjutkan yang saya cantumkan pada akhir naskah ini.
Naskah ini menitik beratkan muatan pandangan analisis konseptual ilmiah,
sebagai bukti perjuangan beliau yang luar biasa secara empiris faktual sejak
perjuangan dengan strategi diplomasi 1876-1877 akhir, hingga perang phisik
1878-1907 selama 30 tahun.

B. Pahlawan HAM
Perlawanan Sisingamangaraja tidak hanya ditujukan kepada usaha
mempertahankan tanah air dari penguasaan dan perebutan penjajah Belanda.
Dia juga sambil bertempur melawan Belanda, beliau terus juga menolak
perbudakan dan pencengkeraman terhadap kebebasan rakyat. Dia

membebaskan para tawanan yang dipasung, diikat dan dihukum secara tidak
manusiawi oleh kekuasaan raja-raja lokal. Dia sangat menghargai hak hidup, hak
bebas, hak merdeka, hak kesehatan, hak kebebasan dari rasa takut, setiap
orang. Karena itu seluruh rakyat mencintainya.
Perjuangan HAM yang telah dirintis Raja Sisingamangaraja ini perlu diperdalam,
fondasinya, essensinya dan eksistensinya untuk disumbangkan kepada Negara
dun dunia internasional. Perjuangan ini adalah perjuangan universal yang telah
dilakukan Sisingamangaraja
C. Pahlawan Social Responsibility
Berbarengan dengan pertempuran melawan Belanda, beliau juga
memperhatikan bahkan mengamati dengan cermat kehidupan dan kesehatan
rakyatnya. Walau dalam perjalanan perang dia juga menyembuhkan orang-orang
sakit. Memberi nasihat bagaimana melawan penyakit dengan cara memberi
ramuan dan tindakan yang harus dilakukan agar semua musuh yang tampak dan
tidak tampak (ula-ula, alogo na jahat, Jenis ilmu hitam yang dimiliki dan
dipraktekkan orang Batak jaman dahulu) dapat dikalahkan. Pesan melawan
penyakit itu juga disebarkan melalui mulut ke mulut oleh rakyatnya, sehingga
tona itu menyebar ke seluruh tanah Batak. Dia memperhatikan nasib rakyat
yang ditemuinya: Kalau ada orang yang terpasung segera dimintanya
dibebaskan (al. di Sibaganding, 1883, dan di tempat-tempat lain). Karena itu dia
sangat membela nasib sosial setiap orang.
Prinsip beliau yang sangat mendalam ialah sambil berperang melawan Belanda,
juga berperang melawan penyakit dan sumber penyakit kejahatan. Walau dalam
pertempuran, namun tanggung jawab sosial kepada rakyat tetap dilakukan.

D. Pahlawan Pluralisme dan Multikulturalisme


Dia melakukan hubungan dengan Kesultanan Aceh yang pada saat yang hampir
sama 1873 juga melakukan perlawanan kepada Belanda. Sisingamangaraja
mendapat bantuan dari Sultan Iskandar Muda berupa panglima dan pasukan jitu
yang ditakuti Belanda. Sama dengan pasukan khusus atau paratroops yang

sangat ditakuti. Pada saat perang Batak dikobarkan tahun 1878, pasukan berani
mati dari Aceh ini sudah mendampingi beliau melawan Belanda.
Beliau tidak hanya mengandalkan pasukan dari tanah Batak yang digalang
melalui para raja maropat, raja bius dan raja horja, tetapi juga dari sub etnik dan
etnik lain misalnya Batak Timur (Simalungun), Pardembanan, dan Aceh. Adanya
kebiasaan para anggota pasukan yang heterogen dan berbudaya yang berbeda
itu menunjukkan bahwa beliau menguasai dan mengakui serta memelihara
budaya-budaya yang beragam itu. Karena itu beliau berjuang juga memakai
basis multikulturalisme (keberagaman budaya).
E. Pahlawan Liberte, Egalite, Fraternite
Dia memegang prinsip kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan (Liberte,
Egalite; Fraternite) adalah hak fundamental manusia, termasuk manusia Batak.
Ketika beliau mendapat informasi dari titik sandinya, bahwa Belanda akan
memperluas kekuasaannya ke dataran tinggi Toba dengan dalih melindungi
gerakan Zending Kristen, Sisingamangaraja mengirim surat agar maksud itu
dibatalkan. Karena setiap orang berhak untuk merdeka dan berdiri sendiri,
termasuk orang Batak (waktu itu disebut bangso Batak).
Beliau mengulangi lagi mengirim masuk kepada pihak Belanda di Sibolga, agar
mengurungkan maksud untuk mengirimkan bala tentara ke Silindung, dengan
alasan bahwa pasukan Sisingamangaraja dan pasukan Aceh yang didatangkan
dari Kerajaan Aceh (Sultan Iskandar Muda) akan menyerang Silindung dan
membunuh para zendelingen. Beliau menyatakan bahwa issu itu tidak benar.
Strategi diplomasi dengan mengirim surat dan utusan untuk membatalkan
maksud jahat Belanda itu dilakukannya antara tahun 1876 1878 awal. Ini
memperlihatkan bahwa Sisingamangaraja adalah anti pertumpahan darah. Dia
menjunjung perdamaian. Azas perdamaian yang dipegangnya adalah berdasar
pada hak kemerdekaan bagi setiap orang dan bangsa. Dia memandang bahwa
setiap orang itu punya hak yang sama, punya hak azasi kesetaraan. Itu
sebabnya dia juga selalu membebaskan budak dan tawanan perang (antar huta,
antar marga). Berdasarkan pandangan itu beliau sebenarnya berprinsip bahwa
semua manusia itu bersaudara. Oleh karena itu harus selalu membantu,
menolong dan melindungi.

Oleh karena itu piinsip perjuangannya tidak kalah dengan prinsip perjuangan
orang Perancis. Filosofi liberte, egalite dan fraternite bukan hanya milik orang
Perancis, tetapi juga filosofi dan pandangan hidup orang Batak, terutama raja
Sisingamangaraja. Bahkan menjadi landasan perjuangan kemerdekaan orang
Batak yang dipimpinnya melawan penjajahan Belanda.
F. Pahlawan Unitarisme
Beliau mengajak para raja maropat disegala wilayah di Sumatera. Dia juga
berhubungan dengan para raja maropat di Simalungun, al. raja Raya Tuan
Rondahaim, juga raja di Bandarpulo, Pagurawan Asahan, Labuhan Batu (raja
Lunggur), dan mengunjungi rakyat Batak Pardembanan (Sumatera Timur). Dia
menyatukan perjuangan raja-raja lokal yakni para raja maropat. Praktek
perjuangan unitarisme ini terlihat ketika beliau mengumandangkan deklarasi
Pulas kepada Belanda, ketika perang frontal Bahalbatu, Tanggabatu, Balige,
Laguboti, maupun perang sektoral di Lobu Siregar, Bakara, Meat, Sionom Hudon,
perang Asahan, dll.
Pulas adalah suatu deklarasi pemyataan perang kepada Belanda, dengan
memakai simbol manusia tarbuat dari ubi (rambat/kayu) yang diukir berupa
tubuh manusia yang ditusuk tombak bamboo kecil dan digantungi surat
pernyataan perang serta digantungkan ditempat terbuka (biasanya onan/pasar).
Perang antar individu diumumkan dengan manutung longit, yaitu daging yang
dibakar dan dikirimkan kepada musuh. Pulas dan longit adalah simbol
kekesatriaan orang Batak yang mengumumkan maksud perangnya secara
terbuka kepada musuh. Tidak menyerang secara sembunyi-sembunyi. Mereka
memberi kesempatan kepada musuh untuk mempersiapkan diri untuk melawan.
G. Pahlawan Pembentuk Pasukan Inong.
Saat konsolidasi perjuangan di wilayah pulau Samosir setelah dia kembali dari
Asahan, Sumatera Timur dan Simalungun dia menerima terbentuknya pasukan
inong. Pasukan perempuan yang dibentuk oleh kaum perempuan di
Ronggurnihuta, di puncak bukit tertinggi di pulau Samosir. Pasukan inong ini
terdiri dari kaum perempuan, ibu-ibu dan anak gadis, menyertainya bertempur
sampai ketempat konsentrasi terakhir di Sionom hudon Dairi. Dapat dipastikan
bahwa pasukan inong ini dipimpin oleh si boru Lopian, dibantu oleh pejuang
perempuan yang lebih tua darinya.

Dari adanya pasukan inong ini, terlihat bahwa Sisingamangaraja menghargai


eksistensi kaum perempuan. Persamaan hak antara laki-laki dan perempuan
dalam mempertahankan martabat bangsa dan wilayah (negara). Beliau menolak
diskriminasi seksual dan gender.
H. Strategi Perang Sektoral, Holistik, Frontal-Total
Dari data dokumental yang ditulis oleh para penulis Batak, maupun Belanda,
dapat disimpulkan bahwa perjuangan clan pertempuran yang diterapkan
Sisingamangaraja sungguh luar biasa dan konsisten. Basis dinamika perjuangan
itu al. strategi cultural (adat partuturan, adat demokrasi), strategi penyerangan
dan pertahanan yang sektoral dan frontal, strategi ekologi sesuai kontur alam
tanah Batak.
Saya namakan adat demokrasi, karena bermusyawarah, marrapot, marria raja,
marhata, martonggo raja adalah kebiasaan orang Batak. Kata demokrasi
dipinjam dari perbendaharaan modern sekarang untuk memperlihatkan bahwa
parrapotan, parriaan, partonggoon, parhataan adalah nama-nama untuk
demokrasi. Jadi demokrasi adalah bahagian utama dalam adat Batak
Sisingamangaraja selalu mengajak raja-raja huta, horja, bius dan raja maropat
dan para panglimanya bermusyawarah ketika akan memutuskan perlawanan
kepada usaha Belanda memperluas kekuasaannya di tanah Batak dengan
pernyataan deklarasi Pulas (musyawarah Balige, 16 Februari 1878 ). Bahkan
ketika beliau menyingkir dari kejaran Belanda, di tempat dia menginap, selalu
bermusyawarah dengan raja setempat.
Pertempuran dilakukan dengan strategi sektoral, yaitu melibatkan pasukan dari
wilayah-wilayah terdekat dengan kawasan pertempuran, misalnya pertempuran
Lobu Siregar, Meat, Tarabunga, pertempuran Muara dan Bakara, pertempuran
Sionom Hudon, Uluan, Asahan Hulu (1907). Strategi frontal dilakukan ketika
beliau hendak menghancurkan pasukan Belanda seluruhnya, dilakukan pada
pertempuran Bahal Batu, Tangga Batu, Balige (1883), Laguboti (1883).

BAB III
KESIMPULAN

Disarankan agar para ahli, akademisi dan peminat sejarah untuk meneliti
lebih lanjut dalam perjuangan Raja Sisingamangaraja XII ini. Titik pendalaman
dapat dilakukan dari berbagai, adat istiadat, seni, ekonomi, hak azasi manusia,
hukum maupun sosiologi.
Dengan demikian kita akan menemukan akar pesan dan warisan
perjuangan yang holistik itu yang menjadi basis perjuangan orang Batak dan
rakyat Indonesia ke masa depan dalam abad globalisasi ini. Kita harus mencari
nilai strategi perang, nilai strategi politik diplomasi; nilai kultural, sosial ekonomi,
nilai hak azasi, untuk kita pakai membangun kesatuan bangsa Indonesia dan
pergaulan internasional antar bangsa.

Anda mungkin juga menyukai