Anda di halaman 1dari 1

Si Singamangaraja XII

Si Singamangaraja XII dilahirkan dengan nama Patuan Bosar Sinambela. Ia naik tahta sebagai pada tahun 1876 untuk
menggantikan ayahnya, Si Singamangaraja XI yang bernama Raja Sohahuaon Sinambela. Sebagai seorang Singamangaraja,
Patuan Bosar Sinambela juga berperan sebagai raja-imam. Dari Patuan Anggi Sinambela, Si Singamangaraja XII
mendapatkan pahompu panggoaran bernama Pulo Batu Sinambela sehingga ia digelari sebagai Ompu Pulo Batu
Sinambela.Si Singamangaraja XII adalah keturunan seorang pejabat yang ditunjuk oleh raja Pagaruyung yang sangat
berkuasa ketika itu, yang datang berkeliling di kawasan utara Sumatera untuk menempatkan pejabat-pejabatnya.[2] Dalam
sepucuk surat kepada Marsden bertahun 1820, Thomas Stamford Raffles menulis bahwa para pemimpin Batak
menjelaskan kepadanya mengenai Si Singamangaraja yang merupakan keturunan Minangkabau dan bahwa di Silindung
terdapat sebuah arca batu berbentuk manusia sangat kuno yang diduga dibawa dari Pagaruyung. Sampai awal abad ke-20,
Si Singamangaraja masih mengirimkan upeti secara teratur kepada pemimpin Pagaruyung melalui perantaraan Tuanku
Barus yang bertugas menyampaikannya kepada pemimpin Pagaruyung. Penobatan Si Singamangaraja XII sebagai maharaja
di Negeri Toba bersamaan dengan dimulainya open door policy (politik pintu terbuka) Belanda dalam mengamankan modal
asing yang beroperasi di Hindia Belanda, dan yang tidak mau menandatangani Korte Verklaring (perjanjian pendek) di
Sumatera, terutama Kesultanan Aceh dan Toba, di mana kerajaan ini membuka hubungan dagang dengan negara-negara
Eropa lainya. Di sisi lain, Belanda sendiri berusaha untuk menanamkan monopolinya atas kerajaan tersebut. Politik yang
berbeda ini mendorong situasi selanjutnya untuk melahirkan Perang Tapanuli yang berkepanjangan hingga puluhan tahun.
Pada tahun 1824, seluruh wilayah koloni Inggris di Sumatera diberikan kepada Belanda melalui Perjanjian Inggris dan
Belanda (Anglo-Dutch Treaty of 1824 ). Hal ini membuka peluang bagi Hindia Belanda untuk menganeksasi seluruh wilayah
yang belum dikuasainya di Sumatera.Pada tahun 1873, Belanda melakukan invasi militer ke Aceh melalui Perang Aceh.
Kemudian, Belandamelanjutkan invasi ke Tanah Batak pada 1878. Para raja kampung Batak (huta) yang beragama Kristen
menerima masuknya Hindia Belanda ke Tanah Batak, sementara Raja Bangkara, Si Singamangaraja XII, yang memiliki
hubungan dekat dengan Kesultanan Aceh, menolak dan menyatakan perang.Pada tahun 1877, para misionaris di Silindung
dan Bahal Batu meminta bantuan kepada Pemerintah Kolonial Belanda dari ancaman diusir oleh Si Singamangaraja XII.
Kemudian, Pemerintah Kolonial Belanda dan para misionaris sepakat untuk tidak hanya menyerang markas Si
Singamangaraja XII di Bangkara tetapi sekaligus menaklukkan seluruh Toba. Si Singamangaraja XII tewas pada 17 Juni 1907
saat disergap oleh sekelompok anggota Korps Marsose – sebuah pasukan khusus Belanda. Penyergapan tersebut dipimpin
oleh Hans Christoffel di kawasan sungai Aek Sibulbulon, di suatu desa bernama Si Onom Hudon, di perbatasan Humbang
dengan Dairi.[1] Si Singamangaraja XII menghadapi pasukan Korps Marsose sambil memegang senjata Piso Gaja Dompak.
Kopral Souhoka, seorang penembak jitu pasukan Marsose, mendaratkan tembakan ke kepala Si Singamangaraja XII tepat di
bawah telinganya.[8] Menjelang nafas terakhir, ia tetap berucap, “Ahu Si Singamangaraja” (bahasa Indonesia: “Aku Si
Singamangaraja”). Turut gugur bersamanya adalah kedua putranya, Patuan Nagari Sinambela dan Patuan Anggi Sinambela,
serta putrinya, Lopian br. Sinambela. Sementara keluarganya yang tersisa ditawan di Tarutung. Si Singamangaraja XII
kemudian dikebumikan oleh Belanda secara militer pada 22 Juni 1907 di Silindung, setelah sebelumnya mayatnya diarak
dan dipertontonkan kepada masyarakat Dairi.[butuh rujukan] Makamnya kemudian dipindahkan ke Makam Pahlawan
Nasional di Soposurung, Balige sejak 14 Juni 1953, yang dibangun oleh pemerintah, msyarakat, dan keluarga Si
Singamangaraja XII digelari Pahlawan Nasional Indonesia dengan Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
590 Tahun 1961. Surat ini tertanggal 19 November 1961

Anda mungkin juga menyukai