Anda di halaman 1dari 4

 BERANDA

 TERKINI
 KHAS
 RILISAN
 PANGGUNG
 POTENSIAL
 GAYA

Sigmun – Crimson Eyes (2015)


December 11, 2015 Redaksi 1 Comment 2015, Crimson Eyes, Franco Londah, Sigmun

Nada-nada repetitif yang (kadang) membosankan atau malah mengasyikkan.


Oleh: Franco Londah*
Crimson Eyes, dibalik segala tindakan progresif para personilnya (jika cerdik mencerna dari segi
komposisi musik), mendapat apresiasi lebih pada proses recording yang jauh lebih matang. Untuk
menikmati secara penuh tanpa menekan tombol forward / next lebih cepat karena bosan dengan riff
yang berulang seperi kebanyakan dari band-band sejenis, memang diperlukan momen atau suasana
yang tepat.
Banyak sekali yang sudah mereview jauh-jauh hari. Sedari tanggal 14 November bulan lalu pun,
Crimson Eyes dilombakan untuk diulas. Apa yang terjadi? Para pengulas banyak
membandingkan Sigmun dengan band “anu” lah, “itu” lah. si A, si B. Damn, dude! What’s wrong with
us? Kapan kalian mau beranjak dari membandingkan para anak bangsa yang susah payah menciptakan
karya hebat?
Review kali ini mungkin jauh dari kata baik-baik, karena sebagian teman dan rekan sejawat penulis,
baik mereka yang seorang artis, musisi, seniman bahkan para jurnalis musik, mengkaji
album Sigmun yang penuh dengan bas dan riff gitar repetitif ini hampir sama dan untuk menghematnya
penulis rangkum menjadi satu tulisan saja.
Beradaptasi dengan Crimson Eyes, memerlukan rokok, atau “lebih” dari rokok. Sambil menikmati
halaman per halaman buku dasar psikologi psikoanalisa Interpretation of Dreams (Tafsir Mimpi) juga
boleh. Memang, meresensi album itu idealnya musti komprehensif dalam mentafsirkan. Namun mau
bagaimana lagi: ingin hati begini, apa daya tangan dan rasa telinga meratapinya begitu. Album ini jauh
dari ekspektasi besar banyak orang terutama penulis.
Meski poin lebih juga penulis tambatkan pada penulisan lirik yang multitafsir, seakan ingin menguak
‘alam bawah sadar‘ seseorang. Dan ini berhasil.

Sudah cukup melanturnya, mari kita mulai review.


Kantor Redaksi saya mendapat pesan surel dari manajemen Sigmun, tertanggal 8 November 2015,dan
kurang lebih 30 hari setelahnya, selama itu pula perjalanan saya dimulai.
Trek pembuka “In The Horizon” yang berdurasi selama 8 menit 28 detik, membuat jari ingin segera
mengklik tombol next. Sempat terpikir ini hanya intro, tapi tidak mungkin sepanjang itu. Suara khas
Haikal baru masuk di menit kedua, hentakan drum Pratama terdengar sedikit jauh di belakang dan baru
menyusul tampil keluar ketika dipadu sayup bassline Mirfak, yang lantas bersahutan dengan melodi
yang dimaksudkan sebagai gerbang menuju trek selanjutnya.
Didahului dengan trek “Vultures”, meraung-raung berdistorsi bercerita tentang si pemakan bangkai,
dibalik sengatan matahari, mengepak sayap berputar mengelilingi kelinci. Komposisi musiknya tidak
berlebihan, juga tak kekurangan. Cukup subversif. Tetapi saya ingin yang lebih.

Sigmun terkesan lebih menitikberatkan pada pengulangan riff dengan mengurangi komposisi yang
lebih kompleks pada band-band yang hidup di era musik yang ditawarkan Sigmun. Saya tidak ingin
mencoba membanding-bandingkan Sigmun dengan Led Zeppelin, Black Sabbath, Pentagram,
Hawkwind, Motorhead, dan band-band underated lainnya yang ikut andil pada generasi kala itu—jenis
musik yang banyak menginspirasi Sigmun. Karena Sigmun ya Sigmun. Harus bangga dengan hal itu.
Disambut dengan “Devil In Disguise”, impresi awal yang sangat mencekam. It getting more dark and
darker,dude. Tetapi begitu dicermati, liriknya, penuh kemunafikan. Snake, bermuka dua, bersilat lidah,
oportunis. Tanpa mengacungkan jari dengan congkaknya menunjuk ke orang lain. Tapi berkaca pada
diri sendiri? Benarkah Sigmun merefleksikan sifat manusia dewasa ini lewat tembang
tersebut? Do you make your own judgement? Reveal yourself!
And then, “Halfglass Full of Poison”. Jujur saja, saya terhenyak (kembali). Sempat dilanda bosan yang
melanda pada trek pertama “In The Horizon”, rasa itu kembali muncul saat tiba lagu ini. Ah sial,
ternyata bodohnya saya. Terburu-buru dalam menyimpulkan, trek yang bernuansakan layaknya
perjamuan pada misa hitam untuk bersama meminum cawan penuh racun, saya terkejut dengan lirik
“just burn, burn, burn them down”. Trek ini menjadi salah satu yang difavoritkan pada album rilisan
Orange Cliff Records tersebut.
Tidak berhenti sampai situ, rasa penasaran saya dengan trek selanjutnya pasti akan dihiasi kejutan lain:
dan benar saja. Penulis ingin mengacungkan jempol dengan unsur kegelapan sampai menuju
pertengahan album ini. Seakan mencoba membangungkan sisi gelap seseorang diracuni-dipanggil-
dimunculkan-mendominasi, seiring mencermati lirik pada trek “The Summoning”.

“I Am The Omen, I Am The Horsemen / I Am The Demon Under Your Bed/ I Am The Cross That Hang
You Dead.i Am the Forbidden Apple that you tasted / I Am The Cancer growing inside your lung/ I
Am The Curses word under your tounges/ I Am The Maggot that feeds on Yur Flesh/ I am The Spear
That thrust through your chest.”
Dengan serta merta membangunkan sisi gelap seseorang (atau iblis) tersebut, saya yakin dan tersadar
bahwa hal itu ada dalam benak setiap anak Adam. “Oh Wretched Soul souls of common men, come on
now rise in my command, oh hidden desires of the innocents, come on now rise in my command, oh
evil deeds beneath the conscious, come on now rise in my command, oh hungry lust of the masses,
come on now in my command. “Iblis” ini akan terus mengganggu, selalu muncul, bernanah di hati
sampai hari penghakiman akhir.
Karakter vokal Haikal Azizi yang khas, seakan sedang menggambarkan dirinya sebagai pendeta
shaman pagan yang tengah membaca kalimat mantra, dengan backing vocal seperti sedang melakukan
ritual pemanggilan roh pada praktek ilmu hitam. Kelam. Depresif. Jahat. Entah apa jadinya, jika pilihan
saya jatuh pada magic mushroom atau LSD, mungkin tidak selesai saya mendengarkan album Crimson
Eyes ini sampai habis; bisa-bisa keburu bad trip. Anjing.
Dan hey, lompatan yang luar biasa di trek geber “The Gravestones”. Kecepatan pukulan drum, lipatan
dentuman bass berlapis, dan gitar yang cukup padat, seakan ingin keluar dari aura gelap yang terjalin
sejak awal trek pembuka. Tetapi saya dibohongi. ,Masuknya part melodi, ingin rasa diri ini keluar dari
cengkraman nuanasa gelap, karena Iblis enggan melepaskan seakan tertarik kembali ke dalam tanah
lumpur berujung taman neraka.
“Inner Sanctum” juga bercerita ajakan menyembah ‘Dia’ yang cukup ambigu. Jika diartikan ke dalam
bahasa indonesia, lore yang terdapat pada lirik di dalamnya dapat kita artikan sebagai
cerita folklore, tradisi, atau mitos. Dalam teori studi budaya suku Arab kuno, lore dapat diartikan
sebagai cerita turun temurun yang berpusar di sekitar makhluk halus bangsa jin. Trek demi trek yang
terkesan menakutkan dan seram, mulai merasuki pikiran penulis (ajig, ini mah kaya ajakan
buat nyegik entah efek dari tadi yang dimakan). Secercah sinar sedikit hadir dalam “Golden Tangerine”
yang berkisah tentang sosok perempuan—atau ibu, lebih tepatnya (ternyata serocker apapun refleksi
diri seseorang, baik musiknya, attitude–nya, tetap saja sayang Ibu. Dan ini bagus) walaupun diawali
dengan intro noise yang cukup mengganggu.
Back to Crimson Eyes. Yeah, finally two more tracks.
Nampaknya, “Aerial Chateu” menjadi nomor yang tritagonis baik dari segi good side ataupun dark
side. Semacam keputusasaan. Tidak banyak yang bisa saya tangkap. Bias. “Good or evil, well we’re
just human being afteralls”. Oh, ya, saya suka note piano terakhir dalam trek ini. Benar-benar dibuat
menggantung.
Dan yang paling terakhir, “Ozymandias”. Tepat sekali disimpan di paling belakang. Membuat kita
tersadar, kembali dari alam bawah sadar—dicecar sembilan trek sebelumnya yang terasa destruktif,
kompulsif, full of madness, dan bengis. Membungkus ego, sifat jahat, serta ambisi gelap tiap manusia
“Ozymandias” memaparkan akhir hidup yang akan terus datang menghadap kepada seseorang. Jika
berselancar sedikit kata Ozymandias di google, yang ditemukan adalah nama lain dari Ramesses
Great, Firaun ke-19 dari Dinasti Mesir Kuno. Sedangkan dalam ranah sastra, “Ozymandias” adalah
kumpulan soneta yang ditulis oleh pujangga asal Inggris, Percy Bysshee Shelley, pada 11 january 1818
berjudul The Examiner.
Tidak dapat dipungkiri (atau mungkin diamini), keberadaan substance di kalangan musisi menjadi hal
yang dekat. Bagi sebagian kalangan, hal ini menjadi kebutuhan khusus baik untuk sang penikmat
ataupun musisi terkait, untuk lebih dalam dan tinggi lagi menapaki, menghayati, memaknai, sampai
pada akhirnya menyimpulkan apakah materi tersebut layak memberikan sensasi masturbasi indera
pendengar—atau mencatut istilah jajan rock dewasa ini, membuat eargasm
Untuk review album kali ini, kuartet super freud-doom-dope-rock asal Kota Kembang, Sigmun,
merilis paket ‘substansi’ yang menghipnotis dalam sajian Crimson Eyes. Sebelas trek telah menghajar
telinga saya. Lantas jika boleh jujur, mendengarkan album ini dalam keadaan sadar malah terasa
kurang gereget. Karena memang sudah menjadi kebiasaan mungkin, setiap lagu dengan length-
length yang lumayan panjang, gazing, psikedelik, ambient dsb, butuh ritual-ritual khusus penambah
daya gedor: bisa dalam bentuk cairan yang tertuang dalam gelas, kertas 1-inch yang terselip di rongga
mulut, atau apapun itu yang dapat membantu mengakomodir imaji sureal menjadi lebih tajam. Asal
jangan lem:.kurang fancy, kurang nendang, kurang modal!
***

Garis besarnya, Crimson Eyes yang sculptured cover depannya dikerjakan oleh gitaris Crayola Eyes,
Kendra Ahimsa, juga lewat tangan dingin seorang Adhit Android sebagai executive produser, cukup
mumpuni dan mengalami peningkatan dari segi kualitas sounds dan rekamannya. Hanya saja, bagi
yang baru mengenal dan ingin menikmati musik khas dari Sigmun, ada baiknya mendengarkan terlebih
dahulu dua mini album awal. Land Of The Living Dead EP (2011) dan Cerebro EP (2013) agar tidak
bingung dan misintrepeted ketika menikmati album terbarunya. Secara musikal sendiri, tipikal Sigmun
memang berubah drastis; Haikal, Andika, Mirfak, dan Pratama menginginkan level yang berbeda; dan
jelas hal itu terealisasikan secara matang; meskipun minus length panjang, karakter vokal Haikal yang
jauh lebih lebay, dan (kembali) riff yang repetitif.
Meski begitu, Sigmun (secara teoritis) menjadikan teori alam bawah sadar (unconscious mind)
karya Sigmund Freud sebagai panutan serta acuan. Sebuah teori dasar radikal para psikoanalisis, serta
menjadi bagian penting dalam menentukan perilaku manusia. Nafsu, insting, rasa lapar, daya neurotik,
dorongan seks, berbuat jahat, sadistik, kenangan pahit, emosi, black magic, dan juga pelbagai macam
trauma kehidupan. Sebagai seniman, Sigmun mampu mewujudkan itu, walaupun manusiawi ketika
kita, penikmat, terdorong untuk mengingkari segala macam bentuk motif yang Sigmun buat
dalam Crimson Eyes.
Tracklist Crimson Eyes – Sigmun.
1. In the horizon
2. Vultures
3. Devil In Disguise
4. Halfglass Full Of Poison
5. The Summoning
6. The Gravestones
7. Prayer Of Tempest
8. Inner Sanctum
9. Golden Tangerine
10. Aerial Chateu
11. Ozymandias
*Penulis adalah seorang music enthusiast yang iseng jadi jurnalis musik.
Foto: Net
https://www.surnalisme.com/rilisan/sigmun-crimson-eyes-2015/

Anda mungkin juga menyukai