Anda di halaman 1dari 6

PUNO, KALI, DAN CERITA YANG MEMBUAT SAYA MENGINGAT PANTAI

TEMPAT BERMAIN DI MASA KECIL

Malam itu, 15 Desember 2023, dengan penuh antusias saya menapaki tangga, memasuki
lobi Laboratorium ISI Jogja, di Sewon, Bantul. Instalasi rumah-rumah pohon beserta aneka
boneka berukuran kecil dan besar sudah tersedia di sana, seolah menyambut tamu yang
masuk. Cahaya kuning temaram membuat suasana terasa hangat, meski banyak tubuh
saling berdesakan diiringi suara saling sapa di sana-sini.

Setelah agak lama memperhatikan instalasi tersebut, saya bergerak menjumpai beberapa
kenalan, menyapa satu dua orang lalu memilih melipir ke pinggir ruangan sambil menunggu
pintu gedung pertunjukan dibuka. Antusiasme saya semata-mata terarah pada pertunjukan
berjudul Stream of Memory, salah satu karya termutakhir Papermoon Puppet Theatre
(selanjutnya disingkat Papermoon) yang bakal saya tonton.

Papermoon adalah salah satu yang bikin saya jatuh cinta pada teater. Saya masih bisa
mengingat perasaan selepas menonton Puno, Letter to The Sky (selanjutnya disingkat
Puno), salah satu pertunjukan mereka yang dipentaskan di LIP Bandung, 2018 silam. Saya
tak pernah merasa rugi membayar tiket pertunjukan yang kala itu boleh dibilang mahal untuk
ukuran anak magang di galeri seni dengan stipendium pas-pasan.

Puno bercerita tentang hubungan kasih sayang antara seorang anak perempuan bernama
Tala dengan ayah sekaligus keluarga satu-satunya, yang ia panggil Papa Puno. Di awal,
pertunjukan menghadirkan keakraban hubungan ayah anak ini. Pada bagian selanjutnya,
Tala harus rela melepas kepergian sang ayah yang dipanggil Tuhan. Untuk mengobati
kerinduannya, Tala menulis surat-surat dalam bentuk perahu kertas, melarungkan perahu itu
dan berharap pesan-pesannya sampai ke surga.

Puno menyoal kembali ‘kehilangan’ lewat kisah yang sederhana tetapi penuh misteri dan
dialami semua orang. Puno bisa begitu menyentuh karena pertunjukan ini mampu
menghadirkan adegan di atas panggung dengan intensitas yang begitu kuat sehingga
siapapun bisa berempati dan kemudian bercermin pada kisah ini.

Saya punya ekspektasi besar, bakal mengalami pengalaman serupa di pertunjukan Stream
of Memory. Tak masalah bagi saya, menempuh perjalanan udara dan darat selama lebih
dari 12 jam untuk memenuhi undangan dan kembali menyaksikan kejutan-kejutan dari
Papermoon.

Cerita yang Sederhana, Artistik yang Khas

Ketika saya masuk, aktivitas di atas panggung sudah berlangsung. Beberapa aktor seperti
terlihat memancing di sekitaran area delta, salah satu area penonton yang terletak di
panggung pertunjukan. Aktivitas itu berlangsung khusuk tetapi santai. Senda gurau
terdengar dari arah panggung. Ada jeda sekitar 15 menit dari awal saya masuk sampai
dengan sambutan sutradara yang menyapa hadirin dan membuka pertunjukan. Saya
memperhatikan plafon gedung yang berwarna putih. Plafon itu memantulkan cahaya dari
panggung ke seluruh ruangan. Kadarnya semakin tinggi ketika pertunjukan berlangsung dan
cahaya di panggung makin terang. Hal ini cukup mengganggu pandangan mata. Ketika
pertunjukan dimulai, saya berusaha mengabaikan gangguan ini dan menyaksikan dengan
seksama adegan-adegan di atas panggung.

Meski saya tahu pertunjukan ini bakal menggabungkan teater, tari, seni rupa, musik, dan
media baru, kemunculan tari di awal pertunjukan bagi saya adalah sesuatu yang
spektakuler. Tari yang dibawakan tidak berusaha menghadirkan seluruh tubuh penari. Meski
keseluruhan tubuh penari adalah bahasa, ia bukanlah kalimat utama yang ingin
disampaikan. Dengan seluruh tubuh dan gerak yang berlangsung dalam gelap, para penari
berusaha menghadirkan setitik kecil cahaya dengan ekor yang menari-nari, seperti kunang-
kunang di malam gelap. Jika itu di dalam air, ia seperti berudu-berudu bercahaya pada
ekornya, yang berenang meliuk-liuk di aliran arus sungai. Seluruh tubuh penari ‘melayani’
titik cahaya ini, dengan intensitas dan dinamika yang kuat juga beragam, menghadirkan
pengalaman yang sangat puitis.

Di sela-sela koreografi tersebut, muncul sosok Kali, boneka raksasa setinggi 3,5 meter. Ia
hadir tidak dalam bentuk utuh tetapi siluet-siluet berbias cahaya lampu dan mapping dari
proyektor. Ia seperti silau, kagok oleh makhluk-makhluk seperti berudu tadi. Muncul
sebentar, seperti pelarian yang berhasil disorot lampu helikopter pengejarnya, Kali lalu
lenyap. Ia hilang dalam kegelapan. Kemunculan Kali di awal tentu bikin penasaran. Karena
ia hadir dengan cara yang begitu indah, juga karena penonton tak tahu, cerita apa yang
akan menggerakkan petualangan selanjutnya.

Kekuatan Papermoon untuk saya terletak pada craftsmanship yang jitu dalam membangun
setting dan elemen-elemen artistik pendukungnya. Boneka-boneka mereka begitu punya
karakter. Unsur material dalam pembentukan boneka, mulai dari pilihan bahan untuk rangka,
kulit, dan teknik memainkannya sungguh-sungguh memperhitungkan efek estetika yang
kuat. Set bisa diubah-ubah menjadi beberapa bentuk visual. Satu properti bisa jadi sampan,
bisa jadi meja, bisa jadi rumah, bisa jadi jembatan. Pilihan lampu dan musik latar pun amat
teliti dalam membangun emosi dan suasana, memperkuat adegan para aktor yang
menghidupkan boneka-boneka. Mapping maupun teknik-teknik bayangan tidak saling
meniadakan tetapi sama-sama membangun lanskap yang membuka wawasan penonton.
Panggung disulap menjadi dunia imaji yang membentuk ruang bagi guliran peristiwa-
peristiwa dalam cerita.

Artistik yang dibuat dengan teliti ini mendukung cerita yang umumnya berangkat dari premis-
premis yang sederhana. Stream of Memory berkisah tentang Sang, Jun, dan Kali. Sang dan
Jun adalah dua orang sahabat yang sehari-hari menghabiskan waktu bermain di pinggir
sungai. Sang dan Jun ditampilkan sebagai dua boneka kecil yang luwes dan ceria. Suatu
ketika, badai dengan arus besar sungai menghanyutkan Sang. Di tengah situasi sakaratul,
Sang bertemu Kali yang menjadi metafora dari sungai itu sendiri. Kali membawa Sang
berjumpa dengan satwa-satwa purba dan makhluk-makhluk mistikal yang hidup bersama
dengan Kali dalam dunianya. Dibantu oleh teman-teman barunya itu, Sang akhirnya bisa
melalui badai, menemukan jalan pulang, dan kembali ke desa. Di sana, ia berjumpa kembali
dengan Jun dan penduduk-penduduk desa yang telah cemas juga gelisah mencari dengan
rakit-rakit pun sampan-sampan.

Kemunculan Kali dalam pertunjukan ini adalah momen yang menarik. Ia muncul dari
belakang layar yang terangkat. Sosok besar itu disorot oleh lampu kuning dari balik
tubuhnya. Asap mengepul memberi efek magis. Langkah berat boneka tersebut diiringi
musik latar yang begitu dramatis. Kali merangkul Sang yang hanyut. Mendekap dan
menggendongnya seperti seorang kakek menggendong cucunya dengan penuh cinta.

Momen hanyutnya Sang mengingatkan saya pada adegan sakaratul maut Papa Puno.
Diiringi musik yang melankolis dan cahaya yang sendu, tubuh Papa Puno melayang-layang,
dibayang-bayangi oleh sosok seperti malaikat-malaikat kecil bertubuh tambun serupa hantu-
hantu di film Casper. Adegan melayang diulang dengan tempo dan dinamika yang berubah-
ubah. Bayang-bayang juga terus bergerak, berganti dinamika dan tempo. Musik terus
mengalun, membangkitkan teror auditif yang turut mengubah suasana hati. Ada perasaan
sedih, ada keindahan yang perih, juga cermin besar yang memaksa saya mau tak mau
menelusuri kembali kehilangan dan kekosongan yang mungkin saya alami.

Dalam konteks Stream of Memory, cerita mengalir pada kenyataan bahwa masih ada
banyak kasus pengrusakan alam yang sebenarnya adalah bagian tidak terpisahkan dari
kehidupan manusia. Gajah yang diburu, badai yang melanda desa, hutan yang terbakar
adalah sedikit dari kasus-kasus umum dan biasa yang bisa dipakai untuk melihat kenyataan
krisis ekologi yang genting dan punya efek jangka panjang.

Saya ingin menunjuk bagaimana peristiwa yang kerap dilihat lazim itu coba diselami lebih
dalam dan dihadirkan ulang dengan memanfaatkan elemen-elemen artistik yang tersedia.
Momen sakaratul maut tidak dilihat secara fisik belaka, tetapi ditimbang unsur psikologis dan
spiritualnya, sehingga yang berusaha dihadirkan adalah tak semata hal-hal lahiriah tetapi
juga dinamika batin, sekelumit epistemologi, dan jejaring masalah dari peristiwa tertentu.
Stilisasi pada adegan-adegan membuat pernyataan-pernyataan yang ingin disampaikan
menjadi asing tetapi pada saat yang bersamaan terasa dekat. Kali yang murung adalah
gambaran dari duka ekologis yang sedang jadi isu besar seluruh makhluk di dunia.

Perihal kesederhanaan dan keindahan ini, saya mengingat puisi Sapardi Djoko Damono
yang kerap disalahtafsirkan: Aku ingin mencintaimu dengan sederhana/dengan kata yang
tak sempat diucapkan/kayu kepada api yang menjadikannya abu. Kesederhanaan cerita
dalam pertunjukan Papermoon menuntut presentasi yang kuat ditopang oleh komposisi
elemen-elemen artistik yang rumit dan teliti. Cerita yang sederhana bisa jadi adalah
kegetiran yang ajaib sebab melampaui serba kemungkinan.

Panggung dan Lapis-lapis Kepenontonan

Sebagai undangan, saya diberikan kursi di area A. Nomor kursi saya P27, tepat di ujung
kanan, dipisahkan oleh lorong dengan area B. Di belakang saya masih ada sekitar tiga atau
empat kursi, saya lupa persisnya. Di benak saya, ini posisi yang ideal untuk menonton.
Sebab pandangan mata saya bisa menjangkau keseluruhan panggung dan menangkap
adegan dalam sudut pandang yang luas.

Untuk lebih rinci, mesti saya jelaskan. Penonton Stream of Memory dibagi ke dalam tujuh
area. Ada area Delta yang terletak di sekitaran panggung, hampir menyatu dengan area
pertunjukan. Area yang lain terletak di tribun penonton, masing-masing ditandai dengan
abjad A-B untuk level tengah yang simetris dengan panggung, C-D untuk level atas yang
juga simetris dengan panggung, dan E-F yang ada di sisi kiri dan kanan level tengah dan
atas tribun penonton. Area E-F ini agak menyamping dan tak terlalu simetris dengan
panggung.

Hal yang menurut saya paling jadi soal adalah perkara intensitas dan proyeksi pertunjukan
di atas panggung terhadap penonton. Dari bangku tempat saya duduk, saya seperti melihat
lapisan-lapisan kepenontonan. Saya merasa seperti sedang menonton orang menonton
pertunjukan teater. Ini pertama-tama muncul ketika saya harus menunggu sambil
menyaksikan peristiwa di area Delta sebelum pertunjukan dimulai.

Dalam banyak adegan setelahnya, misalnya ketika dua tokoh boneka bermain-main di
dermaga, saya tidak merasakan proyeksi kehadiran mereka tertuju pada penonton di area
yang saya tempati. Interaksi keduanya seolah pertama-tama ditujukan pada penonton di
area Delta. Ukuran boneka yang kecil dan komunikasi verbal yang nihil juga membuat saya
kesulitan mengalami adegan yang berlangsung di atas panggung. Sehingga sekali lagi, saya
seperti mengintip dari jauh orang menonton pertunjukan teater.

Upaya para aktor menghadirkan suara kedua boneka yang sedang bercakap lewat gumam
agak mengganggu saya. Terutama karena itu berlangsung dalam durasi yang cukup lama
dan berulang. Jika pertunjukan ini sedari awal meniatkan ketidakhadiran percakapan verbal
melalui vokal, saya kira pilihan bercakap melalui gumam punya masalah. Sebab gumam
adalah upaya berbahasa yang paling sederhana yang sebenarnya adalah cara berbahasa
itu sendiri. Sialnya, asosiasi saya pada cara berbahasa seperti itu hanya tertuju pada
makhluk-makhluk primitif atau anak kecil yang baru belajar berbahasa. Seperti
mengeskalasi proyeksi adegan yang tidak dapat saya alami secara visual, suara-suara ini
terasa mengganggu karena saya jadinya semakin tidak bisa memahami dan mengalami
peristiwa yang sedang terjadi di atas panggung.

Saya kembali merujuk pada Puno. Untuk saya, salah satu keberhasilan pertunjukan ini
adalah kemampuan para aktor dalam menghadirkan karakter para tokoh dan kemudian
cerita lewat pengelolaan ruang dengan proyeksi yang terasa dekat juga personal.

Sebenarnya, di beberapa bagian adegan Puno, para aktor juga menghadirkan bahasa
gumam, tetapi dalam intensitas dan durasi yang untuk saya proporsional. Yang juga menarik
adalah kemampuan aktor memainkan beberapa layer peran, sebagai Tala atau Puno yang
karakter-karakternya melekat pada boneka dan sebagai aktor tanpa nama yang menjadi
teman ngobrol kedua tokoh boneka ini. Aktor seolah hilang karena ia dituntut untuk
memainkan karakter boneka sebagai perpanjangan dirinya (self extend). Namun, ia juga
bisa saja hadir memainkan peran tertentu sebagai aktor di luar karakter boneka. Untuk saya,
transisi keluar-masuk ini adalah keterampilan tersendiri yang dikelola dengan sangat
terampil dan profesional.

Para aktor juga terasa leluasa mengelola ruangan, sehingga boneka seolah bisa muncul
dari mana saja. Ia bisa dari tengah-tengah penonton. Ia bisa tiba-tiba berada di depan
penonton. Elemen artistik yang tersebar hampir di seluruh ruang pertunjukan juga jadi unsur
yang amat menentukan. Siluet-siluet serta bayangan-bayangan yang rasanya sederhana
tetapi dekat dengan asosiasi penonton dan instrumentalia yang penuh dinamika turut
membangun imajinasi penonton.
Saya ingat, bagaimana perahu-perahu kertas seperti turun dari atas langit dan tiba-tiba saja
ada di hadapan penonton. Kita bisa membaca harapan dan doa dari banyak orang untuk
yang mereka kasihi lewat tulisan-tulisan di badan perahu kertas. Penonton diminta turut
menuliskan doa-doa dan harapan mereka terhadap orang yang mereka cintai, yang telah
lebih dahulu berpulang atau terpisah jarak dan waktu dari mereka. Meski berlangsung di
akhir, untuk saya adegan ini jadi penutup yang amat personal. Ia meminta interaksi dan
partisipasi yang nyata dengan penonton yang pasti punya pengalaman yang kurang lebih
bertaut dengan cerita di panggung. Tala yang kehilangan, adalah kita yang juga turut
dibentuk oleh kekosongan-kekosongan.

Saya, sayangnya tak mengalami intensitas keintiman yang sama dengan yang muncul pada
pertunjukan Puno ketika saya menyaksikan Stream of Memory. Saya kira faktor pengelolaan
ruang pertunjukan dan strategi pemanggungan yang jadi salah satu kekuatan dari
pertunjukan-pertunjukan Papermoon perlu terus-menerus dinegosiasi seturut konteks dan
situasi.

Mari Kita Tak Lagi Memunggungi Sungai (Laut)

Di area instalasi, di lobi Laboratorium ISI, perhatian saya tercuri oleh Kali yang membiaskan
bayangan di plafon gedung berwarna putih. Kali berparas sendu. Bayangannya
memproyeksikan gelap pada ruangan di baliknya, membuat kontras dengan kehangatan
yang ada di area depan. Ia seperti seorang tua yang sedang memikirkan sesuatu.
Sementara gelap membayang dari belakang. Perasaan ini buat bulu-bulu telinga saya
terasa sedikit merinding.

Jika Kali adalah metafora atas sungai dan pertunjukan Stream of Memory ingin
menampilkannya sebagai the forgotten giant, maka pertunjukan ini sedang melakukan
pembacaan kembali orientasi spasial dan teritorial kita, dalam konteks negara bangsa
modern maupun hidup bersama sehari-hari sebagai manusia berbudaya.

Saya tak akrab dengan sungai. Sebagai anak yang lahir dan besar di pinggiran kota
Maumere dan bisa melihat laut dari teras rumah, saya mengalami Kali sebagai laut.
Sebagaimana sungai, laut adalah entitas yang terus dipunggungi, dilupakan dalam waktu
yang terbilang lama. Laut dan sungai kini kerap dimaknai sebatas area belakang rumah,
tempat saluran limbah-limbah rumah tangga tertuju, diabaikan, dilupakan.

Saya kira, Kali ingin menyanyikan lagi ‘nenek moyangku seorang pelaut’ sembari
membayangkan kembali bagaimana sungai dan laut menjadikan nusantara sebuah wilayah
terbuka, area pertemuan, medan interaksi dan kontestasi budaya serta peradaban. Kali
mendorong penonton untuk melihat lagi Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar,
sebuah medan persilangan keberagaman. Sungai dan laut sudah barang tentu turut
membentuk karakter nusantara, indus dan nesos yang belakangan jarang dimaknai secara
radikal.

Kolonialisme Eropa seolah menggambar garis batas negara bangsa modern di mana-mana,
di atas lautan (samudra), di atas tanah, di tengah-tengah hutan. Teritori negara bangsa
modern seolah memisahkan wilayah-wilayah, menanamkan epistemologi daratan yang
berpusat pada penguasaan atas tanah, menjadikan tanah dan ekstraksi atas sumber daya
alam sebagai infrastruktur paling utama dari setiap gerak laju pembangunan. Jika sungai
adalah unsur penting dalam membentuk peradaban menetap, maka laut adalah jembatan
penghubung supaya manusia tidak menjadi fanatik pada zona nyamannya dan semata-mata
berorientasi pada akumulasi modal.

Sungai dan laut adalah ‘pernyataan’ alamiah bahwa kesejahteraan suatu bangsa adalah
bagian dari kesejahteraan suatu kawasan yang terhubung dengannya. Ini seiring dengan
upaya-upaya menumbuhkan kembali perspektif kawasan, misalnya di kalangan negara-
negara global selatan atau Asia-Pasifik dalam berbagai gerakan sipil maupun politis dan
ketika solidaritas rasa-rasanya amat dibutuhkan untuk meredam arus besar neokolonialisme
yang muncul tak malu-malu, didukung oleh negara-negara kapitalis Barat.

Melihat Kali, saya juga membayangkan masa kecil yang bahagia, bermain sepak bola di
pesisir pantai yang saat pasang surut, luasnya bisa jadi dua kali stadion San Siro. Dalam
waktu tak sampai sepuluh tahun, lapangan sepak bola itu berubah menjadi turap-turap dan
tembok-tembok pemecah gelombang. Abrasi datang tanpa permisi. Tiap musim barat tiba
dan ketika ia selesai, pasti ada lahan yang hilang. Berubah menjadi laut atau mau tak mau
dipagari dinding pembatas. Ponakan-ponakan saya yang lahir di tahun 2000 dan setelahnya
tak pernah punya imajinasi soal pertandingan-pertandingan sepak bola kami yang penuh
drama dan intrik. Yang tak jarang selesai bukan karena bunyi peluit akhir pertandingan
tetapi karena sudah ada yang baku pukul.

Saya mungkin tidak perlu menjelaskan sekian banyak persoalan ekologi yang krusial dalam
beberapa waktu terakhir. Kita, masing-masing, hidup dalam krisis itu, dalam berbagai bentuk
yang nyata dan dekat: udara panas menyengat yang tak masuk akal, curah hujan yang
minim, banjir bandang, abrasi, gagal panen, sampah yang merusak laut dan hal-hal lainnya.
Yang untuk saya penting saat-saat ini adalah kesadaran bahwa ekologi adalah bagian
sentral dari hidup manusia. Berpikir ekologis berarti tak hanya berpikir tentang diri sendiri
tetapi juga tentang yang lain, tentang yang hidup bersama di dunia yang terus berubah
dengan begitu cepatnya.

Gunung, laut, batu, hutan, dan seluruh entitas yang ada di alam adalah referensi material
dari kebudayaan, dari rasa-merasa dan pengetahuan yang ikut serta memandu laku hidup
manusia. Kehancuran alam adalah kehancuran ruang hidup manusia, kehancuran
kebudayaan, arsip, dan ingatan manusia-manusia, yang juga berarti kehancuran manusia-
manusia itu sendiri.

Kali, raksasa yang terlupakan itu adalah ingatan dan peringatan. Ia ada, hadir begitu nyata
dan jelas, dialami dan terjangkau oleh kita semua. Ia sedang sekarat. Berhenti
memunggungi dirinya. Lakukan sesuatu untuk hidup kita bersama.

Anda mungkin juga menyukai