Anda di halaman 1dari 98

Kumpulan

Cerita Wayang

Bram Palgunadi
MENGENAL KEMBALI PAGELARAN WAYANG KULIT
PURWA
Bram Palgunadi
11 Desember 2012 pukul 9:44 ·

Pagelaran wayang kulit purwa yang semarak dan sesekali juga mencekam, merupakan salah satu
daya tarik. Tetapi pagelaran wayang kulit purwa masa sekarang, banyak yang melenceng jauh dari
hakikatnya sebagai pagelaran wayang. Lalu 'digantikan' menjadi pagelaran lainnya, seperti
campursari, dhang-dhutan, lawak, dan bahkan pagelaran wayangnya sendiri pelan-pelan tapi pasti,
lalu berubah mengkerdil menjadi sekedar 'pelengkap penderita'. Pagelaran wayang lalu kehilangan
peran dan fungsinya sebagai media untuk merenungkan hikmah kehidupan. Seperti tampak pada
gambar di atas, pagelaran wayang kulit purwa berubah menjadi 'pagelaran pesindhen'; dan sederet
pesindhen ini lalu dipajang, maaf, seperti layaknya barang dagangan.

Saat pertama kali mendengar kata „wayangan‟ atau „karawitan wayangan‟,


kebanyakan orang berpikir, ini merupakan suatu pagelaran yang rumit, sukar,
penuh ritual, mistis, dan memerlukan keterampilan dan pengalaman luar biasa
untuk bisa memainkannya. Ini merupakan pandangan umum, yang lazim kita
temukan pada kebanyakan orang di kalangan masyarakat awam. Benarkah
demikian?
Sebagian dari pendapat ini, harus diakui saja, memang benar. Tetapi, ada
sejumlah besar hal, yang mungkin saja tidak diketahui khalayak ramai, yang
sebenarnya mencerminkan bahwa memainkan wayang kulit, khususnya wayang
kulit purwa tidaklah seseram dan sesukar yang dibayangkan orang. Misalnya,
adanya pandangan di kalangan masyarakat luas, bahwa gendhing-gendhing
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 2
pengiring pagelaran wayangan, merupakan iringan yang maha sukar, dan
karenanya lalu memerlukan keterampilan, kemampuan khusus, pemahaman,
dan bahkan pengetahuan khusus; untuk bisa menjalankannya. Pandangan ini,
tentu saja berakibat timbulnya pendapat, bahwa pagelaran wayang kulit purwa
merupakan pagelaran yang maha sukar, dan karenanya lalu memerlukan
„orangorang pilihan dengan kemampuan dan keahlian khusus‟. Pendapat inilah
yang hendak „dibalikkan‟. Karena nyatanya, sebuah pagelaran wayang kulit
purwa tidaklah selalu merupakan suatu pagelaran yang maha sukar. Jadi,
pertanyaannya, sebenarnya apa saja yang merupakan „kebutuhan minimal‟
(minimum requirement) untuk bisa melaksanakan suatu pagelaran wayang kulit
purwa? Di bawah ini, dijelaskan secara singkat jawabnya. Juga termasuk
berbagai renik-renik yang merupakan kekhasan pagelaran wayang kulit purwa.

Gendhing pengiring suatu pagelaran wayang kulit purwa


Pagelaran wayang kulit purwa memerlukan sejumlah rangkaian gendhing
sebagai pengiring seluruh pagelaran. Dalam hal ini, kebutuhan minimal jenis
gendhing yang harus dikuasai, dan sedapat-dapatnya dihafalkan; adalah: 1)
ladrang, 2) ketawang, 3) lancaran, 4) ayak-ayak, 5) srepegan, dan 6) sampak.
Meskipun demikian, keenam jenis gendhing ini, bisa diperas menjadi tiga jenis
gendhing, yakni 1) ayak-ayak, 2) srepegan, dan 3) sampak. Karena suatu
pagelaran wayang kulit purwa lazimnya dibagi atas tiga babak besar atau tiga
pathet; yaitu 1) babak pathet nem, 2) babak pathet sanga, dan 3) babak pathet
manyura; maka diperlukan sekurang-kurangnya tiga ayak-ayak, tiga srepegan,
dan tiga sampak; masing-masing untuk memenuhi keperluan iringan untuk
ketiga babak pagelaran wayang kulit purwa, yaitu pathet nem, pathet sanga, dan
pathet manyura. Jadi ringkasnya, diperlukan penguasaan atas 3 × 3 gendhing =
9 gendhing.
Gendhing-gendhing utama yang harus dikuasai untuk bisa melakukan pagelaran
wayang kulit purwa, adalah ayak-ayak, srepegan, dan sampak. Menggunakan
ketiga jenis gendhing ini, seluruh pagelaran wayang kulit purwa sudah bisa
dilaksanakan. Karena, pagelaran wayang kulit purwa terdiri dari tiga babak
(pathet), maka jenis gendhing yang harus dikuasai adalah sebagai berikut.

a) Iringan minimum untuk babak pathet nem, adalah: gendhing ayakayak


nem, srepegan nem, dan sampak nem.
b) Iringan minimum untuk babak pathet sanga, adalah: gendhing
ayakayak sanga, srepegan sanga, dan sampak sanga.
c) Iringan minimum untuk babak pathet manyura, adalah: gendhing
ayak-ayak manyura, srepegan manyura, dan sampak manyura.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 3


Jadi, kebutuhan minimum (dan bersifat wajib) untuk bisa mengiring suatu
pagelaran wayang kulit purwa yang lengkap, sebenarnya hanyalah sembilan
gendhing, yakni terdiri atas tiga gendhing yang berbeda untuk tiga pathet yang
berbeda. Ya, hanya itu!
Di luar kesembilan gendhing tersebut di atas, karena merupakan pagelaran
wayang kulit purwa, maka haruslah dilengkapi dengan permainan Gendhing
Talu Wayangan, yang juga dalam kondisi „minimum requirement‟.

Tangga-nada yang digunakan


Secara tradisional, suatu pagelaran wayang kulit purwa diiringi memakai
gendhing-gendhing „laras slendro‟ (bertangga-nada slendro). Bahkan, di masa
lampau, suatu pagelaran wayang kulit purwa hanya diiringi gendhing-gendhing
laras slendro.[1] Karena itulah penyebutan babak (pathet) yang digunakan pada
pagelaran wayang kulit purwa, mengacu pada penyebutan babak (pathet) laras
slendro; yaitu pathet nem, pathet sanga, dan pathet manyura. Adapun iringan
gamelan laras pelog, secara tradisional dulunya dipakai untuk mengiringi
pagelaran wayang kulit madya,[2] wayang gedhog, dan wayang beber. Namun,
perubahan jaman rupanya besar pengaruhnya juga. Karenanya, pada jaman
sekarang, pagelaran wayang kulit purwa umumnya menggunakan seperangkat
gamelan laras slendro dan laras pelog. Meskipun demikian, penggunakan
gendhing laras slendro, tetap sangat dominan dan merupakan mayoritas. Dalam
pemahaman ini, pemakaian gendhing laras pelog pada suatu pagelaran wayang
kulit purwa, dapatlah dikatakan hanya sebagai sisipan atau pelengkap semata.

Total theater
Pagelaran wayang kulit purwa, merupakan suatu pagelaran „total theater‟, yang
amat sangat berbeda dengan pertunjukan barat (Eropa). Pada pagelaran wayang
kulit purwa, penonton berada di dua sisi panggung pagelaran, yakni di depan
dan belakang; atau berada di depan dan belakang layar wayang. Selain itu,
seluruh unsur yang ada di sekeliling dan di sekitar panggung pagelaran,
merupakan bagian dari pagelaran wayang. Karena karakternya yang seperti itu,
maka seluruh penonton, pemain, dan bahkan orang-orang yang berada di sekitar
tempat pagelaran (misalnya orang-orang yang berjualan makanan, minuman,
mainan anak-anak, cindera-mata, atau lainnya), termasuk seluruh
lingkungannya; merupakan bagian langsung dari pertunjukannya.
Karena hal ini pula, maka penerapan „duduk lesehan‟ menggunakan tikar
(bukan kursi), merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi, guna
membangun suasana total theater dan juga suasana tradisional. Suasana total
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 4
theater ini akan semakin nyata, jika pagelaran dilakukan di tempat terbuka yang
dilengkapi „tarub‟ atau di pendhapa. Pagelaran yang bersifat „total theater‟,
menghasilkan suasana tidak formal, semarak, menyenangkan, penuh
kebersamaan, bebas, dan santai (relax); dengan berbagai aktifitas lainnya
berlangsung bersama-sama pagelaran wayang. Termasuk kegiatan makan,
minum, berbincang, dan bahkan tidur.

Karakter garap gendhing dan karawitan wayangan pada pagelaran wayang


kulit purwa
Garap gendhing pada suatu pagelaran wayang kulit purwa, dapat dikatakan amat
sangat berbeda, jika dibandingkan dengan garap gendhing yang dilakukan untuk
pagelaran karawitan biasa atau iringan tari (beksan). Penjelasan selanjutnya,
menjelaskan tentang hal ini.

Diawali dengan permainan gendhing Talu wayangan


Hanya pada pagelaran wayang dimainkan rangkaian Gendhing Talu Wayangan.
Ini juga merupakan salah satu kekhasan pagelaran wayang kulit purwa.
Gendhing Talu Wayangan, dimainkan sesaat sebelum pagelaran wayang
dimulai. Gendhing Talu Wayangan, merupakan „ringkasan‟ dari seluruh
perjalanan hidup manusia sejak ia belum ada dan masih dalam bentuk mimpi
indah orang tuanya, sampai ia lahir, menjadi remaja, menjadi dewasa, dan
akhirnya kembali tiada, saat ia menghadap Sang Penguasa Jagat Raya.
Sepersekian juta dari ringkasan cerita perjalanan hidup manusia itulah, yang
nantinya akan dipagelarkan selama semalam suntuk.

Menerapkan permainan ‘kosek wayangan’


Salah satu karakter khas garap karawitan yang hanya ada di karawitan
wayangan, adalah penerapan garap „kosek wayangan‟, yang diperankan oleh
ricikan kendhang. Kekhasan garap kosek wayangan, terletak pada pengaturan
kecepatan irama/laya yang relatif lebih cepat daripada laya tamban, tetapi
berada di bawah laya sesegan. Dalam beberapa hal, laya ini sering
disalahartikan dan di sebut sebagai irama/laya tanggung. Sebenarnya,
laya/irama kosek wayangan bukanlah laya/irama tanggung. Karena sebutan
„kosek wayangan‟ tidak hanya berkait erat dengan kecepatan permainan
(irama/laya), melainkan dengan pola permainan kendhang yang sangat khas,
juga digunakannya „kecer wayang‟ dan eksploitasi suara „keplok‟ para
pradangga. Pengaturan laya/irama permainan gendhing wayang, menerapkan
„irama kosek‟ yang sangat khas wayangan.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 5


Secara ringkas, irama kosek adalah suatu garap gendhing yang menerapkan
kecepatan (laya/irama) tertentu sedemikian rupa, sehingga selama
permainannya, gendhing dapat dilengkapi permainan irama „keplok‟ (tepukan
tangan) atau „kecer‟. Laya/irama kosek, merupakan suatu laya/irama yang
berada di antara irama/laya seseg dan tamban (lambat). Indikasi bahwa irama
kosek sudah tepat penerapannya, adalah saat dilengkapi „keplok‟ atau bunyi
„kecer‟, pradangga-nya merasa nyaman dan enak terdengar di telinga.
Kecepatan laya/irama kosek wayangan, kira-kira setara dengan irama/laya
ciblon, dengan dominasi suara permainan kendhang yang sangat khas.

Memakai ‘kecer wayang’ dan ‘keplok’ sepanjang malam


„Kecer wayang‟ merupakan salah satu ricikan gamelan yang umumnya hanya
digunakan pada pagelaran wayangan, dan berperan sebagai kelengkapan
permainan yang menerapkan laya/irama kosek wayangan. Kecer wayang
seringkali juga dilengkapi dengan „keplok‟. Dalam sejumlah kasus, „keplok‟
sering menggantikan peran kecer wayang. Misalnya, jika ricikan kecer wayang
tidak tersedia pada gamelan yang digunakan sebagai pengiring pagelaran
wayang. Penggunaan kecer wayang dan/atau keplok, lazimnya dimainkan para
pradangga hampir di seluruh waktu pagelaran yang menerapkan pola permainan
„kosek wayangan‟ dan „ciblon‟; kecuali pada laya/irama tamban, saat sirep,
janturan, sampak; dan pada garap yang berhubungan dengan „tlutur‟ serta
ketawang.

Rangkaian gendhing yang berubah-ubah secara dinamis


Tidak seperti pada pagelaran karawitan biasa, yang lazimnya menerapkan
rangkaian gendhing yang teratur dan menerapkan irama/laya yang umumnya
tamban. Rangkaian gendhing yang dipakai untuk mengiringi pagelaran wayang
kulit purwa lazimnya menyesuaikan diri dengan keperluan pagelaran. Termasuk
dimungkinkan mengganti, menghentikan, atau memindahkan gendhing ke
gendhing lainnya secara tiba-tiba. Dalam sejumlah hal, perpindahan atau
pergantian gendhing bahkan dimungkinkan dan boleh dilakukan, meskipun
gendhing yang sedang dimainkan belum selesai (belum mencapai akhir
permainan atau belum sampai pada gong).

Keprak dan gedhog dhalang sebagai pemberi aba-aba utama Pada


pagelaran karawitan, hampir seluruh aba-aba diberikan oleh ricikan
kendhang. Sebaliknya, pada pagelaran wayang kulit purwa, „gedhog‟
dan „keprak‟ memegang peran yang amat sangat dominan, utamanya
dalam hal sebagai pemberi aba-aba dan perintah tertentu. Sejumlah tanda
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 6
atau aba-aba yang diberikan menggunakan gedhog atau keprak,
lazimnya merupakan bagian awal dari tanda atau aba-aba yang diberikan
oleh kendhang. Dalam pengertian ini, hampir semua tanda atau aba-aba
yang diberikan oleh kendhang, bisa dilakukan dan digantikan perannya
oleh gedhog dan keprak; termasuk pengaturan irama/laya, pengaturan
kecepatan permainan, tanda berhenti, tanda perpindahan, tanda mulai
memainkan, tanda menghentikan permainan, tanda mengubah pola
permainan karawitan menjadi irama rangkep atau sebaliknya, tanda
pembicaraan/dialog selesai, tanda sirepan selesai, tanda meminta
sesegan, tanda selesai janturan, tanda penghentian dalam pola sesegan
atau gropak, tanda mengubah pola permainan menjadi kebar atau kiprah,
dan sebagainya.
Tanda atau aba-aba yang merupakan penggalan atau potongan tanda atau abaaba
yang diberikan kendhang, lazimnya merupakan bagian depan tanda atau aba-aba
kendhang. Dalam sejumlah kasus, tanda atau aba-aba berupa suara gendhog
dan/atau keprak, bisa juga dilengkapi dengan suara/vokal dhalang, yang
lazimnya dalam bentuk „kombangan‟.

Sesegan dan sirepan


Hanya di pagelaran wayang ada penerapan pola sesegan dan sirepan pada garap
karawitannya. Sesegan, lazimnya digunakan sebagai pertanda sudah selesainya
penataan wayang di layar (geber), dan akan segera dilanjutkan dengan
„janturan‟, yang lazimnya merupakan narasi dhalang yang menceritakan
sesuatu suasana, kondisi, atau cerita. Janturan dilaksanakan setelah silakukan
sirepan.

Suwuk sesegan atau suwuk gropak


Adalah pola penghentian permainan gendhing yang dilakukan dalam kecepatan
tinggi, menerapkan tabuh sora (gamelan dibunyikan atau ditabuh sangat keras),
serta penghentian yang dilakukan secara mendadak (tiba-tiba). Pola ini,
biasanya hanya dikenal di permainan karawitan wayangan.

Garap kebar dan kiprah dengan surak dan senggakan


Garap karawitan wayangan yang menerapkan garap kebar atau kiprah, biasanya
dilengkapi dengan surak dan senggakan yang riuh; bahkan bisa saja penuh
dengan teriakan. Hal ini, hanya ada di karawitan wayangan.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 7


Garap kebar dan kiprah dalam laya/irama seseg
Garap karawitan wayangan saat kebar atau kiprah, biasanya jauh lebih cepat
laya/iramanya, jika dibandingkan dengan pada pagelaran karawitan biasa atau
jika dibandingkan dengan pada pagelaran tari (beksan).

Sirepan yang sangat tamban


Pada saat sirepan, hanya ricikan gender barung, rebab, gender panembung
(slenthem), kendhang, kethuk, kenong, kempul, dan gong; yang dimainkan
dalam irama/laya yang sangat lambat. Ricikan/instrumen lainnya tidak
dibunyikan. Seluruh ricikan yang tetap dibunyikan ini, biasanya dimainkan
dalam pola irama/laya yang relatif sangat tamban (sangat lambat). Sirepan
lazimnya diterapkan saat dhalang sedang melakukan „janturan‟.

Semua pendukung pagelaran menghadap layar wayang


Pada pelaksanaan pagelaran wayang kulit purwa tradisional, seluruh pradangga,
pesindhen, wiraswara, dan dhalang; duduk menghadap layar wayang (geber).
Pertimbangan utamanya adalah, bahwa ini merupakan pagelaran wayang kulit
purwa, dan sama sekali bukan pagelaran sindhen, wiraswara, pradangga, atau
lainnya.

Dhalang adalah tokoh sentral dalam pagelaran wayang kulit purwa Tokoh
sentral dan utama dalam suatu pagelaran wayang kulit purwa, adalah dhalang.
Karenanya, seharusnya tidak boleh dan tidak selayaknya ada orang lain yang
dalam pagelaran wayang kulit purwa bertindak menggantikan peran dan fungsi
dhalang, meskipun hanya sejenak atau hanya sebentar; termasuk pagelaran
campur-sari, dhagelan, lawak, dhang-dhutan, penyanyi, atau lainnya. Jika
dhalang sampai bersedia digantikan perannya sebagai tokoh sentral, meskipun
hanya sebentar atau beberapa saat, maka hal ini sama saja dengan merendahkan
martabat, kehormatan, dan profesinya.

Mengeksploitasi suasana dan emosi


Pada pagelaran wayang kulit purwa, suasana memegang peran yang sangat
penting. Karenanya, mengeksploitasi suasana (oleh dhalang) menjadi salah satu
faktor yang memegang peran sangat penting, termasuk „mempermainkan
emosi‟ penonton.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 8


Pagelaran delapan jam
Pagelaran wayang kulit purwa, jika dilaksanakan secara lengkap dan tradisional,
akan memakan waktu semalam suntuk (atau sehari suntuk), selama kurang-lebih
delapan jam. Yaitu, dari sejak sekitar jam sembilan malam (atau jam sembilan
pagi), sampai sekitar jam empat subuh hari berikutnya (atau jam empat sore).
Namun, harap diketahui, bahwa lama seluruh pagelarannya sebenarnya bisa
lebih dari delapan jam, jika dilaksanakan secara lengkap. Jika pagelaran wayang
kulit purwa dilakukan pada malam hari, pagelaran bisa diawali dan dilengkapi
dengan permainan „gendhing sore‟ atau „gendhing pahargyan tamu‟, lalu
dilanjutkan dengan pagelaran „karawitan wayangan‟, dan pagelaran Gendhing
Talu Wayangan.

Pembagian waktu berdasar pathet


Waktu pagelaran wayang kulit purwa, dibagi menjadi tiga babak utama, yaitu:
a) Pathet Nem
b) Pathet Sanga
c) Pathet manyura

Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa pembagian waktu pada pagelaran


wayang kulit purwa yang dilaksanakan semalam suntuk, adalah a) waktu awal
(awal malam hari), b) waktu sekitar tengah malam, dan c) waktu menjelang pagi
hari. Pembagian waktu ini, berlaku tidak saja untuk pagelarannya, tetapi juga
berlaku untuk pemilihan gendhing yang dipergunakan selama pagelaran.
Meskipun demikian, jika dimainkan secara lengkap, maka urutan pathet pada
suatu pagelaran wayang kulit purwa adalah sebagai berikut.

a) Pathet Nem
b) Pathet Lindur
c) Pathet Sanga
d) Pathet Nyamat
e) Pathet Manyura

Sebagai catatan, pada pagelaran wayang kulit purwa, Pathet Lindur dan Pathet
Nyamat tidak selalu digunakan.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 9


Mengintegrasikan berbagai hal
Pagelaran wayang kulit purwa, pada dasarnya mengintegrasikan banyak hal,
antara lain bahasa, sastra, komunikasi, musik iringan (karawitan wayangan),
cerita, narasi, skenario, suasana psikologis, termasuk emosi penonton,
keterampilan, kemampuan olah vokal, dialog, tembang (nyanyian), syair, serta
sudah barang tentu juga tari dan gerak wayang (sabetan).

Menyenangkan, semarak, dan mencekam


Pagelaran wayang, merupakan suatu pagelaran yang menyenangkan banyak
pihak, tidak hanya penontonnya, tetapi juga para pendukung pagelaran dan
semua orang yang berada di sekitarnya. Ini merupakan salah satu dampak dari
pendekatan „total theater‟ pada pagelaran wayang kulit purwa. Meskipun
demikian, suatu pagelaran wayang kulit purwa juga bisa merupakan suatu
pagelaran yang „mencekam‟ dan mempengaruhi emosi penontonnya. Misalnya,
jika cerita dan drama yang ditampilkan sedemikian memikat penontonnya.

Media untuk merenungkan makna kehidupan


Pagelaran wayang kulit purwa, dapat berfungsi sebagai media refleksi
kehidupan nyata manusia. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa
seseorang yang pernah sekali saja menikmati pagelaran wayang kulit purwa,
jika ia mengerti dan memahami isi cerita dan suasananya, maka ia akan
cenderung „kecanduan‟ dan merindukan untuk kembali menonton pagelaran
wayang.
Pada pagelaran wayang kulit purwa, apa yang kita lihat di layar wayang,
sebenarnya bukanlah pagelaran yang sesungguhnya. Sebaliknya, pagelaran yang
sesungguhnya sebenarnya ada di alam imajinasi kita. Adapun apa yang kita lihat
di layar wayang, sebenarnya lebih berperan sebagai pemicu imajinasi kita.
Sedangkan tokoh-tokoh wayang tertentu yang ditampilkan di layar wayang,
seringkali oleh penontonnya merefleksikan dan dipersonifikasikan sebagai
dirinya. Demikian pula peristiwa yang diceritakan. Karena itu pula, maka
hubungan emosional antara tokoh yang ditampilkan dengan kita sebagai
penontonnya, bisa menjadi amat sangat erat, dan bahkan bisa membawa kita
seakan-akan sebagai tokoh yang sedang ditampilkan itu.

Bisa dimainkan dalam tingkat kerumitan dan kesulitan yang berbeda


Melakukan pagelaran wayang kulit purwa, bisa dilakukan dalam bentuk yang
amat sangat sederhana, dan secara bertahap menjadi semakin sukar dan semakin
rumit. Semua itu, bisa dilakukan sesuai dengan tingkat pemahaman dan tingkat

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 10


penguasaannya. Artinya, pada tahap belajar, bisa saja pagelaran wayang
dilaksanakan dalam bentuk yang amat sangat sederhana dan mudah. Hal inilah
yang serinkali tidak disadari, baik oleh pelatih maupun oleh siswa.
Pagelaran wayang kulit purwa, juga bisa dimainkan dalam penggal waktu yang
relatif amat sangat pendek. Misalnya, suatu pagelaran wayang kulit purwa bisa
dimainkan dalam pola penggal waktu selama satu jam atau bahkan kurang dari
satu jam. Hal ini, biasanya diterapkan bagi mereka yang sedang dalam tahap
belajar, atau pagelaran wayang kulit purwa yang dilaksanakan dalam rangka
peragaan.
Seperti telah disinggung selintas di awal bahasan, suatu pagelaran wayang kulit
purwa yang dimainkan secara lengkap sekalipun, sebenarnya bisa dimainkan
hanya dengan tiga jenis gendhing; yaitu ayak-ayak, srepegan, dan sampak.
Karena itulah, maka belajar melakukan pagelaran wayang kulit purwa dapat
dikatakan tidaklah sesukar yang dibayangkan orang.

_____________________________________________

[1] Pagelaran wayang kulit purwa versi Jawa yang boleh dikatakan masih asli, justru dapat dilihat
pada pagelaran wayang kulit purwa versi Bali, yang diiringi ricikan gender laras slendro.
Sebagai informasi, pagelaran wayang kulit purwa versi Jawa, pada masa lampau berkembang
pada masa perkembangan agama Hindhu dan Buddha; sebagai bagian dari pelaksanaan ritual
adat dan kepercayaan. Tetapi setelah agama Islam masuk dan berkembang di Pulau Jawa,
sebagian penduduk yang beragama Hindu, beserta berbagai bentuk kesenian asli Jawa, termasuk
pagelaran wayang kulit purwa, para pegiat dan masyarakat pendukung keseniannya,
„menyelamatkan diri‟ ke arah timur dan menyeberang ke Pulau Bali. Sebagai catatan, bentuk
asli wayang kulit Jawa pada masa awal, sama dengan dengan bentuk wayang kulit versi Bali
(yang sampai sekarang masih bisa dilihat dan relatif tidak banyak berubah bentuknya).

[2] Pagelaran wayang kulit madya, lazimnya membawakan cerita wayang yang didasarkan atas
berbagai cerita yang berkembang seusai Perang Barata-Yudha. Batas awal yang bisa dikatakan
sebagai „bagian transisi‟ antara wayang kulit purwa dan wayang kulit madya, adalah pagelaran
wayang yang menceritakan episode setelah Pandhawa memenangkan Perang Barata-Yudha.
Misalnya, cerita „Parikesit Jumeneng Nata‟. Wayang Madya adalah wayang kulit yang
diciptakan oleh Mangkunegara IV sebagai penyambung cerita Wayang Purwa dengan Wayang
Gedog. Cerita Wayang Madya merupakan peralihan cerita Purwa ke cerita Panji. Salah satu
cerita Wayang Madya yang terkenal adalah cerita Anglingdarma. Wayang madya tidak sempat
berkembang di luar lingkungan Pura Mangkunegaran. Cerita Wayang Madya menceritakan
sejak wafatnya Prabu Yudayana sampai Prabu Jaya-Lengkara naik tahta. Cerita Wayang Madya
ditulis oleh R. Ngabehi Tandakusuma dengan judul Pakem Ringgit Madya yang terdiri dari lima
jilid, dan tiap jilid berisi 20 cerita atau lakon. Wayang madya (Jawa) adalah wayang yang
menggunakan unsur „cerita sesudah zaman purwa‟. Cerita itu mengisahkan para raja Jawa yang
dianggap keturunan Pandawa. Sementara itu wayang gedog, wayang klitik, dan wayang beber
(ketiganya dari Jawa), juga wayang gambuh dan wayang cupak dari Bali, melakonkan cerita
panji.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 11


Pagelaran wayang kulit purwa di masa lampau. Seringkali merupakan bagian dari kehidupan tradisi
dan ritual masyarakat.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 12


Lukisan suatu pagelaran wayang kulit purwa di masa lampau. Menyenangkan dan penuh kenangan.

Suatu pagelaran wayang kulit purwa di pedalaman. Penuh kenangan dan mengingatkan dari mana
kita dulu berasal...

Melihat pagelaran wayang kulit purwa, seakan seperti melihat kembali seluruh kehidupan kita....

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 13


Bayang-bayang wayang, refleksi seluruh kehidupan kita saat kita masih berada di alam janaloka....

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 14


KRONIK DAN INTRIK DI ANTARA BOMA NARA SURA,
GATHUTKACA, DAN KRESNA....
Bram Palgunadi
17 Oktober 2012 pukul 14:29

Radyan Bima-Sena, tak bisa menahan diri, karena merasa puteranya secara sengaja telah
dikorbankan.....

Perang besar Barata-Yudha sudah mulai menggemakan genderang perangnya di


medan laga Tegal Kuru-Setra. Negara-negara sekutu lawan masing-masing
sudah mudah mempersiapkan diri dan mengerahkan seluruh kekuatan angkatan
bersenjatanya. Bahkan, korban sudah mulai berjatuhan di pihak Kurawa
maupun Pandhawa. Lamat-lamat tembang ada-ada perang Durma terdengar
mengalun mengarungi angkasa medan perang, membuat suasana di medan
perang Tegal Kuru-Setra semakin mencekam.

Ridhu mangawur-awur wurahan,


Tengaraning ajurit,
Gong maguru gangsa,
Teteg kadya butula,
Wor panjriting turanggesti,
Rekatak ingkang,
Bajra lelayu sebit......

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 15


Di pakuwon markas besar para kerabat Pandhawa, terjadi pertemuan serius yang
amat sangat menegangkan. Persoalan serius mencuat, setelah timbul perdebatan
sengit dan polemik, siapa yang akan diangkat dan ditetapkan sebagai Panglima
Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura melawan Angkatan Bersenjata
Hastina-Pura. Dari polling di antara para pejabat tinggi Pandhawa, ternyata
terjadi perpecahan. Di kalangan kerabat Pandhawa dan sekutunya, ternyata ada
dua calon kuat, yaitu Prabu Boma Nara Sura raja Negeri Traju-Trisna dan Prabu
Anom Gathutkaca raja muda Negeri Pringgandani. Dua tokoh ini, sama-sama
mempunyai pendukung kuat dan kesempatan untuk dipilih sebagai Panglima
Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura. Celakanya, di masa lampau, kedua
tokoh ini juga pernah bersitegang dan mengalami gesekan politik. Pergolakan
politik yang akhirnya meluas menjadi 'perang terbatas' di antara keduanya,
bahkan juga sempat terjadi, saat pecah peristiwa perebutan wilayah tak bertuan
'Kikis Tunggarana', yang lokasinya terletak tepat di wilayah perbatasan Negeri
Traju-Trisna dan Negeri Pringgandani. Latar belakang masa lalu yang
mencekam itu, rupanya sedikit-banyak basih terbawa sampai bertahun-tahun
kemudian. Dari catatan dinas intelejen dan para pengamat militer, kedua tokoh
itu memang mempunyai reputasi yang sama-sama kelam; tetapi keduanya juga
mempunyai reputasi gemilang. Fakta intelejen menyatakan sebagai berikut.

Tentang Prabu Anom Gathutkaca


Prabu Anom Gathutkaca, mempunyai reputasi hitam
di masa lalu, karena pernah melakukan pembunuhan
terhadap pamannya, yaitu Kala Bendana; hanya
karena sang paman melaporkan dan menyatakan
secara terus terang tanpa tedeng aling-aling, soal
perselingkuhan Radyan Abimanyu dengan Dewi
Utari; pada suatu persidangan agung Negeri
Pringgandani. Saat melaporkan, kebetulan ada Dewi
Siti Sundari, isteri Radyan Abimanyu, yang sedang
'curhat' kepada Prabu Anom Gathutkaca saudara
sepupunya, soal kepergian suaminya yang tak jelas ke mana.
Jadi, Kala Bendana dianggap tidak tahu diri, tidak sopan, dan tidak mengerti
tata-krama, karena melaporkan dan menceritakan perselingkuhan Radyan
Abimanyu dengan Dewi Utari, di depan seorang isteri (Dewi Siti Sundari) yang
sedang bersedih hati karena suaminya sudah lama tidak pulang ke rumah.
Akibatnya, Dewi Siti Sundari seketika jadi mengetahui, bahwa suaminya,
Radyan Abimanyu ternyata telah berselingkuh dengan Dewi Utari. Hal ini,
membuat Prabu Anom Gathutkaca sangat marah, karena menurutnya

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 16


seharusnya laporan pamannya itu disampaikan kepadanya pada kesempatan
lain, yakni pada saat Dewi Siti Sundari sedang tidak ada bersama mereka.
Namun, pamannya, Kala Bendana, terus saja bercerita soal perselingkuhan
Radyan Abimanyu dengan Dewi Utari, tanpa perduli di depannya ada Dewi Siti
Sundari, yang begitu mendengar bahwa suaminya ternyata berselingkuh, lalu
menangis tersedu-sedu penuh kesedihan.
Prabu Anom Gathutkaca tidak bisa lagi menahan amarahnya, melihat pamannya
terus bercerita soal perselingkuhan itu, lalu menampar mulut Kala Bendana.
Maksudnya, supaya pamannya itu diam dulu dan tidak melanjutkan ceritanya.
Kala Bendana menyatakan, bahwa dia pergi mencari Radyan Abimanyu atas
perintah keponakannya, Prabu Anom Gathutkaca, untuk menyelidiki dan
mencari ke mana perginya Radyan Abimanyu. Perintah ini, diberikan kepada
Kala Bendana oleh Prabu Anom Gathutkaca, guna memenuhi permintaan Dewi
Siti Sundari, yang meminta tolong Prabu Anom Gathutkaca, dan sedang
mengalami kebingungan, karena suaminya sudah lama tidak pulang ke rumah.
Kala Bendana merasa sangat terhina dan tidak habis mengerti, mengapa saat dia
melaporkan hasil penyelidikannya tanpa sedikit pun dikurangi atau ditambah,
dia kok malah dimarahi keponakannya. Karena itu, Kala Banda lalu menyatakan
protes keras atas perlakuan Prabu Anom Gathutkaca kepada dirinya. Hasilnya?
Prabu Anom Gathutkaca malah semakin marah, karena beranggapan Kala
Bendana semakin tidak tahu adat. Menurut versi Gathutkaca, pamannya, Kala
Bendana sudah diberi 'kode' supaya diam dulu, dengan cara ditampar mulutnya,
tapi malah melakukan protes keras dan bercerita keras-keras soal
perselingkuhan Radyan Abimanyu, sambil terus nerocos, berkeluh-kesah soal
perlakuan keponakannya yang keterlaluan terhadap dirinya yang jauh lebih tua
umurnya. Akibatnya, Dewi Siti Sundari tak bisa lagi menahan beban kesedihan
hatinya, lalu jatuh pingsan! Dan, terjadilah kegemparan!
Dan, karena Kala Bendana tidak diam juga, maka dengan amarah yang sangat
memuncak, untuk kedua kalinya Prabu Anom Gathutkaca lalu memukul Kala
Bendana! Kali ini, pukulan Prabu Anom Gathutkaca benar-benar luar biasa
keras, sehingga membuat tubuh Kala Bendana terpental dan rubuh seketika.
Pukulan Prabu Anom Gathutkaca ternyata telah meremukkan wajah Kala
Bendana. Sebelum menemui ajalnya, Kala Bendana meneriakkan kutukannya,
yang menyatakan bahwa Gathutkaca akan mati dengan cara yang tak lazim,
untuk itu Kala Bendana akan 'mrayang' dan selalu menunggu tibanya saat
kematian Gathutkaca, dan saat kematian Gathutkaca itu tiba, Kala Bendana
akan menjemput sukmanya, untuk pergi dari alam janaloka bersama dirinya.
Sesaat setelah meneriakkan kutukannya, Kala Bendana akhirnya
menghembuskan nafas.......

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 17


Tentang Prabu Boma Nara Sura
Prabu Boma Nara Sura, mempunyai reputasi hitam di
masa lalu, karena telah membunuh dan memutilasi
permaisurinya, Dewi Hagnyanawati serta adik
kandungnya, Radyan Samba (seorang ksatria dari
Parang-Garuda); karena keduanya tertangkap basah
saat melakukan perselingkuhan. Perselingkuhan
permaisuri Prabu Boma Nara Sura, sebenarnya di
masa lalu dilatar-belakangi oleh kutukan kutukan
Sang Hyang Endra, saat memergoki putra-putri
kesayangannya, yaitu Bathara Darma (Bathara Ulam
Derma)[1] dan Bathari Dermi (Bathari Ulam Dermi)
[2] yang ternyata melakukan hubungan inses (hubungan sex antar saudara
kandung). Dengan penuh kemarahan, kedua putra-putrinya itu lalu dikutuk oleh
Sang Hyang Endra; dan di akhir kutukannya dinyatakan bahwa keduanya nanti
akan 'nitis' kepada dua orang manusia di alam janaloka. Bathara
Ulam Derma akan me-nitis kepada Radyan Samba, adik kandung Prabu Boma
Nara Sura. Sedangkan Bathari Ulam Dermi akan me-nitis kepada Dewi
Hagnyanawati, permaisuri Prabu Boma Nara Sura.
Pada saat pelaksanaan perayaan pernikahan agung Dewi Hagnyanawati dengan
Prabu Boma Nara Sura, untuk pertama kalinya bertemulah Dewi Hagnyanawati
dengan Radyan Samba. Saat itu, keduanya seakan seperti tersengat sejuta
halilintar, dan tiba-tiba saja tumbuh perasaan cinta di antara keduanya. Sejak
saat itu pula malam pengantin dan malam-malam seterusnya, tak pernah terjadi
apapun di dalam kehidupan Prabu Boma Nara Sura dan Dewi Hagnyanawati.
Pengantin baru itu, tak memperoleh kebahagiaan yang diidamkan.
Malammalam selanjutnya menjadi malam-malam neraka jahanam. Dewi
Hagnyanawati hilang keinginnan hatinya melayani hasrat hati dan cinta sang
Prabu Boma Nara Sura. Ia bahkan membuat syarat yang maha berat dan
diperkirakan tak akan dapat dipenuhi oleh Prabu Boma Nara Sura, yaitu
meminta jalan tol yang lurus, yang menghubungkan Negeri Traju-Trisna dengan
negeri asal sang dewi. Padahal, jika jalan tol itu dibuat, maka akan menerjang
'wilayah tanah keramat' tempat para tetua dikebumikan, yaitu wilayah Astana
Gada-Madana.
Saat jalan tol ini sedang dalam proses pelaksanaan pembuatannya, Radyan
Samba yang sedang galau hatinya (sejak bertemu dengan Dewi Hagnyanawati,
isteri kakak kandungnya), pergi menemui saudara tuanya, yaitu Sang
GunaDewa. Kepada saudara tuanya yang seorang pertapa, Radyan Samba
curhat dan meminta nasehat. Radyan Samba juga menanyakan, mengapa tiba-
tiba dia jatuh hati kepada Dewi Hagnyanawati, sedangkan wanita itu kakak
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 18
iparnya. Sang Guna-Dewa yang halus perasaannya dan 'weruh sak durunge
winarah', segera bisa meraba apa yang sebenarnya sedang terjadi. Secara tak
sengaja, Sang Guna-Dewa kelepasan pembicaraan dan menceritakan bahwa
Radyan Samba dan Dewi Hagnyanawati adalah titisan Bathara Ulam Derma dan
Bathari Ulam Dermi, yang di masa lampau karena perbuatan dan dosa yang
dilakukannya, lalu dikutuk oleh ayahandanya Sang Hyang Endra.
Mendengar penjelasan Sang Guna-Dewa, Radyan Samba seperti memperoleh
kekuatan dan pembenaran atas perasaan cintanya kepada kakak iparnya, Dewi
Hagnyanawati. Dan atas dasar hal itu pula, Radyan Samba lalu berusaha
menemui Dewi Hagnyanawati, yang ternyata juga mengalami perasaan yang
sama. Pertemuan gelap kedua insan itu, seperti mempertemukan kembali
Bathara Ulam Derma dan Bathara Ulam Dermi dalam wujud yang lain.
Keduanya, kembali mereguk asmara seperti saat mereka berdua masih berwujud
dewata, tanpa memperdulikan hubungan kekerabatan, persaudaraan, dan
statusnya sekarang. Hubungan gelap keduanya, kemudian kepergok para
punggawa Negeri Traju-Trisna dan keduanya akhirnya ditangkap oleh pihak
sekurit Negeri Traju-Trisna. Ringkas cerita, Prabu Boma Nara Sura yang
menghadapi masalah serius itu, semula marah besar dan merasa amat sangat
terhina. Tetapi, setelah melihat yang melakukan selingkuh ternyata adik
kandungnya sendiri, akhirnya luluhlah hatinya, dan memaafkan tindakan adik
kandungnya itu. Menurut versi Prabu Boma Nara Sura, ia selama ini toh 'belum
pernah meniduri' Dewi Hagnyanawati, meskipun mereka sudah agak lama
menikah. Jadi boleh dikatakan Dewi Hagnyanawati sebenarnya masih 'perawan'
dan masih suci. Penyebabnya? Dewi Hagnyanawati baru bersedia 'ditiduri' dan
melayani hasrat cinta Prabu Boma Nara Sura, jika persyaratan dan
permintaannya untuk membuat jalan tol antara Negeri Traju-Trisna dan negeri
asal sang dewi selesai dibuat dan sudah diresmikan pemakaiannya. Atas dasar
hal itulah, maka bahkan Prabu Boma Nara Sura akhirnya memutuskan untuk
menikahkan saja kedua sejoli yang sedang dimabuk asmara itu, dari pada terus
berselingkuh dan menjalin hubungan gelap yang memalukan.
Niat itu, akhirnya juga disampaikan ke ayahandanya Prabu Kresna, dan usul itu
disetujui. Dalam perjalanan pulang dari Negeri Dwara-Wati ke Negeri
TrajuTrisna, Prabu Boma Nara Sura bersama kedua sejoli itu (Radyan Samba
dan
Dewi Hagnyanawati) menaiki kendaraan terbang ruang angkasa yang disebut
'Wilmana' atau 'Wimana' (dalam mitologi India disebut 'vimana')[3] yang
berteknologi tinggi dan merupakan kendaraan yang dapat berpikir seperti
manusia, karena mengunakan teknologi 'artifisial intellegen' (AI). Saat dalam
perjalanan, kendaraan terbang yang canggih inilah yang berulang-ulang
memprovokasi Prabu Boma Nara Sura. Akibat ulah dan provokasi kendaraan
canggih yang bisa berpikir inilah, Prabu Boma Nara Sura tidak lagi bisa
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 19
mengendalikan dirinya dan akhirnya dengan penuh kemarahan membunuh
kedua sejoli ini dengan cara mencabik-cabik dan memutilasi tubuh keduanya.

Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura


Kembali pada persoalan pencalonan Panglima Operasi Angkatan Bersenjata
Amarta-Pura, perdebatan menjadi semakin sengit di antara para pejabat tinggi
Negeri Amarta-Pura. Latar belakang kedua calon Panglima Operasi Angkatan
Bersenjata Amarta-Pura itu menjadi perdebatan yang kelihatannya tak
terkendali dan tak berkesudahan. Padahal, waktu sudah semakin mendesak, dan
keputusan harus segera dibuat. Secara politis dan sikap personal, kedua calon
Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura sebenarnya sudah saling
berdamai dan saling menghormati, meskipun di masa lalu keduanya pernah
saling bermusuhan. Di lain pihak, keduanya juga sudah saling mengetahui
keunggulan dan kelemahan masing-masing. Pada peristiwa 'Rebut Kikis
Tunggarana', perang terbatas itu berakhir dengan tidak ada yang menang dan
tidak ada yang kalah. Karena kedua pihak akhirnya ditengahi dan didamaikan
oleh Radyan Bima-Sena (ayahanda Prabu Anom Gathutkaca) dan Prabu
Kresna (ayahanda Prabu Boma Nara Sura). Sejak dicapainya gencatan senjata
dan perdamaian di antara Negeri Traju-Trisna dan Negeri Pringgandani,
hubungan kedua tokoh itu sebenarnya sudah membaik dan saling menghormati.
Dalam ketegangan proses pemilihan Panglima Operasi Angkatan Bersenjata
Amarta-Pura (Amarta-Pura), Prabu Boma Nara Sura menyatakan, bahwa jika
para kerabat Pandhawa memilih Prabu Gathutkaca sebagai Panglima Operasi
Angkatan Bersenjata Amarta-Pura, maka pilihan itu sama saja dengan
menyuruh Prabu Anom Gathutkaca bunuh diri. Itu pendapat Prabu Boma Nara
Sura. Argumentasinya? Menurut Prabu Boma Nara Sura, yang pertama, pada
saat terjadi perang terbatas dalam peristiwa 'Rebut Kikis Tunggarana', Prabu
Anom Gathutkaca ternyata tidak bisa mengalahkan dan tidak bisa membunuh
dirinya. Karena Prabu Boma Nara Sura mempunyai aji-aji 'Panca-Sona' atau
ajiaji 'Rawa-Rontek', yang membuat dirinya tidak bisa mati setiap kali tubuhnya
jatuh dan bersentuhan dengan permukaan bumi.
Jadi, meskipun Prabu Boma Nara Sura dibunuh seribu kali sehari, ia akan tetap
hidup kembali, setiap kali tubuhnya bersentuhan dengan permukaan bumi.
Kedua, semua kerabat Pandhawa tahu, bahwa jika nanti Prabu Anom
Gathutkaca ternyata harus berhadapan dengan Adipati Karna, dipastikan Prabu
Anom Gathutkaca akan terbunuh. Karena senjata peluru kendali canggih milik
Adipati Karna yang disebut senjata 'Konta', akan mengejar dan 'homing' pada
diri Prabu Anom Gatht-Kaca. Sedangkan menurut laporan dinas intelejen
Amarta-Pura, para kerabat Kurawa sekarang ini sedang mempertimbangkan
pengangkatan Adipati Karna sebagai Panglima Operasi Angkatan Bersenjata

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 20


Kurawa (Hastina-Pura). Jadi, menurut Prabu Boma Nara Sura, sebaiknya jangan
mengangkat Prabu Anom Gathutkaca sebagai Panglima Operasi Angkatan
Bersenjata Amarta-Pura. Sebaliknya, lebih tepat dan lebih baik mengangkat
dirinya (Prabu Boma Nara Sura) sebagai Panglima Operasi Angkatan Bersenjata
Amarta-Pura. Dengan demikian, kematian Prabu Anom Gathutkaca yang
dipandang sebagai sia-sia oleh Prabu Boma Nara Sura, bisa dihindarkan. Selain
itu, dengan kemampuan dan kesaktiannya, Prabu Boma Nara Sura memberikan
jaminan bahwa kemenangan besar akan jatuh di pihak Pandhawa, karena ia
tidak akan bisa dibunuh oleh orang-orang Kurawa yang manapun.
Pernyataan politik dan sikap Prabu Boma Nara Sura itu, didengar oleh seluruh
kerabat Pandhawa dan para pejabat tinggi negara dan para pejabat tinggi militer,
yang saat itu sedang mempertimbangkan siapa yang akan diangkat sebagai
Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura. Tetapi, diam-diam ada
seorang pejabat tinggi penasehat Negeri Amarta-Pura, yang tidak setuju! Dia,
adalah Prabu Kresna, ayahanda Prabu Boma Nara Sura! Hal ini mengejutkan
semua peserta sidang penting itu. Argumentasi Prabu Kresna adalah sebagai
berikut.
Kedua tokoh calon Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura itu,
keduanya mempunyai masa lalu yang kelam. Keduanya, harus menebus
kesalahan dan dosa-dosanya. Demikian pendapat Prabu Kresna. Selain itu, jika
Prabu Boma Nara Sura dijadikan Panglima Operasi Angkatan Bersenjata
Amarta-Pura, maka tidak akan ada lawan yang sepadan dengan dirinya. Di luar
persoalan itu, Prabu Kresna juga sudah mengetahui, bahwa di dalam diri Prabu
Boma Nara Sura, ikut bersemayam sukma Prabu Bomantara, yang selalu
membayangi kehidupan Radyan Suteja (nama Prabu Boma Nara Sura, saat
masih muda, sebelum berhasil mengalahkan Prabu Bomantara).[4] Sukma
kedua yang merasukinya inilah, yang seringkali mempengaruhi sikap dan
perilaku Prabu Boma Nara Sura, sehingga Prabu Boma Nara Sura seringkali
berubah menjadi bersikap dan berwatak jahat, saat ia sedang marah.
Meskipun Prabu Boma Nara Sura merupakan putera Prabu Kresna dari Sang
Hyang Bathari Pertiwi, dari Kahyangan Sapta Pratala, namun sejak ia kerasukan
sukma Prabu Bomantara dan sejak ia melakukan pembunuhan sadis terhadap
permaisuri (Dewi Hagnyanawati) dan adik kandungnya (Radyan Samba); Prabu
Kresna merasa bahwa Prabu Boma Nara Sura telah berubah watak dan tidak
lagi seperti puteranya saat masih muda. Karena itu, Prabu Kresna diam-diam
juga menginginkan kematian puteranya (Prabu Boma Nara Sura).
Pemilihan Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura, telah membuka
jalan bagi Prabu Kresna untuk 'melenyapkan' puteranya, yang di matanya sudah
bukan merupakan puteranya lagi. Karena itu pula Prabu Kresna bersikeras untuk
mencalonkan Prabu Anom Gathutkaca sebagai Panglima Operasi Angkatan
Bersenjata Amarta-Pura, meskipun semua orang tahu, hal itu sama saja dengan
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 21
mengorbankan Prabu Anom Gathutkaca. Tetapi, Prabu Kresna sebagai
penasehat tertinggi Negeri Amarta-Pura, dengan segala kekuasaan dan
kecanggihan strateginya, secara diam-diam menyampaikan kepada para tetua
dan penguasa Negeri Amarta-Pura, bahwa keputusan mengangkat Prabu Anom
Gathutkaca sebagai Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura
merupakan sebuah keputusan yang paling tepat, dipandang dari segala sudut dan
strategi.
Saat mendengar paparan argumentasi Prabu Kresna, seluruh kerabat Pandhawa
terdiam. Pernyataan bahwa di dalam tubuh Prabu Boma Nara Sura bersemayam
sukma lain, yaitu sukma Prabu Boma Naraka-Sura; yang bersifat sangat agresif,
intimidatif, jahat, dan buruk; membuat semua kerabat Pandhawa memikirkan
berbagai kemungkinan yang akan terjadi, jika Prabu Boma Nara Sura diangkat
menjadi Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura. Apalagi, jika
kemudian ternyata berhasil memenangkan seluruh pertempuran Barata-Yudha
dan memusnahkan seluruh kerabat Kurawa. Apa yang akan terjadi? Saat
kemenangan telah dicapai, dan kerabat Kurawa telah punah, tidak tertutup
kemungkinan sukma kedua dalam diri Prabu Boma Nara Sura akan
memprovokasi Prabu Boma Nara Sura. Jika hal ini terjadi, maka situasi pasca
Perang Barata-Yudha bisa berbalik!
Sukma kedua dalam diri Prabu Boma Nara Sura bisa saja memprovokasi dan
mempengaruhi sikap dan membuat Prabu Boma Nara Sura berbalik memusuhi
kerabat Pandhawa, dengan tujuan supaya seluruh kerabat Pandhawa lenyap dari
muka bumi. Jika hal ini terjadi, maka Prabu Boma Nara Sura akan menjadi
penguasa tunggal jagat raya tanpa tandingan. Menurut Prabu Kresna,
kemenangan para Pandhawa atas para kerabat Kurawa, tidak boleh menjadi
senjata makan tuan, yang bisa berakhir dengan punahnya seluruh kerabat
Padhawa. Atas dasar ini, Prabu Kresna meminta Radyan Bima-Sena untuk
merelakan dan mengiklaskan, jika memang Prabu Anom Gathutkaca harus
gugur di medan perang Barata-Yudha. Pengorbanan ini, menurut Prabu Kresna
merupakan konsekuensi logis dari sebuah keputusan, tindakan politik, dan
perjuangan menegakkan kebenaran; yang sedang diperjuangkan oleh seluruh
kerabat Pandhawa dan sekutunya. Secara jelas dan gamblang, Prabu Kresna
menjelaskan kepada seluruh kerabat Pandhawa, bahwa pada hari-hari
berikutnya, akan gugur dua putera Pandhawa dan sekutunya, yaitu Prabu Anom
Gathutkaca dan Prabu Boma Nara Sura.
Saat mendengar penjelasan Prabu Kresna, seluruh tetua dan kerabat Pandhawa
diam terpaku. Radyan Bima-Sena yang merasa bahwa puteranya secara sengaja
hendak dikorbankan oleh Prabu Kresna, merasa bahwa keputusan itu sangat
tidak adil bagi dirinya. Karenanya, Radyan Bima-Sena dengan perasaan marah
mempertanyakan, bagaimana bisa seorang penasehat tertinggi negeri
AmartaPura seperti Prabu Kresna, sampai tega mengorbankan Prabu Anom
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 22
Gathutkaca yang notabene adalah keponakannya sendiri, sementara anaknya
sendiri, Prabu Boma Nara Sura diam-diam diselamatkan dan sama sekali tidak
dikorbankan. Mendengar pertanyaan Radyan Bima-Sena yang disampaikan
dengan penuh kemarahan, Prabu Kresna terdiam sesaat. Suasana menjadi
tegang.
Dalam ketegangan yang semakin memuncak itu, Prabu Kresna berkata,
lengkingan kata-katanya menggaung di dalam ruang pakuwon: "Bima, saya juga
akan berkorban. Sama dengan pengorbananmu. Bahkan mungkin engkau tidak
terbayangkan apa yang akan terjadi, dan dosa apa yang akan ditimpakan kepada
diriku. Dengarkan penyataanku ini. Jika nanti saatnya tiba, saya sendiri yang
akan membunuh anak kesayanganku Boma Nara Sura. Engkau pasti tidak akan
bisa merasakan bagaimana perasaan hatiku saat harus membunuh anak
kesayanganku. Meskipun sekarang ia sudah berubah, karena kerasukan sukma
Prabu Boma Naraka-Sura, tetapi bagaimanapun juga ia tetap anak
kesayanganku. Karena peri-laku dia yang kerasukan sukma Prabu Boma
Naraka-Sura, saya juga sudah kehilangan anak, yaitu Radyan Samba, dan juga
kehilangan menantuku Dewi Hagnyanawati, yang sudah dibunuh oleh Boma
Nara Sura." Semua hadirin yang mendengar kata-kata Prabu Kresna, terdiam
seribu bahasa......
Maka hari itu pula, suatu keputusan yang maha sukar itu sudah dibuat. Para
kerabat Pandhawa akhirnya memutuskan, Prabu Anom Gathutkaca diangkat
menjadi Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura! Berita segera
tersebar luas! Bahkan, dalam waktu yang sangat singkat, berita itu juga telah
sampai ke telinga pada kerabat Kurawa, yang dengan segera lalu memutuskan
untuk mengangkat Adipati Karna sebagai Panglima Operasi Angkatan
Bersenjata Hastina-Pura. Kegemparan segera merebak di seluruh pakuwon
Pandhawa dan Kurawa. Semua orang memperbincangkan pengangkatan kedua
panglima perang masing-masing. Berita televisi dan radio penuh dengan
breaking news dan ulasan para pengamat militer tentang pengangkatan kedua
tokoh penting itu.
Di luar segala hiruk-pikuk itu, diam-diam Radyan Bima-Sena merasakan
kesedihan hati yang luar biasa. Perasaan bahwa putera kesayangannya telah
dikorbankan dengan sengaja oleh Prabu Kresna, tetap tak bisa dilenyapkan dari
hati sanubarinya. Hatinya tetap tidak bisa menerima. Sementara semua
saudarasaudaranya hanya melihat dirinya tanpa komentar apapun. Semuanya
seakan mendiamkan dirinya. Radyan Bima-Sena merasa, seakan-akan ikut
mengorbankan puteranya, hanya untuk melestarikan kekuasaan dirinya sebagai
kerabat Pandhawa. Ada perasaan malu, sendu, dan sedih tak bisa dikatakan; saat
memikirkan dan membayangkan bagaimana seorang ksatria ternama seperti
dirinya, bisa bertahan di pusat kekuasaan Negeri Amarta, dengan mengorbankan
putera kesayangannya.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 23
Radyan Bima-Sena merasakan dunia begitu hampa. Ia merasa kesepian di antara
keramaian di sekitarnya. Beban emosi dan perasaan yang sedemikian berat, tak
tertanggungkan oleh seorang Bima-Sena, sehingga akhirnya tubuhnya limbung.
Dunianya semakin lama semakin gelap. Penglihatannya semakin lama semakin
kabur. Ia tak ingat apa-apa lagi. Tubuhnya yang tinggi besar, akhirnya rubuh.
Radyan Bima Sena pingsan! Kegemparan pun terjadi. Oleh sejumlah kerabat,
tubuhnya diangkat dan dipindahkan ke ruang tidur dalam pakuwon......
Berita tentang pengangkatan Prabu Anom Gathutkaca sebagai Panglima Operasi
Angkatan Bersenjata Amarta-Pura dalam sidang tertutup para kerabat
Pandhawa, akhirnya terdengar pula oleh Prabu Boma Nara Sura. Entah apa yang
terjadi, ia tidak bisa merasakan. Tiba-tiba saja timbul rasa marah yang luar
biasa. Seakan dendam kesumatnya kepada Prabu Anom Gathutkaca tiba-tiba
muncul kembali ke atas permukaan. Prabu Boma Nara Sura bergegas
menghadap para kerabat Pandhawa. Tanpa menunggu dan tanpa basa-basi, ia
bertanya mengapa usulannya untuk mengangkat dirinya sebagai Panglima
Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura ditolak. Semua kerabat Pandhawa
yang mendengar pertanyaan tajam itu, terdiam dan semua mata mengarah
kepada Prabu Kresna.
Suasana mendadak berubah menjadi tegang. Karena semua orang melihat
kepada dirinya, maka perlahan-lahan Prabu Kresna maju ke depan dan berusaha
menjelaskan dengan kalimat yang terasa sangat ditata, dan dinyatakan secara
perlahan-lahan. Tetapi, yang keluar dari mulut Prabu Kresna hanyalah kalimat
pendek: "Boma anakku, ketahuilah, semua manusia harus
mempertanggungjawabkan peri-laku dan dosa-dosanya."
Mendengar kalimat ayahandanya Prabu Kresna itu, entah apa yang terjadi,
Prabu Boma Nara Sura tiba-tiba berteriak memaki: "Bangsat! Jadi, inilah yang
terjadi. Persekongkolan untuk dengan sengaja membunuh adikku si Gathutkaca!
Saya kan sudah bilang, begitu berita pengangkatan Gathutkaca sebagai
Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Amarta-Pura tersebar dan sampai ke
telinga para bedebah Kurawa itu, pasti Adipati Karna yang akan diangkat
sebagai Panglima Operasi Angkatan Bersenjata Kurawa untuk menandingi
adikku si Gathutkaca! Apa semua tetua dan para gegeduk penguasa Pandhawa
sudah sedemikian bodohnya, sampai tega mengorbankan adikku si Gathutkaca
hah....? Apa apa sih dengan kalian semua....?" Dan, masih banyak lagi kalimat
umpatan dan caci-maki yang disampaikan dengan berteriak oleh Prabu Boma
Nara Sura, tanpa memperdulikan lagi tata-krama. Seluruh yang hadir di dalam
ruang pakuwon itu terperangah. Seakan, mereka berhadapan dengan seorang
yang sangat asing. Seorang yang berkata dengan kalimat tajam di hadapan
mereka itu, seakan seperti bukan Prabu Boma Nara Sura yang selama ini
mereka kenal.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 24


Kalimat-kalimat yang diucapkan Prabu Boma Nara Sura itu, membuat telinga
para tetua Pandhawa menjadi merah. Beberapa di antara mereka itu,
berbisikbisik antar sesamanya. Prabu Kresna berusaha menenangkan para
hadirin dan para tetua kerabat Pandhawa. Tiba-tiba terdengar teriakan Prabu
Boma Nara Sura: "Begini sajalah...., saya menantang kalian semuanya,
termasuk adikku
Gathutkaca, untuk membuktikan di hadapan kalian semua, bahwa saya Boma
Nara Sura, jauh lebih pantas menjadi Panglima Operasi Angkatan Bersenjata
Amarta-Pura dibanding kalian semua!"
Mendengar kalimat tantangan itu, Prabu Kresna tiba-tiba timbul amarahnya. Ia
maju, berdiri tegak, tepat di hadapan Prabu Boma Nara Sura, sambil berkata tak
kalah keras: "Boma...., jangan banyak bicara! Coba kamu kalahkan si
Gathutkaca! Jika dia bisa kau kalahkan, maka jabatan Panglima Operasi
Angkatan Bersenjata Amarta-Pura akan diserahkan kepadamu!" Mendengar
kata-kata ayahandanya, tanpa menunggu lagi Prabu Boma Nara Sura bergegas
ke luar, menuju lapangan luas di depan pakuwon Pandhawa. Prabu Boma Nara
Sura segera menaiki kendaraan ruang angkasanya, Garuda Wilwana. Beberapa
saat kemudian Prabu Anom Gathutkaca pun ke luar menemuinya. Tiba-tiba saja
sudah terjadi pertempuran di antara keduanya.
Tanpa ada yang mengetahui, ternyata berita pertempuran keduanya, sampai juga
ke pihak Kurawa. Mereka juga segera melakukan analisis secara cermat.
Laporan intelejen yang menyatakan bahwa Prabu Boma Nara Sura tidak akan
bisa mati, meskipun terbunuh seribu kali sehari, selama tubuhnya tersentuh
permukaan bumi, membuat para kerabat Kurawa was-was. Mereka juga sampai
pada kesimpulan, jika Prabu Boma Nara Sura sampai bisa memenangkan
pertempuran melawan Prabu Anom Gathutkaca, maka seluruh kerabat Kurawa
bisa dilibas habis, karena ia dipastikan tidak akan ada yang bisa
mengalahkannya.
Dan, akhirnya para kerabat Kurawa itu sampai pula pada pemikiran untuk
menghentikan sementara Perang Barata-Yudha! Ya, harus dilakukan 'gencatan
senjata' sementara! Prabu Suyudana yang kebingungan saat mendengar laporan
dinas intelejen Hastina-Pura yang datang terus-menerus dan bertubi-tubi,
tibatiba membuat keputusan yang sangat penting. Ia memutuskan untuk
mengirim sejumlah besar pasukan Hastina-Pura dan sekutunya ke Amarta-Pura,
dengan tujuan 'membantu' pihak Pandhawa untuk melenyapkan Prabu Boma
Nara Sura dan kekuatan militernya. Keputusan penting lainnya yang dibuat
adalah, Adipati Karna tidak diperbolehkan ikut serta, supaya kehadiran tentara
Kurawa tidak dicurigai sebagai upaya menepuk di air keruh. Semua kerabat
Kurawa sepakat, yang harus dilenyapkan dari muka bumi lebih dahulu adalah
Prabu Boma Nara Sura. Jika hal ini bisa direalisasi, maka persoalan Gathutkaca
merupakan hal sepele, yang nantinya pasti bisa diselesaikan oleh Adipati Karna.
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 25
Para kerabat Kurawa itu tersenyum lebar, dan semuanya memuji keputusan
Prabu Suyudana yang dipandang sangat strategis, jenius, dan brilian.
Bala tentara Hastina-Pura beserta sekutunya itu, disepakati dipimpin oleh Maha
Patih Sangkuni, yang terkenal pandai berdiplomasi, licin bagaikan belut, dan
pandai memutar-balikkan fakta. Keputusan soal siapa yang menjadi pemimpin
tertinggi pasukan Hastina-Pura ini pun disambut dengan gembira. Sekali lagi,
para kerabat Kurawa memberikan tepuk tangan gegap gempita ‘mbata
rubuh’ serta pujian setinggi langit kepada Prabu Suyudana, yang secara
gemilang dan sangat cerdik telah membuat keputusan yang tepat dan sangat
strategis. Dan, pada akhir rapat sidang kenegaraan Hastina-Pura itu, juga
diputuskan untuk membekali Maha Patih Sangkuni dengan „surat penyataan
gencatan senjata‟ dan surat „pernyataan kesediaan‟ pihak Hastina-Pura untuk
membantu pihak Amarta-Pura dalam upaya memerangi dan melenyapkan Prabu
Boma Nara Sura dari muka bumi.
Empat keputusan maha penting dan sangat strategis, telah dibuat oleh Prabu
Suyudana hanya dalam beberapa menit! Wooooow…. Hal ini belum pernah
terjadi dalam sejarah panjang Negeri Hastina-Pura! Teriakan “Hidup Prabu
Suyudana” dan teriakan “Hidup Negeri Hastina-Pura” berulang-ulang bergema
gegap-gempita di dalam ruang pakuwon Hastina-Pura yang mewah dan sangat
besar itu. Senyum lebar penuh kebanggaan, tersungging di wajah sang Prabu
Suyudana. Seakan-akan kemenangan Perang Barata-Yudha sudah diraih.
Minuman dan makanan lezat segera disuguhkan kepada seluruh hadirin, untuk
merayakan dibuatnya keputusan penting hari itu. Bunyi denting gelas
minuman beradu dengan gelas minuman di tangan para hadirin, seakan
memberikan pertanda bahwa mereka semua sedang merayakan sebuah
kemenangan besar……
Sesuai dengan strategi dan kebijakan yang telah dinyatakan sang Prabu
Suyudana, segera setelah selesai dengan sidang kenegaraan yang amat sangat
penting itu, segera diadakan „konferensi pers‟. Para wartawan dalam negeri dan
luar negeri dari berbagai kantor berita, stasiun televisi, dan stasiun radio;
berdesak-desak di depan ruang pakuwon Hastina-Pura, menginginkan berita
paling mutakhir, yang dipastikan akan membuat pemirsa dan mendengar di
seluruh jagat terpana! Dalam hitungan detik, berita tentang apa yang terjadi di
Negeri Hastina-Pura itu segera menyebar ke seantero jagat.
Kegemparanpun tiba-tiba terjadi di Negeri Traju-Trisna. Panglima Tentara
Nasional Traju-Trisna, Maha Patih Pancat-Nyana, tiba-tiba menerima laporan
dinas intelejen Traju-Trisna yang menyatakan adanya gerakan mencurigakan
pasukan Hastina-Pura secara besar-besaran, yang diperkirakan sedang menuju
kepakuwon Traju-Trisna dan Pandhawa! Dinas intelejen Amarta-Pura juga
melaporkan hal yang sama. Belum lagi kebingungan para kerabat Pandhawa dan

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 26


Traju-Trisna itu selesai, di pakuwon Pandhawa tiba-tiba datang Maha Patih
Sangkuni bersama sejumlah pengawal, sambil mengibarkan bendera putih tanda
perdamaian. Kepada para tetua Pandhawa Maha Patih Sangkuni menyampaikan
surat resmi dari Prabu Suyudana. Tanpa menunda waktu, sidang darurat segera
dilakukan secara tergesa-gesa, guna membahas kedatangan Maha Patih
Sangkuni yang membawa surat permintaan 'gencatan senjata sementara' pihak
Kurawa dan sekutunya; juga tentang surat kesediaan pihak Kurawa untuk
membantu Pandhawa dalam upaya mengalahkan Prabu Boma Nara Sura dan
kekuatan militernya. Semua kejadian ini sangat mengejutkan para kerabat
Pandhawa dan seluruh sekutunya.
Rapat penting kerabat Pandhawa dan sekutunya masih berlangsung, ketika
tibatiba datang laporan intelejen yang disampaikan kepada Maha Patih
PancatNyana, yang menyatakan bahwa Prabu Boma Nara Sura dan Prabu Anom
Gathutkaca tengah terlibat pertempuran sengit. Semua itu serba
membingungkan! Lebih membingungkan lagi, tersebar berita yang belum bisa
dipastikan kebenarannya, bahwa saat ini pihak Hastina-Pura sedang melakukan
perundingan resmi dengan pihak Amarta-Pura, untuk melenyapkan Prabu Boma
Nara Sura! Maha Patih Pancat-Nyana tidak habis mengerti! Bagaimana bisa,
Prabu Boma Nara Sura yang jelas-jelas berpihak kepada kerabat Pandhawa,
dikabarkan sedang bertempur melawan Prabu Anom Gathutkaca yang juga
kerabat Pandhawa. Para analisis dinas intelejen Negeri Traju-Trisna segera
melakukan analisis dan mencernati segala laporan dan berita yang semuanya
serba membingungkan itu.
Dan, di akhir proses analisis berbagai laporan intelejen itu, para pejabat militer
Negeri Traju-Trisna sampai pada kesimpulan, „dipastikan ada provokator di
dalam tubuh pihak Negeri Amarta-Pura dan sekutunya, yang telah dengan amat
sangat sukses telah berhasil membuat seluruh persekutuan kekuatan militer
Pandhawa menjadi pecah berantakan!‟ Ini merupakan kesimpulan paling
penting, yang dibuat oleh Kepala Dinas Rahasia Negeri Traju-Trisna. Dan, yang
lebih mengejutkan lagi, tersiar berita-berita dalam laporan intelejen paling
mutakhir, bahwa yang bertindak sebagai provokator adalah Prabu Kresna,
pejabat tertinggi dalam Biro Keamanan Nasional (National Security Agency,
NSA) Negeri Amarta-Pura. Berita ini, bagaikan sambaran halilintar di siang
bolong bagi Maha Patih Pancat-Nyana! Sangat aneh dan tidak di akal Maha
Patih Pancat-Nyana, bagaimana bisa ayahanda Prabu Boma Nara Sura, justru
bertindak sebagai provokator yang bisa saja berakibat jatuh korban di pihaknya
sendiri. Bisa saja Prabu Anom Gathutkaca, Prabu Boma Nara Sura, atau
keduanya gugur dalam pertempuran sengit di antara keduanya. Memikirkan hal
ini, Maha Patih Pancat-Nyana diam terpaku, termenung, dan tak mengerti;
bagaimana semua ini bisa terjadi.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 27


Bagaimanapun juga, Maha Patih Pancat-Nyana harus membuat keputusan,
sementara junjungannya, Prabu Boma Nara Sura sedang tidak berada di tempat.
Jika nanti ternyata ada kesalahan dalam pembuatan keputusan penting, tentu
seluruh kesalahan akan ditumpukan kepadanya. Maha Patih Pancat-Nyana
beserta keempat Kepala Staf Angkatan Bersenjata Negeri Traju-Trisna segera
melakukan rapat tertutup. Dalam rapat penting itu, akhirnya disepakati bahwa
karena Prabu Boma Nara Sura sedang tidak ada di tempat, dan diketahui sedang
dalam bahaya; maka demi menjamin keselamatan Prabu Boma Nara Sura dan
Negeri Traju-Trisna, segala keputusan dan wewenang harus diambil alih oleh
Maha Patih Pancat-Nyana.
Setelah diam sesaat, Maha Patih Pancat-Nyana tanpa ragu-ragu sedikitpun
berkata: “Baiklah…., sesuai dengan wewenang, hak, dan kewajiban yang
diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negeri Traju-Trisna, maka seluruh
wewenang Prabu Boma Nara Sura sejak saat ini saya ambil-alih sementara,
sampai sang Prabu Boma Nara Sura berada kembali di lingkungan kita dengan
selamat. Sekarang, saya perintahkan kepada seluruh jajaran wadya-bala tentara
Negeri Traju-Trisna untuk segera bersiaga dan bersikap waspada. Persiapkan
seluruh persenjataan. Jika ada gerakan pasukan yang mencurigakan, dari mana
pun itu, segera lakukan serangan secara besar-besaran. Jangan perdulikan lagi,
apakah serangan itu berasal dari pihak Pandhawa atau dari pihak Kurawa. Sejak
saat ini, kita tidak lagi bisa mempercayai pihak mana yang sebenarnya
merupakan sekutu Negeri Traju-Trisna. Sejak saat ini pula, kita tidak bisa lagi
berbagi informasi dengan pihak mana pun. Laporan intelejen paling mutakhir,
justru menunjukkan, bahwa semua pihak kerabat Kurawa dan sekutunya, yang
semula menjadi musuh para kerabat Pandhawa; ternyata telah bergabung
bersama-sama. Saya belum bisa menetapkan secara pasti, apakah hal ini
merupakan pertanda bahwa mereka semua telah berbalik dan akan memerangi
Negeri Traju-Trisna. Tetapi, jika melihat gelagat dengan telah terjadinya
pertempuran antara sinuwun Prabu Boma Nara Sura dengan Prabu Anom
Gathutkaca; saya sementara ini dapat menyimpulkan dan memastikan, bahwa
rupanya telah terjadi upaya untuk melenyapkan eksistensisinuwun Prabu Boma
Nara Sura, dan juga seluruh kekuatan Negeri Traju-Trisna. Karenanya, sejak
saat ini saya memutuskan dan memerintahkan, supaya seluruh jajaran kekuatan
militer Negeri Traju-Trisna ditarik dari persekutuan dengan Negeri
AmartaPura.” Semua pejabat tinggi Negeri Traju-Trisna yang terlibat dalam
rapat terbatas itu menganggukkan kepalanya tanda setuju.
Dalam waktu yang amat singkat, seluruh kekuatan militer Negeri Traju-Trisna
yang terkenal sangat kompak, loyal, dan disiplin itu; sudah ditarik mundur
menjauhi wilayah sekitar Palagan Kuru-Setra. Dalam waktu yang amat singkat
pula, segera terlihat adanya dua pihak kekuatan militer yang saling berhadapan
dalam jarak yang cukup jauh. Di salah satu sisi, terlihat jajaran bala tentara
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 28
Negeri Traju-Trisna, sedangkan di sisi lainnya terlihat gabungan bala tentara
yang berasal dari enam negara, termasuk Negeri Amarta-Pura dan Hastina-Pura.
Dari sikap yang ditunjukkan, terlihat bahwa kedua jajaran bala tentara itu, siap
siaga untuk bertempur. Tinggal menunggu komando serangan saja. Di medan
tempur semuanya berlangsung secara senyap. Semua gerakan, dilakukan secara
diam-diam. Meskipun demikian, masing-masing pihak sebenarnya bisa saling
mengamati apa yang sedang terjadi di seberang tempat kedudukan
masingmasing.
Maha Patih Pancat-Nyana bersama keempat Kepala Staf Tentara Nasional
Traju-Trisna, dengan teropong jarak jauhnya, mengamati kedudukan jajaran
bala tentara yang berada jauh di seberang tempat pertahanan pasukannya. Di
kejauhan, bergerak-gerak seperti gelombang bayangan hitam, terlihat gabungan
tentara enam negara membayang di batas cakrawala. Di antara kedua jajaran
pasukan besar itu, terbentang medan Palagan Kuru-Setra yang terlihat diam
menunggu datangnya kematian dan tumpahan darah. Suasananya semakin lama
menjadi semakin mencekam. Debumangampak-ampak tertiup samirana di
Palagan Kuru-Setra, membuat pandangan menjadi kabur. Awan debu yang
tertiup angin itu, beberapa saat lamat-lamat seperti menampakkan wujud
Bathara Yama-Dipati, sang pencabut nyawa. Sesekali, juga menampakkan
bayangan seperti Bathara Kala, sang pemakan nasib manusia di alam janaloka.
Bayangan debu yang mangampak-ampak tertiup angin itu, semakin membuat
medan Palagan Kuru-Setra tampak seperti neraka yang menggelegak di
alamjanaloka. Namun, di seluruh sisi Palagan Kuru-Setra semuanya diam
membisu, meskipun memendam ketegangan luar biasa……
Jauh di ruang angkasa, pertempuran antara Prabu Boma Nara Sura dan Prabu
Anom Gathutkaca masih berlangsung sengit. Setiap kali Prabu Anom
Gathutkaca berhasil membunuh Prabu Boma Nara Sura, setiap kali pula ia
hidup kembali. Aji-aji Panca-Sona atau aji-aji Rawa Rontek bekerja baik sekali
hari ini, sehingga membuat Prabu Anom Gathutkaca habis akal. Pendar-pendar
pertempuran, dari kejauhan terlihat membiaskan warna api yang menyemburat,
ditimpa suara ledakan-ledakan dahsyat berulang kali. Seperti kata para tetua
Pandhawa yang setiap kali memberi petuah kepada Prabu Anom Gathutkaca,
“Seribu kali engkau berhasil membunuh Boma Nara Sura, seribu kali pula ia
akan hidup kembali.” Kalimat nasehat para tetua itu, selalu mengiang-ngiang di
telinga Prabu Anom Gathutkaca, seakan memberi tahu dirinya, bahwa ia tak
akan bisa memenangkan pertempuran itu.
Di antara kesibukannya melawan serangan Prabu Boma Nara Sura, tiba-tiba saja
Prabu Anom Gathutkaca seperti mendengar ada sesuatu bisikan di telinganya. Ia
seperti mengenali suara yang membisikkan itu. Bisikan itu seperti bercerita
tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau. Seakan mengingatkan
kembali pada perang terbatas dalam peristiwa Rebut Kikis Tunggarana. Bisikan
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 29
itu semakin jelas: “Gathutkaca…., di masa perang terbatas dalam peristiwa
Rebut Kikis Tunggarana, engkau hampir saja bisa dikalahkan oleh Boma Nara
Sura, saat topeng baja pelindung wajahmu berhasil dihancurkan oleh Boma
Nara Sura. Tetapi ada peristiwa yang sangat menguntungkan dirimu saat itu,
dan persitiwa itulah yang membuat dirimu selamat dan sampai sekarang
membuat dirimu masih bisa hidup, yaitu senjata yang dipakai Boma Nara Sura
untuk menghancurkan topeng baja pelindung wajahmu itu, ternyata ikut hancur.
Leburnya senjata milik Boma Nara Sura dan topeng baja pelindung wajahmu
itu, yang terbukti telah menyelamatkan jiwamu itu, ternyata engkau lupakan,
hanya karena engkau dan Boma Nara Sura setelah peristiwa Rebut Kikis
Tunggarana itu, berhasil mencapai perdamaian. Engkau bahkan sama sekali
tidak tahu, apa yang kemudian terjadi dengan senjata milik Boma Nara Sura dan
topeng baja pelindung wajahmu itu.” Mendengar bisikan itu, Prabu Anom
Gathutkaca mulai memikirkan. Suara bisikan siapakah itu? Dan, mengapa
bisikan itu menceritakan kembali peristiwa yang sudah hampir dilupakannya?
Tetapi, kesibukan melawan serangan Prabu Boma Nara Sura, telah membuat
Prabu Anom Gathutkaca tidak bisa memikirkan lebih lanjut.
Beberapa saat kemudian, Prabu Anom Gathutkaca mendengar kembali bisikan
itu. “Topeng baja pelindung wajahmu dan senjata milik Boma Nara Sura itu,
sebenarnya merupakan dua teknologi yang amat sangat mutakhir. Engkau dan
Boma Nara Sura bahkan sama sekali tak akan bisa membayangkan apa yang
sudah terjadi dengan kedua benda itu. Engkau sama sekali tak menyadarinya.
Begitu juga Boma Nara Sura. Penyebabnya? Engkau dan Boma Nara Sura
terlanjur terbuai oleh perdamaian yang amat sangat menyenangkan dan
membahagiakan. Karena perdamaian itu telah menyelamatkan dirimu dan Boma
Nara Sura. Bahkan engkau dan Boma Nara Sura sesaat setelah berdamai, saling
berpelukan dan saling memaafkan. Dan, sejak saat itu, engkau dan Boma Nara
Sura bahkan kembali dengan bergandeng tangan layaknya saudara kandung
yang sudah lama terpisah dan tak bertemu. Tetapi, jika saja salah satu di antara
engkau berdua sadar akan hal itu, maka pertempuran hari ini tak akan ada dan
tak akan pernah terjadi. Karena dipastikan salah satu darimu, entah Boma Nara
Sura atau dirimu pasti sudah lama lenyap dari muka bumi.”
Mendengar bisikan itu, Prabu Anom Gathutkaca mencoba memikirkan kembali
seluruh peristiwa yang sudah lama terjadi dan hampir saja membuat dirinya
terbunuh. Tetapi, ingatannya hanya sebatas sampai kepada peristiwa
perdamaian yang membahagiakan dirinya. Selanjutnya, tak ada lagi yang bisa
diingatnya lagi. Atau, lebih tepat jika dikatakan bahwa ia memang tak pernah
berusaha memikirkannya lagi.
Bisikan itu mengiang lagi: “Topeng baja pelindung wajahmu dan senjata milik
Boma Nara Sura itu, sebenarnya sama sekali tidak hancur, tetapi tanpa kau

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 30


ketahui ternyata telah menyatukan diri, dan mengubah fungsinya menjadi
sebuah senjata baru yang sangat mutakhir, berupa jala raksasa yang tak nampak
oleh penglihatan manusia. Selama ini, jala raksasa yang tak nampak itu,
mengambang di atas permukaan bumi. Benda itu, dulu terlempar dan jatuh
mengambang di atas suatu lapang rumput luas padhang pangonan di wilayah
hutan Kikis Tunggarana. Tentu saja tidak ada yang berhasil menemukannya,
karena benda itu memang tidak tampak di mata manusia maupun binatang.
Sejauh ini, hanya mata para dewa yang bisa melihat keberadaannya.” Prabu
Anom Gathutkaca terperangah oleh informasi baru itu, tetapi ia memang sama
sekali tak pernah menyangka bahwa topeng baja pelindung wajahnya dan
senjata milik Boma Nara Sura bisa bersatu dan malah berhasil mengubah diri
menjadi suatu senjata baru yang tak terbayangkan kemampuannya.
Telinga Prabu Anom Gathutkaca masih terdengar mengiang-ngiang bisikan:
“Engkau pasti masih ingat „kata sandi‟ yang kau pakai untuk memakai dan
membuka topeng baja pelindung wajahmu. Jika engkau bisa mengingat kembali
apa kata sandi yang harus kau ucapkan untuk „memanggil‟ topeng baja
pelindung wajahmu itu, maka engkau akan bisa „memanggil dan menempatkan‟
senjata baru itu supaya benda itu pergi ke tempatmu sekarang. Satu-satunya
kesulitan yang terjadi, adalah engkau tetap tidak akan bisa melihat keberadaan
benda itu, karena sifatnya yang tak nampak oleh mata manusia. Tetapi,
keberadaan benda itu tetap bisa kau amati dari tersangkutnya burung yang
sedang terbang dan kemudian tersangkut karena menabrak jaring raksasa yang
tak nampak itu.” Begitu mendengar bisikan yang terakhir itu, seperti tersengat
aliran listrik bertegangan jutaan volt, Prabu Anom Gathutkaca segera tersadar!
Jadi…., ia harus bisa membunuh Prabu Boma Nara Sura dan segera
menjatuhkan tubuh lawannya itu tepat di atas jaring raksasa yang tak nampak di
mata manusia. Ini merupakan pekerjaan yang tak terlampau sukar bagi Prabu
Anom Gathutkaca, andai saja ia masih segar. Tetapi karena pertempuran yang
sudah berlangsung sedemikian lamanya, ternyata telah menguras habis hampir
seluruh tenaga dan pikiran Prabu Anom Gathutkaca.
Prabu Anom Gathutkaca berusaha memikirkan dan mengingat kembali, apa
„kata sandi‟ yang dipakai untuk memanggil „benda yang terlupakan itu‟. Prabu
Anom Gathutkaca hanya ingat bahwa kata sandi itu berupa tembang mantra
sulukan dhalang yang amat panjang. Lama ia tak dapat mengingat bait-bait
syairnya, meskipun ia sudah berusaha mengingatnya. Tetapi, perlahan-lahan ia
seperti bisa melihat ada bayangan tulisan kuno yang berisi kata sandi itu di
pelupuk matanya. Tulisan berisi syairmantra tembang kuno, yang dulu biasa
ditembangkannya jika ia ingin melindungi dirinya. Seperti terbangun dari
mimpi, Prabu Anom Gathutkaca memejamkan mata, berusaha memperjelas
penglihatan batinnya. Lalu, di dalam bayangan matanya, tiba-tiba seperti
terpapar lembar-lembar ‘ron tal’ yang berisi bait-bait syair tembang mantra
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 31
sulukan dhalang. Deretan huruf kuno yang semula terlihat membayang kabur,
bergerak-gerak seperti mengambang di atas ombak samodra. Lalu, perlahan-
lahan semakin lama semakin tenang dan semakin jelas. Dan, akhirnya Prabu
Anom Gathutkaca seperti bisa melihat jelas, apa yang terbayang di pelupuk
matanya…..

O,
Kamahatmyan setyaning tanaya,
Mangaji mangastuti laku utami,
Myang ingajara ilmu kang winadi,
O,
Kayogyan ika huriping driya,
Lir pawarahing dewa,
Kang winarah ing jaman parwa,
Sangsaya isti istyakara kang
utama,
O,
Pindha manikam cahyanya,
O,
O……[5]

Prabu Anom Gathutkaca segera mencoba membaca bayangan kata-kata bait


tembang mantra sulukan dhalang itu. Semula tidak lancar. Lalu, perlahan-lahan
seluruh ingatannya kembali ke masa lampau. Dan, dengan suaranya merdu
tetapi sedikit parau, Prabu Anom Gathutkaca mulai menembangkanmantra
sulukan dhalang dalam nada Slendro gaya Pesisir yang terasa sendu…… Ruang
angkasa terasa sepi seketika. Seakan tak ada makhluk hidup di sana. Di
kejauhan, awan-awan bergerak-gerak, seakan ada tangan raksasa yang
menguakkannya. Di batas angan cakrawala, tiba-tiba memendar cahaya
cemerlang. Semburat berkas-berkas putih cahayanya, seperti menandakan
bahwa ada sesuatu yang sedang melayang menghampiri. Pendar-pendar cahaya
itu, seperti melingkup sesuatu yang amat sangat besar. Hanya kedip-kedip
cahaya cemerlang yang tampak di ruang angkasa. Prabu Anom Gathutkaca
terpesona melihat pemandangan yang menakjubkan itu. Sesaat it lupa bahwa di
kejauhan ada Prabu Boma Nara Sura yang juga memperhatikan terjadinya
fenomena ajaib itu. Mereka sama-sama terpesona. Tak nampak apa-apa, kecuali
pendar-pendar cahaya yang menyilaukan. Pendar-pendar cahaya itu, seakan
bergerak-gerak, bergelombang seperti mengambang di atas air samodra yang
tak tampak.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 32


Di kejauhan, entah dari mana, tiba-tiba tampak sekumpulan burung
Branjangan yang terbang cepat beriringan. Terbang berkelok-kelok tak teratur.
Lalu, burung-burung itu seperti tersihir, sayapnya tetap mengepak tetapi
berhenti terbang. Suara cicit burung-burung Branjangan itu seakan
menampakkan kepanikan, saat sayap yang mengepak tak menghasilkan gerak
kemana-mana. Prabu Anom Gathutkaca seperti dibangunkan dari mimpi saat
melihat sekumpulan burung mengepakkan sayapnya, tetapi berhenti terbang. Ia
seperti diingatkan kembali, bahwa jala raksasa yang terbentang luas itu hanya
bisa diamati keberadaannya saat ada sekumpulan burung yang terperangkap di
jaring raksasa yang tak nampak oleh penglihatan makhluk hidup.
Tersadar dari pemandangan yang menakjubkan, Prabu Anom Gathutkaca segera
sadar bahwa sekaranglah saatnya bertindak. Dengan sisa-sisa tenaga yang masih
dimilikinya, Prabu Anom Gathutkaca berusaha menyerang Prabu Boma Nara
Sura. Upaya ini dilakukannya berkali-kali, tetapi rupanya antara niat dan usaha,
sudah mulai tak sejalan. Niat yang sangat kuat, sudah tidak didukung lagi oleh
tenaga yang cukup. Dalam beberapa kali upaya menyerang, bahkan Prabu Boma
Nara Sura berhasil memukul mundur serangan yang dilakukan Prabu Anom
Gathutkaca. Pada suatu ketika, dengan seluruh sisa tenaganya Prabu Anom
Gathutkaca berusaha menyerang. Tetapi suatu ledakan dahsyat terdengar di
telinganya. Kilauan cahaya yang sangat terang membuat pedih matanya. Tubuh
Prabu Anom Gathutkaca terlempar jauh. Badannya serasa remuk. Tubuh Prabu
Anom Gathutkaca melayang di ruang angkasa. Prabu Anom Gathutkaca ingin
menggerakkan anggauta tubuhnya. Tetapi ia ternyata sama sekali tak dapat
menggerakkan seluruh anggauta badannya. Seluruh tenaganya seakan lenyap.
Tubuhnya melayang-layang di angkasa. Sementara di kejauhan tampak Prabu
Boma Nara Sura mengawasinya dari dalam kendaraan Garuda Wilmana-nya.
Pertempuran kedua ksatria itu seakan berhenti seketika. Tetapi, tiba-tiba
terdengar suara gemuruh memenuhi ruang angkasa yang semula sunyi. Di sisi
batas cakrawala tampak semburat berkas cahaya yang amat sangat terang
menyeruak angkasa. Pendaran cahayanya sedemikian terangnya, sampai
membutakan sesaat semua makhluk yang melihat. Gemuruh suaranya semakin
lama semakin terdengar keras. Di antara gemuruh suara yang menggema ke
seluruh ruang angkasa itu, tampak sekilas ujung senjata Cakra Baskara yang
melesat dengan kecepatan tak terkirakan memecah awan-awan, disertai cahaya
yang amat sangat terang. Prabu Boma Nara Sura sedetik hanya sempat melihat
senjata bercahaya cemerlang itu ternyata menuju ke dirinya. Tak sempat
berpikir, tak sempat bereaksi, tubuh Prabu Boma Nara Sura tiba-tiba saja
terpental menabrak dinding logam dalam kendaraan Garuda Wilmana-nya.
Kendaraan Garuda Wilmana-nya sempat memberikan peringatan sekejab.
Terdengar lengkingan teriakan peringatan parau Garuda Wilmana yang
menyatakan bahwa badannya mulai hancur. Ledakan yang amat sangat keras

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 33


terdengar saat pendaran cahaya di ujung senjata Cakra Baskara itu menyentuh
dinding luar kendaraan Garuda Wilmana. Hanya sedetik, semuanya lebur
bertebaran menjadi pecahan dan lelehan logam disertai semburan api. Hanya
sedetik…..! Lalu semuanya menjadi sunyi kembali…….
Tubuh Prabu Boma Nara Sura dan sisa-sisa badan kendaraan ruang angkasanya
Garuda Wilmana, melayang terbanting-banting di kelamnya ruang angkasa.
Sekejab kemudian, tubuh dan sisa kendaraan ruang angkasa yang canggih itu
tiba-tiba seperti berhenti mendadak. Mengambang terguncang-guncang di atas
angkasa. Tertahan jaring yang tak terlihat mata. Tak ada suara apapun yang
terdengar. Semuanya sunyi mengerikan…. Semua mata yang melihat kejadian
itu dari kejauhan, terbelalak. Keringat dingin mengucur dari tubuh setiap orang
yang memandang kejadian mengerikan itu. Peperangan di darat terhenti
seketika!
Belum lagi hilang ketakutan orang yang melihat kejadian itu, tiba-tiba jauh di
angkasa seberkas cahaya cemerlang melintas. Dalam keremangan ruang
angkasa, tiba-tiba muncul suatu kereta angkasa yang luar biasa besar, disertai
pendaran cahaya menyilaukan. Dari kendaraan angkasa itu, tiba-tiba muncul
berkas cahaya yang menyorot ke atas jaring raksasa yang tak terlihat mata
makhluk hidup. Sekejab kemudian, tubuh Prabu Boma Nara Sura beserta
seluruh sisa-sisa kendaraan Garuda Wilmana-nya yang telah hancur lebur itu,
terlihat disinari berkas cahaya yang menyilaukan. Dan, tiba-tba saja tubuh Prabu
Boma Nara Sura dan sisa-sisa kendaraan angkasanya lenyap dari pandangan
mata, disertai suara gemuruh yang memekakkan telinga. Sesaat kemudian,
ruang angkasa menjadi sunyi kembali.
Di antara kesunyian ruang angkasa itu, tiba-tiba saja terdengar suara parau yang
entah dari mana datangnya. Suara itu seperti datang dari ruang gelap dalam
kereta angkasa yang amat sangat besar dan mengambang jauh di kedalaman
ruang angkasa. Lalu terdengar suara menggelegar: “Kresna, hari ini engkau
telah mengorbankan dua orang ksatria! Meskipun engkau titisan Sang Hyang
Wisnu, tetapi hari ini engkau adalah manusia seperti manusia lainnya. Dan,
seperti engkau sering menasehatkan kepada para ksatria, bahwa „manusia harus
bertanggung-jawab atas perbuatannya‟, maka hari ini engkau juga harus
bertanggung-jawab atas perbuatanmu. Saya…., Sang Hyang Naga-Raja, kakek
cucuku Boma Nara Sura, bersaksi bahwa saya akan membawa kembali tubuh
Boma Nara Sura ke Kahyangan Jala-Tundha. Bahkan jika engkau tetap
menyatakan bahwa Boma Nara Sura sebagai manusia yang hina dan rendah, di
mataku ia tetap cucuku, kstaria yang membela kehormatan dirinya. Meskipun
engkau mengatakan bahwa cucuku telah membunuh isterinya Hagnyanawati
dan adik kandungnya si Samba, tetapi ketahuilah ia membunuh karena
mempertahankan martabat dan kehormatannya. Bahkan jika pun pembunuhan
itu bukan karena provokasi Garuda Wilmana, aku tetap akan membela cucuku si
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 34
Boma Nara Sura, karena ia adalah suami si Hagnyanawati. Ia sejak awal
memang sangat cinta kepada si Hagnyanawati. Puteramu saja, si Samba keparat
dan menantumu si Hagnyanawati yang tak tahu diri, tak tahu adat, dan tak bisa
menjaga kehormatan dirinya sendiri; sehingga mereka berlaku rendah dan
candhala. Kelakuan mereka berdua, bukan seperti layaknya seorang ksatria dan
seorang dewi yang patut dipuja dan dihormati. Kelakuan mereka, bahkan lebih
rendah dari peri-laku binatang. Binatang saja bahkan masih punya rasa
kesetiaan dan tata-krama, mereka tidak akan merebut milik lain. Maka
saksikanlah….! Dalam beberapa hari ini dua kstaria akan menjadi tumbal atas
perbuatanmu. Dan, sesuai apa yang pernah kau katakan kepada banyak ksatria,
maka engkau akan termakan oleh kata-katamu sendiri. Akhir hidupmu akan
penuh kesengsaraan, dan karena itu pula kematianmu nanti akan penuh
kesulitan yang sangat menyakitkan; sama seperti engkau menyakiti banyak hati
para ksatria yang secara semena-mena telah engkau korbankan hanya demi
mempertahankan sejengkal tanah dan demi langgengnya sebuah
kekuasaan……”
Suara menggelegar itu lenyap seketika. Seluruh medan perang Tegal Kuru-Setra
sunyi sepi. Pasukan Negeri Traju-Trisna berhasil memukul mundur seluruh
pasukan Hastina-Pura. Tetapi, Maha Patih Pancat-Nyana dan seluruh
pasukannya yang selalu setia kepada junjungannya, Prabu Boma Nara Sura
akhirnya melakukan upacara ‘puputan’ (bunuh diri), sebagai tanda bakti kepada
junjungannya yang telah sekian lama sudah memberikan kehormatan,
kesejahteraan, dan martabat; kepada mereka semua. Kepada seluruh jajaran
pasukan Negeri Traju-Trisna, sebelum melakukan upacara ‘puputan’,Maha
Patih Pancat-Nyana sempat memberikan kata-kata terakhirnya di hadapan
seluruh pasukan Negeri Traju-Trisna: “Kita semua memang jenis bangsa
raksasa, yang seringkali dipandang rendah oleh bangsa manusia. Tetapi hari ini,
kita akan membuktikan kepada mereka semua, bahwa kita, bangsa raksasa, bisa
menjaga dan mempertahankan kehormatan, martabat, dan harga diri yang kita
pegang teguh selama ini. Junjungan kita sinuwun Prabu Boma Nara Sura telah
meninggalkan kita semua. Beliau tidak gugur, tetapi akan tetap hidup di dalam
hati setiap penduduk Negeri Traju-Trisna. Dan, karena itu pula setelah kita nanti
menyelesaikan upacara puputan, kita akan bersama beliau, kembali ke haribaan
Sang Penguasa Jagat Raya. Sinuwun Prabu Boma Nara Sura, selama hidupnya
telah memberikan semua yang kita mimpikan sebagai makhluk hidup, yang
selama ini selalu direndahkan martabatnya oleh bangsa manusia. Kita semua
bisa menjadi terhormat seperti sekarang ini, karenasinuwun Prabu Boma Nara
Sora. Jadi, sebagai balas budi dan sebagai darma bakti kita kepada seorang yang
telah membuat kita menjadi seperti sekarang; maka hanya ada satu yang bisa
dipersembahkan kepada beliau, yaitu ‘bela pati’ dalam upacara puputan. Kita
akan melakukan serangan besar-besaran. Semua perajurit Negeri Traju-Trisna

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 35


secara bersama-sama, sehati, dan seperjuangan; akan menyerang musuh sampai
titik darah terakhir dan sampai perajurit terakhir. Saya akan berdiri bersama
kalian semua saat melakukan puputan bela pati ini. Sebelum melaksanakan
perintah, tolong bacakan doa terakhir bagi kita semua……..”
Ribuan wadya-bala Negeri Traju-Trisna diam tunduk mendengar dengan hikmat
kalimat terakhir Maha Patih Pancat-Nyana. Lalu doa dan mantra ditembangkan
perlahan. Suasana berubah menjadi mencekam saat semua perajurit Negeri
Traju-Trisna itu bersama-sama mengganti baju keprajuritannya dengan
lembaran kain putih. Umbul-umbul peperangan juga diganti dengan
umbulumbul kain berwarna putih. Lautan ribuan pasukan bangsa raksasa itu,
tiba-tiba saja berubah menjadi lautan putih. Lembar kain putih menutupi setiap
tubuh perajurit Negeri Traju-Trisna, demikian pula mahkota-mahkota yang
semula dipakai semuanya digantikan dengan ikatan kain putih.
Bergelombanggelombang pasukan Negeri Traju-Trisna seluruhnya sudah
bersiap untuk melakukan serangan. Tidak seperti biasanya, seluruh perajurit
Negeri TrajuTrisna hari itu melakukan serangan besar-besaran sambil
melantunkan tembang mantra dan doa. Suara tembang mantra puputan bela pati
dan doadoanya bagaikan suara jutaan kumbang…..
Hari itu, seluruh pasukan Negeri Traju-Trisna memenuhi janjinya kepada
sinuwun junjungan mereka sang Prabu Boma Nara Sura. Sejauh mata
memandang, medan perang Tegal Kuru-Setra memutih, dipenuhi tubuh ribuan
pasukan Negeri Traju-Trisna yang berselimut kain putih itu, terbaring diam di
atas permukaan tanah bumi pertiwi. Di antara tubuh-tubuh yang diam tak
bergerak itu, tampak tubuh Maha Patih Pancat-Nyana terbaring sambil tetap
memegang keris pusakanya yang dalam keadaan‘ligan’ (tak disarungkan).
Darah membasahi tubuhnya yang tinggi besar.
Beberapa hari setelah peristiwa menyedihkan itu, Perang Barata-Yudha
berkobar kembali. Dan, seperti sudah ditakdirkan, Prabu Anom Gathutkaca
gugur saat melawan Adipati Karna. Di sisi tubuh sang Prabu Anom Gathutkaca,
berdiri memaku ayahandanya Radyan Bima-Sena tak bisa berkata-kata. Baru
kali ini, orang melihat Radyan Bima-Sena menangis berjam-jam. Di kejauhan,
tampak berdiri dua orangabdi dalem Negeri Traju-Trisna, sang Teja-Mantri dan
Sara-Wita. Kedua tangan abdi dalem kinasih itu diangkat tinggi-tinggi sambil
menggumankan suara: “Sinuwun Prabu Boma Nara Sura dan seluruh perajurit
Negeri Traju-Trisna, selamat jalan. Semoga sinuwun menemukan kebahagiaan
yang abadi di alam sana, bersama seluruh rakyat Traju-Trisna yang telah
melakukan puputan bela pati.” Air mata keduanya bercucuran tak
tertahankan……
Di kejauhan terdengar tembang sendu dinyanyikan orang, seakan diam-diam
ditujukan kepada Prabu Boma Nara Sura….

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 36


Dhuh nyawa rerentenging raga,
Sun arsa ambeberaken,
Goreh runtik jroning nala,
Sun anandang lara brangti,
Dhuh puspita aneng teleng kalbu,
Gawe sun tan bisa nendra,
Mung sira pepujaningsun,
Langgeng lami salawasnya,
Karon sih lan sira nini,
Tunggal sajiwa sajati….[6]

Malam menjadi semakin dingin. Di antara sepinya malam, terdengar


lamatlamat „Gendhing Laler Mengeng‟ dimainkan para pradangga, seakan
mengingatkan kepada seluruh riwayat hidup sang Prabu Boma Nara Sura.
Seorang ksatria yang dilupakan. Di jalan-jalan raya Negeri Dwara-Wati
sekalipun, nama Boma Nara Sura tidak pernah diabadikan menjadi nama jalan.
Sebaliknya, nama Radyan Samba selalu diabadikan menjadi nama jalan di
setiap kota dalam wilayah Negeri Dwara-Wati. Di Negeri Traju-Trisna,
meskipun kekuasaan sang Boma Nara Sura telah lama digantikan, tetapi di
setiap rumah penduduknya selalu terpasang dan tersimpan lukisan atau gambar
Prabu Boma Nara Sura. Di hati rakyat Negeri Traju-Trisna, Prabu Boma Nara
Sura ternyata tetap hidup……..
PENUTUP, RENUNGKANLAH KEHIDUPANMU SAAT INI

___________________________

[1] Bathara Darma, sering disebut dengan nama lain, yaitu Bathara Ulam Derma atau Bathara
Wulan Derma. Sedangkan sebutan ‘bathara’ seringkali juga diganti dengan sebutan ‘hyang’
,‘sang hyang’, ‘hywang’, atau ‘sang hywang’. Karenanya, lalu sering disebut „Sang Hyang
Wulan Derma‟.
[2] Bathara Darmi, sering disebut dengan nama lain, yaitu Bathara Ulam Dermi atau Bathara
Wulan Dermi. Sedangkan sebutan ‘bathara’ seringkali juga diganti dengan sebutan ‘hyang’
,‘sang hyang’, ‘hywang’, atau ‘sang hywang’. Karenanya, lalu sering disebut „Sang Hyang
Wulan Dermi‟.
[3] Istilah 'vimana', pada masa sekarang justru dikenal sebagai kendaraan ruang angkasa yang
sekarang kita kenal sebagai 'UFO" (unidentified flying object)atau 'benda terbang tak dikenal',
yang dalam istilah populer sering disebut 'piring terbang' (flying saucer).
[4] Saat masih muda, Prabu Boma Nara Sura bernama Radyan Suteja atau seringkali juga disebut
Radyan Sitija. Pada saat ia berhasil mengalahkan Prabu Bomantara, sukma Prabu Bomantara

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 37


merasuki dan bersemayam dalam tubuh Radyan Sitija. Peristiwa inilah yang membuat Radyan
Sitija akhirnya dikenal mempunyai 'kepribadian ganda'. Pada saat ia sedang tidak marah, maka
sukma aslinya yang dominan. Hal ini, membuat Radyan Sitija bersikap dan berperi-laku baik,
seperti seorang ksatria. Tetapi pada saat marah, sukma Prabu Bomantara menjadi dominan dan
menguasai dirinya. Akibatnya, sikap dan peri-laku Prabu Boma Nara Sura lalu berubah menjadi
jahat dan semena-mena, seperti seorang raksasa. Pada saat Radyan Sitija berhasil membunuh
Prabu Bomantara, ia kemudian memakai gelar 'Prabu Boma Nara Sura' saat menjadi penguasa
(raja) di Negeri Traju-Trisna, menggantikan Prabu Bomantara.
[5] Bait-bait syair ini, merupakan suluk tembang dhalang, Pathetan Gagrak Pesisir Ngelik
Jangkep, Laras Slendro Pathet Nem.
[6] Suluk sendhon Langen Asmara Gagrak Pesisir, Laras Slendro.

PAGELARAN WAYANG KULIT PURWA


DI TENGAH HUTAN RIMBA BELANTARA
Bram Palgunadi
13 Juni 2012 pukul 19:19 ·

Pagelaran 'bayang-bayang' wayang kulit purwa, yang menggetarkan hati, mengharu-biru emosi,
dan memikat hati penonton, merupakan dambaan....

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 38


Ini adalah kenangan indah saat saya masih anak-anak dan masih duduk di kelas
3 sampai kelas 6 Sekolah Rakyat (sekarang disebut Sekolah Dasar), di Kota
Jember, Jawa Timur. Peristiwa ini terjadi pada sekitar tahun 1962 – 1963. Di
masa-masa yang saat itu dikenal dengan sebutan „masa perebutan Irian Barat‟,
atau oleh kalangan masyarakat umum sering juga disebut „jaman Trikora‟. [1]
Pada masa itu, ayah saya bekerja sebagai seorang ADM (administratur) PN
Perhutani[2] di kantor KPH Jember. [3] Jika sedang masa liburan, saya seringkali
ikut truk milik PN Perhutani ke hutan. Kebetulan kita tinggal di komples
perumahan dinas PN Perhutani, yang lokasinya berhadapan dengan garasi dan
bengkel PN Perhutani, yang lokasinya di Patrang, sedikit di sisi utara Kota
Jember. Naik truk ke hutan, merupakan salah satu pengalaman yang
menyenangkan saya. Biasanya truk-truk PN Perhutani itu berangkat pagi-pagi,
sekitar jam 07.00 pagi Waktu Jawa (sekarang penyebutan waktu sudah diubah
menjadi jam 07.00 Waktu Indonesia Barat atau WIB), dan pulang dari hutan sore
hari. Pada masa itu, truk-truk tua yang dipakai umumnya bertonase sekitar 3,5
ton, merknya Chevrolet, Dodge, dan Fargo. Ketiga merk truk itu, buatan
Amerika.
Pada masa itu, rute truk hutan yang paling saya sukai, adalah yang menuju
hutan di sekitar Sempolan atau Garahan, yakni ke arah timur, di jalan raya yang
menuju Kota Banyu-Wangi. Selewat kota kecil Kali-Sat, truk akan menuju
Sempolan dan akhirnya berbelok ke kiri, memasuki jalan hutan. Sebelum
masuk jalan hutan, truk-truk itu biasanya berhenti untuk melapor lebih dahulu
di kantor ‘kemantren’atau kantor KRPH (Kesatuan Resor Pemangkuan Hutan)
Sempolan, yang lokasinya di sisi kiri jalan raya Jember – Banyu-Wangi. Saya
sangat senang dan karenanya juga sangat sering ikut truk yang melewati ke rute
ini dan sangat senang jika truk yang saya tumpangi mampir
ke ‘kemantren’ Sempolan ini. Mengapa? Tidak lain, karena Pak Mantri Hutan
yang tinggal di sebelah kantor kemantren ini, adalah seorang dhalang wayang.
Mantri hutan yang pada masa itu sangat terkenal ini, namanya Pak Sugondo;
yang biasanya dipanggil Pak Gondo. Disebut sangat terkenal, karena seragam
pakaiannya yang luar biasa gagah, memakai pakaian safari dan celana berwarna
cokal muda, dengan ikat pinggang kulit berukuran besar. Di ikat pinggangnya,
selalu tergatung sebuah pistol Colt „revolver‟ kaliber 38 dan sebuah „veldvles‟
(tempat air minum), serta pisau rimba berukuran besar. Sementara sepatu yang
digunakannya adalah jenis sepatu „laars‟ kulit berwarna hitam, yang tingginya
hampir mencapai lutut. Pak mantri hutan ini seringkali pergi memeriksa hutan
sambil naik kuda. Saat naik kuda ia memakai topi lebar berwarna coklat tua,
seperti topi ‘vilt’ yang biasa dipakai para koboi Amerika, tetapi dibuat dari
anyaman ‘mendong’, yang salah satu sisi sampingnya sedikit dilengkungkan ke

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 39


arah atas dan sisi samping lainnya rata. Kelihatannya gagah sekali, dan sangat
mirip dengan seorang ‘sherif’(kepala polisi „daerah pedalaman‟ Amerika).
Di samping rumah dinas tempat tinggalnya, yang letaknya hanya beberapa meter
di sebelah kanan kantor kemantren, saya bisa melihat beberapa orang sedang
‘ngerok’ (mengikis) lembaran kulit sapi atau kulit kerbau, yang ditarik kuat-kuat
ke arah samping sampai tegang memakai tali-tali yang diikatkan pada konstruksi
batang kayu berbentuk kotak (seperti pigura lukisan). Lembaran kulit sapi atau
kerbau itu, dikikis memakai „pecok‟ (seperti pacul kecil yang ditajamkan),
supaya seluruh permukaan kulitnya rata, halus, dan hilang bulubulunya.
Mengikis kulit sapi atau kerbau, biasanya dilakukan pagi hari sampai menjelang
siang hari, dan dilakukan di halaman luar. Dan, yang lebih menyenangkan hati
saya, sisa kikisan kulit yang berbentuk gulungan-gulungan kecil terputus-putus,
sesudah dikeringkan, biasanya dimasak dengan cara digoreng, dan menjadi
‘krupuk kulit’ atau ‘krupuk krecek’. Atau, dimasak menjadi ‘sambel goreng
krecek’, yang jangankan dimakan, bahkan saat melihat saja, sudah timbul air liur
saya. Lembar-lembar kulit itu, setelah kering dan rata, lalu dipotong dan dipakai
untuk membuat wayang kulit, yang proses pembuatannya juga dilakukan di teras
rumah Pak Gondo.
Selain mengikuti truk hutan, saya juga sering ikut ayah melakukan pemeriksaan
wilayah hutan, yang di kalangan kehutanan kegiatan seperti ini lazim disebut
‘tourne’. Mobil dinas milik PN Perhutani yang dipakai ayah, adalah sebuah
kendaraan jip Willys kuno, buatan tahun 1942, warna hijau tua, dengan lampu
besarnya yang sangat khas. Letak lampu depannya, di dalam lubang besar pada
panel depan kendaraan. Jip Willys kuno yang bernomor polisi P-310 ini, setiap
kali akan dipakai ‘tourne’ harus diisi air dingin lebih dulu. Peralatan baku
„inventaris‟ ayah saya yang dibawa di kendaraan ini, biasanya meliputi
senapan laras ganda (double loop) berkaliber 16 mm lengkap dengan sekotak
peluru (ukuran pelurunya besar sekali, karena berkaliber 16 mm dan panjang
setiap peluru sekitar 10 cm), kompas, teropong binokular, peta petak (peta
khusus kehutanan), pisau rimba, ‘veldvles’ (tempat minum versi militer, yang
digantung di sabuk celana), sepatu ‘laars’, dan tak lupa juga sebuah jaket.
Ayah saya, biasanya memakai baju „dinas‟ berupa baju safari lengan pendek
dan celana panjang yang dibuat dari bahan „dril‟ berwarna ‘khaki’ (coklat
muda). Ia biasanya juga memakai topi pet, berwarna coklat muda. Pada masa
itu, kain yang bisa dibeli hanyalah kain dril warna cokla muda itu dan kain
belacu warna putih. Seperti juga kesenangan saya ikut truk hutan, saya juga
sangat senang jika tourne dilakukan di wilayah hutan sekitar Sempolan.
Penyebabnya juga sama, yaitu karena sering mampir di kantor kemantren
Sempolan itu.
Selain bersama pengemudi jip Willys tua yang bernama Pak Saleh, seringkali
ayah saya juga melakukantourne bersama beberapa pegawai kantor KPH
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 40
Jember. Di antara mereka, yang paling sering ikut melakukan peninjauan
bersama, adalah ‘sinder hutan’ dan ‘mantri hutan’ yang menanggung-jawabi
wilayah hutan yang akan ditinjau. Pemeriksaan wilayah hutan seringkali
dilaksanakan dengan cara jalan kaki potong kompas, dengan hanya melihat peta
petak, langsung menuju petak hutan yang akan ditinjau. Jip Willys tua dan
pengemudinya, biasanya dititipkan di rumah penduduk desa setempat, diparkir
begitu saja di sisi jalan hutan, atau diminta menunggu di suatu tempat di
wilayah sekitar petak hutan yang akan dituju.
Pada masa itu, sebagian wilayah hutan di sekitar Sempolan sedang ditebang dan
diganti dengan tanaman hutan produksi jenis pohon pinus. Saat liburan, saya
juga sering ikut truk hutan yang mengangkut bibit pohon pinus, yang tingginya
sekitar 15 – 20 cm dan diletakkan (dengan media tanahnya) di
keranjangkeranjang kecil, yang dibuat dari anyaman bambu. Bibit pohon pinus
yang masih kecil ini, biasanya diambil dari tempat pembibitan, yang lokasinya
dekat dengan base campperalatan mekanik Sempolan. Beratus-ratus bibit pohon
pinus ini, kemudian diangkut ke tempat penamanan, jauh di tengah hutan. Di
tempat penaman pohon pinus itu, biasanya sudah ada sekelompok besar
penduduk desa ‘mager-sari’, yang oleh PN Perhutani diperbolehkan melakukan
kegiatan bertani palawija sambil menanam dan memelihara pohon-pohon pinus
yang masih kecil. Biasanya, mereka akan tinggal selama beberapa tahun di
lokasi yang sama, sampai pohon-pohon pinus itu menjadi cukup besar dan bisa
ditinggalkan. Setelah pohon-pohon pinus itu besar (setinggi kira-kira 2 – 3
meter), mereka akan dipindahkan ke lokasi lain, untuk melakukan peran dan
kegiatan yang sama. Jika kita sekarang melakukan perjalanan dari Kota Jember
ke arah Banyu-Wangi, maka setelah melewati Sempolan, sebelum memasuki
wilayah hutan Garahan (hutan Gunung Kemitir), kita akan melewati hamparan
hutan pohon pinus yang tumbuh subur dan sekarang sudah berubah menjadi
pohon pinus yang sangat tinggi dan lebat. Melihat pemandangan ini, membuat
saya terharu dan jadi teringat masa kecil saya, saat sering ikut menanam bibit
pohon-pohon pinus kecil itu, di sekitar tahun 1962 – 1963. Waktu serasa berlalu
sedemikian cepatnya. Tak terasa, pohon-pohon pinus yang dulu terlihat sangat
kecil dan ringkih, sekarang sudah menjadi hutan pinus yang indah, lebat, teduh,
dan rindang.
Di dalam hutan Sempolan, pada suatu lokasi yang jaraknya beberapa kilometer
dari jalan-raya Jember – Banyu-Wangi, ada suatu tempat semacam base camp,
tempat para pegawai kehutanan dari bagian mekanisasi kehutanan tinggal
beserta seluruh keluarga dan alat-alat berat yang ditanggung-jawabi. Mereka itu,
merupakan kelompok pegawai mekanik kehutanan pindahan dari Saradan. [4]
Uniknya, semua pegawai mekanik ini (pengemudi traktor raksasa, pengemudi
buldozer raksasa, pengemudi truktrailer pengangkut kayu gelondongan), beserta
seluruh keluarganya, adalah pemain, penari, dan penabuh gamelan yang sangat

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 41


canggih. Saya masih ingat benar, salah seorang pengemudi traktor penyeret
kayu gelondongan bermesin diesel, beroda rantai raksasa, tipe D-9 merk Allis
Chalmers, yang beratnya sekitar 39 ton; adalah seorang penari dan pemeran
raksasa ‘cakil’ yang sangat bagus, terampil, sangat cekatan gerak tarinya.
Tubuhnya yang tinggi ramping, terlihat sangat cocok dengan peran ‘cakil’-nya
itu. Sekali sebulan, saat ada perayaan tertentu, perayaan ‘syawalan’, atau
peringatan hari kemerdekaan; mereka bisa tiba-tiba berubah menjadi
sekumpulan grup kesenian, lengkap dengan penari dan penabuh gamelan-nya.
Di base camp mereka itu, setiap bulan sekali kita bisa menyaksikan mereka
melakukan pagelaran wayang wong atau kethoprak.
Di antara sejumlah pagelaran wayang itu, beberapa kali dilaksanakan di
halaman depan kantorkemantren Sempolan. Biasanya, yang menjadi dhalang ya
Pak Mantri Sugondo itu. Sedangkan penabuh gamelan, pesindhen, dan
wiraswara-nya; para pegawai mekanik kehutanan dan keluarganya. Tetapi ada
suatu pagelaran wayang kulit purwa yang benar-benar unik. Pagelaran wayang
ini dilakukan di tengah hutan di tengah hutan rimba di sisi barat laut Sempolan.
Pada masa itu, PN Perhutan KPH Jember sedang giatgiatnya membuat jalan
rintisan (jalan tembus hutan) di wilayah pedalaman barat luat Sempolan. Bukan
membuat jalan raya, tetapi membuat jalan hutan yang bisa dilewati truk dan jip
saja. Pada saat awal, jalan hutan itu dibuat dengan cara meratakan tanah
memakai buldozer raksasa dari unit mekanisasi Sempolan dan beberapa
peralatan berat lainnya. Pembuatan jalan hutan ini memakan waktu selama
beberapa bulan. Jika menemui hambatan berupa jurang atau sungai, biasanya
dilakukan upaya untuk membuat jembatan. Biasanya yang dibangun adalah
jembatan kayu. Beberapa dari jembatan kayu itu, mempunyai bentangan yang
cukup panjang dan melewati sungai atau jurang yang cukup dalam.
Pada saat awal pembangunan, biasanya seluruh pegawai PN Perhutani yang
terlibat proses pembangunan, termasuk teknisi dan para operator peralatan berat,
dipimpin oleh kepala proyek, akan melakukan selamatan, di lokasi dekat
jembatan. Selamatan, biasanya dilakukan siang hari, dan hanya secara
sederhana saja. Peristiwa yang benar-benar menyenangkan tetapi juga agak
mencemaskan, sebenarnya bukan saat awal pembangunan, tetapi saat jembatan
itu sudah jadi dan akan diresmikan pemakaiannya. Pada saat jembatan di tengah
hutan rimba itu sudah diselesaikan, maka seperti awalnya, akan dilakukan
selamatan dan syukuran. Tetapi yang bagi saya paling menyenangkan, adalah
dilaksanakan pagelaran wayang kulit purwa lengkap semalam suntuk.
Ceritanya biasanya dipilih yang menarik dan ramai. Dhalang-nya….? Ya Pak
Gondo itulah, lengkap dengan para penabuhgamelan yang para operator peralatan
berat.
Sejak pagi hari, ‘tarub’ (tenda besar) biasanya sudah didirikan di dekat lokasi
jembatan baru. Lalu sekumpulan ibu-ibu (para isteri) keluarga operator
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 42
peralatan berat itu sudah kelihatan sibuk memasak, di sejumlah tarub kecil,
dibantu sejumlah ‘blandhong’ dan anak-anak putri mereka. Sementara, para pria
biasanya mempersiapkan penyembelihan sapi, kerbau, atau beberapa kambing.
Suasana di sekitar jembatan baru itu, benar-benar semarak dan kelihatan sangat
sibuk. Sebagian dari para pria itu, selain sibuk meletakkan deretan kursi, meja,
dan tikar mendong untuk duduk lesehan yang dibentangkan di atas lembaran
‘gedheg’ (anyaman bambu); juga sibuk memasang selang-selang kecil di tiang-
tiangtarub, yang akan dipasang pada lampu-lampu ‘stromking’. [5] Siang hari,
sekitar jam satu siang, setelah selesai makan, saya bersama ayah melihat-lihat
berkeliling dan memperhatikan bagaimana beberapa penabuh gamelan yang
sehari-harinya adalah para operator alat berat itu
memasang ‘geber wayang’ (layar wayang) dan ‘menyimping’ (menata) wayang
kulit dan menancapkannya di atas ‘debog’ pisang panjang, di sebelan kanan dan
kiri gunungan. Saya memperhatikan saat wayang-wayang kulit itu ditata secara
berurut dan sangat rapi. Beberapa orang sibuk menata ricikan gamelan dan
mengatur letaknya, sehingga ada ruang yang cukup untuk para penabuhnya duduk
saat menabuh. Tepat di bagian tengah layar wayang, agak ke atas, beberapa orang
terlihat sedang sibuk memasang lampu stroomking. Sekitar jam empat sore,
seluruh proses penataan panggung pagelaran wayang sudah selesai. Di mata saya,
panggung wayang dan gamelan itu tampak sangat indah dan memberikan kesan
semarak. Apalagi dengan rancak gamelan-nya yang berwarna merah menyala
dengan hiasan ornamen berwarna keemasan.
Sekitar jam tujuh malam, para pejabat PN Perhutani dan para undangan lainnya,
termasuk penduduk desa setempat, para sepepuh desa, lurah, carik, kepala
dukuh, serta sanak keluarga para operator peralatan berat dan seluruh pekerja
proyek jembatan; sudah pada hadir dan duduk di tempat masingmasing.
Gendhing-gendhing juga sudah mulai dimainkan. Suara gendhing-nya biasanya
bisa terdengar dari kejauhan (beberapa kilometer). Beberapa saat kemudian,
upacara pembukaan pun dimulai. Biasanya dilakukan sambutansambutan resmi
dari para pejabat, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa yang dilakukan
oleh kyai setempat. Setelah seluruh acara resmi dan pembacaan doa selesai
dilaksanakan, lalu dilanjutkan dengan makan bersama-sama. Hidangan yang
paling disukai adalah sate sapi dan sate kambing, dengan saus kacang dan kecap
yang pedas bercampur potongan bawang merah. Sementara itu, ada juga
hidangan gulai daging kerbau. Ada juga sayur sop dengan potongan-potongan
kecil wortel, kentang, dan kubis, yang biasanya sangat gurih rasanya. Sudah
barang tentu, kiriman makanan yang berasal dari sumbangan Pak Mantri
Sugondo yang sangat khas, yaitu ‘sambel goreng krecek’, tidak pernah lupa
disajikan. Nasi hangat (memakai beras „Raja Lele‟) yang masih mengepul,
membuat perut seluruh pengunjung semakin lapar saja. Suasana makan bersama
ini, berlangsung sekitar satu jam dengan penuh kegembiraan. Sebagai

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 43


pelengkap, biasanya disajikan rokok. Rokok putih, umumnya tidak terlalu
disukai. Sebaliknya, lazimnya disajikan rokok kretek, yang biasanya
dihidangkan dalam keadaan sudah dibuka bungkusnya dan batang-batang
rokoknya diletakkan di dalam gelas-gelas. Berbagai merk rokok kretek
dicampur begitu saja di dalam gelas-gelas. Minuman teh hangat dan kopi
umumnya menjadi minuman standar yang disajikan. Suasana malam peresmian
jembatan itu benar-benar semarak dan membuat senang seluruh yang hadir.
Deretan kursi (tidak terlampau banyak), biasanya ditempati para pejabat dan
para pamong desa, sedangkan para hadirin lainnya dan penduduk setempat
biasanya duduk lesehan di atas tikar. Seluruh yang hadir, biasanya berjumlah
sekitar 150 – 200 orang. Semuanya duduk berkumpul di bawah naungan
tarub besar itu.
Sekitar jam delapan malam, udara sudah semakin dingin. Gendhinggendhing
dimainkan para pengrawitmenemani para hadirin makan bersama. Bulan sudah
purnama dan menyinarkan cahayanya bagaikan bola emas bersinar terang di
angkasa. Dan, sekitar jam setengah sembilan malam, Gendhing Talu Wayang
mulai dimainkan. Suasana mulai berubah menjadi
semakin ‘gayeng’ dan semarak. Hadirin sedikit demi sedikit berusaha mendekat ke
arah panggung. Mereka duduk bersila lesehan di atas tikar. Lalu sekitar jam
sembilan malam, Pak Mantri Sugondo yang sudah memakai pakaian tradisional
Jawa, seakan „berubah‟ peran dan menjelma menjadi seorang dhalang, berdiri
tegak, lalu berjalan perlahan-lahan mendekati para pejabat, sesepuh, dan pamong
desa. Sesaat, ia bersalaman dengan para pejabat dan memohon ijin untuk memulai
pagelaran wayang. Bersamaan dengan terdengarnya Gendhing Sampak Manyura
yang ditabuh bertalu-talu, ia naik ke atas panggung pagelaran. Tepat saat Gendhing
Sampak Manyura berubah menjadi melambat dan terdengar semakin sayup-sayup
karena hendak dihentikan, Pak Gondo yang sudah menjadi dhalang pagelaran
wayang kulit purwa malam itu, duduk tegak bersila di tempatnya, tepat di depan
layar wayang. Sesaat kemudian, nyala lampu-lampustroomking dipadamkan. Dan,
tinggal sebuah lampu stroomking yang menyala di depan layar wayang. Tiba-tiba
saja bau asap kemenyan menyeruak menyebar ke seluruh bagian dalam tarub.
Suasana seketika berubah menjadi remang-remang penuh sakral. Begitu Gendhing
Sampak Manyura berhenti. Suasanya hening sejenak. Tak ada yang berkatakata.
Hanya kesunyian yang terjadi. Dhalangmembaca mantra dan doa sesaat. Suaranya
terdengar lirih, seakan berbisik kepada Sang Penguasa Jagat Raya, memohon
berkah, rakhmat, dan karunia-Nya. Hanya terdengar suara burungburung malam di
kejauhan dan gemerisik angin malam yang berhembus. Lalu gedhog dhalang
dibunyikan, dan tiba-tiba pagelaran wayang pun dimulai……
Di tengah hutan rimba belantara, pagelaran wayang kulit purwa itu
menghasilkan suasana yang menggetarkan. Selama beberapa waktu, saat
gendhing jejer pathet nem mulai dimainkan, suaragamelan mengalun seakan

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 44


menyihir seluruh hadirin, yang duduk terpaku di tempatnya masingmasing.
Adegan demi adegan berlangsung di bawah sorot mata para hadirin. Perlahan-
lahan, suasana berubah menjadi semakin cair. Semakin malam suasana semakin
cair, dan semakin menyenangkan. Semua yang hadir, masuk ke dalam tarub
besar itu dan berusaha menempatkan dirinya seenak mungkin. Sementara di luar
tarub besar, jauh di atas ranting dan dahan pohon-pohon rimba yang tegak
berdiri agak jauh, samar-samar terlihat sejumlah pasangan cahaya bulat hijau
kebiru-biruan bersinar terang di dalam kegelapan. Pasangan cahaya itu sesekali
bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri. Jumlah pasangan cahaya itu, lebih dari
sepuluh pasang. Saya yang berdiri di pinggir tarub, terpaku saat melihat
pasangan cahaya yang jumlahnya cukup banyak dan selalu bergerak-gerak. Ada
sedikit rasa takut saat melihat pasangan cahaya-cahaya itu. Saya mencoba
menyipitkan mata, berusaha melihat lebih jelas dan bertanyatanya dalam hati,
cahaya apakah gerangan itu. Bermenit-menit saya berusaha memperhatikan
titik-titik pasangan cahaya itu, tetapi tak juga mengerti apa sebenarnya pasangan
cahaya itu.
Tanpa saya ketahui, rupanya seorang mandor hutan, melihat apa yang sedang saya
perhatikan. Dia lalu menggamit bahu saya. Saya sedemikian terkejutnya, sampai-
sampai terlonjak kaget. Mandor hutan itu lalu memberitahu saya sambil berbisik:
“Anakmas, jangan keluar dari tarub ya.” Saya terkejut dan balik bertanya:
“Kenapa Pak?” Dengan tetap berbicara perlahan-lahan, dia menjawab:
“Sebab pasangan cahaya berwarna hijau kebiru-biruan yang bergerak-gerak dan
ada jauh di atas dahan dan ranting pohon rimba di sana itu, adalah mata macan
tutul dan macan kumbang yang akan bersinar jika terkena pendaran cahaya
lampu. Harimau-harimau itu menunggu saat yang tepat untuk turun dan makan
sisa hidangan, termasuk makan sisa-sisa daging hewan yang siang tadi
disembelih di luar tarub. Jadi, sebaiknya Anakmas jangan ke luar dari tarub.
Harimau-harimau itu takut pada api dan cahaya. Karena itu, di luar tarub orang
menyalakan beberapa api unggun kecil. Api unggun ini harus tetap hidup
sampai besok pagi. Harimau-harimau itu, sangat sabar menunggu. Nanti,
setelah semua hadirin selesai menikmati makan malamnya, beberapa blandhong
akan melemparkan sisa-sisa makanan dan daging ke luar, dilempar jauh-jauh ke
arah harimau-harimau itu.” Mendengar penjelasan pak mandor hutan itu, saya
jadi bergidik dan timbul rasa takut juga. Tapi dia „ngayem-ayemi‟
(menteramkan hati saya), dengan berkata: “ Jangan kuatir Anakmas, pokoknya
jangan keluar dari tarub ya….” Saya hanya menganggukkan kepala. Pak
mandor hutan itu rupanya tahu juga kekecutan hati saya. Ia lalu berkata kepada
saya: “Begini saja Anakmas, bagaimana kalau Anakmas saya antar naik ke atas
panggung, dan duduk di antara para penabuh gamelan?” Mendengar usulannya
itu, saya terkejut dan balik bertanya: “Apa boleh begitu?” Dia menjawab: “Ya
boleh saja. Ayo saya antar ke sana…..” Sesaat kemudian, saya diantar pak

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 45


mandor hutan dan kemudian dicarikan tempat yang agak longgar di antara para
penabuh ricikan saron dan demung yang letaknya di deretan paling belakang
para penabuh. Nah, sejak itulah, jika nonton pagelaran wayang kulit purwa,
saya selalu berusaha untuk naik ke panggung dan duduk di belakang para
penabuh ricikan balungan.
Pagi-pagi tubuh saya terasa terguncang-guncang! Ternyata saya telah tertidur
pulas di belakang badan para penabuh gamelan. Begitu membuka mata,
samarsamar saya melihat ayah saya berdiri di belakang panggung dan berkata:
“Ayo kita pulang, wayangan-nya sudah selesai dan hari sudah pagi….” Pagi itu,
hari Minggu, dengan mata masih terkantuk-kantuk kami naik jip Willys tua
yang setia, kembali ke Kota Jember. Saya tidak tahu lagi melewati mana saja
perjalanan pulang itu, karena saya tak bisa lagi menahan kantuk dan
meneruskan tidur di jok belakang jip tua itu. Sejak itulah, saya menyukai nonton
pagelaran wayang kulit purwa dalam kondisi yang sangat tradisonal. Kenangan
indah saat menonton pagelaran wayang kulit purwa di tengah hutan rimba
belantara Sempolan itu, tidak akan pernah hilang dari ingatan saya sampai
kapan pun…….

____________________________________

[1] „Trikora‟ adalah singkatan judul pidato Bung Karno, yang isinya memerintahkan rakyat
Indonesia bergabung menjadi sukarelawan dan menyerbu Irian Barat, yang saat itu masih
menjadi wilayah jajahan Belanda.
[2] PN adalah singkatan dari „perusahaan negara‟. Sekarang, sebutannya sudah berganti menjadi
PERUM, singkatan dari „perusahaan umum‟.
[3] KPH merupakan singkatan dari „Kesatuan Pemangkuan Hutan‟. Pejabat tertinggi di kantor
KPH adalah seorang „administratur‟, yang di kalangan kehutanan sering disingkat
penyebutannya menjadi ADM. Seorang ADM, biasanya membawahi beberapa „sinder‟ yang
kantornya lazim disebut „kesinderan‟. Seorang „sinder kehutanan‟, biasanya membawahi
beberapa „mantri hutan‟, yang kantornya lazim disebut „kemantren‟ atau kantor KRPH
(Kesatuan Resor Pemangkuan Hutan). Seorang „mantri hutan‟, biasanya membawahi sejumlah
„mandor hutan‟. Dan, seorang „mandor hutan‟ biasanya membawahi sejumlah „blandhong‟,
yaitu pekerja yang bekerja secara langsung di hutan. Di wilayah kemantren tertentu, biasanya
terdapat suatu lokasi yang khusus melakukan pembibitan atau penyemaian tanaman hutan,
TPK (tempat penimbunan kayu) hasil tebangan hutan, dan kadang-kadang ada juga base
workshop dan base station tempat menyimpan sejumlah peralatan berat untuk keperluan
kehutanan, seperti traktor, buldozer, truk trailer, truk katrol, dan kelengkapan bahan bakar serta
minyal pelumas untuk keperluan berbagai mesin itu. Unit ini, seringkali disebut sebagai unit
peralatan mekanisasi kehutanan, yang lokasinya biasanya terpencil di tengah hutan.
[4] Saradan, adalah nama sebutan sebuah TPK (tempat Penimbunan Kayu) gelondongan kayu jati
dan pohon rimba milik PN Perhutani KPH Madiun, yang sangat terkenal dan sangat besar

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 46


kapasitasnya. Lokasinya terletak di tengah hutan jati, di sebelah timur Kota Madiun; pada jalan
raya Madiun – Jombang.
[5] ‘Stroomking’ adalah sejenis lampu seperti ‘petromax’, tetapi mempunyai tangki minyak yang
terpisah. Lampu stroomking, biasanya menerima minyak tanah bertekanan tinggi dari tangki
melalui selang-selang kecil yang dipasang di antara tangki dan lampu stroomking. Tangki
minyak tanah yang dipakai, biasanya berukuran cukup besar, karena harus bisa menyalakan
semua lampu stroomkingsemalam suntuk. Seperti pada petromax, setiap lampu stroomking
sebelum dinyalakan, harus dipanaskan lebih dahulu memakai minyak spiritus selama beberapa
menit. Sementara lampu-lampustroomking itu dipanaskan memakai minyak spiritus, tangki
minyak tanah dipompa, sehingga menghasilkan tekanan yang cukup tinggi. Setelah lampu
stroomking menjadi cukup panas dan tekanan minyak tanah sudah mencukupi, maka keran
kecil pengatur aliran minyak tanah bertekanan di lampustroomking itu dibuka sedikit demi
sedikit, sehingga nyala lampu stroomking diatur sehingga menjadi terang benderang seperti
lampu petromax. Sebagai tambahan, istilah ‘stroomking’ yang lazim dipakai di kalangan
masyarakat, sebenarnya merupakan penyebutan yang salah dari merk lampu minyak tanah
bertekanan itu. Lampu ini, sebenarnya bermerk „Storm King‟. Tetapi bagi lidah penduduk
lokal, mungkin karena sukar menyebutnya, lalu supaya mudah lalu disebut ‘stroomking’.

Pagelaran wayang beber di masa lampau. Sederhana, penuh ritual, sesaji, dan mistik.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 47


Hutan pohon pinus yang indah, lebat, rindang, dan subur; di wilayah Garahan, yang letaknya
di sebelah timur Sempolan.

Terowongan kereta-api di Garahan, merupakan salah satu pemandangan unik dan indah
wilayah ini.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 48


Tanjakan jalan raya di sekitar Garahan, pada rute Jember - Banyu-Wangi.

Kereta-api penumpang Sri-Tanjung sedang melewati rute di sekitar Garahan.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 49


ARJUNA SANG IDOLA
Bram Palgunadi
12 Juli 2011 pukul 20:04

Ini adalah sebuah cerita imajiner, yang selama berminggu-minggu saya pikirkan.
Sebagian besar pecinta wayang (tentu saja tidak semuanya), umumnya sangat
menyukai figur Arjuna. Dhalang yang memainkan tokoh ini di jagat
pewayangan, bahkan seringkali mengungkapkan sejumlah 'nama alias' kepada
Arjuna. Misalnya, Pandhusiwi (karena putra Pandhu), Janaka, Permadi,
Kombang Ali-ali, Panengah Pandhawa (karena ia merupakan anak ketiga di
antara lima anak), Palguna (karena lahir di musim kemarau. Palguna = musim
kemarau). Dan, tentu masih banyak lagi nama alias yang diberikan kepada

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 50


Arjuna. Dalam jagat pewayangan, Arjuna seringkali digambarkan sedemikian
sempurnanya sebagai seorang laki-laki. Atau, bolehlah dikatakan sebagai 'lelaki
idaman'. Paling tidak, hal itu sering dinyatakan oleh dhalang saat 'nyandra'
(menceritakan) Sang Arjuna. Sedemikian sempurnanya, sosok Arjuna itu,
sehingga kita sendiri seringkali menjadi terjerumus dan menjadi tidak obyektif,
saat menalar tentang dirinya. Ada semacam sisi fanatisme yang kelewatan dan
sangat berlebihan. Ulasan di bawah ini, saya sampaikan untuk memberikan
gambaran sebaliknya. Bukan untuk memburuk-burukkan sosok Arjuna yang luar
biasa itu, tetapi sekedar untuk memberikan gambaran, bahwa jika kita
memandang dan memperlakukan seorang tokoh secara berlebihan, maka yang
terjadi adalah 'lupa diri'. Selain itu, juga untuk merenungkan, apakah benar
seperti itu yang tampak atau justru sebenarnya kita sama sekali tidak tahu yang
sebenarnya. Hal ini, bisa terjadi pada tokoh yang dipuja, maupun pada kita
sebagai pemuja fanatiknya. Saat membaca tulisan di bawah ini, diperlukan
imajinasi, perasaan, dan pemahaman logika; bukan fanatisme buta. Karenanya
bacalah dengan perlahan-lahan saja, sambil minum kopi, dan menikmati
makanan kecil. Pokoknya sambil santai sajalah. Bagi pendukung kuat dan
pecinta tokoh Arjuna, jangan membawa-bawa unsur emosi saat membacanya,
meskipun mungkin anda bisa saja tersinggung dan marah, saat membaca ulasan
ini. Renungkan sajalah......
Bagi saya, sosok Arjuna adalah seorang pejabat tinggi dari suatu negeri yang
terkenal di seantero jagat, dan lazim disebut 'Kerajaan Amarta' (Amarta
Kingdom), yang terkenal sangat makmur, sejahtera, dan sangat dihormati oleh
banyak negeri lainnya. Segala keteraturan dan hasil yang didapat Kerajaan
Amarta itu, tentu saja berkat usaha dan upaya para kerabat Pandhawa, yang
merupakan penguasa Kerajaan Amarta. Sangat mungkin, sukses Kerajaan
Amarta itu juga dibantu dan didukung oleh masyarakat Amarta yang memang
sangat mencintai para kerabat Pandhawa. Salah satu kerabat Pandhawa yang
sangat terkenal dan jelas sudah menjadi 'selebritas papan atas', adalah Arjuna.
Selain berperan sebagai pejabat tinggi negara di Amarta, ia memang terkenal
sangat 'dandy', banyak sekali fans-nya, dan memang harus diakui saja, ia
terkenal sangat tampan, modist, pintar, cerdik, sakti, luas wawasannya, banyak
pengetahuannya, dan apalagi didukung postur tubuh yang sangat atletis. Ia
bukan tipe seperti peragawan, yang sangat mengekspolitasi otot, tetapi kurang
mengeksploitasi akal dan otaknya. Karena hal itulah, maka sejumlah besar
selebritas pria di Amarta banyak yang iri hati dan diam-diam sangat
mengidolakan Arjuna. Sedangkan para selebritas wanita, seringkali secara sadar
atau tidak sadar, memuja Arjuna secara berlebihan.
Di Kota Metropolitan Amarta-Pura, papan-papan iklan raksasa banyak
menampilkan wajah dan tubuh Arjuna, dalam upaya untuk membujuk dan
memikat orang supaya membeli produk-produk dalam negeri Amarta. Bahkan

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 51


sejumlah produk parfum untuk wanita, yang biasanya memakai tokoh selebritas
wanita sebagai unsur penarik hati, sudah digantikan oleh selebritas yang
namanya Arjuna! Dengan senyumnya yang manis dan mempesona, foto Sang
Arjuna yang oleh perancang iklannya posenya diatur sedemikian rupa, supaya
kelihatan sangat 'sensual' itu, seakan-akan hendak merayu dan memikat hati para
wanita dan gadis Amarta, untuk membeli produk parfum yang diiklankan.
Dalam suatu berita sore yang dilansir oleh stasiun televisi 'Amarta TV',
diberitakan telah terjadi sedikit kericuhan, saat produk parfum bermerk 'Gairah
Kinanthi' itu untuk pertama kali di-'launching'. Sejumlah wanita diberitakan
berdesak-desak tak terkendali, saat waktu pembelian dengan harga miring
karena dikorting, dimulai. Beberapa wanita, terutama para remaja dan janda,
dikabarkan pingsan dan ini merepotkan para petugas sekuriti yang menjaga stan
tempat 'launching' pertama produk parfum terkenal itu. Seorang reporter
'Amarta TV' memberitakan, bahwa sejumlah wanita dan remaja putri melakukan
protes dan marah kepada para SPG (sales promotion girl), karena tidak kebagian
parfum 'Gairah Kinanthi' yang diidam-idamkannya! Di layar pesawat televisi,
tampak sejumlah wanita dan remaja putri sedang mengacung-acungkan tinjunya
kepada sejumlah SPG yang kalang kabut melayani pembelian yang sudah di luar
kendali itu! Mereka yang protes dan marah itu, seperti kerasukan setan saja, dan
seakan sudah kehilangan sifat kewanitaannya yang lemah lembut! Yang terlihat
adalah sekumpulan orang yang berang dan dengan muka merah padam karena
marah, berteriak-teriak liar, meminta 'jatah parfum' idolanya!
Lalu, ada juga iklan yang di-'launch' oleh suatu perusahaan developer kompleks
perumahan mewah 'Amarta Luxury House Developer', yang memakai Sang
Arjuna sebagai tokoh idola yang sukses. Digambarkan dalam iklannya, Sang
Arjuna didampingi sejumlah wanita cantik dan sexy, sedang bercengkerama di
dalam suatu taman di depan salah satu rumah tinggal mewah yang diiklankan.
Iklannya sendiri, tetap santun dan sangat sopan. Tetapi jelas menampilkan sosok
Arjuna secara spektakuler dan sangat diekspos, sehingga ia seakan tampil di
antara sejumlah besar bidadari, sedang menikmati hari-hari bahagianya di taman
sari depan rumah tinggal yang diiklankan itu. Dalam suatu wawancara, direktur
perusahaan developer itu menyatakan, bahwa figur Arjuna sebagai tokoh
selebritas tingkat internasional, memang diakui memliliki daya pikat yang
sangat luar biasa. Dan sambil tersenyum, sang direktur itu menyatakan: "Saya
berharap, dari iklan kami itu, para wanita karir dan ibu rumah-tangga di Amarta
akan merengek kepada suami masing-masing, untuk dibelikan rumah mewah
itu". Dengan sedikit bercanda, sang direktur menambahkan: "Terus terang saja,
kami berusaha mengeksploitasi daya tarik dan daya pikat Arjuna, untuk
membuat produk kami laku Mas!" Lalu dengan bangga ia menambahkan: "Dan,
jika melihat kecenderungannya, sejak iklan kami dipasang, banyak sekali
pasangan keluarga kaya yang datang membeli atau memesan rumah mewah

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 52


kepada perusahaan kami. Hari ini saja, saya bisa memberikankabar kepada anda
semua, bahwa kami sudah hampir kehabisan stok rumah tinggal mewah. Ini
semua kan sekedar gaya hidup Mas, 'life style' kata orang kita yang sok
modern". Sang direktur, dengan wajah cerah ceria, sambil merapikan jasnya,
berjalan sambil tetap tersenyum bahagia, meninggalkan kerumunan wartawan
berbagai media, menuju mobil sedan Jaguar-nya, yang diparkir di depan tempat
pertemuan dengan para wartawan itu.
Di sebuah jalan raya yang luar biasa lebarnya, yang terkenal dengan sebutan
'Amarta Boulevard Street', seorang penjaja majalah dan koran, mencoba
menarik perhatian para pejalan kaki, dengan menunjukkan sebuah kover
majalah mode terkenal 'Amarta Fashion', yang menampilkan sosok Arjuna
dalam setelan pakaian setengah formal, gaya Italia. Celana panjang agak
longgar, dengan kain campuran wool ringan yang bertenun sangat halus, ikat
pinggang kulit serasi berwarna coklat tua dengan gesper logam berwarna kuning
emas gemerlap berkilau, kemeja berwarna 'white sand' dengan setrip-setrip kecil
berwarna 'light brown' model 'mafioso', dihias sebuah dasi warna merah tua
yang sengaja dipasang longgar, dan dipasangkan dengan jaz model mutakhir.
Kemejanya hanya dikancingkan sebagian. Satu dua kancing sebelah atas,
sengaja dibuka, memperlihatkan sebagian dada bidang sang Arjuna. Seorang
model wanita yang cantik dengan pakaian yang tidak kalah sexy-nya,
ditampilkan sedang berdiri di samping kiri Sang Arjuna, dengan jari tangan
kanan yang lentik sengaja ditampilkan sedang bersandar di pundak Sang
Arjuna. Wajah ceria sang wanita, dengan senyum yang sangat menawan dan
sinar mata berbinar-binar; memandang kagum dan terpesona kepada Sang
Arjuna. Jari-jari tangan kiri sang wanita, terlihat sedang memegang sekuntum
bunga mawar merah, seakan hendak dipersembahkan kepada Arjuna pujaan
hatinya. Masih di kover depan majalah mode terkenal 'Amarta Fashion' itu,
sebagai latar belakang, ditampilkan sekelompok wanita dan remaja yang
cantikcantik dan sexy, memakai pakaian yang sangat modist dan besutan
mutakhir, semuanya diskenariokan sedang memandang iri kepada sang wanita
yang digambarkan sangat beruntung bisa berdiri berdampingan, dengan jari-jari
lentik sedang menyentuh pundak Sang Arjuna. Beberapa pejalan kaki yang
terpesona (kebanyakan wanita), sejenak mampir melihat-lihat isi majalah mode
itu, dan kemudian dengan sedikit malu-malu membelinya. Beberapa remaja
putri yang datang bersama-sama, membeli dan melihat-lihat halaman majalah
mode itu. Dan, sambil tertawa cekikikan, mereka memandangi dengan gemas,
satu per satu foto-foto Sang Arjuna yang memang ditampilkan secara sangat
sensual dan sangat mengundang mata wanita untuk memperhatikan dari ujung
rambut sampai ujung kaki. Bayangan Sang Arjuna yang memang sangat
tampan, seakan-akan selalu datang dalam mimpi-mimpi para remaja putri, yang
masih tergolong 'teenager' itu. Seorang selebritas wanita muda yang terkenal

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 53


sebagai 'janda kembang', ikut-ikutan membeli majalah mode itu, sambil melirik
sebal kepada sekumpulan remaja putri yang sedang tertawa-tawa ceria, saat
memandangi foto Arjuna idolanya, yang ditampilkan dalam pose-pose yang
sangat sensual itu. Seakan si janda kembang itu seperti hendak mengatakan
kepada sekumpulan remaja putri itu: "Tahu apa kamu tentang Arjuna pria
pujaanku hah?" Sebuah lirikan mata penuh iri, bercampur dengan rasa benci
kepada para pesaingnya yang jauh lebih muda, diperlihatkan oleh si janda
kembang....
Di suatu perempatan jalan, di ujung jalan 'Amarta Boulevard Street', terdapat
suatu papan iklan super besar, yang suka atau tidak suka akan membuat mata
orang yang lalu-lalang di jalan raya besar itu memandang ke arah papan iklan
besar itu. Sebuah iklan film laga paling mutakhir, yang mengangkat kisah
perjalanan Sang Arjuna, yang berjudul 'Journey to Nirwana', hasil besutan
perusahaan film terkenal 'Amarta Film Corporation', rupanya juga sedang
menampilkan pertunjukan 'primier'-nya di gedung bioskop yang terkenal mewah
dan mahal. Di depan gedung pertunjukan itu, terlihat segerombolan anak-anak
muda, pria dan wanita, dan juga sekumpulan selebritas; sibuk berbincang sambil
antri tiket pertunjukan. Rupanya, film mutakhir itu demikian menarik perhatian,
sehingga orang berjubel hendak menontonnya. Tentu saja, di dalam dan di luar
gedung pertunjukan itu, dipasang poster-poster besar tentang film 'Journey to
Nirwana' yang sedang naik daun dan laku keras. Gambar di poster-poster film
itu, jelaslah menampilkan adegan laga Sang Arjuna melawan musuh
bebuyutannya, seorang raja raksasa 'alien', yang berupa monster yang dikenal
oleh para penggemarnya sebagai 'Rivigz, The King of Long Red Hair Monster',
yang digambarkan bertubuh gempal, tinggi besar, berambut 'riwig' dan
gondrong berwarna merah api, lengkap dengan kepala bertanduk lima. Sudah
barang tentu, di akhir film itu sudah bisa ditebak, siapa pemenangnya. Tentulah
Sang Arjuna! Sejumlah wartawan, terlihat sibuk mewawancarai beberapa anak
muda penggemar film laga. Sejumlah awak stasiun 'Amarta TV' juga terlihat
sibuk mengatur peralatannya, untuk suatu acara siaran 'live', langsung dari
gedung pertunjukan itu. Pokoknya, semua sibuk mengeksploitasi Sang Arjuna.
Masing-masing disesuaikan dengan kepentingan, bisnis, dan jarahan rejeki
sendiri-sendiri. Sungguh suatu pemandangan dan kegiatan yang luar biasa!
Sejauh ini, kita sudah mulai memahami bagaimana kehidupan Sang Arjuna!
Paling tidak, dari bahasan imajiner di atas itu. "Sudah memahami?" tanya
sahabat saya secara tiba-tiba, menyadarkan saya dari segala lamunan tentang
kehidupan Sang Arjuna yang serba penuh gemerlap. Lalu sahabat saya itu,
melanjutkan bertanya: "Sudahkah kamu tahu benar apa yang sebenarnya terjadi
dengan kehidupan Sang Arjuna?" Saya hanya terbengong-bengong saja,
mendengar pertanyaan sahabat saya itu. "Mau mendengar kisah yang
sesungguhnya?", tanya sahabat saya tanpa menunggu saya bereaksi. Dan,

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 54


sebelum saya sempat berkata-kata barang sepatah katapun, sahabat saya itu
langsung saja nerocos bercerita tentang kisah hidup Sang Arjuna yang
sesungguhnya. "Coba engkau duduk di sini, dekat saya! Pesan makanan kecil
dan minuman dulu ya, biar enak ceritanya. Akan aku ceritakan kepadamu kisah
yang sebenarnya!" Makanan dan kopi hangat sudah dipesan dan sudah ada di
muka saya dan sahabat saya itu. Sambil mencicipi makanan kecil dan 'nyruput'
sedikit kopi yang terasa masih sangat panas itu, cerita sahabat sayapun
dimulailah....

"Apa yang kita tahu tentang Sang Arjuna itu, sepenuhnya benar", begitu kata
sahabat saya memulai ceritanya secara tiba-tiba. "Tapi banyak bagian-bagian dari
kehidupan Sang Arjuna, yang kita sebenarnya sama sekali tidak pernah tahu",
begitu lanjutnya. Lalu ia asyik nerocos bercerita tentang kehidupan Sang Arjuna,
sementara saya hanya bisa terbengong-bengong dan manggut-manggut, sambil
menjublak terkesiap, terkesima, dan terpana; mendengar semua cerita sahabat
saya itu.....
Cobalah bayangkan siapakah Sang Arjuna itu? Kita hanya mengenal dia sebagai
seorang ksatria pejabat tinggi negara di Kerajaan Amarta, yang terlihat sukses
hidupnya, penuh dengan gemerlap, penuh dengan berbagai bintang tanda jasa,
dan penuh dengan penghormatan karena dia banyak berjasa. Banyak wanita
yang tergila-gila kepadanya, karena ia memang tampan, pintar, cerdas, banyak
pengetahuannya, luas wawasannya, dan tubuhnya itu lo benar-benar membuat
para wanita menjadi 'keblinger', lupa diri, klepek-klepek, dan gelap mata.
Mereka semua pada bermimpi ingin memiliki Sang Arjuna. Ingin bersama
dengan Sang Arjuna selamanya. Ingin dijadikan isterinya. Ingin jadi
kekasihnya. Atau, setidak-tidaknya ingin supaya namanya bisa dikenang oleh
Sang Arjuna. Kalau mereka sudah berhasil memiliki coretan tanda-namanya,
seakan-akan seluruh isi dunia ini sudah dihadiahkan kepada mereka. Jangankan
wanita lajang, janda kembang, atau remaja putri; bahkan wanita yang sudah
bersuami dan berumah-tangga pun masih juga memimpikan Sang Arjuna
sebagai pendamping hidupnya. Ini sudah keterlaluan! Lalu suami mereka itu
mau dikemanakan? Apa suami mereka itu dianggap patung, semut, belalang,
'manuk' (burung), atau angin? Lo, ini faktanya lo! Bukan isu, tapi merupakan
kenyataan! Bahkan tidak hanya wanita yang tergila-gila kepadanya, priapun
juga banyak yang tergila-gila kepada Sang Arjuna. Mereka itu, memimpikan
hendak menjadi seperti Sang Arjuna. Padahal mereka itu kan bukan Arjuna?
Bagaimana bisa mereka memimpikan dirinya menjadi Arjuna? Caranya
berpakaian ditiru, cara berbicaranya ditiru, cara berpidatonya ditiru, caranya
merayu wanita ditiru, bahkan caranya berperi-laku ditiru. Waaaaah! Semuanya
ditiru, dari urusan kepala sampai kaki kok dipakai sebagai acuan hidup.
Bagaimana mereka bisa seperti itu? Apa mereka itu sudah kehilangan
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 55
kepribadiannya? Apa mereka itu tidak mikir? Lawong kenyataannya badannya
berbeda, rejekinya berbeda, pengetahuannya berbeda, dan segalanya kan
berbeda, kok mau jadi seperti Arjuna!
Itu tadi baru urusan kesukaan dan gaya hidup lo. Cobalah memahami bagaimana
kehidupan Arjuna. Kata pak dhalang, Arjuna itu "garwanipun sakethi kurang
siji" (isterinya sejuta kurang satu). Waaaaa... Kelihatannya hidup Arjuna jadi
menyenangkan seperti 'playboy' ya? Tapi tunggu dulu! Sejuta kurang satu!
Berapa itu? Itu isterinya semua? La kalau isterinya sebanyak itu, terus kapan
Sang Arjuna mau mengunjungi mereka? Apa bisa dia mengatur waktu untuk
menggilir mereka satu per satu? Jumlah hari saja, setahun cuma 360. Jadi kalau
isterinya hampir sejuta, kan dia harus mengunjungi dan menggilir isterinya kira-
kira sehari tiga atau empat isteri. Memangnya bisa melakukannya? Dan,
memangnya bisa melakukan kayak makan obat? La kalau misalnya dia memang
sanggup melakukan hal itu, maka saya yakin Sang Arjuna itu merupakan laki-
laki yang paling loyo di dunia! Dan, liat aja, nanti pas umur 40 tahun, dia sudah
megap-megap kehabisan tenaga! Terus, kalau itu memang bisa dilakukan, lalu
kapan dia bekerja untuk negara? Jangan lupa lo, dia kan pejabat tinggi negara
Kerajaan Amarta! Lo, ini pertanyaan logis saja... Hal lainnya, kalau isterinya
segitu bayaknya, terus bagaimana dia menghidupi seluruh isterinya itu? Lalu
berapa besar uang belanja setiap isteri atau setiap rumah-tangganya? Waaa,
kayaknya mulai kelihatan rumit! Saya sih sangat yakin, Arjuna tidak akan bisa
hafal semua nama isterinya, lawong terlalu banyak. Itu baru isterinya, belum
lagi simpanannya, wanita-wanita yang hanya menjadi pemujanya, dan belum
termasuk pula gadis-gadis remaja yang seringkali berebut coretan tanda-nama
Arjuna sebagai 'fans'-nya. Ini masih belum termasuk sejumlah wanita yang
dengan sengaja mengaku-ngaku sebagai isteri Arjuna! Bagaimana Arjuna bisa
menolak, kalau mereka yang datang mengaku-ngaku sebagai isterinya itu,
berparas cantik, sexy, bertubuh sintal, dan muda belia. Kalau sudah seperti ini,
Arjuna biasanya lebih sering menyerah kalah. Atau, mungkin saja, sengaja
menyerah kalah. Dan, seperti biasanya, luluhlah hati Sang Arjuna, menghadapi
wanita-wanita cantik yang sangat memujanya itu. Mau tertipu atau tidak, itu
urusan belakangan. Meskipun kenyataannya banyak juga yang menipu Arjuna
dan kenyataannya Arjuna juga sangat sering tertipu oleh muslihat seperti ini.
Tapi apa boleh buat, lawong penipunya cantik, sexy, bertubuh sintal, dan yang
jelas juga pandai merayu. Kalau sudah begini, tertipu juga nggak apa-apalah,
yang penting tidak sampai masuk berita gosip sore di stasiun 'Amarta TV' dan
tidak ketahuan sama wartawan 'paparazi' yang suka mengumbar gambar-gambar
seronok di majalah dan koran kuning. Tapi belakangan ini, Sang Arjuna agak
was-was juga, karena media 'internet' sudah membanjiri hampir seluruh wilayah
Kerajaan Amarta. Selain itu, banyak orang punya telepon genggam yang
dilengkapi kamera digital. Jadi, Sang Arjuna harus lebih ekstra 'eling lan

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 56


waspada'. Yang penting, jangan sampai dia kepergok, sehingga foto atau video
dia yang sedang bermesra-ria dengan seorang wanita, bisa terpampang di
'youtube' atau di 'internet'. Kalau hal ini sampai kejadian, waaaah, bisa perang
dunia keempat salah tempat nanti.
Masih ada lagi, gerombolan remaja putri yang seringkali 'menyerang' Sang
Arjuna dengan senyuman, lambaian tangan, dan teriakan histeris; kalau mereka
secara kebetulan bertemu Sang Arjuna. Mereka ini, masih terlampau muda
untuk bercinta. Kata orang, masih 'bau kencur'. Kebanyakan dari mereka itu,
hanya senang jika diperlakukan secara manis, dimanja-manjain, dijajanin,
dibawa makan-makan ke restauran, dan diperlakukan sebagai puteri jelita oleh
pria yang namanya Arjuna. Mereka itu, seringkali juga dibawa serta ke
pestapesta mewah, sambil sedikit berhura-hura, diperkenalkan dengan para
selebritas Ibu-Kota Metropolitan Amarta-Pura, dan nampang di depan kamera
televisi. Meskipun hanya sampai segitu, tapi jelas hal ini juga membawa risiko.
Isteriisteri Sang Arjuna kan seringkali melihat foto suaminya itu, terpampang di
koran sore bersama dengan beberapa orang gadis manis dan manja-manja. Atau,
di 'facebook' suaminya tiba-tiba ada kiriman berita yang berisi ucapan 'salam
sayang' atau 'salam MPRS' (salam mesra penuh rasa sayang) untuk Sang Arjuna.
Tapi yang lebih sering, adalah ketahuan ada 'sms gelap' di HP Sang Arjuna, saat
sedang dipegang dan diperiksa oleh sang isteri, dan kalimat berita sms-nya
(yang seperti kode rahasia intelejen itu), yang terbaca adalah 'aq cayang kmu',
atau 'Arjn I love u 4ever', atau 'aa Arjn kpn dtng?', atau 'aq ign bertemu'. Kalau
melihat berita berkode rahasia seperti ini, isteri Sang Arjuna pastilah
mengernyitkan dahi dan menjadi sangat curiga. Jangan-jangan suaminya punya
'simpanan baru' atau sekurang-kurangnya punya 'calon simpanan baru'. Tapi
itupun sebenarnya bergantung kepada isteri yang mana yang memergoki sms
gelap itu. Kalau yang memergoki Dewi Wara Subadra, biasanya dia hanya
tertunduk dan menangis sedih. Ia wanita yang sangat halus dan amat sangat
sayang kepada Sang Arjuna. Kalau sudah begitu, keluarlah kalimat manja
'senjata andalan' Sang Arjuna: "Sudahlah Diajeng-ku yang manis. Kan Diajeng
tahu, Kakangmas memang banyak penggemarnya. Jadi jangan digubrislah. Kan
yang penting Kakangmas masih sangat sayang sama Diajeng". Naaaah loe....,
mati kutulah Sang Dewi Wara Subadra kalau mendengar rayuan maut Sang
Arjuna itu. Apalagi, kalau malam harinya rayuannya diteruskan di peraduan.
Waaaa... sudahlah, menyerah kalahlah Sang Dewi Wara Subadra di dalam
pelukan mesra Sang Arjuna. Lagi pula dia kan bukan 'tentara wanita', jadi bisa
apa dia? Kalau suaminya nanti marah kepadanya, urusannya kan malah jadi
lebih runyam. Jadi, Dewi Wara Subadra seringkali bersikap mengalah saja
kepada suaminya yang benar-benar tampan itu. Apalagi kalau malam itu lalu
berubah menjadi malam syahdu yang indah, yang selalu menjadi impian banyak
wanita lainnya.....

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 57


Tapi lain ceritanya, kalau yang memergoki sms gelap itu Dewi Wara Srikandhi.
Dalam ukuran detik Sang Dewi bisa kalap dan serta merta menantang berkelahi
sang suami. Jangan lupa lo, Dewi Wara Sri Kandhi itu kan anggauta 'tentara
wanita', bahkan pelatihnya dulu kan Sang Arjuna. Dia itu jago berkelahi dan
bukan main-main lo. Kalau sedang marah dan memukul tembok, bisa ambrol
seketika. Tenaganya luar biasa dan kuat bagaikan pria saja. Tapi apa yang
terjadi saat dia selesai dilatih Arjuna dulu itu? Apa kamu nggak ingat? Dulu,
Sang Arjuna kan dibuat menyerah kalah, dan tunduk kepada semua kemauan
Sang Dewi Wara Sri Kandhi. Tahu sebabnya nggak? Begitu 'ganasnya' peri-laku
Sang Dewi yang satu ini, sampai-sampai Sang Arjuna menyerah saja mau
diapakan juga. Saya masih sangat ingat, menurut berita gosip pada masa itu, Sang
Arjuna jatuh hati kepada Dewi Wara Sri Kandhi, justru karena tampilan sang dewi
yang cantik tapi 'tomboy', dengan potongan rambut sangat pendek, dia terihat
sangat sexy. Paling tidak, itu menurut pendapat Sang Arjuna lo. Tubuh sang dewi
yang jauh lebih gempal dari pada Sang Arjuna, justru membuat Sang Arjuna lemah
lunglai dan jatuh hati setengah mati. Itu di jaman itu lo. Entah kalau di jaman
sekarang, apa Sang Arjuna masih jatuh hati atau enggak. Kalau kejadian Sang
Arjuna ditantang berkelahi melawan Sang Dewi Wara Sri Kandhi, maka dengan
serta merta Sang Arjuna akan menyapanya dengan halus dan penuh pesona:
"Diajeng Sri Kandhi, jangan marah dulu dong.
Sabar sedikitlah. Itu hanya berita gosip yang dikirim untuk merusak reputasi
Kakangmas. Bagaimanapun juga, Diajeng masih jauh lebih disayang oleh
Kakangmas. Masih ingatkah Diajeng dulu, saat kita bersama-sama belajar dan
berlatih? Bukankan Diajeng sudah mendengar janji sehidup semati Kakangmas?
Jadi, jangan gusar dan jangan pula marah. Biasaaaa, pria tampan kan memang
banyak penggemarnya. Acuhkan sajalah. Sekarang Diajeng kepingin apa? Kepingin
diapain? Sini, Kakangmas penuhi permintaanmu". Kalau Dewi Wara
Sri Kandhi mendengar ujung kalimat yang terakhir itu, rontoklah segala
'kegalakannya' dan segala 'keganasannya'. Seketika ia berubah menjadi manis
manja, dan dengan serta merta lalu balik bertanya Sang Arjuna: "Kakangmas
Arjuna yang tampan, ingin diapain sekarang?" Kalau sudah keluar kata-kata itu,
berarti Perang Barata-Yudha usai sudah. Perkelahian seketika berganti dengan
gencatan senjata. Dan keluarlah kata-kata rayuan gombal dari pasangan sehidup
semati itu. Dunia lalu seakan menjadi milik mereka berdua, sedangkan orang lain
dianggap 'ngontrak' di dunia ini!
Lo, itu kalau soal sms gelap! Tapi misalkan kita sepakat gaji Sang Arjuna itu
memang buuuesaaar sekali, pertanyaannya seberapa besar sih gaji Sang Arjuna
itu? Kalau mau dihitung, berapa sih gaji Sang Arjuna sebagai seorang pejabat
tinggi negara di Kerajaan Amarta? Semilyar? Dua milyar? Atau berapa
sebenarnya? Yang jelas, gaji dia sebagai seorang pejabat tinggi negara di
Kerajaan Amarta, nggak mungkinlah melebihi gaji kakaknya, Yudhistira, yang

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 58


seorang raja, super-eksekutif di Kerajaan Amarta. Gaji kakaknya itu, kan cuma
beberapa puluh juta sebulan. Gaji Sang Arjuna pastilah berada di bawah gaji
kakaknya. Itu sudah pasti dan nggak bisa dipungkiri! Lalu bagaimana Arjuna bisa
menghidupi seluruh isteri dan rumah-tangganya? Itu yang selama ini menjadi
pertanyaan dan mengherankan banyak orang. Jika pun gaji dia itu satu milyar
sebulan misalnya, dibagi sejuta, kan boleh dibilang habislah gaji dia! Herannya,
banyak juga yang tidak mau tahu gaji Arjuna! Aneh sekali! Lebih aneh lagi,
ternyata masih banyak wanita yang ingin diperisteri Arjuna. Kalau nggak bisa
diperisteri Arjuna, ya berharap jadi 'teman tapi mesra', atau apalah namanya.
Pokoknya berusaha mati-matian untuk bisa dekat dan merebut hati Sang Arjuna.

Cobalah juga kaubayangkan, Arjuna itu kan banyak sekali isterinya. Bayangkan
kalau saja setiap isteri itu punya satu anak saja, lalu anaknya Arjuna itu
sebenarnya berapa? Kan jadi sejuta? Jadi anggauta seluruh keluarga Sang
Arjuna itu, kan jadinya dua juta orang. Itu kalau setiap satu isteri punya satu
anak. Apa ya semuanya kenal bapaknya? Lawong ibunya saja nggak pernah
dikunjungi. Ibunya, sekali-kalinya bertemu suaminya, kan saat menikah atau
dinikahkan, lalu berbulan-madu, lalu semua berakhir begitu saja. Semua
berakhir di situ. Isterinya lalu ditinggalkan begitu saja. Sang Arjuna lalu
berkelana lagi sekehendak hatinya. Katanya sih mencari ilmu pengetahuan,
menambah wawasan, dan pengalaman. Tapi kenyataannya, yang lebih sering
terjadi kan buntut-buntutnya bertemu gadis lain dan akhirnya menikah di suatu
tempat antah-berantah. Menurut berita yang bisa dipertanggung-jawabkan
sumber dan kebenarannya, Sang Arjuna paling sering menikahi anak gadis
guru-guru spiritualnya. Namanya juga guru spiritual, jadi tempat tinggalnya
juga harus sesuai dong dengan istilah 'spiritual', jadi adanya ya di tempat-tempat
yang asing, di gunung-gunung, di hutan belantara, di gua-gua yang amat jauh
dari peradaban. Aneh juga lo. Orang yang berasal dari sebuah kota metropolitan
seperti Kota Amarta-Pura, kok bisa-bisanya jatuh cinta kepada gadis dusun yang
berasal dari pedalaman. Tapi itulah kenyataan yang terjadi. Kalau menurut
berita gosip paling mutakhir, Sang Arjuna yang memang orang kota
metropolitan itu, sangat suka jika dikagumi oleh gadis remaja yang 'masih
hijau', yang cenderung tidak tahu apa-apa, apalagi soal cinta. Jadi sebenarnya
yang jatuh cinta itu, lagi-lagi adalah si gadis, bukan Sang Arjuna! Itu awalnya
saja. Adapun Sang Arjuna, awalnya bolehlah dikatakan sebenarnya hanya ingin
menyenangkan hati si gadis gunung itu. Sudahlah tentu ayah sang gadis itu akan
merasa sangat bingung, jika anak gadisnya ternyata jatuh cinta kepada orang
kota, yang sedang menjadi muridnya. Apalagi ayahnya kan juga sangat tahu,
jika Sang Arjuna itu merupakan salah satu kerabat Pandhawa dan seorang
pejabat tinggi negara di Kerajaan Amarta. Apalagi yang mau dipertimbangkan?
Anaknya mau, muridnya tidak menolak! Di lain pihak, bagi Sang Arjuna kan

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 59


juga tidak etislah kalau menolak permintaan si ayah yang notabene adalah guru
spiritualnya, untuk menikahi anak gadisnya. Jadi ini sebenarnya soal ada
kesempatan yang terjadi karena berbagai 'kebetulan'. Kebetulan Sang Arjuna
sedang jadi murid, kebetulan kenal anak gadis guru spiritualnya, kebetulan anak
gadis itu manis, kebetulan si gadis sering kepergok sedang mencuri-curi
pandang, kebetulan tinggalnya berdekatan, kebetulan sering bertemu, kebetulan
keduanya sama-sama senang, kebetulan sama-sama mau, kebetulan jauh dari
isteri, kebetulan sedang dinas luar katanya, kebetulan tidak ada yang tahu,
kebetulan ada kesempatan, kebetulan tiap hari saling berpandangan mata,
kebetulan sering membantu mengantar si gadis, kebetulan ayahnya setuju,
kebetulan akhirnya Sang Arjuna juga jatuh cinta akhirnya, dan .... ah banyaklah
kebetulan-kebetulan lainnya.....
Karena peristiwa seperti inilah, maka
menurut gosip, maka Sang Arjuna sangat
sering punya isteri di wilayah pedalaman.
Tentu saja, besar kemungkinan isteri-
isterinya yang tinggal di kota besar tidak
tahu apa yang terjadi dengan suaminya
yang suka berkelana itu. Hal yang paling
sering terjadi, adalah ke rumah dinas
Sang Arjuna, tiba-tiba datanglah seorang
remaja yang mengaku sebagai putera atau
puteri Sang Arjuna. Dengan sedikit
kalang-kabut sudahlah tentu terjadi suatu
huru-hara kecil di rumah dinas itu. Tapi,
karena bukti-buktinya biasanya kelewat
lengkap dan kelewat kuat, apalagi di
jaman sekarang sudah
ada foto digital yang bisa dibuat hanya
memakai HP, maka Sang Arjuna
biasanya segera menyerah dan segera
mengaku saja kepada isteri-isterinya
Ini adalah gambaran Sang Arjuna. Ia sama yang datang dengan muka berang penuh
sekali tidak memakai perhiasan apapun di amarah. Motto Sang Arjuna, 'mengaku
seluruh badannya. pada harus terus lebih cepat lebih baek, dari
berbohong'.
Tapi kembali ke soal gaji, seperti sudah kuceritakan, Sang Arjuna itu kan gajinya
tidak besar, meskipun dia seorang pejabat tinggi negara dari Kerajaan Amarta.
Kalau untuk setiap isteri dan rumah-tangganya diamisalkan bisa membelikan satu
saja rumah mewah dengan beberapa mobil, lalu dari mana uangnya? Kalau itu yang
terjadi, pastilah Sang Arjuna mengkorupsi uang kerajaan! Itu sudah bisa dipastikan!
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 60
Mengapa? Karena selama ini dia dikenal tidak punya perusahaan. Kan gaji dia
cuma dari negara doang. Nah, ini dia rahasia pribadi Sang Arjuna, mengapa dengan
gaji kecil dia bisa punya isteri segitu banyak. Ternyata menurut sebuah survei,
semua isteri dia itu melaksanakan operasi 'self supporting' alias menjadi pengusaha
mandiri, dengan pengecualian tentunya yang tinggal di rumah dinasnya, seperti
Dewi Wara Subadra dan Dewi Wara Sri Kandhi itu misalnya. Jadi, Sang Arjuna itu,
meskipun sering bingung, tapi sebenarnya pengeluaran per bulannya tidaklah
sebesar yang dibayangkan banyak orang! Gitu lo! Meskipun begitu, tetap saja
sebagai pejabat tinggi negara dia perlu banyak dana untuk melaksanakan berbagai
kegiatan sosial dan tugas-tugas kenegaraannya....
Bayangkan saja, kalau Sang Arjuna harus membiayai sendiri seluruh rumahtangga
isterinya, maka saya yakin dia akan menjadi koruptor paling besar di Kerajaan
Amarta! Lawong, gajinya cuma segitu, kok punya isteri dan anak segitu banyak.
Belum lagi kalau lagi kenaikan kelas, kan anak-anaknya pada minta hadiah dari
bapaknya. Coba kamu perhatikan juga, badan Sang Arjuna itu, kan nggak pantas
sebagai pejabat tinggi negara kok kurus kering begitu! Dia itu bukan ramping tapi
kurus kering! Juga perhatikan, apa dia punya perhiasan? Kan di seluruh tubuhnya
sama sekali tidak ada perhiasan apapun. Lawong HP aja yang megang isterinya
kok! Dia itu, sebagai manusia kasihan sekali lo. Pejabat tinggi negara lainnya, kan
pakaiannya mentereng, badannya penuh dengan berbagai perhiasan, bintang jasa,
HP beberapa biji, belum lagi jam tangannya, pakai gelang mutakhir yang katanya
sebagai tanda bahwa dia ikutikutan dengan tindakan sosial tertentu. Liat aja, apa
Arjuna punya itu semua? Kalau kamu cermati, semua itu nggak ada pada diri Sang
Arjuna. Dia itu kayak orang miskin aja penampilannya. Tapi dia penjabat tinggi
negara! Penampilan seperti itu sih bukan sederhana, tapi miskin! E...., saya bukan
mau menghina, tapi memang seperti itulah kenyataannya. Kebanyakan isteri,
kebanyakan anak, kebanyakan urusan cinta, kebanyakan urusan yang nggak jelas;
jadinya ya begitu. Belum lagi kalau Mbak Dewi Banowati, itu tuh isteri Raden Mas
Suyudana, minta tolong ke Mas Arjuna sang pujaan hati. Wah, tanpa menungu
waktu, tanpa pamit, langsung pergi dia ke rumah Mbak Dewi Banowati. Dia bisa
lupa segalanya.... ha ha ha
Coba kamu perhatikan apa yang dilakukan Sang Arjuna kalau sedang bingung dan
sedang ada di rumah dan nggak ada acara ke mana-mana. Paling sering, dia itu
dengerin 'klenengan' atau 'uyon-uyon nyamleng'. Dia paling suka, kan
mendengarkan 'Gendhing Jineman Gathik Glindhing', minggah 'Langgam Rengu',
yang dimainkan dengan gaya Tayuban Jawa Timuran. Kamu tau nggak, kenapa dia
sangat suka lagu 'Langgam Rengu'? Karena bunyi syairnya, bercerita tentang
seorang pria yang sangat suka mengumbar 'katresnan' (cinta) dan berakhir dengan
bingung bagaimana cara mengatasi dan menyesaikannya..... he he he
"Nah, begitulah kisah Sang Arjuna yang sesungguhnya", kata sahabat saya
mengakhiri ceritanya yang panjang-lebar tentang Sang Arjuna itu, sambil 'nyruput'
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 61
kopi panas pesenannya tadi, yang ternyata sudah mulai dingin. Dan, saya dengan
masih terbengong-bengong, ikut beranjak berdiri, lalu mulai melangkah bersama
dengan sahabat saya itu. Sambil berjalan perlahan, pulang berdua, saya mengajukan
kesimpulan saya: "Jadi, Arjuna itu orangnya ternyata penuh kerepotan dan
hidupnya penuh was-was ya?" Sahabat saya, menghentikan langkah kakinya, dan
sambil menatap saya sejenak, lalu dengan setengah berteriak berkata keras-keras:
"La iya dong, lawong hidup seperti itu, dipuja-puja banyak orang, tapi banyak yang
sama sekali nggak tau apa yang sebenarnya terjadi. Banyak yang salah sangka.
Banyak juga yang nggak tau kalau dia itu setiap hari sebenarnya selalu
kebingungan! Jangankan ngurus negara, lawong ngurus dirinya sendiri saja dia
bingung! Kan orang nggak mau tau soal itu. Orang kan taunya semuanya beres dan
indah saja. Seperti yang terlihat setiap hari di siaran 'Amarta TV' itu!", begitu
celoteh sahabat saya, dan kita berdua lalu tertawa terbahak-bahak, merasa tertipu
setiap saat oleh koran, majalah, dan media seperti televisi seperti 'Amarta TV' itu,
tetapi kita ternyata juga menyenangi tipuan itu! Kebangetan....

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 62


TEJAMANTRI, SANG KONSULTAN
Bram Palgunadi
8 Juli 2011 pukul 22:52

Dalam dunia pewayangan, kita mengenal adanya sejumlah 'panakawan', yang


secara umum artinya 'sahabat dekat'. Ini merupakan sejumlah tokoh wayang, yang
umumnya berperan sebagai penasehat, dan sekaligus juga sahabat bagi tokoh yang
diikutinya. Sejumlah tokoh panakwan ini, bolehlah kita katakan sebagai 'tokoh
abadi', karena di setiap cerita wayang yang manapun, mereka selalu ada. Misalnya,
tokoh Limbuk, Cangik, Semar, Gareng, Petruk, Bagong, Togog, dan Sarawita.
Tokoh lain yang juga abadi, adalah denawa Cakil, raksasa Rambut Geni, dan
beberapa tokoh lainnya. Mereka ini, selalu muncul di dalam pagelaran wayang
yang manapun. Dalam kehidupan kita sehari-hari, nyatanya kita lebih sering
memperhatikan tokoh-tokoh panakawan yang empat, yaitu Semar, Gareng, Petruk,
dan Bagong. Lalu, juga dengan dua tokoh wanita, yaitu Limbuk dan Cangik. Tetapi
bagaimana dengan tokoh Togog dan Sarawita?
Karena itulah, maka kali ini kita akan sedikit berkenalan dengan dengan tokoh
Togog dan Sarawita, yang sebenarnya sama terkenalnya dengan tokoh-tokoh
panakawan lainnya.
Tokoh Togog (sering juga disebut 'Tejamantri' atau 'Wijamantri') dan Sarawita
(sering disebut 'Mbilung'), seringkali dipandang sebagai tokoh 'panakawan jahat',
hanya karena mereka berdua itu selalu berada di pihak musuh, raja jahat, atau
tokoh-tokoh yang berperangai buruk. Ini merupakan sebuah pandangan umum,
yang sangat lazim dinyatakan orang tentang kedua tokoh ini. Tetapi apakah benar
demikian?
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 63
Togog khususnya, sebenarnya sama dengan Semar, mereka berdua adalah 'dewa
yang turun ke bumi'. Masing-masing mempunyai tugas dan peran khusus.
Semar, menjadi penasehat para ksatria pembela kebenaran. Sedangkan Togog?
Apakah ia dapat dikatakan sebagai penasehat pada ksatria pembela kejahatan?
Menurut saya, di sinilah letak kesalahan-pahaman kita dalam memandang peran
dan fungsi mereka. Menurut saya, Baik Semar maupun Togog, keduanya
merupakan penasehat para ksatria. Jika kita mencermati dialog-dialog keduanya
dengan para ksatria yang diikutinya, maka semuanya akan segera menjadi jelas.
Keduanya selalu memberikan nasehat-nasehat yang baik dan berguna. Bedanya,
keduanya berdiri pada pihak yang berseberangan.
Jika kita memakai kondisi jaman sekarang sebagai analoginya, maka tokoh Togog,
adalah 'penasehat agung' atau mungkin juga bisa kita sebut sebagai seorang
'konsultan yang bekerja di luar negeri'. Sebaliknya, Semar adalah 'penasehat agung'
yang bekerja sebagai 'konsultan yang bekerja di dalam negeri'. Secara logika, di
seluruh dunia manapun, dengan tidak memandang apakah dia konsultan asing atau
dalam negeri, semestinya tidak ada konsultan yang memberikan 'nasehat buruk'.
Semua konsultan pastilah akan memberikan nasehat yang baik dan berguna bagi
orang yang mempekerjakannya. Paling tidak, ia memperkirakan bahwa nasehatnya
itu akan berguna bagi orang yang diikutinya. Kalaupun nasehat-nasehat mereka
yang jelas baik itu tidak diperhatikan, dianggap seperti angin lalu, atau diabaikan
oleh atasan masingmasing, maka hal itu berada di luar tanggung-jawab mereka.
Dalam kasus tokoh Togog atau Tejamantri, sebagai seorang konsultan yang
'bonafide', apalagi sebagai konsultan bagi pihak asing, maka pantaslah jika ia
bertubuh tambun, berkepala botak, pandai berbicara, dan pandai pula berdebat.
Memang begitulah seharusnya. Paling tidak, dipandang dari segi 'citra' yang
diperlukan supaya pendapat dan nasehatnya diperhatikan. Ia, bahkan selalu
memakai tata-krama yang baik, berbahasa baik, santun, serta didukung oleh
segudang ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas. Penampilan Togog yang
'modist', juga penting untuk diperhatikan. Bukankah dia bekerja di negeri seberang?
Nah, untuk memperkuat citranya sebagai penasehat yang sangat ahli, ia
memerlukan seorang 'asisten' atau katakanlah seorang 'staf ahli'. Di sinilah letak
peran dan fungsi Sarawita. Supaya nasehatnya menjadi semakin afdol, maka staf
ahli atau asistennya, haruslah memakai bahasa asing. Dalam hal ini, Sarawita selalu
diperankan berbahasa Melayu dan sama sekali tidak berbahasa Jawa. Fungsi utama
Sarawita, adalah membenarkan dan mendukung berbagai argumentasi yang
ditampilkan Togog.
Cobalah perhatikan baik-baik, bagaimana intonasi suara dan argumentasi yang
disampaikan Togog dalam berbagai dialog 'internasional'. Ia tidak pernah marah,
tidak pernah tersinggung, dan bahkan tidak pernah langsung menyanggah pendapat
orang lain (terutama orang yang diikutinya). Ia, selalu memikirkan lebih dahulu,
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 64
dan dengan kalimat yang jelas, iramanya lambat, serta berkata-kata dengan nada
rendah dan berat; saat menyatakan pendapatnya. Ia bahkan tidak pernah berkata-
kata dengan kalimat yang dinyatakan secara cepat dan bernada tinggi. Baginya,
semua masalah pasti bisa diatasi secara baik. Togog, adalah tipikal orang yang
selalu berpikir positif. Bahkan saat atasannya menyatakan kepadanya tentang niat
dan gagasan jahatnya, ia selalu memberikan wawasan yang tetap berkutub positif,
dan sama sekali tidak pernah terbawa arus menjadi berpendapat negatif. Meskipun
lawan bicaranya berbicara dengan berteriak-teriak, memaki, serta memakai
rangkaian kalimat bernada tinggi yang disampaikan secara sangat cepat (karena
sangat emosional), Togog tetap berperi-laku santun, tetap memegang tata-krama,
dan berbahasa halus. Bahkan nada bicaranya tidak ikut-ikut menjadi bernada tinggi.
Ia tetap menggunakan nada yang rendah, dengan kecepatan bicara yang relatif
lambat, dan suara yang berat.
Jika dalam suatu dialog, ternyata Sarawita sang asisten membuat kesalahan.
Misalnya, salah ucap atau salah berargumentasi, maka biasanya Togog dengan
sabar dan bijak, akan mengingatkan Sarawita. Jangan lupa, Sarawita adalah tokoh
yang seringkali memberikan reaksi terlalu cepat dan dengan nada bicara yang juga
cepat dan agak terburu-buru. Karenanya, bisa saja ia salah ucap, karena belum
sempat memikirkan dalam-dalam sudah mengucapkan apa yang dirasakannya. Ia
juga terkenal sebagai tokoh yang seringkali terlampau cepat memberikan tanggapan
dan persetujuan kepada boss-nya (Togog), sebelum Togog menyelesaikan seluruh
pembicaraannya. Nah, di sinilah letak kesulitan seorang Togog. Ia memerlukan
seorang staf ahli, tetapi Sarawita seringkali malah mempersulit keadaan, dengan
berkata-kata sebelum Togog menyelesaikan kalimatnya. Maksudnya sih baik, tetapi
maksud yang baik, jika diungkapkan terlalu terburu-buru, seringkali dampaknya
menjadi buruk. Dari pasangan Togog dan Sarawita inipun, kita bisa belajar banyak.
Misalnya, belajar tentang perlunya kompak dalam menyampaikan pendapat,
perlunya belajar menyatukan pandangan, perlunya belajar saling mendukung untuk
mencapai suatu tujuan, perlunya saling berterus terang di antara anggauta tim, dan
perlunya belajar untuk selalu berdamai dan saling bertenggang-rasa dengan kawan
seiring (teman sejawat).
Seperti saya sudah sampaikan, Togog adalah tokoh baik dan bijak, ia penasehat
yang baik. Kebetulan saja ia berdiri di pihak asing atau musuh. Setiap kali terjadi
dialog dengan atasanya yang mempunyai niat atau gagasan jahat, ia selalu berusaha
untuk menasehati dan memberikan wawasan tentang berbagai risiko yang harus
ditanggung, jika niat dan gagasan jahat itu dilaksanakan. Jika perlu, ia akan
berusaha membujuk, supaya niat dan gagasan jahat itu dibatalkan saja. Ringkasnya,
ia selalu berusaha, supaya junjungannya itu berubah menjadi orang baik. Namun,
namanya juga orang jahat. Mana ada yang mau dinasehati supaya berubah menjadi
orang baik? Dalam kasus seperti ini, jelaslah Togog tidak pernah goyah dan tidak
pernah berputus asa untuk selalu menasehati atasannya itu, supaya berubah dan

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 65


menjadi berperi-laku baik. Bahkan, jika ia dimaki-maki oleh atasannya, karena
sikap dan pendapatnya itu seolah-olah seperti ingin menggagalkan gagasan dan niat
jahat atasannya, maka Togog dengan kepala dingin tetap tidak bergeming. Bahkan
ia tidak lantas membalas memaki, membuat isu, atau melawan kata-kata yang
diucapkan atasannya. Ia lebih suka mendengarkan lebih dahulu selama beberapa
saat, lalu menyatakan pendapatnya dengan bahasa yang santun, bernada rendah,
dan berimana lambat. Suatu upaya yang sangat bijak, untuk meredam kemarahan
atasannya. Belajar dari semua hal ini, maka jelaslah bahwa kita saat ini sebenarnya
sangat memerlukan tokoh-tokoh seperti Togog, yang bekerja di kalangan para
ksatria yang berwatak jahat. Kita memerlukan banyak tokoh Togog, karena justru
negara kita sekarang ini penuh dengan para ksatria berwatak jahat, candhala,
culika, dan tidak tahu malu; yang tidak saja mempermalukan diri sendiri, tetapi
juga mempermalukan negara dengan segala kelakuan, sifat, dan tindaktanduknya.
Kita sangat kekurangan tokoh-tokoh seperti Togog, yang tidak pernah berhenti
menasehati para ksatria jahat itu. Kita bahkan cenderung melupakan, bahwa tokoh
seperti Togog justru sangat diperlukan di dalam kehidupan nyata kita. Sebaliknya,
kita sudah amat sangat mengenal tokoh seperti Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong;
yang bekerja pada kelompok ksatria yang berperi-laku dan berwatak baik. Tetapi
harap dicatat, bahwa dalam kehidupan nyata, gagasan dan niat buruk; bisa saja
timbul bahkan tidak saja dari para ksatria yang berperi-laku dan berwatak jahat,
tetapi juga dari kalangan para ksatria yang sehari-harinya dikenal berperi-laku dan
berwatak baik. Misalnya, saat mereka lupa diri, khilaf, atau berubah menjadi
membutakan diri; karena sedang berkuasa atau sedang berharta.
Maka sejenak kita perlu merenungkan, dengan berdiam sesaat dan mengheningkan
cipta, karsa, dan rasa kita. Berusaha merasakan kembali, apakah kita sudah menjadi
orang baik, atau masih juga menjadi orang buruk. Masihkah kita ingat kepada Sang
Penguasa Jagat Raya, yang menguasai hidup dan mati kita, atau kita mengacuhkan
dan sudah melupakan-Nya. Jika kita memang sedang sial atau memang meniatkan
diri, dan kebetulan menjadi ksatria jahat, maka ingatlah bahwa kita memerlukan
pendamping dan penasehat seperti 'Togog', sang konsultan, yang akan selalu
mengingatkan dan memberikan nasehat kepada kita, untuk selalu kembali ke jalan
yang benar. Mudahmudahan, kita selalu bertemu dengan tokoh, orang, atau sahabat;
yang bersedia berperan sebagai 'Togog' bagi kita. Semoga kita menemukannya....

CANGIK DAN LIMBUK, DUA SAHABAT DENGAN KESETIAAN


TANPA BATAS....
Bram Palgunadi
9 Mei 2011 pukul 16:03

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 66


Cangik dan Limbuk, dua tokoh klasik dalam jagat pewayangan, yang menggambarkan orang
yang setia kepada junjungannya. Mereka bukan sekedar orang biasa atau 'parekan' (dayang-
dayang), tetapi lebih dari itu,mereka adalah sahabat dekat para junjungan putri atau permaisuri,
yang mengabdikan diri dengan kesetiaan tanpa batas.

Di dunia pewayangan, kita selalu berhadapan dengan dua tokoh wanita, yaitu
Cangik dan Limbuk. Mereka berdua, selalu ditampilkan saat tiba pada adegan
'keputren' di suatu kerajaan. Ini merupakan suatu adegan yang boleh dikatakan
selalu ada di setiap pagelaran wayang. Saking seringnya kedua tokoh ini tampil,
sampai-sampai kita tidak pernah tahu atau tidak mau tahu, siapakah sebenarnya
mereka berdua itu. Pada judul bahasan ini, saya memakai istilah 'dua sahabat' dan
bukannya memakai istilah 'dua wanita'. Memang keduanya, Cangik dan Limbuk,
adalah dua orang wanita. Tetapi keduanya sebenarnya sudah meningkatkan level
dirinya, menjadi 'dua sahabat' bagi sang putri atau permaisuri yang diikutinya.
Kesalahan terbesar dari kita sebagai pengamat dan penikmat pagelaran wayang,
khususnya wayang kulit, adalah bahwa tokoh Cangik dan Limbuk seringkali kita
pandang sebagai dua orang dayang-dayang atau kasarnya sebagai 'pembantu'
seorang putri atau permaisuri raja. Ini merupakan kesalahan pemahaman yang bisa
dikatakan fatal. Mengapa demikian? Sebab mereka berdua, Cangik dan Limbuk,
sebenarnya bukanlah dayang-dayang dan bukan pula pembantu dalam pemahaman
umum seperti yang kita kenal. Mereka berdua, adalah 'panakawan', yang artinya
'sahabat'. Jika tokoh panakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong; adalah

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 67


panakawan bagi para tokoh ksatria; maka Limbuk dan Cangik adalah panakawan
bagi tokoh putri atau permaisuri. Mereka berdua, bukanlah tokoh biasa. Mereka
berdua, adalah tokoh yang peran dan fungsinya sangat luar biasa. Meskipun
kenyataannya, mereka berdua kalah pamor dengan para panakawan ksatria yang
lebih banyak diekspos dan ditampilkan.
Gambaran bahwa Cangik adalah wanita tua renta yang bertubuh jelek dan buruk
rupa, merupakan gambaran yang benar-benar menggambarkan pemahaman kita
yang salah terhadap Cangik. Begitu pula tentang Limbuk yang digambarkan
tubuhnya tambun (gemuk) dan bermuka jelek. Cangik bukanlah wanita berwajah
buruk seperti banyak dikatakan orang. Cangik, adalah gambaran seorang wanita tua
yang sangat setia kepada majikannya. Ia adalah seorang wanita yang bertindak
sebagai 'rewang' bagi majikan perempuan (misalnya: isteri, permaisuri). Bersama
anaknya, yang bernama 'Limbuk", keduanya merupakan teman atau sahabat sejati,
tempat sang putri atau permaisuri curhat, merenungkan kehidupannya, dan
mendiskusikan kegundahan hatinya. Mereka berdua, bukanlah orang biasa! Mereka
berdua adalah orang-orang dalam lingkungan terdalam suatu istana. Kalau memakai
istilah jaman sekarang, mereka berdua itu termasuk orang-orang yang 'berada di
lingkaran ring satu', yang merupakan orang-orang kepercayaan yang berada paling
dekat dan sangat erat hubungannya dengan orang terpenting di istana. Mereka juga
'pemegang rahasia' sang puteri atau permaisuri. Begitu dekat dan eratnya hubungan
mereka dengan junjungannya, sehingga bisa dikatakan hubungannya jauh melebihi
yang bisa dilakukan oleh seorang menteri atau mahapatih (menteri koordinator,
menko).
Cangik dan Limbuk, bukanlah 'babu' seperti yang banyak digambarkan orang.
Mereka berdua, adalah 'rewang'. Dalam bahasa Jawa, artinya 'orang yang
membantu'. Dalam pemahaman ini, mereka bukanlah 'pembantu' (babu). Rewang,
artinya 'penolong'. Istilah 'ngrewangi', artinya membantu atau menolong.
Maksudnya membantu atau menolong mendengar curhat sang junjungan,
membantu memberikan saran, membantu menenangkan sang junjungan, membantu
menyenangkan hati sang junjungan, membela junjungannya [1], dan membantu
mencarikan jalan keluar jika ada masalah. Dalam budaya tradisional Jawa, seorang
'rewang' akan tinggal bersama, jika perlu tidur dan menjaga di kamar sang puteri,
makan menu dan makanan yang sama dengan junjungannya. Mereka seringkali
juga merawat dan membesarkan anak-anak dari keluarga yang diikutinya.[2]
Mereka bukanlah 'orang belakang', tetapi lebih tepat disebut sebagai 'orang dalam'.
Dalam kehidupan nyata, mereka seringkali diberi kepercayaan yang sangat luar
biasa, yang berhubungan dengan harta, kekayaan, rahasia, rumah tinggal, dan anak-
anak. Karena itu, mereka berdua, bukanlah 'parekan' (dayang-dayang). Kalau di
jaman sekarang, mungkin mereka berdua itu lebih tepat disebut 'asisten pribadi'.
Cangik, lazimnya digambarkan sebagai wanita dewasa yang banyak
pengalamannya. Sedang Limbuk, lazimnya digambarkan sebagai wanita muda
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 68
sedang magang (untuk nantinya menggantikan Cangik). Mengapa Limbuk
digambarkan bertubuh gemuk dan Cangik bertubuh kurus? Sebab, seseorang yang
mengabdi tanpa pamrih kepada seseorang lainnya (junjungannya), meskipun ia
semula bertubuh gemuk, jika pengabdian itu dilakukan tanpa pamrih, maka ia akan
menjadi kurus dengan sendirinya. Kurus, menggambarkan orang yang jujur,
sederhana, tidak banyak tuntutan, hidupnya tidak mengejar materi dan kekayaan.
Juga menggambarkan sifat orang yang sederhana, tidak neka-neka. Limbuk yang
tubuhnya tambun, menggambarkan seorang wanita yang masih muda dan masih
memikirkan materi dan duniawi.
Cangik dan Limbuk, menggambarkan 'asisten pribadi' seorang putri/wanita. Di
negara/kerajaan manapun, peran keduanya ini selalu ada. Bahkan di jaman sekarang
pun (di abad ke-21) peran keduanya pun ada (dalam dunia yang nyata). Bahagialah
anda, yang masih bisa menikmati kesetiaan mereka yang tanpa batas. Selamat
merenungkan......
________________________________
[1] Saya mempunyai seorang sahabat karib (seorang pria) bersuku-bangsa Jawa, yang rumahtangganya
berantakan, gara-gara isterinya selingkuh dengan seorang pemuda yang kost di rumahnya.
Rewangnya, seorang wanita tua, dengan berani dan tanpa ragu-ragu memarahi majikan
perempuannya dan mengusir kedua pasangan selingkuh itu dari rumah tinggalnya. Selama bertahun-
tahun setelah peristiwa itu, sahabat karib saya itu, dirawat, dilayani, dan dijaga oleh rewangnya ini,
seperti seorang ibu menjaga anaknya. Hal ini, secara jelas menunjukkan bagaimana peran seorang
rewang dalam kondisi yang sebenarnya.
[2] Saya, sewaktu masih kecil, tinggal di Yogyakarta (sekitar tahun 1952 - 1959), sempat merasakan
bagaimana seorang rewang keluarga yang bernama Mbok Wirya, setiap hari merawat saya dan adik-
adik saya. Mbok Wiryo ini, setiap hari menggendong saya dan menimang-nimangnya seperti
anaknya sendiri, seringkali sampai saya tertidur. Saya masih ingat benar, bagaimana Mbok Wiryo,
seringkali menggendong diri saya yang saat itu masih kecil, sambil menyanyikan tembang Jawa
'Pendhidisl-pendhisil', 'Jamuran', 'Gathutkaca Edan', 'Cempe-cempe', atau 'Kebon Raja'. Sungguh
merupakan kenangan indah di masa kecil saya yang tak akan terlupakan sepanjang hayat.

________________________________________
Di bawah ini, saya tambahkan cerita Mas Yohanes Triwidiantono, yang sangat
menyentuh perasaan.
Yohanes Triwidiantono 09 Mei 5:46
Pak Bram ingkang kinurmatan, Saya juga punya kenangan sepanjang hayat seperti
panjenengan; sewaktu kecil (1962 - 1968) saya dimong oleh mbok-dhe Karso, yang
adalah suami-isteri tetangga sebelah rumah, tanpa anak. Bukan hanya mbok-dhe
Karso yang nggemateni saya, namun juga pakdhe Karso. Oleh orang-tua saya,
suami-isteri ini digaduhi sepasang cempe. Tak heran, saya pun sering ikut angon
cempe ke ladang. Yang saya tahu adalah saya dijagai melebihi apapun, termasuk
memenuhi keinginan dan saya. Suatu saat saya diberi pondoh (pucuk batang pohon
kelapa), karena terasa manis lembut dan tidak keras, saya menikmatinya, sayang
hanya sedikit karena hanya pembagian entah tetangga mana yang menebang pohon.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 69


Saya bertanya asal-usul pondoh itu, dan dijelaskan apa adanya. Ketika suatu saat
pakdhe Karso memetik kelapa, saya minta pondoh. Ibu saya terperanjat, dan bilang
bahwa yang bisa dipentik hanya dawegan, pondoh tidak bisa dan tidak ada. Saat
pakdhe turun tidak membawa pondoh, saya ngambek. Hari berikutnya pakdhe
keliling kampung mencari orang menebang kelapa, tidak ketemu, sampai akhirnya
ketemu di kampung tetangga ada yang menebang. Dengan segala upaya pakdhe
minta pondoh kepada pemilik pohon. Sampai saya menjadi seorang bapak, olok-
olok ini masih sering saya dengar dari ayah saya, bahwa asaya minta pondoh pada
pemetik kelapa. Setelah sekolah di SD, saya diikutkan ke keluarga kakek-nenek
saya yang jaraknya sekitar 10 km. Orang-tua saya bekerja ke Malaysia (1969 -
1973). Sepertinya, ini petaka bagi pakdhe-mbokdhe Karso, hampir tiap minggu
menjenguk saya. Keduanya tidak dapat bersepeda, hanya berjalan kaki. Lamalama
berangsur semakin jarang menjenguk saya, tetapi saya tidak tahu penyebabnya.
Namun mereka masih tetap berkunjung, yang saya tahu mereka pasti selalu
membawa hasil kebun seperti; ketela, nangka, pisang dsb. dan masih setia
menunggui sampai saya memakannya. Kunjungan mereka masih saja terus
berlangsung hingga saya dewasa, bahkan sepasang cempe yang sudah menjadi
belasan ekor tidak pernah diakui sebagai miliknya, tetapi dianggap itu milik saya,
padahal ayah saya sudah menyerahkan semuanya kepada mereka. Ketika ada yang
dijual, uangnya diberikan kepada saya. Setelah saya dewasa dan kuliah ke luar kota,
mereka masih berkunjung ke orangtua saya, mencari-cari saya sambil membawa
hasil kebun. Setiap pulang ke Yogya, saya memang kadang menyempatkan mampir
ke rumah (sebenarnya gubuk) mereka, hanya sekedar memberi sebotol kecil madu
sebagai buah tangan, tapi malah mereka memberi saya beras sekandi. Sekarang,
mereka memang sudah tiada, pakdhe Karso sudah sekitar 10 tahun yang lalu, dan
mbokdhe sekitar 5 tahun lalu. Tidak ada barang apapun di dunia ini yang dapat
menggantikan kasih-sayang mereka kepadaku, juga baktiku kepada mereka tidak
akan mungkin sebanding. Gubuknya ditinggali oleh anak angkat (pupon) mereka,
tetapi saya tidak kenal. Saya kadang berkunjung ke gubuk itu, tapi tidak ada kata
yang dapat menjelaskan apapun mengenai hubungan saya dengan pakdhe dan
mbokdhe Karso.

CINTA RAHWANA HANYA UNTUK SINTA


Bram Palgunadi
11 April 2011 pukul 2:41

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 70


Saat Rahwana menculik Dewi Sinta, perbuatannya ketahuan oleh Jatayu.
Jatayu berusaha merebut Dewi Sinta, namun gagal.

Ini merupakan obrolan antar sahabat, saat sedang suntuk dan capek bekerja.
Topiknya, sudah jelas mempertanyakan, apakah Rahwana itu raja yang jahat atau
bukan? Bagi saya dan sejumlah sahabat, ini jelas merupakan dilema yang bisa
menyebabkan saya dan beberapa sahabat saya dibenci orang. Sebabnya jelas, kita
mencoba melihat Rahwana dari sisi dia sebagai manusia. Sebagian besar dari kita,
umumnya melihat Rahwana sebagai tokoh yang jahat.
Sedangkan Rama, sebagai orang baik yang dizalimi. Itu pandangan orang pada
umumnya. Sedangkan dalam pandangan saya (dan beberapa sahabat saya lainnya),
kita bisa bersikap begitu karena kita selalu menerima 'wejangan' dari orang tua kita,
bahwa Rahwana itu orang jahat dan Rama orang baik. Kita bahkan menerima
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 71
pandangan itu begitu saja, tanpa pernah mempertanyakan, apa saja kebaikan
Rahwana dan apa pula keburukan Rama.
Dalam cerita Ramayana yang lazim disampaikan kepada kita, sesuai dengan pakem
pewayangan, diceritakan bahwa Rahwana sangat ingin memperisteri Dewi Sinta.
Padahal, Dewi Sinta saat itu sudah menjadi isteri Rama. Untuk itu, ia berupaya
memperdaya Rama dan Laksmana, supaya bisa menculik Dewi Sinta. Penculikan
itu berhasil sukses! Meskipun selama perjalanan Rahwana diserang oleh Jatayu,
tetapi halangan itu bisa diatasinya, dan Dewi Sinta bisa diboyong Rahwana ke
Alengkadiraja. Tiga tahun, Dewi Sinta ditawan di sebuah
'keputren', ditemani DewiTrijatha, adik Rahwana. Dan selama tiga tahun pula
Rahwana selalu berusaha membujuk Dewi Sinta untuk bersedia menjadi
permaisurinya. Segala upayanya untuk menjadikan Dewi Sinta sebagai permaisuri,
ditolak oleh Dewi Sinta secara halus. Jadi Rahwana sebenarnya dapat dikatakan
gagal memperisteri Dewi Sinta. Bahkan, saat Rahwana agak kelewatan sikapnya,
saat sedang membujuk Dewi Sinta, ia dihalangi oleh Dewi Trijatha, adiknya. Tentu
saja Rahwana menjadi marah, dan Dewi Trijatha dikutuk oleh Rahwana. Kutukan
Rahwana menyatakan, bahwa Dewi Trijatha akan mendapat jodoh jika sudah
menjadi 'perawan tua' dan jodohnya adalah seorang wanara tua yang bertubuh
pendek, jelek, dan buruk muka. Kutukan Rahwana ini, membuat Dewi Trijatha
sedih berkepanjangan. Keinginan Rahwana untuk bisa menjadikan Dewi Sinta
sebagai permaisurinya, telah mengorbankan banyak hal, termasuk kekuasaan,
keluarga, sanak saudara, dan kerajaan Alengka. Rahwana, akhirnya terbunuh dalam
suatu pertempuran melawan Rama yang dibantu ribuan pasukan wanara (kera). Ia
merupakan orang terakhir dari Kerajaan Alengka yang mati di medan laga,
melawan musuh. itulah ringkasan seluruh cerita tentang Rahwana yang sangat
terkenal itu.
Sekarang cobalah kita pahami barang sedikit cerita kebalikannya, ditinjau dari sisi
Rahwana. Cobalah untuk mendinginkan kepala dan tidak emosional sewaktu
membaca cerita ini. Tentu saja, cerita ini merupakan cerita imajiner, jadi
gunakanlah juga imajinasi anda saat membacanya.....
Bayangkalah, Alengkadiraja adalah sebuah negara adidaya, yang terkenal sangat
kaya dan makmur. Kerajaan ini, politiknya sangat stabil, keamanan di seluruh
wilayah Kerajaan Alengkadiraja sangat terkendali dan sangat aman. Rakyatnya
demikian sejahtera, sehingga banyak orang yang berasal dari manca negara, datang
dan akhirnya tinggal bermukim di Kerajaan Alengkadiraja. Menurut sejarahnya,
Kerajaan Alengkadiraja juga tidak pernah memperlakukan kerajaan-kerajaan di
sekitar wilayahnya sebagai negara jajahan. Alengkadiraja juga tidak pernah
menyerbu negara lain. Kerajaan Alengkadiraja, memang bukan sebuah negara
demokratis seperti Amerika. Kerajaan Alengkadiraja, memang merupakan sebuah
negara monarki (kerajaan), yang dipimpin oleh seorang diktator luar biasa besar
dan sangat luas kekuasaannya, yang berjuluk Prabu Rahwana. Kerajaan besar ini,
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 72
bahkan tidak memerlukan adanya Dewan Perwakilan Rakyat untuk membuat
berbagai undang-undang. Segala aturan dan undang-undang, cukup ditangani oleh
Rahwana yang dibantu sejumlah pejabat tinggi kepercayaannya. Sejak Kerajaan
Alengkadiraja berdiri, sampai akhirnya tumbang oleh serbuan para 'monyet' yang
membantu Rama, tidak pernah ada berita negatif sedikitpun yang menyatakan
bahwa Rahwana pernah berbuat menzalimi rakyatnya. Begitu juga para pejabat
tingginya, selalu mempunyai 'track record' yang baik dan tidak tercela. Bagi rakyat
di Kerajaan
Alengkadiraja, pemerintahan diktatorial nyatanya justru jauh lebih baik dari pada
pemerintahan demokratis yang centang-perenang dan tak jelas juntrungannya.
Rahwana sangat menginginkan Dewi Sinta sebagai permaisurinya. Sebagai
manusia, itu merupakan hal yang wajar. Namanya juga naksir. Salahnya, Dewi
Sinta sudah menjadi isteri orang lain. Bahwa Rahwana menculik Dewi Sinta, itu
memang kesalahan fatal. Tapi bagaimana lagi? Namanya juga usaha! Apalagi
dilandasi rasa cinta yang membara. Segala cara bisa ditempuh. Kalau nggak begitu,
kan malah dipertanyakan orang, seberapa besar cintanya? Kan kata pepatah juga
menyatakan bahwa 'cinta itu buta'. Bahkan cinta itu, mudah indikasinya. Orang
yang benar-benar cinta, akan berada pada kondisi hilang akal dan hilang ingatan.
Kalau masih bisa berpikir jernih dan tidak hilang akal, pastilah orang itu tidak
benar-benar jatuh cinta. Mungkin hanya pura-pura jatuh cinta. Kalau tidak hilang
ingatan (terhadap banyak hal), pastilah orang itu juga tidak jatuh cinta. Cobalah
renungkan saat anda dulu jatuh cinta. Apakah benar anda tidak hilang akal dan
hilang ingatan? Contohnya, saat anda jatuh cinta, bukankah anda menjadi bingung
dan tidak tahu apa yang harus diperbuat? Segala kecanggihan diri anda tiba-tiba
lenyap begitu saja, saat berhadapan dan bertemu dengan wanita idaman anda. Saat
anda jatuh cinta dulu, bukankah anda juga hilang ingatan? Lupa daratan, lupa
makan, lupa tidur, dan bahkan lupa segalanya. Anda hanya bisa mengingat satu hal
saja. Yaitu wanita idaman anda! Hal lainnya? Tentu saja anda lupakan. Ingatan
anda tentang nasehat orang tua yang mengatakan bahwa hidup harus berhati-hati,
juga bisa anda abaikan seketika. Anda tiba-tiba berubah menjadi manusia yang
berani mati demi sang pujaan hati. Woooooo..... luar biasa! Jatuh cinta, ternyata
bisa mengubah segalanya........
Begitu juga dengan Raja Rahwana yang julukan aslinya adalah 'King of Forest
Blood', dari sebuah kerajaan adidaya yang sangat terkenal di seantero jagat maya
dengan sebutan 'The Great Alengka Kingdom'. Rahwana, seorang 'manusia
berdarah rimba raya' telah jatuh cinta! Ini merupakan suatu fenomena dan peristiwa
yang sangat luar biasa yang amat sangat langka, yang diliput oleh semua stasiun
televisi di seluruh dunia sebagai sebuah peristiwa besar! Ia telah dinobatkan
menjadi 'the greatest man of the year', yang selalu ditayangkan dalam bentuk
'headline' di semua surat-kabar, majalah, harian lokal dan internasional, internet,
stasiun televisi, stasiun radio dalam negeri dan manca negara.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 73


Seorang Rahwana yang semula lebih dikenal sebagai penguasa sebuah kerajaan
adidaya yang sangat jarang tersenyum, tiba-tiba berubah menjadi seorang pria yang
berdandan necis dan 'dandy', dengan pakaian keluaran rumah mode terkenal,
bergaya mode mutakhir, dengan potongan rambut yang sedang trendy. Semua
orang jadi memperhatikan Rahwana yang sedang menjadi pokok pembicaraan di
mana-mana. Bahkan sejumlah anak muda Alengkadiraja yang sebelumnya
cenderung menjauhinya, tiba-tiba secara sangat antusias dan bersuka hati,
membentuk sebuah organisasi komunitas sosial yang dinamakan 'Rahwana Fans
Club'. Majalah mode manca negara yang sangat terkenal, lantas memuat foto-foto
kegiatan sehari-hari Rahwana dan menobatkannya menjadi 'The man who give new
inspiration to other peoples'.
Jangan lupa, Rahwana memang sudah 'sugih' (kaya raya) dari sononya. Jadi, ia jelas
bukan seorang koruptor. Saat pergi ke Istana Negara Alengkadiraja, ia mengendarai
mobil sport merk Jaguar model terbaru. Pakai mobil Jepang? No way! Mobil
bikinan Jepang kurang keren, katanya dalam suatu wawancara eksklusif dengan
sejumlah wartawan. Tanpa sungkan ia juga bercerita, bahwa ia sekarang punya
kebiasaan baru, yaitu selalu membuka semua jendela dan kap atas mobilnya, jika
sedang melakukan perjalanan memakai mobil Jaguar-nya. Ia, selalu melambaikan
tangan sambil menebar senyum gembira kepada seluruh rakyatnya yang selalu
menantikannya di pinggir jalan, saat rombongan mobil kerajaan itu lewat di jalan
protokol Kerajaan Alengkadiraja. Suasana itu, juga menjalar ke Istana Kenegaraan
Alengkadiraja. Suasana istana yang semula terlihat angker, formal, resmi, dan kaku;
lalu berubah menjadi sebuah istana yang menyenangkan, indah, ceria, selalu penuh
bunga.
Berbagai pagelaran wayang kulit, wayang wong, wayang klithik, musik keroncong,
jaipongan, wayang golek, orkestra, band musik pop, musik klasik, jazz, rock, dan
blues; lantas menjadi pagelaran yang secara rutin menghias pendhapa istana
Alengkadiraja. Hanya musik kamar (chamber music) yang tetap tidak diijinkan
Rahwana main di istana. "Musik kamar terlalu berisik, kalau dimainkan di dalam
kamar yang sempit. Saya bisa jadi 'budheg' (tuli)! Kan saya hanya menonton
dengan beberapa sahabat. Jadi kurang siplah kalau dimainkan di dalam kamar yang
sempit di istana," begitu kata Rahwana, seperti dikutip oleh sejumlah wartawan
istana.
Tetapi jika ada wartawan yang bertanya tentang Dewi Sinta yang menurut kabar
angin, selentingan, dan gosip; telah diculik dan dijadikan tawanan jelita, Rahwana
selalu diam terpaku dan selalu menjawab "no comment". Sangat nyata terlihat di air
mukanya, betapa pertanyaan seperti itu telah melukai perasaannya.
Menurut berita-berita yang santer dibocorkan oleh sejumlah pejabat istana
Alengkadiraja, Rahwana akhir-akhir ini sering terlihat duduk termenung sendu, saat
sedang sendirian di Istana Alengkadiraja. Meskipun masyarakat Alengkadiraja

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 74


melihat Rahwana sebagai manusia yang sehari-hari terlihat gembira, penuh
senyum, dan seringkali menyapa rakyatnya dengan tebaran senyumnya yang sangat
khas, tetapi di balik itu semua ia ternyata menyimpan kesedihan luar biasa. Dan,
justru karena Rahwana merupakan penguasa tertinggi di Kerajaan Alengkadiraja,
maka tidak ada yang berani menanyakan kepadanya tentang apa yang telah
membuatnya gundah dan bersedih. Banyak orang hanya menebak-nebak saja di
dalam hati dan tidak pernah berani mengungkapkkannya secara terbuka, takut
melukai hati orang yang menjadi pujaannya itu.
Diam-diam, tanpa terungkap di media massa, dan tanpa pernah dipublikasikan;
ternyata banyak juga rakyat Alengkadiraja yang ikut merasa sedih atas apa yang
sedang menimpa Rahwana, raja yang sangat dihormati rakyatnya itu. Pendapat
mereka, umumnya terpecah menjadi dua. Sebagian mengatakan bahwa Rahwana
sebagai seorang raja besar, tidak sepatutya menculik Dewi Sinta, meskipun ia
sangat mencintainya. Tetapi, sebagian lagi, merasa bahwa seorang Rahwana adalah
seorang laki-laki sejati, yang berani mengambil risiko apapun demi cinta matinya
kepada Dewi Sinta, meskipun mereka juga tahu bahwa tindakan itu salah. Tetapi,
secara umum, rakyat Alengkadiraja tetap berpendapat bahwa bagaimanapun juga,
Rahwana adalah laki-laki sejati, yang menjadi dambaan setiap wanita. Ia
dimimpikan oleh banyak wanita, karena keteguhan dan ketegaran sikapnya. Tidak
banyak wanita Alengkadiraja yang mempunyai kekasih atau suami seperti
Rahwana, yaitu jika sudah jatuh cinta, apapun rintangannya akan diterjang, apapun
penghalangnya akan dilibas, dan apapun akan dilakukan demi cintanya kepada
pujaan hatinya. Rahwana sebenarnya adalah seorang laki-laki ideal pujaan hati
wanita.....
Tiga tahun sudah, Dewi Sinta disekap di dalam 'keputren' Alengkadiraja, ditemani
Dewi Trijatha yang setia. Setiap hari, Rahwana selalu datang mengunjunginya dan
dengan kata-kata yang selalu diusahakan diucapkan sehalus mungkin, selalu
ditanyakannya kepada Dewi Sinta, apakah ia bersedia dipersunting dirinya dan
dijadikan permaisuri, menjadi Ibu Negara
Alengkadiraja. Dinyatakannya juga, bahwa ia hanya mempunyai satu cinta, dan
cinta itu telah dipersembahkannya kepada Dewi Sinta. Setiap kali Rahwana
berhadapan dengan Dewi Sinta, ia seperti hilang akal dan tidak tahu apa yang harus
diperbuat. Ia merasa seakan semua kekuasaan yang dimilikinya menjadi sama
sekali tidak berarti di mata Dewi Sinta. Rahwana selalu berkata, bahwa ia menculik
Dewi Sinta karena rasa cintanya yang tiada tara. Untuk tindakannya itu, Rahwana
selalu meminta maaf kepada Dewi Sinta. Ia juga selalu mengatakan kepada Dewi
Sinta, bahwa ia bersedia berkorban apa saja, asalkan Dewi Sinta bersedia
dimuliakan dan dipersunting menjadi permaisurinya.
Namun, setiap kali ia bertanya kepada Dewi Sinta, Rahwana selalu mendapat
jawaban menolak, yang membuat hatinya remuk redam. Tiap kali Rahwana
mendapat jawaban penolakan seperti itu, setiap kali pula ia terdiam. Dan, perlahan-

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 75


lahan ia berjalan meninggalkan Dewi Sinta sendirian tanpa mengucapkan sepata
katapun. Begitulah yang terjadi setiap kali dan setiap hari. Rahwana selalu
menerima jawaban yang membuatnya merasa seakan dunia hendak kiamat. Tetapi,
entah mengapa, tiap kali Rahwana selalu kembali memberanikan dirinya untuk
menanyakan hal yang sama. Meskipun ia tahu benar, jawaban yang akan
diterimanya akan selalu sama, yaitu berupa jawaban menolak. Tetapi, manusia
hidup dari harapan dan mimpi. Selama harapan dan mimpi itu belum pudar, maka
selama itu pula manusia bisa berharap bahwa mimpinya suatu ketika akan menjadi
kenyataan. Karena itu pula, Rahwana selalu kembali menguatkan dirinya untuk
selalu datang bertanya kepada Dewi Sinta. Meskipun ia sangat sadar, bahwa harga
dirinya sebagai laki-laki, sebenarnya sudah hancur. Rahwana telah mengambil
risiko mengorbankan harga dirinya, demi cintanya kepada Dewi Sinta. Tetapi
Rahwana menganggap hal itu sebagai sebuah konsekuensi logis yang harus
ditanggungnya. Dalam pandangannya, harga dirinya akan pulih secara perlahan-
lahan, jika ia berhasil mempersunting Dewi Sinta, dan mempersembahkannya
kepada rakyatnya untuk dimuliakan sebagai seorang Ibu Negara.
Rahwana bukanlah seorang penyair, yang bisa menulis puisi jika hatinya sedang
gundah. Ia juga bukan seorang penyanyi, yang bisa membuat tembang balada jika
hatinya sedang sedih. Ia juga bukan seorang sastrawan, yang bisa mencurahkan isi
hatinya ke dalam bentuk karya sastra, saat ia memikirkan pujaan hatinya. Pada saat-
saat seperti itu, Rahwana bahkan merasa sendirian, kesepian, dan seperti sama
sekali tak berteman. Ia merasa sendirian di tengah keramaian dunia. Di tempat yang
sangat ramai sekalipun, ia merasa tetap kesepian. Ia selalu memimpikan bisa
bergandeng tangan dengan mesra, bercengkerama, berjalan berdua dengan Dewi
Sinta, sambil menyapa lambaian tangan rakyatnya. Mimpi-mimpi itulah yang selalu
datang setiap malam, dan membuat hatinya kuat untuk kembali menemui Dewi
Sinta pada esok hari berikutnya.
Selama tiga tahun, Dewi Sinta hampir setiap hari bertemu dengan Rahwana.
Selama itu pula, ia tidak pernah disentuh atau dijamah sekalipun oleh Rahwana.
Meskipun ada rasa rindu yang menggebu-gebu kepada Rama, tetapi sebagai wanita
dewasa Dewi Sinta juga sering mempertanyakan kepada dirinya sendiri, apa yang
telah terjadi dan bagaimana seharusnya ia bersikap. Secara jujur Dewi Sinta juga
mengakui di dalam hati (hal ini secara diam-diam juga sering diutarakan kepada
Dewi Trijatha), bahwa Rahwana dipandang dari satu segi, memang telah
melakukan kejahatan, yaitu menculik dirinya. Namun, dari segi lainnya, selama tiga
tahun disekap itu, ia selalu mendapat perlakuan yang sangat baik dan sopan oleh
Rahwana. Dari berita dan cerita yang diterimanya dari berbagai pihak secara
sembunyi-sembunyi, Dewi Sinta juga mendengar
berbagai kabar tentang Rahwana. Sebagian besar kabar yang diterimanya itu,
menceritakan bahwa Rahwana telah berubah menjadi orang yang gembira, penuh
senyum, dan bahkan suasana istana sudah sangat berubah. Semua berita tentang
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 76
Rahwana, ternyata merupakan berita yang sangat positif. Dewi Sinta sebenarnya
juga berpikir, bahwa jika Rahwana benar-benar orang jahat, maka pada hari
pertama saat ia diculik, bisa saja ia langsung diperkosa dan ditinggalkan begitu saja
oleh Rahwana. Tetapi kenyataannya, Dewi Sinta tidak pernah mengalami hal itu.
Bahkan selama disekap di 'keputren' Alengkadiraja, disentuh atau dijamahpun tidak
pernah dilakukan Rahwana.
Saat Rahwana berkunjung, ia selalu menyatakan cintanya dan menanyakan
kesediaannya untuk dipersunting menjadi permaisuri. Dan saat ia mengatakan
penolakannya, Dewi Sinta selalu melihat, betapa air muka Rahwana yang seketika
berubah menjadi sendu. Setiap kali Dewi Sinta mengatakan penolakannya, setiap
kali pula Rahwana terdiam tak bisa berkata-kata. Dan, akhirnya Rahwana selalu
berjalan perlahan-lahan meninggalkannya sendirian. Ada perasaan galau bercampur
kasihan pada diri Dewi Sinta, setiap kali Rahwana perlahan-lahan pergi
meninggalkannya sendirian.
Dewi Sinta juga sering berpikir dan mempertanyakan kepada dirinya sendiri,
tentang Rama kekasihnya. Ia juga sudah mendengar kabar yang diselundupkan dari
Ayudia. Semakin lama, serpihan demi serpihan kabar dari Ayudia itu semakin
lengkap. Sehingga akhirnya Dewi Sinta bisa mengumpulkan seluruh serpihan berita
itu secara lengkap, sehingga Dewi Sinta akhirnya bisa memahami apa yang
sebenarnya telah terjadi selepas penculikan atas dirinya. Meskipun hanya selintas,
Dewi Sinta juga sering memikirkan mengapa Rama kekasih hatinya itu, tidak juga
datang menolongnya? Apa yang telah terjadi? Setelah tiga tahun ia tinggal di
Alengkadiraja, Dewi Sinta juga seringkali berpikir, bagaimana seharusnya sikap
seorang suami jika isterinya diculik. Di dalam benaknya, timbul sejumlah logika
yang saling berbalikan. Secara logika, jika seorang laki-laki sangat mencintai
isterinya, dan tiba-tiba isterinya diculik, maka yang yang dilakukannya adalah
segera mengejar dan berusaha mencari isterinya. Tetapi dari berita-berita yang
diterimanya, Rama ternyata tidak segera melakukan upaya mencari dirinya.
Bukankah ia titisan Dewa Wisnu? Bukankah Rama juga sakti? Mengapa ia tak
melakukan usaha apapun, saat isterinya diculik? Mengapa Rama justru mengutus
'agen rahasia' yang bernama Anoman untuk menemui dirinya? Mengapa perintah
Rama kepada Anoman, adalah supaya mengabarkan bahwa Rama dalam keadaan
baik-baik saja? Mengapa Anoman hanya disuruh menyerahkan sebuah cincin
kepadanya? Mengapa Anoman tidak diperintahkan untuk 'menculik' Dewi Sinta
dan membawanya kembali ke Ayudia? Berjuta pertanyaan bergaung berulang-ulang
di dalam benak Dewi Sinta.
Meskipun Dewi Sinta tetap mencintai Rama, tetapi penantian yang begitu lama dan
kesepian yang merajam hatinya setiap hari dan setiap malam, membuatnya
akhirnya juga berpikir. Pikiran buruk itu, juga seringkali melintas di benaknya. Ia
selalu berusaha menepis berbagai pikiran buruk itu. Tetapi, pikiran dan bayangan
itu selalu saja datang sendiri setiap kali ia merenung. Sesekali ia sempat juga
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 77
terpikir, bahwa Rama bukanlah laki-laki yang sejati. Bagaimana bisa seorang laki-
laki sejati bisa membiarkan isterinya diculik selama tiga tahun dan ternyata ia tidak
melakukan upaya apapun? Sesekali, muncul juga pikiran yang menyatakan bahwa
Rama merupakan suami yang tidak bertanggungjawab. Jika ia memang suami yang
bertanggung-jawab, mengapa selama bertahun-tahun membiarkan saja isterinya
disekap di keputren negara lain? Sesekali, muncul juga pikiran yang
mempertanyakan sumpah dan janji Laksmana, yang didengarnya sangat jelas, saat
membuat garis 'rajah kalacakra' pelindung, sambil mengucapkan sumpah, yang
menyatakan akan selalu menjaga dan melindungi Dewi Sinta selama hayatnya.
Dewi Sinta juga manusia biasa. Ia juga wanita seperti layaknya wanita lainnya.
Yang membedakannya hanya kedudukannya semata. Saat Rahwana datang
menemuinya, sesekali sempat juga ia memperhatikan tubuh Rahwana yang tinggi
besar, gempal, berotot, dan atletis. Bahkan tubuh Rahwana jauh lebih tegap dari
pada Rama suaminya. Rahwana, jelas jauh lebih 'macho' dan tentu bisa membuat
setiap wanita gandrung dan mabuk kepayang. Sebagai seorang wanita muda yang
sudah sekian lama tak tersentuh laki-laki. Dewi Sinta beberapa kali juga sempat
merasakan detak jantungnya tiba-tiba berdegup keras tak terkendali. Bulu kuduknya
seringkali berdiri meremang, saat membayangkan tubuh Rahwana menyentuh
dirinya. Bukan karena takut, tetapi karena terbuai oleh bayangan indah yang tiba-
tiba merangsek ke dalam benaknya. Keringat dinginnya mengucur begitu saja di
seluruh permukaan tubuhnya. Tubuhnya, tiba-tiba berubah menjadi panas dan
seketika otaknya tidak lagi bisa berpikir jernih. Ada gejolak gairah yang tiba-tiba
menyeruak tanpa bisa dikendalikannya. Badannya bergetar hebat, lidahnya terasa
menjadi kelu dan sukar untuk berkata-kata. Jari-jari tangannya yang lentik, tiba-tiba
menjadi gemetar. Tubuhnya lemas dan seakan ia tidak mempunyai kekuatan untuk
menggerakkannya. Hatinya sejenak menjadi resah dan gelisah. Saat ia menjawab
pertanyaan Rahwana, kalimat yang terlontar dari mulut mungilnya begitu bergetar,
sehingga saat mengucapkannya menjadi terbata-bata. Untunglah, Rahwana
menganggap kalimat yang diucapkan terbata-bata itu, sebagai ucapan seorang yang
sedang dilanda ketakutan hebat. Andai saja Rahwana tahu apa yang sedang
dirasakannya, mungkin ceritanya akan menjadi lain.....
Malam-malam yang dingin, sepi, dan hanya ditingkah oleh suara cengkerik dan
binatang malam, membuat Dewi Sinta sering melamun kesepian. Dalam tidurnya,
semakin lama semakin sering ia memimpikan Rahwana; dan semakin lama semakin
berkurang pula mimpi-mimpi tentang Rama. Mimpi-mimpi 'indah' itu selalu datang
sendiri tanpa diminta. Diam-diam Dewi Sinta telah jatuh cinta kepada Rahwana!
Itulah kenyataan yang dialaminya. Ada perasaan galau, sewaktu memikirkan betapa
Rahwana sangat mencintai dirinya, sementara Rama yang dicintainya justru tak
pernah ada kabar beritanya, seakan Rama telah membiarkan dan menelantarkan
dirinya. Namun, otak dan perasaan seringkali memang tidak sejalan. Di malam-
malam yang sepi, Dewi Sinta sering menangis, karena merasa telah berdosa. Ia

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 78


merasa telah membagi dua cintanya. Di dalam hatinya, diam-diam telah terukir
nama Rahwana sebagai seseorang laki-laki yang selalu dimimpikannya, tetapi akan
pernah tidak bisa dimilikinya.......

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 79


CERITA CINTA SINTA....
Bram Palgunadi
13 April 2011 pukul 20:00

Dewi Sinta, menjalani penantian datangnya sang kekasih Sri Rama, yang tak kunjung datang
juga....

Mas-Mas dan Mbak-Mbak sahabat kinasih saya,


Setelah terjadinya drama 'Rahwana cintanya hanya untuk Sinta', yang
menggegerkan dunia 'kangouw' (persilatan), ini saya kirimkan satu lagi copy dari
puisi karya Mbak Dorothea Rosa Herliany, yang besar kemungkinan akan membuat
sekumpulan sahabat saya menjadi kebakaran jenggot. Tapi seperti kata saya
sebelumnya, mohon dengen amat dari pada sangat, supaya jangan membaca dengan
rasa emosional. Dengan kepala dinginlah, dan ini yang menulis kan seorang wanita
lo. Jadi, bacalah dengen perlahan-lahan saja, lima kilometer per jam saja. Selamat
menikmatinya....

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 80


Cinta Dewi Sinta yang mengharu-biru karena digandrungi
dua pria yang berbeda...

ELEGI SINTA
(Dorothea Rosa Herliany)

Aku sinta yang urung membakar diri,


Demi darah suci,

Bagi lelaki paling pengecut bernama Rama,


Lalu aku basuh tubuhku, dengan darah hitam,
Agar hangat gelora cintaku, Tumbuh di padang
pendakian yang paling hina.

Kuburu Rahwana,
Dan kuminta ia menyetubuhi nafasku,
Menuju kehampaan langit,
Kubiarkan terbang, agar tangan yang takut dan kalah itu tak mampu menggapaiku.

Siapa bilang cintaku putih?


Mungkin abu,
Atau bahkan segelap hidupku, Tapi
dengarlah ringkikku yang indah,
Menggosongkan segala yang keramat dan abadi.

Kuraih hidupku, tidak dalam api,


Rumah bagi para pendosa,
Tapi dalam kesunyian yang sia-sia dan papa,
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 81
Agar sejarahku terpisah dari para penakut dan pendusta, Rama ....

Dewi Sinta, cantik, manja, dan membuat Rama dan Rahwana jatuh hati.

Sinta-Sinta abad duapuluh satu! Centil, cantik, sexy, dan gaya. Jadi pantas saja Rahwana dan
Rama jatuh hati setengah mati....

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 82


SRIKANDHI: THE YOUNG WARRIOR PRINCESS (PART 1)
Bram Palgunadi
7 November 2011 pukul 1:12

Srikandhi memang terkenal sebagai gadis yang cantik rupawan, sexy, sensual, dan karena itu
pula banyak pria yang tergila-gila padanya. Tetapi kepandaiannya berkelahi sudah jelas
membuat ciut para pria teman-teman sebayanya.

Srikandhi sebagai seorang gadis 'tomboy' yang hidup di kalangan keluarga istana
Kerajaan Pancala Radya, memang terkenal sebagai seorang gadis yang pandai,
bengal, tangkas, pandai berkelahi, sexy, sensual, pandai bergaul, pandai pula bicara,
dan berani dalam banyak hal. Matanya yang besar dan selalu berbinar-binar saat
memandang lawan bicaranya, seolah memancarkan sihir yang memukau lawan
bicaranya. Sehari-hari Srikandhi, selalu berdandan dan menyesuaikan diri dengan
kemajuan jaman. Namanya juga 'gadis masa sekarang'. Di kampus Universitas

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 83


Negeri Pancala Radya, ia lebih dikenal sebagai seorang mahasiswi yang pintar,
cerdik, berani, banyak pengetahuannya,

Panah merupakan salah satu senjata andalan Srikandhi.


Srikandhi, sang putri yang jago
berkelahi, dikenal sebagai
gadis yang juga pandai bicara. dan sebagai seorang gadis ia dikenal suka berkata terus
terang, tanpa tedeng aling-aling. Karena ikut grup bela
diri, maka Srikandhi juga dikenal sebagai 'gadis
pemberani', yang sesekali juga ikut terlibat perkelahian
jalanan atau membuat onar. Banyak teman sebayanya,
yang tentu saja kebanyakan adalah pria,
mengaguminya tetapi sekaligus juga agak takut
kepadanya. Keberanian Srikandhi, seringkali juga
membuat ciut nyali para pria yang mau naksir dirinya.
Bagaimana nggak ciut, Srikandhi yang jago berkelahi
itu kan anak penggede pemilik negara, anak Raja
Pancala Radya, yang terkenal sebagai negara besar
yang kekuasaannya sedemikian luas, dan disegani
Kepandaiannya berkelahi,
telah membuat Srikandhi
banyak negara asing.
dikenal sebagai gadis Sebenarnya, Srikandhi tidak terlalu suka dikawal, ia
pemberani.
merasa bisa mengatasi berbagai gangguan 'pria nakal'
dan para bergajulan. Tetapi, pihak protokoler istana
selalu memaksa untuk mengawalnya kemanapun ia
pergi. Hal ini, sedikit banyak sering membuat hatinya
jengkel. Gara-gara ada pengawal yang selalu
menguntitnya, maka jika ia naksir cowok, selalu saja
bubar acaranya, bubar pula rencananya, hanya karena
di sekitarnya selalu berdiri beberapa orang satuan
pengawal pribadi, yang dengan badan gempal, mata
mengawasi dengan tajam, dan selalu bersikap
waspada; memata-matai semua kegiatan sang putri nan
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 84
cantik dan sexy itu. Ini Lembut, penuh perasaan, juga merupakan keanggunan
sangat menjengkelkan dan Srikandhi yang tersembunyi.
makin lama, sejalan
dengan bertambahnya
umur sang putri yang
semakin menginjak masa
remaja, justru semakin
ketat saja para pengawal
pribadi itu menjaganya.
Wuuuuiiiih....! Setiap kali,
ada saja berbagai hal yang
membuat sang putri ini
Sesekali Srikandhi sebagai seorang selebriti terkenal, juga bisa
mencakmencak, tidak ditemukan sedang 'shoping' di 'mall'.
terima, atau marah-marah.
Semuanya, gara-gara
satuan pengawal pribadi
yang menurutnya semakin
lama semakin ketat saja
mengawasinya, dan
menurutnya mereka sama
sekali tidak memberikan
kebebasan pada dirinya!
"Ke kamar kecil saja aku
diawasi!" teriaknya suatu
ketika, saat sang putri ini
kebelet pipis, pas sedang Seperti layaknya seorang selebritis, Srikandhi sesekali juga
di jalan raya dalam suka nampang di majalah mode.
perjalanan pulang kuliah, tiba minta berhenti dan langsung melompat ke luar dari
dan ia dengan tiba- mobil, lalu berlari-lari kecil masuk 'mall' mencari
'toilet'.... Tentu saja para pengawal pribadinya menjadi
kalang kabut, dan segera ikut meloncat ke luar dari
mobil, berhamburan mengikuti sang putri jelita yang
berlari masuk ke dalam 'mall' dan terus diikuti sampai
ke depan pintu toilet yang di atasnya bertuliskan
'ladies'....
Manajer 'mall', satuan pengamanan 'mall', dan
beberapa orang yang berada di 'mall' menjadi gempar
dan terjadilah kegaduhan, saat melihat seorang gadis
berlari cepat diikuti sejumlah 'pria berbadan tegap
berambut cepak'. Para 'pengejar' itu, tiba-tiba
diberhentikan oleh petugas keamanan 'mall' yang

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 85


meneriaki mereka: sambil ngedumel: "Ngapain kamu lihat-lihat aku
"Berhentiiii! Pria dilarang haaaah!?" Dan, para pria bertubuh gempal itu lama-
masuk ke area toilet lama jadi jengah juga, setiap kali ada wanita yang
wanita!" Kontan, para keluar dari dalam toilet wanita, tiap kali pula mereka
pengejar itu berhenti dan menerima sumpah serapah seperti itu. Komandan
beberapa dari mereka pengawal pribadi tiba-tiba nyeletuk, seperti berkata
mencabut senjata laras kepada dirinya sendiri: "Ngapain aja ya Mbak
pendeknya, dan Srikandhi? Kok lama sekali di dalam toilet? Katanya
menodongkan ke kepala cuma mau
beberapa orang anggauta
satuan pengamanan 'mall'
sambil berteriak:
"Mingggiiiiiir!
Kami pengawal istana
kerajaan!" Para anggauta
satuan pengamanan 'mall'
itu tiba-tiba jadi lemas dan
tak mampu berkata-kata
lagi, setelah mereka
melihat kartu identitas
para pengawal pribadi itu
disorongkan ke depan Srikandhi dalam pakaian fesyen bergaya Asia Tengah yang
muka mereka. Srikandhi anggun.
sudah masuk melewati
pintu yang bertulis 'ladies'.
Para pengawal tiba-tiba
terhenti begitu saja di
depan 'pintu sakti' itu.
Semua orang, termasuk
para pengawal pribadi dan
para anggauta satuan
pengamanan 'mall' berdiri
termangu-mangu bagaikan
patung batu di depan pintu
'ladies' itu.
Setiap kali ada yang keluar Dalam balutan pakaian fesyen mutakhir, Srikandhi juga sering
dari dalam toilet wanita muncul pada sejumlah pesta selebritis di Ibu Kota Kerajaan
itu, semua orang lalu Pancala Radya.
memandanginya.
Beberapa wanita yang ke pipis, tapi sudah lama begini kok belum keluar juga
luar dari toilet, berjalan ya?" Ada nada sedikit curiga dalam kalimatnya.....
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 86
Srikandhi yang sedang halaman belakang 'mall'. Senyum lebarnya tiba-tiba
pipis, sambil tersenyum menyeruak di mukanya. Akal bulusnya tiba-tiba
memandangi dinding di muncul begitu saja di benak kepalanya. Setelah
sekeliling ruang 'pipis' itu. merapihkan pakaiannya, lalu dengan sigap tapi hati-
Tiba-tiba, dia seperti hati dan tak menimbulkan suara, Srikandhi segera
menemukan akal bulus, memanjat jendela dan meloncat ke luar! Sampai di
setelah melihat jendela luar, ia melihat sekeliling, celingukan, mencoba
kaca yang agak tinggi itu melihat apakah para pengawal pribadinya ada yang
ukurannya besar dan tahu atau tidak, ia sudah berada di luar gedung 'mall'.
ternyata mempunyai kunci Setelah memastikan bahwa segalanya 'aman', maka
tarik di sisi dalam dan Srikandhi segera berjalan menjauhi gedung 'mall' dan
kuncinya ternyata bisa segera memanggil taxi. Dan....., lenyaplah Srikandhi
dibuka dengan mudah. dari pantauan para pengawal pribadinya! Di dalam taxi
Dengan mendongakkan yang ber-AC Srikandhi duduk sambil tersenyum penuh
kepalanya, Srikandhi kemenangan. "Ke Pantai Rose Garden Pak!" katanya
mencoba membuka kepada pengemudi taxi, yang tidak sadar siapa
jendela besar itu dan penumpangnya....
ternyata bisa! Ia melihat Sementara itu, di depan pintu toilet komandan
ke arah luar. Rupanya, pengawal pribadi berjalan hilir-mudik tak sabar. Lalu,
yang dia lihat adalah ia memanggil komandan satuan pengamanan
"mall" dan berkata: "Mas....! Saya dan anak buah saya harus masuk ke dalam Mas!
Masak cuma pipis kok lama begini! Saya takut orang yang saya kawal diculik!"
Mendengar kata 'diculik', komandan satuan pengamanan 'mall' jadi pucat pasi. Ia
sudah terbayang, kalau orang yang dicari itu ternyata benar diculik, maka iapun
akan terbawa-bawa urusan yang pasti menjadikan hidupnya jadi kusut. Tetapi ia
ragu-ragu. Aturan internal dan SOP pengamanan sekalipun, tidak membolehkan
laki-laki masuk ke dalam ruang wanita. "Sebentar ya Pak, saya hubungi dulu atasan
saya, untuk minta ijin masuk ke ruang ladies itu," kata komandan satuan
pengamanan 'mall'. "Hlo...., kamu melarang kami masuk?
Kamu kan sudah tahu siapa kami!? Apa kamu mau ditangkap!?" bentak komandan
pengawal pribadi dengan muka garang. "Bukan begitu Pak, kami cuma
menjalankan perintah atasan!" jawab sang komandan satuan pengamanan 'mall'
dengan cemas. "Ya sudah, sana minta ijin! Cepaaaaat!" bentak komandan pengawal
pribadi. Dengan tergesa-gesa komandan satuan pengamanan memakai handy-talky-
nya untuk menghubungi atasannya. Dengan suara terbata-bata karena mulai panik,
ia berkata: "Pak manajer keamanan, saya mohon ijin untuk masuk ke ruang toilet
wanita!" Sesaat kemudian, terdengar jawaban yang meledak-ledak: "Apa katamu!?
Mau masuk ke ruang toilet wanita!? Kamu kan kepala satuan keamanan, kenapa
malah mau ngajari bertindak kurang-ajar? Apa kamu lupa SOP di 'mall' ini kan
melarang laki-laki masuk ke ruang wanita! Apa kamu lupa itu haaah!?" Pucat pasi
air muka sang komandan satuan pengamanan 'mall'. Keringat dingin mulai
Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 87
mengalir membasahi baju dinasnya. "Bukan Pak....! Bukan itu maksud saya. Saya
mau masuk tidak sendirian, tapi dengan beberapa orang lainnya. Benar Pak, saya
nggak mau masuk sendirian!" Jawaban dari ujung lainnya, semakin menyalak:
"Mau masuk dengan orang lain!? Kamu benar-benar kurang ajar! Dibilangin sendiri
saja dilarang, kok malah mau masuk beramai-ramai! Berengsek kamu! Apa kamu
mau dipecat!? Memalukan manajemen saja kamu!" Mendengar suara yang
menyalak bagaikan anjing menggonggong itu, sang komandan satuan pengamanan
'mall' semakin ciut nyalinya. Dengan keringat dingin mengucur deras, dia
memandang komandan satuan pengawal pribadi, dan dengan muka kecut pucat pasi
dia berkata dengan lesu: "Paaaak gagal Paaaak...... Gimana Yaaaa......?" Komandan
satuan pengawal pribadi memandang wajah komandan satuan pengamanan 'mall'
tanpa berkata-kata. Keduanya sama-sama bingung. Hilang sudah kegarangannya.
Mereka saling terdiam dan saling memandang. Lalu, tiba-tiba sang komandan
pengawal pribadi berkata: "Mas....., bagaimana kalau kita nekat masuk saja
bersama-sama? Nanti kalau ada yang marah, biar saya yang tanggung-jawab deh!"
Mereka terdiam beberapa saat. Sang komandan satuan pengamanan menjawab
perlahan: "Bagaimana ya Mas? Saya takut dimarahi atasan saya. Saya takut dipecat
Mas. Tadi aja sewaktu saya minta ijin sama dia, kan Mas juga tahu, saya kan
dimaki-maki." Diam lagi mereka berdua tak berkata-kata. Sama-sama
bingung......Lima belas menit sudah berlalu. Habislah kesabaran sang komandan
satuan pengawal pribadi. Dia lalu berkata: "Sudahlah Mas...., kita masuk sajalah,
dari pada kita sama-sama nggak punya kepastian. Soal pipis, sudah jelas nggak
masuk akal. Sudah lewat limabelas menit, masak belum selesai juga pipisnya? Ayo!
Kita masuk sajalah!" Maka dengan tergopoh-gopoh mereka berramai-ramai masuk
lewat pintu yang bertulis 'ladies'. Sejumlah wanita terbengong-bengong melihat
para lelaki itu bergegas memasuki pintu 'ladies' itu. Lalu, mereka berhenti di sebuah
pintu kedua, yang merupakan pintu masuk ke ruang toilet wanita. Pintu tertutup
rapat! Tidak terdengar suara apapun dari dalamnya! Komandan satuan pengawal
pribadi berkata kepada komandan satuan pengamanan 'mall': "Kita dobrak saja ya?"
Dan, tanpa menunggu jawaban dari sang komandan satuan pengamanan 'mall',
dengan suara keras pintu didobrak! Benturan badan sang komandan satuan
pengawal pribadi membuat pintu terpelanting dengan suara gemeretak! Kuncinya
gesernya terlempar, lepas dari tempatnya, sekrupnya pada rontok! Dan......... di
dalam ruang toilet itu ternyata kosong! Sang putri Srikandhi benar-benar
lenyap......! Pucat pasilah wajah sang komandan satuan pengawal pribadi!
Terbayang sudah, hukuman, makian, dan sumpah serapah yang pasti akan
diterimanya, saat ia melaporkan peristiwanya nanti kepada atasannya! Salah
seorang anak buahnya, tiba-tiba datang membawa sebotol minuman segar.
Disambarnya minuman botol itu tanpa berkata apapun, dan langsung ditenggaknya
isinya sampai habis. Mereka semua terdiam tak tahu apa yang harus diperbuat.
Perlahan-lahan, mereka semua berjalan gontai ke luar dari ruang toilet wanita itu.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 88


Seperti sepasukan tentara yang kalah judi, mereka berjalan bersama-sama dan
kemudian memandang ke sekeliling 'mall', dan akhirnya menemukan deretan
tempat duduk. Di tempat duduk itu, mereka semua duduk diam berderet-deret,
sambil mencangkung dan menopang dagu, seakan sedang berpikir keras! Tidak
seorangpun di antara mereka yang saling berkata-kata. Semuanya terdiam seribu
kata.
Tiba-tiba HP komandan satuan pengawal pribadi berdering keras. Suara dering HP
itu membuatnya begitu kaget, sampai-sampai pantatnya melonjak terangkat dari
tempat duduknya. Lalu dengan tergopoh-gopoh diambilnya HP-nya dari sakunya.
Dan, segera ia memencet tombol bergambar telepon berwarna hijau, dan segera
mendengarkan di telinganya. Samar-samar, orang-orang di sekeliling sang
komandan satuan pengawal pribadi itu bisa mendengar suara sang Srikandhi yang
merdu dan nakal: "Pak komandan...., sudah hilang bingungnya? Jangan tanya saya
ada di mana ya. Nanti saja, kalau urusan saya bersenangsenang sudah selesai, Pak
komandan pasti akan saya telepon lagi. Sekarang Pak komandan dan anak buah
Bapak jalan-jalan sajalah, sambil cariin saya cemilan dan minuman kaleng
kesukaan saya ya. Jangan lupa, bawain saya hamburger ya..... Nanti akan saya
beritahu deh, di mana saya, dan baru jemput saya di tempat yang nanti saya
sebutkan. Ha ha ha ha." Tawa ceria Srikandhi yang nakal dan centil itu, terdengar
samar-samar oleh semua orang yang duduk berdekatan dengan komandan satuan
pengawal pribadi. Suara telepon pun terputus tiba-tiba......
Air muka komandan satuan pengawal pribadi itu, tiba-tiba berubah menjadi
sumringah, meskipun di wajahnya masih tampak keringat kepanikan yang dari tadi
mengalir deras. Hilang sudah rasa takutnya. "Mas...., ayo saya traktir makan dan
minum di restauran yang ada di sekitar sini!" katanya tiba-tiba kepada komandan
satuan pengamanan 'mall', yang dengan terbengong-bengong melongo masih tak
mengerti apa yang sedang terjadi.....

SRIKANDHI: THE YOUNG WARRIOR PRINCESS (PART 2)

Bram Palgunadi
11 November 2011 pukul 6:01

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 89


Srikandhi telah menjelma menjadi seorang gadis dewasa yang mempesona. Postur tubuhnya
yang tinggi semampai, wajahnya yang selalu cantik dan penuh ceria, selalu membuat para pria
terpesona saat mereka memandangnya.

Sang Sasadara telah menyinarkan cahaya purnamanya ke angkasa luas. Cahayanya


bersinar keemasan di antara mega-mega, seakan hendak menyampaikan tarian
cerita sendu. Bias cahayanya, berpendar-pendar menyeruak di antara gumpalan
awan yang berjalan perlahan dengan enggan. Sepasang burung malam, tampak
terbang berputaran dengan cekatan, saling menyambar di atas angkasa malam
Pancala Radya, bagaikan menarikan bias kehidupan manusia di alam janaloka.
Lalu, dari kejauhan, terdengar samarsamar terbawa sang Samirana, tembang
Kidung Kinanthi dinyanyikan
para pradangga dan waranggana, meniti lembut nada-nada Ketawang Pangarum-
arum, melantunkan cerita-cerita parwa yang menyayat hati, bercerita tentang hidup
dan perjalanan manusia, saat gamelan ditabuh memainkan rangkaian Talu yang
menyentuh pagelaran agung kehidupan anak-anak manusia. Bercerita tentang hidup
dan mati. Tentang kelahiran dan kematian.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 90


Tentang kemegahan dan kesengsaraan. Tentang cinta dan kesedihan. Tentang
'sangkan paraning dumadi' manusia, yang pada suatu ketika nanti pasti akan
'bali mulih mring mula-mulanya' (kembali pulang ke asal mulanya). Tentang
kesendirian, yang membuat siapapun yang mendengarnya akan terketuk relung
hatinya dan meneteskan air mata. Maka Talu-pun dimulai, menceritakan berbagai
peristiwa kehidupan Sang Srikandhi, putri Pancala Radya....

Wus munya gangsa ing dalu,


Angelangut gya rinukmi,
Tembanging carita parwa,
Ngarum-arum wanci ratri,
Rinengga wulan kartika, Heneng
hana hanawengi.

Wus munya gangsa gya Talu,


Suluk myang tembang respati,
Ginawa Sang Samirana,
Kidung kandha jroning ratri,
Angidung lakoning jalma,
Sesuluh laku utami. [1]

Sang Srikandhi diam termenung di malam itu. Gelisah perasaannya. Beritaberita


tentang para kerabat Pandhawa yang diusir dari Hastina-Pura oleh para kerabat
Kurawa, telah sampai pula di telinganya. Berita-berita tentang peristiwa pengusiran
kerabat Pandhawa itu, setiap hari memenuhi halaman depan koran dan televisi
Pancala Radya dan berita-berita itu selalu menjadi 'headline' yang ditulis dengan
huruf-huruf yang besar dan mencolok, disertai dengan ulasan, bahasan, dan cerita;
yang hampir semuanya menyalahkan dan memojokkan para kerabat Pandhawa,
akibat peri-lakunya kalah berjudi melawan para kerabat Kurawa. Miris hatinya, jika
merasakan bagaimana sekelompok kerabat ksatria itu diperlakukan secara nista dan
hina. Tetapi saat membaca banyak berita itu, Srikandhi juga bisa merasakan,
menimbang, serta membuat kesimpulan; bahwa segala peristiwa itu sebenarnya
dimulai dari kebodohan para kerabat Pandhawa sendiri, yang menerima begitu saja
tantangan berjudi dari para kerabat Kurawa, tanpa tahu bahwa sebagian besar dari
lawannya itu terkenal sebagai penjudi ulung yang licik.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 91


mengembara jauh ke relungrelung kehidupan yang berbunga-
bunga...

Srikandhi, sebenarnya tidaklah begitu kenal dengan


para kerabat Pandhawa itu. Tetapi berita-berita yang
sangat gencar dan membanjirinya setiap saat,
membuatnya sedikit-banyak terpengaruh juga. Timbul
rasa kasihan setiap kali melihat tayangan di televisi
yang memperlihatkan bagaimana para kerabat
Pandhawa itu diolok-olok, direndahkan, dan dihinakan
martabatnya secara keterlaluan oleh para kerabat
Kurawa. Para kerabat Pandhawa itu, diusir dan
diperlakukan seakan seperti segerombolan anjing
Sesekali, Sang Srikandhi kurap saja. Martabatnya direndahkan sedemikian rupa,
menyenangkan dirinya
bermain dan bercengkerama
sehingga mereka dianggap tak perlu diperlakukan
di pantai Pancala Radya... sebagai manusia. Benar-benar keterlaluan.....

Myat langening kalagyan,


Aglar pandham muncar....[2]

Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi


bulan, dan warsa demi warsa; berlalu begitu saja tak
terasakan. Begitu lama berlalu, sehingga akhirnya
berita tentang kerabat para Pandhawa itu hilang ditelan
waktu. Seakan mereka lenyap dan musnah dari muka
bumi. Semua kehidupan, seakan kembali seperti awal
Srikandhi yang enerjik, telah
berubah menjadi wanita mulanya. Begitu pula Sang Srikandhi, kembali kepada
dewasa yang mempesona... kehidupan sehari-harinya yang penuh dengan berbagai
kegiatan seperti dulu. Tak terasakan, waktu telah
berlalu begitu lama, dan Sang Srikandhi telah
menjelma menjadi seorang putri remaja yang dewasa.
Tubuhnya yang semampai, dengan perawakan tegak
tinggi bagaikan seorang ksatria, tampil dengan
berbagai kepandaian dan kelincahan dalam berolah
diri. Sahabat-sahabatnya yang dulunya menjulukinya
sebagai 'si pembuat onar', telah lama mengganti
Seperti layaknya seorang julukannya menjadi 'si jelita dari Pancala Radya'.
wanita yang mulai menapak Julukan ini, kelihatan memang lebih cocok untuk Sang
masa dewasa, mimpi-mimpi Srikandhi yang sudah mulai menginjak dewasa dan
Srikandhi juga mulai

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 92


seringkali tampil lebih lembut, meskipun masih juga kelihatan 'tomboy'.
Hari itu, Sang Srikandhi nan jelita baru pulang dari sebuah kuliah 'stadium
generale', yang membahas tentang 'ksatria dan perannya dalam bela negara'. Kuliah
umum seperti ini, sangat disukai Sang Srikandhi. Ia merasakan, bagaimana
darahnya menggelegak, emosinya tersulut, dan semangatnya terbakar; saat
mendengar kuliah yang dibawakan sangat berapi-api oleh seorang pejabat tinggi
negara Kerajaan Pancala Radya, yang diundang secara khusus untuk memberikan
kuliah, dalam rangka menanamkan rasa nasionalisme dan bela negara. Sambil
berjalan keluar dari ruang kuliah umum, Sang Srikandhi berbincang riuh penuh
semangat dengan sejumlah sahabatnya. Suaranya yang merdu, terdengar
melengking nyaring, sesekali diseling dengan derai tawanya yang khas. Meskipun
Sang Srikandhi merupakan putri seorang raja, tetapi saat berjalan bersama-sama
dengan para sahabatnya, ia sama sekali tak terlihat canggung, dan sama sekali tak
terlihat seperti layaknya seorang putri pemilik negeri Pancala Radya. Ia bahkan
terlihat seperti remaja biasa, yang penuh dengan idealisme. Mungkin, hal ini juga
ditunjang pakaian sehari-harinya yang cenderung terlihat praktis, seperti pakaian
pria saja. Celana panjang jeans berwarna biru tua, dengan kaos berlengan pendek
warna putih, yang di bagian depannya ada tulisan 'We love our country', seakan
hendak menunjukkan bahwa ia adalah seorang pembela negeri Pancala Radya.
Memakai sepatu 'lars' yang tingginya hampir selutut, dengan 'hak' yang agak tinggi,
membuat dirinya terlihat semakin anggun saja. Bunyi langkah dan sepatunya yang
beradu dengan ubin, menghasilkan bunyi ritmis, yang membuat semua orang
berada di sekitarnya menoleh kagum kepada Sang Srikandhi yang cantik, sexy, dan
penuh pesona.
Di dekat pintu gerbang keluar, Sang Srikandhi berhenti sejenak, dan dengan diring
senyum manisnya yang sangat khas, ia berpamitan kepada sahabatsahabatnya.
Lalu, melambaikan tangannya kepada sahabat-sahabatnya, sambil mengucap:
"See you tomorrow...." Kemudian Sang Srikandhi berjalan menuju para pengawal
pribadinya yang sudah menunggunya di depan pintu gerbang depan kampus
Universitas Negeri Pancala Radya. Dengan sedikit tergesa-gesa, para pengawal
pribadinya itu membukakan pintu mobil dan mempersilahkan sang putri naik.
Pintu mobil sudah ditutup rapat, dan para pengawal sudah pula duduk di mobil.
Dan, perjalanan pulang pun dimulailah.
Di dalam mobil, seperti biasa pula Sang Srikandhi bertanya kepada komandan
satuan pengawal pribadinya: "Pak..., nggak lupa membelikan minuman kaleng
kesukaan saya?" Dengan cepat, komandan satuan pengawal pribadi membuka
kulkas yang ada di dalam mobil, lalu mengambil minuman kaleng kesukaan Sang
Srikandhi dan menyorongkannya kepada sang putri setelah membukakan tutupnya.
"Terima-kasih Pak", Srikandhi menerima minuman kaleng dan langsung
menenggaknya beberapa teguk.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 93


"Eh...., Pak komandan, hari ini ada berita apa dari istana?" tanya Srikandhi tibatiba
kepada komandan satuan pengawal pribadinya, setelah beberapa lama mereka
berdiam diri saja. "Nggak ada berita penting kok Mbak Srikandhi. Cuma ayahanda
tadi sempat menelepon saya. Kata beliau, Mbak Srikandhi kalau sudah sampai di
istana diminta menghadap ayahanda. Cuma itu saja berita dari istana Mbak," jawab
komandan satuan pengawal pribadi itu. "Ada apa ya? Kok agak nggak biasanya,
ayah ingin saya menghadap," tanya Sang Srikandhi sambil agak mengernyitkan
dahinya. "Waaaah, saya nggak tahu Mbak. Nanti aja ditanyakan langsung kepada
ayahanda."
Dialog itu terhenti, saat mobil mulai memasuki halaman istana, lalu berbelok ke
arah samping bangunan istana. Tepat di depan pintu samping istana, mobil
berhenti. Para pengawal pribadi segera membuka pintu mobil dan meloncat keluar,
lalu segera membuka pintu tempat duduk Sang Srikandhi.
"Silahkan Mbak...." kata pengawal pribadi yang membukakan pintu mobilnya.
"Terima-kasih Mas" jawab Srikandhi kepada pengawal pribadinya. Srikandhi
dengan anggun lalu berjalan perlahan menuju ruang ayahandanya, diiring sejumlah
pengawal pribadinya. Di benaknya tersusun sejumlah pertanyaan: "Mengapa
ayahanda memanggilku?" Sesampai di depan pintu ruang ayahandanya, para
pengawal pribadinya melapor kepada pengawal istana, dan memberitahukan bahwa
Sang Srikandhi sudah sampai dan hendak menghadap ayahandanya. Pengawal
istana yang menerima laporan itu, segera masuk melapor. Beberapa saat kemudian
pengawal istana itu keluar dan mempersilahkan Sang Srikandhi masuk ke ruang
istana ayahandanya.
Di ruang istana ayahandanya itu, bunyi langkah Sang Srikandhi yang memakai
sepatu 'lars' berhak tinggi itu terdengar bergema ritmis di ruang istana yang luas dan
indah. Dari kejauhan Sang Drupada, melambaikan tangannya kepada Srikandhi dan
menyapanya: "Hei Srikandhi putriku yang cantik! Ke sinilah, ayah ingin
mengatakan sesuatu kepadamu!"
"Ya ayah", jawab Srikandhi sambil mendatangi ayahandanya dan kemudian
mencium tangan kanannya, sambil agak membongkokkan badannya. "Ke sinilah
putriku. Duduklah yang nyaman. Ayah mempunyai berita bagus untukmu.
Dengarkan ya..."
Drupada lalu menceritakan kepada Srikandhi, tentang adanya penerimaan pegawai
baru di kalangan istana. Dan, khusus untuk Srikandhi dan sejumlah putri istana,
Drupada mengatakan bahwa ia telah membuat suatu keputusan untuk menerima
seorang instruktur, yang akan bertugas melatih mereka menari dan bela diri.
Menurut Drupada, hal ini didasarkan kepada kebisaan pelamar, yang setelah
diwawancara dan diuji oleh para pejabat tinggi istana, ternyata memenuhi dua unsur
itu. Dengan cermat Srikandhi mendengarkan ayahandanya berbicara. Ia tak berkata
sepatah katapun. Hanya saja, ia merasa sangat heran, mengapa instruktur yang

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 94


ditugaskan melatih dirinya adalah seorang pria. Di kalangan istana Pancala Radya,
khususnya untuk kebutuhan keputrian, selama ini belum pernah ada pria yang
ditugaskan di sana. Jadi, jika benar instrukturnya kali ini adalah seorang pria, maka
hal ini akan merupakan peristiwa pertama kali di Pancala Radya. Rupanya, apa
yang menjadi pertanyaan di dalam hati Srikandhi itu, tertangkap juga oleh Drupada.
"Begini Srikandhi...., ayah tahu perasaanmu yang sedikit galau dan heran, begitu
mendengar intsruktur baru yang ditugaskan melatih dirimu dan sejumlah putri
istana di keputren itu adalah seorang pria. Kan biasanya, instruktur untuk urusan
keputren Pancala Radya, diserahkan kepada wanita. Tapi, ayah kemarin sudah
bertemu orangnya. Memang benar dia seorang pria, tetapi peri-lakunya seperti
wanita. Dia itu kaum 'shemale'. Memang ayah merasa sedikit aneh juga, karena dia
mengatakan pandai menari dan awalnya dia memang melamar sebagai instruktur
tari. Ayah lalu ingat, guru tarimu yang sejak beliau meninggal, tidak ada gantinya.
Seingat ayah, banyak orang yang melamar untuk menjadi pengganti gurumu itu,
tetapi rupanya tidak ada yang mampu menggantikannya. Hla kemarin itu, ayah
sudah melihat sebentar dan selintas. Memang belum bisa dikatakan melihat seluruh
kemampuannya, tapi paling tidak dari gerak oleh tari yang sempat diperagakan
sebentar, ayah bisa membuat kesimpulan, bahwa dia memang benar-benar penari
yang sangat mumpuni. Dan, setelah melihat dia memperagakan kebiasaannya, ayah
lalu memutuskan untuk menunjuk dia sebagai instruktur untuk mengajar tari di
keputren Pancala Radya. Ya..... karena dia kaum 'shemale', maka ayah berpendapat
dia sama sekali tidak berbahaya bagi putri-putriku. Dan lagi, kaum shemale itu
hanya tertarik kepada pria, dan sama sekali tidak tertarik kepada wanita." Sang
Drupada bercerita panjang lebar tentang instruktur tari yang baru saja diangkat dan
ditugasinya. Sejenak berhenti bercerita, Drupada lalu melanjutkan: "O ya.....
Srikandhi...., ayah hampir lupa, nama instruktur barumu itu Kandhi-Awan. Tolong
diingat ya, namanya Kandi-Awan. Nanti, kalau dia mulai bertugas tolong hormati
dia selayaknya seorang guru dan instruktur, dan jangan sekali-kali engkau meledek
atau mempermainkan dirinya ya. Jangan gara-gara dia termasuk kaum shemale, lalu
engkau meledeknya atau mempermainkannya. Jangan sekali-kali melakukan hal itu
ya....! Ingat baik-baik ya nasehat ayah yang satu ini! Jangan sampai engkau
menyinggung perasaannya! Ayah serius lo soal yang satu ini. Bukannya apa-apa,
engkau selama ini terkenal sebagai putriku yang nakal, bengal, suka membuat onar,
suka berkelahi, dan setiap kali para pengawal pribadimu data melapor ke ayah,
setiap kali pula sebenarnya ayah merasakan pusing tujuh keliling memikirkan ulah
dirimu," begitu kata-kata nasehat Drupada secara 'khusus' kepada Srikandhi putri
kesayangannya itu.
Mendengar penuturan ayahandanya, raut muka Sang Srikandhi lalu berubah
menjadi sedikit cemberut. Dan, dengan manja dan dengan gaya sedikit merajuk,
Srikandhi mengatakan kepada ayahandanya: "Ayaaaaah....., jangan begitu doooong.
Kan Srikandhi selama ini sudah banyak berubah. Masak ayah nggak tahu?

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 95


Berkelahi yaaaa masih terjadi sesekali sih, tapi kan sudah jaraaaaaaang sekali. Yang
diingat ayah itu kok cuma yang buruk-buruk saja. Aneh sekali! Padahal, Srikandhi
sudah banyak berubah hlo. Coba dong lihat nilai ujian semua mata-kuliah yang
diambil Srikandhi belakangan ini. Angkanya tinggi-tinggi kan.... Yang diingat ayah
tentang Srikandhi, kok cuma yang jelek-jeleknya aja sih? Coba dong lihat
Srikandhi dari sisi baiknya juga.......," kata Srikandhi nerocos, seperti mau
menasehati ayahandanya.
Drupada ayahandanya tersenyum dan menimpali kata-kata putrinya: "Eeeee
Srikandhi....., bukannya ayah tidak tahu perkembangan dirimu. Tapi semua itu kan
fakta semata? Selama ini engkau kan memang terkenal sebagai 'trouble maker' di
kalangan keputren. Ha ha ha ha." Sang Drupada tertawa terkekehkekeh.
"Reputasimu itu lo, kan sudah sangat terkenal di berbagai kalangan. Mungkin sudah
tidak terhitung lagi peristiwa yang melibatkan dirimu. Sesekali ayahmu ini
tercengang-cengang melihat dirimu di tayangan stasiun TV Pancala Radya, yang
memperlihatkan engkau baku hantam dengan sejumlah pria bergajulan. Memang
engkau seringkali menang berkelahi. Tapi mbok coba dibayangkan ta. Engkau ini
anak siapa? Apa engkau sama sekali nggak memikirkan dampak negatifnya? Apa
jadinya jika setiap hari TV Pancala Radya isi berita dan tayangannya cuma adegan
perkelahian Srikandhi......?" Lalu, setelah menghela nafas sejenak, Drupada
melanjutkan: "Jangan dikira ayahmu ini nggak memikirkan lo. Coba bayangkan,
putri seorang raja besar Pancala Radya, tiap hari beritanya masuk TV gara-gara
membuat onar dan berkelahi. Ha ha ha ha..... Cobalah engkau pikirkan, apa yang
harus ayah katakan, jika ada wartawan yang iseng menanyakan soal ini?
Memangnya ayah harus mengatakan bahwa putri ayah yang satu ini memang
ditakdirkan jadi 'trouble maker' dan pembuat onar? Kasihan dong sama para
pejabat humas istana, yang setiap kali mendengar engkau membuat ulah, kan
mereka juga yang kusut dan harus menghadapi wartawan pada waktu terjadi 'press
conference'. Sementara engkau? Menghilang lenyap tak berbekas, bak ditelan
bumi! Ha ha ha ha...." terbahak-bahak Sang Drupada....
Mendengar penuturan ayahandanya itu, makin cemberutlah muka Srikandhi.
Lalu dengan menyorongkan mukanya yang manja, ia menimpali:
"Ayaaaaah......, kan Srikandhi yang sekarang sudah banyak berubah! Srikandhi janji
deh, nggak akan membuat ulah dan onar lagi. Srikandhi sekarang, kan sudah
dewasa dan sudah jadi anak gadis yang pintar, baik hati, dan tidak sombong....."
Begitu kata Srikandhi dengan manja sejadi-jadinya kepada ayahandanya.
Masih dengan senyum lebar, Sang Drupada berkata: "Iyaaaaa.... iyaaa, Srikandhi.
Ayah percaya, sekarang engkau sudah banyak berubah, dan katamu sekarang sudah
menjadi anak yang baik dan tidak sombong. Anak yang baik? Tidak sombong?
Tapi sejak kapan itu? Ha ha ha ha," kembali meledak gelak tawa terbahak-bahak
Sang Drupada, terdengar nyaring memenuhi ruang istana yang luas itu.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 96


Lama sekali bapak dan anak itu berbincang berdua tentang berbagai hal di ruang
istana yang lengang dan sepi itu. Tak terasa hari sudah menjelang sore. Sambil
bergandeng tangan, keduanya berjalan perlahan-lahan masuk menuju ruang dalam
istana. Sang Respati sudah berada jauh di ufuk barat. Sisa-sisa sinarnya cemerlang
memancar bagaikan lajur-lajur emas bercahaya menjulur di antara awan-awan yang
berjalan perlahan, semakin lama semakin redup, sampai akhirnya berubah menjadi
malam. Perlahan-lahan Sang Sasadara yang sedang purnama timbul, melayang di
angkasa Pancala Radya, bagaikan sang dewi malam. Haripun berubah menjadi
malam. Hamparan jutaan kartika perlahanlahan membuai angkasa raya, berkedip-
kedip seakan hendak bercerita tentang perjalanan jutaan manusia di alam janaloka.
Di tempat peraduannya, Sang Srikandhi tiduran sambil termenung memandang
bintang-bintang di angkasa. Bayangannya melayang pada peristiwa pertemuannya
dengan ayahandanya siang tadi. Dia merasa tidak seperti biasanya ayahandanya
memperhatikan dirinya seperti itu. Rasanya itu merupakan pertemuan dirinya
dengan ayahnya yang paling lama. Biasanya ayahnya hanya meluangkan waktu
sebentar saja dengan dirinya. Biasanya ayahandanya hanya bertanya tentang
beberapa hal kecil, yang menurutnya tidak penting. Menanyakan angka-angka hasil
ujian, merupakan salah satu pertanyaan klise yang paling sering diajukan. Dan, ia
selalu menjawab juga dengan jawaban klise juga. "Nggak ada masalah ayah....
everything under control...." Itu merupakan jawaban yang paling sering ia gunakan
untuk menjawab pertanyaan ayahandanya. Tapi kali ini, ayahandanya seakan benar-
benar meluangkan waktu khusus untuk dirinya.
Malam semakin larut, Sang Srikandhi akhirnya tertidur lelap dengan mimpimimpi
indah yang melayangkan cerita berbagai peristiwa menakjubkan yang dialaminya.
Di bibirnya, tersungging senyum. Selimut yang menutupi tubuhnya, seakan
melenyapkan seluruh kehidupan hari itu dan menyimpannya di awan dan bintang-
bintang malam. Sebuah perjalanan malam penuh mimpi dimulai.........
____________________________
[1] Terjemahan bebas:
Telah berbunyi gamelan di malam hari,
Lembut mengalun bagai tersusun,
Nyanyian cerita lama,
Mengharumkan suasana malam, Berhiaskan
bulan dan bintang-bintang, Sunyi sepi di malam
hari.

Telah berbunyi gamelan hendak segera melagukan Talu,


Nyanyian suluk dan tembang nan indah,
Terbawa oleh samirana (angin),
Nanyian pembawa cerita di malam hari,
Menyanyikan perjalanan manusia, Menjadi
penerang peri-laku utama.

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 97


[2] Terjemahan bebas:
Maka dimulailah peristiwa yang menawan hati, Tergelar
menyebar luas bias cahayanya....

Bram Palgunadi: Kumpulan cerita wayang untuk pengisi waktu 98

Anda mungkin juga menyukai