Anda di halaman 1dari 9

BAB 8 WAWACAN

 Wawacan nya éta karangan panjang anu suasana caritana béda-béda tur ngagunakeun patokan pupuh. Artinya
karangan panjang yang suasana ceritanya berbeda-beda dan menggunakan patokan pupuh.

 Dalam sebuah cerita, bisa terdapat berbagai macam patokan pupuh di dalamnya.

 Selain wawacan, karangan yang menggunakan pupuh yaitu guguritan.

 Bedanya, guguritan bentuknya pendek seperti sajak dan biasanya ditulis dalam satu atau dua pupuh. Sedangkan
wawacan tulisannya panjang, bahkan ada yang sampai ribuan baris dan bercerita seperti novel. Wawacan ditulis
dalam banyak jenis pupuh, tergantung pada suasana ceritanya.
Selain wawacan, karangan yang menggunakan pupuh yaitu guguritan.
Bedanya, guguritan bentuknya pendek seperti sajak dan biasanya ditulis dalam satu
atau dua pupuh. Sedangkan wawacan tulisannya panjang, bahkan ada yang sampai
ribuan baris dan bercerita seperti novel. Wawacan ditulis dalam banyak jenis pupuh,
tergantung pada suasana ceritanya.

Wawacan merupakan salah satu bentuk karya sastra. Pada zaman dahulu, karya sastra yang
satu ini memiliki fungsi dan kedudukan yang sangat penting di kalangan orang Sunda.
Menampilkan wawacan biasanya dibaca dulu lalu ditembangkan (dibelukkeun), oleh sebab itu
pagelaran wawacan disebut juga beluk atau gaok.
Wawacan biasanya digelar pada acara salametan (ritual) seperti 40 hari kelahiran bayi (orok),
selametan rumah, atau tulak bala.
Selain dibacakan pada acara salametan, juga suka dipintonkeun (ditampilkan)
sebagai kalangenan (hiburan). Zaman dulu belum banyak hiburan seperti zaman sekarang.
Yang bisa membaca pun masih sangat jarang. Oleh sebab itu, ngabeluk atau membaca
wawacan menjadi hiburan menarik.
Namun seiring perkembangan zaman, beluk pun jarang ditampilkan karena ‘kalah bersaing’
oleh hiburan modern.
Wawacan merupakan salah satu bentuk karya sastra.
Pada zaman dahulu, karya sastra yang satu ini memiliki
fungsi dan kedudukan yang sangat penting di kalangan
orang Sunda.
Menampilkan wawacan biasanya dibaca dulu lalu
ditembangkan (dibelukkeun), oleh sebab itu pagelaran
wawacan disebut juga beluk atau gaok.
Wawacan biasanya digelar pada acara salametan (ritual)
seperti 40 hari kelahiran bayi (orok), selametan rumah,
atau tulak bala.
Selain dibacakan pada acara salametan, juga
suka dipintonkeun (ditampilkan)
sebagai kalangenan (hiburan). Zaman dulu belum banyak
hiburan seperti zaman sekarang. Yang bisa membaca pun
masih sangat jarang. Oleh sebab itu, ngabeluk atau
membaca wawacan menjadi hiburan menarik.
Namun seiring perkembangan zaman,
beluk pun jarang ditampilkan karena ‘kalah
bersaing’ oleh hiburan modern.
Contoh Wawacan
Cutatan dari Wawacan Panji Wulung.
Penggalan wacana pertama menggunakan
pupuh asmarandana, penggalan wacana
kedua menggunakan patokan pupuh
kinanti.
Coba perhatikan dengan seksama.

Asmarandana
… Kinanti
Sambatna Nyi Tunjung Sari, …
ku raja henteu dimanah, Laju lampah Panji Wulung,
enggeus dimeureunkeun baé, diiring ku Jayapati,
tangtu nampik kana dosa, Ki Jenggali Ki Jenggala,
jeung lumbrah manusa, jeung baturna Jayapati,
di mana nu maling ngaku, ngaran Ki Kebo Manggara,
enggeus kudu nampik dosa kalima Kebo Rarangin
KESIMPULAN

 Ciri wawacan yaitu karangan panjang, menggunakan patokan pupuh, suasana ceritanya
beda-beda, dalam satu cerita bisa terdiri atas beberapa jenis pupuh.

 Perbedaan wawacan dan guguritan yaitu panjang tulisan dan jenis pupuh yang digunakan.
Guguritan lebih pendek dan biasanya hanya terdiri atas satu atau dua jenis pupuh.

 Demikianlah, semoga bermanfaat.

Anda mungkin juga menyukai