Anda di halaman 1dari 7

Nama : Anfal Firas Cakra Karnadi

NIM : 19601241042

Kelas : PJKR B 2019

Seni Pewayangan
A. Sejarah Wayang
Sejarah mencatat bahwa wayang sudah ada sejak 1500 SM. Indikasinya yaitu dahulu
masyarakat jawa zaman prasejarah melakukan pemujaan terhadap arwah leluhur mereke
dengan menggunakan maedia wayang. Wayang pada masa itu digunakan sebagai media
pemujaan kepada arwah leluhur, dengan sebutan hyang atau dahyang. Apabila
berkomunikasi dengan roh-roh itu masyarakat Jawa memerlukan bantuan seorang
syaman. Proses ini merupakan cikal bakal dari sejarah wayang yang berasal dari kata
hyang, kemudian disebut wayang dan syaman adalah dalang (Masroer, 2015: 25).
Dari kepercayaan arwah leluhur mengilhami timbulnya cara bagaimana membuat
wayang, yaitu gambar bayangan para leluhur yang sudah meninggal. Gambar bayangan
tersebut pada perkembangannya berdasarkan peradaban manusia dinamakan wayang
(Sunarto, 1989: 16-17).
Seiring berjalannya waktu, wayang tidak hanya sebagai media untuk pemjuaan arwah
leluhur, melainkan sudah menjadi sarana pertunjukan. Hal ini dibuktikan dalam kakawin
“ArjunaWiwaha” karya Mpu Kanwa, Prabu Airlangga 1030 Masehi. Ditulis dalam pupuh
(bait) Cikharini pupuh kaping 9, yaitu sebagai berikut:
“Hanonton ringgit manangis asekel mudha hidhepan
huwus wruh tuwin yan walulang inukir molah angucap
hatur ning wang tresneng wisaya malaha ta wihikana ri
tatwa nyan maya sahana-hana ning bawa siluman”.
Artinya: “Ada orang menonton atau melihat wayang menangis, kagum, sedih hatinya.
walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat hanya kulit dipahat berbentuk orang dapat
bergerak dan berbicara, yang melihat wayang umpanya orang yang bernafsu dalam
keduniawiaan yang serba niknat, mengakibatkan kegelapan hati. Ia tidak mengerti bahwa
pada hakikatnya hanyalah bayangan seperti sulapan, sesungguhnya hanya semu saja”.
Berdasarkan uraian tersebut mengilustrasikan bahwa beberapa penonton wayang
menyaksikan pertunjukan wayang hingga sedih, menangis dan kagum. Hal tersebut
mengindisikan bahwa wayang mampu merasuki jiwa dan menyihir penonton, sehingga
dapat dikatakan wayang sudah menjadi pertunjukan yang populer pada zaman tersebut.
Dalam perkembangannya wayang mengalami perubahan yaitu pada saat bangsa
India membawa agama hindu ke tanah jawa, sehingga cerita pewayang banyak
mengambil cerita dari kitab Mahabharata dan Ramayana. Orang jawa menerima agama
hindu dari India karena prinsip toleransi agama, sehingga terjadilah akulturasi budaya dan
kepercayaan

B. Fungsi Wayang
Fungsi wayang dapat berbeda-beda, semua itu tergantu prespektif atau bagaimana
cara orang memandangnya. Berikut berbagai fungsi wayang, antara lain:
1. Fungsi Asli Wayang
Wayang awalnya merupakan gambar seseorang yg sudah meninggal yang
digunakan sebagai sarana dalam pemujaan arwah leluhur yang telah meninggal
tersebut atau disebut dengan hyang, dengan bantuan syaman atau yang sekarang
disebut dengan dalang.
2. Wayang sebagai Media Hiburan
wayang difungsikan sebagai sarana hiburan, tontonan yang mampu menyihir
penonton melalui keindahan dan jalan cerita yang mampu merasuki jiwa, sehingga
wayang sampai sekarang masih diminati masyarakat.
3. Wayang sebabagai Media Pendidikan Karakter
Korelasi wayang sebagai sarana pembentuk manusia seutuhnya, yakni diambilkan
dari nilai-nilai dalam wayang adalah sarana pembentuk pendidikan karakter.
Pendidikan karakter merupakan suatu yang urgen dan fundamental, dengan adanya
pendidikan karakter dapat membentuk pribadi yang mempunyai perilaku baik.
Menurut Lickona, karakter berkaitan dengan konsep moral (moral knowing), sikap
moral (moral felling), dan perilaku moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga
komponen ini dapat dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan
tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan perbuatan kebaikan
(Dewabrata, 2011: 1-2). Wayang sebagai media pendidikan karakter tidak hanya
terletak pada unsur ceritanya, cara pentas, instrumen, seni pedalangan, namun
perwujudan gambar wayang dari masing-masing tokoh wayang. Perwujudan tokoh
wayang dapat menggambarkan watak seseorang. Dari wayang dapat belajar tentang
kepemimpinan, keberanian, keteguhan hati, kejujuran, ketulusan hati. Selain itu dari
wayang bisa bercermin dari sifat angkara murka yakni tamak, iri dengki, bengis,
serakah dan ambisius.
4. Wayang sebagai Media Komunikasi
Wayang sebagai media komunikasi, dari aspek penampilan wayang merupakan media
yang komunikatif dalam masyarakat. Wayang digunakan sebagai sarana memahami
suatu tradisi, pendekatan kepada masyarakat, penerangan dan penyebarluasan nilai-
nilai.
5. Wayang sebagai Media Dakwah Islam
Wayang merupakan kesenian yang sudah melekat dengan sangat kuat di
kehidupan masyarakat Jawa, oleh karena itu wayang dimanfaatkan oleh para
pendakwah yang biasa dikenal dengan sebutan Waki Songo untuk menyebarkan islam
di tanah jawa. Diantara paraw wali, Sunan Kalijaga merupakan wali yang terkenal
dengan wayangnya dalam berdakwah. Alkisah dahulu Sunan Kalijaga ingin
berdakwah di daerah Pajang hingga membuat wayang tengul (wayang orang), namun
wayang tengul tersebut didebat oleh sunan giri karena serupa dengan patung yang
dihukumi haram dalam islam. Sehingga melalui permasalahan tersebut Sunan Kudus
memberi saran untuk menggepengkan wayang tersebut, maka jadilah wayang kulit.
Pergelaran wayang Sunan Kalijaga diadakan biasanya pada acara bersih desa atau
ruwatan, dalam acara tersebut Sunan Kalijaga menyampaikan tentang keagungan
tuhan dan ajaran islam yang masih sederhan, serta penonton diajak untuk
mengucapkan syahadat sebagai bentuk pernyataan untuk masuk ke agama Islam

C. Kegiatan Pewayangan
Berikut merupakan alur cerita pewayangan yang ditinjau dalam pertunjukan Wayang
Kulit Purwa Jum’at Kliwonan:
1. Bagian Pathet Nem
Adegan pertama bertempat pada sebuah kerajaan tertentu. Pada umumnya
kerajaan yang ditampilkan di awal pertunjukan ialah negara-negara tertentu yang
akan dirundung masalah, atau dapat juga negara yang akan mencari sesuatu.
Biasanya, kerajaan yang ditampilkan pada awal adegan kebanyakan juga sebagai
penutup adegan. Sebagai contoh apabila diawali dengan adegan kerajaan Dwarawati
pada akhir adegan akan ditutup dengan kerajaan Dwarawati pula. Akan tetapi, juga
ada kalanya tidak selalu demikian. Pada adegan pertama ini kadang dijumpai
peristiwa kedatangan tamu dari negeri lain yang mempunyai tujuan tertentu, yang
kemudian disebut dengan adegan Babak Unjal. Akhir dari adegan pertama ialah
adegan Bedhol Jejer yaitu peristiwa raja membubarkan pertemuan atau sidang.
Adegan ke dua dengan tampilnya Limbuk dan Cangik (limbukan). Adegan ini
biasanya diisi dengan perkenalan dalang, pengrawit, waranggana dengan diselingi
sendau gurau dan konsert karawitan serta lagu.
Adegan ke tiga adalah Paseban Njawi dimana wakil dari raja pada adegan
pertama yang mengumumkan tujuan dan maksud pada tujuan adegan pertama.
Adegan ini biasanya dilanjutkan dengan adegan kapalan atau jaranan yaitu adegan
yang menggambarkan keberangkatan para prajurit ke suatu tempat tujuan dengan
barisan prajurit yang bermacammacam. Ada prajurit yang naik kuda, gajah, kereta
dan sebagainya. Apabila pada adegan pertama ada tamu dari negara lain yang
mempunyai tujuan tertentu, maka setelah adegan jaranan dilanjutkan dengan adegan
tamu yang memberitahukan perihal tujuannya pada anak buahnya, dan selanjutnya
diteruskan dengan adegan perang antara pihak adegan pertama melawan tamu yang
datang. Adegan ke empat adalah adegan di kerajaan antagonis
biasanya disebut dengan adegan sabrang. Pada adegan ini raja juga mempunyai
tujuan tertentu, kemudian raja tersebut bersama dengan prajuritnya berangkat ke suatu
tempat tujuan.
Adegan ke lima yakni adegan perang yang mengisahkan perjalanan prajurit
adegan pertama bertemu dengan perjalanan prajurit adegan ke empat. Karena
berselisih pendapat, terjadilah perang. Pada adegan ini biasanya disebut dengan
adegan perang gagal.

2. Bagian Pathet Sanga


Adegan ke enam adalah adegan garagara, adegan ini menampilkan tokoh
panakawan Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong. Pada adegan ini diisi dengan konser
lagu-lagu dan lawakan.
Adegan ke tujuh adalah kelanjutan dari adegan gara-gara, para panakawan
Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong mengikuti tokoh kesatria.
Adegan ke delapan adalah adegan perang dimana tokoh kesatria yang diikuti
oleh panakawan berperang melawan para prajurit raksasa yang dipimpin oleh raksasa
cakil, yang disebut dengan adegan perang sekar atau perang kembang. Ada beberapa
jenis perang sekar seperti perang antara kesatria melawan hewan, kesatria melawan
raksasa hutan, kesatria melawan prajurit dari kerajaan antagonis, serta kesatria
melawan raksasa cakil. Apabila ada wanita yang jatuh cinta terhadap kesatria maka
pada adegan perang sekar ini ditampilkan perang antara orang tua dari wanita yang
jatuh cinta melawan kesatria idaman.
3. Bagian Pathet Manyura
Adegan terakhir adalah adegan penyelesaian masalah sesuai dengan lakon
yang dipilihnya, dan ini sangat tergantung pada masing-masing dalang.

D. Perkembangan Wayang
Bentuk wayang yang dapat dilihat sekarang ini merupakan hasil evolusi dari bentuk
awal wayang yang sederhana. Wayang yang dahulunya merupakan gambar arwah lelur
yang digunakan sebagai pemujaan, sekarang berubah bentuk dan fungsi menjadi media
hiburan dan banyak tokoh wayang baru bermunculan sebagai bentuk kreatifitas dari
seniman wayang itu sendiri. Sebagai salah satu contoh yaitu Almarhum Ki Enthus
Susmono dari Tegal yang membuat tokoh dan alur cerita baru yang salah satu fungsinya
sebagai media berdakwah. Berikut perkembangan wayang dari zaman ke zaman
berdasakan Salam, (1988: 36-41) sebagai berikut:
1. Prabu Jayabaya di Mamenang menggambar leluhurnya kemudian dinamakan
“wayang purwa”. Prabu Jayabaya kemudian dikenal sebagai pencipta wayang
pertama kali. Prabu Jayabaya adalah raja dari Kerajaan Kahuripan, Kediri, yang
memerintah tahun 1135-1157. Pada masa ini juga mulai ada pertunjukan wayang.
2. Padan tahun 1145, pada masa Raden Panji Kasatrian menjadi raja di Kerajaan
Jenggala yang bergelar Prabu Surjamisesa, diadakan pertunjukkan wayang purwa.
Dalang dari pertunjukkan wayang tersebut adalah Raden Panji Kasatrian sendiri. Pada
zaman ini wayang kulit purwa menggunakan iringan gamelan slendro dan
menggunakan suluk sekar ageng.
3. Pada tahun 1166, ketika Kerajaan Jenggala sudah hancur, yang menjadi raja adalah
Prabu Maesakandremen yang bertempat di Kerajaan Pajajaran. Ia juga menciptakan
wayang purwa yang mirip dengan wayang purwa buatan dari Jenggala.
4. Pada tahun 1283, masa kerajaan Majapahit yang menjadi raja adalah Raden Jaka
Sesuruh bergelar Prabu Branata. Ia membuat wayang purwa yang digambar pada
kertas yang lebar. Wayang tersebut kemudian disebut sebagai wayang beber.
5. Ketika masa kerajaan Majapahit yang menjadi raja adalah Prabu Brawijaya I, ia
menugaskan anaknya untuk menggambar bentuk dan corak dengan beraneka warna
menurut adegan masing-masing. Prabu Brawijaya I menugaskan hal tersebut kepada
anaknya karena anaknya pandai menggambar. Masa pembuatan wayang tersebut
terjadi pada tahun 1301. Semenjak masa itu, setiap pergantian raja, wayang juga
mengalami perubahan wujud dan bentuk.
6. Pada tahun 1443, berdasarkan usulan Sunan Kalijaga, para wali menciptakan wayang
purwa dan dibuat satu-satu. Adapun bahan untuk membuat wayang adalah kulit
kambing. Masing-masing wayang dijapit satu-satu yang berguna untuk tempat
menancapkan. Sedangkan tangan wayang masih diiris seperti wayang Bathara Guru.
7. Pada tahun 1447, masa R. Trenggono menjadi Sultan III dikerajaan Demak,
menyempurnakan wayang purwa dengan menatah mulut, mata, dan telinganya.
8. Pada tahun 1480, ketika Sunan Ratu Tunggal di Giri mewakili raja di Demak,
membuat perubahan terhadap wayang purwa. Wujud wayang diperkecil dan
kemudian disebut sebagai wayang kidang kencana. Dalam wayang kidang kencana
yang perempuan diberi perlengkapan anting-anting, kroncong, dan sebagainya.
Sedangkan wayang laki-laki rambutnya ada yang dikonde dan ada yang tidak.
9. Tahun 1485, Sunan Giri membuat wayang gedog mirip dengan wayang purwa.
10. Tahun 1486, Sunan Bonang membuat wayang gedog, menggunakan tabuhan rebab,
kendang, terbang, angklung, kenong dan keprak.
11. Pada tahun 1505, masa Jaka Tingkir menjadi Sultan di Pajang yang bergelar Sultan
Hadiwijaya, membuat wayang purwa dengan melakukan sedikit perubahan.
12. Pada tahun 1542, ketika Panembahan Senopati menjadi raja di Mataram, membuat
wayang purwa dengan dasarnya wayang ciptaan Pajang.
13. Pada tahun 1552, pada masa Sunan Prabu Cakrawati di Mataram, membuat wayang
purwa dengan dasarnya dari wayang kidang kencana, tetapi sedikit dilakukan
perubahan.
14. Ketika yang menjadi raja di Mataram (Mataram III) adalah Sunan Kanjeng Sultan
Agung, juga membuat wayang purwa. Perkembangan wayang sebagaimana dirinci.

E. Kesimpulan
Wayang merupakan kesenian yang sangat indah dan sudah diminati sejak dulu,
sehingga wayang banyak memberikan pengaruh terhadap perubahan para peminatnya.
Dari alasan tersebut wayang merupakan perantara atau media yang dapat digunakan
untuk menyapaikan informasi dan mendidik masyarakat. Hal tersebut dapat dilihat dari
kemunculan dalang yang berasal dari kalangan para ulama dan raja seperti yang
dijelaskan diatas. Namun dewasa ini peminat wayang sudah semakin berkurang, sehingga
para dalang harus memutar otak demi menyuguhkan penampilan yang indah dan
menarik. Karena mengingat dalang bukan hanya sebagai seorang seniman, melainkan
juga sebagai sebuah profesi. Konsekuensinya maka seni pewayangan menjadi industri
hiburan masyarakat yang harus menyesuaikan dengan kebutuhan pasar. Apabila terus-
menerus terjadi maka dikhawatirkan seni pewayangan akan tercabutnya nilai-nilai luhur
dan kesakralan dalam pewayangan. Oleh karena itu diharapkan bagi seluruh kalang untuk
terus melestarikan wayang, bukan hanya wujud asli wayang tersebut melainkan nilai-nilai
luhur yang ada dalam wayang harus serta dilestarikan. Semua itu perlu diusahakan agar
fungsi wayang yang digunakan para dalang terdahulu dapat terus bermanfaat bagi
masyarakat.

F. Dokumentasi

G. Daftar Pustaka
Fatkur. 2018. Sejarah Perkembangan Dan Perubahan Fungsi Wayang Dalam Masyarakat.
Tulungagung: IAIN Tulungagung
Harijadi. 2019. Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jum’at Kliwonan Taman Budaya
Surakarta. Surakarta: Fakultas Seni Pertunjukan ISI Surakarta
Ruli. 2007. Struktur Pertunjukan Wayang Kulit Jum’at Kliwonan Taman Budaya
Surakarta. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma

Anda mungkin juga menyukai