Tari gambyong merupakan salah satu tari adat yang berasal dari daerah sekitar Surakarta,
Jawa Tengah. Tari ini awal mulanya hanyalah sebuah tarian jalanan atau tarian rakyat dan
merupakan tari kreasi baru dari perkembangan Tari Tayub. Saat upacara panen dan hendak
menanam padi, masyarakat Surakarta tempo dulu akan mempertunjukan tarian ini sebagai
undangan pada Dewi Sri atau Dewi Padi agar ia memberkahi sawah mereka dengan hasil
panen yang maksimal. Nama gambyong sendiri sebetulnya berasal dari nama seorang penari
kondang pada masa itu. Sri Gambyong namanya. Sri Gambyong yang memiliki suara merdu
dan keluwesan dalam menari telah memikat banyak orang. Pertunjukan seni tari tayub atau
tari taldhek yang dilakukannya di jalanan, bagi banyak orang dianggap memiliki ciri yang
sangat khas dan berbeda dari penari-penari biasanya. Sehingga seluruh masyarakat di wilayah
Kasunanan Surakarta pada masa itu tak ada yang tidak mengenal ia.
Tari Gambyong Pareanom
Informasi adanya pertunjukan seni tari nan apik yang dilakukan Sri Gambyong akhirnya
sampai ke telinga Sunan Paku Buwono IV, yang merupakan raja Surakarta pada masa itu.
Pihak keraton Mangkunegara Surakarta kemudian mengundang Sri Gambyong untuk
mementaskan tariannya. Semenjak saat itu, tari Gambyong yang dimainkan oleh Sri
Gambyong semakin dikenal. Banyak orang mempelajarinya hingga akhirnya tarian ini
dinobatkan
sebagai
tarian
khas
istana.
Pada perkembangannya saat ini, tari gambyong masih sering dipertunjukan dalam acara-acara
resmi, acara-acara kenegaraan, maupun acara adat rakyat. Dalam gelaran resepsi pernikahan
atau khitan misalnya, tarian gambyong masih dapat kita temukan di Surakarta hingga
sekarang.
Tak sedikit pula saat inhi generasi muda di Surakarta yang tertarik untuk mempelajari
warisan tari dari nenek moyangnya. Dibeberapa sanggar seni, tari gambyong biasanya
memiliki kelas tersendiri. Beberapa variasi gerakan pengembangan tari gambyong juga terus
dilakukan, hingga menghasilkan beberapa jenis tari gambyong seperti gambyong ayun-ayun,
gambyong sala minulya, gambyong gambirsawit, gambyong mudhatama, gambyong
dewandaru, gambyong pangkur, dan gambyong campursari.
Gerakan tari Gambyong sebetulnya merupakan hasil kreasi gerakan-gerakan dalam Tari
Tayub. Berbeda dengan tari tayub, pada tari gambyong umumnya dilakukan pada garis dan
gerak yang jauh lebih besar. Adapun unsur estetis dari gerakan tari ini terletak pada
kekompakan para penarinya. Para penari gambyong akan menggerakan tangan, kaki dan
kepala secara bersama-sama selaras dengan irama kendang yang ditabuh. Gerakan mata yang
selalu mengikuti gerakan tangan juga semakin membuat harmonis gerakan tarian ini.
Untuk mengawali tari gambyong, pertunjukan umumnya dibuka dengan gending pangkur.
Gending pangkur adalah bagian maju beksan yang berarti nyanyian awalan tari yang
dilakukan untuk mengundang para penari naik ke atas pentas. Tari gambyong sendiri terbagi
menjadi 3 bagian yaitu maju beksan, beksan, dan mundur beksan.
Kostum Tari Gambyong
Ketika menari, para penari gambyong wajib mengenakan kostum khusus berupa kemben
yang bahunya terbuka sampai bagian dada serta bawahan berupa kain panjang bermofif. Para
penari juga mengenakan selendang berwarna kuning dan dirias dengan sangat cantik. Warna
kostum tari gambyong ini memang identik dengan warna kuning dan hijau. Kuning
melambangkan kekayaan, dan hijau melambangkan kesuburan.
Iringan Musik Tari Gambyong
Tari gambyong akan selalu diiringi dengan musik dari seperangkat gamelan dan tembang
Jawa. Gong, gambang, kenong, serta kendang akan selalu dimainkan bersamaan dengan
gerak para penari gambyong. Dari beberapa alat musik tersebut, kendang menjadi yang
paling istimewa. Kendang adalah panduan bagi para pemusik dan penari untuk melakukan
gerak atau bunyi tertentu. Oleh karena hal tersebut, dalam tari gembyong, kendang juga
dijuluki sebagai otot tarian.
Judul buku
Pengarang
Penerbit
Tahun
: 1971
Jumlah Halaman
: 208
Novel
ini
menggunakan
alur
campuran,
tetapi
lebih
dominan
saja
tokoh
Dakhlan
yang
bersikeras
mempertahankan
skenarionya yang bermutu. Ia tidak mau buah ciptanya di ubah sesuai selera
rakyat pada saat itu. Ia hanya ingin menciptakan karya yang bermutu. Yang
layak dilihat oleh para kaum intelek apabila di filmkan nanti. Misbach sukses
membawa
karakter
Dakhlan
ini
masuk
dalam
jiwa
dan
angan-angan
pembacanya.
Bahasa Indonesia yang baku menjadi bahasa utama dalam tulisan ini. Ditambah
dengan bumbu-bumbu betawi, sunda, inggris serta belanda sehingga dialog
yang diucapkan terasa lebih hidup dan menarik.
Pelajaran hidup yang dapat dipetik dari novel ini adalah semangat dan kegigihan
yang dibutuhkan dalam usaha apapun untuk memperbaiki diri serta ajakan untuk
lebih mencintai film Indonesia. Diharapkan para kawula muda bisa menciptakan
film-film yang bermutu yang tidak kalah dari film orang-orang eropa yang di
puja-puja pada era 50-an.
Secara garis besar novel ini mengisahkan kembang-kempis dunia perfilm-an
pada era 50-an. Pada masa itu, masih banyak didapati orang-orang yang
mencintai dan mendalami seni dari hati, bukan untuk uang. Mereka rela
menghabiskan
waktu
berjam-jam
bahkan
hingga
berhari-hari
untuk
mendapatkan satu ide yang akan mereka ciptakan sesuai bidang masing-masing.
Mereka beranggapan bahwa seniman adalah orang yang berjiwa bebas dan
tidak terikat pada instansi manapun. Hal inilah yang membawa para seniman
pura-pura seakan ikut andil dalam kerja keras mereka. Sehingga, akan sulit bagi
orang awam untuk membedakan mana seniman yang punya bakat dan mana
seniman yang hanya meminjam predikat seniman. Disamping semua kelucuan
itu, keajaiban yang dimaksud oleh Misbach adalah seniman pura-pura ini.
Keajaiban cara pikir, pandangan hidup serta gerak-gerik merekalah yang pada
akhirnya menjadi inspirasi bagi para seniman muda dan membuat mereka bisa
jadi orang.
Kesederhanaan, kejujuran, keluguan serta kepolosan pelakon dalam novel ini
menjadi suatu kelebihan yang menarik, yang jarang ditemui pada novel lainnya.
Akan tetapi, pada dialog-dialog berbahasa belanda, pembaca akan kesulitan
menangkap maksud penulis karena tidak semua kosa kata terpapar dalam
glosarium. Jauh dari itu semua, novel ini merupakan novel yang mampu
menggelorakan semangat serta perasaan iba para pembacanya.