Anda di halaman 1dari 11

Penggenggam Rasa

Blurb

Renata Putri Adiwangsa, sejak pertemuan pertama telah melabuhkan hatinya untuk
sang pria. Tanpa diminta, hatinya telah terpaut kepada sang pria, logikanya mengatakan
bahwa cinta pada pandang pertama adalah mustahil, namun hatinya tak bisa menolak
ketika ada rasa berdebar dan selalu ingin menatap bola mata sewarna birunya samudra
itu. Sepasang mata biru yang mampu menyeretnya, kemudian menenggelamkan
perasaannya pada pusaran rasa bernama cinta. Dan Renata berhasil mengikat sang pria
dengan ikatan sah di mata Tuhan serta di mata hukum negara.

Kenan Muller Danuarta telah berhasil Renata ikat dalam sebuah ikatan pernikahan.
Namun, hampir selama satu tahun lamanya, kebersamaan mereka belum dapat
membuat Kenan mempercayakan hatinya kepada Renata. Ada masa lalu yang ternyata
belum usai. Ada nama lain yang ada di setiap hembusan nafas serta detakan nadinya.
Masa lalu yang masih Kenan harapkan untuk kembali menemuinya, memberinya
penjelasan, dan mungkin bisa dia rangkul kembali ke dalam dekapannya.

“Jangan pernah menawarkan ikatan kepada wanita yang sedang jatuh cinta. Kamu tidak
akan pernah tahu apa saja yang bisa dilakukan oleh sang wanita. Kadang kala, wanita
yang sedang jatuh cinta bisa sangat egois.”

– Renata Putri Adiwangsa

“Kupikir, aku masih sangat mencintainya, masa lalu yang kupikir telah membawa
separuh hatiku, masa lalu yang ingin aku dekap kembali jika dia muncul di hadapanku.
Namun, ternyata ada satu nama baru yang berhasil menempatkan namanya di setiap
tarikan nafasku. Kupikir itu hanyalah rasa sesaat, tapi ternyata ketika dia hanya sesaat
menjauh, aku seperti tidak sanggup untuk melanjutkan hariku.“

– Kenan Muller Danuarta

1. Bab 1 - Pertemuan Pertama

Hari telah menjelang sore. Tak ada hal yang membedakan antara sore hari ini ataupun
sore di hari kemarin. Sang surya akan segera beristirahat ke ufuk barat. Mulai
tergantikan oleh sang bulan yang akan menemani sang penghuni jagad raya untuk
menghabiskan setengah dari dua puluh empat jam dalam sehari dengan keadaan yang
gelap. Jika tak ada awan hitam yang menggumpal, dapat dipastikan sang bulan akan
didampingi oleh sang bintang untuk menyaksikan peristiwa proses berubahnya uap air
menjadi butiran embun yang akan bergelayut manja di ranting-ranting pohon keesokan
paginya.

Terlihat seorang perempuan yang sedang duduk sambil menatap laptop yang sedang
menyala di hadapannya. Sebuah kacamata membingkai mata sang perempuan. Dan
jangan lupakan tangan kiri sang perempuan yang menopang dagu, terlihat sangat serius
menekuri deretan kata yang menjelma menjadi kalimat berlarik-larik pada tampilan
layar komputer pribadi yang dapat dijinjing tersebut. Tak lupa, bibir sang perempuan
terkadang terlihat bergerak-gerak seperti sedang merapalkan sebuah mantra.
Tangan kanan perempuan itu sesekali akan terulur untuk mengambil sebuah cangkir
yang berada di hadapan sebelah kanan perempuan tersebut. Cairan yang berada dalam
cangkir yang sedang dinikmati oleh perempuan itu merupakan cairan teh dengan
sedikit gula pasir. Tidak terlalu manis, tapi juga tidak terasa pahit. Pas. Sedang. Dapat
memberikan kehangatan pada tenggorokan di kala hari menjelang sore dan terlihat
rintik hujan akan mulai mengguyur. Terasa hangat dan tentu saja nikmat.

Beberapa saat kemudian, kembali seorang pelayan wanita lengkap dengan buku menu
di tangannya mendatangi sang perempuan, berbincang sejenak untuk mencoba
keberuntungan, menawarkan makanan utama dan makanan penutup kepada sang
perempuan. Ini adalah percobaan keduanya, setelah pada percobaan pertama sang
perempuan hanya memesan secangkir teh tanpa makanan yang mendampinginya.

“Apakah ada tambahan pesanan dari Kakak? Mungkin Kakak bisa mencoba menu
andalan dari kedai kami.” Dan sang pelayan menyerahkan buku menu kepada sang
perempuan sambil menyebutkan beberapa nama dari menu makanan utama dan
makanan penutup yang menjadi andalan dari sang tempat pelepas lapar dan dahaga.

Untuk menghargai sang lawan bicara, sang perempuan mendongakan kepala,


mendengarkan dengan saksama penawaran dari sang pelayan, berpikir sejenak untuk
memesan menu apa lagi yang cocok dipadukan dengan secangkir teh.

“Sepertinya menarik juga memesan makanan yang manis.” Sang perempuan bergumam
pelan sambil membalik halaman buku menu.

“Saya pesan cupcake butterscotch satu. Itu saja, Kak. Terima kasih.”

“Untuk minumannya apakah mau menambah lagi, Kak?”

“Tidak. Cukup ini saja. Minuman saya masih ada.” Sang perempuan tersenyum sekilas,
kemudian memberikan jawaban sembari tangan kanannya menunjuk pada secangkir
teh di hadapannya.

Terdengar sang pelayan wanita mengucapkan terima kasih dan pemakluman kepada
sang pelanggan kemudian undur diri.

Sore telah menjelma sebagai malam. Titik-titik air yang semula hanya bervolume kecil
menjadi gerimis yang mengguyur bumi. Saat ini adalah musim penghujan. Jadi, seperti
malam-malam sebelumnya, gerimis mulai mengguyur. Malam terasa dingin. Dan
turunnya gerimis menambah rasa dingin yang menusuk sampai ke tulang. Hanya
gerimis, tidak terlalu deras. Namun cukup membuat berembun jendela kaca kedai ini.

Perempuan itu masih asyik dengan dunia yang dia ciptakan sendiri, seperti tak ada satu
orang pun yang dapat memasuki atau bahkan menggapai dunianya. Menghela napas
sedikit panjang dan menghembuskannya dengan sedikit kuat. Perempuan itu masih
asyik menekuri deretan kalimat yang ditampilkan oleh layar komputer jinjingnya,
namun juga tidak melupakan secangkir teh yang berada di hadapannya, terkadang
diseruputnya sedikit dari isi cangkir tersebut, namun terkadang juga hanya mengusap-
usap bibir cangkirnya dengan jari tangan kanannya, bukan berminat untuk
meminumnya, mungkin untuk mengurangi rasa dingin yang menjalar di ujung jarinya.
Tak lama kemudian, pelayan wanita tadi kembali dengan membawa pesanan tambahan
dari sang perempuan, dibawanya menggunakan nampan berwarna coklat sebuah
cupcake butterscotch. Kemudian meletakkannya di meja sambil mengatakan selamat
menikmati kepada sang perempuan.

Dan sang perempuan membalasnya dengan senyuman dan anggukan kepala kepada si
pelayan ketika telah selesai menghidangkan pesanan tambahan di atas meja. Mengambil
garpu kecil yang berada di sebelahnya, lalu diambilnya sedikit dan memasukkan
potongan kecil cupcake itu ke mulutnya. Tak sadar, perempuan itu memekik pelan.
Enak sekali. Rasanya meluber di dalam mulutnya. Untuk sejenak, jangan pikirkan
mengenai kalori yang dikandung oleh sang cupcake. Cukup menikmati saja.

Setelah beberapa suapan, sesekali pandangan perempuan itu menatap serius ke meja
yang berada di depannya. Tidak terlalu jauh, hanya terpisahkan oleh satu meja di
depannya. Memandang seorang pria yang juga sepertinya sedang menikmati secangkir
kopi.

Sesekali pandangan perempuan itu beralih untuk menatap gerimis dari jendela kaca
yang tepat berada di samping kirinya dan kemudian kembali beralih menatap dengan
tajam sepasang pria dan wanita yang berada di depannya. Ketika sang perempuan
kembali menatap sang pria di hadapannya tersebut, tak sengaja matanya bersirobok
dengan mata milik sang pria.

Rambut yang berpotongan pendek rapi berwarna coklat, hidung yang mancung, rahang
kokoh dan tegas, tinggi badan yang terlihat melebihi rata-rata tinggi badan pria pada
umumnya di negara ini, serta bola mata yang sekilas terlihat berwarna sebiru samudra,
yang ketika tak sengaja bertatapan, tatapan matanya terlihat tajam. Hanya sekejap
memandang saja, siapapun pasti dapat menyimpulkan bahwa dia adalah pria pribumi
berdarah campuran. Hanya tiga detik mereka saling memandang. Namun cepat-cepat
sang pria memutuskan kontak matanya, kembali terfokus ke gawainya. Begitu juga
dengan sang perempuan, pandangannya teralih ke cangkir teh pesanannya. Sambil
mendengus kesal, diraihnya cangkir itu. Diseruputnya cangkir berisi teh yang berada di
genggamannya dengan sedikit kesal. Hanya tiga detik, tapi entah kenapa jantungnya
terasa berdebar dengan kecepatan yang tak seperti biasanya. Terasa lebih cepat dan
tentu saja lebih mendebarkan. Rasanya seperti terdapat kupu-kupu di dalam perut
perempuan itu.

Memutus pandangan dan kemudian mendengus pelan sambil menyunggingkan senyum


menyeringai, pandangannya kini beralih pada gawai yang dengan tenang berada di atas
mejanya. Melirik sekilas, mengecek apakah ada tanda-tanda pesan singkat yang masuk
atau pemberitahuan dari jejaring sosialnya. Namun nihil, gawai tersebut tidak
menunjukkan tanda-tanda yang pertama ataupun yang kedua. Sambil mendengus kesal,
perempuan itu memasukkan beberapa gawai miliknya yang sebelumnya berada di atas
meja ke dalam tasnya. Tangan kanannya terangkat dan melambai memanggil pelayan.

Tangan perempuan itu melambai untuk memanggil pelayan yang sedang berdiri tidak
begitu jauh dari tempat duduk perempuan itu. “Saya minta tagihan saya ya. Terima
kasih.” Pelayan yang mendatangi perempuan itu pun menyodorkan permintaan sang
perempuan. Perempuan itu mengeluarkan beberapa lembar rupiah dan kemudian
melenggang pergi keluar dari kedai menuju tempat parkir mobilnya. Perlahan namun
pasti, mobil yang dikendarai sang perempuan berjalan membelah gerimis malam itu.
Gerimis masih mengguyur, dingin masih merasuk. Tanpa disadari oleh sang perempuan,
kepergiannya tak luput dari perhatian sepasang mata dengan bola mata berwarna biru.

2. Bab 2 - Interaksi Pertama

Seorang perempuan berambut coklat dengan tinggi badan sekitar 168 cm sedang
berjalan dengan santai menyusuri koridor bangunan tempatnya mengais pundi-pundi
rupiah. Rambut panjang sebahunya ikut bergoyang sesuai dengan langkah kaki sang
perempuan. Sesekali matanya melirik jam tangan mungil yang melingkar di pergelangan
tangan kirinya. Waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi. Masih satu jam lagi jam
kerja dimulai.

Hari ini dia memang sengaja untuk berangkat ke kantor lebih awal. Malas untuk sarapan
terlebih dahulu. Setelah berjalan melewati beberapa ruangan yang berfungsi sebagai
ruang kerja beberapa bidang yang berada di tempat kerjanya, otaknya memutuskan
untuk memutar balik langkah kakinya. Langkah kakinya tidak lagi menuju ruang
kerjanya, melainkan menuju kembali menuju pintu keluar, menuju ke sebuah kedai kopi
yang terletak tidak jauh dari tempatnya bekerja. “Segelas kopi hitam sepertinya bisa
membantunya untuk tetap terjaga di pagi hari ini”, begitu pikir sang perempuan.

Kedai kopi yang dituju sang perempuan tidak jauh dari tempat kerjanya, setelah kurang
lebih dua menit berjalan, akhirnya dia tiba di kedai kopi tersebut. Diputuskannya untuk
membeli segelas kopi hitam, setelah memesan, kemudian kakinya melangkah menuju
meja yang dekat dengan jendela luar sehingga dapat dipandanginya keributan di jalan
raya di pagi hari yang dipenuhi oleh lalu lalang orang-orang yang sedang menuju ke
tempat kerja masing-masing. Namun, juga dilihatnya masih terdapat beberapa remaja
berseragam putih abu-abu yang sedang memboncengkan remaja seusianya. “Jam
berapa kelasnya dimulai? Benarkah mereka sedang menuju ke sekolah? Jam memang
masih cenderung pagi untuk karyawan seperti dirinya, tapi kalau untuk anak sekolah
bukankah jam sekarang sudah terbilang terlalu siang jika masih di jalan menuju
sekolah?”, pertanyaan itu sekelebat sempat mampir di otaknya. Selain dirinya, juga
terdapat beberapa orang yang sama seperti dirinya, menikmati segelas kopi dan menu
sarapan yang telah dipesan. Bahkan ada yang sambil menatap serius pada tablet yang
berada di mejanya. Mungkin sedang mempelajari pekerjaan di hari ini.

Setelah sampai pada meja yang dia tuju, segera dijatuhkannya tubuhnya di kursi
pasangan sang meja. Ditaruhnya tas jinjingnya di atas meja. Tak berapa lama dia
mendudukkan dirinya, sang pramusaji kedai datang menghampiri mejanya,
memberikan segelas kopi pesanannya, dia sengaja memesan kopi pada kemasan take
away agar bisa dibawanya ke tempatnya bekerja. Kemudian dicoblosnya segelas kopi
tersebut dengan menggunakan sedotan. Diseruputnya sedikit minuman itu untuk
membasahi tenggorokannya. Setelah beberapa teguk dia meminum minuman itu,
ditaruhnya minuman itu di atas mejanya.

Matanya kembali melirik jam tangan yang melingkari pergelangan tangannya, masih
cukup waktu untuk memejamkan mata beberapa menit. Diambilnya posisi yang nyaman
untuk tidur. Kedua tangannya disedekapkan di atas meja, kepalanya telungkup di atas
tangannya, dan kemudian dipejamkannya matanya. Sebentar saja. Dia ingin
mengistirahatkan otak dan matanya.
Belum lama perempuan itu memejamkan matanya, sebuah tepukan ringan di bahunya
membangunkannya dari usahanya untuk masuk ke dunia mimpi. “Renata, ngapain
kamu tidur disini?” Demi mengetahui siapa yang berani mengganggunya, diangkatnya
sedikit kepalanya dan dimiringkannya demi melihat orang yang telah mengganggu
usahanya untuk masuk ke dunia mimpi. Dilihatnya sosok perempuan yang menatapnya
dengan sorot mata yang syarat akan pertanyaan.

“Kamu tidak melihat apa yang sedang kulakukan? Tentu saja aku mengantuk. Orang
tidur ya pastinya karena mengantuklah.” Perempuan yang disapa Renata itu menjawab
yang malah lebih terdengar seperti gumaman. Kembali perempuan yang disapa Renata
itu menelungkupkan kepalanya di atas tangannya.

“Renata Putri, saya tahu jika orang tidur ya pasti karena mengantuk. Jawaban tak
menjawab.” Perempuan yang menyapa Renata itu menjawab sambil mencebik kesal.
“Ah… Emang udah rahasia umum ya kalau kamu emang tukang ngantuk, tak peduli
dimanapun tempatnya. Pasti tadi malam habis maraton nyelesain bacaan fiksi kan? Ayo
cerita, cerita seperti apa yang tadi malam kamu selesaikan? Pasti cerita yang jalan
ceritanya adalah wanita yang tersakiti atau upik abu yang bertemu dengan pangeran
tampan yang kaya raya?” Tanyanya sambil nyengir kepada Renata dan mengambil
duduk di depannya.

Perempuan yang memesan segelas kopi tadi adalah Renata Putri Adiwangsa, sedangkan
perempuan yang mengganggunya adalah Dewanti Adinata. “Sialan kamu ya Dewanti.”
Renata menjawab sambil mendengus kesal.

“Nggak usah ngelak lah, aku tahu betul genre seperti apa cerita yang kamu sukai. Pasti
cerita yang awalnya menyedihkan kemudian berakhir dengan membahagiakan untuk
kedua tokoh utamanya.”

“Diamlah, Dew!”

“Hahaha… Kamu pasti kurang tidur ya semalam? Lihat tuh mata kamu, udah kayak
adiknya pada aja.” Dewanti menyahuti sambil berusaha meredam gelak tawanya.
Memang menyenangkan menggoda sahabatnya yang satu ini.

“Lanjutin aja terus. Ketawa terus nggak usah berhenti.”

“Idih… Gitu aja ngambek.” Dewanti menimpali jawaban Renata sambil menjawil
dagunya.

“Udah hampir jam delapan nih, ayo masuk ke kantor.” Dewanti mengajak sambil melirik
jam tangan yang melingkari pergelangan tangan kirinya.

“Kamu nggak pesen kopi atau kudapan terlebih dahulu di sini?” Renata melemparkan
pertanyaan kepada sang sahabat perempuan.

“Enggak. Aku tadi kesini hanya untuk memastikan, beneran kamu apa bukan
perempuan yang hampir tidur di atas meja di kedai kopi ini. Ternyata bener emang
kamu.”

“Ya udah, ayo ke kantor. Aku juga udah dapet segelas kopi nih. Semoga manjur untuk
mengobati kantuk di pagi hari ini.”
Renata meraih tasnya yang semula tergelatak di atas meja. Dibuka dan dicarinya benda
pipih berwarna hitam yang mempunyai ukuran display sekitar 4,7 inch. Tapi dia tidak
menemukannya. Dicarinya sekali lagi dan akhirnya dengan terpaksa dikeluarkannya
semua isi tasnya. Namun nihil. Benda pipih berwarna hitam itu belum dijumpainya juga.
Seketika dia menggumam, “Mungkin tertinggal di mobil.”

“Ada apa Ren?” Dewinta bertanya disela gumaman Renata.

“Handphone-ku nggak ada di dalam tas. Mungkin terjatuh di mobil. Soalnya ketika akan
berangkat tadi, aku yakin sudah memasukkannya ke dalam tas. Kamu duluan aja, aku
beresin dulu ini dan cek dulu di mobil.” Renata menyahuti sambil tangan kanannya
menunjuk barang-barang yang berserakan di atas meja.

“Oke, aku duluan kalau begitu.”

Diacungkannya jempol tangan kanannya sebagai balasan untuk Dewinta. Kemudian


dimasukkannya kembali benda-benda yang sudah ia keluarkan tadi ke dalam tas. Dan
setelah memasukkan semua barang-barangnya, seketika itu juga Renata beranjak pergi
meninggalkan gazebo kantin menuju tempat mobilnya terparkir. Diayunkannya langkah
kakinya dengan cepat, bukan karena takut terlambat untuk masuk kantor, masih ada
beberapa menit sebelum jam kantor dimulai, hanya ingin secepat mungkin memastikan
kalau benda pipih berwarna hitam itu tertinggal di mobil, bukan tertinggal di rumah.
Karena di jaman sekarang, sepertinya lebih baik ketinggalan dompet daripada
handphone yang tertinggal.

Diambilnya remote mobil dari dalam tas, kemudian dipencetnya tombol untuk
membuka kunci pintu mobil. Dibukanya pintu mobil dan dimasukkannya sebagian
tubuh bagian atas untuk memeriksa dashboard mobil. Untunglah, benda pipih berwarna
putih itu masih tergeletak dengan manis. Diambilnya benda itu dan menutup kembali
pintu mobil.

Renata berjalan menjauhi mobilnya sambil membuka screen lock dari benda pipih
berwarna putih yang sekarang tengah berada di tangannya, membuka sebuah aplikasi
mobile dari sebuah situs yang banyak memuat cerita-cerita fiksi yang kualitasnya tidak
kalah dengan fiksi-fiksi yang bertengger manis di rak-rak toko buku. Sudah ada banyak
sekali sekarang aplikasi mobile yang berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para
penulis lepas dan para pembacanya. Berbeda dengan sekitar sepuluh tahun yang lalu,
hanya satu atau dua situs baca yang eksis di kala itu.

Renata masih asyik berjalan sambil melihat cerita-cerita yang bertengger manis di
library-nya. Memilah cerita mana yang belum selesai dibacanya. Ah… ketemu. Cerita
bergenre fantasi dengan bumbu horror dan berbau misteri sepertinya bisa menemani
langkahnya menuju ruang kerjanya.

Belum sempat Renata menyentuh sampul dari fiksi yang berniat untuk dibacanya, tiba-
tiba saja badannya terasa menabrak sesuatu. Ah… bukan sesuatu, lebih tepatnya adalah
seseorang. Renata tak sempat untuk menghindar, dia menabrak sosok itu. Tubuh yang
keras dan kuat. Sosok yang dia tabrak tak bergeming sedikit pun. Tidak bergeser sama
sekali dari tempatnya. Lain halnya dengan tubuh Renata yang langsung oleng. Sial.
Renata kehilangan keseimbangan, sebelum terhuyung dan jatuh terduduk di lantai. Sial
lagi, pantatnya lumayan terasa sakit. Tak ayal, benda yang berada di genggaman telapak
tangan Renata terjatuh ke lantai.

“Sialan!” Renata mendesis tertahan. Beruntunglah dirinya karena gawainya terjatuh


dengan posisi tidak tengkurap. Cepat-cepat diambilnya gawai tersebut dari lantai.
Sambil menepuk-nepuk pantatnya, Renata berusaha untuk bangun.

Dirasakannya sebuah tangan yang menjulur ke arahnya, menawarkan bantuan. Tapi tak
dihiraukannya tangan itu. Akan tetapi, tanpa meminta izin kepada Renata, tangan itu
tiba-tiba saja memegang kedua lengannya untuk membantunya berdiri. Renata masih
sibuk membersihkan celana yang dipakainya dari debu yang menempel ketika dia
terjatuh tadi, sebelum didengarnya sebuah suara yang menyadarkannya jika ternyata
masih ada seseorang di dekatnya.

“Kalau jalan, jangan hanya memakai kaki saja. Mata juga perlu digunakan. Koordinasi
antar beberapa alat indera akan menjauhkan kita dari bahaya yang tak sengaja
menghampiri kita.” Kudengar sebuah suara laki-laki. Baiklah diakuinya, suara itu cukup
terdengar merdu.

Renata mengangkat wajahnya untuk melihat pemilik suara itu dan menemukan wajah
seorang laki-laki yang sedang tersenyum. Tampan. Rambutnya berpotongan pendek
rapi berwarna coklat. Hidungnya mancung. Rahangnya kokoh dan terkesan tegas.
Sekejap Renata menatap kedua bola matanya yang berwarna biru. Dia tercenung. Bola
matanya biru bagaikan hamparan samudra yang mampu menenggelamkan siapa saja
yang sedang menyelam di dalamnya. Tak sadar Renata menahan nafas menatap kedua
bola mata yang sebiru samudra itu.

Renata mengenali raut wajah itu. Dia juga merasa tidak asing dengan bola mata biru itu.
Dia mencoba mengingatnya, namun nihil, belum bisa mengingatnya sama sekali.
Mungkin di lain waktu Renata akan mengingatnya ketika tak berusaha untuk
mengingatnya.

“Kau tidak apa-apa?”

“Tenang saja, aku baik-baik saja. Aku tak akan mati hanya dengan terjatuh seperti tadi.”
Ada apa denganku? Ada apa dengan orang ini? Matanya… Matanya mampu menariknya
hanyut di pusaran gelombangnya. Wajah Renata terasa panas. Dapat dipastikannya
bahwa rona merah tengah bertengger manis di pipinya. Sial. Apa yang sebenarnya
terjadi pada diri Renata.

“Baiklah kalau begitu. Karena kau tak akan mati hanya karena terjatuh seperti tadi, jadi
saya duluan. Permisi.” Dan setelah mengucapkan kata permisi, sang pria berjalan
melalui Renata. Dan tanpa sadar Renata menganggukkan kepalanya, seolah
mempersilahkan dia melaluinya begitu saja. Pandangan Renata masih terpaku pada
sosok itu. Punggungnya semakin menjauh dan kemudian menghilang tertelan belokan
yang tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang.

Renata menghela nafas dan menghembuskannya dengan sedikit kesal. Kakinya kembali
melangkah menuju tempatnya bekerja. Dilangkahkannya kakinya kembali untuk
menuju tempatnya bekerja.
Lanjutannya adalah Renata mulai bekerja sebagai pustakawan dan nanti Kenan
meminjam buku di perpustakaan sehingga dia harus mendaftar dulu sebagai member.
Riset dulu bagaimana caranya untuk mendaftar sebagai member di perpus kota jogja,
apakah bisa online atau harus ke petugasnya. Kenan meminjam buku karena titipan sang
adik. Sang adik memerlukan buku untuk bahan skripsinya.

3. Obrolan Pertama

4. Tawaran

5. Rasa Renata

6. Pengakuan

7. Kesepakatan

8. Makan Malam Keluarga

9. Ramayana

10.Sebuah Tanya

11.Lembaran Rahasia

12.Kepingan Puzzle
13.Mimpi Buruk

14.Sebuah Nama

15.Lembaran Foto Usang

16.Nama Yang Tak Pernah Dia Lupakan

17.Kembalinya Sang Pemilik Nama

18.Sendunya Kota Jogja

19.Tersisih

20.Pilihan

21.Keputusan

22.Pertemuan dengan Dia

23.Obrolan dengan Dia

Diambilkan dari cerita fanfic.


24.Melepaskan

25.Menepi

26.Rasa Kenan

27.Sendiri

28.Rasa yang Terbalas

Gambaran tokoh:

FL: Renata Putri Adiwangsa

Pekerjaan: pustakawan.

Umur: 29 tahun

Karakter: independen, ambisius, keras kepala,

Catatan: sedang diburu target untuk menikah, dikenalkan oleh temannya kepada Kenan,
dan jatuh cinta pada pandang pertama ke Kenan, dan kemudian mendapatkan tawaran
dari Kenan untuk menikah dengannya. Mempunyai konflik di keluarga selalu dibeda-
bedakan dengan adiknya. Dia adalah anak pertama dari wanita yang tidak dicintai oleh
ayahnya.

ML: Kenan Muller Danuarta

Pekerjaan: dosen

Umur: 34 tahun

Karakter:

Tokoh pendukung:

- Nindia Parasita
- Dewanti Adinata

Anda mungkin juga menyukai