Anda di halaman 1dari 89

“Berikan aku segelas Vodka lagi,” kataku kepada bartender berambut nyentrik

yang berdiri di depanku. Mendengar instruksiku dia mengambil gelasku dan menuang
Vodka, lalu menyerahkannya kepadaku untuk kuteguk kembali.

Sial.

Aku tidak pernah mengantisipasi jika aku akan sefrustasi ini. Menghabiskan malam
dengan beberapa gelas Vodka dan berdiam diri di Bar tanpa pasangan. Lagipula,
kenapa juga aku harus melakukan tindakan bodoh itu jika pada akhirnya hanya akan
membuatku merasakan sesak seperti ini?

Aku pasti sudah gila. Bayangkan saja, hari ini aku membuntuti tunanganku sendiri
–Ryan– mengunjungi beberapa Toko Perhiasan, dan tempat-tempat lainnya dan itu
dengan wanita yang dulu juga pernah aku lihat. Wanita manis nan imut, dan ini kali
ke-3 aku melihat mereka jalan berduaan.

Wanita sialan!

Aku membuntuti mereka bagai stalker menjijikkan seakan akulah di sini merupakan
selingkuhan. Tombak runcing seakan dengan kecepatan kilat menembus ulu hatiku,
mendengar ucapan Ryan kepada si penjual saat ia mengatakan cincin itu untuk
pernikahannya dengan menatap wanita (sialan) yang tengah memeluk lengannya.
Seharusnya di sana itu tempatku. Lebih parahnya lagi, Ryan bahkan tidak pernah
mengungkit-ungkit tentang wanita itu kepadaku. Hal itu membuatku semakin
curiga.Tidak tahan menyaksikan adegan itu, lekas aku segera angkat kaki dari sana.

Well, ending-nya bisa kalian saksikan. Kini, aku tengah berada di sini dalam
keadaan mengenaskan.

Gelas kecil di tanganku yang kini isinya tersisa seperempat kugoyang-goyangkan.


Kuteguk kembali cairan berwarna agak bening sisa minumanku itu, saat mendongakkan
kepalaku ke atas, di sudut ruangan aku melihat sepasang kekasih sedang asyik
bercengkrama dengan mesra. Cih, membuat iri saja.

Tapi, tunggu. Dengan sedikit mengumpulkan sisa kesadaranku yang hampir


mengudara, kupicingkan mataku menatap lebih lekat pasangan tadi. Astaga, wanita itu
memasukkan sesuatu ke dalam minuman pasangannya. Seperti obat? Entahlah. Aku tidak
dapat mengetahui wajah sang wanita karena ia tengah membelakangiku. Tapi, aku dapat
melihat dengan jelas rupa pasangannya. Garis wajah pria itu tegas dengan rahang
kokoh membingkai ketampanannya. Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, itu bukanlah
urusanku.Meskipun begitu, aku masih saja melirik pasangan itu. Ketika detik-detik
minuman itu diminum oleh si pria, aku secara tidak sadar menegak salivaku tertahan.
Entah obat apa yang telah dicampurkan pasangannya ke dalam minuman yang kini tengah
diresapnya. Sungguh, pria tampan nan malang.

“Segelas Vodka lagi,” kataku untuk yang kesekian kalinya kepada bartender
berambut merah nyentrik yang berdiri di depanku. Mendengar instruksiku dia hanya
tersenyum samar menggeleng-gelengkan kepala.

“Kau sudah di ambang batas, Nona,” tegurnya sopan tetapi tetap mengikuti
instruksiku menyuguhkan segelas Vodka.

“Aku masih kuat!” sanggahku keras kepala.

Aku Vaesta Karina Wijaya, biasa di panggil Rin. Wanita berpendidikan, anak
orang terpandang pemilik hotel bintang lima terbesar di Jakarta. Apa jadinya jika
di ketahui menghabiskan malam di sini karena patah hati?

Baru kali ke dua aku menyentuh minuman terkutuk ini, terakhir aku pulang dalam
keadaan mabuk berat. Apalagi, sekarang aku memilih untuk memesan Vodka minuman
beralkohol berkadar tinggi. Entah apa reaksi seisi rumah saat melihatku pulang
dalam keadaan sekarang. Mungkin ... aku akan segera dikarantinakan.

“Dimana toiletnya?” tanyaku kepada si bartender nyentrik yang sedari tadi


melayani gelas-gelasku.

“Di sana, Nona–” Ia menunjuk arah dengan tangannya. Aku langsung saja menuju
pintu itu tanpa menunggu lanjutan arahan dari sang bartender.

Setiba di sana, aku langsung merutuki kebodohanku sendiri. Pasalnya setelah


masuk pintu yang di tunjukkan tadi, ternyata aku langsung di suguhkan akan pilihan
dua pintu kiri dan kanan yang salah satunya adalah toilet. Tak ada tulisan petunjuk
tertera di sana. Kubuang jauh-jauh keinginan untuk kembali lagi bertanya, ragu-ragu
aku memasuki pintu yang berada di sebelah kiri.

Dewi batinku seakan menertawakanku dan Dewi fortuna seakan hari ini sedang
berlibur dari tugasnya terhadapku. Apa lagi ini. Pintu lagi, dan ada banyak pula.
Sungguh aku semakin pusing. Aku mencoba membuka pintu mana saja yang sedang tak
terkunci, pada pintu ke lima terbuka dengan mulusnya, segera tanpa berpikir panjang
aku memasukinya. Aku butuh toilet. Segera.

Ruangan yang kumasuki ternyata sebuah kamar di mana pencahayaannya belum


dihidupkan. Ada jendela geser sebesar pintu yang langsung terhubung dengan beranda.
Ruangan ini tidaklah begitu gelap, karena malam ini bulan memancarkan sinar dengan
terangnya, hingga cahaya rembulan dapat menerangi ruangan ini. Aku tidak peduli,
langsung saja, aku memasuki pintu yang terdapat tepat di samping pintu masuk
tersebut. Aku bernapas lega. Syukurlah, ini benar-benar toilet yang aku cari-cari.
Kukeluarkan seluruhnya yang mengendat di lambungku, sedari terasa melonjak
diperutku seakan mendesak ingin keluar melalui kerongkonganku.

Kutatap diriku di cermin. Toilet ini hanya di terangi cahaya rembulan. Aku
tersentak begitu merasakan sesuatu melingkari pinggangku dan hembusan hangat terasa
tepat di telingaku.

“Sudah selesai, Honey.”


Aku terkaget mendengar suara bass nan asing di pendengaranku, dan aku tidak
mengenali pria ini. Kusingkirkan lengannya.

“Maaf, sepertinya aku salah ruangan dan kau salah orang, Tuan,” jelasku lembut
mencoba bersabar.

“C’mon Honey, kau menyuruhku untuk masuk duluan karena ada urusan. Dan aku
telah cukup lama menunggu mu, aku tak tau mengapa badanku seakan panas.”

Kubalikkan badanku. Seketika aku terperangah. Astaga, pria yang kini di


hadapanku adalah sepasang kekasih yang kulihat tadi, dan apa ia kepanasan? Apa
jangan-jangan obat perangsang kah?
Double sial!

Dia sangat terlihat tampan. Ia kini tengah bertelanjang dada dan badannya
sungguh sexy. Alarm-ku seakan berbunyi nyaring, dengan kesadaran yang masih tersisa
aku tahu bahwa aku- harus-segera-meninggalkan-ruangan-ini.

“Maaf aku harus segera pergi, Tuan.” Aku mulai melangkah meninggalkan zona
berbahaya ini. Namun, seakan tubuhku berkhianat tidak dapat dibawa kompromi.
Kepalaku seakan dihantam palu besar dengan kuat aku tak kuasa menahannya, tubuhku
seketika oleng. Pria itu dengan sigap meraihku kedalam dekapan nya, menggendongku
menuju ranjang dan membaringkanku.Melalui pantulan cahaya rembulan samar-samar
dapat kulihat ia dengan intents menatapku dengan mata biru safir-nya. Tatapannya
seakan menghipnotisku untuk juga menatapnya, terlihat keringatnya semakin banyak
bercucuran pria ini pasti sangat tersiksa. Entah niatan apa sehingga pasangannya
melakukan hal rendah seperti ini.

Waktu seakan berhenti berlalu begitu saja, kami masih saling memandang satu
sama lain. Mengapa aku rasanya pernah melihat pria ini sebelumnya, tapi dimana?

“Maaf Honey, aku tak tahan lagi.”

Ranjang ikut berdecit dan entah bagaimana tiba-tiba kini ia telah ada di
atasku. Aku tidak tahu lagi kepalaku sungguh sakit, badanku lemas tak bertenaga.
Semua terjadi begitu saja di sela-sela sadar tidak sadarku.

===oOo===

Matahari mulai muncul malu-malu sedikit menerangi langit. Butuh waktu lama
bagiku untuk mengumpulkan kesadaranku. Walau sedikit memaksa otak ku, entah mengapa
selalu lemot di pagi hari ketika bangun untuk bekerja keras mengingat-ingat apa
saja yang telah terjadi. Hingga, kini aku terjaga di tempat asing dengan seorang
pria asing dalam keadaan polos di balik selimut. Aku merasa badanku sangat sakit
rasanya tulang-tulang dalam tubuhku remuk semua. Terseok-seok aku memaksakan diri
untuk bangkit menyingkirkan lengan kekar yang melingkari pinggangku erat, lalu
berjalan menuju kamar mandi setelah memunguti pakaianku terlebih dahulu. Kubasuh
wajah bantalku seraya menatapi cermin merutuki kebodohanku, kristal bening
membasahi pipi basahku, batinku teriris pilu sangat menyesal dengan kejadian ini.
Andai waktu dapat di ulang kembali.

“Mengapa kau lakukan ini padaku?” tanyaku lirih menatap enggan pria asing yang
kini masih terlelap dengan suara serak sangat pelan sepelan kesunyian ruangan ini.
Dengan kasar aku menghapus air mataku yang terus mengalir tidak mau berhenti.

Secepatnya aku berkemas diri tanpa menoleh ke arah pria asing itu, aku segera
keluar menuju tempat yang kududuki kemarin, tas tanganku tertinggal di sana aku
titipkan kepada bartender berambut nyentrik sebelum ke toilet. Pandanganku mulai
mengabur kembali, walaupun begitu aku masih dapat melihat keadaan sekitar.
Bartender itu masih ada di sana kulihat dia sudah tidak berpakaian seperti kemarin,
mungkin dia akan pulang.

Pandangan kami bertemu ia berjalan menghampiriku dengan tas tangan milikku di


tangan kanannya. “Aku sudah menunggu kedatanganmu dari kemarin Nona, tapi kau tidak
muncul kembali setelah permisi ke toilet. Ini tasmu.” Ia memberikan tas tangan
hitamku dengan senyum ramah.

“Terima kasih.” Tanganku segera membuka tas, mengambil ponselku. Mataku


membulat bak burung hantu mendapati banyak pesan dan miscall dari rumah, juga dari
Ryan. Kubuka salah satunya berupa pesan suara dari tunanganku yang secara tidak
langsung menyebabkan aku mengalami kejadian memprihatinkan ini.

“Rin ... kamu ke mana aja? Aku mencarimu dari tadi jika kamu telah menerima
pesanku cepat hubungi aku kembali .... Aku sangat mencemaskan mu.”

Badanku serasa lemas semua tanpa sadar ponsel dari tanganku telah terlepas,
beruntung bartender itu dengan gesit menangkap ponselku sebelum mendarat di lantai.

“Kau baik-baik saja, Nona?” Bartender itu menatapku cemas. Aku menganggukkan
kepala dengan lemah. Setelah berpamitan dengan bartender yang baru kuketahui
bernama Cristian, aku mulai berjalan dengan tidak semangat menuju basement tempat
Ferrari merahku terparkir. Langkahku semakin pelan saat di depan pintu masuk
tepatnya di sudut ruangan aku melihat seorang wanita tengah berbincang dengan
seorang bartender juga, walau aku tidak melihat sosoknya secara jelas, tapi dari
pakaian dan dandanannya aku sangat yakin dia adalah pasangan pria asing yang telah
meniduriku. Langkahku sangat pelan, sepelan siput hingga aku sedikit banyak
mendengar apa perbincangan mereka.

Mataku menatap garang wanita licik itu. Rubah betina, medusa, atau apapun itu
perumpamaan sosok picik sangat pas melekat pada dirinya. Aku mendesis marah, sangat
marah begitu mendengar ia memasukkan obat perangsang pada kekasihnya karena sang
kekasih atau lebih tepatnya pria asing itu tidak juga membawa hubungan mereka ke
jenjang yang lebih serius. Alasannya karena keluarga dari pria itu tidak merestui
hubungan mereka dan ternyata pria itu telah memutuskannya. Segala godaan telah
rubah betina itu lancarkan kepada sang mantan kekasih, nyatanya pria itu sangat
lurus menganut budaya timur terkesan kolot bagi si rubah. Dengan mudahnya berkata
ia harus hamil supaya pria itu mau kembali ke sisinya.

Astaga, Sumpah demi Tuhan. Seharusnya, rubah itu bersyukur mendapatkan pasangan
seperti itu! Pantas saja, keluarga pria itu tidak merestui hubungan mereka. Dasar
rubah sialan.

Tanganku mengepal dengan keras sampai kuku jariku yang pendek memutih. Rasanya
aku ingin menjambak rambut hitam legam wanita itu, tetapi aku urungkan. Aku
berusaha tenang bukan hanya rubah itu yang ada di sini, menyerangnya sama saja
dengan mengubar aibku. Bukankah api tidak akan padam jika di beri api, hanya dengan
air dingin api akan cepat padam. Untuk mengantisipasi hal-hal di luar kendali akan
terjadi, dengan cepat seraya menahan perih di bagian organ vitalku aku berjalan
menuju basement.

Di dalam mobil aku menangis sekeras-kerasnya. Kembali merutuki apa yang telah
terjadi walau aku tau semuanya tidak akan bisa di berubah apalagi. Sebaiknya aku
tidak melarikan diri ke Bar. Tentu saja, hal yang menimpaku bisa saja terjadi
karena di sana segala perbuatan dosa banyak terjadi. Seharusnya aku bisa untuk
berpikir lebih jernih, segera menemui Ryan untuk menyelesaikan segala
kesalahpahaman. Sungguh bodohnya diriku. Lantas apa gunanya hubunganku dan Ryan
yang telah terjalin sembilan tahun lamanya. Semoga hal-hal buruk tidak akan
terjadi.Dengan tangan gemetar aku mulai menjalankan Ferrari-ku, membelah jalanan
kota Jakarta yang sedikit lengang karena masih sangat subuh untuk orang-orang
beraktivitas dengan kendaraan beroda.

Akan tetapi, aku tidak tau bahwa kejadian yang menimpa ku hari ini adalah awal
dari segalanya. Sebuah dosa yang akan mengantarku kepada pahit manisnya kehidupan.
Tergeser jauh dari jalur-jalur telah tersusun dalam catatan perencanaan ku ke
depan, sesuatu yang tidak pernah aku sangka-sangka akan begini jadinya.

Ini awal dari segalanya, kisahku ini baru saja dimulai....


Ini gila! Atau aku yang mulai gila.

Hari ini adalah hari yang berbahagia bagi semua orang juga termasuk diriku,
tetapi setelah aku tidak sengaja melihatnya kebahagiaan itu sirna. Seketika bayang-
bayang kejadian dikala itu terlintas begitu saja, membayang-bayangi ingatanku. Aku
melihat sosoknya diantara kerumunan orang yang tengah menghadiri resepsi pernikahan
adikku, Rean. Karena terlampau sibuk menyiapkan pernikahan Rean dan sahabatku–Naya–
yang kini tengah merangkap menjadi adik iparku. Persiapan acara mereka membuatku
hampir melupakan kejadian dua bulan lalu di Bar sialan itu.

Bagaimana paniknya aku saat terjaga di pagi hari mendapati lengan kekar memeluk
erat pinggangku. Lebih mengagetkannya lagi, aku tidak mengenali siapa pria sialan
yang telah merenggut kesucianku. Lebih bodohnya lagi, aku segera hengkang tanpa
membangunkannya ataupun meminta pertanggung jawaban. Hanya satu kata 'bodoh' yang
terlintas di benakku.

Dewi batinku menyemangatiku untuk sesegera mungkin melesat mendekati sosok


tegap berjas abu-abu yang tengah berbincang hangat dengan kedua mempelai. Aku ingin
mendekatinya guna menumpahkan setengah gelas orange jus sisa minumku, atau mungkin
menjambak rambut hitam legamnya. Entah mengapa rasanya aku senang merusak wajah
tampannya. Tanpa sadar aku terkekeh membayangkan jika itu benar terjadi. Eh, apa
tadi aku memujinya? Lupakan.

“Kamu kenapa, Rin?”


Sontak khayalanku terpecah saat mendengar suara lembut serta sentuhan di bahuku.
Ternyata Kakakku–Della– juga ada Shella yang sudah kuanggap sebagai adik, dan
Dennis teman sepermainan Shella.

“Ng ... enggak kok, Kak. Aku nggak papa kok,” kilahku tergagap.
“Beneran?” Kak Della mencondongkan tubuhnya menatap wajahku dengan intens,
mencari kebohongan dari mataku.
Aku semakin gugup jika seperti ini. “I ... iya, Kak....”
“Eh, Rin, lo nggak sama Ryan?” Dennis menatapku heran dengan alis berkerut
dalam.

“Tadi iya, tapi baru sebentar ada di sini. Eh, udah izin pergi lagi. Katanya
ada pekerjaan mendesak.” Aku menjelaskan dengan hati gondok mengingat sikap Ryan
tadi. Memang tunanganku itu sikapnya berbeda akhir-akhir ini.

“Owh, yaa maklumlah pak dokter kalau ada pasien mau gimana lagi.”
Aku hanya tersenyum tipis menanggapi ucapan Dennis. “Kalian kok baru kelihatan?
Emang ke mana aja di pertengahan acara ngilang gitu....” Aku berusaha mengalihkan
pembicaraan.

Dennis dan Shella saling bertukar pandang. “Kami melakukan sebuah misi tadi,
Kak,” ujar Shella mewakili menjawab pertanyaanku.

“Kalian nggak ngelakuin hal aneh-aneh, ‘kan?” tanyaku memicing menatap curiga
pasangan debat kusir di hadapanku.

“Yaa nggak lah, Kak! Kami melakukan ini atas dasar kepentingan bersama untuk
kesejahteraan bersama ... ya nggak, Dennis?”
Dennis tengah sibuk bermain game dengan Smartphone-nya mengangguk setuju. Ini
semakin membuatku curiga, jarang-jarang pasangan debat kusir ini akur. Terlebih
dalam melakukan suatu kegiatan, bersekongkol lebih tepatnya. Pasti ada apa-apanya
atau ada apanya.

“Emang misi apa?” aku kembali bertanya, menuntut penjelasan lebih dari mereka.
Namun, kali ini bukan jawaban yang kudapatkan, tetapi kekehan dari pasangan debat
kusir dan Kak Della yang sedari tadi menjadi pendengar pun ikut-ikutan terkekeh.
Sekarang, aku yakin mereka telah melakukan suatu rencana gila entah apa, dan siapa
korbannya.

Aku mendengus kesal, kekesalanku meningkat melihat mereka bertiga kali ini
mereka sibuk berbisik-bisik. Ekor mataku kembali terarah ke arah pria itu tengah
berada, tidak sengaja seseorang waitress menyenggolnya hingga minuman dalam gelas
yang tengah ia minum tumpah mengenai jasnya. Haha, rasakan! Sungguh, ternyata Tuhan
maha adil telah mengirimkan seseorang untuk menggantikan posisiku guna menjalankan
niatan muliaku tadi.

“Jangan bilang kamu tertarik dengan pria itu.”


Jantungku terpacu kencang, sangat terkejut. Untung saja aku tidak mempunyai riwayat
penyakit jantung. Aku menoleh ke belakang, ternyata itu suara Kak Della. Entah
sejak kapan ia memperhatikan arah pandang ku. Matanya menyipit menatapku penuh
curiga. “Hah, aku tertarik dengan pria itu? Tentu saja tidak!” Aku mengibas-
ngibaskan tanganku seraya tertawa garing.

Kak Della sepertinya tidak percaya dengan ucapanku. Raut wajahnya telah
menampakkan kelegaan, tapi aku rasa ia masih tidak percaya akan jawabanku.
“Syukurlah, Kakak harap kamu benar-benar tidak tertarik dengannya apalagi sampai
kamu jatuh hati. Ingat kamu udah punya tunangan, Ryan. Ingat itu. Kakak nggak ingin
hal-hal diluar pemikiran terjadi, walau ada kemungkinan kamu menyembunyikan
sesuatu. Tingkah mu sangat aneh akhir-akhir ini, semenjak kamu pulang pagi tanpa
memberi kabar terlebih dahulu.”

“Sungguh Kak aku tidak tertarik dengannya! Aku juga ingat, sangat ingat malah
bahwa aku memiliki tunangan .... ” Aku tertunduk lesu. “ Entah mungkin tunanganku
yang lupa denganku.”

Kak Della menatapku sedih, mengelus-elus pundakku pelan. “Kakak nggak tau saat
ini apa yang terjadi diantara kalian. Tapi, kamu harus percaya terhadap Ryan. Apa
gunanya hubungan kalian yang telah terjalin bertahun-tahun lamanya jika tidak ada
kepercayaan di dalamnya. Ingat Rin kepercayaan dalam suatu hubungan itu sangatlah
penting.”

“Apa Kakak membela Ryan?” tanyaku sedikit curiga, mengenang dulu mereka sama-
sama memiliki rasa yang sama. Aku menatap Kak Della, ia tampak tercengang dengan
reaksiku hingga tidak menjawab pertanyaanku. Sebenarnya aku juga heran dengan
diriku sendiri, belakangan ini aku semakin sensitif, sangat mudah tersulut emosi.
Tersadar tidak seharusnya aku bersikap tidak sopan terhadap kakakku sendiri
akhirnya aku mengalah, mengangguk lemah dan mencomot asal kue-kue kecil di atas
meja.

Bagaimana bisa aku percaya? Aku bahkan telah melihat Ryan jalan dengan wanita
lain, bukan hanya sekali dua kali saja.

Pandanganku teralihkan pada kue-kue kecil dengan hiasan cantik yang dibawa Kak
Della. Kue-kue itu juga terlihat sangat menggiurkan. Langsung saja aku mencomot kue
itu dengan tangan kananku yang kosong. Namun, saat aku ingin memasukkan kue itu
dalam mulutku seketika tercium bau menyengat dari kue itu. Perutku berputar dan
terasa naik. Oh tidak, aku ingin muntah. Kutaruh kembali kue-kue itu dan segera
menutup mulut dengan kedua tanganku.

“Kakak kenapa? Sakit? Demam? Masuk angin?” Shella bertanya padaku dengan
pertanyaan beruntun. Memang, Shella orang yang mudah panikan bahkan saking paniknya
menjadi ceroboh.

Mereka –Shella, Kak Della, Dennis– menatapku cemas. Kugelengkan kepalaku dan
mengisyaratkan pada mereka untuk permisi terlebih dahulu. Kak Della mengangguk
sebagai jawaban walau kecemasan masih terpancar.

===oOo===

Aku berkumur-kumur setelah mengeluarkan isi perutku yang melonjak memaksa


keluar, tapi anehnya saat aku keluarkan tidak keluar apapun. Aku menatap pantulan
wajahku melalui cermin di depan wastafel. Astaga, wajahku sangat mengerikan.
Bibirku pucat, mataku seperti panda. Tanpa berpikir panjang aku mencuci wajahku dan
melapnya dengan tisu, kemudian setelah itu, mengaplikasikan wajahku dengan make-up
menyamarkan wajah lelah dan bibir pucat.

“Apa mungkin aku hamil?” tanyaku berguman kepada diriku sendiri.


“Kurasa kau hamil, Nak.”
Pernyataan itu terdengar jelas. Memang, saat ini di Toilet hanya ada aku
seorang. Tapi hal itu hanya dalam kacamata manusia biasa, bagiku tidak ada yang
namanya ruangan kosong tanpa penghuni. Ya, aku bisa melihat makhluk tak kasat mata.
Aku mencari sumber suara, kulihat di ujung toilet ada wanita paruh baya, mungkin
beliau penghuni toilet ini. Aku menatap sosok wanita paruh baya itu dengan alis
berkerut. Kembali aku membuka tasku, mengeluarkan benda kecil pipih yang biasa di
sebut Test pack. Menimang-nimang dengan ragu, takut akan hasil yang akan aku
dapatkan setelah mencobanya
.
Takut-takut aku mencoba langkah demi langkah menggunakan alat tes kehamilan
dengan ditemani ibu penghuni toilet yang sebenarnya membuatku risih. Setelah
menunggu beberapa menit, benda itu langsung saja aku simpan ke dalam tas kembali
tanpa melihat hasilnya.

“Tapi, nggak mungkinkan sekali tendang langsung gol?” gumanku asal. Membuang
jauh-jauh pikiran ngelanturku, aku segera kembali ke ruang resepsi setelah undur
diri pada sosok samar-samar terlihat di pengelihatanku

Entah aku sedang sial atau apa. Ketika aku keluar di depan pintu toilet wanita
aku berpapasan dengan pria itu, sepertinya ia habis dari toilet juga terlihat dari
jasnya tampak sedikit basah di bagian dada. Tubuhku menegang. Kami sama-sama saling
menatap, sama-sama mematung untuk beberapa saat. Ku rasakan ada pantulan kecemasan,
kerinduan dan kelegaan saat pria itu menatap ku atau itu hanya perasaanku saja? Aku
yakin pria itu tidak mengingatku, mengenang ia melakukannya secara tidak sadar.
Sesungguhnya aku juga tidak akan mengenal sosok pria itu jika tidak melihat
parasnya sebelum pergi. Oleh karena itu, kuputuskan untuk segera pergi terlebih
dahulu.

“Tunggu!”

Tangannya mencekal pergelangan tangan kiriku, bagai ada sedikit sengatan


kurasakan ketika kulit hangatnya menyentuh langsung kulitku. Aku tidak menoleh ke
belakang tetap menghadap ke depan.

“Mengapa kamu pergi begitu saja? Apa kamu tau saya sangat panik begitu
mendapati ketika saya terjaga kamu telah pergi tanpa memberi tau saya terlebih
dahulu. Saya hampir gila sebulan ini mencarimu.”

Ada nada frustrasi terasa olehku, aku memilih untuk mengacuhkannya dan berusaha
melepaskan cengkeraman tangannya. “Lepaskan! Aku mau pergi.”

“Tidak, saya tidak akan membiarkan kamu pergi lagi.”

“Jadi kau maunya apa?” geramku, pria ini sungguh keras kepala.

“Kita perlu bicara.”

“Tidak sekarang.”

“Lalu kapan?” tanyanya tidak sabaran.

Aku menghela napas kasar, lalu berpikir sejenak, “Besok jam 4 sore. Di mana
tempatnya, terserah kau saja.”

“Baiklah, saya tunggu besok di Rose cafe.”

Tubuhku membeku begitu mendengar sebuah tempat yang telah lama aku hindari.
“Oke,” jawabku setelah menetralkan perasaanku.
Cengkraman tangannya mulai mengendur dan saat itu aku gunakan untuk meloloskan
pergelangan tanganku dari cengkeramannya. Tanpa pamit apalagi menoleh aku segera
pergi. Aku tidak pernah menduga pria itu akan mengingatku. Bukankah orang yang
terpengaruh obat itu biasanya di film-film langganan Mami di mana sang aktor tidak
akan mengingat apa-apa. Ini aneh, sangat aneh. Entah apa yang akan dia bicarakan
denganku besok.

“Kenapa lama? Apa sebaiknya kita ke dokter saja kamu sejak kemarin mual-mual
terus.”
Aku tersadar dari lamunanku, menatap sekitar tidak sadar kalau aku sudah berada di
aula resepsi. Terlihat Kak Della dan pasangat debat kusir masih diam menanti
jawabanku seraya menatapku cemas. “Nggak Kak, mungkin aku hanya kelelahan aja. Kak,
aku masuk kamar dulu ya. Kepalaku sedikit pusing.”

“Kakak yakin baik-baik saja? Kakak yakin nggak mau ke dokter? Kakak pusing
nanti kalau pingsan gimana?” Shella bertanya dengan kadar kepanikan yang lebih
tinggi.

“Iya Shel, Kakak hanya kecapean aja kok,” jawabku menenangkan dirinya. Shella
hampir saja jatuh mencium lantai karena kecerobohannya mendekatiku tanpa melihat
bahwa ada anak kecil di depannya. Untung saja, Dennis orang yang cepat tangkap dia
meraih Shella sebelum tubuhnya bertabrakan dengan anak kecil itu.

Aku tersenyum kecil mendapati perhatian dari mereka, orang-orang yang


kusayangi. Memang benar keluarga adalah segalanya. Di saat suka maupun duka
keluarga akan menjadi orang yang akan selalu ada untuk kita, meskipun terkadang
kita bersikap acuh kepada mereka atau sebaliknya.

Dennis terkekeh, ia menatapku dengan sorot jenaka miliknya. “Ya pastilah


kelelahan kalau nggak kelelahan berarti lo hamil Rin.”

Seketika tubuhku menegang mendengar penuturan asal Dennis mungkin ia tidak


sadar bahwa ucapan asal darinya bisa jadi mengenai sasaran. Dia memang orang yang
jahil tapi tidak sejahil Kak Della. hal itu membuatku tidak waspada ketika berada
di dekatnya. Sekarang aku sadar diantara semua Dennis sangat berbahaya. Dia adalah
raja game berjiwa Intel.

“Dendeng kalau ngomong jangan asal! Nggak mungkin juga Kak Rin sampai gitu.
Mengenang hubungan Kak Rin dan Ryan sehat-sehat aja.” Shella menatap Dennis garang,
berusaha membelaku.

“Yee kan perumpamaan lalat! Lagian gue juga tau kalau hubungan mereka itu
sehat, lebih tepatnya aneh. Pacaran aja nonton film horor mulu. Miris gue liatnya,”
ujar Dennis dengan tampang prihatin setengah mengejek.

“Deng, lo jaga mulut tuh! Bilang aja lo takut waktu SD lo ngompol gara-gara
denger cerita hantu.”

“Sialan lo lat. Itu kan lo yang basahin kursi gue, mana gue tau kalau kursi gue
basah!”

Nah, apa aku bilang mereka mulai lagi berdebat. Membuat pusing ku semakin
bertambah saja. Seperti Tom dan Jerry saling mengusili kadang saling menyakiti satu
sama lain meskipun begitu, mereka tidak bisa hidup tanpa satu sama lain.

“Yakin? Kalau gitu biar Kakak antar kamu.”

Aku mengangguk lemah. Daripada dipanggil dokter kemari yang ada masalah makin
runyam ada baiknya aku segera menyingkir dari sini. Setelah Kak Della mengantar ku
ke lantai atas bersebelahan dengan ruangannya, aku menyuruhnya untuk kembali ke
aula tempat acara resepsi tadi, meninggalkan aku sendirian saja untuk beristirahat.
Kami sekeluarga dan juga keluarga Naya memang berencana memakai beberapa ruangan
lantai atas hotel keluarga kami, Word hotel. Kami menginap semalam kemudian besok
siang kembali pulang ke rumah sekalian mengantar Rean dan Naya ke bandara, pasangan
itu akan berbulan madu ke Korea-Jepang selama seminggu.

Kami tiga bersaudara, aku anak tengah. Sebenarnya anak pertama itu adalah aku
karena Kak Della adalah anak adopsi. Tetapi, walau begitu diantara kami tidak ada
perbedaan kasih sayang, kami saling menyayangi satu sama lain.

Terlebih ... adik laki-laki ku itu sangat hebat melangkahi kakak-kakaknya


menikah duluan. Di usianya yang 25 ia sudah menikah. Padahal, Kak Della saja sudah
28 tahun dan menjomblo selama 28 tahun. Ya, Kak Della semasa hidupnya tidak pernah
menjalin hubungan dengan pria mana pun bahkan dulu sebelum bertemu denganku, Ryan
sangat gencar mengejarnya dan pria lain banyak yang mendekati namun semua di tolak.
Papi dan Mami telah sering memberikan album-album pria-pria mapan dari yang
berparas biasa sampai di atas rata-rata. sayangnya di abaikan kak Della begitu
saja. Kencan buta juga selalu gatot alias gagal total.

Setelah menutup pintu aku segera merebahkan diriku ke ranjang rasanya sangat
nyaman.

“Pria itu... mata birunya menenangkan, mengingatkan aku terhadap seseorang.”

Mataku sedikit terpejam tiba-tiba aku teringat tempat janjian besok yang di
ucapkan pria itu. “Rose Café ... kira-kira bagaimana kabar ibu itu sekarang?”

Mungkin karena terlalu banyak pikiran, tanpa sadar aku terlelap. Dalam mimpi
aku melihat sosok anak perempuan kecil dengan baju kumal tengah bermain piano di
sebuah kafe. Ia bermain dengan riang seraya menatap wanita berparas asia tetapi
memiliki mata berwarna biru yang tengah membawa baki dengan senyuman, dan wanita
itu juga tersenyum kepada anak itu.
Kami –Papi, Mami, Ayah, Nayu, Kak Della– tengah berada di Bandara Soekarno
Hatta, mengantar kepergian pengantin baru untuk berbulan madu. Kulihat Mami sudah
bersimbah air mata, dan Papi menenangkan Mami seraya memberikan petuah-petuah
kepada Rean. Di sisi lain, Nayu –kembaran Naya– dan Ayah sesekali menggoda Naya
yang tampak malu-malu.

Aku menarik-narik lengan baju Kak Della, membuat perhatiannya tertuju padaku.
“Kasihan Mami ya, Kak. Sedih gitu, baru kumpul lagi malah udah di tinggal sama
Rean,” kataku masih menatap Mami. Rasanya aku juga ingin menangis hanya karena
melihat air mata Mami.

Kak Della menggelengkan kepala, memberiku tisu lalu mendekatiku, ia berbisik


hingga napasnya terasa seperti menyentuh telingaku. “Kamu jangan percaya ... itu
air mata palsu. Tuh, lihat.”

Aku mengikuti arah yang ditunjuk kak Della, mendapati botol kecil tetes mata
ditangan kiri Mami. Inilah mengapa aku tidak menyukai drama terutama adengan
sedihnya. Mami bahkan sampai terbawa-bawa. “Wahh, ternyata dampak film Uttran
sangat cetar, ya.”

“Tau dari mana emang kamu ada nonton?” tanya Kak Della menatapku dengan
tatapan mengejek. “Perasaan tontonanmu nggak jauh-jauh bertemakan horor, saat
kencan pun kamu malah milih nonton film horor di bandingkan roman.”

Aku menggaruk kepalaku. “Nggak, sih. Tapi, aku merasa film itu ... Nenek-nya
Tapasya mulu, lagian adegannya kebanyakan mewek. Yaa, bisa aja Mami dapat
pencerahan dari sana.”

“Nggak ah, rasanya Mami ketularan Drama Korea yang baru dibeli, atau FTV
langganan Mami. Nah, itu Kakak yakin baget! Eh, Mami ke sini....”

“Kalian bisik-bisik apa, sih? Kok Mami nggak diikutin, Mami juga pangen
ikutan bergosip.” Mami berdecak pinggang menatap kami dengan mulut yang sedikit
dimonyongkan.

“Nggak, bukan hal penting kok, Ma,” jawabku seraya terkekeh melihat tingkah
Mami yang aneh bin ajaib.

Mendengar jawabanku Mami mengangguk, lalu menatap Kak Della dengan mata
berbinar, sedikit mencondongkan tubuhnya mendekati wajah Kak Della. “Del, gimana?
Sukses nggak, tuh?” tanya mami dengan suara pelan.

“Pastinya Ma. Kita sukses besar! Tadi aku sempat lihat di leher Naya ada
bekas tanda dari Rean.” Kak Della agak mengangkat kerah bajunya, membanggakan diri
dan tangannya yang sedang nganggur menunjuk lehernya sendiri.

“Wah, bagus tuh berarti bentar lagi Mami bakalan cepat dapat cucu!”

Mami melompat-lompat girang, aku tidak tau apa maksud pembicaraan Mami dan
Kak Della hingga mereka terkikik geli, sekilas aku merasa seperti melihat tanduk
dan ekor iblis. Pasti mereka telah melakukan rencana jahat bercampur usil, tapi
mendekati gila!

“Jangan lupa oleh-olehnya kami minta keponakan, yaa ...,” sorakku ketika
melihat Rean dan Naya telah berjalan meninggalkan kami. Rean mengacungkan kedua
jempolnya. Sedangkan Naya memukul pelan lengan Rean dengan wajah merona malu. Aku
tertawa melihat interaksi antara Naya dan Rean. Lucunya pasangan itu, mungkin
karena mereka pengantin baru jadinya malu-malu meong.

Tawaku terhenti ketika aku menoleh ke belakang. Aku mendapati Papi, Mami,
Ayah, dan Nayu telah memegang kopor masing-masing. Padahal tadi mereka semua
bertangan kosong dan rasanya tidak membawa kaca mata hitam. Entah di mana kopor-
kopor dan kaca mata itu disembunyikan tadi. “Kalian mau ke mana? Liburan kok nggak
ngajak-ngajak,” ucapku dengan penuh kebingungan dan setengah merajuk karena aku
tidak tau apa-apa mengenai rencana ini.

“Papi ikutan Mami aja, Rin. Oh iya, tiga hari lagi Papi akan usahakan untuk
pulang ada rapat penting hari itu. Jadi, Kamu urus sisanya, ya,” pinta Papi
berkedip jahil. Bilang aja kalau mau liburan dengan Mami tanpa aku dan
sekretarisnya mengganggu karena urusan pekerjaan.

“Ayo cepat nanti kita ketinggalan jejak mereka. Della, Rin jaga rumah
ya ....” Mami melangkah cepat diiringi oleh Papi, Ayah dan Nayu.

Aku dan Kak Della hanya memandangi kepergian mereka. Pandangan kami masih
menatap lurus mengamati tindakan keluargaku, mereka berjalan memasuki rute yang
sama dengan Naya dan Rean tadi. Sebuah pemikiran melintas di benakku. “Kak, jangan
bilang kalau Mami beserta rombongan bakalan ngikutin Rean dan Naya.”

“Emang iya.”

“What? Astaga mami apa nggak ingat umur. Padahal, Rean itu udah besar masih
aja diikutin pas Rean kencan, melamar di depan sekolah bahkan, apapun kegiatan
mereka berdua pasti akan ada foto diam-diam hasil jepretan mami. Astaga, astaga,
jangan bilang kalau mami juga ikut andil dalam malam pertama mereka.”

Kak Della menoel-noel pipiku. “Santai aja napa, Rin. Kan, nggak ada ruginya
juga. Kamu sih, galau mulu jadi nggak bisa di ajak, sampai Shella dan Dennis juga
turun tangan. Ini demi 'kebaikan' karena kami membantu mereka menjalankan proses
yang memang seharusnya terjadi, tapi mengenang pasangan itu malu-malu ... yah
gimana, terpaksa kami turun tangan.”

Aku memutar bola mataku malas. Terpaksa dari mana coba.

“Jangan bilang Mami ngasih obat perangsang di minuman mereka.”


“Nggak kok.”
“Syukurlah...”

“Maksudnya itu ... Mami yang ngasih obat perangsangnya sama Kakak terus,
Kakak kasih ke Shella dan Dennis. Nah, mereka yang ngasih ke dalam minuman yang
selalu di minum Naya sebelum tidur, makanya mereka yang ditugaskan membeli bahan
makanan untuk kulkas hotel ruangan pengantin baru itu.”

Aku menggeleng-gelengkan kepala mendengar penuturan Kak Della, tidak habis


pikir dengan ide gila Mami parahnya semua dengan mudah menuruti. Terkadang aku
merasa kedudukan Mami-lah yang paling tinggi di rumah. Papi bahkan hampir tidak
pernah menolak ide-ide gila Mami. Namun, aku merasa sedikit kasihan terhadap
pasangan itu, pasti nanti akan ada banyak foto tak layak cetak. Rasanya aku tak
sabar melihat hasil karya Mami.

===oOo===

Aku datang satu jam lebih cepat dari waktu yang telah di janjikan. Kupandangi
bangunan di depanku yang bertuliskan Rose Café dilengkapi simbol bunga mawar di
tepinya. Saat aku memasuki kafe ini, rasanya ... telah banyak perubahan jika
dibandingkan dengan 15 tahun yang lalu. Seperti misalnya ruangan ini, dulu tidak
sebesar sekarang. Namun, hanya satu yang tidak berubah. Piano yang ada di pojok
kafe, piano itu masih sama seperti dulu tidak ada perubahan sedikitpun. Kakiku
melangkah mendekati piano bewarna putih kusam itu, tetapi baru maju beberapa
langkah aku mengurungkan niatku ketika melihat sosok anak laki-laki imut tengah
duduk di atasnya.

Valdo.

Bocah jahil penunggu piano di kafe ini. Dia akan menghalangi siapa saja yang
tidak disukainya memainkan piano itu, hanya orang-orang tertentu dapat
memainkannya. Aku termasuk di dalam daftar orang tertentu itu. Betapa rindunya aku
dengan sosok yang selalu mendengarkan alunan piano yang dulu aku mainkan di saat
kecil.

Aku tercengang ketika pandanganku dengan bocah itu bertemu, segera aku
memalingkan wajahku, memilih duduk dan memanggil pelayan berpura-pura tidak
melihatnya kurasa aman. Aku tidak ingin identitasku dulu ketahuan. Bagaimanapun
masa-masa itu adalah masa terpahit dalam hidupku. Aku membalikkan tubuhku ingin
kembali melihat bocah itu dengan pura-pura melihat hiasan dinding di dekat piano.
Aku tidak menyangka bahwa ternyata bocah itu masih melihatku. Segala kegundahan
serta perasaan membuncah di dalam relung jiwa aku abaikan, tak ingin membuka luka
lama. Kulirik arlojiku seraya sedikit menegak teh hangat pesananku secara perlahan.
Sekarang sudah jam 03.30 PM. Tiba-tiba kurasakan sentuhan dibahuku.

“Saya tidak menduga bahwa kamu sudah datang. Padahal, saya berencana untuk
datang lebih dahulu.”
“Aku lagi bosan. Makanya datang lebih dulu!”

“Baiklah, mari ikuti saya.”

Dengan sedikit merengut aku mengikuti pria itu, ia membawaku ke dalam ruangan
bertuliskan private room. Ia mempersilahkanku untuk masuk terlebih dahulu dengan
isyarat tangannya. Jujur, aku sedikit tersanjung mengenang selama ini tak ada pria
berperilaku seperti ini terhadapku. Bahkan, tunanganku sekalipun, karena Ryan
bukanlah tipe pria romantis.

Berusaha bersikap acuh, aku lansung masuk tanpa melihat dirinya. “Jadi, apa
yang ingin kau bicarakan?” tanyaku langsung tidak ingin bertele-tele.

“Kamu wanita yang sangat sopan. Saya baru akan menutup pintu sama sekali belum
duduk langsung disuguhi pertanyaan.”

Perkataannya itu terdengar seperti sindiran bagiku. Aku tidak memperdulikan


perkataannya, lebih memilih diam menunggunya duduk. Kembali aku melontarkan
pertanyaan setelah pria itu duduk, “Jadi, apa yang ingin dibicarakan?”

“Tidakkah kita seharusnya berkenalan dulu? Atau memesan makanan terlebih


dahulu?”

Aku mendengus kesal, pria ini sangat cerewet ternyata. “Nggak perlu! Cepat
katakan saja apa yang ingin anda bicarakan!” suaraku naik satu oktaf tetapi, tetap
menjaga kesopanan bicaraku.

“Menikahlah denganku.”
“APAAAA?”

Mataku melebar seakan ingin mengeluarkan isinya, aku menatap horor pria yang
berada di depanku ini. Ia tampak mengambil sesuatu dibalik jas yang ternyata sebuah
kotak kecil lalu membuka kotak itu, dan menyodorkan kotak kecil itu padaku.
Sungguh, pria ini gila. Eh, tidak setengah gila. Bagaimana bisa ia melamar seorang
wanita tanpa ia dan bahkan aku mengetahui identitas masing-masing. Aku yakin ia tak
mengetahui namaku begitu pula diriku.

Sedikit berdeham. “Apa katamu?” tanyaku sekali lagi memastikan pendengaranku,


mungkin saja aku salah dengar.

“Menikahlah denganku,” ulangnya lagi secara tegas, tak ada sedikitpun keraguan
di matanya. Aku menatapnya semakin horor meskipun aku sedikit terpukau dengan
cincin berukiran bunga mawar kecil yang dilengkapi batu permata berwarna merah di
tengahnya. Sialnya, aku sangat menyukai cincin itu. Ah, double sial salah fokus.

“Nikah?? Kau gila! Kau pikir kehidupan rumah tangga itu gampang apa?!” Kali
ini suaraku lebih meninggi, tak ada lagi kesopanan emosiku membuncah kepermukaan.

Ia menatapku sejenak masih tenang tidak ikut-ikutan tersulut emosi sepertiku.


“Saya tau. Kehidupan rumah tangga itu tidaklah mudah, dimana sepasang manusia yang
berbeda di satukan dalam sebuah ikatan suci yang di anjurkan Tuhan, perbedaan dari
dua insan yang terikat itu saling melengkapi kekosongan satu sama lain, dalam
rangkaian serta perjalanan yang tidaklah mudah. Namun, tak ada salahnya bila kita
mencoba, bukankah segalanya butuh proses?” tanyanya meminta persetujuan ku. Ia
mengatakan untaian kata panjang itu dengan senyuman hangat. Bukannya munafik aku
akui, senyumannya menawan tetapi hal itu tidak dapat melunturkan emosiku.

“Proses apa?? kita bahkan tak saling mengenal apalagi mencintai. Kau bisa
mengajak wanita lain, Tuan!” bentakku masih melotot menatapnya tambah garang.

“Ini bukan hanya masalah mencintai atau apa. Aku melakukan ini sebagai
pertanggung jawabanku. Kita telah melakukan hal di luar batas, melakukannya tanpa
ikatan.”

“Tapi, kita melakukannya tanpa sadar!” aku mendesis kesal, “Lagipula aku telah
memiliki tunangan, kau simpan saja rasa tanggung jawabmu itu untuk wanita lain! Aku
tak butuh tanggung jawabmu!”

Pria itu tampak terkejut dengan ucapanku, entah karena apa aku tidak peduli.
Tatapan menusuk kuberikan padanya, sedangkan ia masih menatapku dengan senyuman.
Aku merasa senyuman itu terlihat dipaksakan, sangat kontras dengan senyumannya tadi
dan ada guratan kepedihan terlihat dari sorotan matanya. Aku tak peduli ada apa
dengannya, segera beranjak dari tempat dudukku dan melangkah menuju pintu.

“Bagaimana jika kamu hamil?”


Pertanyaan yang ia lontarkan sangat menohokku, bagai batu besar menahan langkahku
untuk meninggalkan ruangan ini. Hal itu adalah hal yang sangat aku takuti apalagi,
aku juga belum kedatangan tamu bulananku. Tapi, hasil dari alat tes kehamilan itu
membuatku meragu. Dia sungguh hebat berdebat hingga membuatku diam tak berkutik.
Dia mulai melangkah mendekatiku yang telah membuka pintu. Layaknya mengangkat
bantalan ringan, dia menggendongku dengan mudahnya dan berjalan meninggalkan kafe.
Aku bagaikan karung beras!

“Hei turunkan aku, kau gila!”

Sepanjang jalan aku memukul-mukul punggungnya, sangat malu kami menjadi pusat
perhatian penghuni kafe. Pria setengah gila ini tetap acuh, tidak mendengarkan ku
dan terus saja berjalan hingga di parkiran kafe. Ia berhenti tepatnya di depan
mobil Lamborghini Macerates bermodel sama seperti punya Shella hanya warnanya saja
yang berbeda. Ia mendudukkanku di kursi penumpang yang berada di sebelah pengemudi,
kemudian menutup pintu dan segera berlari ke sebelah membuka pintu pengemudi.

“Hei, kau mengacuhkan ku?!”

Ia menatap ku dengan tatapan teduhnya, hingga membuatku terhipnotis untuk


menatapnya juga. Mata itu sangat indah, berwarna biru safir terasa menenangkan. Ia
mulai mendekatkan wajahnya mendekati wajahku, aku diam tak berkutik, bahkan aku
dapat mencium aroma mint yang melekat di tubuhnya. Wajahnya semakin mendekat dengan
tatapan sama, hingga aku seketika menutup mataku dan ...

Pletak

“Aduhh, sakit! Kenapa kau menjitak kepala cantikku?”


“Apa yang kamu harapkan, Nona? Saya tadi hanya membantu mu memasang seatbelt.”

Pria setengah gila itu tertawa terbahak-bahak akan tingkah memalukanku.


Melihat tawanya yang lepas, baru kusadari bahwa ia sangat tampan. Garis wajahnya
tegas degan rahang kokoh membingkai ketampanannya. Bola mata berwarna biru gelap
memancarkan kehangatan, rambutnya tertata rapi tapi tidak terkesan kuno. Hidung
mancung dan Tubuhnya tinggi, tegap cukup atletis. Pria ini mungkin berdarah
campuran mengenang kulitnya tidak memiliki bercak-bercak. Aku tersentak segera aku
palingkan wajahku saat pandangan kami bertemu. Seketika wajahku memerah, sumpah ini
sangat memalukan!

“Kau ingin membawaku ke mana?” tanyaku mengalihkan pembicaraan ketika ia telah


menjalankan mobilnya.
“Rumah Sakit.”

“Kenapa kita kesana?”


“Tentu memeriksa apa kamu hamil atau tidak.”
“Sudah aku katakan aku nggak hamil!! Cepat menepi, aku mau turun mobilku masih
di tempat tadi!”

Tak mengidahkan perkataanku, ia tetap dengan santai mengendarai mobilnya.


“Dari mana kamu tau sampai seyakin itu bahwa kamu tidak hamil?”

Aku mengeluarkan benda pipih dari dalam tas, dan memperlihatkan hasil dari
alat yang katanya akurat 99% itu. Hanya satu garis merah tertera di sana berarti
negatif.

Ia melihat alat itu dengan tatapan berbeda tidak dapat terbaca olehku. “Apa
kamu yakin ini sangat akurat? Bisa saja tidak. Bukankah pemeriksaan langsung ke
dokter lah yang paling akurat,” ungkapnya bersandar dengan sesekali melirik ku,
sedikit tertawa kecil. Kelihatannya, dia tidak percaya dengan hasil dari alat pipih
ini.

“I ... ya tentu saja! Bagaimana mungkin sekali tendang langsung gol!”

Kembali ku dengar tawanya lebih keras dari pada tadi, seakan aku tersadar
dengan apa yang telah aku lontarkan. Sepertinya urat maluku hilang jika berhadapan
dengan pria setengah gila ini.

“Berarti itu tandanya saya pria perkasa,” ujarnya bangga setelah menyeka air
mata dampak dari kebanyakan tertawa. Pandangannya tetap lurus menatap jalanan.

Aku mendengus kesal. Ternyata selain setengah gila pria ini juga narsis. Aku
mengangkat tanganku mengusap kepalanya dengan lembut, ia tampak salah tingkah saat
aku tersenyum manis padanya. Saat elusan ke tiga aku mencengkeram rambut pendeknya
dan menambah satu lagi tanganku di atas kepalanya, menjambak rambutnya dengan penuh
perasaan.

“Aduh! Sakit... hei, berhenti. Aku sedang menyetir, nanti kita bisa celaka,”
ucapnya melarang ku dengan nada lembut terdengar sabar.

“Bodo amat!”

Walau laju mobil sedikit tidak stabil, tetapi pria ini masih berusaha untuk
tetap fokus, aku tidak peduli dan masih dengan beringas menjambak rambutnya. Baru
kusadari sepertinya aku senang menyiksanya. Perasaan lega tiba-tiba menghampiriku,
tetapi aku masih belum puas menyiksanya. Rasanya ingin lagi dan lagi.

Menyiksa pria setengah gila ini rasanya sangat menyenangkan!!!


Kami keluar dari mobil dalam keadaan berantakan. Pria setengah gila itu sibuk
membenahi penampilan berantakannya.

Aku menatap ngeri akan tempat tujuan kami, tepatnya pria setengah gila untuk
memastikan apa aku hamil atau tidak. “Mengapa di rumah sakit ini? Nggak ada tempat
lain apa?” tanyaku seraya memutar badan ke arahnya dengan tatapan jengah.

“Memang kenapa dengan rumah sakit ini? Lagipula, ini rumah sakit terbesar di
Jakarta terpercaya pula.” Ia merapikan rambutku yang berantakan, menyisir dengan
jari-jari tangannya. “Bagaimana bisa kamu juga ikut-ikutan berantakan sama seperti
saya. Padahal saya tidak ngapa-ngapain kamu. Nah, sudah rapi ayo kita masuk,”
ucapnya sambil terkekeh kecil.
Ia meraih tanganku, menggenggamnya erat saat memasuki gedung Rumah Sakit.
Kehangatan tangannya membuat tangan dinginku menjadi hangat. Tak luput aku juga
merasakan sebuah perasaan berupa terasa nyaman. Tunanganku saja sangat jarang
bergandengan tanganku, ketika berkencan paling ... kami hanya menonton film horor
tanpa pegang-pegangan. Ini serasa baru untukku. Wajahku entah kenapa terasa panas,
padahal cuaca tidaklah terik melainkan mendung.

Kami masih bergandengan layaknya pasangan bahagia, melawati lorong-lorong


Rumah Sakit. Aku hanya bisa berharap-harap cemas, berdoa dalam hati agar kenalan
apalagi keluarga Ryan tidak melihatku kemari. Bisa sangat berbahaya. Dan mengapa
aku sampai seperti ini tentu saja kalian telah dapat menduganya. Ya, ini adalah
Rumah Sakit milik keluarga Ryan.

Begitu tiba di unit kandungan kami menunggu antrean terlebih dahulu, di dalam
hati aku kembali memohon dengan sangat, semoga hal yang kutakutkan tidak akan
terjadi.

===oOo===

Aku menatap kesal Pria setengah gila yang baru aku ketahui tadi saat nama
kami dipanggil, dan ketika dokter memanggilnya dengan nama Mike. Kami baru saja
menerima hasil dari tes urineku. Aku diperiksa oleh dokter yang aku lihat dari tang
namanya adalah Tomy Doang. Badan dokter itu tidak tinggi, tapi juga tidak pendek.
Wajah manisnya sangat pas dengan paduan kulit kuning langsat dan mata bulat,
mungkin seperti inilah yang dinamakan sebagai pria cantik. Sepertinya, Dokter ini
akan asyik untuk dijadikan teman berbagi cerita terutama seputar kehamilan. Abaikan
dulu fakta bahwa Dokter Tomy adalah seorang pria, dimataku ia adalah seorang
wanita.

“Selamat Pak, Bu. Ibu Karina positif hamil,” kata Dokter Tomy seraya
menyalamiku dan Mike secara bergantian.

Butuh waktu beberapa detik untuk otak cantikku menganalisa perkataan sang
Dokter. “Nggak mungkin Dok, kami hanya melakukan sekali. Bagaimana bisa hamil?”

Dokter Tomy tersenyum cantik dan membetulkan kaca matanya yang sedikit
melorot. “Tentu saja bisa, Bu. Apa pada saat melakukan hubungan tersebut Ibu Karina
sedang dalam masa subur?”

Tubuhku mematung. Tanpa menunggu jawaban dariku, seakan mengetahui jawabannya


apa Dokter Tomy kembali menjelaskan. “ Yang disebut dengan masa subur adalah masa
di mana terjadinya ovulasi mengeluarkan sel telur yang sudah matang dan siap
dibuahi oleh sperma. Jadi, bila saat masa subur, seorang wanita melakukan hubungan
badan tanpa pengaman dan bila sperma bagus, maka bisa terjadi pertemuan antara sel
telur dengan sel sperma sehingga terjadi konsepsi. Hasil konsepsi inilah yang
kemudian akan tumbuh menjadi janin.”

“Tap... tapi bagaimana bisa, Dok? Sedangkan kemarin saya baru saja memeriksa
dengan Test pack dan tadi saya lihat hasilnya negatif.” Aku menatap Dokter Tomy
dengan mata melotot seakan mataku ingin keluar dari tempatnya. “Bagaimana mungkin
alat yang katanya akurat 99% akan salah!”

Dokter Tomy menatapku dengan pandangan maklum. Mungkin, dia berpikir bahwa
kami adalah pasangan pengantin baru yang terlalu sangat-sangat bahagia sampai
terlihat tidak percaya atas titipan Tuhan yang memberikan kehidupan baru dalam
rahimku, sehingga membutuhkan penjelasan panjang kali lebar untuk membuatku
sepenuhnya percaya dengan kenyataan.

“Ibu ... ada banyak penyebab mengapa hasil test pack negatif ternyata hamil.
Namun, saya tidak akan menjelaskan semuanya hannya yang paling banyak faktor
penyebabnya berupa tempat penyimpanan test pack yang tidak cocok jika suhunya
terlalu panas atau terlalu dingin maka, sensitivitasnya dalam mendeteksi kehamilan
pun menjadi kurang akurat. Lalu, ada juga alat yang memiliki kualitas rendah,
sehingga tingkat akurasinya perlu ditanyakan. Ini yang paling fatal, biasanya urine
yang digunakan adalah urine pagi hari begitu bangun tidur, tapi pasien malah
melakukan tes siang atau bahkan sore. Tentu saja, test pack menjadi tidak cukup
sensitif mendeteksi hormon kehamilan karena hanya urine pertama setelah tidur yang
kental kandungan hormonnya.”

Meski tidak begitu mengerti akan penjelasan Dokter Tomy, tapi di dalam hati
aku membenarkan perkataan Dokter Tomy. Aku mencoba alat kehamilan itu kemarin sore
ketika di toilet hotel saat resepsi pernikahan adikku. Mike tampak tersenyum
bahagia menatapku, tidak sadarkah dia bahwa aku sangat tidak menginginkan hal ini.

“Apa bisa dilihat melalui USG, Dok?” tanya Mike terlihat antusias. kalau saja
ini adalah komik maka kalian akan melihat bintang-bintang kecil berkelap-kelip
memenuhi bola mata Mike bak langit malam penuh bintang.

“Bisa, tentu saja. Silahkan Ibu berbaring di sini.”

Pasrah, aku mengikuti instruksi sang Dokter cantik, berbaring di ranjang


tempat biasa Dokter Tomy memeriksa pasien, juga di samping ranjang tepatnya di atas
lemari berukuran menengah terdapat layar monitor. Aku mendesis kecil begitu
merasakan dinginnya gel dan sentuhan alat seperti setrika –entah apa namanya aku
tak tau– menyentuh kulit perutku.

“Nah, coba Ibu dan Bapak lihat layar monitor itu. Ada seperti gumpalan yang
terlihat di sana. Itu adalah janinnya, dari melihat janin Ibu Karina kandungan Ibu
berusia 7 minggu. Ibu dan Bapak bisa kembali lagi ke sini untuk melakukan
pemeriksaan rutin, serta melihat jenis kelamin janin pada saat usia kehamilan 18
sampai 22 minggu. USG pada masa kehamilan tersebut juga dapat mendeteksi kelainan
kehamilan seperti bentuk janin, kelainan congenital dan kelainan perkembangan
janin. Pada usia kandungan 34 minggu waktu yang sangat tepat untuk melakukan USG
guna memantau pertumbuhan janin dan masalah pendeteksian kehamilan sebagai
persiapan persalinan.”

Lama-lama pandanganku mengabur melihat layar monitor yang menampilkan


gumpalan kecil di dalam rahimku. Bayiku dan ... Mike. Melalui ekor mataku, aku
melihat pandangan Mike tidak lepas dari layar monitor matanya berkaca-kaca dan
dengan sesama mendengarkan penjelasan Dokter Tomy yang terdengar seperti nyanyian
tidur dipendengaranku, sesekali Mike mengajukan pertanyaan dengan antusias terlihat
sangat bahagia mengetahui fakta ini. Sedangkan aku sedari tadi hanya tertunduk
memilih bungkam.

Entah berapa lama aku melamun, saat aku mengadahkan pandanganku, Mike dan
Dokter Tomy telah tidak berada di dekatku. Kini, mereka telah berada di meja kerja
Dokter Tomy pandanganku teralih pada Mike yang berdiri di depan sang dokter. Pada
saat itu juga Mike tengah memandangku, pandangan kami bertemu. Ia tersenyum hangat
padaku, tangannya yang sedang menjabat tangan Dokter Tomy menyadarkanku bahwa
pemeriksaan ini telah selesai.

Aku segera undur diri dan melangkah begitu saja mendahului Mike.

Langkahku sangat lebar, berjalan dengan tergesa-gesa seperti orang kesetanan.


Melangkah mendahului Mike yang sedari tadi berusaha menyamai langkahku dengan kaki
panjangnya. Secepatnya aku ingin segera keluar dari gedung Rumah Sakit ini.

“Karina, coba lihat ini. Kita akan ke sini lagi saat usia kandunganmu 18
minggu bayi kita telah terbentuk dalam rahimmu, bahkan kita bisa melihat jenis
kelaminnya. Aku akan menyimpan baik-baik tiap foto hasil USG bayi kita.” Mike
dengan antusias memperlihatkan foto hasil UGS-ku tadi, ia menyelipkan foto itu
dalam dompetnya seraya bersiul senang. Mau tidak mau aura kebahagiaannya juga
memancar padaku karena itu juga bayiku, hal itu membuatku tersenyum samar.

Tanganku mengusap-usap pelan perut rataku, jariku yang tersemat cincin mas
putih dengan model sederhana namun elegan mengalihkan pikiranku. Bayang-bayang akan
hubunganku dengan Ryan kembali meruak begitu saja. Kugigit bibir bawahku, bingung
akan tindakan apa yang akan aku ambil.

“Aku tetap nggak mau nikah denganmu!"

“Ini demi kebaikanmu, Karina. Kamu sedang hamil selagi tidak ada yang tau.
Selagi usia kandunganmu masih muda, sebaiknya kita segera menikah agar kamu tidak
di anggap buruk oleh orang-orang luar. Mereka hanya bisa berkomentar tanpa melihat
kebenarannya, seakan kebenaran itu adalah hal yang mereka lihat tanpa meninjau
lebih jauh apakah itu fakta, atau bukan. Bahkan, keluarga besar atau orang yang
pernah kita bantu sekalipun tidak akan mengerti. Kamu tau ... hanya karena satu
kesalahan atau keburukan saja dapat membuat seluruh kebaikan akan hilang begitu
saja dimata mereka.” Mike menatapku sendu, aku merasakan ada kekecewaan tersirat
dari pancaran matanya.

Dewi bantinku sesungguhnya membenarkan apa yang di katakan olehnya. Sial,


mulutnya sangat pandai bersilat lidah, rasanya aku dalam keadaan terpojok. Aku
bimbang disatu sisi aku harus memikirkan janin ini. Disatu sisinya lagi, aku sangat
mencintai tunangan ku, terlepas dari pemikiran ku mengenai Ryan yang mungkin saja
bermain mata di belakangku. Apa lagi ... entah mengapa aku sangat kesal menatap
wajah pria ini. Perasaanku campur aduk saat bersama Mike ataukah ini bawaan hamil
sehingga aku selalu ingin melakukan tindakan anarkis pada Mike.

Tanganku terasa sangat gatal. Aku sangat ingin lagi menjambak rambutnya
seakan tidak puas, aku merasa ingin lagi, dan lagi. Tapi pandangaku kini terarah ke
bawah, aku menatap kakinya yang terbalut sepatu kulit. Tanpa berpikir panjang aku
menginjak kakinya dengan high heels bertumit tumpul lebar yang tengah aku gunakan.
Sayang sekali, aku tidak memakai yang bertumit runcing. Tanpa menghiraukannya, aku
bergegas menyetop taxi dan segera kembali ke kafe mengambil si merah yang masih
terparkir di sana.

===oOo===

Berusaha melakukan segala aktivitas seperti mengerjakan pekerjaan kantor,


menyiapkan makalah rapat yang akan di laksanakan lusa tidaklah membuatku melupakan
permasalahan mengenai hubungan rumitku dengan Mike. Lembar-lembar work sheet yang
berserakan di atas meja kerja aku susun kembali, ditumpuk menjadi satu. Mug
bergambar Sadako–Hantu film horor jepang ‘The Ring’– gelas khusus milikku yang
berisi Hot Chocolate minuman kesukaanku segera kutegak isinya bak orang tidak
minum-minum selama sehari. Pandanganku teralih pada amplop putih berlabelkan rumah
sakit tempatku memeriksa kandunganku tadi. Berapa kali pun kertas itu dibaca
hasilnya tetap sama, positif.

Kembali memasukkan kertas itu ke dalam amplop, menyelipkannya di antara


jajaran kaset-kaset horor milikku. Aku belum siap menceritakan hal ini terutama
pada keluargaku.

Bayang-bayang masa kecilku terbayang begitu saja. Di mana saat itu aku tidak
pernah merasakan kasih sayang kedua orang tua, hanya ada dendam hingga aku akhirnya
merencanakan niat jahat untuk kedua saudaraku, Kak Della dan Rean. Ketika kecil,
aku di culik oleh Paman dan Bibiku, dendam mereka terhadap kedua orang tuaku
membuat mereka menjadikanku alat pembalasan dendam mereka. Setiap hari paman dan
bibi menanamkan kebencian-kebencian dalam hidupku.

Saat usiaku menanjak 7 tahun tiba-tiba saja Paman dan Bibi menghilang, aku
hidup luntang lantung, tinggal di panti asuhan bukanlah solusi tepat, bahkan yang
ada aku semakin menderita di sana. Akan jadi apa anak ini jika bernasib sama
sepertiku.

Setelah lama berdiam diri ku putuskan untuk keluar kamar dan menuju kamar
sebelah, kamar Kak Della. Aku berdiri di depan pintu kamarnya dengan ragu,
setidaknya aku butuh teman bicara.

Tok Tok

“Masuk.”
Di dalam kamar, kulihat Kak Della tengah sibuk bergelut dengan laptopnya,
sepertinya ia tengah mengejar deadline. Kak Della merupakan novelis misteri dan
novelnya sangat laris di pasaran. Aku pernah membaca bukunya, tapi sayangnya aku
lebih suka buku bertema horor yang memacu adrenalin, bukannya rentetan kasus-kasus
kriminal lalu pemecahan kasus tersebut dan sebangsanya.

“Ada apa Rin? Tumben.”

Aku menggaruk tengkukku walau tidak gatal sama-sekali. “Err ... gini Kak, aku
butuh saran. Temanku lagi punya masalah ribet banget. Dia minta saran aku, tapi aku
juga bingung makanya aku ingin minta saran dari Kakak sebagai tambahan.”

Kak Della memutar kursi duduknya menghadapku. “Baiklah coba ceritakan.”

Menimang-nimang sejenak merangkai kata-kata yang tepat setelahnya, menghirup


napas dan menghembuskannya secara perlahan.

“Temanku itu, sekitar dua bulan lalu mendapati tunangannya jalan dengan
wanita lain, Kak. Karena frustrasi temanku itu mengunjungi Bar. Saat itulah
semuanya berawal, tanpa sadar ia telah melakukan hal luar batas dengan seorang pria
asing. Beberapa hari lalu bahkan hari ini ia janjian bertemu dengan pria itu, dan
pria itu ingin menikahinya tetapi temanku itu menolak Kak, sampai tadi saat di
periksa ia di nyatakan tengah hamil 7 minggu. Si pria bilang temanku dan pria itu
harus nikah secepatnya demi kebaikan temanku juga, walau kecelakaan atau apapun
orang lain akan mencelanya tanpa tau jalan cerita sesungguhnya. Lalu menurut kakak
bagaimana. Apa ia harus menikah dengan pria itu, tapi bukankah ia juga punya
tunangan?”

Kak Della menatapku sejenak, menghela napas kasar lalu kembali lagi menatapku
dengan pandangan serius. “Seperti yang dikatakan pria itu. Terlempas punya tunangan
maupun tidak kejadiannya telah terjadi walau istilahnya itu ‘kecelakaan’ dan memang
kamu harus menikah dengannya ... Rin.”

Mataku terbelalak memandang Kak Della tidak percaya akan ketahuan secepat
ini. “In...ini bukan tentang aku, Kak! Ini tentang temanku!” kilahku gugup.

“Temanmu yang mana? Setau kakak kamu hanya punya beberapa orang teman. Bahkan
yang dekat denganmu hanya Shella dan Naya, selain mereka siapa lagi? Atau kamu mau
kakak sentuh,” terang Kak Della seraya menggosok-gosakkan kedua telapak tangannya
menatapku usil. Kemungkinan besar melihat reaksinya dia telah mengetahui akan
begini jadinya.
Aku seketika menepuk jidatku seakan lupa jika kakakku yang cantik ini
memiliki indra keenam yang dapat melihat bayangan-bayangan masa lalu dan masa depan
seseorang. Itulah sebabnya ia selalu memakai sarung tangan kemampuan ia pergi,
bahkan sampai sekarang Kak Della belum juga menikah karena ia ingin mencari
pasangan yang tak dapat ia lihat bayangan-bayangan apapun itu. Aku rasa harapan kak
Della akan sangat sulit terjadi, itu bagaikan mencari berlian di tumpukan pecahan
kaca.

Aku menghela napas lemah. “Aku memang nggak bisa menyembunyikan apapun dari
Kakak.”

Kak Della tersenyum bangga, melepaskan kaca mata bacanya seraya bengkit
mendekatiku, merangkulku erat. “Jadi, ini alasan kamu rada aneh selama dua bulan
ini?”

Aku mengangguk lesu, mataku rasanya sangat panas. Oh, aku mulai sensi lagi.
“Apa menurut Kakak aku harus menikah dengan pria setengah gila itu? Terus Ryan
dikemanain dong,” tanyaku berusaha melepaskan rangkulan Kak Della menatapnya dengan
tatapan merajuk layaknya anak kecil tidak dibelikan permen.

Kak Della tertawa mendengar julukanku untuk Mike, ia mengelus-elus kepalaku.


“Ini juga karena kecerobohanmu. Lagian ngapain juga ke Bar, semuanya sudah terjadi
mau gimana lagi. Aku jadi kasian dengan Ryan.”

“Maksud Kakak?” tanyaku menatap polos Kak Della seraya melap ingus pada
lengan bajunya.

Kak Della berupaya menarik lengan bajunya yang mendadak turun tahta menjadi
kain lap karena ulahku, tanpa malu segera berganti dengan baju yang lain. Kak
menaikkan bahunya guna menjawab pertanyaanku tadi, seakan malas berkomentar lebih.
“Nanti juga kamu akan tau, aku sebenarnya ya ... gitu deh. Udah ah, ayo kita turun
makan malam udah siap. Tuh, Bik Inah udah memanggil-manggil kita.”

Kami mulai melangkah keluar kamar Kak Della, saat hendak keluar Kak Della
menatap jendela kamar seraya berkata, “Kadang ... perpisahan bukanlah akhir dari
segalanya, Rin. Terkadang Tuhan memiliki rencana lain untuk kita. Kalau ngomong
baik-baik Kakak rasa Ryan akan mengerti. Kan, pria yang menghamili mu mau
betanggung jawab. Untuk masalah hati, kamu tenang saja Rin. Cinta akan datang
dengan sendirinya selama kamu berusaha namun tidak juga memaksakannya lambat laun
kamu akan menerima kenyataan yang ada.” Kak Della menerawang menatap lurus,
beberapa detik hanya keheningan di antara kami.

Aku terdiam seribu bahasa mencerna perkataan Kak Della. Meskipun kakakku
usilnya tidak terkira sehingga sampai sekarang Rean menjadi takut dengan kacoak
karena Kak Della. Namun, Kak Della sangat berjasa dalam hidupku. Aku juga bisa
berdamai dengan semuanya karena rencana Kak Della juga, sehingga kebohongan Bibi
dan Paman terungkap.

“Apa Ayah biologis dari janinmu itu adalah pria yang kamu pandang saat acara
resepsi Rean itu, Rin?” tanya Kak Della berbisik takut kedengaran oleh Bik Inah
pembantu kami. Bik Inah selain menjadi asisten rumah tangga keluarga kami ia juga
di tugaskan Papi untuk melapor bila terjadi hal-hal ganjal diantara kami, bahkan
obrolan kami pun akan di laporkan. Berada di dekat Bik Inah saat ini merupakan kode
kuning tanda waspada.

Aku hanya mengangguk sebagai jawaban. “Kakak tolong rahasiakan ini, ya.”

Kak Della mengedipkan sebelah mata, tiba-tiba sorotan jahil terpancar di


matanya. “Terus besok kamu menghadiri rapat bersama para kolega dengan Papi?”
Aku mengangguk lagi sebagai jawaban seraya mengunyah makananku dengan lahap.
Kak Della menolak untuk mengurusi hotel hanya sesekali membantu jika di butuhkan.
Sedangkan aku memutuskan untuk menjadi sekretaris dari adikku yang kini menjadi CEO
di sana. Biasanya aku pergi dengan Rean, berhubung sekarang Rean tengah berbulan
madu jadi Papi-lah yang turun tangan langsung.

“Wah... kalau gitu, besok akan ada kejadian seru. Sayang banget kakak nggak
bisa ikut ....”

Setelah berucap hal yang tak aku mengerti lagi kak Della tampak terkekeh.
Entah ini hanya perasaanku saja aku merasa bahwa Kak Della mengenal Mike.

Bersambung ....
Tiga wanita bule berjalan anggun memasuki sebuah restoran elit terbesar di
Jakarta. Langkah-langkah anggun wanita-wanita itu menjadi sorotan para penghuni
restoran. Pandangan mereka beragam-ragam, hingga para bule itu memilih duduk di
pojok dekat jendela barulah mereka kembali sibuk dengan kegiatan-kegiatan yang
sempat terjeda.

“Rin, wig kamu agak bergeser,” beri tahu mami seraya berbisik.

Aku memperbaiki letak wig alias rambut palsu yang kini aku gunakan sebagai
bentuk penyamaran. Ya, kami–Aku, Mami dan Shella–melakukan sebuah misi. Berbekal
informasi dari Dennis, ia mengatakan bahwa Mike hari ini akan berada di sini.
Ketika aku bertanya lebih jauh Dennis memilih bungkam, ia menatapku curiga dan
terus bertanya apa maksud dan tujuanku bertanya akan Mike. Langsung saja aku
mengalihkan pembicaraan. Aku merasa Dennis bukan hanya tau informasi mengenai pria
setengah gila itu lebih tepatnya mereka memiliki hubungan dekat.

Bahkan, Shella juga memilih bungkam jika aku tidak mengatakan alasan logis
mengapa aku sangat ingin tau mengenai Mike, ia akan tetap diam sampai aku
mengatakan tujuanku barulah ia akan turun tangan membantuku. Tapi, dengan tatapan
memelasku, akhirnya Shella luluh dan membantuku dalam melaksanakan misi mencari tau
kebiasaan Mike. Mami yang tadi subuh baru saja pulang karena Papi akan mengikuti
rapat sore ini tidak sengaja mendengar pembicaraanku dengan Dennis dan Shella. Mami
ngotot untuk ikut. Soal perangkat penyamaran ini semua dari wig, baju, soft lens –
berwarna hijau–, kaca mata hitam, dan semua pernak-pernik yang tengah kami gunakan
ini dari kamar tempat penyimpanan seluruh pakaian penyamaran Mami.

“Terus mana pria itu, Rin?” tanya Mami penasaran menatap sekitar restoran.

“Rin nggak tau, Mi ....“ Aku merapikan tatanan rambut palsuku melalui kaca
rias, meringis melihat pantulan diriku sendiri. Soft lens yang membuat mataku
menjadi warna hijau membuatku risih, menyamar menjadi Bule KW ternyata merepotkan
juga. “Shel, yakin nih di sini tempatnya?” tanyaku mulai tidak yakin karena tidak
melihat Mike di antara pengunjung kafe.

“Iyalah Kak, aku bukan kali ini aja datang ke sini,” jawab Shella manyun
dengan malas membuka lembar katalog baju dari butik sebelah.

Mami menggoyang-goyangkan lenganku heboh. “Rin, ada pelayan tampan sedang


jalan ke sini.”

Aku menoleh malas melihat arah pandang mami terlihat seorang pria dengan baju
pelayan serta notes kecil di tangannya datang ke arah meja tempat kami –para bule
gadungan– duduk. Badanku kaku, aku sangat tidak percaya dengan penglihatanku bahkan
aku sampai menepuk pipiku pelan, mengucek-ucek mataku. Namun, masih juga sama dalam
pandanganku pelayan itu adalah ... Mike.
What the hell.

“What can i do for you, Miss?” tanyanya seraya sedikit membungkuk sopan dan
menyerahkan buku menu kepada kami. Kembaliku pasang kaca mata hitamku seraya
merunduk dalam. Mengambil buku yang kuyakini sebagai buku menu tanpa melihat
kebenarannya.

“Saaya mahu peshan in...ni aaa,” ucap Mami.

Yaa ampun, Mami kenapa nggak pakai bahasa Inggris sajaa? malah sok-sok
ngomong pakai bahasa Indonesia dengan pelafalan bule gagal.

“Saye yang ni je lah ... same je same Mom,” tambah Shella malas-malasan
mengikuti Mami.

Lebih parah dari pada Mami. Bahasa Melayu saja gagal dan kita menyamar
sebagai orang barat. Ini mah, ketahuan banget bohongnya!

“Lalu ... Nona yang ini mau pesan apa?”

Aku segera menyerahkan buku di tanganku ke arahnya, menunjuk dengan asal.


Apapun makanannya terserah, pasti akan aku makan.

“Maaf... itu tidak di jual di sini, Miss,” jawabnya dengan suara geli
tertahan, membuatku mengangkat kepalaku yang sedari tadi tertunduk. Kulihat Shella
dan Mami tampak menutup mulut dengan badan bergetar tertawa tanpa suara. Pelayan
itu–Mike– bibirnya berkedut berusahan menahan tawa demi menjaga kesopanan terhadap
tamu. Alisku berkerut dalam melihat reaksi mereka semua. Penasaran, kulihat apa
yang tadi telah aku tunjuk sebagai pesanan.

Sial.

Triple sial. Ternyata yang ditanganku ini bukanlah buku menu. Tapi, katalog
yang tadi dipengang Shella, dan parahnya lagi, aku menunjuk pakaian dalam pria
sebagai pesanan ku. Sekali lagi aku ulangi pakaian dalam pria.

“Ini, saya pesan ini.” Tunjukku angkuh seraya mengibaskan rambut pirang
palsuku, berupaya membuang semua urat maluku. Mike mencatat pesananku, masih
menahan tawa.

“Baiklah, saya permisi dulu, Miss.”

Mike membalikkan badan, berjalan terpincang-pincang melihatnya membuatku


sedikit kasihan. Penyebab dia berjalan seperti itu pasti karena tindakan anarkisku
kemarin. Mike tampak masuk ke sebuah ruangan dengan tubuh bergetar menahan tawa.
Sial, untung saja aku sedang menyamar.

“Ya ampun Rin kenapa bisa ceroboh gitu, sih?” Mami menepuk kening seraya
menggeleng-gelengkan kepala.

“Iya, Kak hampir saja penyamaran kita ketahuan.”

“Hahahaha....” Aku tertawa datar tidak mengidahkan pertanyaan mereka. Tanpa


insiden tadi pun kita akan ketahuan juga sebagai bule gadungan.

“Shel, aku nggak tau kalau Mike itu seorang pelayan. Pakaiannya terlihat
berkelas, meski kerja di restoran elite tetapi, sebagai pelayan tetap saja tidak
akan bisa menjalani hidup dengan fasilitas kelas atas seperti itu. Mobilnya saja
sama dengan punya mu, lohh.”

Shella mengangkat bahu acuh terlihat enggan membahasnya. Shella jarang-jarang


jutek begini, kalau memang ada itu pun pasti mengandung hal yang berkaitan dengan
Dennis itu pun kalau mereka sedang dalam masa perang dingin tapi, bukannya Mike
tidak ada hubungannya dengan Dennis.

“Rin, pelayan tadi matanya ituuh bagus. Ah, Mami ingin berfoto dengannya mata
biru indah miliknya. Andai Mami dapat mantu seperti dia bisa merubah keturunan.
Kapan lagi mata cucu Mami berwarna biru.”

Aku memutar bola mataku mendengar ocehan heboh plus norak Mami, dan kurasa
harapan Mami akan terkabul mengenang janin di dalam kandunganku adalah benih dari
pria itu.

“Atau Mami jodohin dengan Della aja, ya... keliatannya mereka akan cocok.”

Setelah mendengar perkataan Mami entah mengapa hatiku terasa sakit. Aku
bingung dengan diriku sendiri dan menjadi takut akan terjadi apa-apa dengan
jantungku. Perlukah nanti aku konsultasi kepada dokter jantung mengenai keadaanku
ini.

“Maaf menunggu lama, Miss.”

Mike mulai menaruh pesanan-pesanan kami di atas meja. Aroma menggiurkan dari
makanan pesanan kami ternyata terkalahkan oleh aroma badannya, aku merasa aroma
tubuhnya jauh lebih menggiurkan. Tanpa sadar aku terlena.

Shella dan Mami tampak tidak memperdulikan keadaan sekitar lagi, mereka kini
lebih memilih menikmati menu yang tersajikan di atas meja. Ketika Mike meletakkan
pesanan ku ia sedikit membungkuk. Sengaja atau tidak, posisinya sangat dekat di
sampingku sampai aku dapat merasakan napas hangatnya di telingaku.

Penuh minat kutatap makanan pesanan ku dan ketika aku merasakan rasanya hanya
satu kata ‘WOW’. Pantas saja restoran ini terkenal bahkan memiliki cabang di mana-
mana rasanya sangat-sangat lezat tidak kalah dengan masakan yang ada di hotel milik
keluargaku. Aku yakin akan sangat sering berkunjung ke sini.

Pudding caramel di depanku juga sangat menggiurkan. Tapi seingat ku di dalam


menu pesanan ku tidak ada tercantum puding. Aku menatap Mike yang masih berdiri di
samping ku dengan bingung.

Mike tersenyum dan kembali membungkuk lebih dekat seraya berbisik, “Special
for you ....”

“T ... Thanks.”

“With my pleasure ....” Ia meraih tanganku dan mengecupnya seraya menyelipkan


lipatan kertas, kemudian berlalu meninggalkanku yang kebingungan dengan sikapnya.

Dengan pelan kubuka lipatan kertas pemberiannya tadi, tulisan tangan yang
tertulis rapi enak dilihat. Ketika ku baca tulisan itu mataku terbelalak, nafsu
makanku mendadak hilang, dan wajahku memanas. Aku segera bangkit dari dudukku,
melangkah besar-besar seperti dikejar setan. Secepatnya, aku ingin meninggalkan
tempat ini.

Mami dan Shella tampak terkejut dengan tingkah ku. Mami langsung ikut
mengejar ku sedangkan Shella membayar bill kami.
“Honey, don’t leave mom aloneeee~”

Astaga Mami malu-maluin terlalu menghayati perannya sebagai bule palsu.


Papi... lempar saja Rin ke Sumur Sadako. Malu ....
Sepertinya pilihanmu bagus juga. Nanti, saya akan meluangkan waktu membeli di butik
sebelah sesuai dengan pesananmu tadi. Saya tidak tau bahwa kamu suka berdandan
seperti bule saat keluar dan soft lens hijau yang kamu kenakan boleh juga. Sampai
jumpa lagi Karina.

Salam,
Mike

===oOo===

Kini aku mengerti, mengapa kak Della terkekeh jahil saat aku mengatakan bahwa
aku akan menghadiri rapat. Ternyata pria setengah gila itu juga ada, ia bekerja
sama dengan hotel kami dalam bagian pangan, dan mengapa aku tak mengetahuinya?
Karena selama ini bukan pria itulah yang menghadiri tetapi hanya 2 orang
perwakilannya saja. Itu karena ia sibuk mengurus restoran pusat miliknya.

Mike sedari tadi mencuri-curi pandang, menatap ku dengan saksama. Awalnya


saat memasuki ruangan aku terkejut saat mendapati ia ada di sini dan ia pun juga
sepertinya sama denganku. Ternyata benar dugaanku bahwa Mike bukanlah seorang
pelayan. Akan tetapi, aku masih malu bertatap muka dengannya.

Dengan usaha keras aku berusaha bersikap profesional, aku tetap berusaha
fokus dengan rapat , mencatat hal-hal penting di sela-sela Papi tengah berbicara
dengan gagahnya memimpin rapat. Waktu seakan lama berjalan, padahal saat menghadiri
rapat aku tak pernah merasa sejengah ini sekalipun isi rapatnya terkadang bagai
dongeng tidur dalam pendengaranku. Setidaknya, aku bisa sedikit bersyukur bukan aku
pembuat notulen rapat. Pak Seno, ia adalah sekretaris Papi yang bertugas di sana.

Akhirnya rapat selesai sudah, orang-orang mulai keluar satu per satu setelah
selesai berkemas. Hanya aku, Papi, dan Mike yang tertinggal di dalam ruangan ini.
Aku masih sibuk berkemas, sengaja berlama-lama sedangkan Mike tegah asyik
berbincang-bincang dengan Papi. Mengapa aku tidak ke pikiran bahwa Mike merupakan
orang penting, itulah mengapa ia juga ada di acara resepsi itu. Aku merutuki
kebodohanku sendiri, ingin rasanya jika aku mempunyai lampu ajaib maka aku hanya
akan meminta satu permintaan saja, aku ingin menghilang dari tempat ini, situasi
ini.

“Ah... Rin ayo sini, Nak.”

Aku dengan kaku bak robot berjalan ke arah Papi dan Mike tengah berdiri.
Setelah aku berada di sebelah Papi, barulah Papi memperkenalkan kami.

“Nak Mike perkenalkan, ini putri kedua saya, kakanya Rean. Ia juga merangkap
menjadi sekretaris Rean. Namanya, Vaesta Karina Wijaya. Dan Rin, perkenalkan pria
ini Michael Gladhis Rahardian, pemilik restoran Gladhis Group dan merupakan rekan
bisnis kita.”

Aku mengangguk dan tersenyum kaku kepada Mike. Raut tidak percaya awalnya
terlihat dari Mike saat Papi memperkenalkanku sebagai putrinya, tapi ia berhasil
menututupinya dengan kembali memasang raut wajah ramah. Kini Mike menatapku seakan
berkata ‘kamu-tidak-bisa-lari-lagi’ . Tatapannya itu seketika membuat bulu romaku
berdiri. Aku memberi pandangan memohon padanya, membuang jauh-jauh pemikiran bahwa
pria itu tidak akan menjadi setengah gila lagi melainkan sepenuhnya gila dengan
mengatakan kebenaran hubungan kami kepada Papi.
Papi menyadari reaksi berbeda dari kami menjadi heran, terlebih kami tidak
saling berjabat tangan. “Apa kalian sudah saling mengenal?”

“Iya, Pak.”

“Nggak, Pi.”

Kami menjawab berbarengan dengan jawaban yang bertentangan. Aku melotot ke


arah Mike untuk tidak melakukan hal membahayakan bagiku, karena aku belum
menceritakan apapun kepada Papi mengenai perkara ini. Mike membalas pelototanku
dengan senyuman secerah matahari membuat mataku mendadak sakit karena silau,
setelah itu Mike menatap Papi dengan sorot kesungguhan seakan menegaskan bahwa ia
tidak takut sama sekali dengan pandangan mengintimidasi milik Papi.

“Saya sebenarnya telah lama ingin bertemu dengan Anda Tuan Wijaya. Saya ingin
menikahi putri anda ini. Ia tengah mengandung anak saya.”

Rasanya separuh nyawaku telah dicabut dengan paksa oleh pria ini, aku tak
sanggup melihat ekspresi Papi. Tuhan aku takut .... Jin ajaib, oh jin ajaib jika
kau memang ada maka keluarlah aku sangat membutuhkanmu.

Oke, fix.

Bukan aku saja yang positif tapi dia juga! Dia positif gila!!!

Bersambung ....
Atmosfer ruangan terasa mencekam, sunyi sangat sunyi.

Pandanganku dan Mike beradu. Hal pertama yang mampu aku lakukan adalah
memejamkan kedua mataku sambil menghirup udara sebanyak mungkin. Sementara aku
menyusun kata demi kata untuk mengurai penjelasan, ternyata Mike yang pertama kali
tanpa kuduga membuka murut. Memecahkan keheningan mengganjal diantara kami bertiga,
terutama Papi sedari tadi bungkam membuatku sampai sekarang tidak berani hanya
untuk sekadar menggerakkan ekor mataku ke arah sosok paruh baya yang sangat aku
sayangi itu.

“Maaf, Pak. Saya mengerti Bapak pasti sangat marah dengan saya, dipukul pun
saya rela bahkan hukuman apapun itu saya terima. Tapi, sungguh saya ingin
bertanggung jawab atas segala yang telah terjadi.”

Papi terdiam cukup lama lalu menatapku. “Nah, apa kamu ingin menyanggah
ucapannya, Rin?” tanya Papi tersenyum ramah, demi apapun dalam pandanganku Papi
kini terlihat sangat menakutkan.

“Nggak,” ucapku menunduk dalam dengan kemuraman yang tidak dapat aku
samarkan. Perasaanku campur aduk.

“Baiklah, kita bicarakan masalah ini di tempat biasa. Mike ikutlah dengan
saya, kita akan menyelesaikan perkara ini.”

Setelah berucap demikian, Papi segera berlalu keluar ruangan tanpa menoleh ke
arahku sedikitpun. Sorot kekecewaan dapat aku tangkap dari pancaran matanya. Aku
tau, orang tua mana yang tidak akan kecewa jika mendapati hal seperti ini terjadi
pada anaknya.

Aku memandang Mike memukul-mukul dadanya sekuat yang aku bisa. “Ini semua
gara-gara kamu! Coba kalau kamu nggak buka mulut, semuanya nggak akan seperti ini.
PUAS KAMU!” Napasku tersengal-sengal. Wajahku memanas terasa mendidih melihat
tingkah pria gila ini. Tidak kah dia berpikir sebelum berkata? Dengan mudahnya ia
memorak porandakan hidupku.

Mike diam saja membiarkanku melampiaskan kekesalanku. “Maaf ...,” ujarnya


serak berjalan melewatiku, berlalu meninggalkan ruangan ini. Melihat sorotan
matanya seketika aku luluh. Sedikit menyesali perkataanku.

Jika tebakanku benar dia pasti sedang menyusul Papi dan akan segera menuju
kekediaman keluargaku. Tempat biasa yang dikatakan Papi adalah tempat biasa kami
sekeluarga menyelesaikan masalah bersama-sama dan semua anggota keluarga harus ada
di tempat itu. Kami bersaudara menyebutnya sebagai Meja Hijau, dimana Papi dan Mami
berstatus sebagai hakim dan salah satu dari kami –Aku, Kak Della dan Rean—sebagai
terdakwa atau saksi. Orang awam biasa menyebut tempat tersebut sebagai meja makan.

Alisku berkerut, aku merasa ini terasa janggal. Entah mengapa kelihatannya
Papi seakan tau akan keadaanku? Bahkan Papi tidak menghajar Mike dan itu tandanya
Papi telah lebih dulu tau hal itu meredam emosinya.Aku rasa ada yang tidak beres.
Seakan keadaan ini telah di perkirakan oleh Papi dan jangan katakan bahwa semua
anggota keluarga telah berkumpul di meja hijau.

===oOo===

Kedua tanganku terasa dingin, telapak tanganku bermandi keringat, tanganku


saling meremas di bawah meja. Tebakanku benar. Begitu sampai di rumah dengan Papi
dan juga Mike, aku langsung dikejutkan dengan melihat semua anggota keluargaku
telah duduk dikursi masing-masing. Bahkan Rean yang sedang berbulan madu juga ada,
ditemani Naya yang duduk di sampingnya. Kapan mereka pulang? Ingin rasanya aku
bertanya tetapi situasi tidak memungkinkan.

Papi sedikit berdeham untuk memecahkan keheningan. “Jadi, Karina bisakah kamu
jelaskan mengenai surat di dalam amplop ini?” Papi mengibas-ngibaskan amplop putih
berlogo Rumah Sakit. Apalagi kini ... Papi memanggilku dengan panggilan Karina
bukan Rin tertanda ia sangat marah. “Kenapa surat ini bisa ada di dalam kamarmu dan
di dalamnya juga tertulis namamu. Bisakah kamu menjawabnya, Karina?”

Dari sekian kasus di mana akulah yang menjadi terdakwa di dalamnya aku rasa
kasus ini lebih mencekam daripada kasus manapun. Jadi, kasusku kali ini bagaikan
aku di kejar orang gila yang membawa senjata tajam atau dikejar ribuan srigala.
Mengeluarkan suara saja rasanya sangat sulit. Aku membuka mulutku hendak berkata
lalu aku tutup lagi, bingung akan mengatakan apa. Lidahku terasa kelu, mataku
memanas mengeluarkan lahar panas nan sedari tadi telah siap membasahi pipiku. Oh,
rasanya aku sangat drama akhir-akhir ini.

“Pak ... ini bisa saya jelaskan ....”

“Diam Mike. Saya sedang bertanya dengan Karina.” Papi menatap tajam Mike
memaksanya untuk diam dulu. “Karina, angkat kepalamu dan lihatlah mereka yang ada
di sini. Coba kamu pandang wajah mereka satu-persatu dengan begitu kamu akan
melihat betapa sedih bahkan kecewanya mereka denganmu ... kamu harus mengerti itu.”

Refleks aku mendongakkan kepalaku, mengikuti saran Papi.

Benar. Semua mata tertuju padaku, pandangan sedih bercampur kecewa terlihat
jelas dalam pandanganku. Mami bahkan sampai menangis dalam versi sebenarnya bukan
pura-pura itu artinya aku telah sangat menyakiti perasaannya. Bahkan Kak Della yang
telah lebih dulu mengetahui juga terpancar kesedihan baru terlihat sekarang,
padahal kemarin reaksinya biasa saja, ternyata aku salah.
Pikiranku kacau hingga aku hanya bisa diam membisu setelahnya kembali
menundukkan kepala menatap tanganku yang sedari tadi saling meremas.

Mami menyeka air matanya. “Kami kecewa sekaligus sedih bukan karena
kehamilanmu, tapi karena kamu tidak menceritakan masalah sebesar ini pada kami
keluargamu sendiri. Bukankah gunanya keluarga itu tempat untuk berbagi masalah
dalam suka dan duka. Kami tidak akan sepenuhnya menyalahkanmu, karena kami tau kamu
tidak akan melakukan hal seperti ini dan kami yakin hal ini bukanlah kehendakmu. Di
mana pun kamu berada yang namanya ikatan darah tidak akan pernah bisa putus,
seberapa buruknya dirimu dimata orang hanya kepada keluargalah yang selalu membuka
pintu untukmu. Coba kamu pikir jika Papi yang pertama menemukan amplop itu bukan
Mami, entah bagaimana jadinya, Nak.”

Aku menatap Mami, beliau tengah menatapku nanar, aku beralih menatap Kak
Della yang duduk di sebelah Mami, ia tersenyum kecil seraya menganggukkan kepala
tertanda tidak apa-apa jika aku menceritakannya.

Kuhirup udara dalam sedalam-dalamnya dan mulailah mengalir ceritaku tentang


malam itu lengkap beserta pertemuan-pertemuanku dengan Mike beserta pemeriksaan
janin di dalam rahimku. Minus mengenai wanita –rubah betina– yang mencampurkan obat
ke dalam minuman Mike.

Kembali kesunyian terjadi dalam ruangan ini, lagi-lagi Papi adalah orang
pemecah keheningan.“Saya tidak akan meminta penjelasan mu, Mike. Tidak akan ada
perbedaan yang jauh dari penjelasan kalian berdua. Jadi, apa tindakanmu
selanjutnya?”

Tanpa sadar aku menahan napas menanti jawaban dari Mike.

Mike menatap semua anggota keluargaku satu persatu setelahnya ia kembali


memfokuskan pandangannya. Ia menatap Papi seraya berkata, “Saya akan menikahi
Karina, Pak,” jawab Mike lantang tidak ada keraguan sedari awal terlihat dari sorot
mata serta tindakannya.

Papi menatap Mike dengan pandangan meremehkan. “Kamu yakin? Saya tau kalau
dalam masalah finansial tidak akan jadi masalah untukmu. Tapi, nyatanya saya rasa
kalian menikah tanpa cinta, hanya karena perasaan tanggung jawab. Rumah tangga itu
tidaklah mudah diibaratkan seperti pondasi jika kalian tidak saling menguatkan
fondasi itu maka rumah akan dengan mudahnya roboh. Terlebih pernikahan bukan hanya
menyatukan kedua insan tetapi juga menyatukan kedua keluarga. Apa kamu yakin akan
dapat membahagiakan anak saya?”

“Saya rasa Bapak belum begitu mengenal saya. Bapak tenang saja, saya akan
berusaha untuk hal itu, Pak. Saya juga bukanlah manusia sempurna, kekurangan masih
banyak terdapat pada diri saya. Ke depannya seiring berjalan waktu kami akan saling
mengenal. Tentang kebahagiaan saya menjamin bahwa saya akan menyayangi Karina
seperti saya menyayangi Ibu saya sendiri.”

Jika aku tidak memiliki tunangan dan masih sigle aku pasti akan klepek-klepek
bagai ayam mengepakkan sayap mendengar perkataan Mike. Tapi, jujur aku sedikit
tersanjung. Sedikit ya bukan banyak.

“Terlepas dari segala hubungan kerja sama yang kita miliki, saya tidak akan
segan-segan terhadapmu jika hal-hal buruk terjadi dengan anak saya, saya juga tidak
akan terlalu ikut campur dalam rumah tangga kalian ke depannya bagaimanapun kalian
juga akan memiliki privasi.”

Mike mengangguk mantap. “Saya akan terima apapun itu. Jikalau ke depannya
akan terjadi hal-hal tidak di inginkan. Terima kasih Bapak telah menghargai privasi
di antara kami.”

Papi memandang Mami yang berada tepat di sebelahnya lalu setelah itu menatap
anggota keluarga lainnya. Itu kode berupa kesepakatan, kulihat semua tampak
mengangguk. Aku melotot tidak percaya, begitu mudahnya mereka menerima Mike. Ketika
Papi hendak membuka mulut mengeluarkan suara yang merupakan suatu keputusan dan itu
tidak bisa dibantah, sebelum palu di ketuk oleh sang hakim–Papi– aku terlebih
dahulu menyela.

“Lalu bagaimana hubungan Rin dengan Ryan?! Rin nggak terima hanya karena ini
hubungan Rin sampai putus. Tahun ini udah 10 tahun, dan kedua belah pihak keluarga
kita sudah seperti saudara. Rean bukankah Ryan itu sahabatmu? Kamu tega?” Aku
mengeluarkan semua keluhanku menatap seluruh anggota keluarga satu per satu dengan
berani. Tidak peduli bagaimana reaksi Mike.

Rean menatapku lekat di sebelahnya Naya berusaha untuk menenangkan. “Karena


aku tau Ryan itu sahabatku. Lantas, apa kamu rela melihat Ryan membesarkan anakmu?
Jujur aku sebagai pria walau tidak langsung memperlihatkan tapi sedikitnya akan
terbesit rasa sakit hati ke depannya, terlebih jika memiliki anak lagi akan terjadi
perbedaan perilaku terhadap anak kandung dengan anak yang tidak memiliki ikatan
darah denganku. Sebaik apapun aku sadar, tidak sadar akan pilih kasih atau anak itu
sendiri akan merasa tersisihkan. Lambat laun ia akan mengetahui segalanya meskipun
rahasia itu di tutup rapat-rapat sekalipun,” jawab Rean tenang lalu kembali
melanjutkan. “Ryan akan mengerti jika kamu menjelaskan baik-baik Rin. Aku tau itu
karena aku sangat mengenalnya begitu pula dengan dirimu.”

Aku terdiam, dewi batinku tengah berperang hebat, antara pro dan kontra
dengan penuturan Rean.“Bagaimana jika Ryan menerimaku apapun kondisiku? Dan akan
menganggap anakku ini sebagai anaknya juga” tanyaku sarat akan tantangan menyanggah
perkataan Rean.

“Rin, bukankah tadi aku sudah katakan sebaik apapun nantinya akn terjadi
perbedaan prilaku. Kamu harusnya tau ... kalau pun Ryan menerimamu dan anakmu, lalu
... bagaimana dengan keluarganya? Orang tuanya?”

Diam terpaku, di sini memang aku yang salah, egois masih mempertahankan
hubungan tanpa memikirkan bagaimana perasaan Ryan ke depannya.

“Rean diam. Rin sebaiknya kamu menyingkir dari diskusi ini.”

Dengan patuh aku menuruti perintah Papi. Aku segera beranjak dari meja makan makan,
meninggalkan keluargaku dan Mike yang kembali melanjutkan sidang ala keluargaku.

===oOo===

Halaman belakang dekat gazebo adalah tempat yang sangat aku sukai untuk
menenangkan pikiran. Tanganku mengurut-urut pelan pelipisku yang sedikit pening.
Masalah ini semakin menjadi, gara-gara pengakuan pria gila itu. Aku menghela napas
kasar, memandangi kedua cincin tersemat di jari kiri dan kananku. Cincin
pertunangan di jari manis kiriku baru melekat 3 bulan ini, dan cincin pemberian
Ryan hadiah 2 tahun anniversary hubungan kami saat masa putih abu-abu dulu. Ryan
memanglah bukan sosok yang romantis tapi berada di sisinya membuatku nyaman, kami
sama-sama memiliki indra keenam dimana kami bisa melihat makhluk halus. Mungkin di
sanalah letak kecocokan kami.
Kedekatan kami dulu juga berawal dari arwah siswi penunggu toilet yang tidak
suka karena aku mendekati Ryan. Kala itu aku mendekati Ryan karena tau Kak Della
menyukai Ryan dan berniat merebutnya. Aku saat itu masih termakan hasutan bibi dan
pamanku. Namun ... seiring berjalan waktu aku benar-benar menaruh hati padanya, dan
Ryan yang dulu menyelamatkanku dari arwah siswi penunggu toilet itu sedikit
meninggalkan kesan dihatiku.

Senyum samar terukir dibibirku mengenang tingkahku dulu, mendekati Ryan


dengan segala keacuhannya.

“Non, udah pulang?”

Aku tersentak dan mengadahkan pandangan mencari asal suara, ternyata Bi Inah
telah berdiri di sampingku tanpa aku sadari. “Iya, Bik. Papi juga udah pulang
bahkan semuanya sudah ada di rumah.”

“Wah, kalau gitu Bibik ke belakang dulu ya, Non. Mau siap-siap bikin makan
malam. Non mau di buatkan apa?”

“Terserah Bibik aja. Ngomong-ngomong Bibik ngidam ya?” tanyaku tertawa jahil
menunjuk piring berisi buah yang di cincang-cincang, sepertinya rujak.

“Ah, nggak. Non ini ada-ada saja. Bibik udah tua begini mana mungkin hamil
lagi, dan juga kalau hamil di larang makan buah ini, Non.”

Alisku berkerut mendengarkan penuturan Bik Inah. “Lah, kenapa begitu, Bik?
Kan orang hamil ada juga yang makan rujak.”

“Bukan masalah rujaknya tapi buahnya, Non.” Bik inah menunjuk piring yang ada
di tangan kirinya. “Ini buah kiriman dari kampung Bibik, nanas muda semua. Orang
hamil di larang makan nanas muda, Non. Nggak baik untuk kandungannya, bisa-bisa
keguguran.”

Nanas muda?

Astaga, kenapa aku tidak pernah berpikir sampai kesana, ya? Benar juga buah
itu bisa menggugurkan kandungan dengan cepat dan selamat. Aku pernah membaca dalam
sebuah artikel tentang penyalah gunaan nanas muda di sana diterangkan bahwa nanas
muda mengandung enzim bromelin yang akan melunakkan dinding lahir dan termasuk si
janin.

“Non.” Bik Inah menyentuh bahuku menyadarkanku dari lamunanku lagi.

“Iya, Bik.”

“Non kenapa? Bibik perhatikan belakangan ini sering merenung.”

Aku menggeleng pelan seraya tersenyum. “Nggak kenapa-napa, Bik. Sedang banyak
pikiran aja biasa masalah pekerjaan.”

Bik Inah tersenyum maklum. “Ya sudah, Bibik ke belakang dulu, Non.”

“Eh, tunggu Bik.”

Bik Inah menghentikan langkahnya dan kembali membalikkan badan ke arahku.


“Kenapa, Non?”

“Hmm, Bik apa buahnya masih ada? Kalau iya boleh bikinin Rin juga, entah
kenapa tiba-tiba Rin jadi pengen.”
“Oh ... ada Non. Ini ambil aja belum Bibik makan, masih banyak di dalam bisa
di buat lagi kok, Non.”

Aku menerima piring berisi rujak nanas muda yang di sodorkan Bik Inah padaku.
Senyum ku merekah bagai memenangkan sebuah lotre, niat jahat begitu mendominasi
mengacuhkan hati kecilku.

“Terima kasih, Bik.”

“Sama-sama, Non.”

Setelah sosok Bik Inah menghilang dari pandanganku, aku memandangi piring
berisi buah itu. Penuh minat mulai kutusuk potongan buah itu dan mulai menyuapinya
ke mulutku. Degan tidak adanya janin ini maka masalahku akan selesai.

“Selamat tinggal masalah ....”

Bersambung ....
“Selamat tinggal masalah ....”

Kuangkat garpu yang telah ditusuki potongan buah nanas muda. Mulai memasukkan
potongan buah itu ke dalam mulutku. Tapi, sebelum garpu itu mendarat di rongga
mulutku, garpu itu telah lepas dari tanganku. Aku terkejut, tentu saja. Belum
selesai keterkejutanku sekarang aku kembali terkejut lagi begitu mendapati piring
berisi potongan buah itu juga ikut-ikutan jatuh ke rumput dan buahnya berserakan.
Aku langsung mendongakkan kepala hendak melihat siapa tersangka yang telah
menjatuhkan piring beserta garpu dari tanganku. Rasanya kerongkonganku kering,
mataku melotot begitu melihat siapa pelakunya, dan pelakunya adalah pria itu ...
Mike.

“APA YANG KAU LAKUKAN?!!” tanyaku lebih tepatnya seruku memaki tepat di depan
wajahnya.

Ia hanya diam mematung, metatapku tanpa berkedip. Terjadi kesunyian beberapa


saat diantara kami. Setelah menunggu beberapa saat Mike mengalihkan pandangannya ke
arah lain, dia tidak lagi menatapku. Tangannya mengepal, ia menghela napas secara
kasar terlihat berusaha menahan emosi. Setelahnya, Mike kembali menatapku dengan
kepedihan terpencar dari matanya yang terlihat sedikit merah dan berkaca-kaca.
“Seharusnya saya yang bertanya apa yang kamu lakukan?”

Sial.

Melihat tanggapannya itu aku merasa seperti tidak memiliki hati. “Bukan
urusanmu!” Aku mendengus kesal, mengalihkan pandangan dari matanya. “Lagipula ...
anak ini bukanlah anak yang diinginkan. Ada tidak adanya dia sama saja hanya akan
mendatangkan masalah bagi kehidupanku, memang anak haram tidak seharusnya ada.
Tuhan juga tidak akan menerima anak tidak sah seperti ini.”

Sepoi-sepoi angin berhembus menyejukkan wajahku yang terasa mulai panas, aku
diam menunggu reaksi Mike seraya memandang langit senja.

“Ini juga urusan saya. Kamu jangan terbawa emosi, Karina. Marah, emosi,
kebencian, itu hanya akan membawamu tersesat ke jalan yang salah. Kamu hampir saja
berniat mencelakakan anakmu, anak kita. Tidakkah kamu memiliki sedikit hati nurani?
Bagaimana jika kamu berada diposisi anak itu jika suatu saat ia mengetahui bahwa
ibunya tidak menginginkannya, bagaimana perasaannya.”
Aku diam tidak menjawab lebih memilih meresapi setiap untaian kata-katanya
yang ia ucapkan dengan tenang bahkan aku tidak dapat menangkap emosi dari suaranya.

“Kamu bilang bahwa anak itu anak tidak sah sehingga Tuhan tidak akan menerima
anak itu? Lantas apa tindakanmu barusan merupakan tindakan tepat? Berusaha
mencelakakan kehidupan baru di dalam rahimmu dengan cara memakan buah terkutuk itu.
Tidak kah kamu menyadari bahwa tindakanmu itulah yang tidak akan diterima Tuhan?”
Ia mendekatiku kemudian memegang kedua pundakku dan meremasnya pelan. “Karina,
bukankah seharusnya kamu juga tau bahwa tidak ada bayi yang lahir di dunia ini
dengan dosa ... ia lahir dalam keadaan suci, sama sekali tidak berdosa. Hanya saja
perbuatan kita itu baru di sebut dosa dan tidak pantas.”

"Jadi, Karina ... Saya mohon padamu dengan sangat untuk kamu berusaha
menerima janin dalam kandunganmu. Itu anakmu walau bagaimanapun itu, ia juga darah
dagingmu meski dia adalah anak yang tidak kamu inginkan. Saya mohon padamu,
Karina,” mohonnya seraya berlutut di kakiku. Mataku terbelalak tidak percaya akan
tindakannya.

“Berdiri! Aku bilang berdiri!!”

Mike menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kuat, sangat keras kepala. Aku


juga melihat matanya tidak berkaca-kaca lagi, air mata telah membasahi pipinya.
Mengapa ia sampai seperti ini? Sorotan matanya begitu pilu, seakan ia pernah berada
di posisi seperti ini ataukah ia begitu menginginkan anak? Entahlah.

Kembali mataku mepandang potongan-potongan buah yang telah berserakan di atas


rumput, berupaya tidak menatapnya.

“Baiklah, jika kamu bersedia mengatakan mengapa kamu sampai bersikap seperti
ini terhadap janin ini aku akan memikirkan permintaanmu. Juga tentang mengapa kamu
begitu nekat berterus terang pada keluargaku. Tentu kamu memiliki alasannya bukan?"

Mike mulai bangkit, menyeka air matanya. Matanya yang merah menatap ku lembut
dengan senyum terukir di wajahnya. Aku mengulum bibirku, menatan tawa karena
melihat wajahnya sekarang. Jujur, ia terlihat seperti badut dengan mata bengkat
serta hidungnya yang berwarna kemerah-merahan. “Baiklah ... saya akan
mengatakannya. Tapi, bukan di sini.”

“Ok, aku menuntut penjelasanmu,” ujarku seraya melangkah keluar dari halaman
belakang melalui pagar kecil yang terhubung langsung ke depan pekarangan rumah.
Mike tampak mengekor beberapa langkah di belakangku.

===oOo===

Taman Menteng tempat aku berada saat ini, aku melipat kedua tanganku duduk di
bangku taman bersama Mike yang sedari tadi diam membisu. Aku sedikit risih dengan
wanita-wanita bahkan anak remaja ingusan yang menatap Mike penuh minat, padahal di
sebelah mereka ada lelaki yang merupakan pasangan resmi mereka.

“Cepat ceritakan,” kataku menuntut seraya meliriknya melalui ekor mataku.

Mike menghela napas sejenak lalu menatapku yang berada tepat di sebelahnya.
“Kamu ingin saya ceritakan tentang apa dulu? Tentang pengakuan saya terhadap
keluargamu atau tentang sikap saya terhadap kandunganmu?”

“Terserah, aku akan mendengarkan penjelasanmu apa pun itu!”

“Jika kamu bertanya mengapa saya berterusterang kepada keluargamu itu karena
saya tidak ingin memulai sebuah hubungan dengan berlandaskan kebohongan. Hanya
dengan satu kebohongan maka akan berdampak dengan kebohongan selanjutnya, dan
selanjutnya. Hal itu akan terjadi terus menerus seperti itu, hingga akhirnya
hubungan juga akan berakhir karena kebohongan. Saya tidak ingin kedepannya kita
seperti itu. Sedangkan tentang kandunganmu ... ”

Aku menunggu kalimat terputusnya dengan tidak sabaran. Tapi, telah lama
beberapa menit berlalu dia masih saja diam dengan pandangan kosong ke depan.

“Sedangkan tentang?” tanyaku membeo memecahkan keheningan di antara kami.


Tapi, sebenarnya ini merupakan sebuah kode bahwa aku sudah bosan atas kebisuannya.

Mike terlihat tersentak dari lamunannya, menatapku sebentar seraya tersenyum


simpul. Namun aku merasa bahwa senyumnya kali ini terasa di terlalu paksakan,
sangat berbeda dengan apa yang terlihat dipancaran mata sayunya.

“Kamu sangat tidak sabaran.”

Oh, dia peka juga ternyata. “Jangan mengalihkan pembicaraan cepat ceritakan
saja!” Aku menaikkan nada bicaraku padanya berupaya mengalihkan pikiranku yang
tampak sedikit mengaguminya. Ingat cuma sedikit.

“Sedangkan tentang kehamilanmu ... saya tidak ingin kamu bernasib sama
seperti ... ” Mike kembali menjeda kalimatnya ia mendongakkan kepala ke atas entah
apa yang tengah ia pikirkan. “Ibu ....”

“Ibumu? Kenapa sama dengan Ibumu?” Aku menatap Mike bingung hingga dewi
batinku tampak memaki-makiku saat sebuah pemikiran menghampiriku. Aku menatap Mike
dengan ekspresi ketidak percayaan. "Apa mungkin Ibu mu itu ... " Aku menjeda
kalimatku seraya memikirkan perkataan yang pas. "Begini?" tanyaku dengan tangan
mengelus-elus perut rataku.

“Ya, Ibu sama sepertimu, hamil di luar pernikahan. Bedanya Ibu berjuang
sendirian membesarkan saya tanpa pertolongan dari keluarga. Hubungan asmara Ibu
dengan Ayah biologis saya sangat ditentang oleh keluarga Ayah biologis yang bahkan
saya tidak sudi mengakuinya sebagai ayah saya. Hanya karena Ibu dari kalangan
biasa, Ibu hanyalah anak yatim piatu yang hidup seorang diri di kota metropolitan,
dan Ibu dengan mudahnya termakan oleh kata-kata rayuan pria itu. Saat tau Ibu hamil
dia langsung memutuskan hubungan secara sepihak setelah itu entah pergi ke mana
dengan orang tuanya."

Aku menutup mulut mengangaku dengan kedua telapak tanganku, Sangat tidak
percaya bagaimana mungkin dengan teganya ia (Ayah Mike) pergi begitu saja setelah
mengetahui kekasihnya hamil.

Kamu tau Karina, saya sangat membencinya. Saat saya melihat anak sebaya saya
tengah bermain dengan ayahnya saya hanya bisa menatap dengan tatapan iri, saat saya
melihat Ibu di cemooh oleh tetangga karena tidak memiliki suami tetapi memiliki
anak saya hanya bisa diam. Karena itulah saya mati-matian belajar demi membanggakan
Ibu saya. Kesuksesan saya terbukti dari luasnya usaha yang hanya berawal dari satu
kafe dan restoran kecil menjadi besar seperti sekarang. Seluruh usaha saya namakan
atas nama belakang Ibu ‘Gladhis’ saya bangga menyandang namanya.”

Aku diam, sangat mengerti bagaimana perasaannya. Aku juga dulu besar tanpa
kasih sayang kedua orang tua menjalani kerasnya kota Jakarta. Tapi, entah mengapa
sejak aku mendengar nama tengah pria ini rasanya tidak asing. Nama Gladhis terasa
seperti kaset rusak dalam pendengaranku dulu aku juga pernah mendengar. Rasanya
tidak asing tapi dimana aku pernah mendengarnya?

“Lalu bagaimana dengan nama akhirmu? Rahardian bukan?”tanyaku sedikit


penasaran.

Raut wajah Mike berubah ketika aku menyebutkan nama akhirnya. Senyumnya
merekah kebahagiaan terpancar dari wajahnya. “Rahardian adalah nama keluarga yang
berjasa dalam hidup saya dan Ibu, Rahardian adalah nama keluarga ayah tiri saya.
Keluarga besar mereka menerima Ibu dan saya tanpa syarat memberikan kasih sayang
dengan tulus. Ayah tiri saya begitu menyayangi saya kedudukan saya dengan anaknya
sama. Tapi, saya tetap sadar diri dengan posisi saya. Ketika Ayah memberikan saya
perusahaan game miliknya, saya menolak dan menyarankan bahwa adik tiri saya lah
yang pantas memimpin perusahaan itu. Adik saya juga sangat baik dengan saya, saya
sangat menyayanginya.”

Aura kebahagiaan Mike tertular juga padaku, aku pun turut tersenyum mendengar
cerita bahagianya. “Adikmu pasti beruntung memiliki kakak sepertimu.”

Mike tertawa renyah seakan raut kepedihan yang tadi terlukis di wajahnya
tidak pernah ada. Senyumnya di kulum raut jahil muncul begitu saja. “Tentu saja dia
beruntung memiliki kakak setampan saya.”

Mendengar celotehan narsisnya refleks aku memukul lengannya pelan. “Aku


meralat ucapan ku! Dia pasti kasihan memilki kakak narsis nggak ketulungan
sepertimu. Tapi, sedikitnya aku mengerti akan penderitaanmu ....”

Apa mungkin hanya perasaanku saja sekilas tadi kurasa Mike tersentak. Raut
wajahnya tidak dapat aku baca. Apa ada yang salah dengan ucapanku?

“Ya, bagaimanapun saya yakin Tuhan tidak akan memberikan rintangan kepada
kita jika kita tidak dapat menjalaninya. Terbukti dengan kehidupan kita sekarang,
namun roda itu selalu berputar kadang di atas kadang di bawah. Seperti kamu saat
ini.”

“Maksudnya?”

“Bukan apa-apa, setidaknya saya tidak ingin seperti pria masa lalu mom. Coba
kamu pikirkan lagi tentang lamaran saya. Ayahmu meminta saya sekeluarga untuk
datang ke rumahmu secepatnya guna melamarmu secara resmi. Saya rasa tidak
sepantasnya datang tanpa seizin mu terlebih dahulu.”

Mike mengangguk seraya berdiri lalu mengulurkan tangannya membantukan untuk


bangkit dari duduk ku. Tidak mengidahkan pertanyaanku sebelumnya, membuatku
bertanya-tanya sebenarnya apa maksudnya.

===oOo===

“Saya tidak tau kalau kamu suka berdandan seperti bule. Melihatmu kemarin
saya sempat pangling tidak percaya dengan apa yang saya lihat,” katanya dengan
bibir berkedut menertawakan aksi gilaku. Ini ide Mami tapi malah aku yang
ditertawakan habis-habisan oleh pria ini.

“Ah, mengenai pakaian dalam pesananmu kemarin sudah saya beli, lohh. Malah
sekarang saya pakai. Mau lihat?” Seakan tidak puas dia kembali mengolokku seraya
berkedip nakal.

Double Sial.

Aku salah mencari musuh.

“Dari mana kamu tau? Perasaan penyamaranku telah sempurna,” dumelku


bersungut-sungut tidak terima hanya aku yang ditertawakan.
“Kukumu.” Mike menunjuk jari tanganku dengan dagunya sedangkan tangannya
memegang kemudi. Sorot jenaka masih terlihat dipantulan matanya.

“Ada apa dengan kuku-ku? Rasanya tidak ada yang aneh,” Aku mengangkat
tanganku ke atas.

Mike terkekeh geli. Sepertinya dia orang yang murah senyum dan tertawa.
“Memang tidak ada apa-apa dengan kuku mu. Maksudnya itu yang berwarna di kuku-mu.”

“Maksudmu kuteks?” tanyaku dengan memiringkan kepala ke kiri. “Memang ada apa
kurasa tidak ada yang aneh dengan kuteks-ku,” ucapku kembali menatap jari-jari
tanganku.

“Ya ... memang. Saya tau dari kuteks kamu. Saya perhatikan kamu sangat suka
mewarnai kuku mu dengan berbagai warna dan corak yang berbeda setiap harinya. Nah,
sepertinya pada hari itu kamu sangat sibuk sehingga tidak mengganti warna serta
corak pada kuku mu. Saya mengetahuinya dari sana. Awalnya saya pikir mungkin
hanyalah kebetulan, tapi saat mendengar suara mu saya sangat yakin bahwa itu kamu.”

Aku terpana mendengar penuturannya, dia orang yang sangat teliti. Bahkan
orang-orang terdekat ku jarang yang tau tentang kebiasaan ku memberi warna pada
kuku berbeda warna bahkan pola setiap harinya. Sesibuk apapun aku pasti sempat
memperbaiki tapi kemarin itu sepertinya pikiranku sangat teralihkan dengan masalah
ku akhir-akhir ini. Mataku memandang Mike dari atas sampai ke bawah, dia memang
tampan ku akui itu. Sifatnya jika dipikir-pikir merupakan idaman wanita dia
bertanggung jawab dan memiliki pemikiran dewasa. Berapa umurnya? Apa sebaya
denganku.

“Mike, berapa usiamu?”

“Kau mulai tertarik denganku, Karina?”

Aku mendengus kesal. “Aku bertanya padamu. Bukannya di jawab, eh, malah di
tanya balik.”

“Baiklah, baiklah jangan emosi. Kesehatan anak kita akan berdampak jika kamu
terus seperti ini. Kamu mengenal adikku bukan? Tentu saja kamu pasti tau umur saya
berapa. Saya beda 2 tahun dengan adik saya.”

“Mana aku tau! Kan aku nggak mengenal adikmu.”

Kini perasaanku bercampur aduk padanya kesal, gemas, dan tanganku rasanya
sangat gatal ingin kembali menyentuh rambutnya lebih tepatnya menjambak. Aku
manfaatkan kelengahan nya ketika menyetir untuk menjalankan niat baik dari hatiku
yang terdalam.

Mungkinkah ini permintaan janin dalam kandunganku? Tenang nak ibu akan
mengabulkannya.

“Tapi saya tidak habis pikir Shella mau-mau saja ikut denganmu berdandan
seperti itu. Apalagi ke restoranku.”

Tanganku yang sudah ada di atas kepalanya kembali kuturunkan. Mengurungkan


niatku begitu mendengar nama Shella orang yang telah aku anggap sebagai adikku
sendiri. “Tentu saja dia mau, dia bahkan mengikuti niatanku senekat apapun itu. Eh,
bagaimana bisa kamu mengenal Shella?”

“Saya mengenalnya sudah lama. Bahkan saya juga menganggapnya sebagai adik.
Jadi, Shella tidak menceritakan tentang saya? Padahal keluarga kami sangat dekat,”
terang Mike dengan kening berkerut.

Aku mengangkat bahuku malas mendengar nada narsisnya. “Memangnya kamu siapa
sampai-sampai Shella harus mempromosikan dirimu padaku? Jangan mengalihkan topik!
Berapa umurmu?!”

“Dasar calon adik ipar tidak berperasaan, setidaknya dia sedikit


mempromosikan ku padamu. Awas saja kalau bertemu di rumah tidak akan ada pelerai
peperangan mereka.”

Mike masih menggerutu menggembungkan pipi kirinya. Ekspresinya saat ini


sangat lucu. Tapi, tunggu kalau katanya Shella itu calon adik iparnya, aku
menganalisis setiap perkataan Mike memutar otakku, merangkum segalanya hingga
menjadi sebuah kesimpulan.

Astaga!

Aku menatap Mike horor ini lebih mengerikan dibandingkan melihat arwah Suster
Gayung. “Jangan bilang kalau Dennis ini adik tiri mu?”

Mike menjentikkan jarinya. “Ting tong. Tepat sekali.”

Bersambung ....

mari kita saling menghargai dgn meninggalkan jejak berupa klik tanda :heart: atau
dgn coment dan terima kasih udah mampir :kissing_heart:
Bab 8
Sekutu Rubah Betina

Terhitung sudah dua minggu aku lost contact dengan Ryan, dia tidak bisa
dihubungi. Tadi pagi aku mencoba menghubungi Ryan kembali, seperti biasa hanya
suara operator yang menjawab. Padahal aku berniat untuk mengajaknya bicara baik-
baik. Sepertinya ada sesuatu yang tengah dia sembunyikan dariku mungkinkah tentang
wanita yang selama ini diam-diam ia temui? Entahlah.

Mengenai Mike, aku terakhir bertemu dengannya kira-kira seminggu yang lalu.
Hari itu benar-benar sangat menguras emosiku. Bayangkan saja pria gila itu –Mike–
dengan mudahnya mengatakan bahwa aku hamil anaknya. Awalnya aku sangat marah
padanya tapi, ketika mendengar alasan di balik semua tindakannya membuatku melunak.
Dia juga memintaku untuk mempertimbangkan lamaran tidak romantisnya itu.

Jika kalian bertanya apa jawabanku atas lamaran tidak romantisnya, maka
jawabannya adalah ‘Ya’ setelah berpikir jernih selama seminggu tanpa gangguan
makhluk astral alias Mike serta petuah-petuah dari keluargaku yang membuatku
kenyang dan membuatku sedikit mulai menerima keadaan.

“Ya ampun Rin kalau main ngira-ngira ngapa? Sakit telinga kakak dengarnya.
Untung pengunjung kafe belum banyak,” gerutu Kak Della dengan menutup kedua
telinganya.

Ternyata, tanpa sadar aku menekan tust piano yang sedari tadi mengalun musik
Waltz in A minor dari Chopin secara keras menumpahkan emosiku hingga nada-nada dari
permainan jari-jari lentikku sedikit memekakkan telinga.

Aku nyengir kuda menghentikan permainan pianoku dan memilih berjalan menuju
meja di dekat piano. “Lagian, siapa suruh beli piano tapi nggak bisa mainin.
Parahnya lagi nggak bayar orang buat main malah aku yang terus diminta memainkan
piano ini. Dasar pelit. Udah deh kak, jual aja deh daripada jadi pajangan gini.”

Kak Della berdecak pinggang merengut kesal menatapku. “Enak ajaa. Lagian apa
gunanya punya adek yang bisa mainin dari pada bayar orang. Buang-buang uang juga.
Business is business, Honey,” ujar Kak Della menyolek daguku.

Baru saja mulutku terbuka, hendak membalas perkataan kakakku tetapi, aku
urungkan begitu mendengar nada suara tikus bercicit-cicit. Itu nada dering ponselku
nada khusus yang aku pilihkan untuk calon suami serta calon ayah anakku.

Mikemouse Calling

Kugeser ke kanan icon pada Smartphone-ku untuk menjawab panggilan dengan


malas. “Maaf, saat ini Anda berada dimasa tenggang, segera lakukan isi ulang pulsa
atau pembayaran untuk menggunakan layanan ini kembali. Hubungi 123 untuk informasi
lebih lanjut. Sorry—”

“Sudahlah Karina. Saya tau itu kamu, tidak usah berlagak seperti operator
supaya saya memutuskan panggilan. Kamu pikir saya bodoh apa bisa diperdaya seperti
itu.”

Sial, dia tau ternyata. Padahal susah payah aku menghafal dialog beserta
intonasi seperti Mbak operator. Menyebalkan.

“Ada apa?”

“Karena Oma dan Opa saya baru pulang nanti sore jadi kemungkinan besok malam
saya akan berkunjung ke rumahmu. Bilang mami tidak usah repot-repot karena kami
juga akan membawa makanan.”

Ya, aku telah memberi jawaban kepada Mike dan rencananya malam ini mereka
sekeluarga akan bertamu ke rumahku. Kemudian diundur karena para petua belum
datang. Entah sejak kapan hubungan Mike dengan keluargaku semakin dekat bahkan dia
telah memanggil mami, papi terhadap kedua orang tuaku.

“Baiklah,” jawabku sok kalem menyembunyikan perasaanku yang membuncah. Apa


aku sudah ketularan gila seperti pria di seberang sana?

“Besok kami datang sekitar jam 7 malam.”

“Ok, bye.” Tanpa menunggu balasan dari Mike segera aku putuskan panggilan
secara sepihak.

“Tega banget kamu Rin,” komentar Kak Della. Ternyata kakakku masih berdiri di
sampingku. Aku acuh dengan komentarnya.

“Mending kakak ambilin pesananku deh, ya. Nanti aku akan main lagi sebagai
bayaran bukankah tadi kakak bilang ‘business is bussness’ gitu.”

“Iya deh, kayak biasa, ‘kan?”

“Yup, 2 potong besar ya, Kak,” pintaku seunyu mungkin sampai membuat Kak
Della mendadak mual melihat tingkah tidak tau umurku ini.

===oOo===

Aku termenung bosan, Kak Della belum juga membawakan pesananku. 99,9% aku
sangat yakin dan 0,1% aku yakin Kak Della kini telah sibuk melanjutkan naskahnya
dan melupakan pesananku bahkan untuk mengatakan kepada karyawannya pun ia lupa
sehingga 5 orang karyawan Kak Della tampak sibuk melayani pengunjung tanpa
mengacuhkanku.

“Parah, gue nggak nyangka punya calon kakak ipar ngenes kayak anak ayam
kehilangan induknya macam lo, Rin.”

Aku tersentak saat melihat sosok Dennis duduk di depanku. “Enak aja lo bilang
gue ayam! Kalau gue ayam berarti lo calon adek iparnya ayam. Lagian, sejak kapan
juga lo ada di sini? Lo ngikutin gue?” tanyaku sinis.

Dennis mendengus menatapku sebal. “Sejak tadi dari lo main piano gue udah ada
di sini. Gue nungguin Shella, tadi gue duduk di sana.” Dennis menunjuk meja di
pojok dekat jendela. “Mending lo, gue saranin ke dokter mata sebelum nikah biar
katarak di mata lo ngilang. Abang gue semenawan itu lo cuekin malah pake acara
nanya kejelekan abang gue lagi. Asal lo tau aja, abang gue itu panutan bagi gue.”

Aku mencibir seraya berujar, “Cih, dasar Brother Complex. Kalau gitu, lo
seharusnya sopan sama gue, gini-gini gue calon kakak ipar lo. Panggil gue ‘Kakak’
ya, Dek.”

“Uek, ogah. Dosa apa abang gue punya calon bini kayak lo. Gue sebagai adik
yang amat baik hati dan senantiasa berdoa untuk kebahagiaan sang abang hanya bisa
turut berduka cita.” Dennis memasang wajah sedih dibuat-buat tertalu mendrama
membuatku melempar buku menu yang sukses mendarat diwajah menyebalkannya.

“Sialan! Lo kalau udah ngomong nyes baget! Nggak kakak nggak adik sama-sama
buat gue pusing. Aduuhh demi dewaa ....” Aku memijit pelipisku berpura-pura pusing.

Kami saling melempar pandangan sinis saling memasang ekspresi lucu hingga
akhirnya kami sama-sama tertawa. Tidak menyangka takdir akan seperti ini aku akan
menjadi kaka ipar Dennis hal yang tidak pernah tercatat dalam catatan
perencanaanku. Tawa kami terhenti saat melihat Shella menggeser kursi dan duduk di
sebelah Dennis dengan wajah manyun.

“Kak Rin kenapa nggak bilang sih kalau Kakak itu calon istri dadakannya Kak
Mike? Aku jadi kena semprot gara-gara nggak promosiin dia sama Kakak.”

Aku memutar bola mataku jengah dan Dennis tampak mengangkat bahu cuek.
“Biarin aja Shel, emang dia barang harus dipromosi-promosi segala. Kenapa nggak
sekalian dilelang aja.”

Shella melipat kedua tangannya di depan dada, mendongakkan kepalanya angkuh


dan menyapu rambut depannya sampai ke belankang dengan jari-jarinya. “Barang
limited edition saja kalau tidak di promosikan bisa tidak laku. Nah, seperti halnya
kakak saja yang tampan ini juga tidak akan dilirik Karina jika tidak di promosiin.”
Shella meniru gaya Mike lalu kembali berujar, “Gitu katanya, Kak.”

Aku melongo tidak percaya akan kenarsisan Mike yang semakin menjadi, menanjak
pada tingkat dewa. Dennis tertawa geli menggeleng-gelengkan kepala.“Lo kasih apa
abang gue, Rin? Sampai akut gitu narsisnya.” Dennis mencondongkan badan menoel-noel
pipiku dengan jari telunjuknya.

“Gue kasih keong racun. Ya ... mana gue tau. Abang lo udah narsis dari orok
juga,” sautku merengut kesal. Aku meraih jarinya yang masih sibuk menoel-noel
pipiku dan menggigitnya. Alhasil Dennis mengaduh kesakitan.

“Rabies lo!”

“Enak aja. Itu tanda sayang dari gue. Kapan lagi lo dapat kenang-kenangan
kayak gitu dari calon kakak ipar lo,” tukasku dengan wajah tanpa dosa melihat
jarinya berjejak gigi depanku, sama sekali tidak merasa bersalah akan tindakanku.
Shella tersenyum geli sedikit terhibur dengan tindakan sangat manusiawiku.

Kak Della datang dengan membawa baki ditangannya. Membawakan pesanan ku –


Brownies dan Hot Chocolate– di sana juga ada menu lain. Sepertinya, itu pesanan
Dennis. Belum sempat aku mengambil Hot Chocolate yang baru saja diletakkan Kak
Della di depanku Shella telah lebih dulu mengambil pesananku dan meminumnya.
Kubiarkan Hot Chocolate itu dan beralih memakan sepotong Brownies.

Shella sepertinya masih merajuk karena Mike dan Dennis tampak membujuk Shella
dengan sogokan berupa Milk Shake Strawberry minuman kesukaan mereka berdua,
sedangkan Kak Della telah sibuk dengan laptopnya tidak jauh dari meja tempat kami
duduk.

“Kak, gimana dengan Ryan udah ada kabar?”

Aku menggeleng sebagai jawaban diam terpaku, pertanyaan Shella kembali


mengingatkanku akan kegalauanku. Dennis menyikut Shella tidak enak denganku karena
secara tidak langsung abang tersayangnya terlibat dalam putusnya hubunganku dengan
Ryan. Cincin-cincin hubunganku dengan Ryan juga belum bisa aku lepaskan, aku ingin
melepaskan cincin ini langsung di hadapan Ryan dan Mike mengerti itu.

Bahkan baru kemarin kami datang ke rumah keluarga Ryan untuk memutuskan
pertunangan secara baik-baik. Awalnya keluarga Ryan sangat kecewa dengan
keputusanku tapi setelah menceritakan semuanya mereka mengerti dan aku juga
mengatakan hal ini jangan sampai di ketahui Ryan biar aku yang akan menjelaskan
langsung padanya saat dia pulang nanti.

Tapi, satu tanda tanya besar dalam benakku. Di mana Ryan kini berada?
Keluarganya bahkan tidak mendapatkan kabar darinya.

Dennis menepuk bahuku tersenyum menghibur. “Rin, lo jangan terlalu menjadikan


ini beban pikiran. Ingat lo sedangkan hamil setau gue orang hamil nggak boleh
banyak pikiran. Gue udah coba nyari Ryan belum ada kabar bahkan Rean juga nggak tau
Ryan sekarang di mana. Semua orang terdekat Ryan lost contact dengannya. Tapi, dulu
juga pernah seperti ini, 'kan? Nyatanya tu anak malah ngambil job di pedalaman.
Kita berdoa aja supaya Ryan dalam keadaan sehat di mana pun ia berada.”

Aku memaksakan bibirku untuk tersenyum meski pun sedikit. Bagaimanapun, orang
terdekatku telah banyak membantuku, aku tidak boleh egois mungkin ini takdir
hidupku.

“Iya, Kak. Maaf ... Shella nggak maksud membuat Kakak banyak pikiran,” ungkap
Shella menyesal dengan ucapannya tadi. “Tapi, aku bersyukur setidaknya Kakak yang
jadi istri Kak Mike bukan si Maya.”

Dennis mengangguk mantap, wajahnya menggeram marah bahkan tangannya sampai


mengepal di atas meja. “Gue setuju sama lo, La. Wanita ular itu emang nggak pantas
sama abang! Wajahnya aja polos-polos nipu untung Opa sama Oma-oma gue matanya jeli.
Bodo amat hubungan mereka nggak di restuin. Awalnya abang susah banget buat di
suruh putus hubungan dengan dia malah mom sayang sama Maya.”

Maya?

Ingatanku berkelana akan kejadian di Bar kala itu terbayang sosok akar
permasalahan di antara hubunganku dengan Mike. “Apa Maya itu rambutnya panjang
dengan gelombang di bawah?”
“Iya! Itu dia kok tau, Kak?”

“Rubah betina itu ... ” Emosiku langsung naik, sepertinya hamil membuat
emosiku tidak stabil. Lalu mengalirlah cerita tentang malam itu hal yang belum
pernah aku ceritakan kepada siapapun tentang minuman Mike yang dicampurkan obat
oleh si Rubah betina.

Siang itu aku habiskan untuk bercerita tentang mantan kekasih Mike, baru aku
ketahui bertama Maya yang kujuluki Rubah betina.

===oOo===

Eve Maria, jemariku dengan lues menekan-nekan tuts piano memainkan musik itu.
Bagi orang kebanyakan mungkin hanya musik ini biasa saja. Tapi, tidak demikian
bagiku. Eve Maria memiliki kenangan tersendiri bagiku. Kenangan hangat disela-sela
kepahitan hidupku di kala kecil.

Untuk pertama kali aku belajar piano dengan seseorang, bukan secara otodidak.
Pertama kali aku melihat ibu itu tengah memainkan alunan ini seketika aku terpesona
akan sosoknya, ibu itu cantik sangat cantik dengan matanya berwarna biru safir
melengkapi keindahan pada diri beliau. Aku selalu mengunjungi ibu itu untuk bermain
piano di kafenya.

Rose Café.

Itulah mengapa kafe itu begitu special karena memiliki kenangan berharga di
dalam sana. Namun, ketika mendengar mereka pindah ke luar negeri aku tidak pernah
lagi mengunjungi kafe itu baru saat bertemu dengan Mike waktu itu setelah 15 tahun
lamanya aku menanjakkan kakiku ke sana.

Senyum kepuasan terpancar di mataku melihat pengunjung kafe tampak menikmati


permainanku. Pandanganku terpaku begitu melihat sosok yang selama ini aku rindukan.
Meskipun telah lama tidak bertemu dengannya aku sangat tau itu adalah dia.

Ibu Lili.

Sorotan matanya masih terasa hangat. Tidak peduli dengan penampilan kumal ku
dulu dengan senyumannya sehangat mentari menerangi bumi memanggil ku dengan nama
Rose.

“Kak ayo sini,” ajak Shella dengan tangan menunjuk kursi tepat di sebelah Kak
Della duduk tadi.

Jalanku sangat kaku aku merasa menjelma menjadi robot . Rasanya penuh
perjuangan serta peperangan batin hingga aku akhirnya sampai di tempat Shella,
Dennis dan Ibu itu berada. Ibu itu tersenyum hangat padaku.

“Permainan mu sangat bagus, Nak. Ibu jadi melihat bayangan ibu di kala muda
dulu,” pujinya lembut.

Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. “Te ... terima ka ... ka ... sih,
Bu,” jawabku tergagap.

“Rin, ini ibu gue Lili dan Ibu, ini Karina ...” Dennis menjeda kalimatnya
tampak ragu, tapi tetap melanjutkan ucapannya yang terjeda. “Calon istrinya abang.”

Awalnya Ibu Lili akan mengulurkan tangannya. Entah mengapa beliau urungkan
dan sorotan hangat di wajahnya berubah menjadi pancaran ketidak sukaan.
“Oh, jadi wanita ini yang membuat hubungan Mike dan Maya hancur,” kata Mom
Lili memandang ku sinis. “Cepat pulang Dennis kita di suruh pulang untuk menjemput
Opa dan para Oma untuk besok malam pergi ke rumah WANITA INI,” ujar Ibu Lili
menekankan kata ‘wanita ini’ lalu bangkit berjalan meninggalkan kafe tanpa menoleh
ke arahku.

Dennis menatapku sarat permintaan maaf kemudian berlalu menyusul ibunya yang
telah lebih dulu berjalan meninggalkan kafe.

“Sabar ya, Kak. Entah mengapa Ibu sejak awal sangat menyayangi Maya ....”

Aku mengangguk lemah, memandang kepergian Ibu Lili dengan pandangan kosong.
Di saat aku kembali di pertemuan dengan orang yang sudah aku anggap sebagai ibuku
sendiri nyatanya kini aku harus menerima kenyataan bahwa ibu sekarang tidak
menyukaiku.

Ibu merupakan sekutu Maya si rubah betina ....

Bab selanjutnya

mari kita saling menghargai dgn login terlebih dahulu setelahnya meninggalkan jejak
berupa klik tanda :heart: atau dgn coment dan terima kasih udah mampir
:kissing_heart:
Bab 9
If You Can So I Can

Mataku terpaku lama menatap ruangan yang baru saja aku masuki. Rose Café pagi
ini masih lengang, bahkan hanya dua orang pelayan baru kulihat memasuki ruangan
dalam kafe. Menurut dugaanku, mereka mungkin chef dan peracik minuman di kafe ini.
Aku memilih duduk di tempat dudukku saat pertama kali aku mendatangi kafe ini
setelah belasan tahun lamanya.

Bukannya membantu-bantu di rumah untuk mempersiapkan acara makan malam dengan


keluarga Mike, aku malah keluyuran dan lebih parahnya malah ke kafe yang penuh
kenangan masa kecilku ketika usiaku 12 tahun. Mengingat sikap Ibu Lili kepadaku
kemarin masih tertoreh rasa sakit serta kepedihan, Ibu yang sangat kusayangi dulu
dan juga sangat menyayangiku bahkan menganggapku bagai anaknya kini begitu tidak
menyukaiku. Aku mendesah frustrasi, menautkan jari-jariku, menjadikan jari yang
tertaut sebagai penompang dagu.

“Mungkinkah Ibu Lili sudah melupakanku?” tanyaku bergumam pelan hanya untuk
diriku sendiri.

“Tidak, dia tidak pernah sekalipun melupakanmu ... Rose.”

Aku terperangah tidak percaya atas kebodohanku. Sial, aku lengah. Bagaimana
mungkin aku melupakan Bocah –Valdo– penunggu piano di kafe ini. Segenap kegundahan
berusaha aku samarkan agar tidak ketahuan jikalau aku dapat melihatnya, berupaya
bersikap tenang berjalan langsung menuju meja kasir yang dimana di sampingnya
terdapat mesin-mesin minuman-minuman kafe akan diracik. Langsung saja, aku memesan
Hot Chocolate karena pelanggan masih sepi maka pelayan gondrong bermata belo itu
langsung saja membuatkan minuman pesananku.

Valdo masih saja mengikutiku, badan kecilnya terlihat setara dengan tubuh
semampaiku karena dia melayang di atas kepalaku. Membuatku sangat risih saja. Aku
kembali ke tempat dudukku tadi, duduk tenang melihat pemandangan di sekitar kafe
seraya menyesap cokelat panas pesananku.
Bulu romaku berdiri. Bukan, bukan karena aku takut hantu sebab itu adalah
makanan sehari-hariku sehingga aku tidak takut lagi malahan aku lebih takut dengan
makhluk hidup. Makhluk hidup bisa melenyapkan nyawaku dengan tangan kosong
sedangkan makhluk halus butuh perantara. Bocah itu meniup-niup tengkukku. Ini lebih
menyebalkan dibanding bertemu dengan arwah kakek-kakek genit di depan halte bus.
Tanganku meraih ganggang cangkir minuman bersikap tenang menutup emosiku yang ingin
menghardik bocah ini.

“Masih tahan, Ros?” tanya Valdo menghentikan kegiatan usilnya. Melihatku yang
masih bersikap acuh padanya, membuatnya lebih gigih melakukan aksinya. Ia kembali
meniup-niup tengkukku bahkan kini telingaku daerah paling geli bagiku. “Jika itu
maumu maka aku akan terus seperti ini sampai kamu mengacuhkanku.”

Bocah sialan!

Aku tidak tahan lagi tubuhku bergetar hebat, bibirku juga bergetar hebat
menahan tawaku yang jika meledak akan membahana memecahkan kesunyian kafe yang
mulai ramai ini. Aku menggigit bibir bawahku pelan.

“Baiklah, baiklah aku menyerah. Bocah sialan.” Aku mengangkat tangan kiriku
mengibas-ngibaskan rambut sepinggangku memberi isyarat untuk Valdo menghentikan
aksinya.

Valdo duduk di atas meja yang tengah kududuki, menatapku bahagia seakan
menemukan mainan kesayangannya yang telah kembali. Dia menatap aku dari atas sampai
bawah setelah itu mencondongkan wajahnya menatapku lebih lekat dengan pandangan
menilai. “Tidak lama bertemu kamu sangat berubah, ya. Terakhir aku bertemu denganmu
saat kamu masih kecil tubuhmu kurus hanya tinggal kulit pembalut tulang dan
tampangmu seperti gembel. Dan sekarang, lihatlah! kamu seperti putri kayangan atau
apa ya orang sekarang bilang ...,” Valdo menjeda kalimatnya menepuk-nepuk jari
telunjuk di depan bibir, mungkin tengah berpikir. Valdo menunjukku dengan jari
telunjuk kanannya. “Aha! Wanita sosialita. Ya, kamu tampak seperti itu sekarang,
Ros!”

Aku meringis mendengar kalimat setengah pujian setengah hinaan-nya. Aku menyeka
noda cokelat di bibirku dengan tisu. Minumanku telah habis.

“Terima kasih. Kamu juga, tidak lama bertemu kamu sangat berubah, ya. Terakhir
aku bertemu denganmu saat itu kamu sangat menggemaskan dengan sifat kalemmu aku
menjadi tidak percaya bahwa kamu meninggal diusia dini. Tapi, kini kamu terlihat
lebih menyebalkan dengan tingkahmu yang sangat kekanakan aku bahkan mengira kamu
baru saja kecelakaan, karena kamu masih ‘bocah’ dimataku. Mungkinkah ini dampak
karena kamu terlalu lama menjomblo, Dek?” ucapku berbisik.

Senyum pepsodent kuberikan padanya dengan penuh suka cita aku kembali memujinya
dengan setengah menyindir. Sesuai motto-ku ‘mata dibalas mata’.
“Enak saja! Mulutmu bertambah pedas, padahal cabe lagi mahal-mahalnya. Asal
kamu tahu, aku ini lebih tua dari kakekmu! Umurku 2 abad tahun ini. Panggil aku
Kakek.”

Aku mengangguk paham, sangat paham. “Baiklah, mulai hari ini aku akan
memanggilmu Kakek ‘kecil’ jika aku ingat.”

Valdo merengut. “Terserah kamu sajalah.”

Aku terkekeh kecil. Melihatnya aku merasa seperti memiliki adik kecil padahal
dulu dia hanya sesosok bocah ingusan dengan tinggi sama sepertiku. Sekarang, malah
setinggi dadaku. Tanpa sadar aku tergelak melihat tingkahnya bahkan aku melupakan
sikap jaim dengan memperdulikan orang-orang di sekitar ku yang menatap ku dengan
kening berkerut bingung.

===oOo===

“Rose, lihat itu.”

Ucapan Valdo mengalihkan fokusku dari layar smartphone, aku tengah mengecek
email berjaga-jaga siapa tau ada tugas kantor atau laporan dari sekretaris Papi
masuk atau bahkan pertemuan-pertemuan yang lupa aku susun dijadwal Rean. Mengingat
Rean ... sebenarnya aku kasihan karena masalahku bulan madunya hanya berjalan
selama tiga hari itu pun juga diganggu mami. Padahal mereka telah berencana akan
berbulan madu selama dua minggu. Bahkan kini Rean memilih untuk kembali bekerja
meskipun masa cuti nya masih ada, dia tidak ingin memberatkan Papi.

Aku mengikuti arah pandang Valdo.

Mataku memicing berusaha menajamkan penglihatanku yang mulai sedikit bermasalah


akhir-akhir ini. Di depan meja kasir aku melihat Ibu Lili tengah bercengkrama
dengan pelayan gondrong bermata belo tadi, di sampingnya berdiri seorang wanita
muda yang selalu mengekori Ibu Lili tampaknya mereka sangat dekat.

Tunggu. Bukankah wanita itu si Rubah betina? Aduh, mengapa aku bertemu
dengannya di saat-saat perasaanku kacau begini. Rasanya tangan cantikku sangat
gatal ingin mencakar wajah serta menjambak rambut hitam legamnya. Pandanganku
dengan Ibu Lili bertemu, dia menatapku angkuh seraya memegang tangan si Rubah
betina lalu berjalan menuju tempatku tengah duduk saat ini. Tanpa meminta izin
dariku mereka menarik kursi dan duduk di depanku. Sepertinya aku salah memilih kafe
ini untuk menenangkan diri.

Mungkinkah ini kutukan Kak Della karena aku tidak mampir untuk bermain piano di
kafe nya?

“Loh, Bu kenapa kita duduk di sini? Meskipun kafe sedang penuh kan kita bisa di
dalam seperti biasa,” ujar si Rubah sok lembut kepada Ibu Lili dan memberikan
senyum penuh keseganan palsu padaku. Dasar!

“Nggak masalah. Kita juga ada urusan dengan wanita perebut tunangan orang ini.”
Ibu Lili menatap ku angkuh seakan aku merupakan budak nista dan beliau adalah
majikan kejam.

Maya menatapku dengan alis berkerut bingung wajahnya melongo besar seperti
sosok hantu Slendrina, game yang belakangan ini sering aku mainkan. “Memang kenapa
dengan Mbak ini, Bu? Bukankah dia pelanggan?”

“Ya, dia memang pelanggan. Tetapi dia juga calon istri Mike, wanita ini telah
merebut posisimu. Ibu nggak rela bukankah Mike dulu berjanji untuk menikahimu? Saat
Kakek, para Oma, Mas Danu, Dennis seluruh anggota keluarga kecuali Ibu semua tidak
menyukaimu bahkan tidak merestui hubungan kalian. Namun, Mike tetap bersikukuh
bertahan dan dengan nekat bertunangan denganmu. Hanya karena wanita ini muncul di
kehidupan Mike, membuat Mike memutuskan hubungan denganmu dua bulan lalu,” cecar
Ibu Lili dengan mata berkaca-kaca seraya menunjuk ku dengan jari telunjuk kanannya.

Wajah putih pucat Ibu Lili telah sedikit berubah warna menjadi merah jambu
samar, tangan beliau mengepal erat matanya menatapku sangat tajam. Hatiku sangat
terluka menerima perilaku beliau. Tidak tahukah bahwa aku sangat merindukan dekapan
serta sikap hangat Ibu Lili tapi aku tidak dapat merasakannya lagi, ibarat kita
sudah tiga hari tidak minum-minum di hutan belantara lalu kita melihat danau saat
hendak mengambil air dari jarak sepuluh langkah kita melihat ada buaya di danau
itu.

“Nggak masalah kok, Bu. Aku dan Mike mungkin memang tidak ditakdirkan bersama,”
kata si Rubah dengan air mata buaya yang telah membasahi pipinya.

“Nggak, nggak bisa. pokoknya Ibu nggak setuju bagaimanapun hanya kamu yang
pantas bersanding dengan Mike menemaninya hingga tua tanti.” Ibu Lili menyeka air
matanya menatap Maya dengan senyum penuh kelembutan. Melihat itu aku merasa seakan-
akan rubah betina itu telah merebut posisiku.

Aku menepis pikiran burukku.

Inilah mengapa aku hampir tidak pernah menonton drama romance. Buku dan film
tontonan ku tidak jauh-jauh dari horror dimana aku selalu bertemu dengan genre
supranatural, mistis atau bahkan thriller.

Walau hanya sekilas senyum licik Rubah betina itu dapat tertangkap oleh mataku.
Masih duduk di atas meja Valdo tampak melihat pemandangan dramatis itu dengan
malas, bocah atau kakek kecil ini pasti lebih jenuh lagi dariku melihat pemandangan
penuh drama antara Ibu yang terlalu lugu mempercayai mantan tunangan anak sendiri
sampai segitunya padahal wanita yang dipercayai merupakan ular berkepala dua.

Apa wanita pesolek itu tidak sadar, bahwa dengan dia mengeluarkan stok air mata
buaya miliknya dengan deras demi mendapat empati penuh dari Ibu Lili akan berdampak
pada riasan wajahnya? Maskara dan bedak setebal 5 centi meter itu telah luntur
hingga membuat wajahnya sangat memprihatinkan. Valdo telah tertawa dengan nyaring
sedangkan aku hanya bisa berusaha setengah mampus menahan tawaku. Sungguh ini lebih
buruk dari pada saat mengetahui fakta bahwa aku bisa melihat makhluk halus ketika
kelas 6 SD.

“Karina, bukankah kamu dari keluarga terhormat? Tidakkah kamu memiliki harga
diri hingga memanfaatkan Mike karena kehamilan mu. Jangan rusak hubungan Mike dan
orang yang sudah saya anggap anak sendiri. Hanya karena perbedaan kasta Rose tidak
bisa bersatu dengan Mike padahal saat kecil dulu mereka telah saling menyukai dan
berjanji akan menikah. Saat semua hampir dapat di raih nya malah ada halangan
seperti ini. Bersembunyilah sampai kandunganmu lahir setelah itu kamu bisa
memberikannya pada Mike. Rose bahkan tidak masalah merawat anakmu. Iyakan, Rose?”

“Iya, aku akan menerima anakmu akan membesarkannya seperti membesarkan anak
sendiri.”

Mataku berkedip-kedip dengan mulut menganga. Bukan karena permintaan tidak


masuk akal Ibu Lili atau omong kosong yang dilontarkan Maya si Rubah betina. Tapi,
nama yang di sebut-sebut Ibu Lili.

Rose.

“Rose? mawar?” tanyaku berpura-pura bodoh guna memastikan pendengaranku apa


tidak salah seraya menatap Vino meminta penjelasan lebih lanjut.

“Bukan. Rose itu panggilan Ibu Lili dan Mike padaku,” terang Maya.

Valdo melayang di atas kepalaku lalu turun mendekati telingaku. “Itulah


sebabnya tadi aku katakan bahwa nyonya tidak pernah melupakan mu sekalipun, Rose.
Hanya saja kini posisimu telah di ambil alih oleh Rose gadungan ini.”

Wohoo. Aku mengerti sekarang.

Jadi, siapa yang mengambil posisi siapa di sini? Jelas-jelas dia mengambil
posisiku dan secara tidak langsung dia telah mengibarkan bendera perang padaku.

Rubah betina itu mengulurkan tangannya padaku. “Kita belum berkenalan bukan?
Perkenalkan aku Maya Fristy. Mantan Tunangan Mike dan Pemilik Butik Fristy.” Dia
tersenyum semanis gula padaku, di mataku itu seakan senyuman mengejek akan
posisinya yang merupakan mantan tunangan Mike. Halah, mantan saja bangga! Dan dia
juga memamerkan bahwa ia memiliki salah satu butik besar di Jakarta tapi aku tau
butik itu baru memiliki dua cabang saja dan itu di Bandung dan Medan. Aku akan
memasukkan nama butik itu dalam buku hitamku serta melarang keluargaku untuk
membeli baju di sana.

Aku menerima uluran tangannya. “Saya Vaesta Karina Wijaya. Sekretaris dari adik
saya yang merupakan CEO, anak dari pemilik The Word Hotel dan 'calon istri
Mike' ... sangat senang berkenalan denganmu,” ucapku dengan memberi penekanan pada
nama keluargaku. Aku tersenyum semanis madu, senyumku memiliki makna tersirat
berupa senyum kemenangan.

Sejenak aku menangkap kekagetan diraut wajahnya. Namun, ia dengan mudah kembali
mengembalikan emosinya. Sebenarnya aku malas melakukan ini sama saja dengan aku
membanggakan harta orang tuaku tapi saat ini kondisinya sedang urgen.

Kami sama-sama tersenyum.

Dengan ini aku menerima peperangan dari Rubah betina ini. Aku akan berusaha
untuk mengambil kembali posisiku karena akulah Rose yang sebenarnya kemudian aku
akan menendang wanita ini. Segera.

If you can so I can.

Bab selanjutnya

Hallo mari kita saling menghargai dengan meninggalkan jejak berupa cap kaki dengan
cara login terlebih dahulu lalu klik tanda :heart: (like) atau dngan coment dan
terima kasih ya sudah mampir :kissing_heart:
Bab 10
The Sassy Grandma

Tangan kami masih saling berjabat. Aku melepaskan jabatan tanganku dengannya,
memasang wajah ramah yang juga sama di buat-buat seperti rubah betina ini,
sedangkan Ibu Lili masih melihatku dengan tatapan garang khas miliknya. Aku tidak
ingin terbawa perasaan melihat sikap Ibu Lili kepadaku sedari tadi mataku sudah
merasa sangat panas tinggal menghitung menit air mataku jatuh tanpa pamit aku
langsung saja beranjak dari duduk ku berjalan pergi meninggalkan kafe. Oh,
mungkinkah seperti ini rasanya jika tidak di sukai sama calon ibu mertua.

Aku menuju tempat si merah terparkir dengan gagahnya. Memutar bola mata dengan
malas ketika melirik dari ekor mataku bahwa Valdo masih setia mengikutiku. Ia kini
tengah melayang di atas kepalaku.

“Kenapa kamu masih mengikutiku, Bocah?” tanyaku tanpa melihat ke arahnya, tidak
ingin leherku terasa pegal karena mendongakkan kepala untuk melihatnya.

Valdo tersenyum, dari pancaran matanya terbaca sorot keingin tahuan yang amat
besar. Aku yakin ia ingin menanyakan perihal antara aku, Ibu Lili, dan Rubah betina
tadi.

“Sudah ku bilang panggil aku ‘kakek’ di mana sopan santun mu?” Valdo melipat
tangannya di dada. “Aku menuntut penjelasan darimu, Rose. Ada hubungan apa antara
kau dengan Rose gadungan itu?”

Aku tidak mengidahkan pertanyaannya lebih memilih menatap si merah dengan


memencet smart key-ku yang sedikit macet mungkin batrainya telah habis mengenang
umurnya sudah lebih dari 5 tahun. Sedikit lega saat akhirnya si merah menyahut juga
tertanda smart key ini masih berfungsi walaupun ngendat. Sepertinya aku harus
menyempatkan waktu untuk membeli yang baru nanti.

Aku menjatuhkan bongkongku di jok pengemudi dan mulai menstarter si merah.


Valdo masih mengikutiku bahkan ikut-ikutan masuk dan duduk di kursi penumpang tepat
di sampingku. Aku menatapnya tajam memperlihatkan secara langsung akan ketidak
sukaanku terhadap keberadaannya di sini. “Mengapa kamu juga ikutan masuk?”

“Mengapa kamu tidak menjawab pertanyaanku?” sahutnya dengan tidak menjawab


pertanyaanku melainkan ikut-ikutan mengajukan pertanyaan sepertiku.

Aku berdecak kesal. “Kepo!”

“Apa itu ‘Kepo’? aku tidak tau maksudmu.” Alisnya berkerut bingung menandakan
bahwa ia tidak pura-pura atas pertanyaannya tadi. Astaga dia telah lama berada di
sini tidak tau apa maksud dari kepo? Jadi, apa saja yang telah ia lakukan dengan
tidak mengikuti perkembangan zaman sedangkan di kafe terdapat banyak remaja-remaja
muda datang berkunjung serta di sana disediakan televisi sebagai sarana hiburan.

Baiklah aku mengalah, memang sebaiknya aku tidak mengacuhkan bocah atau lebih
tepatnya kakek kecil ini. Akan sangat merepotkan jika dia masih saja terus
mengikutiku.

“Artinya ingin tau urusan orang lain. Itu artian menurutku, sih,” jawabku
seraya melanjutkan kegiatanku yang sempat tertunda tadi menstarter si merah agar
segera melesat meninggalkan area mencekam ini.

“Oh, tapi mengenai pertanyaanku tadi apa benar kamu adalah calon istri Mike?”

Aku mengangguk sebagai jawaban.

“Wah, kalau begitu artinya kamu benar-benar akan menikah dengan orang yang
selalu menjadi lawan debatmu, Rose.”

Aku menatap Valdo terfokus menatapnya dengan raut bodoh. “Apa maksudmu? Apa aku
pernah bertemu dengan Mike sebelum ini?”

Kakek kecil tampak tersentak kaget lalu menggeleng-gelengkan kepala tidak


percaya seraya berujar, “Loh, Rose kamu sama sekali tidak mengingat Mike? Kamu
bahkan selalu berdebat dengannya dulu kalian bagai kucing dan tikus tapi selalu
bersama. Ketika kamu mengunjungi kafe ini bahkan ketika kamu bermain piano jika
sedang tidak ada tugas sekolah Mike selalu menemani iringan pianomu dengan ikut-
ikutan bermain biola.”

Mendengar penjelasan Valdo aku menutup mataku, kedua jari tengahku kiri-kanan
memegang pelipisku menutar-mutarnya pelan guna mengingat-ingat kenangan lama.

Flashback

Ibu Lili berjalan dengan tangan menggenggam erat tangan seorang anak laki-laki
yang sepertinya sebaya denganku, anak itu memiliki mata yang sama seperti Ibu Lili
pahatan wajahnya amat sempurna jika telah dewasa nanti aku yakin dia akan sangat
tampan dan banyak wanita akan menggilanya.
“Rose, kenalkan ini Mike anak Ibu.” Ibu Lili menatapku lalu beralih pada anak
laki-laki itu.”Mike kenalkan anak perempuan di depanmu ini namanya Rose. Dia biasa
bermain piano di sini.”

Anak laki-laki itu menatapku datar. Bukan, bukan sorotan ketidak sukaan atau
bahkan raut penghinaan atas penampilanku. Mungkin ia memang memiliki muka datar
tanpa ekspresi. Sangat membosankan melihat muka topengnya.

Aku mengulurkan tanganku sebagai salam perkenalan ke arah anak laki-laki itu.
“Perkenalkan aku Rose.”

Ia tampak menatap tanganku yang terulur lalu menatap Ibu Lili kemudian menatap
ku lama. Setelah menunggu sekian lama akhirnya anak itu melepas genggaman tangan
Ibu Lili dan menjabat tanganku yang terulur. “Aku Mike. Senang berkenalan denganmu,
Rose.” Ia tersenyum tipis meskipun tipis tapi aku dapat merasakan bahwa itu senyum
ketulusan.

“Ya sudah, kalian yang akur ya, Ibu mau ke belakang dulu,” permisi Ibu Lili
seraya menepuk pelan pundak kami berdua kemudian berlalu pergi meninggalkan kami.

Anak itu masih menjabat tanganku erat membuatku sangat risih. “Jadi kamu
Rose .... Mom sering bercerita tentang mu di rumah.” Ia menatapku dari atas sampai
bawah dengan tatapan menilai. “Mengapa penampilanmu seperti itu. Terlihat sangat
tidak terurus apa kamu tidak memiliki orang tua?”

Aku menundukkan kepala memilih menatap lantai. “Tidak, aku memang punya orang
tua tapi mereka tidak menginginkanku begitulah kata paman dan bibiku setelah paman
dan bibi menghilang tiga tahun yang lalu aku tinggal di panti asuhan sampai
sekarang.”

Terjadi keheningan di antara kami. Namun, tangan kami masih saling berjabat.

“Lihat aku. Aku tidak suka ketika berbicara dan lawan bicaraku tidak melihat
padaku. Aku akan minta Ibu untuk menyediakan pakaian layak pakai padamu bukan
pakaian lusuh seperti itu serta meminta Ibu menyediakan makanan banyak untukmu.
Lihatlah kamu sangat kurus seperti sayur toge tinggi tapi tidak berisi.”

Mendengar perkataannya aku mendongakkan kepalaku. Dalam pandanganku anak itu


menatapku angkuh penuh keangkuhan. Aku tersinggung dengan kalimatnya.

“Bukan urusanmu!” seru ku melepaskan jabatan tangan anak laki-laki itu dengan
keras.

Mulai sekarang dia adalah musuhku.

Flashback and
“Rose, Rose ... hey, sadar.”

Panggilan Valdo menyadarkanku tentang kepingan masa lalu mengenai awal


pertemuanku dengan seorang anak laki-laki, ia adalah musuh besarku.

“What? Jadi anak songong itu Mike?!”

Aku bertanya heboh kepada Valdo. Bagaimana mungkin anak songong itu Mike
sedangkan tabiat mereka sangat berlawanan. Makanya aku tidak kepikiran sampai
sekarang bahwa Mike adalah anak laki-laki berwajah topeng itu.

Valdo menatapku dengan senyum mengejek. “Gayamu, Rose. Kamu selalu memanggilnya
seperti itu nyatanya kamu melupakan fakta bahwa dulu kamu ....” Valdo mencondongkan
tubuhnya sedikit memutuskan jarak di antara aku dengannya kemudian ia berkata
dengan suara yang di pelankan seperti berbisik, “Pernah ada hati dengannya.”

Aku tercekat berusaha menormalkan emosiku. “Cuma Kagum,” ralatku.

“Ya ... apapun itu.”

“Terserah kamu sajalah! Sudah sana pergi sana aku mau pulang.”

“Aku ikut.”

Segala upaya aku jalankan untuk mengusirnya. Akhirnya ia mau juga pergi kembali
ke kafe dengan catatan aku harus sering mengunjunginya di kafe itu.

“Ah iya Rose.”

“Apa lagi?”

“Jangan jutek seperti itu lah. Kamu pasti akan menang melawan rubah itu karena
kau akan memiliki sekutu yang lebih kuat ... aku biasa menyebut mereka The Sassy
Grandma.”

Setelah memberikan informasi itu kakek kecil melesat begitu saja menghilang
dari pandanganku.

The Sassy Grandma? Siapa itu.

===oOo===

Ruang makan kini penuh dengan suara-suara bising. Memang saat ini tepatnya
malam ini keluarga besar Mike datang hanya saja Kakek serta Oma Mike akan terlambat
datang.

Aku menyikut Dennis yang kini tampak asyik memakan Ice Cream Strawberry
kesukaannya memang dia sangat suka dengan rasa itu.

“Ada apa?” tanya Dennis berdecak kesal tidak suka acara makannya terganggu.

“Lo kenal siapa itu The Sassy Grandma?” tanyaku berbisik.

“Tentu gue tau, dan dari mana lo tau tentang julukan itu? Perasaan itu julukan
gue, Shella dan Abang. Apa abang ngasih tau lo?” Dennis menjawab pertanyaanku
dengan berbisik pula.

“Aku bertemu dengan penunggu piano di kafe Ibu Lili dan dia mengatakan bahwa
aku akan memiliki sekutu kuat The Sassy Grandma katanya.”
Dennis menatapku tidak percaya. “Ternyata ada juga gunanya kemampuan menakutkan
lo itu. Gue salut emang mereka itu sangatlah memiliki kekuasaan dalam keluarga gue.
Apapun titah mereka akan di penuhi bahkan kakek gue takluk sama mereka.”

“Jangan bilang kalau itu Oma lo?”

“Yup emang. Dan lo akan sangat terbantu dengan keberadaan mereka karena mereka
juga sangat tidak menyukai Maya, bahkan terang-terangan mengusili si Rubah betina
itu."

“Wah, hebat juga! Tapi kenapa lo bilang dengan sebutan Oma-oma? Emangnya bini
kakek lo lebih dari satu?”

“Emang, kakek gue punya bini tiga.”

“What? Gila kakek lo!”

“Jadi, kapan sebaiknya acara pernikahan ini kita laksanakan?” pertanyaan Om


Danu –Ayah Mike– seketika membuat ruangan menjadi sunyi. Semuanya saling bertukar
pandang. Aku bahkan menghentikan percakapanku dengan Dennis.

“Saya terserah saja. Tapi, karena kita sama-sama tau bahwa Rin sedang dalam
keadaan hamil maka lebih cepat lebih baik.”

“Bagaimana jika seminggu lagi.”

Perkataan Mike membuatku melotot tidak percaya padanya. Ini gila! Bagaimana
mungkin dalam satu minggu mempersiapkan acara pernikahan.

“Tidak!”

Seruku bersamaan dengan Ibu Lili menyuarakan atas ketidak setujuan kami atas
gagasan Mike. Semua mata memandangku dan Ibu Lili secara bergantian. Ibu Lili
bahkan terang-terangan menatapku tajam, aku merasa matanya seakan memancarkan laser
penghancur padaku.

“Ehm ... maksud Rin itu bukankah ini terlalu cepat? Nggak mungkin pernikahan
akan bisa terlaksanakan selama seminggu. Bukankah semua sepakat akan mengadakan
acara dengan megah? Jika seperti itu tidak akan sempat.”

Semua yang berada di ruangan tampak diam berpikir tentang perkataanku tadi.
Sedangkan ku lihat Ibu Lili menghela napas lega. Begitu sayang kah dia dengan Rose
gadungan itu.

“TENTU SAJA BISA!”

Kami membalikkan pandangan kami ke arah asalnya suara. Di sana ada tiga wanita
paruh baya meskipun telah termakan usia mereka masih cantik dan sangat sehat
terlihat mereka sangat merawat tubuh mereka di sebelahnya juga ada sosok pria baruh
baya tampan itu pasti kakeknya Dennis dan Mike. Ternyata Dennis tidak main-main
mengatakan bahwa Kakeknya memiliki istri tiga. Bagai mana cara si Kakek ngatur
waktu, ya?

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Sial, gagal fokus.

Aku terperangah saat salah satu Oma yang berada di tengah membuka kaca mata
hitamnya. Astaga. Itukan ....
Oma Sara.

Tidak dapat menutupi keterkejutanku menatap Oma Sara dengan pandangan tidak
percaya sedangkan ketika pandangan Oma Sara bertemu denganku beliau mengedipkan
sebelah matanya.

Bertemu dengan Ibu Lili yang telah aku anggap ibu sendiri orang yang memberiku
kasih sayang layaknya seorang ibu, dan kini aku bertemu dengan Oma sara orang yang
juga telah aku anggap sebagai nenekku sendiri bedanya aku selalu bertemu dengan Oma
Sara bila ada kesempatan karena Oma Sara adalah waliku selama ini. Oma Sara
membiayai semua pendidikanku sampai ke jenjang tinggi beliau memberikanku
fasilitas-fasilitas mewah secara gratis tanpa mengharapkan pembalasan jasa dariku.
Sosok nenek yang amat aku sayangi.

Aku sangat tidak menyangkah bahwa dunia akan sesempit ini. Bukankah dunia itu
sangat luas bukan hanya seluas daun kelor? Tapi, mengapa bisa aku bertemu dua orang
sangat berjasa dalam hidupku hanya dengan pertemuanku dengan Mike.

Bersambung ....

Haii :relaxed: mari kita saling menghargai dengan meninggalkan jejak berupa cap
kaki dengan cara login terlebih dahulu lalu klik tanda :heart: (like) atau dngan
coment dan terima kasih ya sudah mampir :kissing_heart: :wink:

PS: Terkadang dunia itu terasa sempit, yaa ... tanpa sadar kita bertemu dengan
orang di masa lalu (pengalaman soalnya)
Bab 11
M.A.R.T

Waktu begitu cepat berlalu, secepat perencanaan pernikahanku dengan Mike yang
akan diadakan lima hari lagi. Aku tidak tau apa yang ada di dalam pikiran para
petua terutama para Oma, hanya dengan angrumen dari mereka semuanya langsung
tunduk, bahkan Ibu Lili saja tidak dapat membantah seakan keputusan para Oma
bersifat absolut.

Jadi, telah diputuskan pernikahan akan dipersiapkan hanya dalam jangka waktu
tujuh hari saja. Bayangkan, ini seperti sistem kebut semalam ketika mengerjakan
tugas sekolah yang di mana tugas itu akan dikumpulkan esok harinya sehingga kita
bergadang hanya untuk menyelesaikan tugas tersebut. Karena sistim mepet maka untuk
mempercepat semua membagi-bagi tugas.

Terdapat 3 kubu dalam pembagian tugas. Kubu 1 terdiri dari Papi, Ayah Danu,
Rean, Opa, Mami yang bertugas mempersiapkan ruang tempat resepsi sekaligus
mencarikan gereja yang dirasa pas untuk pelaksanaan janji pernikahan, menghubungi
pendeta, menghubungi photografer dan kebutuhan mempelai Pria. Kubu 2 Kak Della,
Naya, bertugas mencatat daftar tamu yang akan diundang, menghubungi desainer,
memilih makanan yang akan dikatering langsung dari restoran Mike. Terakhir, kubu 3
yaitu para Oma-oma rempong–Oma Sara, Oma Rika, Oma Dara–bertugas memantau interaksi
aku dan Mike serta segala kebutuhan kami.

Aku dan Mike? Tentu saja hanya duduk manis seperti boneka pajangan. Kami hanya
akan membatu jika dibutuhkan saja seperti saat ini aku diseret kesana-kemari oleh
para Oma hanya untuk mensurvei cincin pernikahan.

“Nah, Karina kalau yang ini gimana?” tanya Oma Rika menyodorkan kotak cincin
yang telah dibuka kotaknya ke arahku.
Aku meringis melihat kotak cincin itu. Bukan, bukan karena kotaknya melainkan
cincinnya. Cincin yang dipilihkan Oma Rika memang cantik tapi, aku galau melihat
permatanya yang ada di tengah-tengah cincin itu mana sebesar batu akik lagi.
Emangnya aku mau kemana memakai cincin seperti itu setiap hari? bisa-bisa aku
diculik hanya karena cincin itu. Apalagi cincin pernikahan itu bagiku sama halnya
dengan pernikahan yaitu sekali seumur hidup.

Belum sempat aku menjawab Oma Dara juga menyodorkan cincin pilihannya juga
kepadaku. “Rik, Karina mana suka yang seperti itu,” kata Oma Dara seraya mengambil
kotak cincin dari tangan Oma Rika lalu meletakkan kotak cincin itu di atas meja
lalu membukakan kotak cincin pilihannya untuk diperlihatkan padaku. “Karina
bagaimana yang ini bagus bukan akan sangat cantik di tanganmu.”

Ini lebih mengerikan lagi, sudah cincinnya punya permata sebesar batu akik
malah ada tiga buah lagi dalam satu cincin. Waduh, berapa harganya, tuh? Sepertinya
aku bisa membagun sebuah rumah hanya dengan menggadaikan cincin ini. Bisa jadi
harta pusaka turun menurun.

Aku menggaruk tengkukku yang sama sekali tidak gatal. Rasanya ingin menolak
tapi melihat mata Oma Dara dan Oma Rika yang menatapku penuh harap membuatku
sungkan untuk menolak.

“Hmm ... gimana ya ... Oma, Karina rasa cincin itu ‘agak’ sedikit berlebihan,”
jawabku menolak secara halus dengan menekan kata agak.

“Loh, di mana letak berlebihannya, Karina. Oma lihat ini adalah cincin model
paling sederhana Oma pilihkan untukmu,” komentar Oma Rika seraya memperhatikan
cincin pilihannya. Oma Dara juga mengangguk menyetujui pendapat Oma Rika.

Aku menepuk jidatku. Papi sepertinya Rin butuh boneka besar seperti milik Nana
di anime Crayon Shinchan buat pelampiasan.

Oh, adakah yang akan menolongku untuk menyelamatkan diri dari situasi ini?
Sebenarnya yang akan menikah itu siapa aku atau para Oma. Jika Mike yang menemaniku
setidaknya aku akan dengan bebas memilih. Tapi, aku sedang dalam masa pingitan
dengannya sehingga kami dilarang untuk bertatap muka secara langsung. Bahkan setiap
menit kami diawasi satu sama lain. Aku diawasi oleh Oma-oma sedangkan Mike diawasi
oleh Dennis, Shella dan Mami.

“Ya sudah. Dara, Rika kalian tenang dulu bukannya setiap orang memiliki selera
berbeda-beda.” Oma Sara yang sedari tadi tiba-tiba saja menghilang kembali muncul.
“Karina bagaimana kalau yang ini?”

Oma Sara menyodorkan kotak cincin padaku untuk aku membukanya sendiri. Aku
tidak ingin berharap lebih dengan cincin pilihan Oma Sara karena aku tau pilihan
mereka tidak akan jauh berbeda selera mereka hampir sama seperti layaknya anak
kembar. Entah bagaimana Opa–Kakek Mike– tahan dengan pola para Oma setiap harinya,
akan tetapi aku salut dengan Oma Sara karena beliau tidak kunjung dikaruniai
keturunan akhirnya orang tua Opa menikahkan Opa kembali dengan Oma Rika sayangnya
Oma Rika juga tidak memiliki anak sehingga Opa kembali dinikahkan dengan Oma Dara
barulah mereka memiliki anak yaitu Ayah Danu.

Meskipun begitu, mereka diperlakukan adil oleh Opa bahkan para Oma bisa saling
bersahabat walaupun mereka memiliki suami yang sama. Ini sangat jarang terjadi
seperti tingkah mereka yang memang bisa dikatakan unik.

Aku mendesah lega begitu membuka kotak cincin pemberian Oma Sara. Setidaknya,
cincin ini tidak semengenaskan cincin-cincin pilihan Oma Rika dan Oma Dara, cincin
ini terlihat elegan namun sederhana dengan tiga permata kecil tersusun rapi di
tengah-tengah cincin serta ukuran cantik di ujung kiri dan kanannya.

“Cantik ....” Aku mengelus-elus ukuran cincin itu menatap Oma Sara dengan
senang. “Oma, Rin mau yang ini saja,” ujarku semangat.

“Baiklah jadi masalah cincin sudah selesai.” Oma Sara mengedipkan sebelah
matanya padaku, aku merasa ada yang tidak beres di sini. Kembali aku memperhatikan
cincin tadi dengan teliti. Mataku terpaku pada ukiran lain yang berada di balik
cincin.

“M.A.R ... T,” ejaku membaca ukiran berpola alfabet di balik cincin.

Aku menatap Oma Sara menuntut penjelasan. “Oma Sara ini apa artinya M.A.R.T?”

Alis Oma sara tampak berkerut dalam, sedangkan Oma Dara dan Oma Rika
mendekatiku lalu ikut-ikutan membaca huruf ukiran yang terdapat pada cincin ini.

“Benar loh, Sar. Ada ukiran itu di belakang cincin,” ujar Oma Rika membenarkan.

“Apa artinya tuh, Sar?” tanya Oma Dara ikut-ikutan penasaran dengan artinya
sama sepertiku.

Oma Sara menggelengkan kepalanya lalu menganggkat bahu. “Oma tidak tau, Rin.
Sebenarnya itu cincin pilihan Mike. Oma hanya diminta untuk mengambil cincin itu
dan memperlihatkannya padamu. Siapa sangka kamu malah menyukainya.”

“Eh ... eh, Karina pilihan Oma ditolak tapi saat cincin yang dipilihkan Mike
langsung suka.” Oma Rika menaik turunkan alisnya menggodaku.

“Tentu saja, Rik. Kan pilihan calon suami itu memang special ataukah ini yang
dinamakan dengan ikatan batin? Iya kan, Karina.” Oma Dara ikut-ikutan menggodaku.

Wajahku rasanya memanas, padahal di dalam ruagan ini memiliki AC. Aku kembali
menatap cincin yang baru aku ketahui cincin itu merupakan pilihan Mike. Sial, jika
begini aku lebih memilih cincin sebesar batu akik itu saja dibandingkan seperti ini
menjadi bahan guyoman para Oma.

“Oma-oma sesudah ini kita mau kemana lagi?” tanyaku mengalihkan topik
pembicaraan seraya mamberikan kotak cincin itu kepada penjual untuk dibungkus.

“Oh iya, tunggu.” Oma Sara mengeluarkan buku kecil dari dalam tas tangannya,
setelahnya membuka lembaran buku itu dan membacanya diikuti oleh Oma Rika dan Oma
Dara yang mendekati Oma Sara ikut-ikutan menbaca cacatan itu. Setelahnya terlihat
para Oma berbisik-bisik. Mereka saling memandang, senyum usil dapat terbaca olehku
dari raut wajah mereka karena aku telah sering melihat ekspresi mereka sama seperti
Mami.

“Setelah ini kita ke butik memilih baju pengantin,” Oma Rika membantu menjawab
pertanyaanku terhadap Oma Sara.

“Kalau gitu ayo kita pergi, Oma.”

“Tunggu sebentar, Rin.”

Oma Dara dan Oma Rika meyerahkan kotak itu kembali kepada si penjual. Mataku
terbelalak begitu mendapati para Oma kembali dengan memengang cincin-cincin
membahana pilihan mereka tadi.

“Nah, Karina anggap saja ini cincin hadiah dari kami para Oma. Ayo, langsung
dipakai.”

Tanpa menunggu persetujuanku Oma Rika dan Oma Dara telah memasangkan cincin-
cincin itu dikedua jari tengah kiri dan kananku.

“Ma ... Makasih, Oma.” Aku memandangi kedua tanganku rasanya memakai cincin ini
seperti Mbah Dukun dalam versi sosialita.

===oOo===
Special Author POV

Bosan.

Hanya satu kata itulah yang terlintas dibenak Mike. Sejak kemarin ia dilarang
kerja oleh para Oma bahkan, kini meskipun para Oma telah disibukkan karena
mengambil tugas sebagai pengawas Karina tetap saja Mike tidak bisa lepas dengan
mudah. Penyebab susahnya Mike keluar hanya ada satu masalah yaitu Mami atau lebih
tepatnya ibunya Karina. Rasanya Mami itu seperti para Oma ataukah mungkin para Oma
sedikit membelah diri mereka masig-masing sehingga terbentuklah Mami.

Bagaimana mungkin Mike dapat menolak titah calon ibu mertua yang ada malah
tidak direstui lagi.

“Dennis, please bantu Abang kali ini saja, ya?”

Dennis menompang dagu dengan malas. “Nggak mau Bang. Aku tau banget seberapa
rempongnya Mami. Nanti bisa-bisa aku lagi yang disuruh meminum jamu terkutuk itu,”
tolak Dennis serata menunjuk gelas berisikan jamu dengan resep ala para petua.
Katanya sih, biar kuat gitu pas nikahannya. “Minum aja deh Bang, kan lumayan buat
belah semangka,” saran Dennis seraya terkekeh geli.

Mike menghela napas pelan. “Ini akan sulit ... terlebih jika Karina mengetahui
segalanya,” ujarnya seraya menatap pemandangan melalui jendela kamar.

“Kenapa Abang nggak jujur aja? Jika suatu saat Rin mengetahuinya dari orang
lain tentang itu aku yakin dia akan marah besar.” Dennis mengambil bantalan sofa
seraya memainkan ujung hiasan bantal tersebut.

Hanya helaan napas Mike yang terdengar, Mike tampak memandang sepasang burung
merpati yang hinggap di ranting pohon di dekat jendela kamarnya. Melihat reaksi
sang Abang akhirnya Dennis turut iba juga entah kepada siapa ia akan berpihak
Dennis pun bingung

“Bang, ngomong-ngomong Abang nitip cincin ‘kan sama Oma Sara?"

"Ya, Abang tau seperti apa pilihan para Oma, bisa-bisa Karina stres mendadak."

Dennis tertawa geli mengenang selera para Oma nan cetar membahana. "Juga pakai
ukiran huruf gitu ... ah, apa ya ....” Dennis menggaruk-garuk kecil dangunya
seperti orang hendak berpikir keras. “Hmm ... ‘M.A.R.T’ kalau boleh tau apa
artinya, Bang?”

Mike mengalihkan padanganya manatap Dennis dengan sorotan jahil seraya memberi
isyarat dengan jari telunjuk kanannya menyuruh Dennis mendekat. Mengikuti instruksi
dari Mike akhirnya Dennis beranjak dari sofa dan mendekatkan diri.

Mike mencondongkan badannya membisikkan sesuatu pada Dennis.

Dennis melongo untuk beberapa detik mengumpulkan kesadarannya, lalu beralih


menatap sang Abang yang telah berjalan dan duduk di sofa.

“Wuu, Norak lu Bang!” seru Denis seraya melempar bantalan sofa yang ternyata
masih ia bawa.

Bab selanjutnya

Hai hai update lagi, nih. Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada
pembaca baik di web maupun app makasih banget udah baca cerita ini jangan lupa
tinggalin jejaknya yaa (login terlebih dahulu) thanks udah mampir ....

:kissing_heart:
Bab 12
Rubah Betina VS The Sassy Grandma

Mulutku menganga dengan lebarnya. Aku memandangi butik tempat pilihan para Oma
untuk memilih baju pengantin. Memang butik ini sangatlah besar dan pakaian di
dalamnya bagus-bagus. Tapi, bukan itu masalahnya bukan butiknya melainkan
pemiliknya.

Fristy Butik.

Tentu tanpa aku terangkan kalian tau ini butiknya siapa. Ini butik si Rubah
betina. Aku menghela napas kasar. Dewi batinku memasang ikatan kepala kemudian
mengambil tombak runcing, baiklah, aku siap berperang dengan Rubah betina itu.
Setelah memantapkan hati, aku mengikuti langkah cantik para Oma memasuki butik
terkutuk itu.

Pemandangan pertama yang tertangkap oleh mataku bukanlah baju-baju di dalam


butik itu melainkan si Rubah Betina dan Ibu Lili. Hatiku sakit begitu memasuki
butik aku melihat Ibu Lili dan Rubah betina tanpak asyik bercengkrama seraya
menyantap kue-kue kecil dan terdapat cangkir minuman di sana. Ternyata Ibu Lili
tidak main-main dengan ucapannya untuk tidak menerimaku, beliau terang-terangan
menunjukkan kepada seluruh anggota keluarga bahwa ia tidak menyukaiku sebagai calon
menantunya. Ibu Lili bahkan lebih memilih bersama si Rubah betina dibandingkan ikut
andil dalam persiapan acara pernikahanku dengan Mike.

Oma Dara mendehem keras menghentikan acara bersantai Ibu Lili dan Rubah betina.

“Loh, Ma? Ada urusan apa kemari, Ma?” tanya Ibu Lili kepada Oma Dara.

Oma Dara melipat kedua tangannya di depan dada. “Memangnya Mama boleh ke sini
jika ada tujuan saja, ya?”

“Oh, nggak kok Oma Dara boleh ke sini. Tempat ini selalu terbuka buat Oma Dara
juga untuk Oma Rika dan Oma Sara.” Rubah betina bangkit dari singasananya menatap
para Oma dengan sikap sok sopan yang membuatku muak. Rasanya aku mual-mual melihat
tingkahnya atau mungkinkah anakku juga merasakan kadar kebusukan si Rubah sehingga
setiap aku melihat Maya rasanya aku ingin membenamkannya ke laut selatan.

“Baguslah kalau begitu kami boleh kan ikut bergabung?” Oma Sara tersenyum
semanis gula aren kepada Maya. Aku merasa terdapat senyuman lain di dalam senyuman
Oma Sara.Tanpa menunggu persetujuan Maya, Oma Sara telah lebih dulu duduk di sofa
kosong tepat disebelah Maya.

“Mana minumannya? orang tua bertamu kok tidak disuguhkan minuman,” sindir Oma
Dara seraya mengikuti Oma Sara duduk dikursi lain tepatnya di depan Maya.
Sedangkan Oma Rika memilih untuk duduk di samping Oma Dara. “Ayo, Rin. Duduk di
sebelah Oma.” Oma Rika menepuk-nepuk kursi di sebelahnya yang masih kosong. Dengan
sungkan aku mengikuti arahan Oma Rika mengacuhkan tatapan tajam yang diberikan Ibu
Lili kepadaku juga Maya si Rubah betina walaupun ia tersenyum tapi, mata tetaplah
tidak bisa berbohong.

Maya menuang teko yang berisi teh ke dalam empat cangkir minuman. Aku melihat
para Oma terutama Oma Sara telah berkode-kode, aku merasa mereka telah merencanakan
sesuatu.

“Aduh.”

Pandanganku beralih dari para Oma kesumber suara. Mataku terbelalak mendapati
air di dalam cangkir yang hendak si Rubah berikan kepada Oma Sara kini isinya telah
tumpah membasahi meja. Ibu Lili tampak cemas mendekati Maya yang tengah kepanasan,
tergesa-gesa mengambil kotak P3K di dalam lemari. Aku tidak habis pikir, para Oma
akan seusil ini. Lihatlah, kini Oma Sara telah mengulum bibir berusaha menahan
tawanya, Oma Rika dan Oma Dara tangannya ke bawah meja mengepalkan tangan serta aku
mendengar mereka berguman ‘yes’ meskipun dengan suara yang sangat pelan.

Informasi pemberian Kakek kecil sangatlah akurat, terlihat sekali bahwa para
Oma sangatlah senang melihat penderitaan Maya.

“Ya ampun Maya ... maafin Oma, ya. Aduh malah sketsanya jadi ikut-ikutan basah
lagi.” Oma Sara berkata dengan wajah bersalah, lalu mengambil lembar-lembar sketsa
Maya melap kertas tersebut berusaha mengurangi airnya. Tapi, memang lembar sketsa
itu menjadi lumayan mengering hanya saja gambar di dalamnya menjadi hancur nyaris
tidak terlihat lagi wujudnya.

Ibu Lili masih sibuk mengobati tangan Maya yang sepertinya sedikit terkena luka
bakar menjadi kaget melihat lembar sketsa milik Maya telah basah, apalagi gambarnya
sudah nyaris hilang. “Rose, lihat sketsamu itu untuk besok. Mama sengaja ya datang
kesini hanya untuk membuat Rose kesusahan.”

“Oh, jadi kamu sudah pandai memarahi Mama hanya karena wanita penipu ini? Dan
siapa juga Rose nama wanita itu adalah Maya.” Oma Sara menatapku tidak enak, memang
Oma Sara mengetahui identitasku sebenarnya. “Apa kamu benar-benar yakin bahwa dia
itu adalah Rose-mu itu?”

Ibu Lili terpaku, aku melihat si Rubah sudah mengeluarkan keringat dingin.
Mampus! Apa dia tidak tau bahwa sepandai-pandainya tupai melompat akan jatuh juga
betitulah halnya sebuah rahasia sepandai-pandainya menjaga akan ketahuan juga.

Maya meraih tangan Ibu Lili mengelus-elusnya lembut seraya menebar senyum
kepada kami semua. Senyum penuh kepalsuan.

“Tidak apa-apa kok Oma. Maya memang kurang suka dengan sketsa itu lagipula Oma
juga tidak sengaja menyenggol Maya sehingga airnya jadi tumpah.Maya tau kok kalau
Oma-oma tidak suka dengan Maya ... makanya Oma bilang seperti itu supaya Ibu Lili
membenci Maya.”

Aku sangat mual melihat Maya kembali mengeluarkan seluruh stok air mata
buayanya. Ibu Lili langsung saja memeluk Maya mencoba menenangkannya.

“Ma, sudahlah Maya itu memang Rose hanya saja ia pernah mengalami patah tulang
pada pergelangan tangannya sehingga tidak diperbolehkan lagi bermain piano,” bela
Ibu Lili menatap kami penuh permohonan supaya tidak lagi menyudutkan si Rubah.

Para Oma mendecih secara bersamaan. Saat Oma Rika ingin mengeluarkan agrumennya
Ibu Lili telah lebih dahulu membawa Maya duduk di atas sofa. Si Rubah tersenyum
licik di balik pelukan Ibu Lili.

Dasar culas!

===oOo===

“Ngomong-ngomong apa ada yang ingin Oma beli di butikku? Kebetulan hari ini
kami kedatangan stok baru.” Maya tampaknya berusaha menyogok para Oma dengan baju-
baju berkelas andalan butiknya.

“Ya, kami ingin membeli baju untuk pernikahannya Mike dengan Karina,” jawab Oma
Rika mewakili. Sedangkan Oma Sara telah berjalan menuju ruang baju memperhatikan
satu persatu baju pengantin yang ada di butik ini.

“Benar, makanya kami kesini katanya baju pengantin di butik ini bagus-bagus,
ya.”

Maya mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Astaga, adengan ini semakin mengarah
seperti adegan drama langganan Mami, dan aku bagaikan tokoh antagonis sedagkan si
Rubah sebagai tokoh protagonis-nya.

Sepertinya Oma Sara telah memulai aksinya dengan membuka lemari estalase tampat
pajangan baju pengantin andalan butik ini setelahnya memasang tempang seakan
menilai. “Apa hanya gaun ini yang terbaik di butik ini?” tanya Oma Sara seakan
mengejek setelahnya entah bagaimana bisa atau entah darimana datangnya kekuatan
super Oma Sara menanggalkan hiasan seperti mutiara yang tersusun rapi sebagai
penghias gaun yang tengah beliau pegang.

Oma Rika tampak mengambil baju pengantin lain dari pajangan. “Aduh, bahannya
jelek sekali mana harganya mahal lagi, kamu kebanyakan ambil untung, nih.”

Entah mataku yang salah lihat atau bagaimana, aku melihat Oma Rika mengeluarkan
pisau lipat dari saku jasnya lalu Oma Rika merusak gaun pengantin itu.

“Aduh, maaf Maya, Oma tidak sengaja menumpahkan teh ini jadi terkena nodanya
deh gaun ini,” ungkap Oma Dara seraya menunjuk tumpukan gaun-gaun pengantin bewarna
putih yang telah ternodai warnanya dengan noda teh yang sedikit kecokelatan.

“Maaf juga ya Maya, Oma tidak sengaja menanggalkan hiasan bulat ini,” terang
Oma Sara seraya meletakkan secara asal gaun pengantin yang telah cacat itu.

“Ups ... Maya gaun ini juga bermasalah ... setelah Oma perhatiin lagi ternyata
gaun ini di bawahnya sobek. Astaga, siapa yang tega berbuat kejam seperti ini
padamu,” kata Oma Rika dengan ekspresi dibuat sedramatis mungkin.

“Tidak masalah kok Oma, nanti bisa Maya perbaiki lagi.” Maya tersenyum maklum
dengan tangan telah mengepal menahan amarah. Aku tau dia sangatlah marah, dia akan
mengalami kerugian besar karena ulah para Oma.

Setelah itu seakan tidak mengenal rasa malu Oma-oma dengan santainya mengambil
stok persediaan gaun pengantin di butik Maya, kemudian memasang ekspresi seakan
menilai lalu membuang asal gaun-gaun itu di lantai. Aku lihat pegawai di butik itu
seakan takut-takut menatap si Rubah.

Kalian tau jika ini adalah kartun maka kalian akan melihat asap di atas kepala
Maya. Ibu Lili berusaha menenangkan Maya dan kembali menatapku tajam. Ya Tuhan Maya
kembali memulai drama picisan atau bahkan opera sabun khas si Rubah.
Sebelum aku terkena semprotan Ibu Lili secepatnya aku melarikan diri mendekati
Oma Sara. “Oma, pilih gaun yang mana, sih?”

Oma Sara membuang gaun di tangannya secara asal. “Kayaknya di sini nggak ada
gaun yang pas. Dara, Rika menurut kalian gimana? Nggak ada yang pas bagaimana
menurut kalian bukankah seperti itu juga?”

Oma Dara dan Oma Rika mengangguk secara bersamaan.

“Kalau begitu kenapa tidak Oma cari saja di butik khusus baju pengantin di sana
lebih lengkap persediaannya.” Maya berusaha memberi solusi menurutku itu merupakan
pengusiran secara halus.

Para Oma saling bertatapan seakan saling bertelepati.

“Iya, kenapa Oma baru kepikiran ya. Aduh bawaan umur ini.”

“Sara, kamu sih. Aku mana tau kalau ada butik khusus seperti itu. Maklum jarang
melihat majalah. Iyakan, Dara?”

Bohong besar! Padahal di ruagan santai mereka alias markas The Sassy Grandma di
sana terdapat banyak majalah-majalah fashion.

Oma Dara mengangguk mantap menyetujui perkataan Oma Rika. “Iya mungkin memang
benar bawaan umur kita ini ....” Oma Dara tertawa garing lalu membuka tas hendak
mencari sesuatu. “Oh iya, Maya. Lima hari lagi datang ya ke acara pernikahannya
Mike dengan Karina. Ini undangannya.”

Aku terperangah melihat aksi Oma Dara. Bukankah undangan belum selesai dicetak
atau kah mungkin undangan itu sengaja dibuat khusus untuk diberikan kepada Maya.
Sekarang aku yakin para Oma memanglah merencanakan hal ini sejak awal.

“Iya Oma, nanti akan Maya usahakan datang,” ujar si Rubah lirih.

“Baguslah takutnya nanti kamu nggak datang. Oh, iya Maya coba lihat deh cincin
di tangan Karina ini ... gimana menurutmu?” tanya Oma Sara seraya mengangkat kedua
tanganku yang tersemat cincin-cincin nan cetar membahana ulala.

Maya tidak dapat menutupi sorot isi serta ketidak sukaannya padaku untuk
beberapa saat. Namun, sepertinya ia sangat bisa menormalkan ekspresinya sehingga
kini si Rubah tersenyum sepanas neraka kepadaku.

“Bagus .... Selamat ya, Karina.”

“I ... ya, makasih ....” Aku tidak tau lagi bagaimana di dalam sana Maya dengan
Ibu Lili karena aku telah diseret oleh para Oma keluar butik milik si Rubah.

“Oma kita nggak jadi cari gaunnya?” tanyaku.

“Oh, jadi lah. Ini kita baru saja mau pergi,” jawab Oma Rika.

Tidak mengerti dengan jawaban dari Oma Rika aku bertanya lagi, “Lalu yang tadi
itu?”

“Yang tadi itu? Maksudnya yang di butik? Itu sih hanya pelepas stres saja,”
jelas Oma Dara seraya mengibas-ngibaskan tangan kanannya.

Setelahnya aku hanya mendengar tawa membahana The Sassy Grandma. Mungkinkah
para Oma begitu mengidolakan piala oscar sehingga mereka menyalurkan bakat
terselubung mereka kepada Maya si Rubah betina.

Malang nian nasibmu wahai Rubah betina.

Bersambung ....

Hai hai update lagi, nih. Sebelumnya saya ingin mengucapkan terima kasih kepada
pembaca baik di web maupun app makasih banget udah baca cerita ini jangan lupa
tinggalin jejaknya yaa (login terlebih dahulu) thanks udah mampir ....

:kissing_heart:
Bab 13
Sindrom Pranikah

Entah sudah berapa kali aku menghela napas untuk hari ini. Setelah mengunjungi
butik si Rubah betina, aku dan para Oma melanjutkan perjalanan menuju butik tempat
tujuan sebenarnya.

Ternyata benar, para Oma telah merencanakan ini semua terbukti dari butik
tempatku memilih gaun pengantin adalah butik milik adik kembarnya Naya yaitu Nayu.
Kenapa juga aku bisa lupa kalau kami memakai jasa WO perusahaan Nayu, parahnya lagi
aku baru ingat bahwa Nayu juga punya butik khusus pernak pernik pengantin sendiri.

“Ayo Rin, kita masuk semua telah menunggu untuk kamu coba.” Oma Dara dan Oma
Rika menyeretku sedangkan Oma Sara berjalan di depan seperti pemimpin pasukan.
Rasanya aku seperti tahanan yang jika tidak diawasi sedetik saja akan melarikan
diri.

Di dalam Nayu dan Shella telah menungguku. Tapi, aku sangat bingung mengapa
Shella ada di sini? bukankah dia mendapat tugas menjadi pengawas Mike.

“Loh, Shel mengapa kamu ada di sini?”

Shella menghentak-hentakkan kaki dengan wajahnya merengut menatapku kesal


seraya berkata, “Kakak lupa, ya? kalau aku dan Dennis bakalan jadi bridesmaid di
pernikahan Kakak dan Abang Mike. Ya, udah Aku duluan ya Kak, langsung ke lokasi
pemotretan di sana Abang Mike udah nunggu, loh. Kapan lagi Kakak bakalan ketemuan
sama Abang dan selamat mencoba gaun-gaun pilihan kami semua Kak.” Shella berlalu
dengan mengedipkan matanya sebelah.

Aku menepuk jidatku, tidak menyangka efek samping dari gangguan para Oma
rempong akan berdampak pada ingatanku. Jangan bilang bahwa aku kini sedang
mengalami gelaja penuaan dini? Kalau para Oma yang sudah tua saja masih berjiwa
muda lalu bagaimana dengan aku kan tidak enak didengar Karina si muda berjiwa tua,
bisa-bisa nanti Mike kecatol sama daun muda dan aku ditinggal nikah.

Ini bahaya!

Sesegera mungkin aku berlari menuju ruang pas di mana di sana terdapat cermin
yang bisa menampilkan seluruh tubuhku dari atas sampai bawah. Aku mencondongkan
badanku memeriksa wajahku apakah ada kerutan? Tubuhku membeku ketika aku memasang
ekspresi orang tertawa terdapat sedikit kerutan di ujung mataku. Dewi batinku
beranjak dari singasananya memarahiku akan kecuekanku yang sering melupakan nasehat
Mami tentang pemakaian produk krim malam.

“Ya ampun Karina ada kerutan di wajahmu!”


Mataku semakin membesar ketika melihat dari cermin bahwa di belakangku telah
ada The Sassy Granma. Mereka menatapku dengan wajah shok yang sangat berlebihan di
mataku, mereka berjalan mendekatiku berganti-gantian memeriksa wajahku, bahkan
mereka serempak mengganti kaca mata hitam gaya dengan kaca mata baca yang selalu
mereka bawa-bawa demi meneliti akankah ada kerutan lain di wajahku.

“Ini gawat Karina, ini masuk kategori siaga satu,” ungkap Oma Sara dengan mata
masih meneliti setiap inci wajahku.

“Iya Karina, bisa-bisa Shella yang pada hari itu menjadi bridesmaid akan lebih
cantik darimu saat acara pernikahan nanti. Parahnya lagi, orang-orang akan salah
mengenalimu dan menganggap bahwa pengantinnya adalah Shella,” komentar Oma Dara
melihatku dengan tampang prihatin.

“Bisa juga Mike akan diculik salah satu tamu wanita yang merasa bahwa dia lebih
darimu, Karina,” ujar Oma Rika seraya mengeluarkan Smartphone canggih miliknya,
memfoto kerutanku mungkin ... sebagai dokumentasi untuk penelitian mereka.

“Lebih sangat parahnya lagi, Mike juga terjebak pesona wanita itu,” tambah Oma
Sara membenarkan perkataan Oma Rika dan diiringi anggukan oleh Oma Dara.

Tidak!

“Oma-oma ... gimana, nih?” tanyaku dengan tampang menghina bak Cinderella nan
mengharapkan keajaiban sihir dari sang Ibu Peri. Aku tau dengan begini aku sukses
manjadi baham eksperimen The Sassy Granma. Tapi, rasanya kali ini aku rela jadi
bahan eksperimen para Oma siapa tau ... mereka akan memberi solusi terbaik atas
masalahku meskipun kemungkinannya sangat kecil. Aku semakin galau mengenang sesudah
ini aku akan bertemu dengan Mike di tempat pengambilan foto prewedding.

Sial, ini bukan siaga satu lagi melainkan siaga dua.

Oma Sara menyibak rambut depanku lebih tepatnya poniku. “Tapi, setidaknya kamu
tidak memiliki kerutan di dahi walau sebenarnya di dahi paling mudah
menyembunyikannya dengan poni. Dar, Rik ada saran tentang ramuan atau bagaimananya
untuk solusi mengatasi masalah ini?”

“Tunggu sebentar Sar, Aku coba bertanya kepada Mbah Google terlebih dahulu.”
Oma Rika tampak serius bergelut dengan smartphone-nya sedangkan Oma Dara secara
antusias melihat layar smartphone Oma Rika.

“Rik, kalau bisa yang herbal Karina kan sedang hamil.”

Oma Rika dan Oma Dara mengangguk menyetujui pendapat Oma Sara, mata Oma Rika
masih sibuk membaca artikel-artikel di web dengan sesekali sedikit membenarkan
letak kaca mata beliau yang kelihatannya sedikit longgar.

“Nah, ada ternyata!” seru Oma Rika kegirangan.

“Wah, banyak juga ya, Rik. Sara coba kamu ke sini kita seleksi mana yang bagus
untuk Karina pakai,” ajak Oma Dara dengan isyarat tangan supaya Oma Sara mendekat
melihat hasil penelusuran dari smartphone canggih Oma Rika.

Oma Sara mulai mengeluarkan catatan kecil bergambarkan si Moyong–kucing


peliharaan Oma Sara– mulai mencatat apa-apa saja perlengkapan yang harus
disediakan. “Masker Nanas? Sepertinya itu tidak perlu, Karina harus jauh-jauh dari
buah terkutuk itu.”

Aku hanya mengamati interaksi para Oma seraya mengambil duduk di lantai masih
di dalam ruangan mencoba baju. Sekarang aku mulai meragu, seharusnya aku minta
pendapat kepada Naya atau Shella.

“Jadi bingung mau pakai yang mana ... ada masker semangka, tomat, pepaya,
alpukat, bengkuang, anggur hijau, minyak zaitun, minyak jarak dan telur ayam
kampung. Ini semua untuk menghilangkan kerutan. Menurut kalian mana yang akan kita
pilih?” tanya Oma Rika sedangkan Oma Sara mulai memperhatikan dengan alis berkerut
dalam tulisan-tulisan di web yang baru saja beliau salin ke dalam notes miliknya.

Oma Dara terlihat seperti melafalkan mantra ‘cap cip cup kembang kuncup pilih
mana yang mau di cup’. “Kalau kita gunakan minyak zaitu saja bagaimana?”

“Kalau tidak manjur lah, percuma kan acaranya tinggal lima hari lagi,” ujar Oma
Dara.

“Ah, aku ada ide!” Oma Sara menutup notesnya dengan mata berbinar secerah
kilauan bintang di malam gelap kemudian menatap Oma Dara dan Rika secara bergantian
seraya berujar, “Gimana kalau kita pakai saja semua? Kita campur semuanya diaduk
menjadi satu semua bahan-bahan itu bukankah semakin banyak campurannya akan semakin
manjur.”

The Sassy Grandma mengangguk secara bersamaan. “Nanti malam langsung kita
coba!”

Mulutku menganga seperti goa, membayangkan sembilan bahan tadi dicampur aduk
menjadi satu membuatku mengira-ngira akan seperti apa jadinya nanti?

Mengerikan.

Nayu menepuk bahuku. “Rin, aku kira kamu udah nyobain bajunya. Gih, sana coba
itu semua merupakan gaun pilihan semua anggota keluarga jadi, kamu harus mencoba
‘semuanya’ harus tidak ada pengecualian.”

Aku rasanya ingin pingsan di tempat melihat tumpukan gaun pengantin yang
tingginya hampir setara dengan setengah tinggi badanku. Ini penyiksaan!

===oOo===
“Karina pakai ini.”

Aku mengambil kaca mata hitam pemberian Oma Sara dan dengan patuh memakainya.
Kaca mata ini berguna untuk menutupi kerutanku. Kami keluar dari mobil pemandangan
pertama yang terlihat di mataku adalah keindahan bagunannya, kami memilih vila
terdekat keluarga Rahardian sebagai tempat pengambilan foto prewedding. Tema foto
kami adalah ...
Perkelahian.

Iya, perkelahian yang itu. Jadi nantinya aku akan berpose seperti menendang dan
Mike seakan-akan jatuh tersungkur ke belakang karena tendanganku. Tentu saja jika
kalian bertanya ide ini siapa yang memutuskan orangnya adalah aku, ide mainstream
seperti ini lebih berkesan menurutku, lagipula ide dari Mike sangat pasaran berfoto
di pantai dengan sorotan langit senja. Romantis sih, tapi itu berlaku untuk
pasangan yang saling mencintai.

Naya berjalan menghampiriku dengan peralatan pemotretan lengkap telah


tergeletak rapi di lokasi adegan power ranger ala pernikahanku. Jika kalian
bertanya mengapa Naya yang akan memotretku itu karena tiba-tiba saja fotografer
yang telah kami sera mendadak sakit dan Naya dengan senang hati bersedia
menggantikan posisi fotografer itu, mengenang ia sangat hobi memotret.
Saat Mike keluar dari gedung setelah mendengar instruksi dari Naya refleks aku
menganga tidak percaya, secara spontan melepas kaca mata hitam pinjamanku
mengelapnya dengan tisu, sebelum kembali memasang kaca mata aku kembali memandang
Mike. Namun, apa yang terlihat di dalam pengelihanku masih sama bahkan aku sampai
mengucek-ucek mataku sebelum kembali melihat Mike setelahnya barulah aku memasang
kaca mata. Setelah melihat para Oma memberi kode agar aku segera memakai kembali
kaca mata ini.

Dalam pandanganku Mike terlihat bercahaya. Dia bagaikan dewa yunani yang
berjalan dikelilingi kunang-kunang hingga aku sangat susah mengalihkan pandanganku
darinya. Aku menggelengkan kepalaku tidak percaya dengan apa yang telah aku lihat
dengan mata kepalaku sendiri.

Sepertinya aku harus segera memeriksakan mata ke dokter mata, ataukah ini
dampak karena aku tidak melihat Mike salama beberapa hari?

Ini gila!

Siaga tiga.

Rasanya waktu berlalu begitu cepat bahkan tidak terasa pemotretan telah
selesai. Kini, aku duduk berhadap-hadapan dengan Mike, kami diberikan waktu hanya
berdua oleh para Oma.

Mike mendeham pelan. “Mengapa kamu sedari tadi diam, Karina?”

“Ingin saja,” jawabku seadanya. Rasanya di dalam dadaku terdugup kencang entah
ada apa denganku padahal aku tidak pernah merasa segugup apalagi seperti ini.
Jangan-jangan selain mataku yang bermasalah jantungku juga ikutan bermasalah?
Padahal rasanya aku sehat-sehat saja.

“Apa kamu sakit?”

Aku menggeleng kaku. Sial, ini bukan gayaku.

Melalui ekor mataku aku melihat Mike tampak mengusap-usap bawah dagunya yang
sedikit di tumbuhi jambang. Dia terlihat maskulin dengan pose seperti itu. Seketika
aku membuang jauh-jauh pikiran anehku, melap kasar air liur yang telah sedikit
menetes.

“Kapan pemeriksaannya?”

Aku mengedip-ngedipkan mataku. “Ap ... ” Mike menunjuk perutku. “Oh, lusa ...
ehm ... mungkin ....”

“Baiklah, lusa saya akan menemanimu memeriksa kandungan. Saya juga telah minta
izin kepada para Oma jadi tidak masalah kita berjalan berduaan meski pun masih
dalam masa pingitan.”

Keheningan kembali terjadi diantara kami bahkan untuk berbicara seperti tadi
saja kami tidak saling menatap satu sama lain.

“Mengapa kamu sedari tadi memakai kaca mata hitam itu, Karina? Bukankah itu
milik Oma Sara? Apakah matamu sakit sehingga kamu tidak melepaskan kaca mata itu?”

Tubuhku rasanya lebih menegang lagi, Mike telah kembali menjadi orang yang
cerewet, aku tidak tau akan menjawab apa atas pertanyaannya. Kan tidak mungkin aku
mengatakan seperti ini ‘nanti kalau kaca matanya dilepas kerutan di ujug mataku
akan terlihat olehmu’.
“Hahahaha ....”

Aku mengalihkan pandanganku menatap Mike dengan alis berkerut dalam, bingung
akan tingkah Mike yang tiba-tiba saja tertawa terbahak-bahak. Setelah memaksakan
diri untuk meredakan tawanya serta melap air matanya karena kebanyakan tertawa Mike
kini menatapku dengan lembut.

“Apa mungkin kamu terkena Sindrom Pranikah, Karina? Sehingga kerutan tidak
kasat mata seperti itu sampai kamu cemaskan ....”

Kesadaranku terbang mengudara. Sepertinya aku mengucapkan apa yang ada


dipikiranku tadi, rasanya aku ingin menembok wajahku untuk menyembunyikan rasa
maluku.

Triple sial.
Bab selanjutnya

hai kita ketemu lagi nih makasih ya udah mampir, jangan lupa ninggalin cap kaki nya
ya yang baca dalam diam sekali-kali tunjukin diri dong hihi bisa berupa tanda like
dengan mengklik tanda love di bawah cerita ini atau dengan memberi bintang di app
(yang ini modus) tapi sebelumnya longin dulu yaa hehehe

:two_hearts: :kissing_heart:
Bab 14
Kepingan Masa Lalu

“TIDAAK!!!”

Napasku tersengal-sengal aku terjaga dari tidurku, dengan takut-takut aku


memperhatikan sekitar ruangan. Benda pertama yang tertangkap oleh mataku adalah jam
dinding yang telah menunjukkan pukul tepat 8 pagi. Bajuku basah karena bermandikan
keringat, tubuhku menggigil kenangan lama kembali menghantuiku berupa mimpi-mimpi
buruk. Biasanya Ryan-lah yang akan menenangkanku karena dia memanglah seorang
dokter psikiater. Tapi, kini Ryan telah menghilang tanpa aku ketahui di mana
sekarang keberadaannya.

Memang aku telah berdamai dengan masa laluku, tapi seperti coretan pensil di
atas kertas walau telah dihapus dengan penghapus mahal sekalipun kertas itu tidak
akan seperti sedia kala melainkan berbekas. Sama sepertiku.

Lantas kepada siapa aku akan mengadu?

Tidak ada satu pun orang selain Ryan yang mengetahui keadaanku sebab aku tidak
ingin membuat semua orang menjadi khawatir terlebih Papi, Mami, Rean dan Kak Della
mereka pasti akan merasa sangat bersalah. Padahal ... yang seharusnya disalahkan
bukanlah mereka. Melainkan Paman Tyo dan Bibi Shinda.

Berusaha menengkan diriku dengan mengkhayalkan Ryan ada di sampingku, ia


biasanya selalu memberi instruksi agar aku mengambil napas lalu membuangnya secara
perlahan, seperti itu secara berulang-ulang.

Setelah merasa lebih tenang aku beranjak dari kasur menuju kamar mandi. Hari
ini aku memiliki rencana mengunjungi sebuah tempat, tentu saja hanya seorang diri.

Aku meringis begitu melihat sarapan berupa sayur mayur serta hidangan 4 sehat 5
sempurna lainnya telah tersedia di atas meja makan. Itu pasti sarapanku karena
terdapat sayur yang sangat banyak serta segelas ramuan–jamu–dari para petua.
Aku sangat dipusingkan dengan berbagai ritual dari para petua, rasanya hidupku
sangat tidak tenang Oma-oma saling bergantian mengawasiku, bahkan aku seperti
kelinci percobaan bayangkan saja, pagi-pagi aku yang biasanya ketika bagun meminum
Hot Chocolate kesukaanku sekarang diganti menjadi Jamu. Entah jamu apa itu aku
tidak tau rasanya sangatlah pahit. Setiap mandi aku bahkan dimandikan, luluran
serta dipijat dengan wewangian aroma terapi, tentu tanpa mengganggu kehamilanku
kalau yang bagian ini aku mah suka.

Rasanya Mike juga merasakan hal yang sama, baru kali ini aku sangat iba dengan
Mike. Tapi, jangan harap aku akan melunak padanya. Kemarin Mike memberitau kepada
para Oma bahwa jika aku ingin wajahku cerah dan awet muda maka aku juga harus
banyak-banyak makan sayur tentu saja para Oma langsung antusias menyiapkan segala
jenis sayur mayur sebagai salah satu menu yang wajib ada di dalam makananku.

“Loh, Rin udah bangun. Rapi gini mau ke mana?” tanya Oma Sara keluar dari dapur
khusus tempat memasak di iringi dengan Oma Dara serta Oma Rika.

Aku bingung akan menjawab apa itulah mengapa aku mengisi penuh-penuh mulutku
dengan makanan memakannya secara cepat-cepat lalu dengan menguatkan hati aku
meminum habis jamu buatan para Oma.

“Rin pelan-pelan,” Oma Rika mengingatkan.

“Tapi, kamu mau pergi kamana? Jangan bilang mau ketemuan sama Mike?”

“Salah Oma, Rin nggak ketemuan sama Mike. Pokoknya ke suatu tempat dan nggak
ada hubungannya dengan dia. Rin pamit dulu ya Oma ada urusan.”

Tanpa menunggu persetujuan aku segera kabur bak dikejar-kejar orang gila
kemudian menghidupkan si merah segera melesat meninggalkan kompleks perumahanku.

Hari ini sangatlah cerah. Aku berjalan menelusuri jalan setapak, setelah lolos
dari kecaman para Oma akhirnya aku sampai di tempat ini juga. Tanganku dengan hati-
hati memeluk dua buket bunga mawar merah yang masih berduri, aku sengaja meminta
kepada penjual yang durinya belum dilepas. Berjalan hati-hati melewati satu makam
dengan makam yang lain, mencari-cari makam di mana orang berharga bagiku
bersemayam. Aku menghela napas lega begitu menemui makam yang aku cari-cari,
sebenarnya tidaklah sulit menemukannya karena makan mereka letaknya bersebelahan.

Dua makam yeng bersebelahan bernamakan Tyo dan Shinda mereka adalah paman dan
bibiku.Sekejam apapun mereka kepadaku dahulu bagaimanapun mareka tetaplah orang
yang telah merawatku dari aku bayi. Meskipun begitu aku juga tidak bisa melupakan
apa yang telah mereka lakukan. Memaafkan itu memanglah mudah, tapi melupakannya
adalah hal tersulit.

“Apa kabar Paman, Bibi? Ini Rin datang membawakan bunga mawar karena Rin nggak
tau apa bunga kesukaan Paman dan Bibi. Tapi, bunga ini merupakan bunga kesukaan Rin
karena ... “ Aku menarik satu batang bunga itu dari tempatnya. Tanpa sadar tanganku
mengepal erat bunga mawar nan berduri itu sehingga durinya menancap di kulit
telapak tanganku, ini terasa perih tapi, tidak seperih perasaanku karena tindakan
mereka dulu. “Saat melihat bunga mawar merah semerah darah beserta durinya Rin
merasa seperti bunga itu ....”

Suaraku bagai ditelan agin ... ingatanku membuana, gambaran-gambaran masa


kecilku terbayang begitu jelas di dalam benakku.

===oOo===
Jakarta, 1996
“KARINA!”

“RIN! CEPAT KE SINI!!!”

Suara Bibi Shinda menggelegar hingga rasanya rumah ini terasa bergetar hebat.
Aku berlari-lari dari ruang bawah tanah menuju ruang tamu tempat Bibi Shinda
berada. Beberapa bulan lalu ketika membersihkan buku-buku di ruang baca Bibi dan
Paman tidak sengaja aku bersandar pada salah satu rak, aku terkejut begitu
merasakan tubuhku berputar secara tiba-tiba, refleks aku menjerit seraya menutup
kedua kelopak mataku.

Saat membuka mata pemandangan yang aku lihat adalah sebuah piano usang. Mulai
hari itu, aku selalu menyempatkan diri untuk bermain piano usang yang ada di sana
secara diam-diam dan mempelajarinya melalui buku panduan di dalam kardus yang
terdapat tepat di samping piano usang itu aku menjadi sangat lupa akan waktu.

“A ... ada apa, Bi?” tanyaku takut-takut. Hari ini sudah lima kali aku dimarahi
Bibi, setiap pekerjaan yang aku lakukan selalu salah di matanya. Tentu saja mana
ada pekerjaan rumah tangga akan sempurna jika dilakukan oleh anak usia tujuh tahun
sepertiku.

“Mengapa benda ini ada di dalam kamarmu?” tanya Bibi berdecak pinggang seraya
menatapku garang.

Tubuhku bergetar hebat, aku tidak tau jika buku panduan piano yang aku bawa
kemarin dari ruang bawah tanah akan kedapatan oleh Bibiku. Tanganku saling meremas,
lututku lemas jika Bibi mengetahui aku sering ke ruangan itu otomatis Bibi akan
menutup akses ke sana. Aku menggeleng sebagai jawaban. Menundukkan kepalaku dalam,
sangat takut jika aku memperlihatkan wajahku nantinya akan sangat mudah bagi Bibi
mendeteksi kebohonganku.

“Hei, angkat kepalamu anak nakal!”

Bibi memegang daguku dengan kasar, bahkan aku dapat merasakan sakitnya.
Entahapa salahku Tuhan, sehingga aku mengalami ini semua hanya sekadar untuk
bernapas terasa sulit. Bahkan, kedua orang tuaku saja tidak menginginkanku, paman
bibiku setiap hari selalu menyiksaku lantas, apa gunanya aku ada di dunia ini.

“Ada apa lagi ini, Shinda?” tanya Paman Tyo yang baru pulang kerja.

Bibi memukul kepalaku dengan keras hingga tubuhku oleng jatuh ke lantai marmar
nan dingin sedingin hatiku. “Ini, anak sialan ini sudah pandai memeriksa barang-
barang pribadi aku! Lihat ini Tyo! Anak sialan ini mengambilnya tanpa izin.”

Paman Tyo menatapku garang, langkah kakinya sangat lebar mendekatiku lalu
menjambak rambut sepinggangku. “Anak sialan! Pantas saja Shinta dan Wijaya
membuangmu dan menitipkannya pada kami! Ternyata kau belum sadar diri juga ya!”

“Paman ... ma ... u membaw ... a Rin kem ... ana?” tanyaku terbata-bata.

Sakit.

Aku menahan sakit ketika paman menyeretku dengan paksa menuju bagasi,
setelahnya tubuhku didorong memasuki mobil di bagian penumpang belakang pengemudi
setelah itu Paman dan Bibi masuk. Tidak perlu lagi berpikir akan dibawa ke mana
karena aku tau ke mana Paman dan Bibi akan membawaku.

Aku mengalihkan pandanganku dari jendela, menundukkan kepala seraya duduk


memeluk lutut. Kepalaku rasanya sangat pening dan lututku terasa perih karena
terbentur saat jatuh tadi, belum lagi jambakan paman yang rasanya tidak tertahan.
Aku ingin menangis, tapi rasanya air mataku telah kering. Ingin rasanya aku
membebaskan diri merasakan apa yang dinamakan kebebasan, namun rasanya hal itu
hanya ada di dalam angan-anganku saja.

Tubuhku oleng akibat mobil berhenti karena direm mendadak. Aku melihat
sekeliling entah sudah beberapa lama aku merenung sehingga mobil telah berhenti
yang dapat kulihat melalui jendela mobil adalah gedung sekolahan elit.

Sudah aku duga akan dibawa ke sini. Kalian tau ini tempat apa? Ini adalah
sekolah Rean dan Kak Della.

“Anak sialan! Lihat itu!” hardik Paman seraya menunjuk sesuatu yang memang
selalu ia perlihatkan kepadaku.

Mau tidak mau aku mengikuti arah yang ditunjuk Paman. Hatiku selalu sakit
melihat pemandangan di mana Rean dan Kak Della dijemput oleh kedua orang tuanya,
orang tua kandung yang telah membuangku. Ah, sungguh menyedihkan nasibku.

“Cih, sekarang kau sadar anak sialan! Della itu bukan anak kandung mereka saja
mereka adopsi. Tapi, anak kandungnya sendiri malah dititipkan kepada kami!” Bibi
membuka pintu mobil berjalan menuju tempatku duduk, Bibi membuka pintu di sebelahku
dengan kasar kemudian menarik bajuku lebih kasar lagi dan menyeretku keluar.

“Bibi ampun, Rin tidak akan membuat Bibi marah lagi.”

Bibi tidak mengidahkan perkataanku. “Sekarang cepat pergi ke tempat mereka, aku
sangat yakin mereka tidak akan mengenalmu! Cepat!!!”

Tanpa menunggu persetujuan dariku Bibi telah kembali masuk mobil, menguncinya
sehingga aku tidak dapat masuk sebelum melaksanakan perintah mereka. Aku
mengepalkan kedua tanganku, menarik napas dalam-dalam dengan terpincang-pincang aku
melangkah mendekati mereka.

Semakin dekat ... dekat. Rean tengah ada digendong Papi dan Kak Della tengah
bercakap-cakap dengan Mami. Aku hanya memperhatikan dari jarak 10 kaki, pandanganku
dengan Kak Della tidak sengaja bertemu dia berlari mendekatiku diikuti Mami.

“Hai, nama kamu siapa?” Kak Della meraih tanganku lalu menggemgamnya erat.
Ketika aku akan menjawab pertanyaannya mataku terbelalak begitu mendapati Kak Della
tengah menatapku dengan air mata telah membasahi pipinya. Itu bukanlah air mata
bohongan, terlebih aku merasakan seakan-akan dia dapat merasakan apa yang aku
rasakan.

Kak Della masih menggenggam tanganku, genggamannya semakin erat pandangannya


seakan kosong menatapku.

“Sayang, kamu kenapa?” Mami yang sedari tadi diam saja akhirnya mulai bertanya
kepada Kak Della karena tidak ada respon lalu Mami menatapku beliau tersenyum
hangat. “Maaf ya Dek, Della memang sering begini. Ibu kaget juga jarang-jarang
Della mau berinteraksi langsung dengan orang yang sama sekali tidak dia kenal.”

Papi ikut-ikutan mendatangi kami dengan tetap menggendong Rean. “Wah, Della
punya kenalan baru, ya? Siapa namamu, Nak?” tanya Papi juga dengan senyuman hangat,
tidak menatapku dengan pandangan merendahkan karena pakaianku yang kumal seperti
halnya orang-orang berada lainnya dan Mami mengelus-elus pelan kepalaku, tanpa
sadar air mataku jatuh ini terasa sangat hangat namun juga sangat menyakitkan.
Ternyata benar apa yang dikatakan oleh Paman dan Bibi bahwa mereka tidak
mengenaliku sama sekali. Aku melepas paksa genggaman tangan Kak Della segera
berlari mengabaikan sakit kakiku serta panasnya pasir tempatku berpijak karena aku
sama sekali tidak mengenakan alas kaki menuju tempat Mobil Paman terparkir dan
segera memasukinya.

Paman dan Bibi tertawa dengan puas melihatku kembali dengan keadaan kacau.
Tuhan, ini sangat menyakitkan.

Bab selanjutnya

hai kita ketemu lagi nih makasih ya udah mampir, jangan lupa ninggalin cap kaki nya
ya yang baca dalam diam sekali-kali tunjukin diri dong hihi bisa berupa tanda like
dengan mengklik tanda love di bawah cerita ini atau dengan memberi bintang di app
(yang ini modus) tapi sebelumnya longin dulu yaa hehehe

:two_hearts: :kissing_heart:
Bab 15
Mungkinkah?

Jakarta, 1997

Hari ini, tepat jam 12 malam di saat kembang api meletus aku hanya dapat
melihat keindahan kembang api dari jendela kamarku saja. Paman dan Bibi entah ke
mana, awalnya aku sempat berpikir jika Bibi telah berubah pasalnya hari ini Bibi
berubah 180 derajat menjadi sosok yang amat baik padaku. Tapi, tadi sore Bibi pergi
meninggalkanku hanya berduaan saja dengan Paman, selang beberapa jam setelah itu
Paman juga ikut-ikutan pergi meninggalkanku seorang diri di sini.

Aku terus menunggu ke pulangan mereka, tidak biasanya mereka akan pulang
selarut ini. Malam ini begitu dingin aku juga tidak berani menghidupkan lampu.

Menunggu ... menunggu ... terus menunggu ....

Satu hari ...

Dua hari ...

Tiga hari ....

Hingga seminggu berlalu, Paman dan Bibi belum juga datang ... aku melalui hari
di rumah besar ini hanya seorang diri. Persediaan makanan telah habis tidak bersisa
sedikit pun, aku bingung hendak mencari ke mana terlebih letak rumah ini sangatlah
jauh dari keramaian, bahkan dari kemarin aku hanya meminum air saja. Aku berbaring
di kamarku mencoba untuk tidur semoga saja dengan tidur aku dapat meredakan rasa
lapar serta perutku yang sedari kemarin meraung-raung minta diisi.

Krek ... krek ....

Telingaku menangkap bunyi-bunyi gaduh, mungkin Paman dan Bibi baru saja pulang.
Aku berjalan riang hendak menyapa mereka menuruni satu per satu tangga dengan tidak
sabaran. Namun, ketika aku akan sampai di lantai satu aku menghentikan langkahku.

Dari kegelapan aku dapat melihat bahwa orang-orang yang telah membuat keributan
di ruang tamu bukanlah Paman atau pun Bibi. Jumlah mereka ada dua orang, mereka
juga tidak menghidupkan penerang ruangan melainkan hanya menggunakan senter.

Siapa mereka?
Rasa takut mulai menyerangku ketika aku melihat kedua orang itu mulai mengambil
barang berharga milik Paman dan Bibi. Teriakan hampir lolos secara spontan dari
bibirku tapi, aku berhasil mencegahnya dengan kedua tanganku menutup mulutku rapat-
rapat. Mungkinkah mereka itu adalah maling? Kenapa mereka bisa masuk? Rasanya aku
tadi telah mengunci pintu rapat-rapat.

“Bagus, kita mendapatkan banyak harta benda di sini. Ternyata ada bagusnya kita
mengintai rumah ini dari seminggu yang selalu dalam keadaan gelap, terlebih rumah
ini terletak sangat jauh dari keramaian.”

“Memang idemu sangat cemerlang, Bang!”

“Tentu saja. Kita mendapat keuntungan, sangat untung malah karena pemilik rumah
lupa mengunci pintu belakang,” ujar suara bass nan asing di pendenganganku.

“Hahaha .... Pemilik rumah ini sangatlah bodoh!”

Aku tercengang begitu mendengar obrolan mereka dan salah satunya memiliki suara
seperti seorang wanita. Aku sangat tidak menyangka bahwa aku lupa mengunci pintu
belakang setelah mengangkat jemuran, aku memukul kepalaku merutuki kebodohanku.
Berusaha mengambil langkah mundur secara perlahan-lahan untuk segera melarikan diri
dari sini.

Prang ....

Keringatku bercucuran, bagaimana bisa aku lupa bahwa di sini ada guci
kesayangan Bibi? Untung saja kakiku tidak terkena pecahannya.

“SIAPA DI SANA!”

Gawat!

Walau lututku terasa lemas, aku mengusahakan untuk bisa berlari segera sebelum
para pencuri itu menyorotiku dengan senter mereka. Berlari terus berlari dan
berlari.

Tapi, terlambat. Ketika aku tengah berlari menaiki tangga mereka telah
menyadari keberadaanku.

“Hei, tunggu!”

Aku berlari sekuat tenaga menyelamatkan diriku sendiri. Tuhan, aku tidak ingin
mati. Napasku rasanya telah habis aku terus berlari, berlari menuju ruang bawah
tanah. Rasanya aku dapat bernapas lega ketika aku telah sampai di pintu
perpustakaan tapi, rasa panikku kembali muncul ketika aku tidak kunjung bisa
membuka pintu ini, bodoh sungguh aku bodoh bagaimana mungkin aku lupa bahwa pintu
ini telah dikunci Paman karena aku telah tau jalan menuju ruang bawah tanah.

Tubuhku semakin gemetaran saat aku mendengar langkah-langkah kaki mulai


mendekat.

Mendekat ... semakin mendekat.

Aku melirik kiri-kanan melalui ekor mataku karena tidak mendengar suara
langkah-langkah kaki para perampok itu. Mungkinkah mereka tidak menemukanku?

Aku bernapas lega, sangat lega hingga aku duduk di lantai menormalkan tubuhku
yang sangat letih.
“Permainan kita belum selesai ....”

Tubuhku menegang ketika mendengar suara itu. Itu suara salah satu perampok yang
pria. Tiba-tiba aku merasakan tangan besar sedikit bau pesing mendekap mulutku.
Salah satu perampok itu telah menangkapku.

Aku tertangkap.

Aku berusaha melawan menghentak-hentakan kakiku bahkan aku menggigit punggung


perampok itu, hasilnya percuma saja pria ini sangatlah kuat aku tidak kuasa
melawannya seakan perlawananku hanyalah sebuah gangguan kecil dia terus
menggendongku seperti karung beras. Pada akhirnya aku hanya bisa menyerah.

“Hanya anak-anak ternyata,” kata perampok wanita setelah melihatku di dalam


gendongan si pria.

“Kita apakan dia?” tanya perampok yang tengah menggendongku kepada sang wanita.
Wanita itu tengah mengemasi barang hasil rampokannya, setelah selesai wanita itu
tidak langsung menjawab pertanyaan si pria melainkan menatapku dari atas hingga
bawah seakan menilai kemudian berguman, suara gumanannya membuat bulu kudukku
terasa berdiri aku merasakan perasaan tidak enak.

“Kita bawa saja. Bisa gawat jika dibiarkan tetap berada di sini. Ayo kita
pergi!”

Wanita itu melangkah terlebih dahulu memastikan keadaan sekitar, dan juga tidak
lupa mengangkut barang hasil curiannya yang berupa perhiasan serta uang dari
berangkas Paman dan Bibi. Pria yang menggendongku juga membawa barang-barang
berharga lainnya degan satu tangan sedangkan tangannya yang satu lagi menahan
tubuhku supaya tidak jatuh.

“Kalian mau membawaku kemana?” tanyaku memberanikan diri, kekuatanku rasanya


kembali lagi sehingga aku dapat menendang-nendangkan kakiku ke tubuh si pria.

“Cih, anak ini sangat mengganggu. Bang, sumpal mulut dan tutup matanya!”

Dengan patuh si pria menuruniku dari gendongannya dan si wanita menahan tubuhku
supaya aku tidak bisa melakukan perlawanan lebih banyak lagi. Hingga akhirnya yang
dapat terlihat oleh mataku hanyalah kegelapan dan mulutku tidak dapat mengeluarkan
suara nan jelas karena terdapat benda lain di dalam rongga mulutku.

Setelah itu lagi-lagi hanya langkah kaki yang terdengar setelahnya aku di
turunkan dari gendongan si pria ia mengikat kedua tangan dan kakiku meniduriku di
suatu tempat yang terasa empuk setelahnya aku mendengar seperti suara benda yang di
tutup dan selang beberapa menit setelah itu suara mesin dan juga obrolan para
perampok itu terdengar.

Aku yakin sekarang aku berada di dalam mobil. Entah akan dibawa ke mana aku
tidak tau, pasalnya aku tidak dapat melihat apa-apa semuanya gelap ... sangat
gelap.

===oOo===

Lamunanku terhenti karena dering ponselku. Aku meringis begitu menyadari bahwa
aku menggenggam bunga mawar berduri itu dengan erat, rasanya sangatlah perih.
Seakan tidak dapat diajak bekerja sama lagi-lagi ponselku berdering dengan
nyaringnya dengan tangan kiriku yang tidak terluka aku berusaha mengeluarkan ponsel
dari dalam tas tanganku.
Nomor tidak terdata.

Aku tidak tau ini siapa karena itulah aku memilih untuk mengabaikannya bahkan
aku men-silence ponselku, lalu memasukkan ponsel itu kembali kedalam tas.

Setidaknya tanganku kananku ini masih bisa digerakkan walaupun perih aku masih
bisa menahannya. Aku mulai menaruh dua buket bunga mawar itu satu per satu di atas
makam Paman dan Bibi setelahnya aku mulai berdoa untuk mereka setidaknya dengan ini
aku berharap mimpi-mimpi burukku akan berkurang.

Mataku melebar begitu melihat dari jarak 10 meter seorang wanita dengan
dandanan glamour berjalan di jalan setapak tepat di depan wilayah pemakaman
setelahnya ia berhenti pada sebuah makam yang letaknya tepat di dekat jalan. Jika
aku tidak salah lihat wanita itu adalah si Rubah betina.

Untuk apakah dia ke sini?

Si Rubah betina yang sangat angkuh itu tidak mungkin dengan suka rela datang ke
sini jika bukan karena urusan penting. Makam siapa yang tengah si Rubah itu
kunjungi? Sial, aku sangat-sangat penasaran. Sebelum ketahuan oleh si Rubah, aku
segera bersembunyi di balik pohon yang berada tidak jauh dari makam Paman dan Bibi,
mengintip-intip seraya menunggu si Rubah beranjak, aku ingin tau makam siapa itu.

Aku terus memperhatikan untung saja mataku masih bisa melihat dari jarak se
gini, si Rubah menatap makam itu dengan tatapan kosong wajahnya tidak menampilkan
ekspresi apa pun. Parahnya lagi si Rubah menancapkan setangkai bunga lili bawaannya
di makam itu, setelahnya ia tertawa nyaring entah apa yang ia tertawakan. Belum
selesai seakan belum puas ia kembali menancapkan lagi bunga lili lagi dan bunga
lili terakhir ia jatuhkan begitu saja.

Mengerikan.

Hanya satu kata itulah yang terlintas di dalam benakku terlebih kini si Rubah
menendang-nendang makam itu dengan tidak berperasaan, menginjak-injak bunga lili
yang telah ia tancapkan tadi sampai ketiga tangkai bunga bawaanya hancur, kemudian
ia pergi meninggalkan kawasan makam melanjutkan perjalanan tanpa menoleh kebelakang
lagi.

Setelah merasa aman aku melangkah mendekati makam itu, lagi-lagi aku hanya bisa
terkejut melihat nama siapa yang tertera di makam itu. Aku menggeleng tidak
percaya.

“Marina Redary? Tidak mungkin ...,” gumanku pelan seraya mendekap mulut dengan
kedua tanganku.

Aku kembali memperhatikan papan nama itu mengamatinya dengan seksama, demi
menyakinkan dugaanku aku berlari mencari sosok si Rubah hendak bertanya mengapa ia
bisa mengenal orang itu.

Aku mendesah lega saat mendapati sosok si Rubah yang masih tidak jauh, saat
jarakku dengannya hanya berjarak lima kaki ketika aku ingin memanggil namanya aku
mengurungkan niatku ketika melihat si Rubah alias Maya lagi-lagi tertawa dengan
nyaring memecahkan keheningan dari kawasan yang sunyi ini.

Tanpa sadar aku masih saja mengikuti Maya dari belakang. Aku tidak tau dia akan
kemana yang pasti aku tidak merasa bahwa aku sekarang tidaklah mengenal sosoknya
ataukah seperti ini wataknya yang sebenarnya ketika ia melepaskan topeng rubah
betinanya?
Aku memperhatikan sekeliling jalan yang telah aku lalui kenangan lama lagi-lagi
mengusikku. Tidak mungkin Maya akan ke tempat itu.

Lagi-lagi aku berusaha menepis segala pikiran burukku, rasanya langkahku


semakin berat seakan ada batu yang menghambat langkahku. Aku berhenti hanya bisa
memperhatikan si Rubah dari kejauhan.

Astaga.

Benar dugaanku ternyata Maya mengunjungi tempat ini!

Ternyata benar dugaanku bahwa Maya memiliki suatu hubungan dengan seseorang
yang makamnya ia kunjungi tadi, bahkan aku juga mengenal orang itu. Awalnya aku
hanya mengira bahwa aku salah mengenali orang bisa jadi namanya yang mirip bukankah
nama orang indonesia banyak yang mirip-mirip. Kini, aku memiliki banyak sekali
pertanyaan di dalam benakku. Mengapa Maya dapat mengenal orang itu dan tempat ini?
mengapa?

Mungkinkah aku pernah bertemu dengan Maya di masa lalu? Atau mungkinkah Maya
juga bernasib sama sepertiku?

Mungkinkah?

Bersambung ....

hai kita ketemu lagi nih hayoo siapa tuh yng nelp Rin dan ada apa degan Rin dan
Maya?? btw makasih ya udah mampir, jangan lupa ninggalin cap kaki nya ya yang baca
dalam diam tunjukin diri dong hihi jangan seperti aku yng bisa cinta dalam diam ini
(curhat abaikan) bisa berupa tanda like dengan mengklik tanda love atau coment di
bawah cerita ini tapi sebelumnya longin dulu yaa hehehe

:two_hearts: :kissing_heart:
Bab 16
Kedok Si Rubah Betina

Aku masih memperhatikan sekitar bangunan tua yang telah dibiarkan begitu saja,
bangunan lama ini hampir tidak terurus bahkan rerumputan liar telah mengelilingi.
Dari jarak beberapa meter aku melihat si Rubah betina kembali tertawa tidak jelas.
Sebenarnya ada apa dengannya? Apakah dia pernah mengalami nasib yang sama sepertiku
di tempat ini yang dulunya adalah panti asuhan.

Panti Asuhan Marina?

Jakarta, 1997

Setelah itu lagi-lagi hanya langkah kaki yang terdengar setelahnya aku di
turunkan dari gendongan si pria ia mengikat kedua tangan dan kakiku meniduriku di
suatu tempat yang terasa empuk setelahnya aku mendengar seperti suara benda yang
ditutup dan selang beberapa menit setelahnya, suara mesin dan juga obrolan para
perampok itu terdengar.

Aku yakin sekarang aku berada di dalam mobil. Entah akan dibawa ke mana aku
tidak tau, pasalnya aku tidak dapat melihat apa-apa semuanya gelap ... sangat
gelap. Entah hendak ke mana para perampok itu akan membawaku. Rasanya waktu
berjalan secara lambat ketika aku menunggu kapan mobil ini akan sampai di tempat
tujuan, dan mungkin karena kelelahan atas pemberontakanku terhadap dua perampok itu
aku mulai terlelap ....
“Hei! Bangun!!”

Aku merasakan tubuhku diguncang-guncang secara kasar, guncangan itu membuatku


tersadar dari alam bawah sadarku. Mataku berkedip-kedip mengumpulkan kesadaranku
yang selalu membuana ketika baru bangun dari tidur, setelah tersadar akan apa yang
telah terjadi dengan diriku aku langsung melihat sekitar, tapi ... hanya ruagan
beralaskan tikar dipenuhi dengan anak-anak yang tengah berlalu lalang. Aku bahkan
tidak mendapati para perampok itu yang aku dapati malah sesosok wanita paruh baya,
wanita itu menatapku dengan penuh kelembutan.

“Ini di mana, Bu?” tanyaku penuh kebingungan pasalnya, aku masih ingat dengan
jelas bahwa kemarin aku ditangkap dua orang perampok.

Ibu itu mencondongkan badannya menghapus jarak antara aku dengan beliau. “Ini
di panti asuhan Ibu, Nak. Kemarin Ibu menemukanmu pingsan di depan pintu panti
asuhan ini jadi, Ibu membawamu masuk ke dalam. Kamu namanya siapa?”

“Ka ... Karina ....”

“Nama lengkapnya?”

“Nama lengkap saya Vaesta Karina, Bu ....”

“Hmm ... baiklah, Karina apa kamu memiliki keluarga lain?”

Aku menggelengkan kepalaku sebagai jawaban. Bagiku kini tidak ada siapa-siapa
lagi, terlebih aku merasa sangat sakit hati akibat Paman dan Bibi pergi
meninggalkanku seorang diri begitu saja. Hari ini aku putuskan bahwa aku tidak
memiliki keluarga siapa pun itu.

“Panggil saya Ibu Marin selamat bergabung di sini, Karina. Ayo cepat bersiap-
siap lalu keluar untuk bergabung dengan teman-teman barumu.” Ibu Marin mengelus-
elus pelan punggungku.

Setelah itu Ibu Marin keluar dari ruangan yang aku yakini sebagai kamar. Aku
memperhatikan sekitar ruangan, benar sepertinya tempat ini adalah panti asuhan.
Perasaan lega membanjiriku mungkinkah para perampok itu membebaskanku dengan
mengirimku ke panti asuhan yang sama sekali tidak aku ketahui lokasinya di mana
sehingga aku akhirnya tidak tau jalan untuk pulang. Aku langsung berkemas-kemas
membereskan diri sambil bersenandung bahagia.

Inikah yang dinamakan dengan kebebasan? Aku meloncat-loncat senang, bahkan bisa
dikatakan aku bahagia.

Aku bebas!!!

Hiks ... hiks ....

Ketika membereskan letak tikar-tikar yang digunakan sebagai alas tidur aku
samar-samar mendengar suara tangisan, dengan mengandalkan indra pendengaranku, aku
mulai mencari asal suara itu. Ternyata suara tangisan itu berasal dari halaman
belakang tepat di dekat jendela di kamarku tengah berada kini, tanpa menunggu lama
aku segera keluar kamar menuju tempat terjadinya perkara.

Dari kejauhan aku melihat seorang anak perempuan tengah menangis karena ulah
tiga orang anak perempuan yang tengah mengelilinginya, sepertinya mereka semua
sebaya denganku.
“Apa yang kalian lakukan!” hardikku menghentikan aksi mereka, bayangkan saja
anak selugu itu di aniaya seperti Paman dan Bibi yang menyiksaku.

Anak yang sepertinya merupakan ketua dari tiga sekawan itu menatapku dari atas
sampai kebawah, “Kamu siapa? Aku baru melihatmu hari ini?”

“Namaku Karina ... Vaesta Karina. Apa yang kalian lakukan kepada anak itu?” Aku
mendekat dan merebut boneka Barbie milik anak yang mereka usili. “ Jika kalian
tidak mengembalikan bonekanya maka aku yang akan mengembalikan boneka Barbie-nya!”
seruku setelahnya memberikan boneka barbie itu kepada pemiliknya dan membantu anak
malang itu berdiri.

“Aduh ....” Aku menahan sakit rambutku, anak itu menjambakku.

“Kamu tidak tau aku ini siapa? Aku Aya anak dari pemilik panti asuhan ini!”
ujarnya congkak. Aku mendegus melihat tingkahnya baru anak pemilik saja sudah
bangga.

“Ada apa ini?”

Kami semua melihat ke arah sumber suara dan kami mendapati Ibu Marin. Aya
terlihat santai dengan teman-temannya, hingga aku memutuskan untuk menjawab
pertanyaan Ibu Marin. “Mereka mengusili anak ini, Bu.” Aku menunjuk Aya beserta
teman-temannya.

Ibu Marin mendekati kami seraya berujar. “Aya kalian jangan nakal, ayo masuk ke
dalam.”

Aya dan teman-temannya mendelik kepadaku sebelum kembali memasuki panti dari
pintu belakang.

“Terima kasih ....”

“Sama-sama. Aku Karina, kamu siapa?” tanyaku seraya mengulurkan tangan. Anak
itu awalnya terlihat ragu-ragu dari dandanannya dia sama sekali tidak terlihat
sebagai anak panti melainkan anak orang berada terlihat dari boneka serta asesoris
yang dikenakannya.

“Shella ... bolehkah aku memanggilmu ‘Kakak’?” tanyanya takut-takut dan mulai
menjabat tanganku. Aku tersenyum bahagia, Shella terlihat sangat menggemaskan.
Mulai hari ini aku menganggapnya sebagai adikku sendiri.

“Tentu saja, ayo kita masuk! Untung aja tadi ada Ibu Marin ya kita jadi
selamat, coba aja kalau tidak ada Ibu Marin entah bagaimana jadinya dua lawan tiga.
Aku sangat salut dengan Ibu Marin hanya anaknya saja sifatnya sangatlah
bertentangan,” kataku dengan kekaguman sangat terhadap sosok Ibu yang baru saja aku
temui tapi, Shella tidak menyahut sehingga aku membalikkan badanku menanapnya.
“Kenapa Shel?”

“Kak, jangan percaya dengan apa yang baru saja Kakak lihat. Shella telah ada di
sini dari minggu lalu, dan ini semua baru awalnya saja ....”

“Maksudnya Shella kalau misalnya Ibu Marin itu jahat Shel? Haha ... tidak
mungkinlah.”

Hari itu aku baru saja mengenal Shella dan aku menertawakan apa yang telah
Shella peringatkan padaku hingga aku mengetahui kebenarannya beberapa hari kemudian
saat aku terjaga di malam hari ingin ke kemar kecil dan aku melihat dengan mata
kepalaku sendiri Ibu Marin dengan kejamnya memukul anak panti yang tadi baru saja
mendorong Aya.

Tidak habis juga aku melihat kebusukan lain dari Panti ini ternyata hanyalah
kedok terbukti saat aku menjumpai dua perampok yang telah membawaku ke sini
ternyata adalah anak pertama dan kedua Ibu Marin. Mereka mengira bahwa aku telah
melupakan mereka padahal tidak. Suara mereka begitu tersimpan secara jelas di dalam
benakku.

Panti ini juga terlalu sering melakukan korupsi, terbukti dari banyaknya
pemasukan dari pengunjung panti tetapi tidak ada satu pun yang dapat kami rasakan.
Makan kami tidaklah teratur diberikan terkadang satu kali atau paling banyak dua
kali dalam sehari, bahkan parahnya lagi kami pernah tidak makan selama dua hari
bahkan saat itu kami juga di suruh kerja berladang di belakang panti. Hanya anak
Ibu Marin dan teman-temannya Aya yang diperlakukan secara khusus, mereka tidak
perlu ikut bekerja dan hanya duduk manis saja serta makanan akan tersedia mereka
diizinkan mengambil makanan kapan saja.

Ternyata aku salah ini lebih buruk dibandingkan tinggal dengan Paman dan Bibi.
Di sini aku mau tidak mau melihat penyiksaan setia hari ada anak bayi baru berumur
beberapa bulan dibiarkan begitu saja oleh Ibu Marin hingga anak itu meninggal,
setiap ada orang datang ke panti memberi sumbangan kami diancam harus mengikuti
sandiwaranya.

Kini, aku juga harus menahan lapar karena perkelahianku dengan Aya. Ibu Marin
tidak segan-segan lagi untuk memberikan hukuman padaku karena semua anak di sini
termasuk aku telah mengetahui sifat aslinya.

Krek ....

Aku mendengar suara pintu dibuka. Aya menatapku angkuh senyum kepuasan sangat
terpancar dari wajahnya. “Lapar, ya ... nih, makanannya!”

Salivaku rasanya telah hampir menetes begitu melihat roti yang dibawakan Aya
berserakan di lantai. Aya memberikan roti ini dengan cara melemparkan roti-roti
itu, lalu ia kembali menutup pintu dan menguncinya.

Aku menangis menahan sakit di perutku, dengan terngesot-ngesot aku mulai


memunguti roti-roti itu memakannya. Aku lapar, sangat lapar ....

===oOo===
“Karina ....”

Aku tersadar dari lamunanku dan mendapati si Rubah betina telah berada tepat di
depanku. Ia tersenyum ramah entah ke mana raut mengerikannya tadi dan entah berapa
lama pula aku termenung hingga dia dapat menyadari keberadaanku.

“Apa yang kamu lakukan di sini, Karina?” taanyanya menatapku curiga.

Aku tergagap entah akan menjawab apa rasanya lidahku sangat kelu, aku
tertangkap basah telah mengikutinya semoga saja dia tidak sadar. “Ak ... aku ...
ehm ... ya, aku habis mengunjungi makam Bibi dan Paman.” Aku merutuki kegugupanku,
aku menyadari bahwa aku sangat tidak berbakat menjadi aktris.

Si Rubah mengangguk-angguk. “Aku kira ... kamu mengikutiku, Karina ...,”


ujarnya seraya tertawa garing diikuti oleh tawaku yang bahkan lebih garing lagi.
Maya menatapku lama kemudian kembali berkata, “Tapi, nggak mungkin juga kan kamu
mau datang ke sini lagi, Karina.”

“Maksud kamu?” tanyaku tidak mengerti dengan perkataannya.


“Yakin kamu nggak tau atau pura-pura tidak tau,” ujar Maya seraya berjalan
mengelilingiku dan pandangannya tidak lepas menatapku dari atas sampai bawah.
“Ataukah perlu aku mengingatkan padamu siapa aku?”

Layaknya patung aku hanya diam tidak berkutik tetapi, ekor mataku selalu
mengikuti langkah-langkah si Rubah yang masih betah berjalan memutariku dengan
tangan dilipat di depan dada.

Sial, aku memang bisa curiga dia ada di masa laluku tapi, aku benar-benar tidak
ingat dan tidak memiliki dugaan.

Aku menggeram kesal juga sedikit pusing melihat dia memutariku sedari tadi.
“Emang kamu siapa dan aku rasanya tidak pernah bertemu denganmu?”

Maya tertawa terbahak-bahak, tawanya membuana bahkan menggema aku berani


bersumpah bahwa nada tawanya sangatlah mengerikan. Dia mencondongkan badannya
menatapku dengan sorotan menghina. Aku pernah merasakan tatapan seperti ini
sebelumnya.

“Coba kamu perhatikan wajahku lebih dekat, Karina lihat bukankah aku mirip
dengan seseorang?”

Mengikuti instruksi maya, aku memperhatikan wajahnya lebih lekat. “Astaga!”

“Apa sekarang kamu mengingatku Karina?”

“Ka ... kamu apakah kamu ... A ... Aya?”

“Ya, Aku Maya orang-orang dulu memanggilku Aya. Senang bertemu denganmu lagi,
Karina ....”

Oh, Tuhan mengapa aku dipertemukan kembali dengan orang yang sangat tidak ingin
aku temui.

Bersambung ....
Bab 17
Dia Itu Iblis

Sial.

Mengapa aku kembali dipertemukan dengan wanita iblis ini. Pantas saja aku
langsung membencinya pada saat pertemuan pertama, ternyata si Rubah betina ini
adalah musuh bebuyutanku. Dia itu iblis, iblis yang sebenarnya. Bukan, bukan karena
aku tidak menyukainya atau karena dia selalu jahat kepadaku maka aku mengatakan dia
adalah wanita iblis tetapi, aku memiliki alasan kuat. Masih teringat jelas di dalam
benakku bagaimana dia melenyapkan seluruh anggota keluarga bahkan seluruh penghuni
panti.

Jakarta, 2002

“Shel, kamu benar-benar akan pergi, ya?”

“Iya Kak, aku udah di tunggu kepala pelayan di depan.”

Aku memperhatikan Shella yang sibuk berkemas-kemas, turut merasa senang


akhirnya Shella kembali dipertemukan denga anggota keluarganya yang sebenarnya.
Sungguh hebat kedok panti ini, sampai keberadaan Shella baru terlacak oleh
keluarganya setelah lima tahun berlalu. Ternyata Shella saat itu tidak sengaja
terpisah dengan pengasuhnya sehingga Shella tersasar dan bertemu dengan Aya tampa
bertanya apa-apa Aya langsung saja membawa Shella kepada Ibu Marin dan mereka
membawa Shella di panti ini.

Malangnya nasib Shella. Sekarang aku meragukan status-status anak-anak yang ada
di panti mungkinkah mereka juga bernasib sama seperti Shella? Entahlah.

Shella memintaku menemaninya sampai ke rumah sekaligus dia ingin mengenalkanku


kepada keluarganya. Ibu Marin yang takut ketahuan mengenai kedok panti asuhan ini
maulai memainkan sandiwaranya dengan sangat terpaksa mengizinkanku untuk ikut
dengan Shella. Baru kali ini aku menghirup udara luar selain kawasan panti, selama
lima tahun ini kami semua dilarang keras untuk keluar dari kawasan panti, dan di
gerbang panti juga terdapat satpam–anak pertama ibu Marin– sehingga kami tidak bisa
melarikan diri.

Ketika ada orang berkunjung dan ingin mengadopsi anak sebisa mungkin Ibu Marin
mencari alasan agar anak itu tidak diadopsi atau bahkan, mengurung anak itu
seharian melarangnya untuk bertemu dengan calon orang tua baru anak itu, kemudian
beliau akan mengatakan kepada mereka bahwa anak itu telah diadopsi orang lain.

Aku kembali ke panti tepat jam delapan malam, sebelum pulang aku bermain
menghabiskan waktu dengan Shella karena dia akan berangkat ke luar negeri malam ini
juga. Aku membuka pintu panti dan mulai masuk ke kamarku, ketika di ruang khusus
keluarga Ibu Mari tanpa sengaja aku mendengar keributan antara Aya dengan kakak-
kakaknya karena aku merasa itu bukanlah urusanku aku memilih untuk melanjutkan
langkahku.

“Rin ... Karina ... bangun.”

Suara itu membangunkanku, aku mengucek-ucek mataku melihat sekitar rasanya ada
yang memanggil-manggil namaku menyuruhku untuk terjaga. Kuperhatikan setiap sudut
ruangan, hanya anak-anak panti yang kudapati dan itu mereka semua tidur tidak ada
satu pun diantara mereka yang terjaga.

Ini aneh.

Karena aku tidak melihat siapa tersangka yang tadi memanggil-manggil namaku
maka aku memutuskan untuk tidur kembali menarik kain sarung yang menjadi selimut.

“Jangan tidur lagi, Rin ....”

Kain sarung yang menghalau sedikit udara dingin tergeser begitu saja ke bawah
hingga mata kakiku, aku kembali menarik kain itu tapi, lagi-lagi seperti itu.
Merasa jengah aku membuka mataku dan melempar kain sarung itu dengan asal.

“Apa maumu?” tanyaku pelan seraya mengeram kesal, mana aku harus bangun jam 4
pagi lagi. Benar-benar sial.

Mataku memperhatikan sekitar ruagan sekali lagi, lagi-lagi aku tidak merasakan
adanya teman-temanku yang bangun terlebih suara ini bukanlah suara mereka. Entah
mengapa semenjak usiaku 12 tahun tepatnya tahun ini, aku bisa mendengar suara-suara
aneh yang bahkan teman-temanku yang lain tidak mendengarnya.

Tapi, rasanya suara ini tidaklah asing bagiku.

Aku memutar ingatanku ini seperti suara ... Bibi ....

“Bibi? Haha ... mana mungkin,” gumanku mengelak sendiri, aku melihat jam
dinding di sana menunjukkan jam setengah dua.

“Kamu harus segera keluar ruangan ini, Karina.”

“Kamu siapa? Dan mengapa aku harus segera pergi dari sini?”

“Kamu tidak harus tau ... jangan banyak bertanya lagi, kamu harus segera
meninggalkan tempat ini dan bersembunyilah di bawah pohon besar jika kamu tidak
mengikuti arahan saya maka kamu tidak akan selamat.”

Rasanya ada seseorang yang mendorong badanku dan memaksa aku untuk bangkit.
Malas berdebat aku takut itu akan membangunkan teman-temanku maka aku mengikuti ke
mana badanku yang tiba-tiba bergerak sendiri tanpa aku menggerakkan badanku.

Aku mendengar suara mendesis dari dapur. Dan sedikit merasakan bau aneh ini
seperti bau gas? Ya, gas bocor!

Aku memaksa badanku untuk membalikkan badan berusaha membangunkan teman-


temanku, tetapi badanku tidak dapat dibawa kompromi. “Sial, aku harus menyelamatkan
teman-temanku!”

“Tidak ada waktu lagi, Karina kamu lihat hanya pintu belakang itu yang masih
terbuka. Benar-benar tidak ada waktu lagi!”

“Masih ada waktu!”

“Tidak akan ada waktu karena ruangan ini sedang dia kunci semua dan ruagan ini
hampir tidak memiliki akses untuk keluar!”

Dia?

“Siapa maksudmu dengan dia?” tanyaku seraya membiarkan tubuhku mempercepat


langkah dengan sendirinya menuju pintu belakang, sedikit bersyukur karena pintu itu
masih terbuka dengan lebarnya.

“Cepat sembunyi!”

Aku mengikuti instruksi dari sosok yang sama sekali tidak terlihat olehku.
Segera memanjat pohon yang jaraknya agak jauh dari panti. “Siapa yang kamu maksud
dengan dia?” tanyaku kembali seraya berbisik.

“Kamu lihat ada seseorang yang kini tengah mengunci pintu belakang dan berlari
kemari? Itulah dia.”

Dari atas pohon aku melihat Aya berlari-lari ke tempatku. Sepertinya ia tidak
menyadari keberadaanku sehingga dia kembali melanjutkan aksinya, membuka kantong
plastik di tangannya. Itu obat nyamuk dan pemantik?

“Apa dia mau menghidupkan obat nyamuk di tempat ini?” tanyaku bodoh.

“Kamu lihat saja! Jangan berisik nanti kamu ketahuan.”

Meskipun aku tidak mengerti apa maksudnya aku tetap mengikuti instruksi sosok
tidak kasat mata itu, memperhatikan gerak-gerik Aya. Sungguh aku ingin berlari
kembali untuk membagunkan teman-temanku hanya saja badanku tidak bisa digerakkan.

Aya mengeluarkan ketapel yang sedari tadi menggantung di lehernya, menghidupkan


pemantik dan mengarahkan apinya tepat pada ujung obat nyamuk yang aku tidak ketahui
apa maksudnya Aya bertingkah seperti ini karena begitu ujung obat nyamuk menyala,
obat nyamuk itu di letakkan Aya di tempat biasanya kita akan meletakkan batu pada
ketapel. Setelahnya Aya membidik ketapel-nya yang telah di beri obat nyamuk tadi
dan melemparnya ke arah bangunan panti.

Satu kali lemparan gagal.

Dua kali meleset.

Hingga karena geram akhirnya Aya melempar korek api yang memakai gas itu ke
arah rumah dengan ketapel-nya. Dalam sekejap aku mendengar suara ledakan yang
sangat memekakkan telinga secara langsung aku menutup teliga serta mataku.

Begitu aku membuka mata aku hanya bisa menahan suara tangisanku dengan menutup
mulut rapat-rapat. Suara ledakan memang telah habis hingga menghancurkan bagunan
beserta melenyapkan nyawa-nyawa yang masih berada di dalam. Kini, tawa Aya
terdengar sangat jelas di pendengaranku hingga sekitar setengah jam para penduduk
yang bertempat tinggal sedikit jauh dari panti berdatangan dan Aya mulai merubah
tawanya dengan tangisan seraya berlari menuju kerumunan warga.

Badanku rasanya sangat bergetar hingga tubuhku kembali diambil alih oleh sosok
itu ia membimbingku untuk turun dan segera berlari meninggalkan kawasan panti tanpa
ada satu pun orang yang tau. Itulah terakhir kalinya aku mengunjungi panti dan
sekaligus aku terbebas dari sana.

===oOo===

“Karina ... halooo ....”

Aku mengalihkan pandanganku padanya. Ia menatapku angkuh seperti dulu, memang


tidak salah lagi dialah Aya. “Aku tidak menduga kalau kamu masih suka melamun,”
ungkapnya seraya menghentikan langkah-langkahnya yang memutariku sedari tadi.

“Aku senang ketika mengetahui bahwa masih ada yang selamat dari kejadian naas
itu.” Maya atau Aya atau Rubah betina atau siapalah itu rasanya aku memberi banyak
nama kepadanya. Dia berjalan dan memelukku erat dengan air mata buaya telah
mengalir dengan deras.

Muak! Aku sangat muak dengan tingkahnya sehingga aku melepaskan pelukannya
secara kasar dan menatapnya dengan pandangan mencela. “Jangan kamu pikir aku tidak
tau kalau kamulah orang yang telah menyebabkan panti kebakaran bahkan meledak
sehingga seluruhnya tidak dapat diselamatkan.”

“Maksud kamu?” Maya menatapku seperti orang tidak mengerti apa-apa, ia masih
berakting ternyata saudara-saudara!

“Jangan mengelak aku melihat semuanya malam itu di atas pohon!”

Raut keterkejutan dapat aku baca dari pias wajahnya, tapi memanglah si Rubah
sangat berbakat dalam bersandiwara ia menundukkan kepalanya menyeka air mata
palsunya dan kembali menatapku kali ini dengan ekspresi licik seperti saat ia
tengah menginjak-nginjak makam tadi.

Makam ibunya sendiri.

“Kamu tega membunuh keluarga kamu sendiri bahkan anak-anak panti serta temanmu
juga kamu lenyapkan!” Aku menunjuk-unjuk wajahnya dengan air mata yang berusaha aku
tahan supaya tidak keluar di depannya.

Maya menurunkan jari telunjukku yang sedari tadi menunjuk-unjuk tepat di depan
wajahnya. Ia mengibaskan rambutnya menatapku dengan bibir yang sedikit naik dan
tatapannya sangat merendahkan. “Oh, lantas aku harus bagaimana? Mengembalikan
mereka gitu?” Maya tertawa dengan nyaring lalu kembali berkata, “Mereka semua
pantas mati! Ibu, Abang, Kakak tidak ada satu pun yang menuruti perkataanku malam
itu kami berdebat tapi ibu malah membela mereka. Jadi, jangan salahkan aku kalau
aku akhirnya melenyapkan mereka semua dan anggap saja nasib anak-anak itu lagi
tidak seberuntung kamu.”

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku tidak percaya. “IBLIS!!” makiku.

Dia dengan kasar menarik kerah bajuku sehingga wajahku sangat dekat dengan
wajahnya. “Kamu seharusnya bersyukur masih selamat! Jika saja aku tau kalau kamu
masih hidup aku akan langsung membakar kamu hidup-hidup atau menjadikan kamu
tersangka. Supaya apa? Biar kamu lenyap atau mendekam di penjara selamanyaa ....”

“Ah, tapi ... aku sedikit berterima kasih kamu memudahkan jalanku untuk
mendekati Mike dan Ibu Lili.”

“Jangan bilang kamu merencanakan sesuatu pada mereka!”

Maya semakin mengeratkan tangannya yang menarik kerah bajuku dan melepaskannya
mendorongku hingga aku terjatuh. Beruntung aku bisa menjaga keseimbangan sehingga
aku tidak terjatuh.

“Kamu jangan menghalangi jalanku atau tidak lihat sendiri apa yang akan aku
lakukan padamu, Rose!” setelah mengucapkan kalimat itu Maya berlalu tawanya
menggelegar bahkan setelah sosoknya seperti sebuah titik kecil di dalam
pengelihatanku suara tawa itu masih saja tergengar. Tubuhku semakin menggigil,
lututku sangat lemas hingga aku terduduk begitu saja di atas tanah.
Tubuhku bergetar hebat bahkan aku tidak dapat lagi membendung air mataku yang
telah jatuh membasahi pipi. Dia sangatlah kejam!

Dia itu Iblis!

Bab selanjutnya

hai hai update lagi nih tinggalin jejaknya ya yng baca dalam diam tunjukin dirinya
donk hihi sebelumnya login dulu dan klik tanda hati di bawah cerita atau dengan
coment kritik/ saran juga nggak masalah, dan terima kasih yaa untuk para pembaca
baik di web maupun di app udah mampir ke lapaknya Rin dan Mike

:kissing_heart: :heartbeat:
Bab 18
He Is So Damn!

“Karina, apa yang terjadi denganmu?”

Mike menepuk pelan bahuku, menyadarkanku dari keterdiamanku. Aku hanya


menggeleng-gelengkan kepalaku sebagai jawaban bahwa aku tidak ingin berbagi cerita
kepadanya. Setelah perdebatan dengan Maya rasanya aku benar-benar takut dengan
sosok dirinya yang sebenarnya. Aku tahu bahwa dia tidaklah main-main dengan
ucapannya, dia bukanlah orang seperti itu bahkan, dia tidak segan-segan melenyapkan
seluruh anggota keluarganya apalagi dengan aku yang bukan siapa-siapa baginya.

Tentu saja aku akan dengan mudah dia lenyapkan.

Bulu romaku serasa naik membayangkan wajahnya saja membuatku sangat ketakutan.
“Karina mengapa dari tadi kamu diam saja? Apa ada yang mengganggumu? Apa ada
masalah? Apa ada sesuatu yang mengganjal?”

“Aku nggak kenapa-napa, Mike,” jawabku kemudian karena Mike masih bertanya
dengan banyak pertanyaan tapi, memiliki arti yang sama. Mike memperhatikanku dari
atas sampai bawah seakan tidak percaya atas apa yang telah aku katakan walau pun
memanglah sebuah kebohongan nan terujar di bibirku.

Pandangannya berhenti pada tanganku yang terluka karena terkena duri di makam
Paman dan Bibi tadi.

“Tangan kamu kenapa, Karina?” tanyanya dengan berupaya meraih tanganku.

Aku langsung saja menyembunyikan tanganku di balik punggungku. Selepas bertemu


dengan Maya alias si Rubah yang telah mengeluarkan ekor sembilannya tepat di
depanku. Tapi, memanglah tenaga pria lebih bersar dari pada wanita sehingga percuma
saja bagiku menyembunyikan tanganku yang terluka dari Mike, ia dengan mudah menarik
tanganku.

Hening.

Rasanya aura di kamarku ini menjadi mengerikan atau bahkan dingin, padahal suhu
AC seperti biasa. Mataku hampir tidak berkedip menunggu reaksi Mike, ia hanya diam
memegang tangan kananku seraya memperhatikan luka-lukanya.

“Ini kenapa bisa seperti ini, Karina?” tanyanya dengan menatap lekat tanganku,
aku tidak dapat meneliti raut wajahnya karena ia sedari tadi menunduk, hanya saja
aku dapat menangkap ada nada dingin dari suaranya ... entah mengapa itu membuatku
merasa bersalah kerena tidak menceritakan apa pun kepadanya. Tidak, aku belum siap.

Kini Mike menatapku menuntut jawaban atas pertanyaannya, dan aku lagi-lagi
hanya menggeleng-gelengkan kepalaku sebagai jawaban. Mike menghela napas kasar, ia
mengalihkan pandangannya seperti enggan menatapku lalu ia berjalan keluar dari
kamar tanpa mengatakan barang sepatah kata pun. Hatiku terasa perih melihat
sikapnya yang tidak biasa itu meskipun begitu aku pun sama hanya diam melihat
punggung lebarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun terujar dari bibirku. Padahal,
jauh di dalam hati aku berharap agar ia tidak meninggalkanku saat ini.

Rasanya aku ingin menangis.

Aku membaringkan badanku di atas ranjang, pandanganku beralih menatap jendela


kamarku yang telah ditutup. Mungkinkah penyakit mudah di usia dini kembali
mendatangiku bahkan aku baru menyadari jikalau lampu kamarku telah hidup. Lah, jadi
sedari tadi aku ke mana saja? Bukan, pasti Mike-lah yang telah membereskan kamarku
saat aku sibuk melamun tadi. Oh, dia sangatlah baik.

Aku mengangkat tanganku ke atas hendak menggapai loteng-loteng kamarku


setelahnya aku memperhatikan telapak tanganku. Luka-luka ini belum juga aku obati,
tidak heran jika Mike menjadi seperti itu. Mataku terasa sangat panas hingga
pandanganku mengabur dan air mengalih di ujung mataku membasahi pelipisku. Ah,
rasanya semakin hari aku semakin mellow gini.

Merasakan ada pergerakan di sampingku serta aku mencium bau parfum yang
tidaklah asing bagiku sehingga aku mengalihkan pandanganku dari tangan menatap ke
samping. Ternyata Mike telah duduk di sebelahku ia tengah meletakkan baki yang
berisikan makanan eh jika diperhatikan lagi sepertinya itu kue dan segelas susu
serta kotak obat P3K.

Ia tersenyum tulus, membantuku duduk dan meletakkan bantal di tempatku


bersandar agar tubuhku terasa nyaman. Tanpa permisi Mike meraih tanganku yang
terluka ia mengobati tanganku dalam diam.

Aku menggigit bibirku menahan perih, mataku tidak lepas memperhatikan Mike.
Tangan kekarnya yang memegang tanganku yang terlihat mungil di tangannya, bahunya
yang lebar serta otot-otot yang tidaklah berlebihan sangat ideal di mataku
membuatku membayangkan bagaimana jika aku berada di dalam dekapannya. Pasti akan
sangat pas dan sangat nyaman jika aku bersandar di dada bidangnya. Sial, jika
diperhatikan lebih dekat dia memang sangatlah indah. He is so damn! Hot and
perfect!!

What the hell.

Double sial!

Ini apakah termasuk sindrom pranikah? Mengapa aku terlihat seperti fangirl yang
kegirangan atau terlalu terpesona dengan keindahan ciptaan Tuhan yang ia idolakan?
Mataku pasti benar-benar tidak beres, bahkan aku merasa otakku juga ikut-ikutan
tidak beres sekarang. Ataukah para Oma telah mencuci otakku dengan jamu-jamu laknak
pemberian mereka? Mengerikan. Keberadaan Mike di kehidupanku sangatlah mengerikan
dampaknya.

===oOo===

“Udah belum?!” Aku bertanya dengan nada membentak mengalihkan pikiranku jika
tidak, aku takut akan menjadi fangril dari seseorang yang bahkan bukanlah seorang
aktris. Bahkan ... aku tidak begitu terpesona dengan para aktor barat tapi, mengapa
dengan pria ini aku sampai terpesona bahkan parahnya lagi saat ini rasanya salivaku
ingin keluar? Gila memang, aku merasa seperti seorang remaja labil.

Dia hanya diam tidak mengidahkan pertanyaanku membuatku menggembungkan mulut


kananku, aku kesal jika diacuhkan seperti ini padahal kacang sedang mahal belum
bisa dibeli dengan uang seharga 2 buah permen

“Sudah ... sekarang kamu makan kue ini dan setelahnya minum susu ibu hamil
ini.”

Rasanya aku seperti bayi besar dan Mike seperti baby sitter-nya. Ia menyuapiku
dengan telaten sedangkan aku memilih diam. Untuk membantah rasanya sangat malas
hingga suapan terakhir Mike bukannya menyuapiku tetapi menyuapi kue itu untuk
dirinya sendiri.

“Mengapa kamu yang makan bukan aku?”

“Kan kamu sudah makan saya hanya minta satu suap saja. Bagaimanapun saya juga
lapar melihatmu makan dengan lahapnya.”

Aku menggaruk tengkukku seraya nyengir kuda. Memang menu makanannya sangatlah
enak bahkan jika boleh jujur lebih enak dari kue-kue yang pernah dibuat Mami,
apakah mungkin para Oma yang memasaknya. “Mike ini enak, kamu beli atau dibuatkan
Oma?”

“Kamu menyukainya?”

Aku mengangguk antusias. “Ya, bahkan aku ingin makan lagi dan lagi.”

Mike terkekeh geli melihat tingkahku, ia bahkan tidak menjawabku. “Mike jawab
aku!!!”
“Maaf, maaf ... baguslah jika kamu menyukainya saya takut jika kamu tidak
suka,” ujarnnya seraya mendekatkan tubuhnya. Tubuhku menegang begitu merasakan jari
Mike menyentuh ujung bibirku, ternyata ada sisa kue yang menempel disana.

“Me ... mengapa?”

“Kamu jawab dulu pertanyaan saya ... mengapa kamu melamun seperti itu, Karina?
Tidak tahukah kamu bahwa saya telah ada sekitar setengah menit dan duduk menanti
kesadaranmu sehingga pada akhirnya saya menepuk pelan bahumu. Saya tidak pernah
melihat kamu sefrustasi ini makanya saya bertanya ada apa denganmu ....”

Kenapa pria ini selalu membuatku diam tidak berkutik? Bahkan dia sangat hebat
dalam beradu agrumen. Aku meremas-remas tanganku karena pertanyaannya itu aku jadi
teringat kembali dengan sosok iblis yang memakai topeng rubah betina untuk
menyembunyikan tanduk di kepalanya.

Dapat terdengar olehku helaan napas Mike meski pun kini aku tengah
memperhatikan tanganku.

“Ya sudah jika kamu tidak ingin bercerita, saya tidak akan memaksa. Tapi, saya
hanya akan mengatakan bahwa jika kamu bingung akan cerita ke mana atau kamu
melakukan suatu hal yang di mana semua orang tidak lagi mempercayai kamu. Kamu bisa
mendatangi saya, Saya akan berusaha untuk selalu ada kapan pun kamu membutuhkan
saya.”

Mataku berkedip-kedip, aku bingung dengan apa yang baru saja Mike katakan ...
apa maksudnya? Aku bingung benar-benar bingung. Mike selalu mengulang kata-katanya
juga terdengar sangat formal sehingga terdengar sangat membosankan di
pendengaranku.

“Mike ... maaf ... tapi, apa maksudmu kenapa juga orang tidak percaya padaku?
Dan mengapa aku mencarimu?”

Lagi-lagi Mike menghela napas, ia menatapku dengan tersenyum yang terlihat


dipaksakan. “Bukan apa-apa, jika kamu tidak ingin bercerita maka saya tidak akan
memaksamu.”

Oh, itu maksudnya. Aku kira apa juga!

“Ya, sudah saya ke bawah dulu, ya ....” Mike mengambil baki yang tadi dia bawa
mulai berkemas-kemas. Saat ia akan pergi aku menarik lengan kemejanya sehingga ia
menatapku dengan raut bingung.

“Mike ... apa kamu punya orang yang kamu sangat tidak ingin sekaligus takut
bertemu dengannya?”

Mike tampak berpikir, meskipun heran dengan pertanyaan anehku ia tetap


menjawab. “Kalau orang yang tidak ingin ditemui ada tapi aku tidak takut dengan
dia. Memangnya ada apa Karina?”

“Apakah kamu punya solusi untuk mengatasinya atau kamu akan memilih untuk
menghindar saja?”

“Kamu tidak suka wortel ‘kan, Karina?” tanyanya seraya kembali meletakkan baki
dan duduk di sebelahku.

“Iya, aku tidak suka karena rasanya tidak enak! Memang banyak sayur yang tidak
aku sukai, sih. Tapi, apa hubungannya dengan wortel, Mike?”
Mike terseyum lalu berkata, “Kamu tidak menyukai wortel sedangkan saya ingin
kamu menyukainya, sehingga saya memiliki ide untuk mengolah wortel-wortel itu
menjadi kue hingga ketika kamu memakannya. Lihat, tadi kamu memakannya dengan lahap
bukan? Nah, seperti itu lah seseorang, setakut-takut apapun kita dengan dia jika
kita berani untuk mencoba lagi memikirkan gagasan baru untuk melawannya rasa takut
itu akan hilang. Percayalah bahwa Tuhan selalu memberikan kemudahan bagi kita yang
pantang menyerah dan selalu berusaha.”

“Tapi, Mike ... aku bahkan tidak yakin bagaimana mungkin aku bisa.”

Mike kembali tersenyum lembut, merapikan rambutku yang berantakan bahkan


sedikit basah di dekat telinga karena air mataku tadi. “Maka kamu harus meyakinkan
diri kamu sendiri. Bukankah itu namanya menyerah sebelum berperang? Bahkan kamu
dengan tidak berperasaan menjambak bahkan tidak segan-segan menginjak kaki saya.
Maka jika kamu telah yakin bisa maka semua akan mengalir dengan mudah.”

Aku mencerna perkataan Mike dengan sehalus-halusnya sehingga dapat dicerna oleh
otakku. Ini bahkan lebih mudah di mengerti dibandingkan perkataan Mike sebelumnya.
Benar, aku yang tidak menyukai wortel saja bisa memakannya dengan lahap padahal
wortel-wortel itu penyajiannya saja yang berbeda. Rasanya aku seperti terlahir
kembali, aku menatap Mike dengan pandangan senyumku yang berbinar. Saking
bahagianya aku bahkan mengguncang-guncang tubuh Mike dengan semangatnya lalu aku
melompat-lompat di atas kasur dengan riang.

Baiklah, Rubah betina jika kamu bisa menuntup dirimu dengan topeng bahkan
meskipun kamu telah memperlihatkan rupamu yang sebenarnya. Bahkan jika benar kamu
sekuat Rubah ekor sembilan yang melegenda itu aku sekarang siap melawanmu wahai
Rubah betina!

“Karina ... jangan lompat-lompat bahaya.”

Aku mengacuhkan Mike yang mencemaskan keadaanku. “Kamu tenang saja Mike, ini
nggak akan membuatku jatuh.”

Baru saja aku berkata demikian ternyata aku telah sampai di unjung ranjang
hingga tanpa sadar keseimbanganku goyah dan aku terjatuh.

“KYAAAAA .... “

“AWAS KARINA!”

Tapi, rasanya tidak sakit melainkan rasanya tubuhku sangat nyaman. Aku membuka
mataku dan pandangan yang tertangkap oleh indra penglihatku membuatku membatu diam
tidak berkutik. Dewi batinku serasa melayang-layang dengan sayap indahnya menari-
nari tidak jelas seraya menuip trompet. Jantungku serasa berdisko mendadak serta
aku merasakan perutku ada yang menggelitik, darahku naik seperti saat aku tengah
naik jet costar. Belum cukup juga, aku baru sadar bahwa aku kini berada dalam
dekapan Mike.

Triple sial.

Rasanya wajahku sangat panas, aku butuh remote untuk mengatur AC supaya lebih
dingin lagi. Segera!

Bab Selanjutnya

hai kita ketemu lagi nih makasih ya udah mampir, jangan lupa ninggalin cap kaki nya
ya yang baca dalam diam sekali-kali tunjukin diri dong hihi bisa berupa tanda like
dengan mengklik tanda love di bawah cerita ini atau dengan memberi bintang di app
(yang ini modus) tapi sebelumnya longin dulu yaa hehehe
lupp yuu~~

:kissing_heart: :two_hearts:
Bab 19
First Date War

Entah mengapa ... aku merasa bingung akan memilih baju yang mana. Ini sudah
baju ke 5 dan aku merasa kurang pas, entah apa yang terjadi dengan diriku. Bahkan
aku telah bangun dari jam lima kurang hanya untuk bersiap-siap. Hari ini karena
Dokter Tomi mengatakan bahwa ia sibuk maka kami hanya bisa memeriksa kandunganku
sekitar jam tujuh nanti, maka aku dan Mike memutuskan untuk pergi kencan. Katanya
sih, supaya kami lebih dekat dasar modus.

Akhirnya pilihanku jatuh pada baju dress selutut bewarna kuning dengan motif
bunga-bunga di bawahnya, aku kurang yakin memakai baju ini karena ini adalah baju
pilihan para Oma. Memakai baju ini rasanya aku seperti remaja.

Sekali lagi aku meperhatikan penampilanku dari atas sampai bawah melalui
pantulan cermin.

Rambut ... ok.


Make-Up ... tidak berlebihan, ok.
Baju ... hmm, ok.

Sepatu, tas, aksesoris dan lain-lain ... check, check, check, check.

Perfect!

Aku segera keluar kamar menuruni tangga menuju meja makan. Lagi-lagi aku
meringis melihat menu makananku di meja makan, sayur-sayur itu seandainya bisa
dijadikan kue seperti kue wortel buatan Mike kemarin pasti akan lebih bagus.
Kugeser kursi makan dan mulai memakan makananku dengan tergesa-gesa mengenang
setengah jam lagi Mike akan datang menjemputku. Kini semuanya telah habis, tapi ini
memang cobaan terberat.

Jamu!

Rasanya tidak sanggup sudah selesai makan minum susu ibu hamil saja aku telah
sangat memaksakannya walau rasanya aku telah sangatlah keyang. Nah, apalagi pakai
acara tambahan jamu, mana hari ini entah ada angin apa jamunya ada dua gelas lagi.
Aku melihat sekeliling, mujur semua orang terlihat telah selesai sarapan sehingga
tidak ada orang di sekitar meja makan yang mengawasi pergerakanku bahkan para Oma
saja sepertinya tengah menyiapkan sesuatu entah apalah itu karena sedari tadi aku
tidak melihat hanya saja aku mendengar suara para Oma di dapur.

Ok, saatnya menjalankan misi.

Sekali lagi aku memastikan bahwa tidak ada siapa-siapa, aku berjalan mengendap-
endap menuju tanaman bonsai Mami, dan pelan-pelan aku menyirami tanaman bonsai itu
dengan segelas jamu. Tapi, tidak mungkin aku menuangkan satu gelas lagi ke dalam
pot kecil ini yang ada akan ketahuan Mami bisa habis aku! Untung saja aku masih
bisa menuangkan setengah gelas jamu lagi ke pot itu. Sial, sudah penuh lagi.

Meong~

Seringanan licik langsung terpangpang di wajahku ketika melihat kucing kampung


kesayangan Oma Sara–namanya Monyong–sedang berada di bawah kakiku, sepertinya si
Monyong belum mendapatkan jatah makanannya.
“Pus ... pus ... Monyong mau minum ya ....”
Meong ... meong ....

Aku menuangkan setengah gelas jamu ke dalam piring kecil dan menyodorkannya ke
arah si Monyong yang tengah menanti makanannya kepadaku. Si Monyong mulai mendekat,
sayangnya jamu itu hanya dicium setelahnya diabaikan begitu saja.

Sial. Dasar kucing kampung sombong!

Untuk jaga-jaga aku memperhatikan sekitar, akan sangat bahaya jika Oma Sara
tahu aku menyalurkan ide yang baru saja terlintar di benakku kepada si Monyong.
Setelah merasa masih aman aku mengambil sendok makan dan mengangkat si Monyong ke
pangkuanku. Aku mulai menaruh jamu itu di sendok lalu menyuapi si Monyong secara
paksa agar jamu itu lolos dari mulut kecilnya.

Dalam lima menit aku sudah selesai menyuapi si Monyong, walau rasanya tenagaku
terkuras karena pemberontakannya. Beruntung aku tidak dicakar. Monyong-monyong aku
kali ini sangat berterima kasih kepadamu meskipun kau kucing jantan kampung nan
montok serta namamu tidak lah keren, aku berhutang budi padamu. Seharusnya, Oma
Sara memberimu nama Edward kan keren.

“Karina ....”

Gawat! Itu suara Oma Sara!

Aku melempar si Monyong dengan asal, mengambil piring kecil beserta sendok yang
masih tergeletak di atas lantai.

“Ada apa, Oma?” tanyaku merapikan rambut serta bajuku yang agak kusut menatap
si Monyong melalui ekor mataku, setelahnya fokus menatap Oma Sara yang kini telah
lengkap dengan Oma Rika dan Oma Dara di samping beliau.

Oma Dara dan Oma Rika menarik tanganku untuk duduk di kursiku tadi. Keringat
dingin mulai bercucuran, aku benar-benar tidak menyadari sejak kapan para Oma telah
ada di sini.

“Karina jangan lupa bawa ini, ya!” perintah Oma Sara.

Alisku bertaut melihat botol-botol seperti kotak parfum yang aku tidak
mengetahui apa isinya. Aku menciumi bauku siapa tahu The sassy grandma menyuruhku
membawa benda aneh itu karena bau badanku. “Badan Rin nggak bau kok ... kenapa
mesti bawa parfum lagi, Oma? Juga di dalam tas udah ada parfum kok Oma nggak usah
cemas.”

“Kamu harus bawa! Ini bukan parfum, Karina ...,” terang Oma Dara seraya
menggoyang-goyangkan jari telunjuk kanannya.

“Jadi apa?”

Oma Rika memegang ketiga botol parfum yang ada di atas meja tepatnya di
hadapanku. “Ini isinya air garam ... ini air cuka ... ini air lada.” Oma Rika
meletakkan kembali semprotan itu dan mengambil lagi sesuatu benda yang aku tidak
tahu itu apa. “Dan ini adalah alat pemacu listrik seperti di film-film itu Karina!
Kami menyebut ini sebagai paket lengkap siaga!”

“Jika Mike macam-macam lagi denganmu, kamu bisa langsung menyemprotkan ini ke
mukanya atau dengan kamu memencet tombol pemacu listrik ini ke tubuh Mike. Dijamin,
Mike yang memegang sabuk hitam karate itu akan takluk di bawah kakimu, Karina!” Oma
Dara menerangkan secara semangat disertai anggukan olah Oma Rika dan Oma Sara.

Aku menepuk jidatku. Siapa saja tolong sadarkan para Oma bahwa itu sama saja
dengan mereka secara tidak langsung mencelakakan Mike dan membuat aku gagal nikah.
Ini karena insiden di kamarku kemarin saat aku melompat-lompat kegirangan hingga
akhirnya aku terjatuh dan Mike menyelamatkanku. Sayangnya, posisi kami tidaklah
sedap dipandang sehingga para Oma yang kala itu mendengar teriakanku, langsung
melesat ke kamarku dan melihat Mike tengah menindihku di lantai sehingga mereka
berpikir yang iya-iya.

“Ehm ... Rin rasa itu nggak perlu deh Oma-oma. Lagipula Mike waktu itu nggak
sengaja kok,” kataku berupaya menjelaskan karena para Oma kemarin tidak
mendengarkan penjelasanku dengan Mike. Malah yang ada kami disidang habis-habisan.

The sassy grandma menggeleng secara bersamaan. “Tidak bisa Karina, tentu karena
Mike calon suami kamu maka kamu membelanya.”

Baiklah, aku memilih mengalah.

“Iya Rin masukin langsung ke dalam tas ya, Oma,” ujarku seraya memasukkan
benda-benda mengerikan itu ke dalam tas sehingga kini para Oma terlihat sangat
senang. Biarlah, menyenagkan hati orang tua tidak ada salahnya.

Ponselku berdering sehingga aku melihatnya. Aku bersyukur melihat nama


Mikemouse tertera di layar ponselku karena dari kemarin aku selalu menerima
panggilan dari nomor yang tidak terdata dan tentu saja aku tindak mengangkat
panggilan misterius itu.

“Ya, Mike.”

“Karina ... saya sudah sampai.”

“Ok.”

Tanpa aba-aba aku langsung memutuskan panggilan.

“Ya sudah. Karina, jangan lupa benda-benda yang kami berikan itu akan sangat
berguna.”

Aku mengacungkan jempolku. “Baiklah Oma ... Oh iya Oma, Karina boleh bertanya
sesuatu bukan?”

“Boleh tanya apa Karina?” tanya Oma Dara mewakili.

Senyumku langsung merekah. “Apa kelemahan Mike?”

===oOo===

"Kenapa nggak bunyiin bel aja?"tanyaku begitu Mike membuka pintu mobilnya.

"Saya malas nanti pasti akan diintrogasi para Oma," ungkap Mike dan aku
menyetujui pemikirannya itu.

“Kita mau kemana?” tanya Mike setelah aku masuk mobil.

“Kemana ya ....” Aku berpikir keras kira-kira tempat apa yang akan cocok
sebagai tempat pelaksanaan rencanaku yang telah tersusun secara terperinci sebagai
hiburan mendadak yang terlintas di dalam benak cantikku.
“Ke bioskop aja bagai mana setelah itu kita ke taman.”

Aku menggelengkan kepala tidak setuju dengan ide Mike. Tidak. Jika aku ke sana
maka rencanaku tidak akan terencanakan yang ada aku pasti akan dengan sangat
terpaksa menonton drama romance picisan langganan Mami dan para The sassy grandma.

Tiba-tiba satu tempat terlintas di benakku. Meskipun tempat itu terkenal dengan
keangkerannya serta aku juga sering melihat makhluk halus di sana mau tidak mau aku
memang harus ke tempat itu.

“Kita ke Dufan!” kataku dengan semangat ke arah Mike.

Mike awalnya diam mungkin ia sedang mengumpulkan kesadarannya sehingga aku


menepuk lengannya dengan keras untuk menyadarkannya. “Aduh ... baiklah. Ah, kamu
memang sangat berniat menyiksa saya ya Karina.”

“Itu refleks Mike ... hehe ....” kilahku padahal sejujurnya aku ingin
mengatakan ‘Iya lah menyiksamu kan sebagian dari hobi baruku’ gitu, tapi tentu saja
aku tidak sejahat itu sampai mengatakannya.

Kami melalui perjalanan dengan keheningan, tapi sesekali Mike membuka


pembicaraan. Lagi-lagi ponselku berbunyi dan nomor itu lagi sehingga aku men-
silence ponselku. Mengganggu saja!

Mataku berbinar menatap wahana-wahana yang telah tersaji di depan mataku. Ini
DUFAN! Oh, telah lama aku tidak kemari. Tempat ini memanglah sangat cocok sebagai
hiburanku dengan Mike sebagai pawangnya dan aku sebagai penonton yang haus hiburan.

“Kamu yakin ke sini Karina?” tanya Mike berusaha membujukku agar aku mau
mengganti tempat kencan pertama kami.

Aku tentu saja mengangguk mantap. “Iya lah aku sangat yakin malah!”

Mike menggaruk tengkuknya yang pastinya tidak gatal. “Apa tidak tempat lain
saja? Bukanya kamu sedang hamil?”

Senyum licikku merekah dengan samar. “Ya, bisa dong! Kan kamu bisa mewakili
Mike. Nah, sekarang aku ingin naik wahana itu dulu!”

Wajah Mike langsung pucat melihat wahana yang aku tunjuk. Wahana histeria,
salah satu wahana pemacu adrenalin yang ada di sini. “Loh, kenapa diam, Mike?”
tanyaku memiringkan kepala kesamping menatap Mike yang tengah pucat serta diam
seperti batu dengan wajah polosku juga tentunya seakan aku tidak mengetahui apa-apa
tentang Mike.

Saatnya menjalankan rencana!

“Kamu nggak mau kan nanti anakmu ini ileran melihat wahana itu? Makanya kamu
harus mewakili aku menaikinya!” Mike masih saja diam sehingga aku menyeretnya
menuju wahana itu, semakin dekat suara teriakan semakin terdengar keras. Mike
menunggu antrean sedangkan aku hanya duduk cantik menyaksikan tontonan yang akan
aku lihat.

Aku mengeluarkan teropongku yang telah aku masukkan ke dalam tas. Kalian tahu
apa kelemahan Mike? Tadi Oma Dara mengatakan kepadaku bahwa Mike tidak suka dengan
wahana yang seperti Histeria yang menggantung lalu berayun-ayun. Selain Mike nanti
akan berteriak histeris dia juga akan mabuk karena memang tidak biasa dengan
permainan seperti itu.
Aku melihat Mike melalui teropong seperti perkataan Oma Dara, ia terlihat
sangat histeris dan wajahnya sangat lucu. Rasanya ingin segera aku masukkan ke
dalam karung dan aku seret pulang!

Oh, sungguh ini pemandangan yang sangat mengasyikkan.

Bersambung ....
hai kita ketemu lagi nih makasih ya udah mampir, jangan lupa ninggalin cap kaki nya
ya yang baca dalam diam sekali-kali tunjukin diri dong hihi bisa berupa tanda like
dengan mengklik tanda love di bawah cerita dan atau dengan komen juga dengan
memberi bintang di app (yang ini modus) tapi sebelumnya longin dulu yaa hehehe
lupp yuu~~

:kissing_heart: :two_hearts:
Bab 20
Pembohong ....

“Hahahaha ....”

Suara tawaku membahana, hampir setara dengan suara-suara bising orang-orang


berlalu lalang di sini. Pandangan mereka yang berlalu tepat di dekat aku tengah
duduk menatapku dengan bergaram-ragam, mungkin ... mereka menganggap aku gembel
elite atau orang gila yang kabur dari rumah sakit jiwa atau bahkan wanita yang
mendadak gila karena galau ditinggal pacar.

Terserah mereka akan memberi tanggapan apa tentang diriku saat ini. Aku tidak
peduli, sangat tidak peduli karena hatiku amatlah senang rencanaku berhasil, dan
bisa dikatakan sukses besar!

Fokusku tertuju pada satu titik yaitu Mike. Ia terlihat sangat histeris seperti
nama wahana yang tengah ia naiki. Sangat disayangkan aku tidak bisa duduk di
sebelahnya, dan hanya bisa menatap atau lebih tepat menontonnya melalui teropong
dengan gulali sebagai cemilan. Sungguh aku calon istri yang baik dan sangat
pengertian.

“Yah, udah selesai aja?” Aku memasukkan teropongku ke dalam tas tanganku –
sengaja memakai tas tangan yang ukurannya agak besar hanya untuk menyimpan
teropong– dengan tergesa-gesa begitu aku melihat sosok Mike tengah berjalan dengan
sempoyongan ke tempatku.

Wajah letih Mike berubah cerah begitu dia telah tiba tepat di depanku. “Kita
mau ke mana lagi, Karina?” tanyanya dengan senyuman. Entah kemana perginya wajah
lesunya tadi.

“Kamu masih mau naik wahana lain, Mike? Yakin, kamu nggak merasa pusing atau
gimana gitu?” tanyaku sok perhatian. Padahal sebenarnya aku sangat berharap
pertanyaanku akan Mike jawab dengan jawaban ‘sebenarnya tidak karena saya sudah
pusing dan ingin muntah’. Tapi, sayangnya Mike menangguk dengan semangat dan itu
membuatku seketika membalik wajahku ke belakang agar Mike tidak melihat wajah
kecewaku atas semangatnya.

Sial. Gatot alias gagal total.

Tetapi, jangan bilang namaku Karina jika aku tidak bisa menyelesaikan
rencanaku. Mataku dengan semangat mencari wahana-wahana yang lebih mainstream untuk
disuguhkan kepada Mike. Kali ini harus bisa membuatnya sampai masuk toilet. Harus!

Mataku tertuju pada satu wahana nan di mana jika kita menaikinya akan merasa
duduk dengan posisi terbalik lalu dijungkir-balikkan di atas udara, begitu juga
pada saat turun.

“Itu Mike! Aku mau naik itu!!”

Mike mengikuti arah yang aku tunjuk, jakun-nya naik turun melihat wahana itu
dan aku tentu saja memasang wajah tanpa dosa seakan aku tidak tau apa-apa.

“Ehm ... kamu ingin naik itu? Itu Tornado ‘kan?” tanyanya memastikan.

“Iya! Iya yang itu! Mike, kamu mau bukan gantiin aku untuk naik wahana itu?”
Mataku berkedip-kedip bak orang kelilipan menatap Mike penuh harap. Maksudnya penuh
harap supaya dia cepat K.O.

“... Baiklah, asalkan kamu senang maka saya akan senang juga.”

Setelah berujar demikian Mike berlari-lari kecil untuk menunggu antrean, aku
memperhatikan Mike dari kejauhan. Mendengar kata-katanya tadi mengapa aku terenyuh
dan merasa bersalah, apakah tindakanku salah? Tapi, bahkan dia jauh lebih kejam
kepadaku dulu. Dia ... pembohong.

Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, berupaya mengusir kenangan lama yang masih


membekas di dalam ingatan bahkan di dalam hatiku. Demi melancarkan rencanaku
selanjutnya aku mengeluarkan teropong kembali melihat Mike yang telah duduk di
wahana itu. Aku mengulum senyum melihat Mike yang kembali berteriak dengan
histeris, sangat berbeda dengan tingkahnya sehari-hari. Akan bagaimana jika anak
buah Mike di restoran melihat Mike seperti ini mungkin Mike akan tidak punya muka
lagi untuk bertemu dengan bawahannya itu karena dia tentu saja akan menjadi topik
gosip terhangat di sana.

Pandanganku terasa kosong, aku menurunkan tanganku yang tengah memengang


teropong, dan kembali memasukkan teropong itu ke dalam tas. Mengapa aku tidak
mengakui bahwa aku adalah Rose karena situasi tidak mendukung –Rubah betina alias
Rose KW– dan aku juga memiliki alasan lain yang masih menjadi pertanyaan selama
belasan tahun yang ingin aku tanyakan tetapi aku tidak sanggup mendengar
jawabannya.

“Kamu kenapa, Karina?”

Lamunanku terhenti karena suara Mike.

“Sejak kapan kamu ada di sini?” tanyaku menatapnya horor.

“Sejak tadi saya ada di sini, tapi kamu sibuk melamun entah melamunkan apa.”

“Mike ... rasanya aku lapar, ayo kita makan,” ajakku mengalihkan topik. Aku
ingin menghindar dari topik ini.

Mike mengangguk menyetujui ajakanku, ia menggandeng tanganku menggenggamnya


dengan erat, “Supaya kamu tidak hilang,” katanya, membuatku mau tidak mau tertawa
kecil mendengar alasannya menggandeng tanganku. Dasar modus!

===oOo===

Mataku menatap takjub atas interior restoran ini. Mike membawaku makan di
restoran dekat lokasi Dufan lebih tepatnya di Degrees Rooftop Lounge. Sumpah, roof
top bar-nya keren banget!

Interiornya eye-catching patut aku acungi jempol karena semua warna disini
sangat lembut, kebanyakan bewarna biru muda dan putih hingga membuat kesan
menyejukkan. Meskipun aku menyukai warna hitam dan merah tapi, aku menyukai
perpaduan warna di kafe ini.

Kafe ini penuh pengunjung, tapi entah bagaimana caranya Mike mendapatkan meja
yang letaknya amat strategis ini.

Kami duduk di pojok tepat di sebelah kaca besar yang memperlihatkan keindahan
Jakarta dan juga di sediakan telescope. Perfect! Lain kali aku akan mengajak Shella
dan Naya ke sini.

“Kamu ingin memesan apa, Karina?” tanya Mike memberikan buku menu ke arahku.

“Terserah kamu saja, Mike. Kamu pesan apa yang menurut kamu enak, aku tidak
memilih-milih makanan kecuali jika makanan itu memiliki sayur yang banyak.”

Mike terkekeh geli. “Kalau begitu sama saja dengan kamu memilih-milih makanan,
Karina. Cobalah makan apa yang tidak kamu sukai karena sayur itu sehat untukmu.
Bahkan diluar sana masih banyak orang-orang yang kurang beruntung seperti kita,
mereka banting tulang hanya untuk sesuap nasi atau bahkan tidak makan-makan ....”

Aku memain-mainkan jariku, kebiasaanku ketika tengah memikirkan atau


mencemaskan sesuatu. Tentu saja aku tahu rasanya, bagaimana pun aku pernah berada
pada posisi tersebut di mana aku sangat sulit hanya untuk mendapatkan sesuap nasi
bahkan aku mengumpulkan serpihan-serpihan nasi, mencucinya sampai merasa bersih dan
mengeringkannya lalu setelah kering aku cuci lagi dan barulah aku masak.

Tapi, sayur itu tempat siput bisa berada dan aku membenci siput sehingga ketika
akan memakan sayur aku merasa geli-geli sendiri. Dan tentu saja traumaku itu karena
pria yang ada di depanku.

“Ini salahmu juga!”

“Loh, mengapa salah saya? Memang saya melakukan apa sehingga kamu sampai tidak
menyukai sayur?” tanya Mike menghentikan kegiatannya yang sedang membalik-balikkan
halaman buku menu, ia terlihat sangat terkejut dengan tuduhan dadakanku.

Aduh, keceplosan!

Triple sial!

“Nggak, bukan apa-apa aku tadi kebayang lagi pergi dengan Shella makanya sampai
bilang seperti itu,” kilahku menggeleng-geleng kaku. Ini bahaya. Tubuhku kaku
seperti terselimuti es batu menunggu reaksi Mike dan berdoa di dalam hati dengan
sangat semoga dia tidak menyadari ucapanku.

“Saya kira ada apa-apa karena kamu tiba-tiba saja menuduh saya dan saya tidak
merasa telah melakukan hal salah terhadapmu sehingga kamu jadi tidak menyukai
sayur. Bahkan saya berusaha membuat kamu menyukainya dengan mengolah sayur-sayur
itu menjadi kue atau biskuit sehat,” ujar Mike seraya meletakkan buku menu di atas
meja dan memanggil pelayan. “Bagaimana jika kita memesan Pan Fried Salmon with
Garlic Bread and Organic Hollandaise?”

Aku membuka buku menu dan melihat menu yang akan Mike pesan. Rasanya perutku
mendemo minta diisi begitu melihat tampilan makanannya sanga-sangat menggiurkan
dengan daging salmon yang di panggang lalu di potong dadu di bawahnya terdapat roti
dan jangan lupakan lelehan saus ala kafe ini yang melumurinya. Delicious!

“Sementara kita menunggu pesanan datang, mengapa kita tidak melihat keindahan
kota Jakarta melalui teropong yang telah disediakan restoran ini.”
“Kamu aja yang liat, Mike. Aku lebih suka melihat langsung pemandangan dari
jendela ini,” tolakku seraya menompang dagu memandang pemandangan langsung dar
jendela yang berada tepat di sebelahku.

Mike mengangguk lalu bangkit dari tempat duduknya, dan mulai mengamati
pemandangan kota Jakarta melalui teropong itu. Aku memperhatikan setiap gerak-gerik
Mike melalui ekor mataku. Melihatnya tersenyum bahagia, aku juga turut
menyunggingkan senyumku.

Senyumku hanya bertahan beberapa saat saja tetapi, ekor mataku masih setia
memperhatikan Mike. Mengapa Mike dulu sebelum kamu pindah kamu tidak menepati
janjimu di tempat janjian kita bertemu untuk terakhir kalinya? Hari itu aku
menunggumu di bawah guyuran hujan, menahan dingin yang menusuk tulangku hanya untuk
menunggumu yang tidak pernah datang-datang sehingga aku lelah menunggumu ....

Dasar pembohong!

===oOo===

Special Author POV

Mike memperhatikan keindahan kota Jakarta dari teropong yang telah disediakan
restoran yang tengah ia kunjungi bersama Karina. Tapi, itu hanyalah kedok
semata ....

Memang, matanya menatap keindahan kota Jakarta tetapi ingatannya mengembara


karena terkenang dengan warna putih dan biru. Halte Bus tempat janjiannya dengan
seorang anak perempuan yang special baginya.

“Pembohong ....” gumannya hanya untuk di dengar oleh diri sendiri sehingga
tidak ada satu pun yang mendengar kecuali dirinya.

Jakarta, 2003

Seorang anak laki-laki tengah duduk dengan gelisah di halte bus. Bukan, bukan
untuk menunggu bus atau kendaraan lainnya, melainkan anak itu tengah menanti
kedatangan seseorang.

Meskipun wajah anak lelaki itu masih memasang wajah datar, namun jauh di dalam
hatinya ia sangat menunggu dan sangat sedih karena ini merupakan pertemuan terakhir
mereka sebelum dia pindah mengikuti ayah tirinya keluar negeri lebih tepatnya ke
Paris.

“Kenapa lama sekali?” tanya anak lelaki itu dengan melirik arloji bergambarkan
Zoro –salah satu tokoh anime One Piece-– yang khusus dipesan oleh ayah tirinya
langsung dari Jepang sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-15.

Mike adalah anak lelaki yang telah terlihat remaja itu telah tiga jam duduk
seorang diri di sini. Mike bahkan sangat tidak menyangka bahwa anak perempuan itu
akan terlambat datang ataukah anak itu lupa? Tidak, dia bukanlah tipe orang yang
akan melupakan hal sepenting ini.

Mike melirik arlojinya, hari bahkan telah semakin gelap bahkan sangat gelap.
Suara petir yang membahana tidak menjadi halangan untuk membuat Mike berhenti
menunggu, ia mendekap erat bungkusan yang isinya merupakan sesuatu yang hendak dia
berikan kepada anak perempuan itu sebagai kenang-kenangan agar anak itu tidak
melupakan dirinya meskipun mereka nantinya akan terpisah dalam kurun waktu yang
tidak dapat Mike perkirakan.
Hujan telah turun dengan derasnya, membasahi kota Jakarta yang memang
membutuhkan siraman air akibat beberapa hari ini terjadi kekeringan. Mike terus dan
terus menunggu kedatangan anak itu.

Ini sudah 6 jam berlalu, dan anak perempuan yang biasanya selalu Mike usili itu
belum juga kunjung datang. Ataukah anak itu memang sengaja tidak datang dan sangat
senang akan kepergiannya ataukah ini merupakan pembalasan dendam anak perempuan itu
karena selama ini Mike selalu mengusilinya? Entahlah.

Masalah hati siapa yang tahu.

Dari jam lima sore tepat waktu janjian mereka tetapi Mike telah datang dari jam
setengah lima. Jadi, tidak mungkin jika anak itu telah datang terlebih dahulu dari
pada dia.

Ini sudah tepat dini hari sedangkan ia akan berangkat besok subuh. Sehingga
jika tidak sekarang kapan lagi? Mike yang penakut bahkan rela menanti walau ketika
mendengar suara-suara ia berusaha tetap bertahan untuk menunggu tidak melarina diri
begitu saja.

“Mike ....”

Mike mendongakkan matanya dengan semangat. Tetapi ia hanya bisa tersenyum getir
begitu mendapati Ibu dan Ayah tirinya telah berdiri dihadapannya.

“Ayo kita pergi ...,” ujar Mike dengan lesu dan mulai memasuki mobil.

Mike masih setia memandangi halte itu dari jendela mobil hingga halte itu tidak
dapat lagi dia lihat.

“Kamu pembohong ... Rose.”

Bersambung ....

hai kita ketemu lagi nih makasih ya udah mampir, jangan lupa ninggalin cap kaki nya
ya yang baca dalam diam sekali-kali tunjukin diri dong hihi bisa berupa tanda like
dengan mengklik tanda love di bawah cerita dan atau dengan komen juga dengan
memberi bintang di app (yang ini modus) tapi sebelumnya longin dulu yaa hehehe
lupp yuu~~

:kissing_heart: :two_hearts:

Anda mungkin juga menyukai