Anda di halaman 1dari 277

31.

Hadiah Pertama

“Pagi” ujarku pelan pada Eldath yang masih tertidur disampingku. Aku membelai rambutnya
sebentar, membuat dia menggeliat “Sleep more” kataku lalu bangun dan berjalan menuju kamar
mandi untuk mencuci wajahku.

Sebuah nama begitu mempengaruhi emosiku seharian kemarin. Bagaimana nama wanita itu
membuat aku frustasi dan seperti terdorong ke pojok. ‘Pertemuan’ tak sengaja itu membuat aku
tahu seperti apa pertahanan yang harus aku bangun jika dia mulai menganggu Eldath lagi. Begini
ya, aku tak bisa menjamin Eldath masih bisa straight kalau berhadapan lagi dengannya. Dia
bilang dia mencintai wanita itu! I’m done!

Aku berdiri di depan kulkas dan mengeluarkan bermacam buah. Smoothies untuk pagi ini dan
pancake oats. Ah, aku mengacak rambutku teringat diriku yang terbawa emosi semalam.
Memalukan sekali mengakui berkali-kali aku mencintai Eldath, sedang dia hanya diam malah
bingung apa yang terjadi padaku. Butuh berapa lama lagi sih?

Aku baru selesai membuat pancake saat bel pintu berbunyi. Aku melihat jam, setengah tujuh
pagi? Apa orang dari binatu datang jam segini? Aku merapikan rambutku dan berjalan menuju
pintu. Dari plasma yang ada di dekat pintu, Nevan sedang berdiri di luar, menunggu pintu
dibukakan. Aku membuka pintu dan dia tersenyum melihatku.

“Pagi”sapanya seraya memberikan sebuah kecupan ringan di pipi

“Pagi” balasku. Untuk apa dia datang sepagi ini?

“Wah, bau apa ini?” dia melihat ke dapur “Kau sedang masak? Apa kau masak banyak? Aku
belum sarapan” dia berbalik menatapku “Waw, kau benar-benar berubah sekarang, By”

“Apa kau sakit?” tanyaku “Ada apa dengan trench coat ini?” aku menunjuk outfit yang
dipakainya.

Dia menatapku heran “Eldath tak bilang padamu?” dia balik bertanya

“Bilang apa?” dahiku berkerut


Nevan mengerucutkan bibirnya “Dia tak memberi tahumu rupanya?” dia menghela nafas “Kami
akan berangkat ke Tokyo pagi ini, ada yang harus di urus disana”

“Tokyo?”

Nevan mengangguk “Dimana Eldath? Apa belum bangun?”

Aku segera berjalan menuju anak tangga, bergegas menuju kamar. Tak ada siapa-siapa di
ranjang, pasti Eldath sudah bangun. Bisa-bisanya dia tak memberi tahu dia mau ke Tokyo! Aku
berjalan ke arah wardrobe, tempat satu-satunya dimana Eldath berada.

Aku sempat membeku beberapa detik saat Eldath keluar dari kamar mandi dengan handuk yang
melilit bagian bawah tubuhnya, sedang dadanya terbuka memberi akses pada mataku untuk
mengikuti alur air yang masih mengalir di bagian tengah dadanya. He is hot as always!

Dia melihatku sekilas dengan pandangan mengejek. Dia pasti tahu kalau aku sedang terpaku
pada tubuhnya. Aku mengikutinya ke arah lemari pakaiannya.

“Tokyo?” tanyaku

Dia berbalik menatapku “Oh, ya”

“Oh, ya?” ulangku “Kau mau pergi ke Tokyo dan kau tak memberi tahuku?” tanyaku marah.

Dia memilih atasan turtle neck yang mudah dikenakan dengan keadaan tangan masih di perban
seperti itu.

“Sepertinya kau memang menikmati kehidupan sendirimu itu!” kataku

“Hei” dia mendekatiku “Ini hanya perjalanan bisnis, kau tak perlu seperti ini!” katanya “Lagi
pula aku akan kembali” dia mengangkat alis

“Kau selalu bersikap sesuka hatimu!”

“Don’t make this things hard”

“What am I to you, El?”

“Ruby!”
“Bahkan setelah kita menikah, apakah tak ada bedanya bagimu?”

Aku mengamati wajahnya.

“Bagaimana kau bisa bersikap seperti ini padaku?”

“Ini bukan hal yang penting untukmu”

“Kau penting bagiku! Apa yang salah kalau kau memberi tahuku tadi malam? Apa benar aku
bukan apa-apa sampai sekarang? Apa sesulit itu bagimu untuk terbiasa lagi denganku?”

Aku mengenyahkan tangannya yang berusaha menggenggam tanganku. Dia merangkulku


namun, aku mendorong tubuhnya. Bagaimanapun, aku tersinggung, harga diriku terluka!

“Ayolah” kata Eldath “Hanya tiga hari” katanya “Jangan bersikap kekanakan seperti ini” dia
menjauhiku dan mengeluarkan koper kecil dari dalam lemarinya. Mengisinya dengan beberapa
helai pakaian dan keperluan lainnya. Dia masih tak menggubrisku saat dia selesai berkemas
dengan kopernya itu.

Aku menghela nafas panjang. TOKYO!!! Sebentar, rasanya aku membaca kata ini kemarin! Oh
no, jangan bilang. Aku mengambil tasku di atas sofa di dekat situ dan membaliknya sehingga
semua isinya keluar. MakeUp magazine! Aku membuka halaman terakhirnya dan benar. Ditulis
dengan huruf besar sebagai highlite di sampul belakang. Liputan untuk edisi minggu depan:
Tokyo Fashion Week!

Aku melengos dan membanting majalah itu ke sofa. Eldath melihat sebentar, namun tak ambil
pusing.

“Apa yang aku katakan tadi malam juga tak ada artinya bagimu?” aku mendengus kesal “You
just piece of shit!” seruku sebelum keluar dari kamar

Nevan berdiri begitu melihatku datang dengan langkah bagai orang kesetanan itu. Aku duduk di
depannya di kursi makan “Ada apa?” dia terlihat cemas

“Nggak ada. Apa pancakenya enak?”

“Oke, ini urusan kalian!” dia tertawa “Kau baik-baik saja?”


Aku mengangguk. Dia memegang tanganku untuk menenangkanku “Pancekenya enak, maaf aku
makan duluan,” dia tertawa pelan “Dengar, aku benar-benar...”

“Koperku masih ada diatas, kau ambilkan, Van!” suara Eldath menginterupsi kami

Nevan menoleh sebentar, lalu kembali melihatku “Don’t show me that face” katanya pelan
sambil bangkit dari kursinya melewati Eldath yang kini berjalan mendekatiku.

Dia merangkulku sebantar karena aku mendorong tubuhnya menjauh. Dia mendengus “We’ll
talk later” katanya pelan.

Nevan kembali dengan koper Eldath. Niatnya untuk menghampiriku batal lantaran tangan Eldath
sudah menariknya untuk pergi

“Kita pergi dulu, By” katanya sambil membuka pintu

Eldath berjalan lebih dulu tanpa menoleh padaku. Aku tersenyum dan melambaikan tangan pada
Nevan. Setelah pintu tertutup, aku menghela nafas panjang berkali-kali.

Just what am I to you?

Sepulang kerja, aku memutuskan untuk berkunjung ke rumah orang tuaku. Aku sampai sejam
kemudian, tepat saat Mama juga sampai rumah. Aku segera memeluknya, dan menghadiahinya
ciuman tanpa henti kalau saja dia tak mendorong wajahku menjauh. Kami bergandengan tangan
masuk ke dalam rumah.

“Apa Papa sudah berangkat?” tanyaku “Dia sudah seharusnya pensiun, Ma!”

“He loves his job, I can’t force him to quit!” terang Mama “Sama sepertiku, aku mencintai
pekerjaan ini, dan sulit untuk berhenti” dia tersenyum “Jadi ada apa ini?”

Aku duduk di kursi ruang makan, di depan Mama “Nggak ada apa-apa. Hanya ingin bertemu
Mama saja” aku tersenyum.

“Ah, kau merindukanku? Aku juga” dia mengelus punggung tanganku “Kapan Eldath akan
pulang dari Tokyo?”
Aku mengerutkan alis, kenapa Mama bisa tahu Eldath sedang pergi ke Tokyo? Aku menegakkan
badan “Bagaimana Mama tahu dia sedang ada di Tokyo?”

“Papamu yang bilang. Kemarin mereka pergi berdua” Mama memperlihatkan wajah irinya “Dan
Eldath bilang mau ke Tokyo”

Oh well, berarti Cuma aku yang tak diberitahunya!

“Mereka pergi kemana?” tanyaku. Berarti itu hari dimana kami merayakan anniversary.

Mama mengangkat bahunya “Nonton basket atau apa gitu nggak jelas!”

Aku mengangguk.

“Papamu sebenarnya melarang dia pergi lantaran tangannya yang cidera itu, hanya saja dia
benar-benar nggak bisa ninggalin pertemuannya itu”

Kenapa mama lebih tahu dari aku?

“Kau ingin menginap saja disini?”

“Hm, I’d love to” kataku “Tapi rasanya tidak, Ma” aku tersenyum tipis “Maaf”

“Apa yang harus dimaafkan, tentu saja kau harus pulang” dia tertawa pelan “Kau harus jadi istri
yang baik untuk Eldath”

Aku mendengus pelan. Aku berusaha menjadi istri yang baik untuknya, hanya saja bocah itu
masih bertingkah!

“Kau mau langsung pulang setelah dari sini?”

“Mungkin aku akan mampir sebentar ke rumah Mom”

“Baguslah, dia meneleponku beberapa hari yang lalu. Kau tahu apa yang dia bicarakan?” Mama
tertawa “Kenapa kalian nggak mengujunginya lagi. Aku baru mau menyuruhmu melihatnya”

“Oh” aku menyesal tak sering datang menjenguk Mom “Aku tak punya banyak waktu luang,
Ma!”
“Dia tahu kok, hanya saja cobalah melihatnya sering-sering” mama tertawa

“Yeah” aku mengangguk paham

Eldath’s POV

Aku bersandar di kursi dengan teh hijau yang baru diseduh di mejaku. Melihat teh ini, mau tak
mau aku teringat Ruby. Parah! Aku bisa menjalani hari pertamaku di Tokyo dengan baik-baik
saja, namun tidak pada hari kedua dan hari ini. Pikiranku berulang kali memetakan Ruby saja.
Todd yang aku temui disini, bahkan menyarankanku pergi ke dokter lantaran fokusku yang
lemah dan kurang konsentrasi, alih-alih melepas perban ditanganku. Dia pikir aku sakit.

Hari keduaku, aku benar-benar menyerahkan semuanya pada Nevan. Aku hanya duduk
memperhatikannya bernegosiasi dengan salah satu perusahaan yang ingin berivestasi untuk
perluasan salah satu mall The Blocks. Sulit juga mengakui kalau aku merindukan dia! Dan hari
itu, sebelum tidur, aku akhirnya mengiriminya email. Pengecut? Like I care! Entahlah apa dia
membacanya atau tidak, karena pagi tadi saat aku mengecek, tak ada balasan darinya. Mungkin
dia masih marah!

Nevan masuk ke kamarku “Aku akan berjalan-jalan sebentar, kau mau ikut?” tanyanya

Aku menggeleng “Udaranya dingin!”

“Oh my God, kau lahir di negara empat musim, Dude, dan kau bilang ini dingin?”

“Pergi saja kalau kau mau pergi, jangan buang-buang waktu”

Nevan tak menjawab, dia menutup pintu. Aku menggerakkan tanganku yang sudah pulih. Aku
mengambil ponsel dan mencari nomor ponsel Ruby. Haruskah aku memberi tahunya kalau kami
akan pulang malam ini? Tidak, aku belum sampai pada level setinggi itu! Aku akhirnya mencari
nomor Nevan dan menyuruhnya menungguku karena lebih baik aku keluar daripada terkurung di
kamar dengan pikiranku yang tak akan jauh-jauh dari Ruby!
Aku berusaha sebisa mungkin masuk kamar tanpa membangunkan Ruby. Dia sedang tidur
dengan tenang dan tak ada tanda-tanda dia akan bangun sekarang. Aku berdiri di sisinya,
memperhatikan wajahnya. Tanganku gatal untuk menyentuhnya, namun aku tak bisa. Aku
menyeret koperku ke arah wardrobe dan meletakkan hadiah untuk Ruby di meja depan sofa itu.

“Serius, El? Bunga? Jauh-jauh ke sini cuma bunga untuk istrimu?” seru Nevan saat melihatku
membeli sebuket besar mawar merah muda saat berjalan-jalan tadi siang.

Aku tersenyum puas.

Aku segera mengganti pakaianku dengan piyama nyaman. Seperti kebiasaanku selama ini, tanpa
pikir, aku menurunkan suhu pendingin ruangan, membuat Ruby tiba-tiba makin meringkuk
dalam selimutnya. Aku mengerutkan dahi dan oke, baiklah akan ku kembalikan pada suhu
semula. Aku bisa melepaskan bajuku kalau begitu.

Setelah berhasil berbaring tanpa membuat Ruby gelisah, aku mematikan lampu. Ah, jam berapa
ini? Setengah empat pagi! Damn, selamat pagi, selamat tidur!!! Sepertinya aku mengalami
sedikit jetlag.

Kepalaku terasa pusing saat mendengar suara teriakan yang terasa sangat dekat. Ditambah lagi
pukulan membabi buta yang mendarat di tubuhku. Aku duduk dan menoleh. Suasana kamar
masih gelap.

“Siapa kau?” suara Ruby memekik di tengah pagi buta. Aku menangkap tangannya dan dia
malah makin berteriak.

“LEPAS!!!” katanya sambil menarik tangannya.

“It’s me!” kataku sambil melepaskan tangannya dan menghidupkan lampu di dekatku.

Ruby masih shok mendapatiku disampingnya. Nafasnya masih tersengal-sengal dan dia
menatapku ketakutan “Ini aku, tenang lah” kataku seraya merapikan rambutnya yang berantakan.

Dia menepis tanganku dan menggigit bibir bawahnya “Eldath?”


“Ya, ini aku” kataku “Tak apa-apa” aku menatapnya lekat. Aku mengusap kepalaku dan menarik
tangannya yang bergetar “Aku membuatmu takut?”

“Apa lagi yang kau rencanakan sekarang?” tanyanya ketus

Aku menguap “I need more sleep” kataku

“Kau bahkan sudah disini sekarang” dia tertawa kesal “Are you this happy making fun of me?”

“Yeah, I am here” kataku seraya menatap mata hitamnya yang marah “Hei, I miss you” ujarku
tanpa pikir panjang.

Ruby menggelengkan kepalanya dan turun dari ranjang. Dia berjalan ke arah tirai di depan
tempat tidur dan menyibaknya. Matahari masih belum timbul sempurna, masih ada semburat
cahaya bulan di ujung sana. Hell, sudah pagi rupanya!

Setelah itu, dia berjalan ke arah kamar mandi. Aku menelitinya, dalam beberapa saat dia akan
mendapati sebuket bunga mawar di meja itu. Aku menunggunya, dan aku benar. Dia kembali
dengan bunga itu ditangannya. Aku tersenyum, sementara dia kebingungan.

“Apa ini?” tanyanya

Aku tertawa dalam hati, mudah sekali menjinakkan Ruby “Kau tak lihat itu bunga?” tanyaku

“Ya...” dia memandangi bunga itu “Hanya saja, sepertinya kau salah tempat” dia berjalan
mendekatiku

“Itu untukmu” kataku

“Oh, kau menyogokku,”

“Itu hadiah untukmu”

“Hadiah? Bunch of roses?” serunya “Tokyo, huh?”

Aku mendengus, sepertinya dia mau lebih dari mawar. Oke, tentu saja, tak perlu jauh-jauh ke
Tokyo kalau hanya menghadiahinya mawar.

“Kemarilah” pintaku sambil mengulurkan tangan.


Dia melihatku, menganalisa permintaanku sepertinya. Dengan sebelah tangannya yang bebas, dia
menyambut tanganku dan naik kembali ke tempat tidur. Namun, bukan itu, aku tak mau dia
duduk disitu. I want her on my lap!!! Aku menarik tangannya untuk duduk di pahaku.

“Eldath!” nada suaranya menolak, namun aku tahu dia menginginkan ini. Dia sudah duduk
dipangkuanku sekarang, menatapku lekat.

Aku tersenyum saat dia menggigit bibir bawahnya “Um, tanganmu,” dia memegang lenganku
“Sudah sembuh?”

“He eh” aku meletakkan tanganku di pinggangnya dan berniat menarik tubuhnya mendekat.
Namun, Ruby buru-buru meletakkan buket mawar itu diantara kami. Aku tertawa pelan.
Wajahnya sangat menggodaku sekarang. Aku tahu ini adalah akumulasi kerinduanku padanya
selama tiga hari ini. Astaga, bagaimana aku bisa berada sedekat ini dengannya sekarang? Aku
begitu merindukan hidungnya, matanya yang indah namun kini sangat waspada, juga alisnya
yang cantik alami itu. Bibirnya yang merah muda, well, aku ingin morning kiss darinya.

“I miss you” kataku pelan

Dia tertawa “Kau mengigau” katanya “But yeah, aku merindukanmu” balasnya

“Bisa kau singkirkan mawarnya?”

Dia menggeleng “Kau bukan dirimu sekarang”

“Lalu siapa?”

Nafas Ruby mulai tak beraturan lagi. Aku tahu dia pasti sedang deg-degan sekarang. Ini pertama
kalinya kami seintim ini, dengan dia berada di pangkuanku, tanganku di pinggangnya dan
apakah harus aku bilang kalau sekarang pandangan Ruby terkunci di dadaku?

“Aku tak ingin mawarnya melukai kita dan hancur sia-sia”

“Kenapa?” tanya Ruby. Suaranya pelan, hampir tertelan.

“Kiss me, Rue” pintaku sambil menatapnya.

Dia mendongak, balas manatapku “Eldath” katanya parau


Aku menarik tubuhnya hingga terdengar suara bungkusan mawar itu terhimpit. Dia tak punya
pilihan lain, atau tak mau melihat pilihan lain hingga dia menyingkirkan mawar yang berada
diantara kami ke sisinya. Nafasnya terasa panas dikulitku dan dia memajukan tubuhnya. Bibirnya
menyentuh bibirku sebentar lalu menariknya. Yeah!

“Kau belum bercukur” katanya.

Aku menyeringai dan memajukan wajahku. Tangannya melingkari leherku untuk membalas
ciumanku. Kami berciuman! Aku bahkan sempat tersenyum di sela-sela ciuman kami.
Percayalah aku, kalau selama ini hanya bibirku yang menyentuh bibirnya. Kepalaku pusing
bukan akibat jetlag yang aku alami, tapi karena aku mabuk dengan perasaan ini. Aku menggigit
bibir Ruby dan dia seperti tersengat. Kurasakan tubunya bergetar dan dia seperti kehabisan nafas.
Aku gila, pasti sudah gila! Bibirnya yang sudah terbuka membuatku mengeksplorasi bagian
dalam mulutnya. Aku menahan lehernya agar dia tak berhenti menciumku.

She is amateur yet so great!! Tuhan!!!

Ruby sudah melingkarkan kakinya di pinggangku saat di tersedak ludahnya sendiri. Dia
mendorong tubuhku dan terbatuk-batuk sambil menunduk. Aku tertawa dan menepuk
punggungnya pelan. Dia menarik nafas panjang dan mendongak menatapku malu-malu.

“You are the mood killer master” kataku

Dia menunduk lagi “Kita harus berangkat” dia menarik kakinya yang melingkari pinggangku dan
berniat turun dari tempat tidur.

Aku menahan tangannya “Where’s my morning kiss?” tanyaku. Sepertinya aku masih dibawah
pengaruh nafsuku.

Ruby lalu memukul pipiku pelan dan menciumnya. Dia lalu melepaskan tanganku dan keluar
dari kamar dengan langkah cepat. Aku terpaku di sana.

Wow!

Aku memegang kepalaku, masih tak bisa percaya apa yang aku lakukan padanya barusan.
Kenapa aku jadi mesum begini?? Tapi kenyataannya, I enjoyed it! I loved how we did it!
10 out of 10!

Hell, apa bibirnya terbuat dari zat candu? Kenapa rasanya masih terbayang-bayang sampai
sekarang? Aku berjalan ke arah dapur dan cepat membuka kulkas. Aku harus menemukan
apapun dengan cita rasa kuat, yang bisa menghilangkan bekas bibir Ruby yang menempel di
bibirku enam jam lalu! Madu. Mungkin akan menolong. Namun, hanya sebentar saja, karena
sesudahnya aku kembali teringat Ruby. Cari kegiatan lain. Aku tak bisa seperti ini.

Aku berjalan ke kamar dan menukar pakaian dengan training dan kaos olahraga. Cepat aku
memasukkan pakaian ganti dan handuk dalam tas. Lebih baik aku ke gym sekarang. Aku
memilih tak masuk kerja hari ini. Aku mengunjungi gym tempat biasa aku berolahraga. Dan aku
sukses, tak ada lagi Ruby sampai dua jam kemudian. Aku merebahkan tubuhku diatas matras,
memandangi studio boxing ini. Nafasku masih tersengal-sengal dan keringat meluncur deras
kurasakan di dahiku.

“Apa kau tak sebaiknya pulang kembali ke kantormu, El”

“I am taking my day off!”

“How odd!” serunya. Dia duduk di dekatku, melihatku sekilas. Dia salah satu teman yang sering
aku temui disini.

“Yeah” aku tertawa “And you, I guess you should back to your office as well”

“Aku punya urusan lain” katanya menggeleng

“Urusan apa?” aku duduk dan mengambil tasku. Mengeluarkan minuman dari sana.

“Um, kencan” dia tertawa menghadapku

“Kencan?” aku mengangguk-angguk “Kau lucu sekali”

Dia menepuk bahuku dan berdiri “Kau mau kemana?” tanyaku

“Kan aku sudah bilang. Sekarang aku akan mandi lalu pergi kencan” katanya.
Kencan, huh? Aku tertawa sendiri. Namun, aku akhirnya mengeluarkan ponsel dan menghubungi
istriku. Aku nyaris memutuskan sambungan kalau saja dia tak segera mengangkatnya.

“Halo, Baby” sapaku

“Apa yang kau lakukan sekarang? Kenapa kau terdengar ngos-ngosan begitu?”

Aku tersenyum “Aku sedang olahraga” kataku “Aku akan menjemputmu nanti”

“Aku bawa mobil” katanya “Tak perlu repot-repot”

“Kau bisa tinggalkan mobilmu disana, kan?”

“Ada apa memangnya sampai kau ingin menjemputku?” dia memancingku sepertinya

“Kabari aku kalau kau sudah mau pulang” kataku tanpa mau menjawab pertanyaannya. Setelah
itu aku memutuskan sambungan.

Ah, aku pasti tidak waras sekarang. Eldath, tenang, ini lantaran kau merasa bersalah padanya
saja. Tak ada alasan lain!

Aku menuruti perintah Eldath untuk meninggalkan mobil dan menunggunya menjemputku. Dia
sudah aku beri tahu kalau aku pulang jam lima sore dan sekarang aku sedang berdiri di depan
pintu kantor hendak berjalan keluar gerbang.

“Hei, kau mau kemana?” teriak Jenda dari dalam mobilnya

Aku menoleh, “Um, pulang”

Dia menjalankan mobilnya untuk berhenti di dekatku “Kemana mobilmu?”

“Eee, itu...” aku bingung mau menjawab apa.

“Ayo aku anter” katanya

Aku menggeleng “Nggak, aku sudah dijemput kok. Kau pulang saja”

“Benar?” tanyanya
Suara klakson panjang dari depan gerbang membuat kami menoleh. mungkin Jenda tak tahu
siapa orang di dalamnya, namun melihat mobil BMW putih itu aku tahu benar siapa pemiliknya.
Aku menunduk sedikit agar bisa melihat Jenda yang masih bertahan di dalam mobilnya “Dia
sudah datang, aku pergi dulu”

Aku berjalan cepat menuju mobil Eldath. Membuka pintunya dan duduk disampingnya.

“Jenda?” tanyanya

Aku mengangguk.

“Kenapa sih dia?” tanya Eldath tak senang

“Ingin mengantarku pulang” kataku. Mungkin aku bisa memanasi Eldath dengan cara seperti ini.
aku balas menatapnya sekarang dan bibirnya yang terbuka hendak mengatakan sesuatu, namun
dia malah menelannya.

Kalau dia bilang aku adalah Master of mood killer maka dia adalah Prank Master! Sebenarnya
apa yang terjadi pada Eldath selama di Tokyo? Aku mengamati Eldath yang kini sudah
menjalankan mobilnya. Dia begitu lain setelah pulang dari Tokyo dan.. ah apa dia lagi-lagi hanya
mempermainkanku saja? Kalau iya, dia sudah berlebihan sekali. Dengan mawar dan ciumannya
tadi pagi, aku benar-benar marah kalau dia menganggap ini hanya lelucon!

“Mau kemana kita?”

“Makan” katanya

“Kita bisa makan di rumah, kan? Kau bosan?”

“Ada yang harus aku bicarakan”

“Itu juga bisa dirumah!”

Dia melihatku sebentar “Ini kencan” katanya

Aku melongo. Kencan? Aku berteriak dalam hati. Apapun yang terjadi padanya tiga hari yang
lalu, jelas sudah mengubahnya. Apapun itu, aku tak peduli. Bagaimana bisa dia bertingkah
seperti ini? Aku tertawa kecil.
Kami sampai di Victoria, setelah sekian lama tak kemari. Kami memilih duduk di sofa besar di
dekat dengan meja bar kafe ini. Dan Eldath, dia memilih duduk disebelahku. Wah, dia membuat
aku takut sekarang. kami memesan menu fine dinnin’ untuk makan malam. Suasana kafe
lumayan ramai sore menjelang malam ini. Menu kami datang.

“Apa yang terjadi?” tanyaku setelah pelayan pergi

“Apa?”

“Kenapa kau seperti ini?”

“Ada masalah?” dia melihatku

“Kau membuatku takut karena ini bukan dirimu. Kau tak seperti ini sebelumnya”

“Bisa kita makan dulu?” dia mulai menikmati makanannya dengan tenang.

Aku menarik nafas, serba salah. Dengan sikap Eldath yang seperti ini, dia pernah seperti ini dan
berakhir dengan pengakuan dia tak mencintaiku lagi!

Kami makan tanpa ada pembicaraan. Nafsu makan Eldath sangat tinggi, sepertinya dia
berolahraga sangat lama tadi. Dia mengelap mulutnya setelah selesai dengan makanan
penutupnya. Dia menyandarkan punggungnya di kursi dan mengelus kepalaku tiba-tiba.

Aku bergidik “Stop it!” kataku menatapnya.

Dia nyengir dan menarik tangannya di kepalaku. Aku bisa memuntahkan makananku kalau dia
melakukan itu. Akhirnya dia menungguku menghabiskan makanan dengan memainkan games di
ponsel pintarnya. Dia terdengar kesal beberapa kali saat jagoannya kalah dalam permainan itu.
Setelah aku selesai, aku meminta pelayan untuk membersihkan meja kami.

“Apa yang ingin kau bicarakan?”

Dia menyimpan ponselnya kembali dalam saku celananya. Mata birunya menatapku. Tangannya
merangkul pinggangku dan dia menarikku rapat ke tubuhnya “Eldath...” seruku pelan dan
menjauhkan tubuhnya. Ini sudah tak bisa dibiarkan.

“Ruby..” katanya “Aku tak tahu aku kenapa” dia tertawa pelan.
Sial!

Dia menarik tubuhku lagi dan menyandarkan kepalanya di bahuku. Aku merinding saat bibirnya
mengecup leherku sekali. Lalu, nafasnya yang menjalar di leherku membuat aku tak kuasa
memejamkan mata dan mengerang pelan.

“El, stop it! Stop” kataku.

Dia menghela nafas panjang menatapku. Dia menggeleng dan mengusap kepalanya. Tangannya
meraih soda yang ada di meja dan meneguknya sampai habis. Lalu, dia berusaha menormalkan
dirinya.

Aku mengusap bahunya pelan “Ada yang salah denganmu!”

“Aku tahu!” katanya “Aku tahu!”

“Ya, kau tak menginginkan ini” aku menelan ludah pahit.

Dia melihatku dan tangannya mengeluarkan sesuatu dari dalam jasnya. Amplop putih. Aku
membukanya dan mengeluarkan isinya. Tiket pesawat dan voucher hotel di Pulau Menara. Pulau
yang sudah terkenal dengan keindahan panorama alamnya. Suasanya pantai dan lautnya yang
romantis yang biasa menjadi destinasi untuk berbulan madu pasangan suami istri. Aku
memandang Eldath, meminta penjelasan.

“Ayo pergi kesana” katanya “Papa yang memberikan ini. Dia ingin kita bulan madu kesana”

“Papa?”

Dia mengangguk “Kau mau?” tanyanya

Tentu saja aku mau!!

“Kau bisa minta ijin dari kantormu, kita hanya akan pergi tiga hari” katanya mengelus lenganku.

“Dan kau akan ijin lagi dari kantormu?”

“Ya, itu kantorku. Aku bisa minta ijin kapanpun aku mau!”

“Apa kau bilang? Mana bisa kau seenaknya seperti itu!”


“Lalu? kau mau kita menolak hadiah ini? Aku rasa kau perlu liburan juga”

Aku menarik nafas panjang “Kau mau pergi denganku?” tanyaku

“Kenapa tidak? Toh tak akan ada ruginya juga”

Aku mengernyit “Kapan kita akan pergi?”

“Dua hari lagi?” usulnya

Aku menggeleng “Aku nggak bisa pergi mendadak seperti itu. Masih banyak pekerjaan yang
belum aku selesaikan. Lagi pula, kami belum menemuimu untuk menandatangani pengesahan
untuk pembangunan hotel”

Eldath menarik dirinya menjauh “Bisakah kita tak membicarakan pekerjaan sekarang?”

Aku merapatkan bibirku “Maaf,” kataku “Aku tak bisa kalau perginya lusa. Aku harus mengecek
jadwal dulu, El!”

“Whatever” katanya “Kalau kau tak bisa pergi juga aku tak masalah” nada suaranya terdengar
kesal.

“Eldath,” panggilku “Bukan berarti aku tak mau pergi. Hanya saja, ada beberapa hal yang tak
bisa aku tinggalkan. Pekerjaan Jenda sedang padat, dan aku harus ada disana”

Eldath mendengus “Jenda?” dia mengangguk “Take care of him, yeah!” katanya sambil berdiri

“Kau mau kemana?” tanyaku

Dia tak menjawab dan malah pergi. Dia, apakah dia sadar kalau dia meninggalkanku yang tak
membawa mobil ke sini?

Tunggu, apa dia cemburu?

+++
32. Lawan Sepadan

Ya, inilah Eldath yang aku tahu. Yang dingin dan tak banyak bicara. Dia duduk di ruang makan,
memperhatikan tablet di depannya dengan mulut mengunyah sarapan pagi ini. Dia bahkan sudah
rapi. Tak seperti biasanya, dia sarapan setelah selesai berpakaian rapi. Aku mengisi ulang jus
jeruknya yang sudah habis. Dia tak bicara padaku setelah aku pulang tadi malam. Oh ya, dia
memang menginggalkanku tadi malam! How rude!

Roti panggangnya sudah habis dan dia sudah siap pergi. Dia mengenakan blazer semi formalnya
“Aku pergi” katanya.

Aku melihatnya yang hilang di balik pintu. Apa dia tak sadar kalau pagi ini aku harus pergi naik
taksi gara-gara dia? Dasar! Dia masih marah gara-gara aku tak bisa pergi ke Pulau Menara lusa.
Bagaimana, aku memang harus menyelesaikan beberapa hal!

Aku segera bersiap untuk pergi ke kantor, dan dari jadwal yang sudah di susun, hari ini adalah
hari pertemuan Jenda dengan Eldath untuk mengesahkan kalau proyek hotel itu akan dijalankan
dalam waktu dekat.

Aku sampai sekitar pukul sembilan pagi di kantor. Beberapa karyawan juga baru datang dan
berpapasan denganku di lobby. Setelah sampai di meja kerjaku, hal pertama yang aku lakukan
adalah mengkonfirmasi jam berapa Presdir Eldath bisa ditemui hari ini. Sekretarisnya bilang
Eldath belum sampai dan dia akan menghubungiku balik.

Aku menutup telepon dengan perasaan bingung. Bukankah harusnya Eldath sudah sampai?
Perjalanan dari apartemen ke kantornya hanya butuh waktu satu jam. Aku mencoba
menghubungi ponselnya menanyakan dimana dia sekarang, namun tak ada jawaban.

Aku melengos dan mendadak malas mau mengerjakan apapun sekarang. Jenda keluar dari
ruangannya dan menyapaku sebentar “Kau mau kemana?”tanyaku

“Aku harus pergi dulu dengan Alex, kalau ada apa-apa hubungi aku”

“Kemana?” tanyaku

Dia menoleh “Ke hotel, ada sedikit masalah disana”


“Pertemuanmu dengan Presdir bagaimana?”

“Hubungi saja aku nanti. Aku bawa berkasnya, mungkin aku akan langsung menemuinya setelah
dari hotel”

“Aku tak ikut?” tanyaku

Dia menggeleng “Kau disini saja, aku bisa mengurusnya”

Aku mengangguk pelan dan melambaikan tangan padanya. Aku tak akan bertemu Eldath nanti.
Aku membuka beberapa file dari laptop dan mencoba melihat jadwal Jenda, kalau-kalau aku bisa
minta ijin tiga hari ke depan. Mataku berbinar saat melihat sebenarnya aku hanya ijin dua hari
dari kantor. Lusa adalah hari Kamis, dan aku memang tak bekerja di Sabtu dan Minggu kan?
Betapa bodohnya aku!

Aku mengecek beberapa berita online tentang bisnis dan perkembangan proprety. Lalu,
mengecek sosial media yang lebih sering aku lihat di laptop kantor daripada ponselku sendiri.
Terakhir, memeriksa email. Ada beberapa pesan masuk yang belum aku baca sejak seminggu
lalu. Mataku menscan beberapa nama yang aku bisa pastikan itu hanya berita terusan dari bagian
informasi. Diantara sender-sender familiar itulah, sebuah nama terselip.

Eldath.

Aku mengernyitkan dahi dan membuka pesan masuk darinya. Pesan yang dikirim tiga hari lalu.
Saat dia di Jepang. Tanganku seperti tak merasakan touch pad lagi saat membaca pesan pendek
darinya itu.

You know what, I miss you, Rue.

Shit! Shit! Shit! Begitulah dia, membolak-balikkan semuanya. Melakukan semua sesuka hatinya
tanpa bisa mikir akibatnya untuk orang lain. Aku memukul mejaku berkali-kali, mendapati
hatiku kembali terenyuh dengan pesan elektroniknya itu. Pesan yang baru aku baca! Bisa-
bisanya dia mengirimkan ini padaku? Tak tahu ya pesan kayak gini hanya akan membuat aku
makin mencintainya?
Telepon di dekatku berdering, membuat aku terkejut. Dari sekretaris Eldath. Dia memberi tahu
kalau Presdir ingin di temui dua jam lagi, cepat aku memberi tahu Jenda. Jenda terdengar agak
kaget lantaran biasanya Eldath menemuinya setelah istirahat siang.

“Kau mau aku kesana juga?” tanyaku

“Tidak, tidak usah”

Eldath’s POV

Jenda.

Mari lihat apa yang dia pikirkan tentang Ruby. Aku benar-benar memilih waktu yang tepat untuk
bertemu dengannya. Aku mendegus dan kembali menekuri berkas di depanku. Ada banyak yang
harus dikerjakan.

“Masuklah” kataku saat mendengar pintu ruanganku diketuk.

Gary masuk dan berjalan mendekat “Ini salinan perjanjian kerja sama dengan kantor di Tokyo
kemarin, Pak. Mereka minta anda untuk memeriksanya dulu sebelum tanda tangan”

Aku mengambil salinan berkas dari tangan Gary dan meletakkannya di meja “Baiklah. Dimana
Nevan?”

“Nevan sedang pergi ke Black Block, Pak.”

“Ya sudah, beri tahu dia untuk menemuiku setelah dia pulang”

Gary mengangguk dan segera meninggalkan ruangan. Aku butuh Nevan untuk memeriksa berkas
ini lantaran lebih dari setengah kesepakatan ini dia yang mengerjakannya dengan pihak Tokyo.
Saat itu aku sedang tak berada pada pikiran yang benar untuk fokus!!

“Kau sendirian?” aku melihat Jenda yang masuk seorang diri

Dia mengangguk “Iya, Pak”


Aku mengangguk, sedikit kecewa dan lega. Lega karena aku tak harus melihat dia dan Ruby
berdua datang kemari dan kecewa lantaran tak ada Ruby! Haish, ada yang salah dengan diriku!

“Duduk” perintahku seraya berjalan menuju sofa dan duduk di depannya “Maaf membuatmu
menunggu” kataku

“No problem, Sir” katanya.

“Baiklah, jadi Yellow Block akan mulai menangangi pembangunan hotel rumah pohon itu dalam
waktu dekat. Kau bisa pergi dengan beberapa perwakilan dari kantor untuk mengecek lokasinya
sekali lagi, juga menemui pemilik tanahnya”

“Iya, Pak!” kata Jenda “Ini suratnya”

Aku membuka surat perjanjian yang telah di tanda tangani oleh pemilik lahan itu. Jenda memang
berhasil mendapatkan tanda tangan bapak ini. Aku mengangguk dan melihat surat lainnya,
dimana aku harus tanda tangan. Mengesahkan kalau aku menyetujui pembangunan hotel ini
dibawah hak milik The Blocks Group, terlepas dari profitnya kedepan.

“Terima kasih banyak, Pak” kata Jenda setelah aku menanda tangani berkas itu.

Aku mengulurkan tangan, menyelamatinya. Dia punya etos kerja yang tinggi dan pemikirannya
sangat cemerlang. Dengan kepemilikan saham 38% persen di Yellow Block, Jenda bukanlah
seorang yang mudah dikalahkan. Dia bahkan punya kesempatan untuk duduk dalam level yang
lebih tinggi lagi.

Aku merapatkan jasku “Lalu, apa tak ada perayaannya?”

“Perayaan?”

“Karena kau telah berhasil, mungkin kau ingin mentraktirku. Kebetulan ini sudah jam makan
siang” Eldath, kemana akal sehatmu??

Jenda tertawa “With my pleasure, Sir. Yes, please” katanya sambil menunduk.
Kami memilih restoran yang agak jauh dari kantor. Aku merasa tak nyaman kalau disapa banyak
orang saat sedang makan. Restorannya ramai bertepatan dengan jam makan siang. Kami
menunggu pesanan kami datang.

“Jadi apa alasanmu memilih hotel konsep seperti itu kemarin?”

“Ayahku, Pak!”

“Jen, aku sudah bilang untuk memanggilku Eldath saja saat sedang santai seperti ini”

Dia mengangkat alisnya “Sorry. Itu cita-cita ayahku, makanya aku harus mewujudkannya”

“Maaf karena aku harus menanyakan ini, apakah beliau masih ada?”

Jenda menggeleng “Dia meninggal tujuh tahun lalu”

Aku terkesiap “I feel you. Aku turut berduka” kataku “Ayahku meninggal 13 tahun lalu”

Jenda menatapku sekarang “I’m sorry to hear that, El” katanya “Sudah lama sekali. Kau masih
muda sekali waktu itu”

“SMP!” aku mengangguk

Kehadiran pelayan menginterupsi kami. Dia meletakkan makanan di depan kami.

“Apakah kau sudah menikah?” tanyaku basa –basi. Tentu saja aku tahu dia masih single!

Dia menggeleng “Belum, El” dia tertawa “Belum ketemu yang cocok”

“Apa yang kau tunggu? Apa kau punya seseorang yang kau suka?”pancingku seraya
memasukkan potongan ayam yang dibaluri keju diatasnya ke dalam mulut.

Dia tertawa lagi “Mungkin iya, mungkin tidak. Well, aku tak terlalu beruntung sekali ini”

“Maksudmu?”

“Ya, dia terus menerus menolakku dari dulu”

“Siapa?”
“Huh?”

“Oh, aku terdengar mau tau urusanmu ya,” kataku tenang.

“That’s fine” katanya “Kau tahu, Ruby”

Aku segera mengambil air putih di dekatku dan meneguknya cepat. Setelah itu, aku menarik
nafas panjang agar tak tersedak makananku. Aku menatap Jenda “Sekretarismu itu?” sialan!

Jenda mengangguk “Ya,” dia menatapku “Hanya saja, seperti yang aku bilang tadi, dia
menolakku terus”

“Kenapa?” aku kehilangan nafsu makan sekarang.

Jenda mengangkat bahunya “Entahlah, mungkin sudah ada yang dicintainya. Nadya, salah satu
teman dekat Ruby juga pernah bilang kalau dia menunggu seseorang yang sangat dicintainya
dulu” Jenda menghela nafas “Kadang aku juga tak mengerti dia”

Aku terdiam.

“Maaf, aku jadi menceritakan semuanya, kau mungkin tak nyaman”

“Aku mendengarkan” selaku “Jadi apa yang terjadi? Kenapa kau tak mengerti dia?”

“Ya lucu saja, menunggu seseorang yang tak tahu kapan kembalinya dan mengorbankan
kebahagiannya sendiri? Namun, disisi lain, aku tahu Ruby juga tak bisa mengabaikanku!” ada
nada bangga di suaranya

Aku mencibir dalam hati. Kau pikir kau siapa??

“Kau masih punya kesempatan kalau begitu” kataku

“I dunno. Akhir-akhir ini aku merasa ada yang berubah dari dirinya, namun aku tak tahu kenapa.
Kadang dia bisa senang banget, atau kadang dia bisa diam sepanjang hari” Jenda menggeleng

Ruby seperti itu? “Apa yang akan kau lakukan kalau orang yang dicintainya itu kembali?”

“Kalau kau?” dia membalik pertanyaannya “Kalau kau di posisiku, apa yang kau lakukan?”
Aku butuh beberapa detik untuk merubah raut wajahku “Aku mungkin akan berhenti”

“Berhenti?” ulang Jenda “Apa dia bahagia dengan orang itu? Mungkin aku akan menanyakan ini
dulu padanya. Apa dia bahagia, apa dia masih menemukan cintanya dulu? Yang benar saja,
bersikap setia untuk orang yang tak tahu dimana sekarang”

“Mungkin dia sudah kembali, makanya kau merasa Ruby sekarang berubah”

Aku memberi sugesti untuk Jenda agar berhenti sekarang!

“Aku penasaran seperti apa laki-laki itu. Sehebat apa dia!”

Damn! You won’t win against me!

“Kau keras kepala” kataku

Jenda manatapku, “Aku yakin kau juga akan melakukan hal yang sama kalau kau diposisiku.
Kau tak akan berhenti seperti katamu,” dia mengelap mulutnya dan melanjutkan “Kau tak akan
berhenti, tidak sampai kau tahu kalau dia memang lebih pantas untuk yang kau sayangi”

“Aku terkesan” kataku dengan nada sinis “Memangnya apa yang membuatmu tertarik pada
sekretarismu itu?” tanyaku hati-hati

Jenda menggumam “Hm, she’s just my type. Ya, dia cantik, pintar dan sangat menyenangkan
menjadi teman ngobrol. Kau tak akan tahu berapa lama waktu yang bisa kau habiskan hanya
untuk mengobrol dengannya atau hanya mendengarkannya saja”

“Shit, that’s something!”

“Dan dia juga orang yang mudah bikin kangen! Dan aku sangat suka senyumannya” Jenda
tertawa

Aku ingin memukulnya sekarang, demi Tuhan!

“Lalu kau, apa kau sudah menikah?”

What now?

Aku berdehem “Belum” kataku mantap “Aku belum menikah”


“Gadis yang kau sukai?”

“Um,” aku memandangi keluar restoran “Aku tak yakin”

Jenda menghela nafas “Ada apa dengan atmosfer ini?” dia tertawa.

Aku melihatnya dan memilih ikut tertawa bersamanya. Dia harus dihentikan. Laki-laki ini harus
tahu dia berhadapan dengan siapa!

Ruby membukakan pintu untukku. Ada apa dengannya kini? Kenapa dia tersenyum seperti ini?

“Dan aku sangat suka senyumannya”

Oh no! Jenda menari-nari di pikiranku sekarang!

Ruby sontak memelukku erat saat aku sudah melatakkan tas di kursi tamu. Tangannya melingkar
erat di pinggangku. Perlahan, tanganku naik mengelus punggungnya pelan.

“Ada apa?” tanyaku

“Apa yang terjadi padamu selama kau di Tokyo?” tanyanya

Aku mengerutkan dahiku, kenapa pertanyaan ini? Apa Ruby tahu apa yang terjadi di sana?

Dia meregangkan pelukannya dan mengadah menatapku “I read your email” katanya pelan

“Oh” balasku pendek, lega. Email itu rupanya!

“Ya, um kau tahu” aku melepaskan tangannya di pinggangku lalu mendorong tubuhnya pelan
“Tak ada yang terjadi, hanya saja aku merindukanmu disana” aku melangkah menuju dapur dan
mengambil air putih dari kulkas.

Ruby mengikutiku dari belakang. Hell, gerakanku bahkan terhenti saat Ruby memelukku dari
belakang “Ayo kita pergi ke Pulau Menara besok” katanya

Aku menghembuskan nafas, ini sudah tak lucu lagi “Ruby” kataku setelah berhasil meneguk
habis air putih dalam gelasku barusan “Bukannya kau..”
Dia mengetatkan pelukannya, dan aku bisa merasakan dadanya yang naik turun di punggungku,
kinda horny actually.

“Ayo berbulan madu” pintanya “Aku sudah minta ijin”

Aku merapatkan rahangku. Aku tak ingin Ruby berpikir kalau aku sudah jatuh cinta lagi
padanya. Aku belum pada masa dimana aku sangat ingin bersamanya! Aku mengusap kepalaku
sebentar “Aku tak bisa” kataku akhirnya

Dia segera melapaskan tangannya dan berdiri di depanku “Kau tak bisa? Kenapa? Bukannya kau
yang mau?”

“Bukannya kau juga menolaknya waktu itu?” aku mengangkat sebelah alis “Itu salahmu!”

“Kenapa kau tak bisa? Bukankah kau Presdir yang bisa ijin kapanpun kau mau?”

“Dan kau melarangku waktu itu”

Raut wajahnya berubah. Aku tahu dia menyesal mengatakan itu kemarin “Kau punya banyak
wakil dan ada sekretaris yang bisa mewakilimu beberapa hari, kan?”

“I need to be there tomorrow. Ada rapat penting pagi besok”

“Aku akan memilih penerbangan sore kalau begitu!” tandasnya

“You can’t force me! You can’t be like this” kataku marah

“Tapi kau mengajakku pergi!”

“Itu sebelum kau menolak dan jadwal pekerjaanku sudah diatur sekarang! Kau yang
mengacaukan semuanya” nada bicaraku meninggi “Oh dan kau harus mengurus Jenda!”

“Oke, aku akan pergi sendiri” katanya

Aku mendengus “Just what the hell are you thinking about?” aku berbalik badan dan mengambil
tasku dari kursi depan.

“Aku serius, El!” serunya saat melihatku naik tangga menuju kamar.
“Rue, in case you see it wrongly, I just missed you okay. And it was couple days ago! It is not
like I am already fallen for you!” kataku. Aku cepat berbalik tak ingin melihat wajahnya!

+++
33. Madu dan Racun #1

Apa dia bilang? Aku mengatupkan rahangku melihatnya hilang di anak tangga paling atas. Lucu
sekali, kan? Aku tak menyangka mendengar itu darinya. Jadi dia menganggap kalau maksud
email darinya itu adalah DIA TAK SENGAJA RINDU PADAKU, atau TIBA-TIBA RINDU
PADAKU UNTUK BEBERAPA DETIK, begitu? Makanya dia sekarang bilang itu sudah lewat.

Oke, baiklah aku akan menganggap bahwa aku yang sudah berlebihan, berpikir kalau dia mulai
menyukaiku! Aku salah besar pada poin ini. He is just toying with my heart! Aku duduk di stool
dekat meja panjang di dapur. Menumpangkan dagu pada tangan kananku dan merasa sangat
bodoh sekali. Padahal aku sudah membereskan semuanya di kantor tadi. Memikirkan liburan
bersama Eldath pekan ini di Pulau Menara, aku tak bisa menyembunyikan kesedihanku sekarang.

Baiklah, aku akan pergi sendiri! Lagi pula aku bisa membuat alasan kalau Eldath sedang sibuk,
kan? Toh tak ada yang tahu juga kalau aku pergi, selama dia tak melapor pada Papa!

Aku bangkit dari stool dan berjalan ke kamar. Mengeluarkan koper kecil dari lemari dan
mengisinya dengan beberapa helai pakaian.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Eldath yang baru keluar dari kamar mandi.

Aku tak menggubrisnya. Dia menarik tanganku untuk menjauh dari lemari pakaian “Jangan
bertingkah lagi!” katanya

“Aku akan pergi sendiri, kau tak perlu seperti ini” jawabku

“Kau gila? Aku tak mengijinkan!” katanya tegas

Aku menatapnya “Kau ingin membiarkan aku pergi dengan tenang atau melihatku kabur?”

Alisnya hampir bertaut “Aku tak memberimu ijin, Ruby. Kau istriku! Jika aku tak memberimu
ijin, kau dilarang pergi, paham?!”

Aku menghentakkan tangannya hingga terlepas dari tanganku. Dia benar!

“Bereskan lagi semuanya!” perintahnya sambil menunjuk pakaian dalam koperku

Aku menghela nafas “Aku ingin kesana” kataku pelan


Dipejamkannya mata sambil menghembuskan nafas sesaat “Next time. Semuanya sudah
berantakan sekarang”

“I see” kataku pelan dan keluar dari kamar.

“Mau kemana kau?” tanyanya mengikutiku dengan ekor matanya

“Don’t mind me” kataku seraya membuka pintu “Can you just stop breaking my heart?” tanyaku
sebelum keluar.

Dia menatapku terdiam, menghela nafasnya.

Aku berjalan menuju kamar di dekat ruang tamu. Aku merebahkan diri disana, menutupi
setengah tubuhku dengan selimut. Aku sudah tak ingin melakukan apa-apa lagi sekarang. Aku
marah, sedih dan kecewa pada Eldath juga pada diriku sendiri!

Aku menghela nafas saat pintu kamar terbuka dan Eldath masuk “Jadi begini caramu marah
padaku?” dia mendengus “So silly!”

“Aku ingin sendirian saja, El!”

“Ini bukan kamarmu. Ruby, tolong jangan pancing aku untuk terus membuatmu seperti ini!”

“Ya” kataku “Aku ingin kau keluar!”

Eldath menggeleng dan keluar dari kamar.

“Mengenai tadi malam,” kataku “Aku minta maaf”

Eldath mengangkat alisnya dan mengangkat kepalanya dari tabletnya

“Aku memang salah mengira. Kau benar, kau hanya merindukanku, bukan jatuh cinta padaku”

“Hei”

“Aku terlalu berlebihan menganggap kau sudah mulai suka padaku”

“Rue,”
“Um, aku ingin minta ijin. Kalau boleh aku ingin menginap di rumah Mama, dia sendirian”

Eldath meletakkan tabletnya diatas meja dan berjalan mendekatiku “Bisa kau ulangi?”

“Aku ingin mengiap di rumah Mama, aku sudah dapat ijin untuk dua hari ini. Jadi, aku pikir akan
lebih baik kalau kita...”

Dia mengangkat tangannya di depanku meminta aku berhenti “Kau membuat aku marah, Rue!”

Aku menatapnya waspada.

Tangan Eldath mencengkram bahuku kuat “Kita akan pergi ke Pulau Menara setelah aku selesai
rapat! Bersiaplah!” dia melihatku sekali lagi sebelum pergi dari sana.

Dahiku berkerut dalam. Yeah, aku tau dia marah, sangat marah mungkin makanya dia
memutuskan untuk pergi.

Aku sudah menghubungi maskapainya dan mendapatkan penerbangan jam dua siang. Saat aku
memberi tahu Eldath, kalau pesawatnya akan berangkat jam segitu, dia memintaku untuk
langsung bertemu di bandara saja. Oke, terserah dia saja kalau begitu.

Jadi, sudah setengah jam aku menuggu kedatangan Eldath di lobby. Padahal dia bilang akan
sampai sepuluh menit yang lalu. Aku memeriksa jam tangan, sudah waktunya check in. Eish, aku
menarik koperku menuju pintu terminal kebarangkatan. Aku tak tahu apa yang menarik hingga
aku bisa sekali lagi mengambil majalah MakeUp dari sebuah gerai toko buku yang ada di
sepanjang jalan menuju terminal keberangkatan. Halamannya lebih tebal kali ini. Aku duduk di
bangku besi panjang di dekat situ, dan membuka halaman demi halaman.

Liputan khusus Tokyo Fashion Week hampir mendominasi isi keseluruhan majalah mingguan
ini. Rata-rata liputan yang diambil oleh Emmy, diketahui dari nama reporter yang ada di bagian
bawah liputan. Dia di Tokyo waktu itu. Waktu Eldath disana juga.

Apa mereka bertemu disana? Tanyaku dalam hati.


Aku cepat membuang pikiran itu, karena Eldath kesana untuk urusan pekerjaannya. Rasanya dia
tak punya waktu kan untuk leha-leha dan pergi ke pagelaran macam ini disana. Lagipula, ada
Nevan, dia tak mungkin macam-macam. Aku membalik halaman dan seketika semua asumsiku
terkoyak-koyak. Foto Eldath ada dibagian dengan kolom bertajuk ‘VIP Guests’ dengan penulis
liputan yang masih sama. Emmy!

Aku tersenyum getir. Siapa bilang mereka nggak bertemu disana? Hoah, hebat sekali Eldath
‘menutup mataku’. Mengaku merindukanku disana, bahkan membawakan bunga utukku.
Ternyata aku masih semudah itu baginya. Aku menelan ludah, mengamati gambar Eldath, lalu
nama Emmy.

“Oh Thank God, I found you” seru seseorang yang berdiri didepanku.

Begitu aku mendongak dan melihat Eldath, aku segera menutup majalah dipangkuanku. Dia
bergaya santai dengan jeans biru gelap dipadukan plain t-shirt tipis berwarna putih hingga otot
lengan dan perutnya samar-samar terlihat . Dia memakai kacamata hitam yang membuat
penampilannya makin keren. Tangannya menjinjing tas pakaian juga perangkat elektroniknya.

“Handphonemu, kenapa tak kau angkat?” tanyanya “Ayo, sudah waktunya check in, kan?”

Aku menatap Eldath dengan rasa sedih dalam hatiku. Aku berdiri dan berjalan mengikutinya ke
dalam antrian untuk masuk dalam ruang check in. Beberapa pasang mata mengikuti gerakan
Eldath karena dia begitu mencolok dan menarik parhatian. Kalau suasana hatiku sedang bagus,
mungkin aku akan bertingkah posesif sekarang dengan bergelayut manja pada lengannya. Hanya
saja aku sedang tak ingin dekat-dekat dengan Eldath rasanya. Aku bahkan nggak mau bertanya
kenapa dia sudah bersikap baik lagi setelah marah-marah tadi malam.

Dia menyuruhku berada di depannya mengantri. Aku menurutinya tanpa banyak bicara hingga
dia sendiri yang merasa kurang nyaman.

“Ada apa lagi? Hm?” bisiknya di telingaku

Aku menghela nafas dan berbalik menatapnya “Semuanya baik-baik saja saat kau di Tokyo?”

Eldath memiringkan wajahnya melihatku “Kenapa lagi membahas itu?”


“Apa kau bertemu Emmy disana?” tanyaku

Raut wajah Eldath berubah, bisa kulihat itu. Dia tersenyum tipis lalu menyuruhku maju lantaran
antrian sudah mulai memendek. Aku mendesah dan melangkah maju. Dia belum menjawab
pertanyaaku!

Aku bukannya tak senang saat sebelah tangan Eldath melingkari pinggangku dari belakang,
menarik punggungku agar merapat di dadanya. Aku merasa senang luar biasa, apalagi saat
mendengar beberapa suara iri didekatku. Namun Emmy benar-benar mengganggu pikiranku
sekarang. Dia lah perusak mood, bukan aku! Aku menyerahkan tiket pada petugas. Setelah
selesai, kami segera menuju lounge khusus VIP maskapai ini. Eldath kini menggenggam
tanganku erat.

“Aku akan menelpon Papa dulu” katanya

Aku diam saja dan melihatnya berjalan menjauh dariku. Beberapa menit kemudian dia kembali
dan duduk disebelahku.

“Ruby, ayolah” katanya sambil menghidupkan gadgetnya dan mulai fokus “Aku sudah setuju
kita pergi, jadi jangan bikin ini sulit untuk kita!”

“Apa kau bertemu dengannya, El?” tanyaku lagi

“Nggak! Mana mungkin aku bertemu dia disana! Memangnya dia disana juga?”

Aku meremas majalah ditanganku. Aku lebih suka dia jujur padaku dari pada mesti
menyembunyikan yang sebenarnya. Aku menyandarkan punggung di kursi dan menghela nafas
panjang. Harusnya aku sudah tahu kenapa kami seharusnya nggak pergi. Harusnya aku tahu
pertengkaran kami tadi malam adalah tanda bahwa aku seharusnya tak keras kepala ingin pergi!

Kami menunggu dua puluh menit hingga masuk ke pesawat. Butuh dua jam untuk sampai ke
Pulau Menara. Selama perjalan dalam pesawat, aku hanya menyumbat telingaku dengan
earphone dan mendengarkan lagu dari iPodku. Eldath sendiri menonton televisi kecil di
depannya.
Kami sampai saat langit Pulau Menara sudah dipenuhi jingga merah mulai gelap. Mencari taksi
ternyata hal yang cukup sulit disini, selain armadanya terbatas, banyaknya pengunjung membuat
ini makin sulit. Setelah menunggu lima belas menit, Eldath berhasil mendapatkan taksi. Dia
memasukkan tas kami ke bagasi di bantu oleh supirnya, setelah itu dia masuk. Taksi langsung
berjalan setelah Eldath menyebutkan destinasi kami.

Jalanan di Pulau Menara sangat lengang dan asri. Kehidupan malamnya juga tidak terlalu heboh.
Entahlah, lantaran ini aku belum ke kotanya atau memang ini kebiasaan warga disini. Pohon-
pohon palem besar di tanam di sepanjang jalan menuju hotel. Lampu berkelap-kelip juga
menjadi hiburan tersendiri untuk pelancong.

“Mau bulan madu, Pak?” tanya sopir itu memecah keheningan dalam mobil

“Oh, iya” kata Eldath “Disini tempat yang bagus dikunjungi apa ya, Pak?”tanya Eldath ramah,
tumben!

“Pantai Menara wajib, Pak. Ada juga pantai Bintang. Kalau mau selain pantai ada juga bukit
Cinta orang-orangnya bilang, Pak. Kalau mau yang agak ekstrim bisa coba arung jeram sama
pasangan Bapak”

Eldath mengangguk-angguk, aku tak tertarik.

“Hotel tempat Bapak menginap ini, pemandangannya langsung ke Pantai Menara, Pak! Bagus
loh!” si bapak promosi “Oh ada pantai yang juga bagus, Pantai Muara Menara. Hanya saja jalan
kesananya agak susah, Pak. Disana juga bagus, pantainya berbatasan langsung dengan samudera
apa ya saya lupa pak..”

“Oh gitu?”

“Tapi itu, Ibu baik-baik aja, Pak?”

Eldath melihatku sebentar lalu beringsut mendekat “Are you okay?”

Aku menghela nafas “Hm,” kataku

“Are you that tired?” tanya Eldath lagi. Wajahnya begitu dekat denganku hingga aku bisa
merasakan nafas hangatnya
“I’m spectacularly fine!” hiperbolis.

Akhirnya kami sampai di hotel. Eldath sudah mengenakan kacamatanya lagi saat dia turun. Kami
disambut hangat di depan pintu hotel Magnum Royale yang besar. Bell boy langsung meletakkan
barang kami di atas kereta dorongnya dan mengikuti kami ke meja resepsionis. Eldath
menyerahkan voucher ditangannya dan resepsionis wanita yang tersenyum lebar itu
menyerahkan kunci pada Eldath

“Enjoy your time here, Mr dan Mrs. Jazz” katanya saat Eldath menerima kuncinya.

“Thank you” kata Eldath, aku hanya tersenyum sambil mengangguk.

Super suite nomor 2006. Aku sempat tekagum dengan besarnya kamar kami. Penataannya begitu
pintar dan mewah. Tak ada peletakkan barang yang sia-sia dan menganggu pemandangan.
Jendela besar menghadirkan Pantai Menara secara langusng di depanku. Begitu tenang dan ramai
malam ini. Aku berdiri disana untuk beberapa saat.

“Kau tak lelah?” tanya Eldath. dia berdiri di sampingku, melingkarkan tangannya di bahuku

“Lelah sekali” kataku

“Tapi kau bilang kau baik-baik saja tadi. Kau mau langsung tidur?”

“Sepertinya begitu” aku melepaskan tangannya dan beranjak dari sana.

Aku mandi air hangat dan segera mengganti pakaian. Saat aku keluar kamar mandi, Eldath
menatapku dengan pandangan yang aneh. Aku tak menangkap apa-apa dari mata birunya, hanya
saja ada sesuatu yang ingin dia ungkapkan. Saat aku melewatinya, aku melihat majalah sialan itu
sudah terbuka tepat pada bagian dimana gambar Eldath di display. Aku menatapnya, dia sudah
tertangkap berbohong!

Dia berjalan mendekatiku dan langsung memelukku “You suck!” gumamku

“Oke, aku bertemu dengan Emmy!” katanya “Aku bertemu dengannya di Tokyo!” ujarnya
seraya mengusap kepalaku “Aku bohong padamu”

“Kenapa?”
Dia tak menjawab.

“Lepaskan aku”

Dia menurutiku kali ini. Dia melihatku di manik mata dan tersenyum tipis.

“Kau tahu, aku lebih suka kau bilang yang sebenarnya daripada bohong padaku”

Dia menatapku, “Oke” dia mengangguk “Aku memang nggak mau memberi tahumu”

“Why did you kiss me that day?”

“What? Do I need a reason to kiss you?” dia melihatku “You are my wife!” tunjuknya

Aku mendengus “Your wife, hell yeah!”

“What’s your problem, Rue?”

“Apa alasanmu menikah denganku, El? Apa karena kau putus dari Emmy, makanya kau mau
menikah denganku?” tanyaku. Aku tak tahan lagi menyimpan rasa tak nyaman seperti ini

“Are you serious wanna talk about this, like right now?” serunya sambil mengusap kepalanya

Aku mengangguk

“Kau benar-benar kelewatan menuduhku seperti itu!” dia memunggungiku beberapa saat “Hell!
I’m trying to love you, because I know you love me. I’m trying to make this things work on us!”
katanya “What the hell are you thinking about?”

“Trying? You just kidding because you are definitely not!” seruku “YOU ARE NOT TRYING!
You let me go through this alone!”

“So what do you want now, huh? Pack up all the things and check out?” dia mengangkat alisnya

“Is that what you want? Really?” tanyaku.

“Oh my God!” serunya melangkah mendekatiku “No!” dia menggeleng sambil menghela nafas
panjang “Can we cut this fucking bullshit?”

“You still love her?” aku mengadah menatapnya


“Do you believe me, Rue? Itu tak sengaja Rue, aku benar-benar tak tahu dia ada di Tokyo!” aku
Eldath

Aku menelan ludah.

Kami bertatapan sekarang. Nafasnya terasa berat “Tak terjadi apa-apa. Aku...”

Aku berdecak. Aku tak tahu sebenarnya harus mengatakan apa lagi padanya. Aku juga tak bisa
membaca pikirannya, atau apa yang sekedar terlihat dimatanya sekarang. Aku hanya melihat
Eldath di bawah sinar lampu kamar kami, begitu tampak kalut namun juga diliputi kemarahan.

“Apa kau pikir aku percaya? Tak terjadi apa-apa? Apa dia hanya menyuruh orang memotretmu
dan dia tak ada disana?”

“Jezz!”

“Ya, kan? Kalian saling kenal, bertemu tak sengaja seperti itu dan tak ada yang terjadi? Jangan
pura-pura bodoh, Eldath!”

Eldath mengusap kepalanya geram “Yes! I met her, we walked to the downtown, enjoyed our
coffee, had a conversation for hours and so what?” serunya sambil melihatku dengan tatapan
marah.

“I see!” kataku

“Kau mau dengar itu, kan?” tanyanya

Aku menelan ludah “Yeah, aku mau dengar itu!”

“Dan sekarang apa? Setelah kau dengar semuanya lalu apa? Don’t you get tired of this, huh?
Aku sedang berusaha menjalani ini sebaik-baiknya, aku tak mau menyakitimu makanya aku tak
bilang padamu” dia melipat tangannya di depan dada “Tolong jangan pancing aku, Rue! Aku
sudah berjanji pada orang tuamu akan menjagamu, mencintaimu. So, please help me, make it
worth for us!” dia berbalik.
Eldath berjalan kelaura kamar dan menutup pintu dengan keras. Aku meghembuskan nafas
panjang dan berjalan menuju ranjang besar di tengan ruangan ini, merebahkan tubuhku disana.
Aku berusaha menutup mataku supaya cepat tertidur dan segera lepas dari rasa sakit ini.

Suasana hatiku masih tak baik pagi ini. Yeah, aku tahu Ini adalah bulan madu kami, atau kalau
aku bisa bilang begitu. Jauh-jauh kami datang kesini, dan kami hanya berakhir dengan
pertengkaran lainnya. Aku mencoba tak membebani pikranku dengan hal-hal absurd yang bisa
aku tunda dulu. Mungkin, aku bisa menikmati beberapa hal bersama Eldath disini atau mungkin
sendirian, mengingat kemungkinan untuk bersikap baik setelah kejadian semalam sangat kecil.

Aku bangun dan tak menemukan Eldath disampingku. Aku turun dari tempat tidur dan berjalan
keluar. Rupanya Eldath tidur di depan TV semalam. Sepertinya aku memang tidur dnegan lelap
sampai tak sadar kalau Eldath tidak tidur di kamar. Aku berjalan menghidupkan TV, setelah itu
berjalan ke depan jendela besar. Matahari dari Pantai Menara menyapaku lembut. Ada banyak
petugas kebersihan yang membersihkan pantai, ada juga beberapa lainnya yang sibuk
menyiapkan perlengkapan untuk acara nanti malam. Festival lampion, pasti akan sangat seru!
Aku berbalik dan mendapati Eldath yang bangun dan berjalan menuju kamar mandi.

Aku akhirnya duduk di depan TV yang dari tadi malah diabaikan setelah dihidupkan. Gosip artis
memenuhi slot acara pagi. Eldath kembali dari kamar mandi dengan wajah yang lebih segar.

“Apa yang akan kau lakukan hari ini?”

“Berjalan-jalan” kataku “Sudah sampai disini, rasanya sayang juga kalau aku hanya berdebat
denganmu!”

“Yeah, ada beberapa hal yang harus aku kerjakan. Dengar, aku bisa menyusulmu nanti. Kau
berjalan-jalanlah duluan”

See?? What the fuck! “Ada festival lampion nanti malam, aku ingin lihat” kataku

“Lihat dari sini saja apa salahnya?” tanyanya

“Aku ingin lihat dari dekat. Aku mau ikut juga!” kataku
“Oke, terserah kau saja” katanya

Dasar kejam! Dia duduk di sebelahku.

Dia mengangkat dua bahunya “You leave no choice, aku sudah bilang kan jadwal kerjaku sudah
di reschedule dan ada beberapa hal yang harus aku cek hari ini!”

“Urus saja semua itu!” kataku sinis.

Eldath mengacak rambutnya. Dia berdiri dan berjalan ke dekat telpon “Kita pesan layanan kamar
saja ya, sarapan disini”

“Aku sarapan di bawah saja!” tolakku. Ini persis seperti pagi hari setelah pernikahan kami.

“Oke, lakukanlah sesukamu” Dia tak menggubrisku dan malah menelelpon “Pagi, bawakan
menu breakfast yang spesial hari ini” katanya. Setelah mengatakan itu, dia menutup telfon.

Dengan santai, di berjalan ke arah kamar. Aku benar-benar tak paham dengan Eldath.

“Rue, your phone is ringing” teriaknya dari kamar.

Aku menghentakkan kakiku dan berjalan ke kamar. Mengambil ponsel yang tergeletak di meja
dekat tempat tidur “Halo Pa,” sapaku “Ya, kami sampai tadi malam” aku mengamati Eldath yang
memang membawa laptopnya keluar kamar. Dia serius rupanya mau mengurus kerjaannya
sekarang!

“Tidak, aku sudah bilang pada Mama, tenang saja Pa. Hm, kita lihat saja nanti” kataku “Tiga
hari, ya” aku mengangguk “Baiklah, aku mengerti, bye bye” kataku mengakhiri sambungan.

Aku melihat jam hampir jam delapan pagi. Sebaiknya aku mandi sekarang. Kalau Eldath tak mau
peduli, aku juga tak akan peduli. Bel pintu berbunyi saat aku keluar dari kamar. Eldath memberi
kode padaku untuk membuka pintu. Seorang pelayan berdiri di depan pintu dengan kereta
makanan. Aku tersenyum “Masuklah” kataku.

Dia mendorong kereta makanannya dan menganturnya di meja depan. Setelah itu dia permisi
keluar.

“Sarapanmu sudah datang” kataku sambil berjalan ke kamar mandi.


Rasanya mandi pagi hari di Jacuzzi akan menyenangkan juga. Bak besar itu berwarna putih
bersih dengan batu yang mengilap di sinari lampu kristal diatasnya. Selagi menunggu airnya
penuh, aku berganti pakaian dengan handuk.

Saat aku ingin membuka handuk itulah, pintu kamar mandi menjeblak terbuka.

“Apa yang...” seruku sambil kembali melilit handuk di badanku.

Eldath buru-buru masuk menuju kloset. Dia berjongkok di depan kloset dan memuntahkan
semua yang dia makan. Aku segera mendekatinya dan memukul punggungnya pelan. Dia
berusaha keras mengeluarkan-entah apa- menu sarapan yang baru dia makan.

“Kau tak papa?”

Eldath masih berusaha mengeluarkan isi perutnya sedangkan keringat dingin sudah mulai keluar
dari dahinya.

“Apa yang terjadi, huh?” tanyaku. Mulanya aku tak mencemaskan apa-apa sampai Eldath
sepertinya sudah memuntahkan semua yang dimakannya, namun dia tak kunjung merasa baikan.

“Jangan bercanda, Eldath! Ini tak lucu tau!” teriakku

Tubuhnya sudah lemas di rangkulanku “Sebentar”

Aku cepat berlari keluar dan mengambil air putih. Aku memegang kepalanya dan meminumkan
air putih. Aku tak tahu harus melakukan apa karena wajah Eldath sudah berubah kemerahan dan
gejolak dari perutnya juga belum berhenti.

“Eldath, tolong Eldath jangan begini” seruku cemas “Ini berlebihan, jangan main-main seperti
ini!”

Dia sudah menghabisakan air putih yang kubawa dan tak ada perubahan. Aku menarik tubuhnya
untuk aku peluk “Eldath, bagaimana ini?” tiba-tiba otakku seperti blank dan benar-benar tak tahu
harus ngapain

“Sadarlah, are you fine??” seruku tak sabaran

“Dok..” kata Eldath lemah “Dok..ter, Rue” katanya


“Hm?”

“Dokter”

Jantungku berdetak sangat cepat hingga akupun sulit bernafas, aku meletakkan kepala Eldath di
lantai kamar mandi dan segera berdiri. Namun, dia mencekal pergelangan kakiku, membuat aku
terkejut “Pakai bajumu” katanya

Aku sontak menunduk dan mendapati aku hanya memakai handuk. Aku menggeleng dan tak
mempedulikannya. Segera aku meraih telepon dan meminta pihak hotel mengirimkan medis
segara. Setelah menelepon aku kembali ke kamar mandi. Eldath jadi lebih buruk sekarang. Kulit
putih pucatnya kini sudah kemerahan semua, dan nafasnya sesak.

“Ruby, ganti pakaianmu...”

“Shit! Diamlah!” aku memegang dahinya dan mengelap keringat yang mengalir dari sana. Mata
Eldath mulai menutup “El, no, look at me” seruku sambil menangkup wajahnya dengan
tanganku.

“NO!!!” seruku “Look at me, stay with me! You, shit!!!” racauku dengan suara bergetar “Eldath,
talk to me! Eldath!!!” aku mengguncang bahunya keras-keras. Dia tak boleh pingsan! Aku tak
mau melihatnya seperti ini.

Aku segera menarik mantel mandi begitu bel pintu terdengar. Beberapa orang masuk dan aku
segera menyuruh mereka ke kamar mandi. Mereka membopong Eldath ke tempat tidur. Dia tak
sadarakan diri saat dibaringkan di tempat tidur.

“Apa yang terjadi?” tanya dokter itu padaku

“Aku tak tahu, tiba-tiba dia muntah saat sedang sarapan”

“Apa dia punya alergi?”

“Dia alergi asparagus” kataku. Air mataku sudah mengalir deras di pipi

“Apa ada asparagus di dalam menu sarapannya?”


Aku menggeleng, lalu melihat salah petugas hotel yang ikut datang bersama dokter tadi “Apa
ada asparagusnya?” tanyaku “Apa menu sarapan spesial kalian hari ini? Apa ada asparagusnya?”
tanyaku tak sabaran.

“Ya, ada asparagus dalam menu sarapannya. Mushroom stew with asparagus” kata pelayan hotel
“Maaf, Nyonya kami tidak tahu kalau suami anda alergi asparagus”

Dokter memeriksa Eldath. Mengecek bola matanya, mengukur tensi darahnya dan memeriksa
alergi yang timbul di kulitnya “Apa dia muntah?”

“Iya, dia muntah” kataku

Dokter itu memeriksa Eldath sekali lagi dan menyuntik lengannya. Aku berdiri di dekatnya,
menyaksikan semuanya terjadi begitu cepat.

“Dia tak papa kan, Dok?” tanyaku cemas

“Ya, tak ada gejala serius. Tapi, kita harus menunggu dulu sekarang”

Aku duduk di samping Eldath, memegang tangannya. Wajahnya memerah dan nafasnya masih
berat. Dokter itu memeriksa denyut nadi Eldath lagi dan menghela nafas panjang “Dia sudah tak
papa” lapornya “Saya sudah menyuntikan anti biotik, tak akan terjadi apa-apa. Semuanya baik-
baik saja”

“Tapi dia pingsan!” seruku manatapnya

Dokter itu mengangguk “Dia akan sadar, Bu” katanya “Kita harus menunggu dulu. Ini ada obat
yang bisa diberikan setelah dia sadar. Alerginya tidak serius, hanya mungkin dia akan merasa tak
enak badan beberapa hari ini” terangnya

“Berapa lama dia akan pingsan?”

Dokter itu tersenyum “Kita tunggu saja, atau kalau ibu mau, kita bisa mentrasnfernya ke rumah
sakit”

Aku melihat Eldath sekilas “Dia akan baik-baik saja kan tapi?”

Dokter itu mengangguk mantap “Dia tak apa-apa”


Aku menarik nafas lega, walau sebenarnya beberapa saat lalu separuh diriku seperti tertarik
dalam sebuah dimensi waktu “Aku akan menjaganya disini saja”

Dokter yang masih tampak muda itu berdiri “Ibu bisa hubungi saya kalau ada apa-apa. Beri dia
minum yang banyak saat bangun nanti”

Aku berdiri dan mengangguk “Terima kasih, Dok” kataku

Aku mengantarnya keluar dan sekali lagi mengucapkan terima kasih. Setelah itu, aku kembali
duduk di dekat Eldath, memegang tangannya yang dingin karena dibahasi keringat dari telapak
tangannya. Aku terisak memandangi wajahnya.

“Kau jahat sekali, El!” kataku sambil mengembusakan nafas “Tidakkah kau pikir ini berlebihan?
Huh?” tanyaku

Aku membelai kepalanya lembut “Bangun lah! Aku tak akan kemana-mana, aku akan disini saja.
Oke??” aku memejamkan mata dan menarik nafas panjang. Aku mencium keningnya lembut
sebelum bangkit dari sisinya.

Apapun yang sebelumnya direncanakan Eldath agar dia tak keluar kamar, dia berhasil! Sialnya,
aku juga ikut-ikutan tinggal di kamar, menyaksikan Pantai Menara yang sudah mulai dipenuhi
pasangan yang akan ikut dalam festival lampion yang akan digelar beberapa jam lagi. Aku
menoleh saat mendengar Eldath menggumam.

“Ada apa?” tanyaku setelah berada di sampingnya. Dia sudah sadar sejak sejam lalu sebenarnya,
hanya saja dia masih merasa pusing dan mual.

Dia membuka matanya dan aku segera menyodorkan air putih padanya. Kayaknya sebentar lagi
Eldath bakalan keracunan air putih saking banyaknya air yang dia konsumsi dari tadi. Dia
meneguk setengah gelas airnya dan mengembalikannya padaku. Dia menatapku sebentar lalu
kembali tidur.

Aku berjalan menjauh sambil menghela nafas. Sial banget niat mau bulan madu disini. Aku
kembali duduk di single chair dekat jendela kamar, yang juga menampakkan Pantai Menara yang
luas. Garis pantainya berkelok-kelok dengan air pantai yang tenang. Pasir putih yang ingin sekali
kurasakan, nampak begitu hangat ditimpa sinar matahari sore ini.

“Baby” panggilnya

Aku menoleh dan berjalan kedekatnya. Dia mengulurkan tangannya padaku, memintaku untuk
duduk disampingnya. Aku naik ke tempat tidur dan duduk di sisinya. Dia mengangkat tubuhnya
untuk bersandar pada headboard.

“Kau harus beristirahat, El”

“Apa aku menakutimu lagi?” tanyanya

“Bagaimana mungkin kau tak bisa mencium bau asparagusnya?” aku mengelap air yang ada
disudut mataku “Hm?”

Tangannya terulur mengusap kepalaku. Aku beringsut ke dekatnya dan memeluknya


“Bagaimana kalau kau tak bisa diselamatkan?”

“Aku baik-baik saja sekarang, terima kasih” katanya “Sorry for making you worried”

Aku mengadah, dan bersandar pada bahunya “Jangan macam-macam, Eldath! Aku benar-benar
tak ingin 13 penantian berakhir tragis!”

“Mengenai tadi malam,” ujarnya lemah

“Sudahlah..” kataku sambil bangun dan kembali mengambilkan air putih untuknya.

Dia meneguknya sampai habis “Festival lampionnya..”

“Aku hanya akan melihatnya dari sini saja, apa boleh buat”

“Apakah acara festival lampion itu sebegitu menariknya untukmu, Rue?”

Aku menatap matanya “Aku bahkan suka dengan hadiah darimu waktu ulang tahunku dulu,
mana mungkin aku tak suka festival seperti ini. Ini romantis” kataku sambil mengalihkan
pandangan ke arah jendela kamar.

“Kunang-kunang itu? Yeah, mereka kelihatan mirip” katanya sambil tersenyum tipis
“Kau istirahatlah, oke. Kau belum pulih benar” aku melihatnya, lalu menarik lengannya untuk
kembali berbaring.

“Thank you, Baby” ucapnya saat aku menyelimutinya

“Aku akan ada disini, panggil saja kalau kau butuh sesuatu”

“Sorry”

Aku menggigit bibir bawahku, ada yang ingin aku katakan padanya, hanya saja aku ragu.
Akhirnya aku hanya mengangguk dan turun dari ranjang.

Bagaimana bisa dia begini. Dia baru saja membuatku begitu marah dan membencinya. Lalu
sekarang, dia sukses membuat aku tak ingin kehilangannya!

+++
34. Madu dan Racun #2

Eldath’s POV

Aku harus mengaku kalau keadaanku sudah pulih pagi ini. Sebenarnya, semalam semuanya
sudah terasa mulai membaik. Hanya saja, rasanya aku belum ingin keluar kamar. Kemerahan di
wajahku belum sepenuhnya menghilang. Belum lagi, beberapa berkas yang tak jadi kuperiksa
kemarin. Mengenai kemarin, aku harus bilang itu salah Ruby sepenuhnya! Dia membuatku kesal,
benar-benar membuat otakku mendidih. Aku benar-benar tak suka caranya memperlakukanku
seperti itu. Dan dia membayarnya!

Dia ada disini seharian kemarin, tak keluar dan hanya menyaksikan festival lampion yang sangat
ditunggu-tunggunya itu dari kamar saja. Kasihan? Tidak! Dia pantas mendapatkannya setelah
membuat aku marah kemarin. Dan sepanjang malam tadi, aku tak tahu sebenarnya dia tidur atau
bergadang menjagaku. Karena setiap aku merasa gelisah sedikit saja, dia langsung bertanya ada
apa, atau apa yang aku butuhkan. Aku ragu dia tidur semalam! Kasihan? Bukan, lebih pada
tersentuh atau apapun bentuk perasaan yang seperti itulah.

“Kau sudah baikan?” tanyanya yang baru masuk kamar dan melihatku sudah bangun.

“Hmm, lumayan” kataku.

Dia berjalan mendekat dan meraba dahiku sebentar. Dia seperti sedang menganalisa suhu
tubuhku sekarang “Ya, sepertinya demammu sudah turun. Apa wajahmu masih terasa panas?”
tanyanya.

Dia memperhatikan wajahku sebentar, lalu mengecup bibirku. Aku tertegun dan menatapnya
“Bagaimana ini? Sepertinya kau belum bisa keluar!” katanya seolah ciuman tadi itu bukan
masalah besar buatnya, sehingga dia mempermasalahkan liburannya sekarang!

“Kau...” kataku seraya berdehem “Mmm, kau mau pergi?”

“Tak usahlah” katanya “Aku menemanimu saja disini”

“Tidak, tidak, kau bisa pergi hari ini. Aku sudah merasa baikan, kok” kataku sambil menurunkan
tangannya yang masih berada diwajahku.
“Nggak, mana bisa aku meninggalkanmu seperti ini” dia berdiri dari sampingku dan berjalan
menuju jendela kamar kami

“Tak apa, kau ingin jalan-jalan, kan? Tapi, aku tak bisa menemanimu” aku mengusap wajahku.
Sebenarnya sudah tak terasa panas lagi, hanya tinggal bekasnya saja “Aku serius” kataku sambil
turun dari tempat tidur dan berjalan ke kamar mandi.

Saat aku kembali dari kamar mandi, dia masih berada di depan jendela “Kau tak mau pergi?”
tanyaku

“Hm?” katanya berbalik menatapku

“Pergilah, aku sudah baikan. Kau tenang saja, kalau ada apa-apa aku akan menghubungimu”

Dia tersenyum sambil mengangguk “Baiklah, kau harus memberitahuku kalau ada apa-apa”
katanya

Begitulah, dia benar-benar meninggalkanku. Sepertinya dia memang tak sabar untuk jalan-jalan
dari kemarin. But, yeah like I care! Aku duduk di depan TV sebentar dengan secangkir air putih
hangat di tanganku. Aku sudah pernah bilang kan kalau bibir Ruby itu kayak zat candu? Atau
lipsticknya yang mengandung nikotin?? Sialan, aku masih mengulang-ngulang ciumannya dalam
ingatanku. Bagaimana aku bisa jadi semenyedihkan ini? Well, begini, aku rasa sudah beberapa
hari aku tak menciumnya, kan? Yeah, wajarlah kalau sekarang aku begini.

Aku menghembusakan nafas frustasi dan berjalan ke kamar. Membuka tas dan mengeluarkan
beberapa berkas serta laptop. Aku menekuri berkas didepanku, berulang kali menghubungi
Nevan bertanya tentang hal kantor.

“Apa yang kau cemaskan? Nikmati saja bulan madumu, El!” katanya

“Tak ada yang terjadi?”

“Hm, apa yang terjadi disana? Masih tak ada yang terjadi juga antara kalian?” dia tertawa “Kau
cukup tahan juga, Man!”

“Sialan kau!” kataku “Bagaimana kontrak kerja dengan Jepang itu?”


“Yah, baru aku kirim kan, we can handle this. Aku sudah mengirimu email, El”

“Oke,”

“Urus saja urusanmu disana!”

“Rasanya aku tak perlu mendengar ini darimu!”

“Ayolah!” katanya

“What the hell are you talking about? Are you out of your mind?”

Nevan tertawa “Things don’t work on your way?” dia tertawa lagi “Oke fine, apa lagi yang mau
kau tanyakan? Aku buru-buru sekarang”

“Apa yang membuatmu terburu-buru?”

“Aku harus bertemu notaris sekarang”

Aku mengangguk “Oke, kalau begitu. Eh, bagaimana posisi kita di turnamen basket itu?”
tanyaku saat teringat kompetisi basket senior itu.

“Oh ya, good news, kita masuk enam belas besar. Pertandingannya besok malam!” katanya

“That’s good!” kataku “Oke, pergilah!”

“Kirimkan salamku pada Ruby. Dia tak mengangkat ponselnya sejak kemarin!”

Aku mengerutkan dahi “Kau menghubunginya dari kemarin?” tanyaku penuh selidik

“Tak boleh? Kau posesif sekali, Tuan!” katanya

Aku menelan ludah “Apa yang mau kau katakan padanya? Katakan padaku, akan aku sampaikan
nanti!”

“That’s none of your business! Hei look, Gary is here. I really gotta go now. Talk to you later!”

Dia menutup telepon. Aku merapatkan rahangku kuat. Apa maksudnya kalau itu bukan
urusanku? Ruby itu istriku, apa dia lupa? Sudah bukan urusan lagi kalau dia pernah menyukai
Ruby! Sekarang dia jelas jauh dari bisa dihubungi Nevan sesuka hatinya. Aku mencari nomor
Ruby dan menelponnya.

“Ada apa? Kau kenapa?” terdengar suara cemasnya saat teleponku tersambung

“Hei, aku hanya ingin tahu kau ada dimana”

“Oh ya? Kau yakin kau tak apa-apa?” tanyanya

“Kau dimana sekarang?” tanyaku mulai bosan dengan pertanyaan repetitifnya

“Aku? Aku sedang berbelanja. Aku akan pulang sejam lagi, oke. Setelah makan siang” katanya

“Kau tak perlu buru-buru” kataku

Dia tertawa “Kau serius?” tanyanya

Aku manyun, lihatlah bagaimana pandainya dia berakting. Baru beberapa detik lalu dia terdengar
cemas, dan sekarang nada bicaranya terdengar dia akan tinggal diluar lebih lama, mungkin
sampai sore.

“Mm, yeah” kataku

Dia mendesah pelan. Oh no, rasanya tubuhku baru saja bereaksi mendengar suara desahan Ruby
barusan! Aku menelan ludah, kebingungan. Damn it! Tak mungkin!

“Ya sudah” katanya “Kalau kau tak apa, aku akan kembali dalam beberapa jam lagi, mungkin,
mmm...?”

“Ruby...” kataku pelan

“Apa?”

“Um, kau jangan pulang terlalu lama” kataku

“Hm?” gumamnya. Dia berdecak “Aku tak tahu ada apa denganmu. Baiklah, aku akan segera
pulang ke hotel”

“Hati-hati” kataku. Setelah itu aku matikan sambungan, tak mau mendengar jawabannya.
Sialan! Aku mengusap wajahku.

Hah, apanya yang segera pulang? Ruby baru sampai di hotel dua jam kemudian dengan begitu
banyak belanjaan di tangannya.

“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya sambil berjalan masuk ke kamar dengan barang-barangnya

Aku mengikutinya ke kamar “Apa ini? Apa kau baru saja membeli tokonya?”

Dia tertawa di depanku “Kebanyakan ya?” tanyanya sambil menyusun bungkusan itu di dekat
kursi “Semuanya lucu, jadi ya aku beli saja. Kau mau lihat, aku punya oleh-oleh untuk Joey dan
Loui, ah cute sekali” dia menunjukkan kostum berbentuk jerapah padaku “Sekalian oleh-oleh
untuk Mama, mm Nadya, Nevan siapa lagi ya...”

“Kau membelikan Nevan oleh-oleh juga?” tanyaku

“Ya, dia menghubungiku semalaman, juga tadi, ya sudah sekalian saja”

“Dia bilang apa?”

“Siapa? Nevan?” tanyanya “Mm, tak ada hanya menanyakan kabar, kok” dia berlalu dari
depanku keluar kamar.

Sialan anak itu!

“Kau sudah makan, Eldath?”

Aku tak menjawabnya.

“Eldath, apa kau sudah makan?” tanyanya lagi dari luar kamar.

Aku berjalan menuju suaranya dan dia tengah melihatku. Aku mengangguk.

“Apa yang kau lakukan? Apa obatmu sudah kau makan juga?” dia memeriksa berkas di meja

Aku menelan ludah. Punggung Ruby memang sudah pemandangan biasa bagiku dan aku sudah
terbiasa melihatnya. C’mon Eldath, get this thing straight!!! Persetan lah!
Aku berjalan mendekati Ruby dan memeluk tubuhnya dari belakang. Kekagetannya membuatku
makin merapatkan pelukanku, mendekatkan tubuhnya denganku .

“Eldath, kau kenapa?” tanyanya

Aku menurunkan kepalaku ke tengkuknya dan menciumnya. Aku bisa membaui aroma parfum
Ruby. Aroma segar jenis bunga serta wangi seperti rumput segar yang baru dipotong. Aku suka
wanginya! Dia mengangkat dua bahunya, bergidik “Eldath, hei” gumamnya “No, that’s
sensitive”

Aku menyeringai mendengarnya. Sensitve, huh? Aku membalik tubuh Ruby dalam
rengkuhanku dan masih ada tatapan kaget di matanya. Aku menatapnya, lalu perlahan
mendekatkan wajahku.

Ruby tertawa pelan “Ada apa ini?”

See? dia benar-benar menghilangkan mood! Aku mengangkat wajahku. Dia masih tetawa. Aku
menegak ludahku sendiri, serasa dipermalukan sekarang.

“Kau kenapa?” tanyanya. Bibirnya terangkat membentuk senyuman yang benar-benar menyentil
harga diriku.

“Shit” gumamku lalu menarik wajahnya dan menciumnya. Aku mengecap bibirnya dan oh my
apa yang sebenarnya terjadi padanya? Aku bisa merasakan dia sedang tersenyum sekarang. Aku
ingin mengisap semua bibirnya sekarang, namun ada yang mengangguku!

“Eldath” gumamnya disela ciumanku. Aku tak tahan, aku menghela nafas dan menarik wajahku.
Aku memberinya pandangan tak suka

“Apa yang terjadi padamu? Ini efek obatnya, ya? Waaw..” serunya sambil berbalik dan
mengambil obat yang masih berada di dekat berkasku.

“Apanya yang salah?”

“Tak ada efek samping semacam tadi. Hanya indikasi mengantuk kok” dia melihatku “Apa yang
membuatmu seperti ini?” dia tertawa
Demi Tuhan, apa maksud senyuman Ruby yang belum hilang itu. Aku tak bisa membacanya!

Dia meletakkan dua tangannya di dadaku, menatapku. Sekarang apa lagi? Dia menempelken
dahinya diantara dua tangannya tadi.

“Apa kau cemburu pada Nevan?” dia tertawa

Motherfucker! There goes my swear!!!!

“Mau kemana?” pertanyaan ini sudah kesekian kalinya dilontarkan Ruby

“Kau mau ikut atau tidak?” kataku “Kita ke Muara Menara,”

“Dimana? Jauh ya? Mau hujan kayaknya, disini saja ya” katanya

“Kau tak bosan melihat ini terus?” tanyaku “Lagian hanya setengah jam dari sini. Mungkin saja
disana cuaca cerah”

“Sudah mau sore El, kita mesti siap-siap pulang besok. Kau tahu, malam ini ada kembang api
disini” katanya

Aku menggeram, lalu melihat jam. Baru jam tiga juga! “Jadi kau mau ikut atau nggak? Kalau
nggak, aku sendirian yang pergi kesana”

“Mana boleh kau kesana sendirian, kau baru sehat. Kau tak ingat?”

“Pilihannya kau ikut atau tidak?” aku berbalik, mengambil kacamata dan topi dari kamar.

Ruby akhirnya mengikutiku keluar kamar dan setuju pergi ke Pantai Muara Menara

“Naik motor ini?” tanyanya menunjuk motor trail di depan kami. Aku mengangguk

“Kau yakin?” tanyanya.

Aku langsung duduk di motor dan mengidupkannya. Aku tahu apa yang ada dipikiran Ruby,
kalau sarana transportasinya sudah nggak lazim gini, pasti medannya berat. Motor trail ini
memang biasa digunakan untuk jalanan berbatu dan tak rata.
“Eldath, bagaimana kalau kita disini saja” dia masih berusaha merayuku agar tak pergi “Oke?”

Aku menggas motor di depannya “Kalau kau tak naik dalam hitungan tiga, aku akan pergi
sendiri”

“Mau hujan!” serunya

“Satu..” kataku. Dia kelihatan bingung. Kalau aku pergi sendirian, itu hanya akan membuat
pikirannya cemas, sedangkan dia tak begitu setuju pergi saat ini “Dua..”

Dia menghela nafas dan akhirnya duduk diboncengan. Dia duduk merapat padaku lantaran
kapasitas motor ini kecil “Awas saja kalau disana hujan!” ancamnya

“Pegangan” perintahku

Aku tersenyum saat dia melingkarkan tangannya di pinggangku dan memeluknya erat. Aku
langsung melajukan motor dengan suara berisik ini.

Jalanan menuju Pantai Muara Menara memang tak mulus. Kontur jalanananya adalah batu-
batuan kecil dan kerikil, jalanan menanjak dan pasir yang berasal dari Gunung Menara yang
sudah tak aktif lagi. Sebenarnya tak mustahil untuk mencapai Pantai Muara Menara dengan
mobil atau motor biasa, hanya saja butuh jalan kaki lagi untuk sampai di Pantainya.

“Hadooh” keluh Ruby yang dari tadi sibuk menggerutu lantaran jalanan yang jelek “Ngapain sih
kita disana?” tanyanya lagi. Aku tak menggubrisnya lantaran terfokus pada jalanan yang sedang
kami tempuh, karena sedikit saja salah, aku pastikan kami akan mencium jalanan kasar ini!

Awan hitam serta angin yang berhembus kencang menemani perjalanan kami. Sepertinya
memang akan turun hujan. Tapi, sudah kepalang tanggung mau pulang, sudah setengan jalan.
Beberapa orang di hotel bilang Pantai Muara Menara adalah tempat yang paling tepat
menyaksikan sunset. Makanya aku ingin membawa Ruby kesini. Heh, blame me! Yes, at least I
give her one moment, um our moment!

Tak banyak kendaraan yang kami temui sepanjang jalan. Kalau ada, mereka adalah kendaraan
yang berlawanan arah dengan kami. Mau pulang!

“El, pulang aja yuk, mau hujan deras kayaknya” kata Ruby lagi.
“Bentar lagi nyampe” kataku

Jalanan yang semula penuh dengan batu-batuan telah berganti pasir-pasir yang membuatku lebih
berhati-hati lagi. Tujuan kami sudah dekat. Aku bisa mendengar suara-suara teriakan sebenarnya
sekarang. Walaupun cuaca tak mendukung, setidaknya hujan belum turun.

Kami memasuki gapura Pantai Muara Menara yang dinaungi pohon dengan daun yang rindang
menjuntai ke bawah. Aku makin mempercepat laju motor lantaran jalananya sudah bagus. Yeah,
seperti dugaanku, disini tak banyak orang, sangat berbeda dengan Pantai Menara yang selalu di
penuhi orang-orang.

“Waaah..” seru Ruby yang menyaksikan siluet Pantai Muara Menara dari tepi jalan “Wah, El”
katanya

Aku tersenyum dan segera mencari cottage terdekat. Aku sudah tau di pasti menyukainya.
Setelah menemukan cottege terdekat, kami segera turun dari motor. Ruby menungguku
membuka helm, dan kami berjalan dari samping bangunan cottege itu menuju Pantai.

Ada beberapa pasangan saja disini juga beberapa cewek yang sedang berkumpul dengan bikini
seksi mereka. Mereka duduk-duduk di gazebo menghadap pantai, atau bermain di pinggir pantai.
Kami menaruh tas di gazebo kecil dan duduk sebentar disana. Muara Menara, lebih eksotis dari
segala bentuk alamnya. Batu-batu besarnya menjulang tinggi, beberapa ditumbuhi lumut hingga
terlihat hijau segar. Pasirnya lembut dan panas disinari matahari yang pelan-pelan tertutup awan
hitam. Airnya yang hijau lalu berubah menjadi kebiruan di tengah lantaran sudah bercampur
dengan air laut.

“Kita lihat sunset disini” kataku

Ruby menoleh dan tersenyum “Sunset? Serius?” dia antusias, namun beberapa saat kemudian,
saat menyadari langit yang sudah gelap dia berkata “Semoga bisa”

“Apa yang mereka lakukan?” tunjuk Ruby pada beberapa orang di pinggir pantai

Aku mengangkat bahu “Mencari bintang laut mungkin”

“Ayo kesana” ajaknya


Aku menggeleng, aku hanya akan menikmati sunset disini, rasanya nggak lebih. Mencari bintang
laut, itu tak termasuk dalam agendaku!

Suara gemuruh yang tiba-tiba membuat Ruby panik “El, ah mau hujan beneran kan!!”

Orang-orang yang main di pinggir pantai tadi sekarang sudah kembali ke gazebo, karena
sekarang GERIMIS!!! Skenario paling buruk ini akhirnya terjadi. Kami baru sampai beberapa
menit dan hujan turun. Tak mungkin ada sunset lantaran hujan berubah jadi sangat deras dan
berangin. Deburan ombak pantai juga makin kencang.

No, kenapa jadi begini??

Ruby duduk bersandar pada dinding gazebo memperhatikan titik hujan yang berjatuhan “Apa
kubilang, sebaiknya kita nggak pergi kan?” katanya menyalahkanku “Hujannya deras banget
lagi” katanya

“Kau menyalahkanku?” tanyaku

Dia menghela nafas “Kau tak pernah mau mendengarkanku!” katanya

Aku mendesis. Tak menyangka juga akan tak beruntung seperti ini. Suara tawa dari gazebo di
dekat kami membuat aku dan Ruby menoleh. Namun, setelah melihat dua orang itu, Ruby segera
mengalihkan pandangannya.

“Looks so good!” komenku

“Jangan kau lihat, Eldath, tak sopan!”

“Apanya yang tak sopan? Mereka berciuman panas di tempat umum seperti ini!” aku
melihatanya “Nggak mungkin nggak jadi tontonan!”

“Jangan lihat” dia mengulurkan tangannya untuk memutar kepalaku yang sebenarnya juga sudah
tak peduli pada pasangan itu.

“What do you think? Should we kiss?” aku memegang tangannya sambi tesenyum tengil.

Ruby tersenyum “Kau tak akan berani!” katanya


Aku tertawa. Pandangan kami akhirnya berpindah pada dua anak manusia lain yang malah
bermain-main di bawah hujan dan mereka malah repot-repot mengajak orang yang berteduh di
bawah gazebo untuk bergabung. Beberapa orang ikut bergabung, berlarian dibawah hujan saling
tertawa. Cewek-cewek yang tadi berlarian untuk berteduh, kini juga ikut main di bawah hujan.

“Ayo kita main juga” kataku sambil melepaskan kaos yang kupakai.

“NO!!!” cegah Ruby “Kau baru sembuh, jangan main hujan!” katanya

“Oh, kau terdengat seperti nanny sekarang!” kataku

“No, El kau tak boleh main hujan! Aku tak mengijinkanmu!”

Suara tawa dibawah hujan itu benar-benar membuatku iri. Pasangan ciuman disebelah kami tadi
bahkan kini sudah berciuman di bawah hujan sekarang. Wow, mereka sangat bergairah!

Aku berdiri dan siap untuk turun “Eldath!” seru Ruby. Dia menggeleng dengan pandangan mata
tak ingin di bantah.

“You can’t stop me!” kataku menyingkirkan tangannya dan bersatu bersama hujan.

Aku berlarian di bawah hujan. Kapan terakhir kali aku main hujan seperti ini? Ini sangat
menyenangkan! Beberapa orang mendekatiku dan kami larut dalam kegembiraan layaknya anak
umur lima tahun. Aku berbalik menatap Ruby. Dia masih duduk di gazebo, dengan tatapan
marah padaku. Aku melambaikan tangan padanya namun dia acuh! Kalau boleh aku tambahkan
hanya dia satu-satunya orang yang duduk di gazebo itu sekarang.

“Ruby, Baby, come on!” teriakku.

Eldath benar-benar tak mendengarkanku! Bisa-bisanya dia melambaikan tangannya seperti itu
padaku. Aku buang muka saat dia berteriak sehingga beberapa orang menoleh.

Karena tak aku pedulikan, dia berlari ke arahku sekarang. Nafasnya teregah-engah di depanku.
Tubuhnya sudah benar-benar basah sekarang.

“Hei, kau harus ikut ini. Sangat menyenangkan, Ruby!” katanya


“Kau baru sembuh, Eldath! Bagaiman kalau kau sakit lagi?!” kataku

“Ayolah!” katanya sambil menarik tanganku. Aku menepisnya dan dia menghebuskan nafasnya
“Terserah kau saja” dia berbalik dan kembali bergabung degan orang-orang yang sudah
membentuk koloni, bermain bersama, berjoget-joget dan berteriak.

“What am I doing here??” seruku.

Pemandangan tubuh Eldath setengah telanjang yang -tak sengaja- di dekati para wanita- wanita
yang sudah meliriknya saat kami datang tadi, akhirnya membuat aku panas juga. Dia sangat
menikmati apa yang dilakukannya sekarang. Bagaimana ini, aku bahkan nggak membawa baju
ganti? Eldath benar-benar harus membayar ini!

That hot wet guy is mine, ladies!!!

Teriakanku yang baru saja basah terkena hujan membuat mereka menoleh. Eldath berlari
menyusulku. Aku merasa kedinginan lantaran suhu yang berubah tiba-tiba. Dia memegang
tanganku untuk bergabung dengan rombongan lain. Nafasku tersengal-sengal namun ini sangat
menyegarkan.

Ini luar biasa!!!

Aku berteriak-teriak tak jelas begitu merasakan betapa serunya bermain hujan! Sudah lama
sekali sepertinya sejak aku terakhir main hujan. Eldath menatapku dengan senyumannya. Aku
bersumpah, ini senyuman pertama Eldath yang diberikannya padaku, setulus ini! Ini pertama
kalinya aku melihat senyum Eldath, dengan manik mata yang sangat damai dan bahkan hangat!

“You like it?” katanya

Aku mengangguk lalu memeluknya. Memeluk dada telanjangnya erat-erat! Tangan kokoh Eldath
balas memelukku, bahkan kini mengangkat tubuhku. Aku tertawa sambil mengadah, buliran
hujan jatuh tepat diwajahku dan aku sangat menyukainya.

Aku menyilangkan kakiku di pinggang Eldath dan bergantung erat di lehernya. Senyumnya
masih ada disana. Aku menelusupkan jariku di sela rambutnya yang basah dan dia memegang
pinggangku erat. Memastikan aku tak jatuh di gendongannya.
Rasanya aku tak perlu berpikir untuk mencium Eldath sekarang. Dia tersenyum sesaat kemudian
akhirnya membalas ciumanku. Dia memagutku dan aku bisa mengikutinya sekarang. Dia sangat
ahli. Aku hanya berdoa agar aku tak terbatuk lagi saat lidah Eldath masuk ke dalam mulutku
seperti saat ini. Dia mengetatkan tangannya hingga rasanya aku kehabisan nafas sekarang.
Ciuman Eldath tak bisa aku hentikan, bukan, TAK MAU AKU HENTIKAN. Bibirnya
menuntunku bergerak sangat agresif! Aku merasa tubuhku terasa sangat panas bahkan di bawah
guyuran hujan saat ini!

For Heaven’s sake, Eldath!!!

Aku membuka mataku dan tersenyum, membuat Eldath menarik wajahnya. Dia melihatku.
Buliran air jatuh mengikuti alur wajahnya. Aku mengelus kepalanya sambil tersenyum. Nafas
kami masih tak beraturan.

“I love you” ujarku

Dia tersenyum tipis dan mencium bibirku ringan dua kali. Lalu, dia menurunkan tubuhku.

“Thank you” kataku

Dia memelukku dan mengusap punggungku “Bagaimana kita pulang sekarang?” tanyanya

Aku memukul punggungnya “Kau yang bertanggung jawab!” seruku

Dia lalu melepaskan pelukannya dan berlari menjauh, merentangkan tangannya sambil
mengadah menantang hujan bersama yang lain. Aku tersenyum dari tempatku berdiri sekarang,
mengingatkan diriku sekali lagi kalau apa yang dilakukan Eldath beberapa saat lalu, mungkin
hanya dorongan sesaat dan dibantu suasana. Itu harus aku lakukan supaya aku tak melukai diriku
lagi. Karena dia adalah Eldath, orang yang mampu mengubah ‘madu menjadi racun’ dalam
sekejap!!

+++
35. Level Up

Liburan mendadak itu sudah berakhir. Kami sampai di apartemen jam satu dini hari tadi lantaran
penerbangan malam. Terima kasih pada Eldath dengan idenya ke Pantai Muara Menara,
menghabiskan waktu disana lebih lama dari yang seharusnya lantaran menunggu hujan reda. Dan
kami meninggalkan pantai itu jam delapan malam. Oh, terima kasih juga karena aku flu
sekarang!!

Aku sedang membuat pasta salad untuk sarapan. Jam sudah menunjukan pukul setengah tujuh
pagi. Aku punya agenda yang panjang hari ini. Memberikan oleh-oleh pada Mama, Nadya dan si
kembar. Aku sudah tak sabar rasanya.

Eldath turun dan langsung menuju dapur. Dia duduk di kursi makan dan segera meneguk air
putih segelas penuh, setelah itu jus jeruk kesukaannya. Aku menaruh sepiring pasta salad di
depannya. Sementara aku duduk di depannya, menikmati sarapanku sendiri.

“Apa kau tak suka sarapannya?” tanyaku. Eldath hanya melihatku tanpa memakan sarapannya
sejak dari tadi.

Aku berdiri dan mengemasi piringku yang sudah kosong, lalu kembali duduk di depannya “Kau
mau yang lain?” sepertinya dia memang tak suka menu ini.

Dia menggeleng

“Lalu kenapa kau belum makan juga?”

“Ruby, baju apa yang kau pakai itu?”

Aku menunduk, melihat apa yang sedang kupakai. Oh, yang benar saja. Oke, aku akui baju yang
kukenakan memang berpotongan rendah di bagian dada dan juga punggung belakangnya, hanya
saja aku tak tahu kalau dia akan memperhatikannya, kan? Dia tak pernah sesensitif ini kok!
Ayolah, ini baju yang baru aku beli liburan kemarin itu.

Aku menutupi dadaku dengan tangan dan berdiri. Aku membasahi bibirku dan menghidupkan
keran air. Aku menggigit bibir bawahku, apa aku kelihatan sangat mudah di depannya sekarang?
Suara garpu yang beradu dengan piring membuat aku menoleh. Eldath kini berjalan ke arahku
dengan senyuman tengilnya. Aku segera berbalik dan kembali mencuci piring kotor.

“Eldath!” erangku saat dia menyentuhkan bibirnya ke tengkukku. Dia memberikan kecupan kecil
berkali-kali, sementara tangannya mengelus bagian punggungku yang terbuka.

“El..” aku menunduk “Geli, sudah hentikan!”

Dia mengulurkan tangannya ke pinggangku. Sungguh, aku benar-benar tak tahan dengan Eldath
sekarang. Maksudku, bagian leher adalah titik geli pada tubuhku.

“This is your fault!” bisiknya. Nafasnya terasa hangat di kulit leherku, dimana kini dia
menyapukan bibir lembutnya.

Aku melepaskan tangan Eldath, dan mendorong tubuhnya. Aku memandangnya dan dia hanya
tersenyum tipis. Aku menarik nafas panjang “Oke, aku yang salah” kataku

Sepertinya Eldath sekarang punya kesulitan mengendalikan nafsunya, karena sekarang dia malah
mendekatkan wajahnya padaku. Dia menangkup wajahku dengan tangannya, mencium cuping
hidungku sekali.

“No,” kataku “Aku sedang flu!” kataku

“What’s your point?” dia mengangkat dua alisnya

Bukankah dia ingin menciumku? Aku mengerutkan dahiku

“Kau pikir aku akan menciummu, begitu, Sayang?” dia tertawa. Barisan gigi putihnya sangat
bagus. Ibu jarinya kini berada di atas bibirku, mengusapnya pelan.

Jadi, tidak? Argh, I should bury myself now!

“Uh...” aku mengalihkan pandangan dari tatapannya “Hanya, kau bisa tertular flu bila sedekat ini
denganku” aku menjauhkan tangannya dari wajahku. Baiklah, kalau dia tak punya niat
menciumku. BAIKLAH!!
Dia tersenyum lalu berdehem “Ya,” katanya “Dan aku tak mau tertular” dia kembali duduk di
kursinya “Aku suka ini, aku selalu suka masakanmu” dia kini menyantap sarapannya dengan
lahap “Dan..” katanya

Aku menunggunya menelan satu suapan dulu sebelum dia menyambung kalimatnya

“Aku suka baju itu” dia tertawa

Lelucon lagi! Aku segera pergi dari situ dan duduk di ruang TV. Dia hanya ingin mengejekku
saja. Sekarang, aku merasa menyesal telah membeli baju ini.

“Apa ini?” tanyaku sambil meletakkan satu proposal ke meja Dona

Dona menatapku sebentar sebelum dia memeriksa apa yang baru saja kuletakkan. Dia
mengangkat dua alisnya, bingung “Apa memangnya? Kau tak bisa baca?”

Aku menarik nafas “Bisa kau jelaskan padaku?” aku menarik kursi di depan meja Dona,
kemudian duduk disana “Acara apa ini?”

Dona menghela nafas “Masa kau tak bisa lihat ini acara gelaran show dan after party”

“MakeUp Magazine?” tanyaku

“Yeah, kau tahu majalah yang lagi jadi hits dikalangan womanizer sekarang”

“Jenda setuju?”

“Ya iyalah, kau belum baca semuanya?” dia membaca proposal itu dan menunjuk satu halaman
“Ketua panitia acaranya sendiri yang meminta Jenda bertanggung jawab atas acara ini” kata
Dona

“Dan dia setuju?”

“Siapa? Jenda?” tanya Dona. Dia lantas mengangguk “Tentu saja dia setuju! Kau tak lihat tanda
tangannya?”

“Dari semua tempat, kenapa mesti hotel kita sih?” tanyaku risih
“Memangnya kenapa? Acara ini bagus buat promosi akhir tahun kita! Ini juga alasan Jenda
setuju, tau. Ada apa memangnya?”

“Ya, maksudku ada tempat yang lebih pas untuk membuat acara seperti ini selain hotel, kau tahu.
Mall atau semacamnya, studio barangkali?”

“Ya, tapi tak ada salahnya juga kan, karena after party akan digelar di club hotel. Ini lebih
praktis”

Aku melipat tangan di depan dada “Siapa ketua panitianya?”

“Hm..” Dona kembali membaca proposal di depannya “Emmy” katanya “Emmy Aurora!”

Aku tertawa kecil. Dia lagi? Emmy lagi!!!

“Apa? Kau kenal dengannya? Hei...” seru Dona “Bukankah nama ini familiar?” dia menunjuk
nama Emmy “Ah, aku rasa aku pernah dengar nama ini”

Jangan ingat apa-apa, Don, please!

“Astaga, bukankah dia yang digosipkan menikah dengan Presdir kita, Eldath?!” Dona menutup
mulutnya “Ya ampun, gila! Gila, ini gila!!!” dia melihatku “Pasti ini alasan lain di make gedung
The Blocks, oh my God! This is serious. Ya, Emmy yang ini!” Dona membesarkan matanya “Ini
akan jadi gossip besar!”

“Kau hanya bikin gossip, Don!” kataku sambil mengambil proposal di depan Dona dan pergi
dari ruangannya.

Aku menutup wajahku dengan tangan saat tiba di mejaku. Kenapa aku harus berusurusan lagi
sama wanita ini? Demi Tuhan, kenapa mesti The Golden Hotel?? Kenapa? Ada tempat lain yang
bisa digunakan untuk bikin acara pagelaran fashion, kan? Kenapa??? Oh please.

Aku mengemudi keluar dari parkiran rumah sakit. Setelah memberikan oleh-oleh untuk Mama,
aku harus menemui Nadya untuk memberinya oleh-oleh. Aku berjalan di jalanan padat jam
pulang kantor. Nadya meminta bertemu di salah satu salon langganannya karena dia sedang
melakukan perawatan. Aku menemuinya di halaman belakang salon ini, yang disulap menjadi
kafe kecil. Dia duduk seorang diri, menikmati teh hangat. Rambutnya masih ditutupi handuk.

“Hai” sapaku sambil mengecup pipinya

“Ruby!” serunya “Ah, aku merindukanmu” katanya sambil memegang tanganku

“Aku juga”

“Kau mau pesan sesuatu?”

“Tidak, aku hanya...ini untukmu” aku meletakkan sebuah kantong karton di meja

“Apa ini?” dia membukanya

“Hm, kau bisa lihat sendiri. Mereka bilang bagus untuk scrub. Baunya enak, jadi aku belikan
untukmu”

“Ini satu paket?” dia melihatku dengan mata berbinar

“Ya, semacam itulah”

“Oh thank you, sweetheart. Kau baik-baik saja, kau kelihatan tak sehat”

“Uh, flu” kataku.

“Jadi, kau tak mau cerita apa yang terjadi?” dia mendelik padaku

Aku tertawa “Apa?”

“Nona Nadya...” panggil seseorang dari pintu kafe

Kami menoleh, salah satu karyawan salon berdiri disana meminta Nadya untuk masuk.

“Oke” katanya “Ruby, ah maaf aku harus masuk sekarang” katanya “Aku hubungi kau lagi
nanti”

“Yeah” kataku “Masuklah sana”


Setelah Nadya masuk, aku segera melanjutkan perjalanan ke rumah Mom. Mengantarkan oleh-
oleh lainnya.

Aku sampai di rumah Mom sekitar jam delapan malam. Dia menyambutku dengan suka cita.

“Kau datang juga akhirnya” dia melerai pelukannya dan menyuruhku duduk.

“Ini oleh-oleh untuk Mom, juga untuk Aira dan Si Kembar” kataku menyerahkan semua kantong
itu padanya

“Sebanyak ini? Astaga” katanya “Terima kasih, Sayang” katanya “Apa kabar?”

“Baik, aku baik, Mom”

“Bagaimana bulan madunya? Apa semuanya baik-baik saja?” tanyanya

Aku mengangguk, lalu perhatian kami dialihkan oleh suara ponsel dari dalam tasku “Maaf,
Mom”

Aku memeriksa ponselku. Panggilan dari Eldath. Aku menarik nafas panjang sebelum menekan
tombol bergambar gagang telfon berwarna hijau “Ya?”

“Dimana kau?”

“Kau sudah pulang? Oh maaf El, aku sedang dirumah Mom”

“Apa yang kau lakukan disana?”

“Aku mengantar oleh-oleh untuk mereka”

“Kau tahu ini jam berapa? Apa kau punya jam tangan atau apa saja yang bisa menunjukkan jam
berapa sekarang?”

Aku mengerucutkan bibirku. Suara Eldath terdengar marah sekarang “Um, sorry. Aku akan
pulang sekarang” kataku

Dia menghembuskan nafas sebelum memutuskan sambungan teleponnya.

“Suamimu?” tanya Mom yang sudah berada di dekatku


“Ah, yeah” jawabku “Mom, aku harus pulang sekarang” aku tersenyum tipis lalu mengecup
pipinya ringan sekali.

Dia mengelus kepalaku pelan “Hati-hati, Sayang”

Aku mengangguk dan segera masuk ke mobil. Berkendara dengan cepat bukanlah keahlianku.
Aku hanya tak berani dengan semua kemungkinan terburuk di jalan raya. Apalagi setelah aku
pernah di serempet secara tak sengaja beberapa bulan lalu.

Aku sampai di rumah dan tak mendapati Eldath. Aku membuka jaket dan meletakkan tas di meja
kopi dekat ruang makan “Eldath” panggilku, dan tak ada jawaban darinya. Aku berdiri di ujung
tangga, mendongak ke atas Tak ada jawaban dari atas. Apa dia sudah tidur?

“Eldath...” panggilku seraya berjalan ke ruang kerjanya. Aku mendapati Eldath sedang duduk
disana, dengan sebuah buku tebal ditangannya. Dia mengenakan sweater hangat warna merah
marun dan celana jeans berwarna hitam.

“Apa kau tak dengar aku memanggilmu dari tadi?” aku bersandar di pintu, memandangnya.

Dia melirik sebentar, lalu kembali fokus pada bukunya. Mengacuhkanku, sehingga aku merasa
bersalah sekarang.

“Hai” sapaku “Maaf aku pulang terlambat”

“Bukan masalah itu” katanya. Dia melihatku.

“Oke, lalu apa?”

“Kau sedang sakit” katanya “How is your flu?” dia meletakkan buku yang sedang di bacanya,
lalu berjalan ke arahku.

Aku terkesiap memandanganya. Ada apa lagi dengannya “Yah, aku sudah baikan” jawabku “Uh,
I’m good now”

Dia menatapku dan meraba dahiku “Aku tidak suka kau pergi-pergi tanpa memberi tahuku
seperti ini” katanya “Kau butuh istirahat!”

“Oke”
“Kau yakin baik-baik saja? Kau agak panas” dia menurunkan tangannya dan melihatku lagi.

Aku mengangguk “Tak apa-apa” aku menarik nafas panjang “Kau sudah makan malam?”

“Belum!”

“Eldath!” seruku “Kenapa kau belum makan malam sampai sekarang?”

Dia mengangkat dua bahunya refleks. Aku segera berbalik dan keluar ruangan itu. Langkahku
panjang-panjang menuju dapur. Aku meneguk air putih sebentar lalu berbalik melihat Eldath
yang mengkutiku. Dia memilih duduk di depan TV dan menyalakannya.

“Apa yang kau lakukan? Kau bisa sakit!” aku segera membuka kulkas dan melihat apa yang bisa
aku buat untuk makan malamnya “Apa kau juga tak makan siang tadi?”

“Hm.. I had coffee. That’s enough”

“Eldaht, bagaimana bisa kau tak makan seharian ini? Apa kau anak kecil yang harus diingatkan
untuk makan terus?” aku mengeluarkan daging olahan dan beberapa macam sayuran.

“Berhenti mengoceh!” serunya.

“Kau bisa sakit, aku bilang! Kau tak makan siang, dan belum makan malam! Aku tahu kau tak
akan mau aku datang ke kantormu dan membawakan makan siang, kan?” aku meliriknya

“Don’t you dare, Bae!” dia menatapku “Jangan pernah!”

Aku mulai memasak untuknya, sementara dia masih menonton acara olahraga di TV. Aku
meliriknya sesekali. Dia terlihat serius dengan program yang di tontonnya sekarang. Aku butuh
setengah jam untuk menyelesaikan masakan yang baru aku bookmarked dari situs seorang chef
tadi siang.

“Your dinner” kataku. Baked beef and brokoli sudah kuletakkan di meja makan “Cepat kesini”
perintahku

Dia menaruh remot TV dan segera berjalan ke meja makan. Setelah dia duduk, aku
mengangsurkan segelas air putih.
“Thank you” katanya

Dia memainkan brokoli dengan garpunya sebelum memasukkannya kemulut. Persis anak lima
tahun.

“Bagaimana Mom?” tanyanya

“Dia baik. Semuanya baik-baik saja” kataku “Jangan cemas”

Dia mengangguk khidmat, lalu melanjutkan makan malamnya.

“Um,” gumamku “Apa kau pikir akan lebih baik kalau kita punya pembantu yang datang setiap
hari?”

Dia mendongak menatapku “Apa maksudmu?”

“Ya seperti ini, kau tahu, kadang aku akan pulang terlambat dan kau belum makan. Rasanya
kalau punya pembantu kau tak perlu menungguku untuk makan malam, kan?”

Dia meletakkan sendoknya dan meneguk air putihnya “Kau tak mau lagi memasak untukku?”
tanyanya

He got this wrongly “Bukan begitu, tentu aku senang memasak untukmu- suamiku” kataku
“Hanya saja kau akan kelaparan”

“Siapa bilang aku kelaparan?” dia mengelap mulutnya dengan serbet “Kalau aku mau, aku bisa
memesan makanan. Kau bercanda, Rue!”

“Eldath, bukan begitu, sungguh. Aku hanya nggak mau kau menungguku seperti ini”

Dia berdiri dari bangkunya.

“Please habiskan makananmu sebelum kau pergi!” kataku

Dia berbalik “Kau pikir aku akan mati kelaparan hanya karena aku menunggumu? Menunggumu
memasak untukku?”

“Aku hanya, kau tahu aku merasa bersalah”


“Aku tak sebodoh itu! Terserah kau! Lakukan apa yang kau mau!” tunjuknya

Aku meggembungkan pipiku, lalu menghembuskan udaranya keras. Aku melipat tangan di atas
meja dan memperhatikan Eldath yang melangkah ke kamar. Kupijit dahiku berkali-kali. Apa aku
dan Eldath sebenarnya nggak akan berhasil?

“Tinggalkan itu” suara Eldath membuat aku menoleh.

Aku mengerutkan dahi, apa dia serius masih marah denganku gara-gara semalam? Dia bahkan
nggak mengijinkanku membuat sarapan sekarang “Eldath?”ujarku

Dia menarik nafas panjang “Siap-siaplah. Aku akan mengantarmu pagi ini” katanya

“Kenapa?” apa dia ingin agar kami selalu tiba dirumah bersama?

“I just feel like to go out with you” katanya “Pergilah, tinggalkan itu”

“Eldath..” aku mendekatinya “Kau masih marah padaku?”

Dia menggeleng

“Kalau begitu biar aku selesaikan ini, oke?”

Dia menuangkan jus jeruk dalam gelasnya “Oke” katanya

“Ruby” panggilnya setelah beberapa menit keheningan diantara kami.

Aku menelan ludah dan mendongak menatapnya. Aku tak tahu kenapa seperti ada perasaan
canggung padanya sekarang “Ya?” kataku

“Kau sudah sembuh?” bola mata biru lembutnya memandangku.

“Yeah, aku sudah sembuh sekarang” kataku sambil tersenyum “Baiklah, aku akan bersiap-siap
sekarang, nikmati sarapanmu”

Eldath menahan tanganku saat melewatinya. Aku menaikkan alis menunggunya mengatakan
sesuatu.
“Duduklah lagi. Temani aku sarapan. Aku tak suka lagi makan sendirian sekarang”

Oh God! Aku merasa sel-sel darah berdesir dalam diriku seperti tersengat sekarang. Apa karena
itukah semuanya?

Cekalan tangannya bertambah erat, membuatku tersadar dan kembali melihatnya. Aku lalu
mengangguk dan dia melepaskan tanganku. Aku duduk di depannya, ikut sarapan.

+++
36. Night to Forget

Jalanan jam setengah enam sore ini sudah gelap karena guyuran hujan yang deras diluar sana.
Aku merapatkan blazerku karena merasa kedinginan, ditambah dengan pendingin udara di mobil
Eldath. Dia menjemputku tepat jam lima tadi.

“Kau masih ingat dengan temanku yang pernah kita temui di klub waktu itu?” katanya buka
suara

Aku mencoba mengingat kejadian itu “Ya, mana mungkin aku lupa!” salah satu kejadian paling
menyedihkan bagiku.

“Mereka ingin bertemu malam ini” kata Eldath

Aku melihatnya lalu mengerucutkan bibir “Um, kau bisa mengatarku pulang dulu, kan?”
tanyaku. Aku tak keberatan jika dia harus bertemu dengan teman-temannya itu.

“Maksudku bertemu kita, kau dan aku!” terangnya

“Oh” kataku “Kenapa?”

“Kau tak ingat apa yang kita lakukan waktu itu? Itu kebiasaan kami. Mereka ingin merayakan
kita berdua”

Aku menggaruk hidungku, maksudnya pernikahan kami? Ah baik sekali teman-teman Eldath ini,
begitu perhatian. Tunggu, apa akan ada juga adegan ciuman seperti waktu itu? Layaknya yang
dilakukan pasangan Jason dan Sandra? Wew!

“Kau yakin kita harus pergi kesana?” tanyaku yang sudah dihinggapi grogi duluan

“Ya, mereka sudah menyiapkan semuanya. Tentu saja kita harus datang”

“Um, maksudku, kita kan...” aku menarik nafas panjang “Itu, apa nggak akan apa-apa?”

“Apa yang kau bicarakan? Aku tak paham”

Aku menggigit lidahku, bagimana ini? Aku meremas jemariku.


Dia memandangku “Kenapa? Mereka sudah disana” kata Eldath “You are getting nervous over
nothing”

“Siapa bilang aku nervous?” tantangku

“Oh, that’s good then. Take it easy”

Mobil Eldath sudah berada di jalanan Alcohol Avenue sekarang. Walaupun diguyur hujan seperti
ini, jalanan ini tetap ramai. Eldath menggunakan jasnya untuk memayungi kami dari hujan. Dia
menyurukkan kepalaku dalam jasnya dan kami segera berlari ke sebuah bar. Aku harus mengaku
sulit mengikuti langkah larinya yang sangat panjang itu.

Eldath melepaskan jasnya ketika kami sudah sampai di depan sebuah bar. Bukan bar yang dulu,
ini bar yang berada di tengah-tengah area ini.

Aku menghembuskan nafas, kedinginan. Eldath melihatku dan merapikan rambutku yang
berantakan karena jasnya tadi. Aku terkesiap dan hanya bisa menunduk.

“Kau tak papa?” tanyanya

“Yap”

“Ayo masuk kalau begitu” dia membuka pintu dan menyuruhku masuk duluan. Setelah itu dia
menyusul.

Aku hanya mengikuti kemana Eldath berjalan saat kami sudah berada di dalam. Bar ini penuh
orang dan sangat berisik. Suara dentuman musik dari Disc Jockey yang sedang beraksi dari lantai
dua begitu berkonstribusi untuk suasana hura-hura bar ini. Eldath menarik tanganku untuk
mengikutinya “Kau kedinginan?” tanyanya saat merasa tanganku dingin di dalam genggamannya

“Sedikit” kataku

Mendengar itu, Eldath makin mengetatkan genggamannya. Aku menahan nafas sebentar. Aku
tak bisa membiarkan Eldath terus-terusan bersikap seperti ini padaku. Sikapnya hanya akan
membuatku salah paham lagi!
Suara terikan yang memanggil nama Eldath membuat aku mendongak. Cepat dia melangkah
menuju teman-temanya yang sudah menunggu di kursi panjang paling pojok. Ada Yogi, Bela,
Sean, Maria, Fandy dan Luke. Mereka berpelukan sebentar dan saling menyapa. Ada beberapa
wajah baru yang aku lihat sekarang. Mereka memang kelihatan sudah menunggu kedatangan
kami dari tadi.

“Kenapa kalian datang lama sekali, aku hampir pulang tahu!” protes teman Eldath

“Hujan” katanya

“Memangnya kau jalan kaki saja ke sini, Eldath?” seru Maria

“So, this is your wife?” tanya salah seorang dari mereka, memotong protes beberapa orang.

Eldath melihatku sekilas, lalu mengangkat alisnya “Yeah”

“I though that would be another girl,” dia tertawa

“Yas, itu masa lalu” sela salah seorang teman lain. Sungguh, ini lebih ramai dari yang dulu
pernah aku datangi.

Yogi lalu berdiri dari bangkunya “Bersulang untuk pernikahan playboy kita! Yang paling nggak
kita sangka, akhirnya menikah juga!” dia mengangkat gelas wine keudara diikuti yang lainnya

“Selamat, Eldath” seru mereka bersama-sama

Eldath mengangguk sambil ikut mengangkat gelasnya. Lalu, mereka mulai bercakap-cakap
tentang ini dan itu yang tak aku pahami.

“Rokok?” Fandy menawarkan rokok pada Eldath

“No, I quit smoking” kata Eldath.

Aku segera menoleh karena mendengar dia bilang dia berhenti merokok. Dia tersenyum tipis
padaku sambil mengangguk. Aku menelan ludah, tak percaya lagi.

“Seminggu yang lalu” katanya


“El, kasih tau kita kenapa kau menikah dengan isitrimu ini? Secara yang kami tahu, kau punya
banyak mantan pacar” kata Sean sambil tertawa puas

Eldath menatapnya tajam “Well,” katanya “Aku juga tak tahu”

Aku merengut mendengarnya, apa dia tak bisa bikin skenario sedikit disini.

“Oh, masa tak ada? Ruby kelihatan tidak senang” kata Gina, dia duduk tepat di depanku.

“Wah, Ruby bisa marah nih, El. Masa tak ada yang bisa kau katakan pada kami apa yang
membuatmu yakin bersamanya?”

Eldath meneguk minumannya sedikit. Aku bisa melihat teman-temannya sekarang sedang
mengunggu jawaban darinya “Apa?” tanya Eldath “Um, dia pinter masak”

Suara seruan mendadak di-koor-kan. Aku tahu bukan jawaban sesederhana itu yang diinginkan
mereka “Apa kau serius kali ini, El? C’mon!”

“Apa pinter masak aja cukup? Hari gini, kau bisa makan apa saja tanpa harus dimasakan
istrimu!” seru mereka.

“Jadi, bagaimana wanita cantik ini memuaskanmu di tempat tidur?”

Ugh, so vulgar

Dan pertanyaan itu diamini semuanya. Mereka sekarang sangat tertarik dengan topik itu dan kini
malah menduga-duga hubungan kami. Obrolan mereka malah lebih jauh tentang hal itu, hal yang
belum pernah aku lakukan dengan Eldath.

“Well,” Eldath melipat lengan bajunya “Aku tak bisa mengatakannya”

Mereka tertawa bersama. Aku bahkan tak tahu dimana letak lucunya lelucon itu. Aku menelan
ludah.

“He even doesn’t know what is his wife speciality!”

Aku meremas bagian lengan kemeja Eldath, memintanya untuk mengakhiri ini semua.

“Oh, setidaknya apa yang tidak kau temukan di Emmy?”


Shit you!

“No, stop talking shit!”

“I know how much you loved her, Dude”

Aku meneguk minumanku, tak mau tahu lagi sebenarnya siapa yang berbicara tanpa memikirkan
akibatnya itu. Aku tak mau dengar lagi! Sialnya, laki-laki yang disampingku ini sungguh tak tahu
caranya ‘menyelamatkanku’

“Oh, Emmy bilang akan datang juga sebentar lagi” seru salah seorang wanita yang duduk di
pojok. Aku dan Eldath kompak menoleh ke arahnya “Ada yang keberatan?” dia menaikkan
alisnya

Ih, mukanya annoying banget nih cewek, seruku dalam hati.

“Tentu saja nggak ada yang keberatan, ya kan El?”

“Tentu aja,” kata Eldath, dia melihatku sebentar.

NO. Jantungku serasa ditarik keluar saat Eldath malah menanggapi santai olok-olokkan
temannya itu. Bagaimana aku bisa bertemu dengan Emmy dengan keadaan seperti ini? Oh no,
bisakah aku pulang saja?

“Bisa kita pulang saja?” bisikku tepat di telinga Eldath. Aku sudah tak nyaman disini.

Eldath memadangku “It’s fine” katanya

Apanya yang fine? Buat dia ya ini fine tapi nggak buatku. Lucu sekali dia!!!

“Oh itu Emmy dan Adam” seru salah satu dari mereka dan kami sontak melihat ke arah pintu

Padanganku terkunci pada sosok wanita dengan bodycon dress merahnya. Menggandeng seorang
laki-laki yang berpenampilan tak jauh beda dari pada eksekutif muda di meja ini. Tipikal pria
kantoran dengan setelah rapi dan dandanan khas metropolitan. Emmy, yang selama ini hanya aku
dengar namanya, hanya aku lihat fotonya kini melambaikan tangannya pada kami. Dia kelihatan
cantik dengan rambut pendek warna cokelatnya. Hanya saja, dia dan kekasihnya memilih
langsung untuk menginjakkan kaki di lantai dansa dan berciuman panas disana.
“Woah, Emmy is really something” kata Yogi

“Definitely she is!” sambung teman lain

“Ayo kita kesana juga” ajak Fandy yang langsung meletakkan gelasnya dan beranjak ke lantai
dansa.

Beberapa orang memilih ikut memanaskan lantai dansa bergabung. Sementara aku dan Eldath
memilih bertahan di kursi kami bersama tiga orang lain yang sebenarnya kalau tak sibuk dengan
ponselnya, akan ikut menari besama.

Aku bisa merasakan aura Eldath yang berubah saat Emmy datang. Dia duduk memerhatikan
cewek itu sejak dia datang tadi. Aku menepuk bahunya pelan “Kau baik-baik saja?” tanyaku
hati-hati

Dia menilikku dengan mata tajam “Yeah,” katanya dan langsung membuang pandangannya pada
beberapa orang di dekatnya. Dia meraih pitcher dan mengisi minumannya lagi, meneguknya
sampai habis dan menghembuskan nafas berat.

Apa ini begitu tak nyaman untuk Eldath? Seperti halnya yang kurasakan?

Aku melihat jam, sudah hampir jam sepuluh malam sekarang. Tak ada tanda-tanda malam ini
akan berakhir untuk mereka. Panasnya suasana yang dibangkitkan oleh suara musik house dan
padatnya pengunjung malah membuat mereka terhanyut.

Tak lama, pasangan Emmy dan Adam berjalan mendekati kami. Dia tersenyum pada Eldath.

“Hai kalian” katanya menyapa kami. Dia masih bergelayut manja pada Adam, pacarnya.

“Hai, El” sapa Adam “Hai, aku Adam” dia memperkenalkan dirinya padaku

“Hai, Ruby” kataku menjabat tangannya. aku melihat Emmy, dan dia mengulurkan tangannya
padaku

“Emmy,” katanya “Halo”


Aku tak pernah menjabat tangan cewek sebegini kuatnya. Aku menatap mata Emmy tajam,
berusaha mengintimidasinya, namun rasanya tak berhasil. Dia melihat Eldath dan mencium pipi
kanan dan kiri suamiku, tepat di depanku!!!

Adam menyuruh Emmy duduk dan dia mengambil tempat disebelahnya “Selamat atas
pernikahan kalian. Maaf karena tak bisa datang” kata Adam.

“Oh ya, terima kasih”

“Yeah, ada yang harus kami kerjakan. Kalian soalnya mendadak” dia mengecup bahu Emmy
tipis.

Aku bisa merasakan tubuh Eldath yang menegang lantaran aku sedang memegang tangannya
saat ini. Aku tak bisa menghadapi semua ini, dan bertingkah tak ada yang terjadi. Berlagak
semuanya baik-baik saja? Aku tak bisa.

“Oh, bisa kau panggil mereka kesini sekarang, Honey?” pinta Emmy “Sepertinya Eldath dan
Ruby sudah mau pulang” dia melihat Eldath dari ekor matanya.

“Oh ya? Cepat sekali!” kata Adam

“Yes, please” kataku “Kami ingin berpamitan”

Adam mengangkat dua bahunya lalu berjalan menuju lantai dansa, memanggil teman-temannya.
Mereka datang serombongan dengan ekspresi senang di wajahnya. Beberapa dari mereka bahkan
merasa belum puas.

“Ah, sayang sekali kalian tak bergabung” kata Luke.

Aku tersenyum tipis

“Jadi, guys” kata Emmy “Mereka sudah mau pulang, sayang sekali karena kita belum sempat
ngobrol banyak”

“Yah, kenapa buru-buru sih?”


“Oke, thank you untuk semuanya, Guys. Terima kasih telah mempersiapkan acara ini untukku
dan Ruby. Maaf kami harus pulang duluan, dia sedang tak enak badan” kata Eldath. Dia
melingkarkan tangannya di bahuku, lalu mencium pipiku tipis “Jadi, maaf kami duluan”

“Tunggu!” kata Emmy cepat

“Oh yeaah..”

“Mana bisa kau pergi tanpa mencium istrimu ini di depan kami” kata Sean “Kiss her!”

“Alright, kiss her as if it’s the last kiss” ujarnya

Oh tidak! Aku menelan ludah. Ini adalah puncak ketakutanku. Semua rasa grogiku yang telah
aku rasakan bahkan sebelum bertemu mereka. Aku melihat Eldath, dan dia tampak tak tahu mau
ngapain. Oke, aku beri tahu, karena selama ini, aku yang selalu lebih dulu menciumnya.

Suara provokasi itu menggema di telingaku. Dibawah tatapan Emmy yang melihatku tajam
seakan dia menyuruhku pergi saja, aku akhirnya menoleh pada Eldath.

Aku memegang pipi Eldath dan mencium bibirnya sesaat.

“Cuma segitu?” tanya Geovany

“Eldath, what the hell, Man? You don’t know how to kiss, Kid?”

“Oh, apa yang membuat kalian malu? Kalian suami istri, dan itu ciuman kalian? Ciuman
layaknya ciuman terakhir kalian?” tanya Adam “Apa aku perlu mendemonstrasikannya di depan
kalian?” dia tertawa

Tepat saat Adam mengakiri kalimatnya, dua tangannya berada di wajahku. Kemudian, bibir
Eldath sudah mengunci bibirku. Melumatnya dengan rakus, hingga aku kesulitan bernafas. Aku
menahan dada Eldath. Aku tak tahu bagaimana mengatakannnya, karena bibir Eldath terasa
sangat asing sekarang.

Dia terus memagut bibirku, atas dan bawah. Berulang kali menggigit bibirku karena aku tak
membiarkan lidahnya masuk kedalam mulutku.

“Mmh, El” gumamku lantaran merasa ini sudah kelewatan


Tangan Eldath masih memaksa wajahku mendekat dan dia menciumku seperti kesetanan. Aku
hanya bisa mengikuti kemauannya. Ini ciuman terlama kami. Aku sekuat tenaga mendorong dada
Eldath, lantaran aku benar-benar kesulitan bernafas sekarang.

Aku berhasil manjauhkan wajahku darinya. Dia menatapku dengan nafas tersengal-sengal, sama
halnya denganku.

“WOAW!”

Aku melihat Eldath dan membersihkan noda lipstick yang menempel di dekat bibirnya “Eldath”
kataku pelan. Aku menunduk, tak punya muka menatap mereka.

“Yow Eldath! You fucker! You did it, Man! That was the kiss!” seru temannya

“What a kiss” kata Emmy.

Eldath mengangkat kepalanya “Puas sekarang?” dia tertawa “Harusnya tak ada yang pernah
melihat bagaimana aku mencium istriku seperti itu!” katanya sambil menarik bahuku mendekat
“Dia masih belum terbiasa”

“Kau hebat, El!”

“Aku iri sekali. Itu ciuman penuh gairah yang semua wanita impikan!”

“Hei, Ruby kau mendapatkan pria ini, beruntungnya kau!”

Aku tersenyum. Itulah yang mereka lihat, setidaknya. Karena mereka tak tahu, bagaimana
asingnya ciuman Eldath tadi itu. Seperti ada perasaan marah yang selama ini dia pendam. Aku
mengira itu adalah rasa marah Eldath pada pasangan di depan kami ini. Pasangan Adam dan
Emmy yang bisa-bisanya malah melanjutkan adegan ciuman kami.

“Oke, kalau begitu. Kami bisa pulang sekarang kan?”

“Weiii”

“Yeah, ada yang belum selesai dan harus dilanjutkan” kata Eldath sambil mengedipkan salah
satu matanya padaku. Aku mengerutkan dahi.
“Yuhuu, ini akan jadi malam yang panjang untuk Ruby!”

Mereka tertawa bersama. Eldath akhirnya berdiri setelah menenggak miuman di gelasnya. Dia
memegang tanganku saat kami berjalan keluar dari mobil. Hujan masih belum berhenti. Sekali
lagi kami mengandalkan jas Eldath yang sudah basah memayungi kami sampai ke mobil.

Kami benar-benar nggak bicara apapun bahkan sampai dirumah. Aku segera ke dapur dan
meneguk air putih disana, sedangkan Eldath masuk ke kamar mandi. Setelah menghabiskan air
putih itu, aku segera berjalan ke kamar. Niat untuk langsung berganti pakaian aku batalkan
lantaran aku kini berdiri di depan meja kerja Eldath, menunggunya masuk. Aku hanya
melepaskan blzerku yang agak basah kena hujan.

Pintu terbuka dan Eldath masuk. Dia melihatku.

“Um, kau tahu, aku menciummu tadi lantaran mereka..” aku menunduk, memainkan kuku jariku.
Setelah menghela nafas, aku mendongak menatapnya lagi “Aku tahu kau merasa tak nyaman”

Dia berjalan ke dekatku dan berhenti. Aku tersenyum tipis “Well, maaf” kataku

“Apa ini terasa tak nyaman?” dia menciumku cepat, lalu melihatku.

“Eldath...” gumamku memandanginya

“Apa aku kelihatan tak nyaman?” dia menangkupkan dua tangannya di wajahku, lalu
menciumku lagi. Dia mencium bibirku ringan beberapa kali.

Aku mendesah pelan saat tangan Eldath berada di tengkukku, merabanya pelan dan dia kembali
mengecup bibirku. Aku ingin luluh sekarang, rasanya tak kuat menahan kakiku sendiri. Eldath
membawa tubuhku mendekati tempat tidur kami.

“Eldath” aku menunduk, melihat tangannya yang pelan-pelan membuka kancing baju kemejaku.

Dia menunduk, mensejajarkan wajahnya denganku, dan mencium pipiku sekali. Aku tak tahu
apa yang Eldath lakukan sekarang? Apa dia akan melakukannya? Malam ini? Oh ayolah...

Tanganku menghentikan Eldath yang kini sudah berhasil melepaskan hampir semua kancing
bajuku, hanya tinggal dua teratas. Eldath tersenyum, lalu mengangkat daguku dengan dua
jarinya. Aku merasa aku bisa kehabisan nafas sekarang, karena desahan nafas Eldath di atas
wajahku, terasa menyedot semua oksigen dalam ruangan ini.

“What do you think?” ujarnya tepat di depan bibirku. Aku tak bergerak, tak berani bergerak. Aku
menghela nafas dan membiarkan Eldath melakukan apa yang dia mau sekarang.

Aku bisa melihat jakun Eldath yang bergerak naik turun saat semua kancing kemejaku terlepas
dan menampakkan dadaku yang terbuka di depannya. Aku refleks memeluk Eldath, lantaran
malu dilihat seperti itu. Aku memeluknya erat. Nyatanya, yang kulakukan adalah sebuah
kesalahan, karena tangan Eldath sekarang menarik kemeja kerjaku melewati pundakku dan
mengelus punggungku pelan.

Aku mengerang saat tangan Eldath mengikuti alur di punggungku dan naik ke atas.

“Eldath..”desahku

Eldath mencium bahuku yang sudah terbuka, membawa tangannya meraba tengkukku dan aku
bergelinjang karena geli. Dia membuatku melepaskan pelukan, dan bajuku yang tadi tersangkut
karena memeluknya, berhasil dilucutinya.

Dia tersenyum melihatku hanya menggunakan bra saja. Dia mengelus bagian atas dadaku
“Kulitmu halus sekali” katanya

Dia memegang bahuku dan merebahkanku di atas ranjang. Are we gonna make it? Tanyaku
dalam hati.

Eldath menurunkan wajahnya untuk berada sedekat mungkin dengan wajahku,

“Eldath....” aku menarik rambutnya saat dia mengecup leherku. Rasanya geli sekali! Namun, dia
tak menghiraukan aku. Aku menelan ludah dan tanganku malah bergerak membuka baju Eldath
sekarang.

Ciumannya di leherku berganti gigitan pelan yang membuat aku tak berdaya. Aku memalingkan
wajahku, sehingga Eldath mendapatkan akses yang lebih ke leher sebelah kananku. Permukaan
wajahnya yang kasar karena facial hair yang tumbuh berbanding terbalik dengan bibirnya yang
lembut dan basah. Menimbulkan sensasi yang lain dan menyenangkan.
“Oh no, I think I’m going crazy” serunya. Dia berdiri dan melepaskan kemejanya dan
membuangnya sembarangan.

Setelah itu, begitu cepat, dia berada diatas tubuhku. Mencium bibirku, menghisapnya berkali-
kali. Aku tak tahu dia belajar mencium dari mana, hanya saja dia begitu tahu caranya mencium.
Dia menjepit bibir bawahku dengan dua bibirnya, lalu menghisapnya. Kulit kami bersentuhan,
menjalarkan rasa panas dan menggairahkan.

Dia tertawa pelan. Aku bisa merasakan bagian bawah tubuhku yang berdenyut-denyut saat aku
meraba dada Eldath. Kami masih berciuman saat tangan Eldath perlahan turun ke dadaku.

“Eldath..” panggilku

“Mmhhm” gumamnya

“Eldath...please” aku memegang wajah Eldath, menjauhkannya dari leherku. Dia menatapku dan
jarinya berjalan mengikuti garis rahang wajahku.

Dia menarik tanganku menjauhi wajahnya dan kini menciumi leherku lagi “Aku suka baumu,
Sayang” katanya sambil mencecap leherku dan meninggalkan tanda bibirnya disana. Bibirnya
yang kini bernafas di atas kulitku terasa membakarnya. Ciumannya makin turun ke leher dan
akhirnya dadaku. Dia menghirup gumpalan daging yang tak tertangkup oleh braku dan aku
bergetar karenanya. Dia merabanya dan menjalankan ujung jarinya disana.

“Eldath..” erangku frustrasi “Eldath, lihat aku” pintaku. Kalau dia sedang tak waras, maka aku
harus waras disini.

Eldath membenamkan wajahnya di celah gelap antara dua payudaraku. Aku bisa merasakan
bibirnya yang bergerak disana. Dia sedang tersenyum sekarang “Eldath” aku mencengkram
bahunya dengan kukuku, membuat dia malah makin jadi.

“Ruby” ujarnya pelan

Apa yang Eldath inginkan sebenarnya? Setelah mengangkat wajahnya dari dadaku, dia kini
menciumi perutku. Mengirimkan hawa nafasnya yang panas ke area perutku dan mengelusnya.
Kepalaku terasa mau pecah lantaran gairah yang di berikan Eldath melalui semua indera
perasaku. Tangannya makin turun kebawah, membuka kancing celanaku, lalu menurunkan
resletingnya

“Eldath, lihat aku” aku tak akan menyerah. Aku mengangkat kepalaku untuk menarik tangannya
dari bawah sana.

Oh my God!

Hanya saja, menghentikan Eldath sekarang sama susahnya dengan membuat dia jatuh cinta
padaku lagi. Eldath tertawa pelan saat aku berhasil mengenyahkan tangannya.

“Oh no, Eldath” seruku saat tangannya malah menelusuri bagian lain di tubuhku. Menelusup di
balik punggungku, berusaha membuka pengait braku. Aku menggerakkan tubuhku agar dia tak
bisa mendapatkannya

“Ruby” katanya sambil mengikuti kemana tubuhku bergerak “Hah..” aku bisa mendengar
desahan Eldath memekakkan telingaku sekarang. Suaranya tepat di telingaku. Menulikan semua
suara lain yang bisa aku dengar.

Aku menggeleng lalu mengincar bibir Eldath. Dia harus dialihkan. Aku tak mau melakukannya
kalau dia belum jatuh cinta padaku. Kalau dia belum bilang dia juga mencintaiku! Aku mengunci
bibir Eldath dan menyelipkan lidahku saat dia membuka mulutnya. Aku bisa mengimbangi
ciumannya sekarang. Namun, tangan Eldath tak berhenti bergerak di bawah punggungku.

“Oh God!” desahku “Argh, Eldath”

Aku sekuat tenaga menariknya, namun ciuman Eldath malah membuat aku mabuk. Dia
memiringkan kepalanya, menciumi leherku ringan, lalu kembali ke bibirku “Eldath, dengar..”
aku mencoba berbicara di sela nafas pendekku.

“Hhhmm” gumamnya

Aku mendesah, bergairah “El...Hah” aku menarik rambutnya “Apa kau yakin ingin melakukan
ini?” tanyaku saat dia akhirnya menatapku.

Dia tersenyum dan mengacuhkanku “Eldath, apa kau tak akan menyesal?” tanyaku. Ah aku
benar-benar harus menahan semua deburan gairah dalam diriku!
Eldath menindih tubuhku sekarang. Aku bisa merasakan dada telanjangnya yang basah dan
nafasnya tak beraturan. Desahan berat terdengar dari mulutnya saat aku menggigit telinganya.
Aku sepertinya salah mengumpan Eldath seperti itu, karena sekarang dia berhasil melepaskan
hook braku. Aku memegang dadaku, sebelum dia melepaskan bra sutera warna putih ini. Dia
tertawa di depanku dan jarinya menarik salah satu tali di bahuku.

“Eldath, tolonglah apa kau tak akan menyesal?”

Dia memagutku, hingga aku tak bisa menanyainya lebih jauh lagi “Menyesal?” tanyanya.
Hidungnya berada tepat di bibirku sekarang, dia mengelus lenganku dan tersenyum. Aku
melihatnya, balas tersenyum padanya.

Dia mencium pipiku ringan dan membiarkan hidungnya menghisap wangi dari lotion yang aku
pakai “I’m just gonna leave you” katanya pelan.

Aku menatapnya, tak percaya. Lalu, kesadaranku atas nafsu ini kembali. Dia akan
meninggalkanku kalau dia menyesal melakukan ini denganku? Apa maksudnya berkata seperti
itu? Dia pikir aku wanita yang dia bayar untuk memuaskannya? Tubuhku membeku di bawah
tubuhnya. Dan sepertinya Eldath menyadari perubahan sikapku. Dia menarik tangannya yang
sedang menurunkan satu-satunya tali bra yang masih ada dibahuku

Dia menyeringai “What’s wrong?” dia mengangkat wajahnya, memfokuskan pandangannya


padaku

Aku melayangkan tanganku untuk menampar pipinya. Dia terkesiap dan bertingkah layaknya
orang yang habis ditampar, kaget. Dia sontak mengangkat tubuhnya dari atas tubuhku.

“Apa-apaan kau?” tanyanya seraya mengelus pipinya

Aku segera duduk, melihatnya tajam. Tanganku segera membenarkan semua yang salah dengan
pakaian dalamku, juga celanaku.

“Meninggalkanku?” seruku “Kau pikir aku ini istrimu atau hanya pelacur?” tanyaku geram. Aku
berdiri dan memungut bajuku yang jatuh tak jauh dari tempat tidur.

“Ruby” ujarnya sambil melihatku. Sepertinya dia baru sadar apa efek ucapannya.
“Kau bajingan, Eldath! Aku tak menyangka kau akan mengucapkannya semudah itu!” aku
menghapus air mataku yang turun, lalu berjalan keluar kamar. Membanting pintu dengan keras
saat menutupnya.

Aku berjalan cepat menuruni tangga dan masuk ke kamar tamu dibawah. Menangis disana. Aku
mengigit bibirku agar suara tangisanku tak terdengar menyedihkan. Dia kelewatan, kan?

Hati adalah sesuatu yang bisa hancur bahkan tanpa disentuh sedikitpun, dan aku tahu benar
bagaimana rasanya.

+++

Eldath’s POV

Aku memukul ranjang berkali-kali lantaran sadar kebodohan apa yang baru aku lakukan pada
Ruby. Aku masih bingung bagaimana kata itu melucur dari bibirku. Bagaimana mungkin aku
meninggalkannya? Dan bagaimana mungkin aku menyesal melakukan ini dengannya? Aku
mengerang kesal dan memejamkan mataku.

Aku mengusap wajahku dan berjalan kekamar mandi. Menghidupkan keran dan mandi air dingin
bahkan tanpa melepas celanaku terlebih dahulu. Aku memandangi pantulan wajahku dicermin.

“Such an asshole you” kataku mengatai diri sendiri.

Bagaimana sekarang dengan Ruby. Ini sungguh malam yang buruk baginya.

Aku selesai mandi dan mengenakan piyama. Memeriksa jam dan kaget ternyata sudah jam
setengah satu pagi. Aku keluar dan berdiri diujung tangga, mengecek keadaan di bawah. Aku
menghela nafas dan turun. hanya satu kamar yang selalu dipakai Ruby saat dia menjauhiku.

Aku mengetok pintunya, “Baby, buka pintunya. Kita harus bicara sekarang” kataku. Aku tahu
tentu saja dia akan mengacuhkanku. Itukan tipe marahnya wanita, yang selalu mengabaikan
urusan penjelasan. Well, dalam kasus ini, aku sama sekali tak punya penjelasan sebenarnya.

“Hei, maafin aku, Rue” kataku. Aku meraih gagang pintunya dan tak berhasil. Sudah dikunci.
Aku berbesar hati dan akhirnya kembali ke atas. Merebahkan tubuh di atas ranjang yang nyaris
saja menjadi saksi malam pertama kami. Kalau masih bisa dibilang malam pertama! Aku
mematikan lampu dan menatap langit-langit yang mendapat sinar temaram dari jendela di depan
tempat tidurku.

Aku tak bisa tidur. Bahkan setelah dua jam lewat. Aku duduk, memijit keningku dan menghela
nafas berkali-kali. Kuhidupkan lagi lampu dan berjalan keluar kamar. Mungkin minum air putih
hangat bisa membawa kantuk.

Aku bergegas turun saat melihat lampu meja di dapur menyala. Aku menelan ludah saat
mendapati Ruby tengah duduk di stool, menunduk dalam. Aku berjalan pelan mendekatinya

“Ruby” kataku

Dia mengangkat kepalanya dan menoleh. Aku terkesiap melihat mata dan hidungnya yang
memerah. Dia bangkit dari kursi, berniat pergi. Kutahan tangannya erat, karena dia berusaha
menepisnya sekat tenaga

“Hei, maaf. Aku minta maaf” kataku

Dia masih berusaha melepsakan tangannya. Aku melihatnya dan malah menariknya dalam
pelukanku. Tubuh Ruby berontak hebat dalam dekapanku. Dia memukul punggungku tanpa jeda
juga menggigiti lengaku. Aku harus memejamkan mata menahan sakit karena gigitan Ruby di
lenganku ini tak main-main.

“Ruby, tenanglah. I’m so sorry. Aku tak bermaksud mengatakan itu padamu, Ruby, Sayang” aku
memelas.

Aku mendengarnya terisak dan tindakan primitifnya melukaiku berhenti. Dia menangis sekarang,
membuat suara yang menyakitkan hatiku. No, ini yang paling aku benci dari semua hal yang
wanita punya!

“Lepasin aku, please” isaknya

Aku menghela nafas dan menurutinya. Aku menunduk untuk melihat wajahnya.

“Ssh, sudah sudah,”


Ruby menepis tanganku yang berada di bahunya. Dia menatapku sesaat lalu berjalan cepat
menuju kamar tamu. Menutup pintunya hingga berdebam dan meninggalkanku dengan luka yang
lebih menyakitkan.

Aku menenangkan diriku sendiri, berpikir kalau ini bukan waktu yang tepat untuk minta maaf.
Pagi nanti, semuanya akan baik-baik saja. karena seperti itulah hubungan kami. Selama ini,
setiap ada masalah, kami akan melupakannya di pagi hari, menganggap itu sudah lewat.
Begitulah kedewasaan kami mencoba mengakali masalah yang kerap timbul.

Namun, mungkin saja itu tak akan terjadi kali ini. aku pun merasa aku sudah terlalu kelewatan
berkata seperti itu. tamparan Ruby bahkan sudah hilang sakitnya, sementara Ruby masih
menangis.

+++
37. Embrace the Heart

Eldath’s POV

Matahari pagi menyengatku dengan sinarnya. Aku bangun dan seketika menoleh ke samping.
Menguap lebar dan memeriksa jam berapa sekarang. Kuacak rambutku saat melihat ini sudah
jam delapan pagi, dan aku baru bangun. Padahal, biasanya aku sudah siap pergi sekarang. Aku
beranjak ke kamar mandi dan mencuci muka di sana. Apa yang dilakukan Ruby sampai dia tak
membangunkanku?

Aku meninggalkan kamar, berjalan keluar dan segera melongo ke dapur. Ruangan dapur yang
kosong membuat aku segera melangkah mendekat. Seperti tak ada yang terjadi pagi ini. Aku
hanya mendapati sarapanku, tanpa Ruby. Aku menoleh ke arah kamar tamu dan membuka
pintunya tanpa ada niatan untuk mengetoknya dulu.

“Shit!” ujarku saat melihat ruangan itu juga telah kosong.

Aku menutup pintunya dan kembali ke ruang makan dengan langkah gontai. Aku pikir Ruby tak
akan pernah melakukan tingkah kekanakan seperti ini, nyatanya dia kabur diam-diam. Aku
berjalan ke arah kulkas dan mengeluarkan jus jeruk. Saat menutup pintunyalah aku sadar ada
post-note yang ditulis Ruby.

Aku harus pergi pagi, ada rapat.

Aku mendengus “Alibi!” ujarku lalu mencabut kertas itu, melumatnya dengan tanganku dan
melemparnya ke tempat sampah.

Aku memijit tulang hidungku, mendesah, menyalahi diriku yang mulai terbiasa dengannya. Aku
melihat sarapan yang sudah di buat Ruby tanpa ada nafsu untuk menyentuhnya. Aku akhirnya
hanya menghabiskan jus jeruk dan segelas air putih. Sebaiknya aku harus segera keluar dari
rumah ini.

Keadaan kantor membuatku sedikit melupakan Ruby. Beberapa berkas yang menumpuk mesti
dibereskan. Suara ketukan di pintu, membuat aku menoleh. Salah satu sekretarisku masuk.

“Ada apa?” tanyaku


Dia mendekat dengan sebuah amplop biru muda di tangannya “Undangan” katanya

Aku mencermati amplop itu, membaca bagian depannya. Benar untukku, secara pribadi “Siapa
yang mengantarkan ini?”

Daniella tersenyum “Tentu saja yang punya acara, salah satu pegawai MakeUp Magazine yang
mengantar, Pak”

Dia pasti melihatku seperti orang bodoh sekarang. Aku mengangguk, lalu menyuruhnya kembali
ke ruangannya. Aku membuka amplop biru itu dan sebuah simbol yang sangat aku kenal yang
pertama kali tertangkap oleh mataku.

Aku menghela nafas. Undangan menghadiri acara ulang tahun majalah MakeUp. Aku menutup
undangan itu dan memasukkannya ke dalam laci. Sebulan dari sekarang. Dan dari semua tempat,
mereka memilih hotelku untuk menghelat acaranya! Aku menyandarkan punggung ke kursi dan
mengambil salah satu berkas, proposal kontrak kerja sama dengan salah satu pengembang
multimedia. Aku letakkan kembali berkas itu karena aku sungguh tak bisa berkonsentrasi
sekarang. Aku bangkit dari kursiku dan berjalan menuju pintu di balik meja kerjaku.

Sebuah taman kecil terhampar di depanku. Taman kecil yang sengaja didesain agar pikiran
tenang. Aku butuh tempat seperti ini untuk menenangkan diriku sesekali. Aku berjalan menuju
ayunan kayu yang ada di ujung bangunan ini. Dinaungi atapnya yang besar, aku berbaring
disana. Menghela nafas beberapa kali dan memejamkan mata. Pikiranku, tak jauh-jauh pada
istriku, Ruby. Rasanya sangat tak nyaman seperti ini.

Semilir angin siang yang berhembus tak juga memperbaiki suasana hatiku saat ini. Aku melipat
tangan, menutupi dahiku. Susana hening, membuatku samar-samar mendengar suara ponselku
yang berbunyi di dalam ruangan. Aku mendesah, memilih mengabaikannya saja.

‘Kau bajingan, Eldath! Aku tak menyangka kau akan mengucapkannya semudah itu!’

Aku masih ingat bagaimana wajah Ruby malam itu, sungguh bukan pemandangan indah untuk
dilihat!
Aku terbangun dan segera duduk. Mengerjapkan mata berkali-kali dan melihat jam tanganku.
Bisa-bisanya aku tertidur di sini. Aku bangkit dan masuk kembali ke dalam ruanganku. Aku
berkacak pinggang, melihat berkas yang masih belum selesai aku urus. Lalu, tanganku meraih
ponsel yang ada di dekatnya. Mengecek ada lima panggilan tak terjawab dari Aira dan sepuluh
panggilan lainnya dari Ruby! Aku mengerutkan dahi dan perasaan tak enak mulai
menghinggapiku. Aku balik menelepon nomor Ruby.

“Ah, syukurlah, apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya saat panggilanku diterima

“Ada apa?” tanyaku “Kau kenapa Ruby?”

“Eldath” katanya

“Ada apa kau menelepon sampai sepuluh kali. Apa ada masalah?”

“Um,” dia bergumam “Mom, dia pingsan dan sekarang di rumah sakit”

“Apa?” seruku “Mom? Kenapa?”

“Tekanan darah Mom turun lagi. Tapi semuanya sudah nggak papa sekarang. Mom sudah di
tangani dokter. Kau tak perlu cemas, El”

Aku terdiam, terduduk lemas di kursiku.

“Eldath, apa kau baik-baik saja?” tanya Ruby. Suaranya terdengar cemas

Aku menarik nafas “Yeah” kataku pendek “Aku akan pergi sekarang” kataku

“Eldath, tenanglah. Mama juga sudah datang. Kau tak apa-apa kan?”

Aku mengangguk “Ya, terima kasih” kataku “Aku telpon lagi kau nanti” kataku mengakhiri
percakapan.

Segera kutarik jas di sandaran kursi dan keluar kantor. Aku benar-benar bisa gila sekarang. Aku
benci sekali ke rumah sakit. Aku benci tempat itu sejak 13 tahun lalu. Bolak-balik rumah sakit
menjaga Dad waktu itu membuatku punya kenangan pahit di rumah sakit. Dan sekarang Mom.
Yeah, aku tahu dia memang kadang mengeluh dengan sakit kepalanya lantaran tekanan darahnya
yang rendah. Hanya saja, aku tak pernah menyangka beliau akan masuk rumah sakit lagi.
Untungnya tak sulit menemukan tempat parkir rumah sakit ini. Setelah menghubungi Aira,
menanyakan kamar perawatan Mom, aku segera masuk ke dalam lift, menuju lantai lima rumah
sakit ini. Pelan aku menarik gagang pintu. Aku menarik nafas sebelum masuk dan bau khas
rumah sakit menerobos rongga hidungku.

“Eldath”

Aku tersenyum melihat Mama Ruby menyambutku. Dia masih mengenakan jas dokternya.
Sepertinya dia buru-buru datang kemari “Ma,”sapaku sambil memeluknya erat. Dia menepuk
punggungku.

“Everything is alright” ujarnya

Aku melepaskan pelukanku, dan melihat Mom yang sedang terbaring di ranjangnya. Matanya
terpejam dengan selang menusuk salah satu tangannya. Selang lain dialiri darah segar juga
ditusukkan di dekatnya. Aku meringis dan duduk di kursi yang baru saja ditinggalkan Mama.

Aku mendesah pelan, lalu mengelus pelan punggung tangan wanita ini “Mom, jangan lakukan
ini padaku” lirihku

Aku membungkuk untuk mencium tangannya lembut. Tak ada yang bisa kulakukan sekarang.
Aku lalu bangkit dan berbalik. Aku menelan ludah susah payah saat mendapati Ruby berdiri di
belakangku dari tadi.

Dia mendekatiku, lalu memelukku. Usapannya membuatku merasa sedih. Aku memeluknya erat,
bahkan lebih erat saat dia mengucapkan namaku. Bagaimana bisa aku menerima pelukan setulus
ini darinya? Bagian mana dari hatinya yang tidak aku punyai, hingga aku masih susah percaya
kalau dia mau menenangkanku sekarang!

“Hei, tenanglah” katanya “Sudah tak papa”

Aku menggeleng “Ruby”

“Sudah, hei kau sudah besar” dia tertawa pelan

Aku berterima kasih padanya. Aku melerai pelukan dan memandanginya. Ya, masih ada sorot
lain di matanya, namun senyuman di bibirnya membuatku tenang sekarang.
“Kau sudah makan siang?” tanyanya

Aku menoleh kearahnya dan menggeleng “Aku tak punya selera makan siang ini” aku
menggosok lengan Ruby yang masih berada di rangkulanku.

“Kau bisa sakit” kata Mama “Kau bisa makan sekarang. Pergilah temani dia, By”

“Um, itu kayaknya aku tidak bisa” dia melihatku sebentar “Aku harus kembali ke kantor
sekarang”

Aku mengerutkan dahi melihatnya. Dia menjauhkan tanganku dan berjalan menuju sofa. Dia
mengambil tasnya dan mendekatiku lagi “Maaf, aku harus balik ke kantor, ada sesuatu yang
harus dikerjakan”

Aku mengangguk “Pergilah” kataku memberi ijin.

Dia tersenyum tipis lalu berbalik, berjalan menuju Mamanya dan berpamitan. Aku melihat
kepergiannya dari tempatku berdiri.

“Bagiamana keadaan Mom, Ma?”

“Sudah baik. Tekanan darahnya rendah sekali tadi, makanya perlu transfusi darah. Tapi, sudah
tak apa-apa, El. Kau tak perlu cemas lagi. Tenang saja, Mamamu sudah mendapatkan
penanganan terbaik” dia tersenyum

Aku mengangguk, lalu duduk disebelahnya “Makasih, Ma” ujarku pelan

Karena baru pulang menjelang sore dari rumah sakit tadi, aku terpaksa lembur. Duduk di depan
meja kerjaku dengan berkas yang masih harus diperiksa. Aku mengerjapkan mata berkali-kali
dan menegak kopi di dekatku. Sudah jam sembilan malam, aku hampir menyelesaikan
setengahnya. Dan aku tak bisa berkonsentrasi untuk menyelesaikan segalanya sekarang.

Kopi cukup menolongku melewati malam lembur ini. Aku meregangkan tubuhku dan beranjak
dari kursiku. Menoleh ke belakang, memandangi gedung lain yang terlihat jelas dari jendela ini.
Aku akan kembali ke rumah sakit sekarang. Kurapikan mejaku dan segera menyimpan berkas
penting ke dalam laci. Setelah mematikan lampu, aku segera turun.
Masih ada beberapa orang yang bertahan di kantor, orang-orang dari bagian marketing yang
sepertinya sedang meeting di salah satu ruangan yang aku lewati. Di bagian lobby, malah lebih
ramai. Beberapa karyawan menyapaku saat berpapasan. Rata-rata mereka mengaku sedang
menunggu jemputan atau bagi muda-mudi yang masih nongkrong di lobby, mereka sengaja mau
main dulu.

Aku melihat jam saat sampai di rumah sakit. Jam sepuluh lewat. Aku membeli kopi instan dari
vending mechine dekat pintu masuk rumah sakit. Segera setelahnya aku menuju kamar
perawatan Mom. Aku mematung begitu masuk. Mendapati Ruby yang tengah tertidur di sofa di
depan ranjang Mom. Di meja di depannya, beberapa laporan terbuka. Bahkan masih ada satu
yang jatuh di pangkuannya. Aku menahan nafas pelan. Aku melihat Mom sebentar. Dia juga
sudah tidur sepertinya. Setelah memastikan Mom baik-baik saja, aku mendekati Ruby.

“Ruby” ujarku pelan “Ruby” ulangku. Aku melepas jas dan duduk di sebelahnya

Dia membuka matanya “Kau sudah datang?” dia mengangkat kepalanya dari kepala sofa.

“Kau pulang saja, biar aku yang menjaga Mom disini” kataku

Dia menggeleng “Aku ingin disini juga” katanya. Dia lalu menumpangkan kepalanya di pahaku
dan menaikkan kakinya ke sofa. Aku terpaku beberapa saat karena kaget. Nafas Ruby kembali
teratur, sepertinya dia sudah tidur lagi sekarang.

Aku menarik jasku dan menutupi kakinya. Sepertinya dia memang ada rapat hari ini, aku
meneliti berkas yang berserakan di meja. Tanganku terulur untuk membelai kepalanya.
Wajahnya terlihat sangat tenang, tak ada keegoisan yang nampak layaknya Ruby yang aku lihat
13 tahun lalu.

“Thank you” aku mengadah, menatap langit-langit kamar dan pelan-pelan memejamkan mataku.

Suara bising dari orang-orang yang bercakap-cakap, membuat aku terbangun. Aku mengerjapkan
mataku berkali-kali dan mengusap kepalaku. Aku melihat ke arah suara-suara itu. Kunjungan
dokter pagi hari. Aku sontak mendekati mereka dan dokter itu tersenyum kepadaku
“Bagaimana keadaannya, Dok?”

“Baik” katanya “Ibu anda butuh istirahat yang banyak. Dia sudah tak papa” terangnya

“Sungguh?”

“Eldath, Dokter ini lebih tahu dari pada kau” kata Mom

Aku tersenyum “Makasih, Dok” kataku saat dia beranjak keluar.

Aku menatap Mom, dan dia tersenyum. Tangannya terulur untuk menyentuh wajahku “Aku
membuatmu cemas lagi ya?”

“Jangan lakukan ini lagi, Mom. Aku bisa gila!”

“Maaf” katanya “Aku sudah baikan sekarang, pergilah ke kantor”

“Ruby?” aku menyapu seisi ruangan dan tak menemukannya “Dimana dia?” tanyaku

“Sepertinya dia pulang kerumah”

Aku mengangkat dua alisku, lalu mengangguk “Kenapa dia tak membangunkanku? Jam berapa
dia pergi”

“Sekitar jam lima, setelah subuh. Mana mau dia membangunkanmu” kata Mom “Sudah lah”
katanya “Kau juga pulang sana”

“Aku akan disini saja” kataku keras kepala “Tidak ada yang menjaga Mom disini”

Dia tertawa pelan “Thank you” katanya “Tapi ada begitu banyak perawat disini, kau tenang saja.
Lagian, penyakitku ini nggak membuatku terpaksa tiduran terus, Eldath” dia memegang
tanganku

“Please, Mom, biarkan aku menemanimu hari ini”

“Setelah jam dua belas kau harus ke kantor”

“Deal!”
Tak sampai lima menit setelah setuju menjaga Mom disini, aku mendapat telpon dari kantor.
Mereka butuh aku sekarang, lantaran akan ada kunjungan dari Presdir Multimedia and Co. pagi
ini.

“Pergilah, aku sudah menyuruhmu pergi dari tadi” kata Mom, dia menang akhirnya.

Pintu kamar perawatan nomor 12 terbuka, dan Ruby muncul dari pintu. Dia membawa tas besar
di tangannya.

“Pagi, Mom” sapanya seraya mencium pipi Mom. Lalu dia melihatku “Pakaianmu” katanya
menyerahkan tas besar itu padaku.

“Huh?” aku melongo untuk melihat isinya. Satu setel jas lengkap.

“Mandilah. Kau pergi ke kantor, kan?” dia menilikku

Sekali lagi dia membuatku terdiam seperti ini. Aku segera berjalan ke kamar mandi dan setelah
sekian lama, akhirnya aku mandi di rumah sakit lagi. Setelah berpakaian, aku segera keluar.
Ruby sedang menyuapi Mom sarapan. Begitu melihatku keluar, Mom menyuruh Ruby
mengurusku dulu.

Dia berjalan ke arahku dan mengambil dasi dari dalam tas tadi. Dia melihatku sebentar, lalu
merapikan rambutku. Setelah itu, dia mengalungkan dasi berwarna hitam keleherku.

Aku melihatnya, memperhatikan wajahnya dan mengira-ngira apa aku bisa mengecup bibirnya
sekarang? Aku benar-benar tidak waras! Simpul dasi yang dibuat Ruby sudah selesai. Dia
menepuk dadaku, membersihkan jasku sebentar. Aku masih mengawasinya. Aku memajukan
wajahku, sudah sangat dekat kalau saja Ruby tak menjauhkan wajahnya. Dia mengangkat
kepalanya, menatapku. Aku balas menatapnya.

“Kau sudah siap” katanya berbalik dan kembali duduk di dekat tempat tidur Mom.

Pahit! Aku merasa seperti baru ditolak sekarang. Aku membasahi bibirku dan menghembuskan
nafas panjang.

“Aku pergi dulu” kataku


Kehidupanku tak beraturan dua hari ini. Ruby masih marah dan dia dengan senang hati menjaga
Mom di rumah sakit. Sementara aku, memilih untuk pulang ke rumah sejak kemarin. Dia hanya
pulang di pagi hari, mengganti pakaiannya dengan setelan rapi ke kantor dan pulangnya ke
rumah sakit. Aku tak punya waktu untuk bicara empat mata padanya. Dia benar-benar
menghindariku. Saat di rumah pagi hari, dia hanya akan menungguiku sarapan. Berbicara hanya
hal penting, setelah itu pergi. Bahkan sekarang, dia lebih sering pergi lebih pagi dariku!

Aku kesepian. Aku kembali bagai anakan kehilangan induknya. Makan tak teratur-selain
sarapan-, tidur dini hari dan berangkat ke kantor rada siangan. Namun, satu hal yang ternyata
berguna juga akhirnya, adalah foto Ruby yang dulu pernah dikirimnya padaku. Entah kenapa,
saat makan siang sendirian, aku kadang memperhatikan fotonya dan tersenyum sendiri. Belum
lagi saat malam, well aku benci mengakui ini. Hanya saja, melihat fotonya membuatku merasa
lebih baik.

Aku kira semuanya akan kembali normal saat Mom pulang ke rumah hari ini. Ternyata aku
salah, Ruby malah ingin menginap di rumah Mom, menjaganya.

“Apa boleh?” tanyanya

Aku memejamkan mata sebentar, lalu menghela nafas “Tentu saja” kataku “Tapi hanya semalam
saja”

Dia tersenyum “Baiklah”

“Besok malam kau harus dirumah” aku melihatnya, lalu kemudian aku keberatan “Baby, apa kau
serius? Ayolah, jangan seperti ini” kataku akhirnya. Memelas padanya untuk berhenti bersikap
dingin padaku.

Dia menaikkan dua alisnya “Pulanglah, kau harus istirahat” katanya lagi.

Tak ada yang lebih menyakitkan dari pada ini, pikirku. Dia tahu benar bagaimana memainkan
peran. Memelintir perasaanku seperti ini. Dia tahu, saat ini akan datang, saat aku akan memohon
padanya. Aku tertawa pelan, dan dia pikir dia bisa? Kita lihat saja, siapa yang akan mengakhiri
ini lebih dulu.

+++
38. Pesta Dadakan

Tentu saja aku belum menganggap ini selesai dengan Eldath. Mana bisa seperti itu! Walaupun
kadang aku berpikir kalau ini bukan kesalahan siapapun, maksudku kami belum seharusnya pada
fase itu. Aku sengaja meninggalkannya dan lihat, mau tak mau dia memelas juga padaku. Well,
aku menikmati ini. Rasanya lumayan juga melihat Eldath agak berantakan seperti ini.
Menyaksikannya bingung di depanku, tak tahu harus bilang apa dan dia jelas tak bisa marah-
marah padaku.

“Joey!” seruku melihat Joey yang sedang di gendong Aira.

Kontan dia menyerahkannya padaku “Joey menyukaimu” katanya

“Faron mungkin akan sampai sebentar lagi” kata Aira

Aku menoleh padanya “Dia jadi datang?” tanyaku “Serius?”

“Mungkin hanya beberapa hari disini”

“Oh,” kataku “Apa karena Mom sakit?”

“Itu juga. Sebenarnya dia sudah punya rencana untuk mengunjungi Mom, tapi aku rasa dia
mempercepat waktunya karena tahu Mom sakit”

“Dia sibuk sekali berarti” aku menggosokkan hidungku ke hidung Joey

“Jam berapa Eldath akan datang?”

“Entahlah, mungkin malam nanti”

“Untung kau tak kerja hari Sabtu. Makasih ya By kau mau tinggal disini kemarin”

“Ah, tentu saja”

Aku segera membawa Joey berjalan-jalan di belakang rumah. Halaman belakang rumah ini juga
tak luput dari penataan Mom. Kolam renang berada di tengah-tengah halaman. Bunga-bungaan
merambat di dinding, lebih memberikan kesan yang sangat segar ketimbang seram. Bangku-
bangku kecil yang di pinggir kolam. Dia sungguh berkelas dalam segala hal.
Joey yang sedang diam, tiba-tiba merengek “Oh, maaf, kau kenapa?” tanyaku sambil
menimangnya agar dia diam. Namun, dia tak juga berhenti menangis, hingga akhirnya aku
membawanya masuk kembali.

“Aku tak tahu kenapa dia menangis tiba-tiba” kataku menghampiri Aira yang sedang
memandikan Loiu.

Dia tertawa pelan “Masa?” katanya. Dia menangkat Loui yang sudah selesai lalu
memberikannya pada suster si kembar. Setelah itu, dia mengambil Joey.

Aku tersenyum, lalu pergi dari kamar mereka. Aku segera naik ke lantai dua, ke kamar Mom.
Aku ternganga tak percaya saat mendapati seorang pria bule yang sedang duduk
memunggungiku. Mungkinkah itu Faron?

“Oh, Ruby” kata Mom begitu menyadari aku hanya mematung di depan pintu.

Laki-laki itu menoleh, dan kami bertatapan. Aku tersenyum begitu melihat kemiripannya dnegan
Eldath. Mata mereka yang biru lembut. Faron. Dia berdiri dan menghampiriku. Dia kelihatan
sangat dewasa sekarang.

“Halo nyonya Eldath” dia merentangkan tangannya memelukku

Aku tertawa pelan “Faron!!!”

Dia melepaskan pelukannya dan menatapku “Apa kabar kau?”

“Aku baik” aku mengangguk. Dia tersenyum lagi. matanya sangat hangat dan senyumnya sangat
menawan. Dia masih kakak paforitku dari dulu. Yang nggak banyak bicara dan tetap misterius
“How about you?”

“I’m good! Super!” dia menyuruhku untuk berjalan ke dekat Mom “Maaf aku nggak datang ke
pernikahan kalian”

“Nope” kataku sambil duduk di pinggir tempat tidur Mom “Tapi, kapan kau datang? Aku nggak
dengar kau masuk?”

“Sekitar lima belas menit yang lalu. Aku juga nggak tahu kau disini”
“Apa kau bertemu Aira?” tanyaku

“Aku menyapanya sebentar tadi. Dia sedang repot sama anaknya”

“Mom” aku melihat Maudy “Bagaimana keadaanmu?”

“Hah” dia menghela nafas dengan senyuman di wajahnya “Aku senang sekali” dia melihat Faron

“Jadi, dimana Eldath? Apa dia bekerja weekend begini?” Faron melipat tangannya di depan dada

Aku mengangguk “Aku rasa ada yang belum diselesaikannya”

Pintu kamar Mom terbuka dan Aira masuk dengan kedua puteranya. Faron bersemangat
menyambut keponakannya itu segera mengambil satu dari Aira “My God, he is beautiful”
katanya “Siapa yang ini?” Faron bersemangat.

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam saat ini. Aku uring-uringan di kamar sendirian. Aku
mengambil ponselku, tak ada apa-apa di sana. Aku bangkit dan berjalan menuju lemari,
mengeluarkan tas dan pakaian yang aku bawa. Bersiap-siap saja dulu.
"Hai," sapa suara saat pintu kamar terbuka.

Aku sontak menoleh. Eldath berdiri di dekat pintu, tersenyum ke arahku. "Kau baik?"

Aku mengangguk. Akhirnya yang aku tunggu datang juga. Dia tampak lelah setelah seharian
bekerja. Lengan kemejanya sudah digulung sampai ke siku, dan rambutnya acak-acakan. Aku
bertaruh ini adalah kesalahannya lantaran sering menunda pekerjaannya.

"Aku akan keluar setelah membereskan ini," kataku tanpa melihatnya. Oke, aktingku sudah
makin baik sekarang.

"Aku akan menemui mom dulu."

Eldath lalu berbalik dan menutup pintu. Setelah dia keluar, aku tertawa pelan. Tawa
kemenangan, juga kebahagian karena dia sudah datang. Cepat aku bereskan semuanya dan
segera mematut diri di depan cermin. Memperbaiki penampilanku.
Aku meletakkan tas di kursi dan melongo ke arah kamar mom di atas. Karena ingin membiarkan
mereka saja, aku duduk di depan TV, menunggu Eldath turun. Tak lama, dia keluar bersama
Faron. Eldath berjalan duluan, disusul kemudian Faron. Keduanya melangkah cepat ke halaman
belakang dengan wajah yang sama sekali tak menampakkan raut bahagia bertemu kembali. Aku
mengerutkan dahi. Ada apa dengan mereka?

Aku merasa penasaran juga cemas di tempat dudukku sekarang. Hanya saja, tak ada yang bisa
kulakukan sekarang. Apa yang mereka bicarakan? Aku menunggu tak sabaran dan terus-terusan
melongo ke belakang. Mungkin saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan! Pandanganku lalu
pindah ke arah kamar mom, mungkin saja beliau tahu apa yang terjadi?

Sekitar lima belas menit aku harus tersiksa dengan rasa penasaranku, akhirnya Eldath muncul.
Dia melihatku. "Ayo pulang " perintahnya tegas seraya mengambil tasku.

"Pamitan ke mom dulu."

"Sekarang!"

Aku melihat Faron tersenyum dan melambaikan tangan padaku. Aku membalasnya lalu cepat-
cepat mengikuti langkah Eldath ke luar. Mobil sudah hidup saat aku masuk.

"Apa yang terjadi?" tanyaku.

"Nothing," katanya seraya menjalankan mobil ke luar dari halaman rumah mom.

Aku diam saja, karena tahu dia sedang bad mood. Pasti ada hubungannya dengan Faron. Dia
baik-baik saja saat kami pertama bertemu tadi. Aku menghela nafas. Aku memalingkan wajahku
ke jendela, mengamati jalanan malam minggu yang padat seperti biasa.

"Eldath," kataku menatapnya. "Apa yang terjadi padamu dan Faron?" aku sungguh penasaran.

"Tidak terjadi apa-apa!" katanya.

Aku mencebik. "Kau mau langsung pulang ke rumah?" tanyaku. Ah, ada yang salah denganku.
Melihat Eldath seperti ini, aku jadi tidak tega pula. Dia seperti baru diberi vonis mati.

"Kita pulang saja ya," dia melihatku. "Aku ingin bersamamu saja di rumah." katanya pelan.
Aku meliriknya sebentar. Hah, bisa-bisanya dia. Percayalah aku kalau dia memang playboy!

Kami sampai di rumah sejam kemudian. Eldath membawakan tas berisi pakaianku dan kami
berjalan bersisian menuju lift. Masih saling diam, kami menunggu pintu lift terbuka. Saat pintu
lift terbuka, aku kaget lantaran di depan pintu apartemen sudah ada yang menunggu kami. Aku
melihat Eldath, dia juga sama kagetnya denganku.

"Ah, akhirnya pulang juga!" seru Nadya saat melihat kami.

"Oh, hai," kataku canggung. "Ada apa ini?" tanyaku sambil melangkah keluar lift diikuti Eldath.

"Housewarming party!" seru mereka berempat bersamaan. Ada pasangan Nadya-Eric, juga
Nevan dan Tasha. Tasha bahkan membawa sebuah tas karton berisi makanan sepertinya,
sedangkan Eric memegang sekotak karton besar jus jeruk.

"Siapa yang ngasih ijin?" tanya Eldath.

Mereka semua saling pandang, lalu Nevan tertawa kecil. Dia maju beberapa langkah untuk
menonjok bahu Eldath pelan. "Ini kejutan, nggak perlu ijin dari siapa-siapa." katanya. Nevan lalu
menatapku dan memberi kode.

"Um, ide bagus," kataku. "Ayo masuk. Ayo silahkan Eric, kau juga Tasha." kataku sambil
menekan beberapa angka dan pintu apartemen terbuka. Aku membiarkan Eldath yang masih
terpaku di tempatnya.

"Waah...." seru Nadya begitu dia masuk ke dalam.

"Please come in," kataku seraya menghidupkan lampu semua ruangan di lantai bawah. Aku
berbalik menatap mereka. "Selamat datang di rumah kami." aku melihat Eldath baru masuk,
tampangnya sudah baik-baik saja untungnya.

"Baiklah, kalian silahkan duduk dulu karena aku mau ganti pakaian," aku permisi dan menarik
Eldath bersamaku untuk naik ke kamar.

"Apa-apaan mereka?" tanya Eldath setelah aku menutup pintu kamar.


"Hei, sudahlah. Lagian, kita yang nggak pernah ngundang mereka ke sini," aku berjalan menuju
kamar wardrobe dan memilih pakaian ganti. "Jangan pasang tampang seperti itu, Eldath."

Eldath mendesah. "Aku bisa gila!"

Aku menelan ludah "Mereka teman kita!"

"Cepatlah ganti pakaianmu." perintahnya.

Apartemen mendadak ramai karena kehadiran empat orang ini. Eldath dan Eric, berada di depan
TV, bermain PlayStation. Sedangkan aku, Nadya, Nevan dan Tasha berada di dapur, memasak.
Karena diantara kami para perempuan tak ada yang benar-benar bisa masak, maka Nevan adalah
juru masaknya di sini. Dia sedang merebus spaghetti, sedang kami membuat makanan
pendamping.

"Kalian dari mana? Bawa-bawa tas segala?" tanya Nadya.

"Aku menginap di rumah mamanya Eldath, baru pulang."

"Huh? Kenapa kau menginap di sana?"

"Mamanya sedang sakit,"

"Kita datang disaat yang salah, Van!" kata Nadya. "Mereka pasti ingin berduaan saja malam ini."

Aku menggeleng. Kami menyiapkan spaghetti, ayam yang dimasak dengan keju parmesan, salad
sayuran, serta berjenis kacang-kacangan yang dipanggang oleh Nevan. Setelah semuanya siap,
tugas Eldath dan Eric yang membawanya ke ruang nonton.

"Ini minumannya!" seru Tasha meletakkan gelas-gelas dan botol sirup ke atas meja. Meja yang
selama ini terasa besar bagiku, kini tampak begitu kecil karena sudah tak muat lagi untuk
meletakkan piring makan.

"Ehm," Eric berdehem. "Ini ide Nevan sebenarnya. Terus kami semua setuju karena ini pertama
kalinya kita bertemu lagi setelah pesta pernikan kalian."

"Terima kasih," kata Eldath. "Aku minta maaf nggak pernah mikirin acara ini sebelumnya." dia
melihatku.
"Kalau begitu mari makan," seru Nevan.

Suasana seperti ini sangat menyenangkan. Ada banyak cerita yang baru aku dengar malam ini,
lantaran waktuku berkumpul dengan mereka sudah berkurang.

Makanan di depan kami sudah hampir habis saat jam menunjukkan hampir jam sebelas malam.
Gelas dan cangkir juga sudah kosong. Perut sudah kenyang dan cerita sudah hampir habis. Aku
berjalan menuju dapur untuk mengambil sebotol jus lagi untuk mereka.

"Ruby," kata Nadya. "Aku senang karena kau akhirnya menikah dengan Eldath. Kau mungkin
tak tahu El, tapi sebenarnya ada banyak lelaki yang jatuh cinta padanya."

Aku tertawa. "Tentu saja." aku melihat Eldath yang tengah memandangku juga.

"Dia terlalu setia." kata Nevan. "Yang beruntung itu sebenarnya Eldath, bukan Ruby!"

"Jangan membela Ruby karena kalian sahabatnya." kata Eldath.

"Ruby, apa Eldath pernah membuatmu menangis?" tanya Nevan.

Aku mendadak berhenti mengeluarkan buah-buahan dari dalam kulkas dan menatap Nevan "Apa
maksudmu?"

"Apa pertanyaanya kurang jelas? Apa laki-laki ini pernah membuatmu menangis setelah kalian
menikah?"

Aku menelan ludah, melirik Eldath sekilas. "Um, tentu saja."

"Apa?" seru Nadya. "Apa kau bilang?"

Aku tersenyum "Tentu saja, aku terlalu bahagia sampai kadang aku menangis sendiri."

"Oh man!"seru Eric.

Eldath tersenyum getir. Aku segera memasukkan setengah kepalaku dalam kulkas dan merutuki
mereka. Setelah itu, barulah aku membawakan buah yang siap makan. Nevan segera menyambar
apel.
"Aku mau istriku juga akan menangis bahagia karena menikah dengaku. Bagimana menurutmu,
Sha?" dia melihat Tasha.

Ruang TV kami tiba-tiba bergemuruh mendengar kalimat itu. Nevan hanya tersenyum simpul,
dengan sorot mata tak lepas ke Tasha. Eric yang duduk di dekat Nevan mendorong bahunya
pelan.

"Nevan!" ujar Tasha pelan. "Kau ini apa-apaan?" Tasha melempar kacang almond ke arah Nevan
yang disambut dengan tawa puas Nevan.

"Aku memberimu waktu untuk berpikir "

"Nevan!" seru kami tak menyangka dia akan serius dengan perkataannya itu.

Tasha yang duduk di sebelahku lalu berdiri dan memeluk Nevan. Nevan tak bisa menahan
tawanya di depan kami.

"Lihatlah Nevan!" kata Eric. "Kayaknya dia sengaja bikin acara ini deh,"

"Aku setuju." Eldath setuju. "Dia memang selalu oportunis."

Tasha melerai pelukannya lalu duduk di sebelah Nevan. Merangkulkan tangannya di lengan
Nevan sambil tersenyum malu-malu.

"Kalian malah bikin kita iri," kata Nadya. "Hon..." katanya pada Eric yang duduk jauh
dengannya.

Eric lalu menyenggol pinggang Eldath "Kau bisa pindah?"

Skak!

"What? Hei!" seru Eldath. "Apa-apaan kalian ini? Apa kalian tak sadar ini rumahku?" tanya
Eldath yang akhirnya berdiri juga, memberikan tempatnya untuk Nadya.

Dia duduk di sebelahku sekarang "Aku ingatkan, hanya aku dan Ruby yang sudah sah di sini"
dia menunjuk Nevan dan Eric. "Jangan mesum!"
"Ayolah, Man!" kata Nevan. Matanya menatap Eldath, lalu pindah ke meja. "Oh!" serunya tiba-
tiba.

Kami menunggunya. Dia kelihatan ingin melakukan sesuatu dengan spaghetti yang masih tersisa
sedikit. Dia mengambil garpu dan memisahkan beberapa spaghetti.

"Ayo kita mainkan ini. Siapa yang sisa spaghettinya paling pendek menang," katanya.

"Huh?" Eldath melihatnya tajam. "Nevan!"

"Yang kalah cuci piring," kata Nevan. "Gimana?"

"Oh, makan ini doang kan? Berdua gitu?" kata Nadya. "Yaelah, nggak ada yang kalah dong.
Pasti habis semua!" dia tertawa sendiri.

NO! Ini ide buruk! What the hell? Aku melihat Eldath yang tampak biasa saja. No. terakhir aku
melakukan hal bodoh seperti ini- mencium Eldath karena provokasi- aku berakhir hancur lebur.
Aku tak mau lagi! Ini semua hanya membawaku pada kejadian malam itu. Dan aku menampar
Eldath malam itu!

"Siapa yang duluan?" tanya Nevan. "Aku aja kali ya?" dia melihat Tasha. Cewek itu
menggeleng.

"Tunggu, siapa bilang kita setuju main ini?" tanyaku tiba-tiba.

"Eh?" kata Nevan. "Ada yang nggak setuju selain Ruby?" dia melihat yang lain. Sialnya, hanya
aku yang menolak permianan konyol ini.

"See? Semua setuju!" dia mengangkat dua bahunya. "Kalian duluan kalau begitu." katanya.

"Kita aja duluan," Nadya dengan senang hati menjadi sukarelawan pertama.

Aku menatap Nadya sambil menggeleng. Dia tersenyum padaku dan memilih spaghetti untuknya
dan Eric.

"Oke, sudah siap."

"Eldath," kataku.
"Mereka hanya akan berakhir dengan ciuman," katanya santai.

Perlahan, spaghetti itu makin pendek dan suara Nevan makin kencang seperti komentator sepak
bola. Dan begitu sudah hampir habis, seperti tahu apa yang akan terjadi, Nadya menutup
matanya. Hal itu memang tak bisa dihindari lagi. Eric mencium bibir Nadya di depan kami.

"Wow," seru Nevan. "Udah cukup, udah." dia menarik tubuh Eric. "Oke, kelihatan banget nggak
ada sisanya!"

Eric tertawa, dia mengelap bibir Nadya sekilas lalu bertepuk tangan untuk dirinya sendiri. Ini
buruk!

"Oke, silahkan tuan rumah!" kata Nevan. "Dipilih."

"Kau saja yang duluan." kata Eldath.

Nevan mengangkat alisnya "Oke, karena ini kemauanmu, kami duluan." kata Nevan yang
langsung memilih spaghetti dan memasukkan sedikit ujungnya dalam mulut. Tasha tertawa dulu
sebelum mengambil ujung satunya lagi.

"Satu.. dua.. tiga!" seru Nadya. "Woaah Nevan, santai aja!"

Nevan berhenti di tengah, membiarkan Tasha yang memakan spaghettinya. Namun, melihat
Nevan yang berhenti, cewek itu juga ikutan berhenti dan memandang Nevan heran. Kesempatan
inilah yang digunakan Nevan untuk cepat melahap spaghettinya sehingga Tasha kaget saat bibir
Nevan tahu-tahu sudah menempel di bibirnya. Tangan Nevan memegang wajah Tasha dan
mereka berciuman lebih lama dari Nadya tadi.

Ciuman mereka baru berhenti saat Eldath mengetokkan garpu ke pinggir gelas. Mereka menoleh
dan tersenyum "Thank you," kata Nevan.

"Kelihatan deh sudah berapa lama nahannya," kata Eric. "Oke, giliran kalian. Yang kalah cuci
piring ya!"

Eldath menatapku. Harus aku akui jantungku sedang berdetak tak karuan sekarang. Dia
mengulurkan ujung spaghetti itu ke mulutku dengan sendok. Aku tak bisa melakukan ini!
Aku menarik nafas panjang dan akhirnya memasukkan spaghetti itu dalam mulut. Eldath
tersenyum sebentar, setelah Nevan mengucapkan kata tiga, yang artinya kami bisa mulai. Aku
menggigit sedikit spaghettiku dan tepat di depanku, Eldath yang tenang saja. Saat wajah Eldath
makin dekat dan nafasnya mulai bisa kurasakan, aku menggeleng dan melepaskan spaghetti itu
dari mulutku.

"Biar aku yang cuci piring," kataku.

Eldath akhirnya menghabiskan spaghetti yang tak kurang dari satu senti itu.

"Mana mungkin kami nyuruh kalian nyuci piring," tambah Eldath. "Kalian menyiapkan semua
ini."

Namun, suasana tiba-tiba berubah gara-gara ini. Tampang mereka kelihatan tidak enak sekarang.

"Aku nggak bisa nahan diri kalau udah nyium Ruby," kata Eldath. "Jadi, kayaknya dia takut aku
bakal menyerangnya."

"Kelihatan sih," kata Eric.

Eldath tertawa lalu merangkul bahuku "Sudah sejauh apa persiapan pernikahan kalian, Ric?" dia
mencoba mengalihakan perhatian semua orang.

Eric tersenyum "Sudah 80%." katanya.

"Bagus sekali."

Kemudian, Nevan mengacaukan semuanya. Dia berdiri dan melihat jam tangannya "Sudah jam
setengah dua belas," katanya. "Sebaikanya kita pulang aja deh."

"Yah, bukannya tadi mau sampe pagi?" kata Nadya.

"Tasha harus pulang." kata Nevan. Dia berdiri dan mengangkat piring ke dapur. Aku
membantunya membereskan sampah dan semua yang berserakan di meja.

Atmosfer memang tak bisa di kembalikan lagi seperti semula. Mungkin bukan hanya Nevan,
semua orang bisa marasakannya. Aku menghela nafas. "Tingalkan saja." kataku.
"Tentu saja, By. Kau kalah, kau yang cuci. Aku hanya membantumu membereskan ini," kata
Nadya.

Aku menggigit lidahku. Menunggui mereka bersiap pulang, hanya Nevan yang sama sekali tidak
bersuara. Dia hanya tersenyum sinis padaku juga Eldath. Aku dan Eldath mengantar mereka
sampai ke depan lift. "Makasih. Party yang luar biasa." ujar Eldath.

"Hm, kalau kalian tak mengacau!" sindir Nevan.

Lengan Eldath yang berada di pinggangku menegang. Aku tersenyum. "Hati-hati," kataku. "Lain
kali akan aku udang kalian secara resmi."

"Bye-bye," kata Tasha tepat sebelum dua pintu dari kiri dan kanan menutup dan mereka hilang.

"Nevan itu! Harus aku apakan dia!" seru Eldath.

+++
39. Late Night Conversation

Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam saat ini. Kenapa sampai sekarang Eldath belum
menjemputku juga? Aku uring-uringan di kamar sendirian. Aku mengambil ponselku, tak ada
apa-apa di sana. Aku bangkit dan berjalan menuju lemari, mengeluarkan tas dan pakaian yang
aku bawa. Bersiap-siap saja dulu.

“Hai” sapa suara saat pintu kamar terbuka

Aku sontak menoleh. Eldath berdiri di dekat pintu, tersenyum ke arahku “Kau baik?”

Aku mengangguk. Akhirnya yang aku tunggu datang juga. Dia tampak lelah setelah seharian
bekerja. Lengan kemejanya sudah di gulung sampai kesiku, dan rambutnya acak-acakan. Aku
bertaruh ini adalah kesalahannya lantaran sering menunda pekerjaannya.

“Aku akan keluar setelah membereskan ini” kataku tanpa melihatnya. Oke, aktingku sudah
makin baik sekarang.

“Aku akan menemui Mom dulu”

Eldath lalu berbalik dan menutup pintu. Setelah dia keluar, aku tertawa pelan. Tawa
kemenangan, juga kebahagian karena dia sudah datang. Cepat aku bereskan semuanya dan
segera mematut diri di depan cermin. Memperbaiki penampilanku. Mungkin saja Eldath akan
mengajakku pergi sebelum pulang nanti. Walaupun sebenarnya terlalu indah jika jadi kenyataan.

Aku meletakkan tas di kursi dan melongo ke arah kamar Mom diatas. Karena ingin membiarkan
mereka saja, aku duduk di depan TV, menunggu Eldath turun. Tak lama, dia keluar bersama
Faron. Eldath berjalan duluan, disusul kemudian Faron. Keduanya melangkah cepat ke halaman
belakang dengan wajah yang sama sekali tak menampakkan raut bahagia bertemu kembali. Aku
mengerutkan dahi. Ada apa dengan mereka?

Aku merasa penasaran juga cemas di tempat dudukku sekarang. Hanya saja, tak ada yang bisa
kulakukan sekarang. Apa yang mereka bicarakan? Aku menunggu tak sabaran dan terus-terusan
melongo ke belakang. Mungkin saja terjadi hal-hal yang tidak diinginkan! Aku menghela nafas.
Pandanganku lalu pindah ke arah kamar Mom, mungkin saja beliau tahu apa yang terjadi? Argh,
kan aku penasaran.
Sekitar lima belas menit aku harus tersiksa dengan rasa penasaranku, akhirnya Eldath muncul.
Dia melihatku “Ayo pulang” perintahnya tegas seraya mengambil tasku.

“Pamitan ke Mom dulu”

“Sekarang!” perintahnya berlalu di depanku.

Aku melihat Faron tersenyum dan melambaikan tangan padaku. Aku membalasnya lalu cepat-
cepat mengikuti langkah Eldath ke luar. Mobil sudah hidup saat aku masuk.

“Apa yang terjadi?” tanyaku

“Nothing” katanya seraya menjalankan mobil ke luar dari halaman rumah Mom.

Aku diam saja, karena tahu dia sedang bad mood. Pasti ada hubungannya dengan Faron. Dia
baik-baik saja saat kami pertama bertemu tadi. Aku menghela nafas. Ya sudah, kalau dia sedang
tak mood, aku juga. Aku memalingkan wajahku ke jendela, mengamati jalanan malam minggu
yang padat seperti biasa.

“Eldath” kataku menatapnya “Apa yang terjadi padamu dan Faron?” aku sungguh penasaran.

“Nggak ada!” katanya

Aku mencebik “Kau mau langsung pulang ke rumah?” tanyaku. Ah, ada yang salah denganku.
Melihat Eldath seperti ini, aku jadi tidak tega pula. Dia seperti baru diberi vonis mati.

“Kita pulang saja ya” dia melihatku “Aku ingin bersamamu saja di rumah” katanya pelan.

Aku meliriknya sebentar. Hah, bisa-bisanya dia. Percayalah aku kalau dia memang playboy!

Kami sampai di rumah sejam kemudian. Eldath membawakan tas berisi pakaianku dan kami
berjalan bersisian menuju lift. Masih saling diam, kami menunggu pintu lift terbuka. Saat pintu
lift terbuka, aku kaget lantaran di depan pintu apartemen sudah ada yang menunggu kami. Aku
melihat Eldath, dia juga sama kagetnya denganku.

“Ah, akhirnya pulang juga!” seru Nadya saat melihat kami.

“Oh, hai” kataku canggung “Ada apa ini?” tanyaku sambil melangkah keluar lift diikuti Eldath.
“Housewarming party!!!” seru mereka berempat bersamaan. Ada pasangan Nadya-Eric, juga
Nevan dan Tasha. Tasha bahkan membawa sebuah tas karton berisi makanan sepertinya,
sedangkan Eric memegang sekotak karton besar jus jeruk.

“Siapa yang ngasih ijin?” tanya Eldath

Mereka semua saling pandang, lalu Nevan tertawa kecil. Dia maju beberapa langkah untuk
menonjok bahu Eldath pelan “Ini kejutan, nggak perlu ijin dari siapa-siapa” katanya. Nevan lalu
menatapku dan memberi kode.

“Um, ide bagus” kataku “Cuma Nevan yang pernah kesini sebelumnya. Ayo masuk. Ayo
silahkan Eric, kau juga Tasha” kataku sambil menekan beberapa digit angka dan pintu apartemen
terbuka. Aku membiarkan Eldath yang masih terpaku di tempatnya.

“Waah” seru Nadya begitu dia masuk ke dalam

“Please come in,” kataku seraya menghidupkan lampu semua ruangan di lantai bawah. Aku
berbalik menatap mereka “Selamat datang di rumah kami” aku melihat Eldath baru masuk,
tampangnya sudah baik-baik saja untungnya.

“Baiklah, kalian silahkan duduk dulu karena aku mau ganti pakaian” aku permisi dan menarik
Eldath bersamaku untuk naik ke kamar.

“Apa-apaan mereka?” tanya Eldath setelah aku menutup pintu kamar

“Hei, sudahlah. Lagian, kita yang nggak pernah ngundang mereka ke sini” aku berjalan menuju
kamar wardrobe dan memilih pakaian ganti “Jangan pasang tampang seperti itu, Eldath”

Eldath mendesah “Aku bisa gila!” katanya. Dia membuka kemejanya dan melihatku “Apa?”
tanyanya.

Aku menelan ludah “Mereka teman kita!”

Dia mengangguk “Cepatlah ganti pakaianmu” perintahnya


Aku mengerutkan dahi. Sialan, keadaan ini membuat aku mengingat kejadian ‘nyaris’ itu lagi.
Cepat aku masuk ke kamar mandi dan berganti pakaian disana. Saat aku keluar, Eldath sudah tak
ada.

Apartemen mendadak ramai karena kehadiran empat orang ini. Eldath dan Eric, berada di depan
TV, bermain PlayStation. Sedangkan aku, Nadya, Nevan dan Tasha berada di dapur, memasak.
Karena diantara kami para perempuan tak ada yang benar-benar bisa masak, maka Nevan adalah
juru masaknya disini. Dia sedang merebus spaghetti, sedang kami membuat makanan
pendamping.

“Kalian dari mana? Bawa-bawa tas segala?” tanya Nadya

“Aku menginap di rumah Mamanya Eldath, baru pulang”

“Huh? Kenapa kau menginap disana?”

“Mamanya sedang sakit”

“Kita datang disaat yang salah, Van!” kata Nadya “Mereka pasti ingin berduaan saja malam ini”

“Kalian kenapa nggak bilang dulu sih? Sudah berapa lama kalian nunggu di depan tadi?”

“Namanya juga kejutan, mana bilang-bilang” jawab Nadya “Rasanya ada deh dua puluh menit.
Sebenarnya kalo kau nggak muncul tadi itu, kami mau pulang aja. Mau party berempat aja!”

Aku menggeleng. Kami menyiapkan spaghetti, ayam yang dimasak dengan keju parmesan, salad
sayuran, serta berjenis kacang-kacangan yang dipanggang oleh Nevan. Wah, dia memang pinter
banget deh. Setelah semuanya siap, tugas Eldath dan Eric yang membawanya ke ruang nonton.
Aku bersama Tasha menyiapkan minuman, sedangkan Nadya dan Nevan sudah bergabung
dengan dua yang lain.

“Ini minumannya” seru Tasha meletakkan gelas-gelas dan botol sirup ke atas meja. Meja yang
selama ini terasa besar bagiku, kini tampak begitu kecil karena sudah tak muat lagi untuk
meletakkan piring makan.

“Ehm” Eric berdehem “Ini ide Nevan sebenarnya. Terus kami semua setuju karena ini pertama
kalinya kita bertemu lagi setelah pesta pernikan kalian”
“Terima kasih” kata Eldath “Aku minta maaf nggak pernah mikirin acara ini sebelumnya” dia
melihatku.

“Kalau begitu mari makan” seru Nevan.

Suasana seperti ini sangat menyenangkan. Lain kali kegiatan ini harus dilakukan di luar rumah.
Kami harus piknik berenam, wah. Membayangkannya saja sepertinya asik. Ada banyak cerita
yang baru aku dengar malam ini lantaran waktuku berkumpul dengan mereka sudah berkurang.

Makanan di depan kami sudah hampir habis saat jam menunjukkan hampir jam sebelas malam.
Gelas dan cangkir juga sudah kosong. Perut sudah kenyang dan cerita sudah hampir habis. Aku
berjalan menuju dapur untuk mengambil sebotol jus lagi untuk mereka.

“Ruby” kata Nadya “Aku senang karena kau akhirnya menikah dengan Eldath. Kau mungkin tak
tahu El, tapi sebenarnya ada banyak lelaki yang jatuh cinta padanya”

Aku tertawa “Tentu saja”aku melihat Eldath yang tengah memandangku juga

“Dia terlalu setia” kata Nevan “Yang beruntung itu sebenarnya Eldath, bukan Ruby”

“Jangan membela Ruby karena kalian sahabatnya” kata Eldath

“Ruby, apa Eldath pernah membuatmu menangis?” tanya Nevan

Aku mendadak berhenti mengeluarkan buah-buahan dari dalam kulkas dan menatap Nevan “Apa
maksudmu?”

“Apa pertanyaanya kurang jelas? Apa laki-laki ini pernah membuatmu menangis setelah kalian
menikah?”

Aku menelan ludah, melirik Eldath sekilas “Um tentu saja”

“APA?” seru Nadya “Apa kau bilang?”

Aku tersenyum “Tentu saja, aku terlalu bahagia sampai kadang aku menangis sendiri”

“Oh Man!”seru Eric


Eldath tersenyum getir. Aku segera memasukkan setengah kepalaku dalam kulkas dan merutuki
mereka disana. Setelah itu, barulah aku membawakan buah yang siap makan. Nevan segera
menyambar apel.

“Aku mau istriku juga akan menangis bahagia karena menikah dengaku. Bagimana menurutmu,
Sha?” dia melihat Tasha

“Apa kau baru saja melamarnya, Sialan?” tanya Eldath

Ruang TV kami tiba-tiba bergemuruh mendengar perkataan Eldath. Nevan hanya tersenyum
simpul, dengan sorot mata tak lepas ke Tasha. Eric yang duduk di dekat Nevan mendorong
bahunya pelan.

“Nevan!” ujar Tasha pelan “Kau ini apa-apaan?” Tasha melempar kacang almond ke arah Nevan
yang disambut dengan tawa puas Nevan.

“Aku memberimu waktu untuk berpikir”

“NEVAN!!!” seru kami, tak menyangka dia akan serius dengan perkataannya itu.

Tasha yang duduk disebelahku lalu berdiri dan memeluk Nevan. Nevan tak bisa menahan
tawanya di depan kami.

“Lihatlah Nevan!” kata Eric “Kayaknya dia sengaja bikin acara ini deh”

“Aku setuju” Eldath setuju “Dia memang selalu oportunis”

Tasha melerai pelukannya lalu duduk disebelah Nevan. Merangkulkan tangannya di lengan
Nevan sambil tersenyum malu-malu.

“Kalian malah bikin kita iri” kata Nadya “Hun...” katanya pada Eric yang duduk jauh dengannya.

Eric lalu menyenggol pinggang Eldath “Kau bisa pindah?”

Skak!

“What? Hei!” seru Eldath “Apa-apaan kalian ini? Apa kalian tak sadar ini rumahku?” tanya
Eldath yang kini akhirnya berdiri juga, memberikan tempatnya untuk Nadya.
Dia duduk di sebelahku sekarang “Aku ingatkan, hanya aku dan Ruby yang sudah sah disini” dia
menunjuk Nevan dan Eric “Jangan mesum!”

“Ayolah, Man!” kata Nevan. Matanya menatap Eldath, lalu pindah ke meja “OH!” serunya tiba-
tiba.

Kami menunggunya. Dia kelihatan ingin melakukan sesuatu dengan spaghetti yang masih tersisa
sedikit. Dia mengambil garpu dan memisahkan beberapa spaghetti.

“Ayo kita mainkan ini. Siapa yang sisa spaghettinya paling pendek menang” katanya

“Huh?” Eldath melihatnya tajam “Nevan!”

“Yang kalah cuci piring” kata Nevan “Gimana?”

“Oh, makan ini doang kan? Berdua gitu?” kata Nadya “Ya elah, nggak ada yang kalah dong.
Pasti habis semua!” dia tertawa sendiri.

NO! Ini ide buruk!

“Cookie stick games, yang diganti jadi spaghetti games!” kata Nevan “Nih spaghettinya udah
aku pilih!”

What the hell??! Aku melihat Eldath yang tampak biasa saja. No. terakhir aku melakukan hal
bodoh seperti ini- mencium Eldath karena provokasi- aku berakhir hancur lebur. Aku tak mau
lagi! Ini semua hanya membawaku pada kejadian malam itu. Dan aku menampar Eldath malam
itu!

“Siapa yang duluan?” tanya Nevan “Aku aja kali ya?” dia melihat Tasha. Cewek itu menggeleng.

“Tunggu, siapa bilang kita setuju main ini?” tanyaku tiba-tiba

“Eh?” kata Nevan “Ada yang nggak setuju selain Ruby?” dia melihat yang lain. Sialnya hanya
aku yang menolak permianan konyol ini.

“See? Semua setuju!” dia mengangkat dua bahunya “Kalian duluan kalau begitu” katanya

“Kita aja duluan” Nadya dengan senang hati menjadi sukarelawan pertama
Aku menatap Nadya sambil menggeleng. Dia tersenyum padaku dan memilih spaghetti untuknya
dan Eric.

“Oke, sudah siap”

“Eldath,” kataku

“Mereka hanya akan berakhir dengan ciuman” katanya santai

“Oke, satu, dua, tiga!”

Perlahan spaghetti itu makin pendek dan suara Nevan makin kencang seperti komentator sepak
bola. Dan begitu sudah hampir habis, seperti tahu apa yang akan terjadi, Nadya menutup
matanya. Hal itu memang tak bisa dihindari lagi. Eric mencium bibir Nadya di depan kami.

“Wow” seru Nevan “Udah cukup, udah” dia menarik tubuh Eric “Oke, kelihatan banget nggak
ada sisanya”

Eric tertawa, dia mengelap bibir Nadya sekilas lalu bertepuk tangan untuk dirinya sendiri. ini
buruk!

“Oke, silahkan tuan rumah!” kata Nevan “Dipilih”

“Kau saja yang duluan” kata Eldath

Nevan mengangkat alisnya “Oke, karena ini kemauanmu, kami duluan” kata Nevan yang
langsung memilih spaghetti dan memasukkan sedikit ujungnya dalam mulut. Tasha tertawa dulu
sebelum mengambil ujung satunya lagi

“Satu.. Dua.. Tiga!” seru Nadya “Woaah Nevan, santai aja!!”

Nevan berhenti di tengah, membiarkan Tasha yang memakan spaghettinya. Namun, melihat
Nevan yang berhenti, cewek itu juga ikutan berhenti dan memandang Nevan heran. Kesempatan
inilah yang digunakan Nevan untuk cepat melahap spaghettinya sehingga Tasha kaget saat bibir
Nevan tahu-tahu sudah menempel di bibirnya. Tangan Nevan memegang wajah Tasha dan
mereka berciuman lebih lama dari Nadya tadi.
Ciuman mereka baru berhenti saat Eldath mengetokkan garpu ke pinggir gelas. Mereka menoleh
dan tersenyum “Thank you” kata Nevan

“Kelihatan deh sudah berapa lama nahannya” kata Eric “Oke, giliran kalian. Yang kalah cuci
piring ya!”

Eldath menatapku. Harus aku akui jantungku sedang berdetak tak karuan sekarang. Dia
mengulurkan ujung spaghetti itu ke mulutku dengan sendok. Aku tak bisa melakukan ini!

“Ayo By!” seru Nadya

Aku menarik nafas panjang dan akhirnya memasukkan spaghetti itu dalam mulut. Eldath
tersenyum sebentar setelah Nevan mengucapkan kata tiga, yang artinya kami bisa mulai. Aku
menggigit sedikit spaghetti ku dan tepat di depanku, Eldath yang tenang saja. Saat wajah Eldath
makin dekat dan nafasnya mulai bisa kurasakan, aku menggeleng dan melepaskan spaghetti itu
dari mulutku.

“Oh”

Eldath akhirnya menghabiskan spaghetti yang tak kurang dari satu senti itu.

“Biar aku yang cuci piring” kataku.

“Mana mungkin kami nyuruh kalian nyuci piring” tambah Eldath “Kalian menyiapkan semua
ini”

Namun suasana tiba-tiba berubah gara-gara ini. Tampang mereka kelihatan tidak enak sekarang.

Hening.

“Aku nggak bisa nahan diri kalau udah nyium Ruby” kata Eldath “Jadi, kayaknya dia takut aku
bakal menyerangnya”

“Kelihatan sih” kata Eric.

Eldath tertawa lalu merangkul bahuku “Sudah sejauh apa persiapan pernikahan kalian, Ric?” dia
mencoba mengalihakan perhatian semua orang.
Eric tersenyum “Sudah 80%” katanya

“Bagus sekali”

Kemudian, Nevan mengacaukan semuanya. Dia berdiri dan melihat jam tangannya “Sudah jam
setengah dua belas” katanya “Sebaikanya kita pulang aja deh”

“Yah, bukannya tadi mau sampe pagi” kata Nadya

“Tasha harus pulang” kata Nevan. Dia berdiri dan mengangkat piring ke dapur. Aku
membantunya membereskan sampah dan semua yang berserakan di meja.

Atmosfer memang tak bisa di kembalikan lagi seperti semula. Mungkin bukan hanya Nevan,
semua orang bisa marasakannya. Aku menghela nafas “Tingalkan saja” kataku

“Tentu saja, By. Kau kalah, kau yang cuci. Aku hanya membantumu membereskan ini” kata
Nadya.

Aku menggigit lidahku. Menunggui mereka bersiap pulang, hanya Nevan yang sama sekali tidak
bersuara. Dia hanya tersenyum sinis padaku juga Eldath. Aku dan Eldath mengantar mereka
sampai ke depan lift “Makasih. Party yang luar biasa” ujar Eldath.

“Hm, kalau kalian tak mengacau!” sindir Nevan

Lengan Eldath yang berada di pinggangku menegang. Aku tersenyum “Hati-hati” kataku “Lain
kali akan aku udang kalian secara resmi”

“Bye-bye” kata Tasha tepat sebelum dua pintu dari kiri dan kanan menutup dan mereka hilang.

“Nevan itu! Harus aku apakan dia!” seru Eldath

“Ayo masuk” kataku.

Aku baru selesai membereskan semuanya pada jam dua belas malam. Aku mematikan TV yang
dibiarkan Eldath menyala sejak tadi, juga lampu. Aku lelah sekali. Aku meregangkan badan
seraya naik ke kamar. Saat aku masuk, Eldath masih terjaga. Dia sedang bersandar di headboard
tempat tidur, membaca buku.
Dia pasti tak bisa tidur! Kebiasaan Eldath kalau tak bisa tidur, suka sekali membaca. Aku masuk
ke kamar mandi dan segera mandi air hangat. Setelah mandi yang tak sampai sepuluh menit, aku
selesai. Mengenakan piyama dan berjalan menuju tempat tidur

“Eldath, it’s fucking freezing” kataku sambil menyurukkan kakiku ke dalam selimut.

Eldath membuang nafas. Diletakkannya buku, dan dirangkulnya tubuhku yang memang masih
belum berbaring.

“Apa yang kau lakukan??” tanyaku sinis

“Kau bilang dingin” katanya, tanpa mempedulikan penolakanku menarikku lebih dalam ke
dekapannya. Setelah itu, dia menarik selimut menutupi semua tubuhku

“Is it better?” tanyanya pelan “Kau sudah lebih nyaman sekarang?” dia melihatku sekilas

“Apa-apaan kau?” aku masih sinis padanya.

“Please Ruby, aku bisa gila kalau kau menolakku sekarang” katanya pelan.

Aku menghela nafas, lalu akhirnya memperbaiki posisi tubuhku yang bersandar di dada Eldath
“Ada apa?” tanyaku

“Apanya?” dia mengusap kepalaku pelan.

Ah, ayolah Ruby, kau masih marah padanya! “Kenapa kau bisa gila?” tanyaku

“Aku..” dia mendesah pelan “Aku minta maaf”

“Hm?”

“Malam itu, aku benar-benar gila mengatakan itu padamu, Rue. Aku minta maaf!” aku bisa
merasa dia menghela nafas panjang “Kau pasti sangat sedih mendengarnya. Well, aku paham
kalau kau belum bisa menerima semuanya” dia mengangguk.

Belaiannya di kepalaku belum berhenti “Aku benar-benat menyesal. Aku minta maaf” dia
mengecup kepalaku.
Aku mengadah melihatnya “Eldath, aku benar-benar sedih waktu itu” kataku “Aku marah
padamu. Belum pernah aku semarah itu padamu, bahkan waktu kau bohong padaku waktu itu.
Ini terasa lebih menyakitkan” sekalian saja.

“Aku tahu”

“Aku tak tahu bagaimana aku bisa memaafkanmu”

“Ruby”

“Hah.. aku harap aku bisa marah padamu seperti keinginanku. Aku harap aku bisa setidaknya
meninggalkanmu lebih lama” aku tertawa pelan “Tapi kau lihat, aku sekarang berada sedekat ini
denganmu”

Dia tertawa kecil “Maaf”

“Aku hanya tak menyangka..”

“Sst!” kata Eldath “Please jangan diungkit lagi, Baby”

“Aku belum benar-benar memaafkanmu, Eldath” kataku

“Kelewatan kalau kau sudah tak marah lagi. Tapi hei, aku benar-benar ingin kau melupakan itu.
Aku sungguh tak bermaksud mengatakan itu padamu. Sungguh!” dia mengecup puncak kepalaku
“Tidurlah” katanya

“El,” aku melingkarkan tangan di perutnya “Bagimana perasaanmu bertemu Faron?”

“Hm?” dia membuang nafas “Tentu saja aku senang bertemu dengannya”

“Oh ya?” tanyaku “Kau pasti sangat merindukannya hingga marah padanya”

“Yah” kata Eldath sambil menggosok lenganku “You got me. Aku marah padanya, kenapa baru
datang sekarang”

“Ah, jangan bohong”

“Nanti saja aku beri tahu. Tidurlah sekarang, Rue”


“Apa cita-citamu dulu, El?”

“Ruby..” dia menarik selimut yang sudah turun dari tubuhku

“Apa? Aku tak pernah tahu apa cita-citamu”

“Hm, jadi pengusaha”

“Aku serius Eldath!”aku memukul perutnya “Maksudku, apa ini memang keinginanmu,
memimpin perusahaan Dad?”

“Tentu saja”

“El,, jawab yang sebenarnya. Faron adalah anak tertua, bukankah dia yang harusnya memimpin
perusahaan?”

“Kau meragukan aku, Sayang?”

“Bisakah kau berhenti memanggilku seperti itu?”

“Ini salah satu caraku membuktikan padamu, kalau aku benar-benar mencoba untuk hubungan
kita”

“Dan?”

“And it works!”

Aku tertawa, anggap saja seperti itu “Jadi, apa tadi?” aku berusaha mengingat dimana
pembicaraan kami “Oh, aku nggak meragukanmu hanya saja, dia lebih memilih menjadi chef
dan punya restoran sendiri di Florida” aku menarik nafas “Lalu Chester, dia juga meninggalkan
The Blocks, dan memilih jalur jasa liburan mewah dan sebagainya”

“So?”

“Apa sebenarnya yang ingin kau lakukan?”

“Aku ingin jadi pilot seperti Papa”


Aku sontak bangun dan melihatnya. Bola mata biru lembutnya menatapku, dia tersenyum. Aku
mengulurkan tanganku kebelakang kepalanya, memeluknya.

“Pertama aku melihat Papa waktu itu, dia sungguh terlihat sangat tampan dan hebat. Aku jadi
ingin seperti itu, tak tahu kenapa, rasanya aku ingin jadi pilot juga saat itu”

“Lalu?”

“Semuanya tidak terjadi,”

“Eldath”

Dia membenamkan kepalanya di bahuku “It’s alright now”

Aku mengusap kepalanya “Kau hebat, El, sungguh” kataku

Dia mengangkat kepalanyan menatapku tepat di manik mata. Dengan dua jarinya, dia
mengangkat cuping daguku dan didekatkan ke wajahnya. Matanya masih menatapku saat aku
menggigit bibir bawahku “El, I think it’s weird if you kiss me now!”

Dia berhenti “You think so?”

Aku mengangguk. Dia mengehela nafas dan melepaskan jarinya di daguku

“Sorry” katanya “I quit smoking, anyway” katanya

“Hm, I know” kataku sambil menepuk pipinya pelan “Bukan itu masalahnya” aku menggeleng

Dia membelai wajahku “Sini” katanya menyuruhku bersandar kembali padanya.

Aku menurutinya. Walau masih agak aneh, aku berusaha tak memperlihatkannya pada Eldath.
Aku tahu dia pasti juga merasa tak nyaman sekarang.

“Apa kau tahu kau sungguh membanggakan semua orang?”

“Hm, tentu saja. Lalu kau, apa cita-citamu?”

“Aku sudah mewujudkan cita-citaku. Aku ingin jadi arsitek, dan aku jadi aristek sekarang”

“Kau jadi sekretaris sekarang, bukan arsitek”


Aku mendengus “Aku tetap jadi arsitek disana, tau. Sekretaris hanya pekerjaan keduaku. Aku
adalah arsitek”

“Kalau begitu berhenti jadi sekretaris”

“Heh?” aku tertawa “Aku menyukai jadi sekretaris juga, jadi sepertinya aku akan melakukan
keduanya” kataku seraya menguap.

“See, kau mengantuk. Lebih baik kita tidur saja sekarang” usulku

“Sebentar lagi” tolakku “Lagian besok hari minggu”

Eldath berdecak “Apa kau tahu perusahaan tempat kau bekerja adalah perusahan keluargaku?”

“Tidak, aku tak tahu sampai kau jadi Presdirnya waktu itu”

“Kau benar-benar. Bagimana kau bisa masuk kesana?”

“Aku masukin lamaran. Interview dan terpilih”

“Apa kau suka pekerjaanmu sekarang?”

“Ya, aku suka. Apalagi aku tahu selama ini aku bekerja di perusahaanmu”

“Apa kau ingin pindah ke White Block?”

“Hm? Kenapa aku harus pindah?”

“Nggak kenapa-napa sih. Jadi apa yang sudah kau desain untuk The Blocks?”

Aku menguap lagi. Eldath lalu menepuk bahuku “Sudah, kita tidur saja. Kita punya banyak
waktu untuk melanjutkan ini besok”

“Yahh” aku hanya takut besok kita tidak akan merasa seperti ini lagi. Aku lalu mengangkat
tubuhku dan berbaring di ranjang sebegaimana mestinya.

Eldath lalu mengatur suhu ruangan agar aku bisa tidur dengan nyaman. Setelah memastikan aku
nyaman, dia mematikan lampu di dekatnya “Good night” katanya, yang sudah jadi samar-samar
di telingaku.
40. Meet The Ex

Eldath’s POV

Aku tahu dia masih marah, tentu saja. Bagaimanapun, hatinya pasti terluka saat aku katakan akan
meninggalkannya. Dia menungguku 13 tahun, setidakanya itu yang dia akui. Lantas, sekarang
kami bersama dan aku bilang akan meninggalkannnya malam itu, dia tidak waras kalau tidak
marah.

Aku memiringkan tubuhku, melihat wajahnya yang sedang tertidur. Sepertinya dia begitu lelah
hingga sinar matahari yang menimpa jendela di depan kami dan terpantul di wajah putihnya tak
terasa. Aku tersenyum, aku sadar mulai membutuhkan dia sekarang. Semuanya yang dia lakukan
untukku, entah dia sadar atau tidak memberi efek padaku.

Begini, aku benar-benar berterima kasih pada Ruby saat dia menjaga Mom selama dia sakit.
Terutama saat hari pertama Mom masuk rumah sakit. Aku kaget mendapatinya di rumah sakit
waktu itu. Dia merentangkan tangannya, memelukku setelah hatinya aku hancurkan malam
sebelumnya. Coba, siapa yang nggak terenyuh padanya? Astaga, begitu rasanya aku menyukai
wanita ini dulu.

Tubuhnya menggeliat pelan saat aku menyingkirkan rambut yang menutupi tepi wajahnya. Aku
mengangkat tanganku dari wajahnya dan kembali memandanginya. Namun, sepertinya dia sudah
mendapatkan kembali nyawanya pagi ini. Dia menggeliat lagi dan membuka matanya perlahan.
Dia memandangi langit-langit kamar sambil mengucek matanya sebentar. Melakukan
peregangan tubuh minimalis dan kemudian menoleh ke arahku.

“Kau sudah bangun?” tanyanya sambil melihat jam “Pagi sekali” katanya

Aku mengangguk “Morning, Pretty” sapaku

Dia tersenyum lagi, lalu menepuk pipiku pelan “Pagi” balasnya.

Dia mengangkat tubuhnya untuk duduk. Menatap lurus ke jendela yang persis berada di depan
kami. Dimiringkannya kepala ke kiri dan kanan, lalu mengangkat dua tangannya ke atas. Persis
kebiasaan kebayakan orang saat bangun tidur. Namun, saat dia akan mengeluarkan tubuhnya dari
selimut, aku segera melingkarkan tangan dipinggangnya dan menarik tubuhnya kembali ke
tempat tidur. Ada keterkejutan di matanya.

Aku beranjak dan dalam satu kedipan mata, sudah berada di atasnya. Menahan tubuhku dengan
kedua lutut yang bertumpu di sisi tubuh Ruby

“What are you doing?” protesnya tak suka

Aku tak peduli. Dia mengayunkan tangannya berniat memukulku, namun aku menahan
keduanya. Meletakkannya di antara kepala Ruby dan menguncinya dengan tanganku sendiri. Dia
tak bisa lagi melindungi dirinya sekarang. Aku menyeringai.

“Jangan main-main!” dia memperingatkanku.

“Aku tahu” kataku, lalu menurunkan wajahku

“Eldath, aku masih marah padamu. Jangan lakukan ini!!!” serunya

Aku sengaja menghembuskan nafas di depan wajahnya, hingga dia menahan nafasnya beberapa
saat. Wajahnya begitu polos dan aku tak bisa menahannya lebih lama lagi. Aku mencium bibir
Ruby lembut. Pergelangan tangan Ruby menegang dalam jegalanku.

“Is it okay now?” tanyaku.

Dia menelan ludah, diam saja. Aku tersenyum, menekan tangannya dan dia mengangkat
kepalanya sendiri. Kini bibirnya yang berada di atas bibirku. Aku bisa melihat dia mencoba
mengikuti kepalaku saat aku melepaskan pagutannya. Namun dia tak berhasil. Dia menghela
nafas dan mendaratkan kepalanya kembali ke bantal setelah gagal menciumku.

“Are you okay with this?” tanyaku “Ruby?”

“Lepaskan aku!” katanya. Harga dirinya pasti terluka sekarang.

“Tongue or no tongue?” aku mengedipkan mata padanya

Dia menggeleng. Aku membuang muka untuk tertawa sebentar. Kami berciuman lagi. Lama dan
intim.
Oh shit, for heaven’s sake!

Namun, sesuai permintaan Ruby, kami berciuman secara ‘bersih’. Aku tak tahu kapan aku
melepaskan jegalanku di tangan Ruby, yang jelas kini ujung-ujung jarinya menjalar di dadaku
yang tak dilindungi sehelai benangpun. Namun, tiba-tiba dia menjauhkan wajahku dengan dua
tangannya. Aku melihatnya bingung, namun mata Ruby kini terfokus pada bintik-bintik kecil
berwarna kebiruan di lengan atasku.

“Eldath!” katanya. Dia menggeleng “Apa masih sakit?”

Itu adalah bekas gigitan Ruby yang masih belum hilang. Aku menggeleng “Tidak lagi” dia
mendorong tubuhku untuk bangkit dari atas tubuhnya. Aku menurutinya dan kami duduk
berhadapan sekarang. dia meraba bekas-bekas hasil tindakan primitifnya waktu itu.

“Sudah tak papa” kataku menarik tangannya dari lengan bagian atas.

“Ini mengerikan sekali” ujarnya

“Ini akan hilang sendiri” kataku. Tanganku membelai pipinya dan mendekatkan lagi wajahku
padanya. Bibirnya memang candu! Sialnya, belum sempat kami berciuman lagi, bel pintu
berbunyi.

Aku menoleh ke arah pintu kamar, lalu ke arah Ruby.

“Buka pintunya” katanya sambil mendorong tubuhku menjauh.

Aku menghela nafas, dan bunyi bel terdengar lagi. Aku menarik piyama di sisi tempat tidurku
dan mengenakannya seraya menuruni anak tangga.

Setelah tahu siapa yang menunggu di depan pintu, aku membukanya. Orang dari binatu.

“Siapa?” tanya Ruby saat aku kembali. Dia sudah berdiri depan pintu kamar

“Orang dari binatu” kataku sambil berjalan masuk ke kamar.

Setelah menyusunnya di lemari, aku turun menemui Ruby. Dia sudah stand-by di dapur,
memegang segelas air putih dan meneguknya. Aku duduk di stool depan meja panjang. Dia
mengangsurkan gelas berisi air putih padaku.
“Um, hari ini, biar aku yang bikin sarapan”

Dahi Ruby berkerut lalu dia tertawa “Ada apa denganmu?” tanyanya “Kau mau bikin sarapan?”

“Kau meremehkanku?” aku bangkit dari stool dan mendorongnya menjauh dari kulkas. Aku
menyuruhnya duduk di tempatku tadi.

“Sebelum menikah, aku tinggal sendirian kalau kau tak ingat!” aku mengeluarkan roti gandum
yang hanya tinggal tiga lembar. Kami kehabisan roti gandum karena acara tadi malam.

“Oh ya” seru Ruby “Dan kau hanya akan membuatkanku roti?” nada suaranya benar-benar
merendahkanku

Aku melipat tangan di depan dada “Apa kau tak mau?” tanyaku

Dia tertawa lagi “No, tentu aja aku mau!” dia berujar sambil mengambil roti yang baru
kukeluarkan dan memakannya

“RUBY!” seruku

“Oh, bagaimana ini, rotinya tinggal dua! Kau harus bikin sarapan lain deh,”

Aku tertawa sinis, lalu membuka kulkas. Tak banyak isinya, di mataku, aku hanya bisa
menemukan bahan-bahan untuk membuat omurice sederhana. Aku menggeleng.

“Apa yang bisa kau buat dengan ini?” aku meletakkan paprika, brokoli dan sosis dan dada ayam
di depan Ruby

Dia menggeleng “Aku sudah makan roti. Sudah kenyang!”

“Ayolah” kataku

“Entahlah” katanya

Aku lalu mencuci semua bahan itu dan menunjukkan bagaimana aku hidup sendirian selama ini.
Masalah sarapan begini saja. Hanya karena dia menghabiskan satu setengah roti gandum yang
rencananya mau aku jadikan menu sarapan, dia pikir aku akan menyerah?
Aku kemudian mengerok isi paprika dan mengisinya dengan dada ayam paling bawah, lalu
brokoli yang ku potong-potong dan terakhir adalah sosis. Merasa masih ada yang kurang, aku
menutupinya dengan tomat yang diiris tipis, lalu potongan keju sebagai penutup semuanya. Sip!
Tinggal di panggang beberapa menit saja.

Ruby tersenyum di depanku, kehilangan kata-katanya.

Aku membungkuk ke arahnya “Kau lihat?”

Bel pintu berbunyi bertepatan dengan dentingan dari oven. Aku menyuruh Ruby membuka pintu
sementara aku mengeluarkan masterpiece dari panggangan ini. Aku mendongak saat mendengar
suara yang paling tak mau aku dengar hari ini.

“Ngapain?” tanyanya

“Kau yang ngapain sepagi ini di rumah orang?”

“Nevan bilang handphonenya ketinggalan!” ujar Ruby “Kau letakkan dimana? Kau yakin
meninggalkannya disini, Van?”

Nevan mengecek apa yang aku lakukan, dan membiarakan Ruby yang mencari ponselnya.

“Hei, cari sana handphonemu!” seruku

“Wah, kelihatan enak, El” katanya

“Nevan, dimana kau letakkan?” seru Ruby yang tak berhasil menemukan ponsel Nevan yang
entah dimana.

“Aku mau cicip” katanya sambil berbalik dan mencari ponselnya. Aku memandangi mereka
sambil memindahkan paprika yang sudah berubah warna ini ke piring. Nevan beruntung karena
aku membuat empat porsi.

“Udah, biarian aja dia nyari sendiri” kataku

Ruby menurut, dia meninggalkan Nevan yang kini mengubek-ubek cushion di atas sofa.
“Woah, look so delicious” dia duduk di depanku dan mengambil garpu untuk membelah
paprikanya.

“Sudah ketemu?” tanya Ruby saat Nevan bergabung dengan kami

“Ntar aja, mana bagianku?” dia melihatku

“I swear I will kill you, Van!” kataku. Kusodorkan piring berisi paprika isi itu padanya dan dia
memberi hormat padaku

“Enak sekali, El” puji Ruby, dia tersenyum sambil mengunyah

“Oh ya?” aku ikut menikmati hasil jerih payahku

“Well, ini enak” kata Nevan

“Kau yakin handphonemu tertinggal disini? Kenapa tak kau ambil tadi malam saja?” tanya Ruby

Nevan berhenti mengunyah dan melihatnya “Tadi malam, keadaanya tidak baik” katanya, dia
melirikku sekilas “Dan sekarang sudah sangat baik!”

“Sudahlah” kataku. Aku bangun dari stool dan mengambilkan dua orang ini air putih.

“Makasih, El” kata Nevan. Dia sudah selesai dengan sarapannya sekarang dan kembali ke ruang
nonton melanjutkan pencarian handphoneya.

“Hei, apa yang akan kalian lakukan hari ini?” seru Nevan yang masih bolak-balik.

Aku melihat Ruby. Jujur saja, aku masih harus membereskan beberapa dokumen. Dia balas
melihatku dan menggeleng “Nggak ada” katanya “Um, oh kayaknya aku mesti belanja deh”

Aku mengangguk “Yes!”

“Hanya itu? dan kau El?” dia melihatku dengan tangan terlipat di depan dada

“Ada dokumen yang masih harus kuperiksa”

“Huh?” sela Ruby “Sekarang? Seharian ini?”

Aku mengangguk
“Kau tak mau menemaniku belanja?”

Aku mengangkat bahu “Kayaknya nggak bisa”

“No fun” kata Nevan “Ada yang bisa nelfon handponeku nggak sih? Kenapa aku kayak orang
bodoh gini, kan bisa di telfon” katanya

Dan saat itu juga kami sadar kalau ponsel Nevan bisa dihubungi, tak perlu nyari kayak orang
bodoh persis seperti yang dibilang Nevan. Ruby lalu beranjak ke kamar, mengambil ponselnya.
Suara dengungan pelan terdengar saat Ruby menghubungi nomor ponsel Nevan. Aku berusaha
mendekat, mencari dimana sumbernya, begitu juga Nevan.

“Ada?” tanya Ruby

“Telfon lagi, Babe” perintahku

Ruby lalu menghubungi nomor Nevan sekali lagi. Dengungan tanpa nada terdengar lagi.

“On silent” kata Nevan.

Aku melihatnya sambil mendengus, sementara Nevan hanya mengankat dua bahunya tak ingin
disalahkan. Aku berjalan kedekat sofa dan meraba bawah kakiku karena rasanya ada yang
bergetar di dekatnya. Aku berjongkok untuk melipat ujung karpet yang berada di bawah sofa,
dan disitulah benda mengenaskan itu bergetar.

“Masa nggak ketemu sih dari tadi?” tanyaku kesal “Dari tadi dia bolak-balik disini, masa nggak
ngerasa ada yang aneh!”

“Ponselnya kelewat tipis sih” kata Ruby

“Thank you, El” dia mengambil ponselnya dari tanganku. Dia lalu menghempaskan tubuhnya di
sebelah Ruby.

“Pulanglah” kataku sambil berbalik ke dapur.

“By, kau bilang mau belanja tadi, ayo aku anter” kata Nevan jelas mengabaikanku

Ruby mengagguk “Benar kau mau mengantarku? Aku bisa bawa mobil sendiri”
“Sama aku aja, sudah lama juga kita nggak ngedate. Dan kita biarkan dia kencan dengan
dokumen kesayangannya” dia mengawasiku “Lagian, aku nggak ada acara hari ini”

Ruby tertawa seraya memukul bahunya “Baiklah” katanya “Kita akan kencan hari ini”

“Apaan nih?” protesku

“Jangan posesif seperti itu” kata Nevan “Aku merindukannya, El” dia mengusap kepala Ruby
pelan

“What the..”

“Eldath” kata Ruby sambil tertawa “Sudahlah, Van!” kata Ruby

Nevan melihatku “Aku menghabiskan waktu dengannya lebih lama dibanding kau”

Aku meradang, apa maksudnya barusan. Apa dia mencoba memanas-manasiku “Apa maksudmu,
Van?” tanyaku tak senang

“Eldath, Eldath” kata Ruby “Kenapa kau serius sekali, dia hanya main-main”

Nevan menyunggingkan senyum tengilnya. Aku menatapnya marah, aku tak main-main
sekarang. Terserah kalau dia mau main-main.

“Aku akan siap-siap dulu” kata Ruby sambil berdiri

“Kau akan pergi dengan Nevan?”

“Ya” kata Ruby “Ayolah Eldath, dia hanya menggodamu. Jangan seperti itu” dia berlalu untuk
pergi kekamar.

Aku menelan ludah. Andai Ruby tahu kalau pria ini pernah jatuh cinta padanya, mungkin aku tak
seperti ini. Karena aku tahu dia pernah rela melakukan apa saja untuk Ruby, makanya aku nggak
santai.

Nevan menepuk bahuku “Santai aja”

Aku menepisnya “Jangan macam-macam” aku memperingatkannya.


“Jauhkan pikiran itu. Dia sahabatku, El!”

“Oh yes, dan dia istriku!” bentakku. Tak tahu juga kenapa aku tiba-tiba membentaknya seperti
barusan.

“Woah, ikut saja kalau begitu!”

“I’ll take avenge on you!” ancamnya

Nevan mengangkat bahunya tak peduli “Oh yeah, revenge is the sweetest. I’ll wait!” dia
menyeringai

Aku menelan ludah. Mungkin dia perlu lebih dari sekedar pukulan mentah seperti waktu itu.
He’ll pay this!

“Eldath!!!”

Aku bisa mendengar seruan Ruby begitu dia masuk ke rumah. Aku menghela nafas dan melihat
jam di meja kerja. Bagus sekali, dia baru pulang setelah tiga jam bersama Nevan diluar. Mereka
memang sengaja berlama-lama diluar sepertinya. Aku segera menyimpan file di laptop.

“Hei” sapa Ruby ketika dia membuka pintu.

“Pulang juga!” kataku menyindirnya.

Dia merengut “Yeah, kau pikir aku akan selamanya di luar? Waktunya makan siang” katanya.

Aku mengangguk lalu membereskan berkas di mejaku sebentar lalu keluar.

“Kau masih disini, Van?” seruku saat mendapati Nevan berada di dapur kami.

Dia menoleh. Ruby berjalan mendekatiku “Biar dia yang masak untuk kita” katanya

“Kenapa?”

“Dia yang mau,” kata Ruby

“Apa yang kau lakukan, Van? Apa yang kau inginkan?”


“Hei” kata Nevan “Santai saja, aku hanya ingin memasakkan sesuatu untuk kalian berdua. Jadi
kau diam dan duduk saja disana” dia menunujuk kursi di ruang makan.

Aku menghela nafas panjang dan melihat Ruby “Duduklah disana, ini tak akan lama” katanya
sambil membantu Nevan di dapur.

“Kalian lucu sekali” kataku. Aku memilih kembali ke ruang kerja daripada menunggui mereka
masak dan hanya diam saja.

Aku sungguh curiga apa maksud Nevan melakukan semua ini. Aku mengadah menatap langit-
langit sambil memutar bangkuku. Rasanya tak ada yang aneh. Well, aku tak tahu apa yang terjadi
pada mereka di luar tadi. Tak biasanya Nevan mau repot-repot masak untuk orang lain seperti
ini.

Aku nggak akan main-main sekarang. Dia hanya sahabat Ruby, nggak lebih dari itu.

“Man, sadarlah!” kataku merutuki diri sendiri

Aku meregangkan badanku di kursi lalu kembali mengurusi semua hal tentang kantor yang
masih tinggal sedikit lagi. Setengah jam kemudian, Ruby memanggilku untuk makan siang.

Nevan sudah duduk rapi di bangkunya, begitu juga Ruby. Aku menatap mereka bergantian.

“Ayo duduk” kata Ruby “Ini spesial dari Nevan untuk kita” dia girang

“Dalam rangka apa?” tanyaku. Aku masih penasaran apa tujuan Nevan melakukan semua ini.

“Just feel like to do it!” kata Nevan santai “Ayolah, berhenti bersikap apatis seperti ini”

Aku menarik bangku dan duduk di depan Ruby, sementara Nevan di sebelahnya. Ruby mengisi
piringku dengan masakan yang dibuat Nevan “Thank you” kataku. Aku menunduk, mengaduk-
ngaduk makananku dan memakannya sedikit

“Kau mau lagi, El? Kau tak suka masakannya?” Ruby bertanya

“I’m good” kataku

“What are you going to do about Gala, By?”


Seketika raut wajah Ruby menegang. Aku bisa melihat dia menatap Nevan dengan sebuah kode
di wajahnya. Mengernyitkan dahiku, aku tahu ada yang penting dari pertanyaan ini.

“Who is Gala?” tanyaku.

Ruby melihat Nevan lagi. Wajahnya benar-benar eskpresif sekarang. Kalau bisa aku artikan dia
sedang menyalahkan Nevan sekarang.

“Who is Gala?” ulangku

Ruby melihatku, sementara Nevan benar-benar pasang tampang inosen. Dia melihatku dan
tersenyum kecil.

“Nggak ada yang bisa jawab?” tanyaku “Siapa Gala?” sudah cukup mereka memainkan emosiku
dari tadi.

“A friend of mine” kata Ruby “Bukan siapa-siapa!”

Aku meletakkan sendokku dan mengelap mulutku. Dengan menahan sabar, aku meneguk air
putih sampai habis “Siapa dia? Kenapa dia bisa sampai di percakapan kalian barusan?”

“Kami baru saja bertemu dia tadi” kata Ruby, dia kelihatan gugup sekarang.

Nevan berdehem dia melihatku. Aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu “Dia pernah dijodohkan
dengan Ruby”

Aku menelan ludah.

“Nevan” gumam Ruby

“Anak didik Papa Ruby di maskapai. Oom Armand juga yang sebenarnya mengenalkan dan
menjodohkan mereka”

“Oh ya?” kataku sinis

“Sudahlah” kata Ruby “Jangan di bahas lagi”

“Dan kalian bertemu lagi tadi” selaku


“Makanya aku bertanya pada Ruby apa yang akan dilakukannya pada Gala, karena cowok itu
sepertinya masih mengira Ruby belum menikah”

“Kau tak bilang kau sudah menikah?” aku melihat Ruby “Wah”

“Bukannya kau yang ingin merahasiakan ini dari orang banyak?”

Aku mengangguk “Kau ingin berhubungan dengan dia lagi? Dengar, itu bukan masalah bagiku!”
aku mengepalkan tangan di sisi tubuhku “Aku tak peduli”

“Kami hanya teman. Aku sudah bilang itu dari dulu. Aku tak suka padanya”

“I don’t give a damn, really. Aku nggak mau tahu cerita masa lalumu, Rue!”

“Aku juga nggak akan menjelaskannya kalau kau tak mau tau!”

Aku melihat Nevan “Terima kasih, Van. You just messed up here!” aku berdiri, membanting
serbet ke meja dan pergi dari sana.

Oh ya, dia pernah dijodohkan dulu? Hah, ya tak mungkin dia sepolos itu selama ini!

Harusnya ini jadi salah satu pagi terbaikku. Setelah mengambil ciuman yang paling murni dari
Ruby, aku pikir aku akan menghabiskan hari Minggu ini bersamanya berudua. Kalau saja
bedebah bernama Nevan itu tak datang dan mengacaukan semuanya!

Aku bergegas masuk ke kamarku. Mengganti baju dengan kecepatan yang sebelumnya tak
pernah aku perkirakan. Siapa Gala? Apa hubungannya dengan Ruby, aku sungguh penasaran.
Dulu, saat awal aku bertemu dengan Ruby, perasaan seperti ini tak pernah mengangguku. Aku
tak peduli. Hanya saja, sekarang ini, aku merasa dia mulai memenuhi bagian hati, menyayat
pelan-pelan dan membuat irisan yang pedih. Aku mendengus sambil menarik jaket dari dalam
lemari. Aku bahkan ingin marah pada diriku sendiri saat membiarkan Ruby dan Nevan berduaan
saja sekarang.

Aku keluar dengan langkah cepat menuruni tangga


“Eldath Dirar!”seru Ruby sambil berjalan cepat menyebrangi dapur untuk mencegahku pergi.
Namun dia terlambat karena aku sudah membuka pintu saat dia berteriak menanyakan aku mau
kemana. Well, aku marah!

“Hai By”

Aku tersenyum “Ya, ada apa?”

“Aku mau bilang kalau hari ini aku akan pulang”

“Hari ini Faron?” tanyaku kaget “Serius?”

“Yah,”ujarnya “Well, aku ingin kau tahu kalau aku senang kau jadi bagian dari keluarga kami
sekarang”

“What are you talking about? It’s me who is grateful!” aku menghela nafas “Aku akan kesana
sekarang. Kau masih di rumah kan?”

“No, nggak usah” katanya “Kau tak perlu kemari. Kau pasti banyak kerjaan di kantor”

“Aku bisa ijin sebentar!”

“Oh ya, aku lupa kau kan istirnya Presdir!” dia mengolokku sekarang

“Bukan begitu, Faron!” kataku “Aku serius. Apa Eldath tahu kau pulang hari ini?”

“Yah, dia sudah ada disini” katanya “Dengar, kau benar-benar nggak perlu kemari”

“Baiklah” aku mengangguk “Aku akan menurut”

“Hei, thank you so much!”

“Oh, no. don’t mention that!”

“I mean really. Aku harusnya yang mengurus semua ini, disini. Hanya saja, aku tak bisa. Kau
tahu, Eldath punya tanggung jawab yang besar dan aku senang kau ada di belakangnya, By”

Aku terenyuh “Faron,”


“Jadi, terima kasih ini ada alasannya dan tak mungkin aku tak bilang ini padamu”

“I see”

“Aku ingin kau menjaga mereka untukku, By. Aku bisa mengadalkanmu. Terutama Eldath, dia
tak pernah sama lagi semenjak Dad pergi. Dia mungkin akan bertingkah, dia hanya minta
perhatian saja. Dia memang berubah sekarang. Tapi, aku tahu kau bisa mengendalikannya. Kau
tahu maksudku, kan?”

“Aku juga berharap seperti itu, kalau aku bisa mengendalikannya” aku tertawa “Hati-hati”

“Um” dia tertawa “Segera kabari kalau aku akan punya keponakan baru, oke?”

Aku tertawa “Yeah” kataku “Kau yang pertama aku beri tahu”

“Oh that’s a promise!”

“I cross my heart”

“Oke, kalau begitu aku pergi dulu, see you again, Dear!”

“Ah, aku ingin ada disana”

“Ruby, aku sayang padamu, kau adikku sekarang. Terima kasih banyak”

“Iya, sama-sama. Tenang saja, aku akan menjaga mereka. See you again”

“Bye” itulah kata terakhir yang Faron ucapkan sebelum dia menutup telponnya.

Aku mengusap wajahku. Faron benar-benar sebentar saja disini. Tak sampai seminggu malah.
Aku kaget saat pintu ruangan Jenda terbuka. Dia keluar dengan setelan lengkap.

“Bisa kita pergi sekarang?”

“Oh?” aku melihat jam. Sudah saatnya pergi untuk bertemu dengan panitia MakeUp Magazine.

“Apa yang kau pikirkan?” dia berdiri di depanku

“Umm nggak ada. Oke, ayo pergi” aku memasukkan agenda dalam tas segera menyusul Jenda
kea rah lift.
“Nanti kita langsung luch aja ya” kata Jenda saat pintu lift sudah menutup

“Well, terserah kau saja” kataku “Kenapa kau harus ikut rapat juga?”

“Mereka mengudangku. Hanya sekali ini saja, aku ingin tahu pesta seperti apa yang mereka
persiapkan sebenarnya” Jenda marapikan dasinya “Oh, sebenarnya aku malah ingin
menyuruhmu saja” dia tertawa

“Teganyanya kau!” tega benar dia kalau hanya aku. Bayangin aja rapat sama panitia ulang tahun
majalah itu, berarti rapat sama Emmy! Halo, what’s on earth gitu??

Kami segera menuju mobil yang sudah di siapkan di depan pintu. Sopir langsung menjalankan
mobil saat Jenda dan aku sudah di dalam.

Aku benar-benar tak siap bertemu dengan Emmy hari ini. sebenarnya aku bukan tidak siap, aku
tak ingin bertemu dengannya lagi. Fakta bahwa Eldath masih marah padaku sampai saat ini
makin membuat aku terasa kecil di matanya. aku menghembuskan nafas bagaimana Eldath bisa
mengacuhkanku sepanjang hari kemarin sampai pagi ini.

Dia bertingkah lagi, seperti biasa. Bahkan sekarang, dia bahkan bertambah irit dengan kata-
katanya. Dia membuat frustasi. Belum lagi saat dia memilih untuk tidur di ruang kerjanya tadi
malam. terlepas dari kenyataan kamipun tak akan melakukan apa-apa kalau tidur berdua, atau
kenyataan kalau dia kelelahan dan tidur disana.

“Ada apa?” tanya Jenda saat mobil telah berhenti di halaman parkir sebuah tempat makan

Aku melongo ke luar jendela sebentar “Tak apa. Kita sudah sampai?” tanyaku

“Itu bukti kalau kau sedang memikirkan sesuatu sekarang, Ruby” katanya “Ayo keluar” dia
membuka turun melalui pintu disebelahnya dan menungguku keluar.

Aku berjalan dibelakangnya dan menyapu seisi kafe ini, mencari sosok yang kukunal kalau boleh
ku bilang begitu. Jenda yang pertama kali menemukannya. Duduk di sudut kafe dengan seorang
wanita lain

“Sudah lama?” tanya Jenda saat tiba didekat Emmy dan temannya itu.
Emmy mendongak dan memberikan ciuman singkat di pipi Jenda. mereka memang teman
rupanya “Ini sekretarisku, Ruby. Dia akan banyak membantu dalam acara ini”

Aku mengulurkan tangan, menerima tangan Emmy yang sudah lebih dulu terjulur. Kami
bersamalan dan saling menyebutkan nama layaknya pertama kali bertemu “Aku Emmy, dan ini
dari bagian acara, Helen”

Dan aku senang kalau Emmy bertingkah dia baru mengenalku dan tak bersikap sok akrab. Aku
duduk di depan Helen dan memperhatikan penjelasannya tentang acara yang akan mereka
langsungkan kurang dari sebulan lagi. Helen sangat cerdas dan begitu mudah dalam
penyampaian maksudnya.

“Jadi akan ada pagelaran fashion show, talkshow tentang kecantikan dan pameran perrhiasan”
kata Jenda

“Ya, puncak acaranya adalah fashion show dan after party setelah itu” kata Helen “Semua
sponsor dan pihak yang terlibat sudah bersedia bergabung dalam acara ini. dan sebagai sponsor
terebesar dalam acara ini, The Golden Hotel tentu akan mendapat promosi lebih besar” dia
tersenyum

“Ya, aku sudah setuju” kata Jenda “Aku boleh siapa yang akan gabung dalam proyek fashion
show ini?”

Aku melihat Jenda, sebenarnya aku tak bisa mengalihkan perhatian dari Emmy. Meskipun
setenang itu, aku tahu ada banyak yang ingin dia bicarakan. Namun, dia menahannya. Matanya
secara berkala menghujamku dan aku tak main-main, kadang itu membuatku marah.

“Sekolah fashion Miguel akan ambil bagian, mereka akan meluluskan siswa angkatan ke
sepuluhnya dan memutuskan untuk memamerkan karya siswanya dalam acara ini”

“Kau tak perlu cemas, Jen. Orangku sudah mengurus semuanya dan hotelmu akan mendapatkan
keuntungan luar biasa. mereka bahkan sekarang sedang menghubungi Sir Brice Lohan untuk
memamerkan karya terbarunya disini”

“Sial, Sir Brice?” ulang Jenda


Aku menelan ludah. Mereka tak main-main. Brice Lohan adalah pemilik nama brand terkenal.
Butiknya tersebar di penjuru dunia, dan namanya sudah tak diragukan lagi dalam dunia fashion.
Aku sampai ngeri membayangkan dia akan bergabung dengan acara ini

“Makeup artist Levine Wart juga sudah dipastikan datang. Dia bersama Maria Susanto akan
menjadi speaker dalam acara talkshow”

Jenda tertawa dan dia mengangguk paham “Em, ini hanya ulang tahun ke 14, kenapa sebegini
heboh?”

“Jen, apa kau baru saja mempertanyakan reputasi majalah ini?”

“Tidak, tentu saja tidak”

“Oke, aku pikir semuanya sudah sepakat sekarang. aku sudah menandatangi proposalnya dan
akan segera menginfokannya ke hotel. Kalian bisa langsung menghubungi pihak Golden Hotel
setelah ini”

“Aku tahu akan selalu menyenangkan berbisnis denganmu, Jenda”

“Aku tahu, itu bakatku, Em!”

“Jadi rumor itu benar, aku mendengarnya”

“Apa?” tanyaku

Aku menyilangkan kakiku dibawah meja dan menatap Emmy. Saat ini, hanya ada aku berdua
dengan Emmy di meja ini. Jenda yang mendapat telepon panggilan sudah pergi sejak setengah
jam lalu. sedangkan Helen, pergi tak lama setelahnya. Well, aku juga sebenarnya tak tahu kenapa
masih ada disini. Bukannya menolak ajakan Emmy untuk ngobrol, aku malah mengiyakannya.

“Kalau hanya segelintir orang yang tahu kau menikah dengan Eldath”

“Lalu?”
“Dan Jenda adalah salah satu dari banyak orang yang tak tahu itu. Bagaimana bisa kau
merahasiakan ini darinya?” dia mencibir

Aku meremas jari yang berada di atas pahaku. Emmy begitu blak-blakan sekarang. Dia meneguk
espresso dari gelasnya.

“Bukan urusanmu” kataku galak

Dia tertawa pelan “Aku tahu alasan kau bersikap dingin padaku” dia menelitiku dan aku
memberikan pandangan tak senang “Karena aku dan Eldath pernah berhubungan, kan? Kau tak
suka kalau aku adalah mantan kekasih Eldath”

Sialan!

“Sampai sekarang aku masih tak menemukan alasan kenapa dia menikah denganmu!”

“Begitu?”

“Apa kau wanita itu?”

Aku mengernyitkan dahi, tak mengerti maksudnya.

Dia menghembuskan nafas “Walaupun aku dengan Eldath tak begitu lama bersama, aku tetap
pada fakta pernah ada dihatinya, By”

“Aku tak bisa menyangkal itu” aku tersenyum tipis “Dan kau juga harus lihat dia bersama siapa
sekarang. Dan mengenai alasan dia memutuskan menikah denganku, apakah aku harus
membeberkannya padamu? Aku pikir tidak!”

Dia nyengir “Aku akan senang mendengarnya, kalau kau tahu apa itu!”

Dia memancingku! Aku menggerakkan cengkir teh mintku tanpa berniat meminumnya “Aku tak
akan membicarakan masalah ini denganmu. Hanya agar kau tahu, aku cinta pertamanya”

Mata Emmy seketika membesar dan dia menggigit bibir bawahnya sekilas “Sudah berapa lama
itu?” dia tertawa
Oh, aku benci dia! Dia tak cocok denganku! “Cinta pertama, tak peduli selama apa akan tetap
ada disana. Apalagi untuk laki-laki! Lebih sulit bagi mereka melupakan cinta pertamanya. Dan
aku ingin kau berhenti mendekatinya!”

“Me? Come on! Apa aku terlihat mengiba padanya untuk kembali mendekatiku? Ayolah”

Damn it!

“Aku memperingatkanmu, Emmy! Aku tak suka padamu, apalagi kau dekat dengan Eldath dan
masih berhubungan dengannya!”

Mimpi saja kau!

“Ow, kau protektif sekali. Pria tak suka punya wanita yang seperti itu!”

“Kau tak mengenalnya dengan baik kalau begitu!”

Oh aku mengenainya. Dia tersentak dengan jawabanku barusan dan kini mencoba menutupinya
dengan seringai tipis.

“Apa kau mengenalnya sangat baik, begitu?”

Aku mengernyit

“Apa kau mengenalnya dengan baik? Karena dia begitu penuh dengan rahasia, By. Apa kau tahu
apa yang dia suka dan tidak dia suka? Apa kau tahu perasaannya sekarang? Apa kau pikir kau
bisa memiliki dia seutuhnya?”

SHIT!

“Itu bukan urusanmu, Em, kau tak perlu tahu. Tentu saja aku tahu apa yang dia suka atau tak
suka, kau pikir aku baru mengenalnya? Aku tahu kebiasaanya dari dulu dan kau tak usah sok
mengguruiku, Cantik!“

“Ya, bukan salah Eldath kalau dia begitu menarik bagi lawan jenisnya. Kau tahu ada berapa
pacar Eldath sebelum dia menikah denganmu?” dia tertawa kecil “Kau pasti tak tahu!”

“Aku tak butuh tahu itu! Dan bisakah kita berhenti membahas ini?”
“Kau tahu waktu dia ke Tokyo waktu itu? Kami bertemu disana”

Mana mungkin aku lupa waktu itu! Ya, gara-gara kau bulan madu itu berantakan!! “Aku tahu,
dia memberitahuku” dustaku sambil berlagak cool.

Dia menarik cuping hidungnya, pasti mengira aku akan terkejut tadi “Kami masih berhubungan
baik sampai sekarang. Karena aku tahu dia masih mencintaiku” oh, aku baru saja merasa
tertampar oleh kata-kata yang meluncur dari mulut Emmy barusan.

“Apa-apaan kau, Em??!” seruku. Aku tahu dia bisa melihat kilatan marah di mataku.

“Aku memutuskannnya dan dia kacau. Aku punya kekasih baru dan dia memilih menikah
denganmu. Apa kau pikir itu masuk akal?” dia menyelipkan rambut ke belakang telinga “Apa
kau tahu alasan Eldath tiba-tiba mau menikah denganmu, Cantik?”

Mulut Emmy benar-benar berbisa. Aku tak bisa membayangkan bagimana Eldath bisa jatuh cinta
pada wanita ular ini. Dia begitu mengerikan. Dan ya, aku masih tak tahu benar apa alasan Eldath
menikah denganku. Aku tak mau menanyakannya lagi!

“Kau hanya cemburu karena bukan dia, tapi kau yang masih mencintainya! Kau membuatku
jijik, Em! Berhentilah mengejarnya karena dia nggak akan kembali padamu. Aku kasihan pada
kekasihmu sekarang!” aku tak percaya mengatakan kalimat itu padanya.

“Kau mau tahu kenapa aku putus dengannya?” dia mengangkat alisnya “Karena aku bersikap
protektif padanya. Tak ingin melepaskannya sebentar saja!”

Aku menarik nafas “Aku senang dia berubah setelah putus darimu. Aku harus bilang terima
kasih kalau begitu, Emmy!” aku menikmati perubahan air mukanya sekarang “Dengar, aku tak
suka membicarakan suamiku denganmu! Tidak bahkan tentang kabarnya hari ini! Persetan
dengan hubungan yang kalian pernah punya. Itu sudah lewat dan aku tak peduli! Dia sedang
menuju masa depannya sekarang, dan ada aku ada di masa depannya!”

Aku mengambil tasku dan berdiri.

“Aku baru tahu kalau inilah dirimu, By” dia tertawa “Aku ingin kau membantuku untuk
acaraku!”
“Tenang saja, aku professional!” kataku mantap “Aku duluan, senang ngobrol denganmu!”

“So you are the one!” gumamnya pelan, namun aku masih bisa mendengar “Hati-hati!” serunya

Huh, dia pikir dia siapa?!!! Dia pikir aku tak mengeal Eldath? aku menghembuskan nafas. Ya
ada beberapa dalam diri Eldath yang terasa asing memang!

Aku benci ngobrol dengan Emmy, benci sekali. Aku baru tahu kalau begitulah sifat aslinya. Hal
diatas itu semua, aku merasa bangga dia melihatku bukan sebagai istri yang lemah. Namun,
perkataannya cukup mengangguku juga, aku tak tahu alasan Eldath menikah denganku! Sialan!

+++
41. Missing You

Sore itu, aku langsung pulang tanpa mau balik ke kantor lagi. Aku bahkan dengan sangat
menyesal mengatakan pada Jenda kalau aku tak bisa datang menghadiri agenda traktirannya
malam ini. Aku ingin sendiri, di rumah dan tak memikirkan apa-apa. Kalau bisa, aku ingin
bersama Eldath. Tapi, sampai malam larutpun dia tak kunjung pulang.

Aku melangkah dalam ruang kerjanya, memeriksa beberapa dokumen yang tertata di mejanya.
Semua urusan The Blocks, ada proposal kerja sama, laporan pertanggangung jawaban, salinan
kerja sama dan beberapa kontrak kerja. Aku duduk di kursinya dan memperhatikan jendela yang
tertutup tirai berwarna hitam pekat. Aku melihat kalender di mejanya dan ada beberapa catatan
disana. Aku tersenyum kecut karena dia tak menandai tanggal anniversary kami besok malam.
Dia akan lupa lagi, aku bertaruh!

Aku menghela nafas dan membuka laci meja. Isinya sama saja dengan yang ada diatas meja
Eldath, masalah kerjaan. Aku memasukkan jariku lebih dalam dan satu kertas licin terasa diujung
jariku. Aku menariknya keluar. Undangan berwarna biru muda yang begitu cantik.

Aku mendengus saat tahu apa isi undangan itu. Tentu saja dia mengundang Eldath untuk datang
dalam acara ulang tahun majalahnya itu. Aku memasukkan udangan itu sembarangan dalam laci
dan bangkit dari kursinya. Aku melihat jam dan memutuskan untuk kembali ke kamar saja.

Terserah Eldath lah. Kalau dia masih ingin marah, ya marah saja. kayak dia nggak merasa aja
apa yang baru kulalui siang ini. Aku baru saja menghadapi gadis ular mengerikan itu! aku
menukar piyama dan segera berbaring di tempat tidur karena malam sudah menunjukkan pukul
sebelas. Namun, aku tak bisa tidur. Aku mengacak rambutku dan berjalan turun. Menyalakan TV
dan berbaring di sofa menunggunya pulang.

Aku langsung tahu dimana aku terbangun pagi ini. Masih di sofa depan TV. Aku pasti tertidur
saat menuggu Eldath pulang semalam. Apa dia tak pulang? Aku duduk, memeriksa ponsel dan
tak menemukan apa-apa disana. Aku bergegas ke kamar mandi untuk mencuci muka. Yang aku
lakukan pertama adalah memeriksa ruang kerja Eldath.
Aku menarik nafas lega saat melihat tubuhnya yang masih terbaring di sofa dekat jendela. masih
tertidur. Aku tak percaya dia membiarkan aku tidur di sofa sepanjang malam tadi. Dia lelaki
brengsek! Aku melangkah mendekat dan mengamati wajahnya. begitu melihat wajahnya, aku
tahu rasa marahku padanya langsung menguap! Ya, bukan salah Eldath kalau dia begitu menarik
perhatian lawan jenis atau mungkin dari jenisnya juga. bagaimana mungkin rupawannya wajah
itu tak membuat mereka jatuh hati? Dan aku tentu saja!

“Sudah pagi” kataku sambil memegang tangannya “Eldath” kataku

Dia mengerang pelan dan membuka matanya. aku segera menarik tirai di dekatnya dan seketika
matanya kembali menyipit “Selamat pagi” kataku seraya berlalu dari ruangan itu.

Aku melakukan tugasku membuatkan sarapan untuk Eldath. Aku jadi memikirkan apa yang
harus aku masak untuk malam ini. Anniversary kami! Nanti saja aku memikirkannya. Eldath
keluar dari ruang kerjanya dan melangkah pelan naik ke tangga. Aku menggeleng melihatnya.

Aku memasak telur, sosis, roti dan daging asap untuknya. Segelas jus jeruk yang selalu jadi
paforitnya sudah tersedia di meja dan dia tak kunjung turun dari kamar. ini sudah dua puluh
menit sejak dia naik tadi. Masa cuci muka butuh dua puluh menit? Aku duduk menungguinya
sambil memakan sarapanku sedikit demi sedikit. Kemudian, setelah tiga puluh menit, dia turun.
sudah mengenakan pakaian lengkap tak seperti biasanya.

Dia meletakkan tas kerjanya di ruang tamu dan berjalan ke arahku. Aku bisa mencium aroma
parfumnya yang menguar saat dia duduk. Inilah EldathKU! Duduk di depanku dan meneguk
segelas air putih di dekatnya. Memakan sarapan tanpa berkomentar apa-apa dan meminum jus
jeruknya. Semuanya terjadi di depan mataku tanpa ada sepatah katapun yang keluar dari
bibirnya.

“Sampai kapan kau akan seperti ini?” tanyaku

Dia melihatku sekilas, namun tak berniat menjawab pertanyaaku. Dia menghembuskan nafas dan
bangkit dari kursinya saat dia telah menghabiskan semuanya.

“Jangan menungguku lagi!” katanya sebelum berbalik dan melangkah keluar.

Wah, unbelievable!
Tak ada yang bisa menggambarkan perasaanku sekarang. Entah kata apa yang cocok saat Jenda
menanyakan bagimana perasaanku hari ini. Aku hanya tersenyum tipis dan berbohong padanya.

“Baik” kataku

Dia masuk dalam ruangannya dan tak keluar lagi.

Aku tak bisa berkonsetrasi pada pekerjaanku. aku hanya memikirkan Eldath sekarang. katakan
aku bodoh, aku harusnya tak perlu sibuk-sibuk memikirkan dia! Gara-gara kejadian hari Minggu
itu, aku merasa seperti istri yang sudah di tinggal bertahun-tahun. Ini Cuma masalah Gala. Orang
yang sudah lama sekali dalam hidupku. Sudah setengah tahun lalu mungkin. Dan apakah dia
cemburu? Demi Tuhan!

Begitu jam isitirahat siang, aku tak bisa menahan diriku lagi. aku ingin mengungkapkan semua
emosiku padanya. Aku tak peduli apa yang akan dia pikirkan tentang aku. Aku sudah tak peduli.
Kalaupun ini akan membuat keadaan makin rumit, aku akan bertanggung jawab!

Aku menarik nafas panjang sebelum keluar dari mobil. Karyawan White Block berseliweran
sedang mencari makan siang di area kantor mereka. aku melepaskan sabuk pengaman dan
berjalan masuk. dengan kartu pas yang aku miliki, aku tak mendapat banyak kesulitan untuk
mencapai ruangan Prsedir kami. Yang aku cemaskan sekarang adalah kalau saja dia sedang tak
ada di kantornya, atau dia sedang rapat atau sekretarisnya meghambatku!

Pintu lift terbuka dan aku menarik nafas panjang sekali lagi. Aku melongokkan kepalaku
pertama dan sepertinya aku memang di takdirkan menemuinya siang ini. tak ada siapa-siapa di
belakang meja sekretarisnya. Tak ada Indah, sepertinya dia sedang makan siang. Aku melangkah
cepat dan berdiri tegang di depan pintunya.

Aku memegang handel pintu dan menariknya turun. pintu mengayun ke belakang dan aku
masuk.

“Kapan?” Ekspresi Eldath yang melihatku benar-benar priceless. Dia benar-benar kaget aku
datang dan berdiri di depannya saat ini “Aku mau kau membereskannya. Laporannya di kuartal
tiga penjualan naik dan aku ingin datanya. Felix tak bisa mulai tanpa persetujuan dariku”
Tatapannya masih padaku saat dia berbicara di telponnya. Aku menguatkan hati seraya
menungguinya menyudahi percakapan yang terasa sangat lama itu. bagaimana kalau ada yang
datang?

Dia terlihat sangat tampan dan percaya diri duduk di kursi besar itu. Suara otoriternya
memberikan perintah tanpa ingin di bantah.

“Kabari aku sejam lagi. Aku tak mau dengar apa-apa lagi. Kalau dia tak setuju, pangkas saja
unitnya, bukan biaya produksinya. Itu kesepakatannya jika mereka ingin merger! Kau paham,
oke” dia meletakkan telfon dan kini memfokuskan dirinya padaku.

Aku menarik nafas untuk memulai “Aku tahu benar kau seorang playboy dan kau punya banyak
wanita sebelum ini. Jadi, aku pikir sangat mudah bagimu untuk mengacuhkan salah satu dari
mereka. Tapi ini aku! Aku tak menyangka kau juga melakukan ini padaku! Tak bisakah kau
memikirkannnya?” aku memegang tali tasku erat dan menelan ludah

“Gala hanya pria yang dijodohkan denganku dan kami tak berhasil. Asal kau tahu, itu enam
bulan lalu dan aku tak pernah memikirkannya! Aku tak suka padanya, aku hanya mengikuti
kemauan Papa karena dia begitu cemas dengan diriku yang terus-terusan seperti orang bodoh
menunggu seseorang yang entah akan kembali atau tidak!”

Itu maksudnya kau, Eldath!

Aku menunggunya berkata sesuatu, namun dia hanya diam saja jadi aku melanjutkan “Aku pikir
itu adalah keinginanmu untuk tak memberi tahu banyak orang kita sudah menikah dan aku hanya
mencoba menghargai itu! Aku tak memberitahunya karena kau tak ingin orang tau!” aku
menunjuknya “Aku tak semarah ini saat aku tahu kau bertemu Emmy di Jepang, kalau kau
ingat!”

Pintu dibelakangku terbuka. Aku menegang dan menolak untuk menoleh. Suara ketukan hak
sepatu itu masuk beberapa langkah. Aku bisa melihat Eldath menggelengkan kepalanya pada
siapapun orang di belakangku saat ini. Seketika ketukan itu terulang dan suara pintu di tutup
terdengar. Baguslah, berarti Eldath menyuruh WANITA- ya wanita karena suara heelnya
terdengar nyaring- itu meninggalkan kami.
Eldath mengangkat melipat dua sikunya di atas meja dan menumpangkan dagunya di atas pautan
jari-jarinya, mengamatiku. Aku menghembuskan nafas karena dia tak kunjung bersuara. Aku
mencoba mengamati wajahnya, dan tak ada perubahan ekspresi disana.

Hah, ini anniversary ke dua kami dan lihatlah apa yang aku dapat. Tak lebih baik dari yang
pertama kemarin. Aku menggigit bibir bawahku sebentar dan menarik nafas “Apa kau akan diam
saja seperti itu dan tak ingin mengatakan apapun?” tanyaku

“Kau sudah selesai?” bukan itu yang aku ingin dengar!!!!

Aku mengangguk

“Kau bisa keluar dari pintu yang sama saat kau masuk!”

Aku mendengus sambil tertawa kecil. Dia mengusirku keluar sekarang! Aku mengangguk pelan
“Tentu saja” kataku

Dia menyandarkan punggungnya ke kursi.

“Don’t you miss me, huh??!” kataku getir. Dia tak menjawab, baik dengan kata atau sikapnya
“Kalau tidak, kau hanya membuang waktumu bersamaku, Eldath”

Aku berbalik dan menguatkan kakiku yang terasa lumpuh. Aku membuka pintu dan menukan
Indah di mejanya

“Oh kau rupanya, aku pikir siapa,”

“Maaf, aku tak melihatmu tadi. Aku pergi dulu” kataku melawatianya, berlagak semuanya baik-
baik saja seperti mantra yang sedari tadi aku lafalkan dalam hati. Bahwa semuanya baik-baik
saja!

He’s so cruel, cruel to the bone!

Eldath’s POV
Pikiranku terasa kosong, terbawa bersama keluarnya Ruby dari ruangan ini. Rasanya begitu
terkoyak-koyak mendengarnya mengatakan semua itu. Aku tak tahu kalau dia merasa seperti itu.
Hei, yang benar saja, aku mengira bahwa mengacuhkannya beberapa hari adalah hal yang biasa
terjadi dalam rumah tangga, kan?

Namun, sepertinya tidak dengan kami! Ya, aku juga merasa aku terlalu marah padanya. Sialan,
aku merutuki egoku yang masih terluka hingga menolak semua kerapuhan Ruby tadi. Aku
menikmatinya seperti itu. Dia begitu berani, menantang dan seksi!

Dia tak sepenuhnya salah dalam hal ini. Dan dia jelas tak bisa menyalahkanku! Bahwa aku
merindukannya, iya! Mana mungkin tidak! Si bangsat sialan dalam harga diriku yang
menahanku merengkuhnya. Kalau tidak, mungkin aku akan kelepasan dan menciumnya tadi.

Aku berdiri dari kursiku dan berjalan-jalan di dalam ruanganku. Tak bisa berkonstrasi bahkan
mengabaikan panggilan telepon yang aku tunggu sejak sejam lalu itu. Aku menghelan nafas dan
menyuruh Indah masuk ke ruanganku

“Apa Ruby sudah pulang?” astaga pertanyaan macam apa itu, Eldath??

Indah mengerutkan dahinya, itu terjadi sejam lalu, mana mungkin dia masih disini. Begitulah
kira-kira panggambaran wajah Indah sekarang “Iya, Pak. Sejam lalu”

“Dia.. apa kelihatan baik-baik saja tadi?” ayolah Man!

“Ya, atau ya sepertinya dia baik-baik saja” suaranya ragu “Apa ada yang bisa saya bantu, Pak?
Apa saya harus menghubunginya sekarang?”

“Tidak” kataku menggeleng “Kau boleh keluar sekarang” perintahku

Itu yang aku perlukan sejak sejam lalu. Kepastian kalau setidaknya dia keluar dari ruanganku
tanpa ada tanda-tanda kalau dia sedang hancur. Aku mengacak rambutku dan kemudian
mengangkat telepon yang berbunyi untuk kesekian kalinya.

Aku tak bisa pulang cepat lagi hari ini. Peninjauan proyek memakan waktu lebih lama dari yang
seharusnya. Masih ditambah dengan nonton basket babak delapan besar antara The Blocks
Group melawan salah satu perusahaan migas besar. Selesai dari situ, aku masih harus menghadiri
perayaan berhasilnya tim kami lolos ke pertemuan selanjutnya. Empat besar yang akan di gelar
seminggu kedepan. Mereka tak mengijinkan ku pulang duluan. Tak selesai disitu, salah satu
petinggi perusahaan Migas itu memintaku untuk makan malam bersama. Makan malam yang
jauh...jauh sekali dari jam dinner yang seharusnya. Aku beruntung Nevan masih bersedia
menemaniku untuk bertemu salah satu teman yang mengundang kami untuk menonton
pementasan teaternya. Walau, kami sampai saat semua pemain teaternya sudah dipekenalkan
satu-satu. The show is coming to an end!

Aku benar-benar linglung rasanya saat akhirnya memarkirkan mobilku di parkiran apartemen.
Melihat jam tangan, aku keluar mobil. Jam sebelas lewat. Aku berjalan gontai menuju lift dan
menunggunya mengantar ke depan pintu unitku. Aku menekan kombinasi di pintu dan pintu
terbuka. Semua ruangan gelap, hingga aku memutuskan langsung naik ke atas. Aku butuh mandi
dan mengganti setelan yang sudah ku pakai lebih dari dua belas jam terakhir ini! sialan!

Saat aku membuka pintu, aku bisa menangkap sosok Ruby. Dia segera bergerak dari posisinya
yang sedari tadi berdiri di depan jendela dan menyurukkan dirinya ke dalam selimut. Dia
menungguku dan tak menyangka aku sudah pulang. Aku melewatinya dan berjalan menuju
kamar mandi. Aku bahkan tak ingin memikirkan bagaimana egoku masih menolaknya sekarang.

Aku sudah selesai dan berjalan keluar ruang pakaian itu. Gerakan tubuh Ruby yang sudah teratur
membuat aku yakin dia sudah tidur sekarang. Aku menghela nafas dan berjalan keluar. Ruang
kerjaku tampak lebih rapi dari yang kutinggalkan tadi pagi. Aku mengambil air putih yang selalu
disediakan Ruby di samping meja. Aku menenggaknya hingga tandas dan berbaring di sofa.

Syukurlah dia memang baik-baik saja.

Aku menghabiskan dua jam tanpa bisa memejamkan mata. Ada banyak hal yang aku pikirkan
sekarang. Urusan kantor yang tak sudah-sudah, dan tentu saja Ruby. Mengingat betapa beraninya
dia mendatangiku di kantor tadi, aku harus memberinya nilai A!

‘Don’t you miss me Don’t you miss me Don’t you miss me Don’t you miss me Don’t you miss
me’
Aku memukul sofa dan bangkit dari sana. Aku menutup pintu ruang kerja lumayan keras dan
berjalan menuju dapur. Menakan stop kontak dan membeku seketika. Tanggal berapa sekarang?
Aku menggertakan gigiku dan berjalan mendekat.

Aku tahu chandelier ini hanya digunakan Ruby saat merayakan anniversary sebulan lalu. Masih
ada gelas-gelas yang sudah diatur di atas meja dan piring yang tertelungkup di dekatnya. Hari ini
kami harusnya merayakan anniversary kedua kami, seperti yang diinginkan Ruby!!!

Fucked up! I’m just fucked up!

Aku manaiki tangga dua-dua agar cepat sampai dikamar. Pelan, aku dorong pintu dan mataku
langsung memetakan wanitaku di atas tempat tidur itu. Bernafas dengan pelan di bawah selimut
tebal. Dia bahkan menyalakan pendingin udara seperti yang selalu aku lakukan.

Bunuh saja aku! Demi Tuhan.

Aku berjalan mengitari sisi tempat tidurnya dan merangkak pelan di belakangnya. Aku menahan
nafasku dan berbaring di belakang Ruby. Wangi rambutnya yang tergerai membuatku nyaman.
Aku ingin memeluknya sekarang. Sepagi buta ini, aku tak peduli! Aku menarik tubuh Ruby
untuk ku peluk dari belakang. Mendekap punggungnya untuk sepenuhnya menempel di dadaku.

Tubuhnya merespon dan dia sepertinya terbangun. Tanganku yang menahan tubuhnya hingga dia
tak bisa bergerak, jelas membuatnya terbangun “Hm? Eldath??” panggilnya dengan suara serak.

Aku mencium tengkuknya pelan “Aku disini” kataku

Dia bergumam “Apa yang kau lakukan?” katanya pelan, dia berusaha menggeliat, namun hanya
aku beri sedikit ruang saja.

Aku masih menciumi tengkuknya dengan tangan melingkari pinggang hingga perutnya
“Tidurlah”

“Bagaimana aku bisa tidur?”

Aku menarik bibirku dari tengkuknya dan tersenyum tipis “Aku merindukanmu! Aku sangat
merindukanmu!!” lunas sudah semuanya!
“Aku ingin melihatmu” katanya

Aku menghidupkan lampu di dekatku sebelum membalik tubuhnya hingga kini kami berhadapan
sekarang. Matanya masih terlihat mengantuk, namun senyumnya meyakinkan aku bahwa dia
sadar sepenuhnya sekarang, bahwa dia mendengar apa yang baru saja aku katakan.

“Ini Cuma mimpi, kan?” ujarnya

“Iya!” kataku sambil mengecup ujung hidungnya. Aku tertawa pelan “Kau sudah melihatku. Ini
adalah mimpi terindahmu, Mrs. Eldath!” aku membawa ibu jariku menelusuri bibir bawahnya.

“Ini mimpi yang indah” katanya “Kau berada di sini dan tidak marah padaku”

“Hm..” aku menempelkan dahiku padanya “Aku merindukanmu, Sayang” aku mengecup
bibirnya sebentar “Aku tak marah”

Dia tersenyum lembut “Bahkan mimpi ini terasa begitu nyata, Eldath”

Aku tak tahu apakah dia hanya memainkan setumpuk ironi dengan perkataannya barusan atau
dia memang mengira dia sedang bermimpi. Padahal aku senyata ini!

“Ruby, kau tahu kau sedang tidak bermimpi, Baby!” aku mengelus kepalanya “Aku disini, dan
aku nyata!” aku mengingatkannya

Dia menghembuskan nafas lega dan menutup matanya “Aku akan tidur lagi” katanya seraya
menempatkan dirinya dalam posisi nyaman dalam dekapanku.

Aku mengecup pelipisnya dan menunggunya tidur. Apa yang aku lakukan dengan bersikap
selayaknya anak lima tahun yang suka merajuk? Aku sangat malu karena akhirnya aku yang
merangkak padanya. dia menang hanya karena pertanyaan sialan, apakah aku merindukannya?
Dan hari ini, hari perayaan yang aku lupakan lagi untuk kedua kalinya! aku buruk sekali!

+++
42. Anniversary Versi Elldath

Aku memang tidak sedang bermimpi, mana mungkin aku tak bisa membedakan mana mimpi dan
mana yang nyata. Eldath masih meringkuk di belakangku, memelukku posesif dan desahan
nafasnya yang berada di tengkukku membuat aku yakin dia masih tidur. Aku tersenyum
memainkan jarinya yang berada di depan wajahku. Dia bahkan memiliki kuku yang cantik,
berwarna pink dan sangat bersih.

Dia bilang apa semalam? Ah, semalam! Aku benci menginat kalau sebenarnya dia lupa bahwa
kami harusnya merayakan dua bulan pertemuan kami! Hah, sial sekali! Aku menghembusakan
nafas dan memindahkan tangan Eldath yang melingkari pinggangku. Aku harus bangun. Namun,
Eldath malah mengembalikan tangannya di tempat semula. Menahan tubuhku pindah. Dia juga
sudah bangun rupanya.

“El, aku harus bangun sekarang. Sudah jam berapa ini?”

“Aku masih ngantuk, Rue!”

“Oke, terus?” Aku menepuk tangannya. Dia tertawa pelan dan menarik bahuku untuk terlentang.

Dia menyangga kepalanya dengan satu tangan terlipat, melihatku “Aku ingin kau juga disini”

“Kita bisa terlambat ke kantor” kataku seraya mengenyahkan tangannya di perutku

“Tak akan ada masalah” katanya sambil menurunkan kepalanya dan menaruhnya ke bantal.
Tangannya menarik tubuhku mendekat ke dadanya. Dia mencium kepalaku dan merendahkan
kepalanya sedikit “Happy anniversary” katanya pelan “I’ll pay” katanya

“Bagimana?” tanyaku

“Biarkan aku tidur beberapa menit lagi, dengan kau disini” katanya menepuk bahuku pelan.

“Baiklah” aku setuju.

+
Bagaimana Eldath membayar perayaan kami berdua semalam adalah dengan cara ini. dia
menjemputku sepulang dari kantor dan membawaku ke salah satu restoran yang belum pernah
aku datangi sebelumnya

“Lewat sini, Tuan Eldath” kata pelayan menunjukkan padanya meja yang telah dia pesan.

Dia menuntunku melangkah melewati koridor yang temaram dengan hiasan bunga-bunga dalam
vas di sepanjang jalannya. Pelayan lain menyambut kami di depan sebuah apa aku menyebutnya,
private room dan membukakan kami pintu.

Ruangan itu hanya berisi satu meja panjang dan dua kursi. Benar-benar hanya akan ada aku dan
Eldath di dalam sini. kursi kayu yang nyaman dan kain besar model vintage menutupi mejanya.
Dekorasi ruangannya sederhana dengan pencahayaan lembut yang serasi dengan cat dinding
berwarna peach. Lukisan romatis di dinding melengkapi tema ruangan ini.

Eldath menarikkanku kursi dan dia duduk di depanku setelah aku duduk lebih dulu. Dia
tersenyum puas. Oh, lebih dari aku mengagumi ruangan ini, orang yang sedang berada di
depanku inilah yang menyempurnakan semuanya. Memakai jas dan kemaja putih serta dasi yang
menjuntai rapi- oh aku yang memilihkannya setelan ini tadi pagi- dia sungguh menawan.

Dia tersenyum padaku “Begini kita akan merayakannya, Sayang” dia berkata padaku

“Terima kasih” kataku sambil memainkan ujung telapak meja di bawahku. Aku gugup.

“Apa itu?” dia seperti merasakan kegugupanku

“Tak ada apa-apa” aku mendongak menatapnya. Eldath, he’s just wow!

Pelayan datang, membawa makanan dalam nampan besar. salah satu dari mereka menuang
minuman dalam gelas tinggi ramping yang sangat berkilauan tertimpa cahaya dari lampu di atas
kami. Cairan merah memenuhi seperempat gelas kami masing-masing. Sementara salah satu
pelayan lain menata makanan di meja. Aku memperhatikan mereka dengan seksama.

“Silahkan panggil saya jika anda butuh sesuatu, Tuan Eldath”

Eldath mengangguk “Terima kasih” katanya. Keduanya berlalu dan menutup pintu
“Ini aneh” kayaku sambil menatap Eldath “Terlalu private”

Eldath tak menggubrisku, dia mengangkat gelasnya keudara “Cheers” katanya

“Apa ini?” aku mengecek isi dalam gelasku

Eldath membuang nafas berat “Ya sudah” katanya tanpa menungguku mengadukan gelasku
padanya, dia sudah meminumnya

Huh! “Jadi, apa yang membuatmu berubah pikiran hingga seperti ini?” aku mulai memotong
daging steak di piringku

Dia mengangkat bahunya “Kau!”

Dia mengambil piringku untuk memotongkan daging milikku. Aku menelan ludah oh aku
percaya ada badai yang mengancam dalam setiap ketenangan dalam diri Eldath. dia begitu manis
dan kelihatan tulus. Apa rencanannya?

Aku tertawa “Oh, ayolah jangan bersikap murahan seperti itu!”

Dia mengerutkan alisnya, tak suka “Aku suka kau datang ke kantorku waktu itu, marah-marah
dan bersikap tak peduli. Kau berani sekali, Rue! Oh dan kau seksi sekali” dia menyeringai

Seksi? Aku seperti tersengat, namun aku berusaha bersikap tak terpengaruh pada ucapannya itu
“Aku tak paham apa maksudmu” aku menerima piring yang dia angsurkan padaku.

“Bagimana kalau ada orang yang tahu. Apa kau pikir sekretarisku tak akan mendengarmu waktu
itu?”

“Aku akan bertanggung jawab”

“Dengan cara?” dia menaikkan alisnya

Aku mengunyah daging pertama yang masuk dalam mulutku sambil berpikir “Aku belum
memikirkannya. Dan aku rasa Indah tak tahu apa-apa!” ujarku setelah menelan makananku. Aku
melihatnya membentuk senyuman tipis di bibir.
“Aku harap kau punya rencana dengan itu” katanya. Dia menggosokkan jemarinya di atas
punggung tanganku “Kau suka?”

“Ya, ini enak” aku mengangguk canggung “Kau sering kesini?” aku mengamati lagi ruangan ini.

Kami menghabiskan hidangan ini dengan cerita yang putus sambung dan sangaat random yang
tentu saja sangat sedikit temanya berhubungan dengan kami.

“Kau ingin kita berjalan-jalan dulu dari sini?” tanyanya

Aku mengerucutkan bibirku “Tak ada yang spesifik,” aku sebenarnya ingin bertemu Nadya,
namun itu tentu ide yang buruk bagi Eldath “Nonton?”

“Uhm, baiklah” katanya

“Kita bisa pergi sekarang?” tanyaku karena aku sudah mulai bosan disini.

“Sebentar” katanya. Dia menunduk untuk menarik sesuatu dari bawah meja. Aku mengantisipasi.

Dia tersenyum dengan matanya terkunci padaku. Sebelah tangannya menaruh kotak beludru
berwarna biru tua berukuran sedang di atas meja. Dengan jari telunjuknya, dia mendorongnya ke
dekatku “Untukmu”

Aku melihatnya dengan pandangan tak percaya, ada apa ini? Aku memberanikan diri menyentuh
kotak itu. Sangat lembut. Aku tak percaya melihat brand yang tercetak di dalamnya saat aku
membuka kotak itu. belum lagi, benda yang berkilauan didalamnya.

“Eldath...” aku bergumam menatapanya

“Happy anniversary” ada kegembiraan yang dijalarkan Eldath dalam diriku saat dia mengatakan
itu “Cantik?”

“Eldath, ini cantik sekali. Bagaimana kau?” Aku sepertinya tak tahu mau bilang apa. Kalung
dengan liontin kecil berwarna putih begitu klasik dan berkelas. Ini pasti sangat mahal “Ini cantik
sekali Eldath” aku merasa suaraku bergetar, dari Cartier pula!

“Aku akan memakaikannya” dia berdiri dan mengambil kalung itu.


Dia menyampirkan rambutku kesisi kananku agar tak mengangggunya. Aku memegang liontin
itu saat Eldath telah melekatkannya pada kulit leherku. Dia mengelusnya sebelum mengecup
tengkukku.

“Eldath” gumamku, mana mungkin aku tak tergoda degan ciumannya barusan.

“Aku sudah memaafkanmu”Dia berdiri di sebelahku.

Aku mendongak menatapnya “Aku tak tahu apa pantas menerima ini,” aku merapatkan bibirku.
Ini terlalu indah.

Dia mengambil daguku dengan jarinya. Merendahkan kepalanya dan mengecup bibirku lembut.
Bibirnya terasa sangat manis dangan hangat.

“Apa kau masih mau bertanya apa kau pantas untuk itu?” tanyanya setelah menciumku

Dia membuatku sakit kepala, dalam arti yang sangat menyenangkan. Atau apalah sakit yang
menyanangkan!!!

“Terima kasih” ujarku

Dia mengecupku, menarikku untuk berdiri dan memegang wajahku dengan dua tangannya. Dia
menggigit bibir bawahku dan memintaku memberinya jalan masuk ke dalam mulutku. Aku
mengerang dan lidahnya sudah ada di dalam mulutku. Jari-jariku terbenam dalam rambutnya,
merasakan helaian tiap rambutnya yang sangat lembut dan wangi.

Dia menarik wajahnya dan menatapku “Kau mau nonton atau pulang ke rumah saja, Baby?”
matanya berkilat. Nafasnya masih terengah-engah.

“Eldath” aku berusaha menormalkan nafasku. Aku menggeleng dan belum yakin akan ini
“Eldath, aku tak berpikir kalau kita akan..”

“Jawab pertanyaanku” perintahnya

“Nonton!” kataku

Dia menyeringai “Kau pandai memaikan kartumu, Rue” dia mengecupku sekali lagi, sekilas saja
kali ini.
Eldath menyelipkan tanganku dalam siku lengannya. Dia mencium rambutku dan membuka
pintu. Mengirimkan senyum tampan tanda terima kasih pada pelayan yang masih berada di
depan pintu. dia melatakkan kartu kreditnya di meja kasir. Tanpa banyak kesulitan
menyelesaikan transaski dan kami berjalan menuju mobilnya.

Aku mengenakan sabuk pengaman setelah dia menutup pintu. kenapa Eldath rajin sekali
tersenyum padaku. Dia sudah duduk di belakang kemudian dan bersiap akan pergi.

“Eldath,”

“Apa kau berubah pikiran?” tanyanya tersenyum tengil.

Aku tertawa pelan “Aku mau bilang kalau aku kaget sekaligus bahagia”

“Oh” katanya pendek, walaupun sebenarnya tak ada nada kecewa didalamnya “Aku juga”

“Jalankan mobilnya ke rumah kalau begitu”

“Baby?”

“Jangan berpikir macam-macam!” aku memperingatkannya “Aku hanya tak ingin kemana-mana
sekarang. Aku rasanya mau meledak karena bahagia”

“Kita lihat apa kau bisa menahanku!” dia tertawa

“Eldath, tidak sampai kau jatuh cinta padaku sampai kau mengatakannya!!”

Hening!

Ups, kayaknya aku salah barusan. Rahang Eldath menegang dan dia memegang stir dengan
tangan terkepal kencang sekarang. Bibirnya membentuk garis kemarahan yang tercetak jelas. Dia
menekan tombol engine dan mobil menyala

“Eldath, kau tahu..” ah aku menghancurkan semuanya!

“Sudahlah” katanya

Crap!
+++

Ballroom Hotel Golden sedang dipersiapkan untuk acara fashion show ulang tahun majalah
MakeUp. Panggung runway baru saja di rancang dan beberapa perlengkapan sudah di datangkan.
Papan nama besar sudah di tegakkan di bagian belakang panggung dengan tulisan MakeUp
sebagai highlite. Langit-langit ballroom juga sudah dilapisi kait tipis berwarna merah tua.

Aku dan Fina berjalan mengikuti Jenda memantau persiapan acara yang akan di gelar kurang
lebih dua minggu lagi itu. beberapa pekerja tampak sedang sibuk dengan pekerjaan mereka.

“Bukannya kau bilang Emmy disini, Jen?” tanyaku saat tak mendapati sosok Emmy di sekitar
panggung

Jenda menoleh “Hm, ya aku rasa seharusnya dia ada disini” kata Jenda, lalu mengangkat bahu.

“Pak Jenda” sapa seorang di belakang kami.

Kami menoleh dan mendapati pemimpin hotel Golden, Rony. Didampingi oleh beberapa orang
berpakaian formal namun tampak santai.

“Rony” sapa Jenda “Bagaimana persiapannya?” tanya Jenda seraya menyapu sekitar ruangan

Rony mengangguk “Semuanya sudah diurus, Pak, tenang saja. Pihak majalah juga bekerja sama
dengan baik”

“Baguslah!”

“Saya yakin ini akan jadi promosi akhir tahun yang sukses!” katanya senang “Terima kasih
Bapak menyetujui proposal ini”

“Ini demi kita semua, kan?” kata Jenda. dia tertawa pelan “Apa hari ini pihak majalahnya tidak
datang kemari?”

“Ada, tadi saya bertemu Emmy. Dia ada disini, mungkin sedang mengurus sesuatu di balakang
panggung” tatapannya beralih pada bagian belakang panggung yang disiapkan untuk runway
“Mari saya antar kesana” katanya penuh hormat
Jenda mengangguk lalu mengikuti Rony dan rombongannya ke belakang. Aku dan Fina
mengikuti dalam diam.

“Apa Emmy orang yang menyenangkan?” tanya Fina tiba-tiba

Aku mengernyit, TIDAK! Aku tertawa pelan “Kau akan segera tahu” kataku “Yah, dia baik” tapi
tidak menyenangkan sama sekali.

Kami sampai di belakang panggung dimana semua perlengkapan lebih banyak disini. Kain
berwarna-warni di bertumpuk di atas sebuah kursi. Beberapa pakaian untuk model bahkan sudah
berdatangan. Belum lagi dengan orang-orang yang berlalu lalang disini.

“Saya rasa itu dia!” tunjuk Rony pada dua orang yang sedang duduk berhadapan di sebuah
bangku.

Saat aku melihat ke arah itu, aku tahu aku deg-degan. Rasanya aku kenal siapa yang sedang
duduk bersama Emmy itu. Punggung dan jasnya, aku tahu itu siapa! Untuk apa Eldath ada disini.

“Emmy” panggil Rony dengan suara lumayan keras, hingga semua orang melihat kearahnya
tanpa sengaja

Aku tak salah. Laki-laki bersama Emmy adalah Eldath!

Kami berjalan mendekat sementara dua orang itu berdiri menyambut kami.

“Oh, Presdir!” kata Jenda

“Anda datang, Pak?” kata Rony “Maaf saya tak melihat anda datang”

“Hm tak apa” Eldath menyalami Rony dan Jenda gentian.

Aku melihat Emmy yang berdiri di belakang Eldath. dia memegang gelas kopinya dengan
tampang angkuh sekali. Aku menelan ludah dan menatap Eldath. Saat pandangan kami bertemu,
dia cepat membuangnya

“Aku hanya ingin melihat persiapannya” kata Eldath “Dia mengundangku untuk datang hari ini”
Eldath melihat Emmy sebentar.
“Ya, tentu saja, Pak” kata Rony “Jadi bagaimana menurut, Bapak?”

“Aku memiliki semua orang yang kompeten, begitu juga orang yang bekerja di bawah Emmy.
Aku rasa aku tak perlu cemas dengan ini. Acara ini akan sukses seperti yang kau harapkan, Em!”

“Thank you, El!”

Shit!

Aku hanya ingin ditelan bumi sekarang. Bagimana sorotan mata Emmy menatapku dan bahasa
tubuhnya yang mengisyaratkan betapa berkuasanya dia daripada aku. Yeah dan aku tak punya
alasan untuk menghentikan ini semua.

“Kalian ingin melihat panggungnya? Maksudku mau coba jalan disana?” kata Emmy, suaranya
sangat renyah, dia dalam mood yang bagus sekarang

“Benar?” tanya Jenda “Aku mau” katanya bersemangat “Ide bagus, kan?” dia berbalik
menatapku. Aku tersenyum tipis.

“Bagus, ayo ikut aku semuanya.” dia memimpin jalan menuju beberapa anak tangga yang
menyambungkan dengan panggung yang kami lihat beberapa menit lalu.

Tenggorokanku terasa kering saat dia mengulurkan tangannya meminta Eldath memeganginya
naik ke tangga. Cih! Tangga ini bahkan hanya ada lima tingkat dan dia minta di gandeng seperti
itu? Eldath berdehem dan berbalik sebentar. Aku menatapanya tajam.

“Oke” katanya menyambut tangan Emmy dan menuntunnya.

“Ih, ganjen banget dia!” bisik Fina “Males banget!”

Aku mendengus pelan, lalu Rony mengikuti apa yang dilakukan Eldath mengulurkan tangannya
pada Fina yang berada di depanku. Fina malu-malu menerimanya dan aku tertawa pelan di
belakangnya

“Ayo” kata Jenda

Aku mengangguk dan mengganggam tangannya. aku bahkan tak melepaskannya saat kami sudah
di ujung panggung itu. Eltdah jelas melihatnya, dan aku memang sengaja.
“Kau mau coba jalan, Jen?” tanya Emmy

Jenda tersenyum “Bagaimana menurutmu?” dia bertanya padaku

“Oh, apa kalian punya hubungan? Kalian terlihat sangat dekat!” Emmy memprovokasi

Jenda nyengir seraya menangkat bahunya “Nggak juga!”

“Sayang sekali. Kalian tampak cocok bersama”

Aku menyipit memandangnya. Emmy melirik pada Eldath dengan ekor matanya. Eldath bersikap
tak acuh, melempar pandangan pada orang-orang yang sedang memasang kain tipis pada langit-
langit ballroom.

“Aku akan coba ini” kata Jenda sambil melepskan tangannya dan berjalan di sepanjang
panggung dengan percaya diri.

“Kau mau ikut, Fin? Ayo jalan di sampingku”

Fina menangangguk dan berdiri di samping Jenda. Kami cukup terhibur dengan ulah Jenda,
sehingga tak menyadari ada yang salah dengan pemasangan kain di langit-langit. Sampai
pekerjanya berteriak dan kami mendongak.

“AWAS!!!”

+++
43. Mixed Feeling

Aku mendongak ke atas dan bisa melihat selembar papan yang digunakan untuk menempelkan
kain yang tadinya tepat berada di atas kami, meluncur bebas. Tak butuh lebih dari lima detik
sepertinya hingga papan itu bisa menimpa kami. Lalu, hal yang berikutnya aku tahu adalah
sebuah tangan yang merangkul tubuhku erat dan membawaku untuk menjauh, jatuh dan
berguling.

“Ruby..”

Aku membuka mataku, bersyukur untuk banyak hal.

“Eldath!” gumamku. Bola mata birunya menenangkanku meski kepalaku terasa di tusuk-tusuk.

“Kau tak apa-apa?” bisiknya

“Anda tak apa-apa, Presdir?” beberapa orang naik ke panggung.

“Ayo berdiri” perintahnya

Pengawal Eldath segera membantu kami berdiri. Aku menarik nafas berkali-kali sambil
memeriksa Eldath dengan mataku, scanning dengan cepat.

Emmy berjalan ke dekatnya “Kau tak papa, El?” dia melihat Eldath dan memegang tangannya
“Kau bagaimana, By?” dia melihatku

Aku mengangguk “Aku baik!” mataku menangkap goresan ditangan Emmy.

“Apa yang kalian lakukan?” seru Eldath pada pekerja yang buru-buru turun dari tangga yang
menempel di dinding.

Mereka menunduk, bahkan Rony “Maaf, Presdir” katanya

“Kalian sadar apa yang baru saja terjadi?” tanyanya lagi. Nafasnya tersengal-sengal dan matanya
menghujam semua orang satu-satu “Bereskan semua ini!” bentaknya sambil mendendang papan
yang jatuh saat dia melangkah keluar.

“Kau tak papa?” tanya Jenda


“Ya, aku baik-baik saja.”

“Tadi itu mengerikan sekali” kata Fina “Kau yakin semuanya baik-baik saja?”

Aku mengangguk. Jenda memegang tanganku dan meremasnya pelan “Ayo turun sekarang”

Aku mengikutinya dengan pikiran kosong. Well, aku bisa saja pingsan sekarang kalau saja
Eldath tak bergerak cepat. Bukan Cuma aku mungkin, bisa jadi Emmy dan Rony juga cidera.
Aku melihat ke langit-langit itu sekali lagi dan menggeleng.

Saat kami sampai di salah satu kamar hotel, cangkir berisi teh sudah tersedia. Eldath dan Emmy
sudah duduk disana, bersama pengawal, sekretaris Eldath, dan pegawai dari MakeUp. Seorang
dokter juga sedang memeriksa luka gores di tangan Emmy. Dia merintih saat dokter itu
membersihkan lukanya.

Aku menghela nafas dan mengambil cangkirku. Jenda merangkul bahuku “Kau juga harus
diperiksa” katanya

“Jen” aku menaruh cangkir di meja lagi “I’m good” kataku “Hanya shock!”

“Kau akan baik-baik saja. Baiklah, sudah selesai. Ada lagi?” tanya Dokter muda itu.

“Eldath,” kata Emmy

Dokter itu pindah ke depan Eldath. Memintanya menuruti instruksi dan memeriksanya. Eldath
mengerang saat dokter itu mengangkat tangan kanannya. Tangan itu pernah retak sebelumnya!

“Apa terasa sakit?”

“Ya” kata Eldath “Tidak terlalu” dia menutup matanya sesaat

“Apa anda punya riwayat sebelum ini dengan tangan anda?”

“Tidak ada!” katanya

“Tangan itu pernah retak, Dok!” kataku cepat. Aku menggeleng di depannya. Bisa-bisanya dia
berbohong!

Dokter itu, bukan hanya dokter itu semua orang di ruangan ini melihatku. Aku menarik nafas.
“Sebaiknya anda melakukan pemeriksaan sekarang, Pak” dokter itu memberi saran.

“Presdir” salah satu pengawalnya mendekat

Eldath berdiri dan mengangguk pada dokter itu “Terima kasih” katanya berbalik dan pergi dari
sana.

“Bagaimana kau ingat tangan Presdir pernah patah sebelumnya?” bisik Fina

Aku menoleh padanya “Hm? Tak tahu, ingat saja” kataku sekenanya. Aku mengalihkan
tatapanku pada Emmy sekarang.

Dia terseyum sinis. Oh, tentu saja aku tak ingin menggubrisnya. Apapun yang ada dalam otaknya
sekarang, dia tak akan mendapatkannya dalam waktu dekat. Tidak sampai aku mati atau lupa
ingatan hingga sekali lagi melepas Eldath. Dia gila!

Ponsel dalam tasku bergetar pelan. Aku mengalihkan pandanganku dari Emmy dan segera
memeriksa ponsel.

“Ya?” kataku

“Pulang sekarang” perintah Eldath

“Hm?” aku melirik Jenda melalui ujung mataku, dia sedang melihatku “Kenapa?”

“Pulang sekarang, jangan berdebat denganku saat ini. Dibawah ada Uli. Dia akan mengantarmu
pulang, sekarang!” dia menutup telponnya.

Aku menghela nafas “Um... itu Jen,” aku menarik nafas dan mengalihkan pandangan padanya
“Apa aku bisa pulang sekarang?”

“Kenapa? Apa kau merasa sakit?” tanyanya penasaran

“Nggak” aku menggeleng “Hanya saja aku pikir aku ingin pulang saja, aku bilang aku shock,
kan?” aku tertawa kecil

“Kau baik-baik saja kan? Kau membuatku cemas, By” dia mengusap kepalanya
Aku berdiri, dan dia spontan mengikutiku “Jangan cemas, aku akan lebih baik besok. Nggak
papa kan?”

“Apa-apaan kau? Tentu saja nggak papa!” katanya “Kau mau aku antar? Atau supir bisa
mengantarmu,” dia berjalan mendahuluiku.

“Nggak usah, kau disini saja” seruku sambil menarik tangannya untuk tinggal.

Dia berbalik “Kenapa? Aku akan mengantarmu sampai ke luar. Jangan menolakku sekarang.
Aku mencemaskanmu, benar!”

“Aku baik-baik saja. Kau disini saja, Emmy mungkin butuh teman sekarang” aku meliriknya.

“Aku tak suka kau bersikap seperti ini, By. Kau tahu itu! Kau karyawanku, sekretarisku dan
adalah tanggung jawabku untuk membuatmu tetap aman selama bekerja!”

“Ya, aku paham” aku mendesis, perdebatan ini tak mungkin jadi lebih panjang “Kau yang
terbaik, please”

Dia memutar tubuhnya untuk berajalan kembali ke sofa dimana Fina tengah menatap kami
dengan tatapan penasaran. Sementara Emmy, hanya terdiam memegangi cangkir tehnya. Aku
menghela nafas, aku tahu benar kecemasan Jenda. Hanya saja, aku tak mau dia tahu kalau aku
sudah di tunggu sopir yang biasa mengantar Eldath dari kantor. Bisa ribet mau jelasin ke Jenda.

“Kemana Eldath pergi?” tanyaku saat sudah berada di dalam mobil

“Presdir ke rumah sakit, Nyonya” jawab Uli “Anda baik-baik saja, Nyonya? Saya pikir anda juga
terluka” dia melihatku dari kaca spion tengah

“Aku baik-baik saja, makasih, Li” aku tersenyum tipis.

Well, aku masih merasakan betapa mengerikannya peristiwa itu tadi. Aku tak bohong saat aku
bilang aku shock. Membayangkan kalau saja Eldath tak menarikku. Aku merenung, memandang
keluar jendela. Lalu, kenyataan kalau Eldath adalah orang yang menyelamatkanku adalah sebuah
kelegaan tersendiri bagiku.
Aku segera menekan kombinasi angka di pintu. Masuk dan tak menemukan siapa-siapa. Tak ada
Eldath. Aku menghela nafas dan berjalan menuju dapur. Meneguk air putih dan tanpa mau peduli
lagi, memabasuh wajahku dengan air keran.

Aku segera menengok ke pintu saat mendengar sensornya berbunyi. Sejurus kemudian Eldath
masuk. Dia melihatku, berjalan cepat melintasi ruang tamu, melewati ruang TV dan segera
memelukku. Aku tersentak dengan dekapannya yang sangat erat dan posesif. Dia mencium
rambutku dan mengetatkan lengannya di tubuhku.

“Sayang, aku bisa gila!” katanya pelan

Aku menarik nafas, membaui aroma yang aku kenal namun sudah bercampur bau alkohol rumah
sakit “Tak apa” kataku

“Apanya yang tak apa?” bentaknya.

Apa dia mencemaskanku?

“Oh Ruby, aku bersumpah akan memecat mereka semua kalau kau kenapa-napa!” katanya

“Tenanglah” aku menarik nafas panjang “Aku tak papa”

Well, ada apa dengannya “Kau bagaimana? Bagaimana tanganmu?”

Dia menggeleng “Nggak ada yang serius, hanya otot yang tertarik, sudah baikan”

“Aku juga tak mau kau kenapa-napa. Terima kasih telah menyelamatkanku, El”

“Baby...” dia menggeleng lagi “Tidak, jangan bilang itu! Kau harus aku selamatkan, kau tahu
itu!”

“Kenapa?” tanyaku pelan

Dia membisu. Hanya tangannya yang belum berhenti membelai rambutku. Helaan nafas Eldath
terdengar pelan, sudah berapa lama dia memelukku? Aku sebaiknya tidak mengulang
pertanyaanku, kan?

“Well,” katanya “Aku- kau istriku. Aku tak mau menjadi duda secepat ini, Rue”
+

“Emmy, sejak awal!”

Aku terbangun dengan nafas terengah-engah. Seketika lampu disebelah Eldath menyala.

“Ruby,” dia mengerjapkan mata berkali-kali.

Aku merasa kepalaku pusing dan nafasku yang masih belum normal. Tadi itu mimpi yang
mengerikan sekali. Aku menggeleng cepat dan Eldath memegang dua bahuku.

“Ruby, kau kenapa?” dia memegang wajahku dengan dua tangannya, menghadapkan wajahku
padanya “Lihat aku, Ruby, tidak apa-apa, hei, tenanglah!”

“Eldath!” aku menggeleng. Dia ada disini, didepanku “Eldath...” suaraku lirih

“Ya, ini aku” dia membelai wajahku “Tak papa” dua tangannya membungkusku dalam dekapan
“Hei, tak apa-apa” dia mengusap punggungku “Kau bermimpi”

“Eldath, kau...” aku tersengal dengan nafasku sendiri “Oh aku....”

Dia melepas pelukannya “Aku disini. Tenanglah, oke”

Aku menarik nafas panjang dan menjalankan ujung jariku diwajahnya. Dia nyata. Dia ada di
dekatku! Ini Eldath. Dan disini hanya ada aku dan dia!

“Cium aku” kataku

“Huh?”

“Eldath” desakku

Eldath mendekatkan wajahnya dan bibirnya menyentuh bibirku. Menanamkan ciuman singkat
berkali-kali. Itu hanya mimpi. Mimpi! Aku menarik wajahku dan menatapnya “Eldath... jangan
pergi”

“Tenanglah, Ruby” dia melingkarkan tangannya di sekelilingku. Dia memelukku, membiarkan


kepalaku bersandar pada lengannya. Aku tak pernah merasa sedekat dan seaman ini dalam
pelukan Eldath.
“Aku tak kemana-mana” dia mengelus rambutku. Menempatkan dagunya dipuncak kepalaku
“It’s okay, Baby. It’s okay. Back to sleep” ujarnya berulang kali.

Aku menghirup aroma Eldath dan kata-katanya mengulang-ngulang dalam pendengaranku


“Jangan pergi” ujarku

“Aku disini” katanya. Dia menghela nafas pelan.

Aku membuka mataku dan menarik nafas panjang. Matahari sudah bersinar di depanku. Aku
berbalik dan tak mendapati Eldath. Tubuhku segera bereaksi dengan duduk tegak dan melihat
kesemua sudut kamar. Aku menarik nafas lagi saat melihat ponselnya masih tergeletak di meja
sisi tempat tidurnya. Pagi sudah jam delapan. Aku kesiangan. Aku duduk di pinggir tempat tidur
menahan kepala yang terasa pusing.

Mimpi tadi malam itu, adalah semua yang aku takutkan. Eldath memilih Emmy! Aku mengadah
menatap langit-langit. Pintu ruang wardrobe bergeser dan Eldath keluar dari sana. Mengenakan
jeans biru dan kemeja putih yang tidak dimasukkan. Dia tak siap-siap ke kantor? Dia tersenyum
dan melangkah dekat.

Dia berlutut di depanku, mendongak menatapku. Menampatkan dua tangannya di lututku “Hei”
sapanya

“Hei” aku tersenyum, memberanikan diri menelusupkan tangan ke dalam rambutnya yang
berantakan, belum disisir.

“Kau sudah baikan?” salah satu tangannya menyentuh pipiku.

Aku mengangguk dan tersenyum. Dia sangat tampan.

“Apa itu?” tanyanya

Aku menghela nafas “Bukan apa-apa” aku tersenyum

“Sayang,” dia bangkit, namun masih menumpu badan di lututnya “Apa itu?” ulangnya

“Kau tak ke kantor?” tanyaku “Kau sudah terlambat, pergilah”


“Ruby, tolong” dia menempelkan dahinya ke dahiku. Wangi Eldath sungguh memabukkan. Dia
tersenyum tipis dan mencium rambutku “Apa yang membuatmu sangat takut?”

Aku memeluk Eldath, menyembunyikan kepalaku di ceruk lehernya. Wangi parfum, sabun dan
aroma khas Eldath memenuhi syarafku. Aku menghirupnya selama mungkin sementara dia
mengelus punggungku. Aku tak mau kehilangan Eldath lagi! Tidak lagi, apalagi pada wanita itu!
Aku bisa gila!

“Kehilanganmu” kataku pelan

+++
44. Dia Bertahan

Eldath’s POV

Aku tersenyum melihat Ruby berusaha menikmati sarapannya. Aku tahu dia tak berselera
sekarang. Hanya saja, aku tak mungkin membiarkan dia pergi tanpa sarapan dan tampang pucat
seperti itu lagi.

“Apa kau tak mau tinggal di rumah saja?” aku membawa gelas jusku untuk duduk di stool
samping Ruby.

“No, aku nggak papa. Aku tak ingin Jenda khawatir!”

Cih, dia lagi “Jenda? Semua ini tentang Jenda akhirnya” aku mendesis

“Bukan itu, El” dia protes, suaranya lemah. Dan aku ikut-ikutan lemah mendangar suara lirihnya.
“Aku bilang padanya kalau aku baik-baik saja dan bisa masuk kantor. Tolonglah” ujarnya.

Jenda! Aku sudah cukup emosi melihat dia begitu dekat dengan Ruby kemarin. Aku ingin
mencekik lehernya saat tangannya dengan mudah melingkar di bahu istriku dan tatapannya yang
oh begitu penuh cinta. Kebutuhanku untuk mengklaim Ruby sebagai milikku makin besar
sekarang! Sial!

“Aku bisa saja mengenyahkan Jenda sekarang”

“Eldath, ayolah jangan seperti ini” suara Ruby menarikku dari pikiranku kembali.

“Kau mimpi apa?” tanyaku lagi

“Bukan apa-apa!” dia mengusap lenganku “Aku sudah tak ingat”

Oh aku ingin sekali melihat ke dalam kepala Ruby, mengetahui apa mimpinya semalam “Apa
ada aku? Apa tentang aku, atau kau?”

“Ini tentang aku” katanya. Dia bangkit dari stool. Berjalan menuju tempat cuci piring.

“Biar aku, tinggalkan saja”

Dia tertawa “Bagaimana bisa?” dia mencuci mangkuk sereal dan gelas bekas susu vanilanya.
Oh ya, senang mendengar tawanya lagi. Aku meneguk jus jerukku dan bangkit dari bangku
“Ayo” kataku

“Kau tak harus mengantarku kalau kau ingin di rumah saja, Eldath”

“No, biar aku mengantarmu hari ini, Sayang” aku menunggunya memakai jaket. Dia kelihatan
sangat nyaman dengan kemeja motif print dan rok pensil di bawah lutut berwarna abu-abu. “Kau
sangat cantik, Rue!”

“El, kau membuatku bingung dengan semua yang kau lakukan belakangan ini” dia menatapku
dan itu tatapan serius.

Aku mengangkat bahu merasa tak ada yang aneh. Oke, mungkin aku lebih suka
memperhatikannya sekarang, jadi lebih peduli dan well apa ini- ingin selalu berada dekat
dengannya. Apakah aku remaja yang baru saja jatuh cinta?

Dia menganggandeng lenganku dan kami melangkah keluar “Kau tahu, aku senang kau sudah
mulai berubah”

“Berubah bagaimana?”

“Kau lebih baik padaku”

“Apakah aku tak baik selama ini?”

“Kau tahu apa jawabannya”

“Sayang,” aku mendesah “Kau tahu aku bisa saja berubah dalam beberapa menit lagi. Jangan
merusak mood” aku mengingatkannya.

“Aku akan menjemputmu” kataku saat mobil berhenti di parkiran basemen kantor Ruby

Dia mengangguk “Oke, nikmati hari liburmu kalau begitu”

“Aku ingin kau juga libur, Rue” aku memaksa “Kau masih tampak pucat”
“Aku nggak bisa” dia menyentuh pipiku “Baiklah, aku sudah telat” dia menarik tangannya,
memindahkannya ke handel pintu “Um, sini” katanya

Aku tersenyum dan mendekat padanya. Dia mencium sudut bibirku ringan, sekali “Aku
mencintaimu” bisiknya

Aku terkesiap, kalimat ini lagi. Dia menghela nafas dan menegakkan tubuhnya “Bye”

“Aku bukannya mau ikut campur, tapi kau tidak seharusnya bersikap dominan seperti itu” ujar
Nevan, dia menghembuskan asap rokok dari sela-sela bibirnya.

Aku mendengus, mengapa aku malah mendengar ini darinya?

“Apa kau tak bosan selalu bersikap seperti itu padanya? Ruby benar, kau yang meminta
pernikahan kalian nggak disebarkan. Sekarang kau yang marah. Marah pada Ruby, marah
padaku” dia tertawa pelan

“Hentikan!” aku meneguk cepat isi gelas terakhir. Aku tak butuh dengar ini dari Nevan. Dialah
yang memancing kemarahan.

“Bukankah kau bajingan yang beruntung, El?” dia memiringkan kepalanya di depanku.

Apa dia bilang? Bajingan! “Don’t try me, Van. Aku tidak dalam kondisi good mood sekarang”
aku mengingatkannya. Aku bisa saja menerjangnya sekarang kalau aku mau.

Dia mendengus “Yah, bajingan!” ulangnya “Lihatlah sikapmu pada Ruby ini, bahkan aku pikir
ini bukan pertama kalinya kau bersikap seperti ini”

“Shut up!”

“Dan dia masih bertahan!” sela Nevan “Dia masih menahannya untukmu, El! Lihatlah betapa
bajingannya kau!!” seru Nevan “Akuilah kalau kau juga tak mau kehilangan dia lagi!”

Kepalanku mencengkram gelas kecil di depanku. Nevan menatapku dengan matanya tanpa
berkedip. Dia menyeringai tak jelas “Sekarang kau tahu kan, betapa beruntungnya kau dan
betapa bodohnya Ruby itu! Bisa-bisanya dia masih menahan semuanya” dia menggeleng.
Suara ringtone handphone di atas meja membuat aku terkesiap dan seperti terlempar langsung
pada waktu sekarang. Aku mengeceknya. Dari Luke. Aku bangkit dari kursiku, berjalan masuk
ke wardrobe dan mengganti pakaian. Aku punya janji bertemu Luke hari ini. Tanganku perlu
pemeriksaan menyeluruh walau kemarin dokter bilang tak apa-apa.

Butuh satu jam untuk sampai di rumah sakit dimana Luke bekerja. Dia punya lumayan banyak
pasien hari ini. Aku menunggu satu jam sampai namaku dipanggil dan aku masuk ke ruangan
Luke. Sebenarnya, aku tidak perlu menemui Luke untuk memeriksaku, toh dia juga sebenarnya
bukan dokter ortopedi. Tapi, hanya karena dia pernah mempelajari ilmu massage tradisional
Tiongkok beberapa tahun lalu, makanya aku memintanya memeriksaku.

Setelah melalui tahapan panjang dan bertele-tele ala Dr. Luke Thompson, akhirnya aku selesai.
Mengendarai mobil menuju rumah Mom, aku kembali pada pertemuan dengan Nevan, tepat
setelah aku marah pada Ruby beberapa hari lalu. Saat ada nama Gala dalam perbincangan
mereka. Bocah itu menemukanku!

“Kau akan terlambat, Eldath!” kata Nevan

Aku hanya mendengarnya, sementara beberapa skenario benar-benar bergulat dalam pikiranku.
Bagaimanapun, Nevan benar. Ruby memang tak pernah mengeluh selama ini, dia bilang dia
akan menunggu. Dan ya, aku memanfaatkannya! Aku tak tahu bagimana perasaannya setiap kali
kami bertengkar. Aku tak tahu sudah berapa banyak dia, well, terluka karena aku. Aku juga tak
tahu bagaimana dia menahannya selama ini!

“Pulang sana, dia pasti menunggumu!”

Aku juga tak mau kehilangan dia untuk kedua kalinya, Nevan benar!

Aku menghidupkan lampu sein, berbelok ke area Red Block Residence. Berjalan lurus beberapa
meter dan berbelok lagi pada salah satu rumah. Suara rengekan bayi melengking saat aku
membuka pintu. Aku mengernyit, tak biasanya Si Kembar menangis sampai seperti itu. Aku
segera melangkah menuju kamar mereka.

“Kenapa?” tanyaku tanpa basa-basi


Mom menoleh padaku, lalu Aira “Eldath, kenapa kau bisa disini sekarang?” kata Mom, dia
memelukku sebentar “Kau tak ke kantor?”

Aku menggeleng “Ada apa dengan mereka. Suaranya mengerikan”

“Loui sedang sakit, dia rewel sekali” kata Aira “Panasnya belum turun dari semalam”

“Chester?” tanyaku

“Sedang dalam perjalanan pulang kesini”

“Kau yakin dia cuma demam? Ayo bawa dia kerumah sakit. Joey bagaimana? Dia baik-baik
saja?”

“Ya, dia nggak papa. Tapi sepertinya dia ikut-ikutan rewel juga” Aira menepuk punggung Loui
dalam dekapannya. Aku bisa melihat wajah Loui yang memerah lantaran panas yang dideritanya
juga tangisannya itu.

“Kita tidak perlu menunggu Chester” kataku “Mom, kemasi barang Loui. Ayo cepat” perintahku
seraya mengambil car seat untuk si kembar dan memasukkannya ke dalam mobil.

Mom segera kembali masuk untuk mengambil Joey dan keluar lagi. Aira menyusul tak lama
setelahnya, masuk ke dalam mobil. Kekhawatiran bergelayut dalam pikiranku lantaran tangis
Loui yang tak kunjung reda, bahkan makin kencang. Mom mendekap Joey yang sedang tidur,
menimangnya agar tak terjaga lantaran suara tangisan adiknya yang lahir lima menit setelahnya
itu.

Dua puluh menit, kami sampai di rumah sakit terdekat. Aira berjalan cepat menuju meja
resepsionis, menunjukkan kartu platinum pada salah satu petugas dan salah seorang perawat
yang berjaga segera mengambil Loui untuk di bawa ke ruangan tindakan. Aira menghembuskan
nafas berat. Wajahnya tampak sedih saat mengikuti perawat itu.

“Kau pegang Joey” kata Mom yang ikut masuk dalam ruang tindakan.

Aku menempatkan Joey ke dadaku, menepuknya pelan agar dia tak terjaga. Segera mencari
tempat duduk dan menunggu dua orang itu kembali. Joey sangat damai dalam tidurnya. Semoga
saja dia tak ikutan sakit. Chester datang menyerbu dari pintu. Wajahnya tak kalah mengerikan
dari wajah istrinya. Dia menatapku dengan nafas yang masih tersengal-sengal.

“Di ruang tindakan” kataku seakan tahu dia butuh informasi apa saat ini.

Dia mencium kening Joey sebelum ikut masuk. Aku membuang nafas, chaos banget keadaan
disini. Aku menunggui siapa saja yang keluar dari ruang tindakan untuk tahu keadaan
keponakanku. Sementara Joey mulai gelisah dan membuka matanya melihatku.

Akhirnya Chester keluar besama Mom. Mereka segera duduk di sebelahku. Chester mengambil
alih Joey dariku “Bagaimana?” tanyaku

“Mereka sedang melakukan pemeriksaan darah” kata Mom “Ah, aku tak tega melihat Loui
seperti itu”

“Kau harus menemani Aira, Ches. Dia pasti ingin kau ada disampingnya sekarang” kataku

“Ya, Eldath benar. Temani Aira sekarang, biar kami menjaga Joey disini” kata Mom.

Chester mencium anaknya sebentar lalu menyerahkannya pada Mom. Dia menepuk Joey yang
kini sudah terbangun “Semoga adikmu baik-baik saja, Joey” bisik Mom. Dia mencium Joey
sekali “Hah, kenapa pula suster mereka tak ada disini sekarang” keluh Mom

Aira dan Chester keluar dari kamar berdua. Aira kelihatan habis menangis. Aku menelan ludah,
menunggu mereka duduk di dekat kami.

“Loui sepertinya akan tinggal untuk beberapa hari. Dia harus menjalani beberapa pemeriksaan”
kata Chester “Aku rasa aku dan Aira harus menemaninya disini”

“Dan soal Joey, kami juga tak ingin dia ada disini. Dia bisa tertular penyakit dan ada
kemungkinan dia akan lebih mudah sakit karena saudara kembarnya sakit”

“Ya, aku pernah dengan yang seperti itu” kataku sambil menggosok daguku dengan jari.

“Tenang saja, aku akan menjaganya dirumah. Kalian jagalah Loui disini” kata Mom

“Mom” kata Chester “Aku bukannya tak percaya Mom untuk menjaga Joey. Tentu saja Mom
adalah nenek mereka yang paling aku andalkan. Hanya saja, Mom juga sedang tak terlalu sehat
sekarang. Aku takut Mom jadi sakit pada akhirnya” ungkapnya “Dan kami juga nggak bisa
nunggu Mama Aira untuk datang dalam waktu yang singkat”

“Chester, aku baik-baik saja” kata Mom meyakinkannya

“Mom, aku hanya nggak mau Mom mesti menjaga Joey apalagi saat malam hari. Dan dia pasti
rewel”

Percaya atau tidak, aku tahu kemana arah pembicaraan ini!

“Makanya, Eldath..” dia melihatku.

Aku menyeringai.

“Aku butuh bantuan kau dan Ruby” dia menghembuskan nafas “Aira pikir ini yang paling
mudah. Kami ingin kalian menjaga Joey untuk beberapa hari saja”

Well, bingo! Aku terdiam, melihat Joey dalam gendongan Mom dan menatap Chester lagi, lalu
Aira. Ibu anak-anak itu tersenyum sambil menganggukkan kepalanya. Seperti sebuah sugesti
padaku.

“Kau bisa menanyakannya dulu pada Ruby” kata Aira “Kalau dia nggak bisa, ya akan lebih baik
dia disini saja dan Mom bisa membawanya saat malam hari saja” kata Aira

“Kami mengandalkanmu, Eldath” kata Chester “Mungkin untuk dua atau tiga hari. Sampai Loui
mendingan. Aku tahu konsentrasi Aira hanya pada Loui saat ini, begitu juga aku”

“Well,” kataku “Aku akan menanyakannya pada Ruby dulu”

“Dia tidak akan menolak” kata Mom. Dia memegang tangan Aira “Tenang saja, kau membuat
keputusan yang benar” dia tersenyum “Sekalian mereka belajar”

Aku mengernyit. Mom!

+++
45. A Baby?

Aku menyipitkan mata saat melihat Eldath bersandar pada pintu mobilnya, menungguku.
Tidakkah dia tahu sekarang jam pulang kantor dan ada banyak karyawan yang akan ke basement
mengambil mobil mereka? Dia mengenakan t-shirt yang dilapisi jaket kulit hitam dan jeans
hitam. Eldathku! Begitu aku sampai di depannya, dia segera menarikku dalam pelukannya.

“Eldath!” seruku tak percaya. Dia menelusupkan kepalanya di antara bahu dan leherku, berhenti
disana untuk mengambil nafas. Ada yang salah!

“Hei, banyak orang disini” kataku mengingatkannya. Aku segera menunduk, menenggelamkan
kepalaku di bahu Eldath saat terdengar sebuah sensor mobil. Sialan! Ada apa dengannya?
Dimana kamera pangawasnya? Apa mereka menangkap kami?

“RUBY!!!” seru seseorang.

Oh tidak, siapa itu? Siapa pula yang mengenaliku seperti ini? Aku mengangkat kepalaku sedikit,
mencari sumber suara. Wulan! Aku melambaikan tangan padanya dan dia menggelengkan
kepalanya. Tidak. Tidak. Aku memastikan dia masuk ke mobilnya kemudian.

“Eldath” bisikku sambil mengguncang lengannya

“Ruby” dia mengangkat kepalanya “Hai” sapanya. Dia merapikan rambutku sekilas.

Aku menatapnya lalu segera membuka pintu dibelakangnya “Aku yang menyetir” kataku seraya
mendorongnya menjauh. Begitu dia bergeser, aku segera masuk ke dalam. Well, nggak lucu
kalau kami kepergok di basement. Walau aku tahu beberapa orang sempat melihat kami tadi.

Aku sadar Eldath mau protes saat aku memilih mengendarai mobilnya. Namun, dia tak punya
pilihan saat mesin mobilnya aku hidupkan. Dia tersenyum tipis lalu memutari mobilnya untuk
duduk di kursi penumpang di sampingku.

“Ada apa?” tanyaku saat mobil kami sudah keluar gedung Yellow Block.

“Apa?” tanyanya
“Kau tak berhasil menyembunyikan apapun itu dariku” aku berkonsentrasi pada jalanan di
depanku.

“Oh ya?” katanya “Tak ada apa-apa. Well, kau akan tahu. Aku tak tahu bagaimana kau akan
menerimanya nanti”

“Jangan main-main denganku seperti ini, El, aku tak suka” kataku

“Jalankan mobil ke rumah sakit Paloma”

Aku menatapnya sebentar “Rumah sakit?” ulangku “Siapa yang sakit?”

Dia mengusap kepalanya dan bersandar pada jok “Hei, kau terlalu dekat dengan Lancer di
depanmu, Sayang” dia menunjuk dengan dagunya “Hati-hati”

“Kau belum menjawab pertanyaanku!”sergahku tanpa ada niat untuk menurunkan kecepatan
BMW Eldath.

“Kau harus menjaga jarak dengan mobil itu. Dengarkan aku”

Siapa yang butuh kuliah mengemudi sekarang? Aku menghela nafas, mengangkat kakiku sedikit
dari pedal gas dan kecepatan menurun “Puas sekarang?”

“Begini lebih baik. Apa kau medapatkan SIM dengan jalur resmi? Kau menyetir dengan buruk”
katanya. Masih soal menyetir rupanya.

“Berhentilah mengoceh soal menyetir dan jawab pertanyaanku! Siapa yang sakit?”

“Loui masuk rumah sakit” akhirnya dia menjawab pertanyaanku setelah aku memutuskan tak
bertanya apa-apa lagi.

“Loui?” ulangku “Kenapa bisa?” oh Loui yang malang.

“Waktu dibawa tadi dia hanya demam. Sekarang dia masih diperiksa. Mungkin hasilnya sudah
keluar” sepertinya Eldath merasakan kesedihan atas keponakannya yang sedang dirawat di
rumah sakit.

“Bagaimana dengan tanganmu?”


“Hm?” dia melihat tangannya “Ini baik-baik saja” katanya

Satu tanganku terulur untuk memegang lengannya.

“Astaga, Ruby! Bisakah kau berkonsetrasi saja?” tanyanya “Jangan menyetir dengan tangan satu
seperti ini!” dia mengenyahkan tanganku.

Aku mendesah, tak paham. Ada apa dengannya dan keahlianku menyetir? Ini bukan masalah
besar hingga dia menaikkan suaranya bahkan lebih kuat daripada John Rzeznik di player
mobilnya.

“Kau benar-benar sudah berlebihan masalah ini, El”

Kami tak bebicara lagi sampai tiba di rumah sakit. Kami masuk dalam sebuah kamar VIP. Mom
sudah ada disana, sedang menggendong Joey dan mencium pipiku sekilas. Aira dan Chester
masih berada di ruang tindakan. Aku duduk disebelah Mom dan menatap Joey yang sepertinya
habis menangis. Eldath duduk di sebelahku.

“Dia baik-baik saja, Mom?” tanyaku

“Ya, dia baik-baik saja. Kau pasti lelah langsung kesini, Sayang”

“Ah, aku menyesal karena aku baru tahu ini, Mom. Aku tentu saja akan langsung kesini” aku
tersenyum “Apa hasilnya belum keluar?”

“Belum” Mom menggeleng

“Mom, aku rasa sebaiknya Mom pulang sekarang. Mom pasti lelah dari tadi disini” kata Eldath

Aku mengangguk setuju. Walau aku bingung siapa yang akan menjaga Joey kalau Mom pulang.

“Aku masih ingin disini. Setidaknya sampai Loui masuk kesini” dia menghela nafas

“Biarkan aku menggendong Joey, Mom” pintaku

Dia dengan senang hati menyerahkan Joey padaku. Bayi enam bulan itu menggeliat,
memanjangkan tangannya melewati kepalanya dan melihatku “Hai Joey” sapaku.
Eldath mengenggam tangan Joey dan bayi itu tak keberatan dengan ulah pamannya. Bibirnya
terbuka membentuk sebuah senyuman mungkin. Begitulah yang terlihat bagiku. Dia memang
sangat menyukai Eldath sepertinya.

Pintu kamar perawatan terbuka dan beberapa orang masuk. Salah seorang dari mereka
mendorong kereta bayi. Chester dan Aira tak jauh dibelakangnya. Mereka menaruh kereta itu
dekat tempat tidur. Loui sedang tidur, dengan selang tertusuk di salah satu lengan mungilnya. Oh
sungguh tak tahan melihatnya.

“Bagaimana?” kata Mom

“Hanya demam” kata Chester “Tapi mungkin dia akan melalui beberapa tes lagi. Dokter takut
dia menderita Kawasaki karena kulitnya memerah”

“Semoga saja tidak” ujar Mom. Dia melihat Aira lalu memeluknya lama.

“Kau sudah datang, By,” dia menyapaku saat Mom sudah melapaskan pelukannya.

“Hei” sapaku. Joey sudah berpindah tangan pada Daddy-nya.

“Hei, maaf harus merepotkanmu” dia memegang tanganku “Apa Eldath sudah bilang padamu?”

Aku melirik Eldath, dia mengangkat bahunya “Bilang apa?” tanyaku

Aira tersenyum namun menatap Eldath kesal “Kami ingin minta tolong padamu, kalau kau
bersedia”

“Apa? Tentu saja aku mau” kataku

“Well, kau tahu aku dan Chester akan menjaga Loui disini untuk sementara waktu. Kami juga
tak mau Joey sakit karena dia ikut kesini. Kau tahu rumah sakit, kan?” dia seakan mengingatkan
aku.

“Ya, aku tahu, tentu saja”

“Jadi, kalau kau bisa, aku ingin kau menjaga Joey beberapa hari”

Wait, what? Menjaga Joey? Yang berarti tinggal dengan Joey, kan?
Eldath melingkarkan tangannya di sekitar bahuku. Aku melihatnya.

“Aku tak akan memaksamu. Kalau kau tak bisa, tentu saja dia akan disini dan Mom akan
menjemputnya malam hari. Dia tak boleh ada disini” kata Aira

“Kau percaya padaku?” tanyaku. Aku hanya tak percaya dia akan menyerahkan anaknya untuk
aku urus. Aku tak tahu apa-apa tentang mengurus bayi walaupun aku 27 tahun!

“Tentu kami percaya padamu!” katanya Chester, “Mom tak akan kuat menjaga Joey yang
mungkin akan rewel karena Loui sedang sakit. Kami tak tahu siapa lagi, suster mereka sedang
pulang kampung. Well, selain itu aku rasa Eldath sudah beberapa kali berurusan dengan anak-
anak ini”

“Well, aku hanya tak seberani itu” aku meringis “Tapi kalau kalian memang percaya padaku, aku
akan menjaganya untuk kau dan Aira, untuk kalian” aku mengangguk mantap. Lagian Eldath
akan menolongku kan? Ini nggak akan seburuk itu.

“Sekalian latihan, siapa tahu kalian akan punya anak dalam waktu dekat” kata Mom. Oh, kenapa
rasanya mukaku panas sekarang?

Aku tertawa pelan. Kurasakan tangan Eldath meremas bahuku pelan “Kita akan
membereskannya” katanya pelan. Aku mengangguk dan menghela nafas.

“Thank you, By. Kami sangat berterima kasih padamu” ujar Aira “Dan kau tentu saja, Eldath”
tambahnya

Begitulah aku setuju untuk menjaga Joey beberapa hari. Eldath sama sekali tak keberatan dari
awal. Dia mencemaskan aku, bagaimana aku akan menjaga Joey. Ya, aku tak punya pengalaman
sedikitpun mengurus bayi. Aku tak punya adik. Dan sejauh ini aku hanya menggendong Si
Kembar. Tak pernah mengganti popoknya, memberi mereka makan atau mengantarnya tidur.
Bukannya itu akan sulit?

“Kau menyetir dengan tangan satu!” protesku

“Aku adalah pengecualian” kata Eldath.


Dia terlihat sangat anggun saat menyetir dengan tangan satu. Memundurkan mobilnya dengan
salah satu tangan berada di belakang kursiku. Kepalanya fokus pada hal-hal yang berada di
belakang mobilnya. Setelah dia berhasil mundur dari halaman rumah Mom, kami ke luar Red
Block Residence.

Mobil Eldath sudah penuh dengan semua perlengkapan Joey. Dia sedang di pangkuanku, tertidur
dengan nyenyak. Terima kasih karena telah tidur, Joey. Walaupun aku tak tahu untuk berapa
lama dia setenang ini. Eldath tak menghidupkan musik playernya. Dia tak ingin membangunkan
Joey dengan suara berisik.

“Tenang saja. Dia lebih kalem dari Loui. Dia nggak akan membuat banyak masalah”

“Aku tak mengerti bagaimana mereka bisa percaya pada kita”

“Aku paman mereka, Rue. Tentu saja mereka percaya padaku. Dan kau, tentu saja karena kau
menyayangi mereka. Joey juga suka padamu” dia menaikkan kecepatan mobilnya lantaran
jalanan yang sudah lumayan lengang.

“Aku akan bolos besok. All thanks to you, Baby” aku menjalarkan ujung jariku pada pipinya
yang montok. Malaikat kecil, ya.

Eldath berulang kali kembali ke mobil untuk memindahkan semua barang-barang Joey ke
apartemen. Aku menunggui Joey dengan berbaring di sebelahnya.

“Apa dia akan tidur di antara kita?” tanya Eldath setelah dua kali bolak-balik

Aku melihatnya. Joey punya tempat tidurnya sendiri memang. Masa dia mesti tidur di bawah?
Walaupun jelas tak ada masalah dengan itu. Hanya saja, sementara aku dan Eldath tidur diatas
tempat tidur kami, Joey tidur di bawah? Astaga, ide macam apa itu?

“Ya, tentu saja” kataku “Kita akan meletakkan kasur kecilnya disini” kataku menepuk tempat
tidur kami.

“Oh, kau mengambil tempatku, Jojo” katanya sambil berjalan menuju ruang wardrobe.
Aku bangkit dan membiarkan Joey tidur. Baju hangatnya yang berwarna biru sangat nyaman.
Dia mengenakan sarung tangan dan kaos kaki yang matching. Dadanya turun naik dengan teratur
dan bibirnya sedikit terbuka.

Tolong bertahanlah sampai pagi, Sayang. Doaku.

Berjalan ke wardrobe, dimana barang-barang Joey diletakkan. Dia punya satu koper untuk
pakaian bersihnya. Satu tas lagi untuk diapersnya, serta keperluan mandinya. Lalu ada tas lain
yang berisi semua perlengkapan tidurnya, selimut, bantal kecil, alas tidurnya serta mainannya.

“Wow, Si Kecil ini punya banyak barang untuk dibawa”

Eldath keluar dari kamar mandi. Mengenakan celana traning tanpa baju. Rambutnya masih
basah. Dia mengacak-ngacak rambutnya dengan jari. A hot mess! Aku harus menahan diriku
untuk tidak melompat memeluknya. Aku butuh oksigen, demi Zeus! Dada Eldath adalah maha
karya. Aku bisa kenyang hanya dengan melihatnya saja.

Dia berjalan dan berhenti di depanku “Apa itu? Yang kau pikirkan,” tanyanya

“Um..” aku menarik nafas “Apa kau sudah makan?” tanyaku “Karena aku lapar” aku berbalik
dan pergi dari hadapannya.

Aku mengerjap, menghidupkan lampu dan menoleh ke sebelah. Asal suara rengekan berasal.
Joey sudah membuka matanya, menggapai entah apa dan matanya sudah basah.

“Uh, Joey kau terbangun” aku mengelus kepalanya. Sadar tak ada Eldath disebelahnya, aku
duduk. Dia tak ada di kamar. Aku mengangkat Joey dan menimangnya sebentar. Apa yang harus
aku lakukan?

Aku melihat jam. Jam tiga pagi! Dimana Eldath?

Joey masih menangis dan aku hanya bisa mengusap kepalanya. Berdiri, aku mengikat rambutku
dan kembali menggendong Joey. Aku menghidupkan lampu utama dan berjalan ke kamar mandi.
“Eldath?” panggilku. Joey sudah berhenti menangis. Untunglah. Sepertinya dia hanya sedikit
terganggu dalam tidurnya.

Aku keluar kamar dan Joey kembali merengek. Ayolah, apa dia lapar? Menuruni tangga hati-hati
karena aku masih setengah sadar.

Eldath ada disana. Di ruang kerjanya saat aku masuk. Dia sedang memperhatikan laptopnya
sekarang “Aku akan menghubungimu lagi” dia kemudian menekan beberapa tombol di
laptopnya.

“Hei, kenapa Joey?” katanya melihatku, selesai laptopnya.

“Dia terbangun. Apa yang kau lakukan?” tanyaku. Berjalan, dan duduk di sofa dekat jendela.

“Um,”

Dia bangkit dan duduk disebelahku. Menaruh ujung jarinya Di tepi bibir Joey dan bibir bayi itu
mengikuti kemana jari Eldath pergi “Dia lapar” kata Eldath. Aku memandanganya, tak berpikir
untuk menggunakan teknik itu tadi.

“Aku akan mengambil susunya” kata Eldath beranjak keluar.

Aku menungguinya dengan semua rasa penasaranku tentang apa yang dilakukan Eldath pada
laptopnya sebelum aku masuk. Tidak, tidak! Aku tak mungkin mencurigai Eldath sampai seperti
itu.

“Sst, Joey tunggu sebentar ya,” aku membujuk Joey yang masih menangis. Dia menggeliat tak
suka dalam dekapanku.

Laptop Eldath masih menyala. Tak ada salahnya melihat sedikit, kan? Aku berjalan mendekati
meja kerjanya. Sambil menggigit bibir bawahku, aku melongo mendapati screen bergambar
diriku. Oh tidak! Itu jelas aku, pada hari penikahanku. Tidak. Mana mungkin dia memilih itu
menjadi layar gambar pada laptopnya. Dia pasti sengaja, kan? Ini pasti direncanakannya pada
beberapa menit yang lalu, kan?

Pintu terbuka makin lebar dan Eldath masuk, membawa botol susu milik Joey. Dia melihatku.
Aku berdiri kikuk dan kembali ke sofa. Menerima botol susu dari Eltath tanpa suara dan segera
meminumkannya pada Joey. Anak itu langsung diam dan meneguk cepat air susu ibunya yang
memang sudah dipersiapkan itu. Ajaib.

“Kau menemukan sesuatu?” tanya Eldath

“Um, seperti apa?” aku balik tanya

“Kau ketahuan. Hati-hati lain kali, ya, Sayang”

“Kau menyembunyikan sesuatu dariku?” aku menatapnya

“Ayo kembali ke kamar” katanya. Mematikan laptopnya dan mendekatiku.

Aku berdiri menjauhinya. Dia merentangkan tangannya padaku, “Kau marah sekarang?” dia
menyeringai.

Aku berbalik dan berjalan naik ke tangga. Aku mendengar dia menutup pintu ruang kerjanya.
Meletakkan Joey di tempat tidur sambil tetap memegangi botolnya. Dia sudah menghabiskan
hampir semuanya saat dia mengalihkan kepalanya. Dia sudah tak mau lagi. Eldath masuk dan
mengambil tempat di sebelah Joey.

“Tidurlah lagi,” kata Eldath, mengelus kepala Joey “Istriku juga butuh tidur” dia melihatku
“Oke, Joey”

Joey baru tidur lagi jam setengah enam pagi, dan selama itu pula aku terjaga menemaninya.
Melihatnya bermain dengan mainan kecilnya. Mendengar dia berbicara dengan satu silabel yang
hanya dia yang mengerti dan tentu saja meredakan beberapa rengekannya lagi agar tak
membangunkan Eldath. Eldath tampak tenang berbaring di sebelah Joey, memiringkan tubuhnya
ke arah keponakannya itu dan menggunakan lengannya sendiri sebagai bantal. Mereka berdua
adalah kombinasi terbaikku hari ini.

Meregangkan badan dan berjalan ke kamar mandi. Tidak punya waktu lagi untuk tidur.
Membasuh mukaku dan berjalan keluar kamar. Aku suka menikmati pagi hari dari jendela di
ruang TV ini. Peralihan malam ke pagi yang luar biasa. Lalu aku teringat laptop Eldath ada apa
yang disembunyikannya dariku. Aku berjalan cepat ke ruang kerjanya yang juga dia fungsikan
sebagai ruang bacanya. Menekan rahangku kuat-kuat, aku menghidupkan komputernya. Oh
tidak, aku butuh password. Sial!

Naïf sekali aku berpikir bahwa komputer ini tidak diamankan oleh Eldath. Aku meremas tepi
meja. Pikir Ruby, pikir, perintahku. Ada banyak yang bisa dijadikannya password. Mungkin
tanggal lahir Mom, seperti password pintu apartemennya. Ditolak. Oh come on, tanggal lahir
Eldath. Ditolak. Tanggal lahirku? Well, apa yang aku harapkan? Tentu saja ditolak. Kalau aku
tidak cepat dia bisa saja menangkapku lagi. Kepalaku terasa ditusuk-tusuk lagi sekarang.
Tanggal pernikahan kami? Tanda silang merah yang artinya bukan password yang benar. Ya
ampun, pria ini pelit sekali.

Apa yang penting? Ayahnya! Aku mengetik nama Peter dan lagi-lagi bukan akses yang benar.
Oh, aku memutuskan untuk menyerah sekarang. Tunggu, aku masih punya satu tanggal lagi.
Anniversary kami! Wrong password!

“Baby?”

Shit! Itu Eldath. Kenapa dia sudah bangun? Aku menarik nafas dan memutar otak. Apa yang
akan kulakukan sekarang. Mamatikan laptopnya, tanganku gemetar. Aku berjalan ke balik rak
buku Eldath dan bertahan disana sampai suara Eldath hilang. Aku melangkah dengan pelan,
menghela nafas dan menarik handel pintu.

Tubuh Eldath menjulang di depanku. Dia menyilangkan tangannya di depan dada, menyeringai
menatapku. Mata birunya sangat tenang, setenang langit pagi ini “Hai” sapanya “Aku
mencarimu”

“Oh?” aku bergumam “Ya, ada apa?”

“Tentu saja aku ingin melihatmu, apa lagi” dia tersenyum, bukan dalam arti yang baik.

Dia menahan jalanku, jelas sekali tak memperbolehkan aku keluar. Dan melawan tubuh Eldath
sekarang, bukanlah ide yang bagus “Kau bangun pagi” kataku kikuk

“Ruby, apa yang kau lakukan disini?” ulangnya “Sepagi ini?”


Aku menghela nafas “Aku ingin memeriksa laptopmu” kataku “Tapi, aku tak tahu passwordnya
apa” aku mengangkat bahu. Sudah kepalang basah, mengaku saja.

Dia tertawa pelan, memegang bahuku serentangan tangannya “Kau terlalu penasaran” katanya
“Itu tidak baik. Bagaimana kalau kau menemukan sesuatu yang tak ingin kau lihat?” dia
berdehem “Atau sesuatu yang aku tak ingin kau melihatnya” dia mendesis.

Aku bergidik. Apa yang dia tak ingin aku lihat? Aku mengangkat bahuku lagi. Dia benar, ada
banyak yang dia sembunyikan dariku. Aku merasakannya sekarang. Apa ada hubungannya
denganku? Dengan Emmy? Argh!

Eldath maju dan memelukku. Mengendus rambutku dan menghela nafas “Kau tak tidur dari jam
tiga, kan?” katanya

“Apa yang kau tak ingin aku lihat?” tanyaku “Apa tentang teman-temanmu? Mantan pacarmu
yang banyak itu?”

Dadanya terguncang saat dia lagi-lagi tertawa kecil “Kau tak perlu tahu. Kau tak perlu
melihatnya. Aku tak ingin kau melihatnya” dia terdengar serius “Ini bukan seperti yang kau
pikirkan”

Aku meninggalkannya untuk melihat Joey di kamar. Bocah itu masih tidur, ditimpa matahari
pagi yang terpantul dari jendela di depannya. Aku memindahkannya agar tak terpapar langsung.
Bibir kecilnya bergerak-gerak. Dia lucu sekali. Aku akan menelepon Aira sebentar lagi,
mengabarkan anaknya baik-baik saja.

Saat aku kembali ke dapur, Eldath sedang menunggu roti panggangnya. Dia sudah mengeluarkan
kotak sereal dan susu dari kulkas “Kau ingin sarapan apa?” suaraku membuat dia menoleh

“Aku bisa sendiri” katanya “Kau pasti lelah, duduk saja”

Aku berdiri disampingnya, mengambil sarung tangan yang sedang dipakainya “Kau yang duduk
saja” kataku
Aku bisa merasakan nafasnya di kulit wajahku saat dia berada di belakangku. Dia tak menuruti
perintahku rupanya. Tangannya menjalar di sekeliling perutku. Menempatkan dagunya di atas
bahuku dan bernafas di leherku.

“Berhenti!”

Dia mencium leherku lembut. Aku menahan nafas. Aku tak suka dia memanfaatkan titik
lemahku “Hentikan, El-dath” aku memohon “Duduklah sekarang”

Dia tertawa “Aku suka kau memanggil namaku seperti itu” dia makin merapatkan tubuhku “Aku
tak ingin kau memikirkan hal yang tidak-tidak!” ujarnya begitu dekat ditelingaku.

Eldath mencium bawah telingaku yang sukses mengantarkan gelombang aneh padaku. Aku
meremas tangannya yang ada di perutku. Bibir Eldath menyapu sepanjang rahangku dan aku
memutar tubuhku menghadapnya. Matanya berkilat menatapku. Aku menelan ludah. Persetan
dengan suara yang dibuat alat masak ini. Rotinya bisa menunggu untuk satu ciuman, kan?

Berjinjit, aku menangkup wajah Eldath dan menciumnya. Merasakan bibirnya yang bergerak,
membuka dan membiarkan aku masuk ke dalamnya. Merasakan lidahnya yang menyambutku
dan menarikku lebih dalam lagi. Eldath menarikku pinggangku hingga kami berpelukan.

Dia menjalankan tangannya di punggungku dan makin turun. Aku menarik bibirku saat aku
sangat yakin mendengar tangisan Joey dari atas. Oh anak itu! Eldath belum melepaskan
tangannya. Dia tersenyum dengan nafas terengah-engah, tak jauh beda denganku. Kami saling
menatap, mencoba mengatakan sesuatu, apapun. Namun tak ada yang lolos dari bibir kami.

Dengan ibu jarinya, dia mengusap bibir bawahku “Kau begitu nikmat” katanya “Aku akan
mengambil Joey” dia melihatku, lalu berbisik padaku “Kita butuh sendirian di rumah, Baby”

Aku memerah. Aku tahu itu. aku merasa panas di wajahku. Mendengar itu dari Eldath untuk
pertama kalinya, aku merasa malu.

+++
46. Kode

Eldath’s POV

Saat mendapati ruang tamu dan kursi main Joey yang kosong, aku segera naik ke atas. Disanalah
mereka berdua, tertidur. Melakukan gerakan dengan suara seminimal mungkin, berjalan ke
kamar mandi dan membersihkan tubuh. Yakin mereka masih dalam keadaan lelap, aku
meninggalkan mereka ke ruang kerja untuk melanjutkan apa yang tertunda dini hari tadi.

Aku tidak tahu sudaha berapa lama Ruby berdiri di pintu. Dia melihatku. Aku tahu dia sangat
penasaran dengan apa yang aku kerjakan dengan benda sialan ini, dan itu lucu bagiku“Apa Joey
baik-baik saja?” tanyaku

Dia mengangguk, bersandar pada pintu dan matanya tak lepas dari laptopku.

“Dia tidak sakit?” aku mengklik beberapa tombol dan semuanya tertutup. Menampilkan gambar
istriku sebagai backgroundnya. Ruby dan gaun pengantinnya. Aku suka gambar ini,
menampilkan dia dengan kecantikan luar biasa serta kebahagian di matanya. Aku memang
bajingan yang beruntung.

“Dia baik-baik saja” jawab Ruby. Dia masih berdiri disana.

“Well, kapan kita akan membawanya pada orangtuanya?” aku berdiri setelah yakin komputerku
mati.

Dia berdiri tegak “Aku akan siap-siap dulu” katanya “Kau bisa mengecek Joey, kan?”

“Tentu saja, Rue” kataku mengikutinya ke kamar “Apa yang kalian lakukan hari ini?” aku duduk
di tepi tempat tidur.

“Tak ada. Hanya bermain. Nadya datang dan dia mengajariku banyak hal tentang anak bayi. Aku
sudah berhasil mengganti popok, memberinya makan dan aku tahu bagaimana menidurkannya”

“Kau melakukan semuanya?”

“Berkat Nadya,” dia berkata sambil memasukkan beberapa keperluan Joey dalam tas “Kau lihat
dia sebentar ya,”
Kami sampai di kamar perawatan Loui dan Aira sangat senang melihat Joey. Well, bisa dibilang
Joey juga sangat senang bertemu dengan mamanya.

“Apa Loui sudah baikan?”

“Ya, hanya demam biasa” kata Chester “Tidak ada yang serius”

“Syukurlah” kata Ruby. Aku mengangguk.

“Apa dia rewel?” kata Aira

“Di beberapa waktu, ya!” kata Ruby “Tapi dia begitu kalem. Tak ada masalah”

“Terima kasih, By. Kau sungguh menolongku” kata Aira

“Hei, sudahlah. Aku suka menjaga Joey, dan Eldath juga sangat membantu. Dia bahkan lebih
pandai daripada aku”

Aku mengangkat bahu pada Aira “Aku bisa diandalkan dalam segala hal” ujarku “Told ya” aku
berjalan mendekati ranjang Loui. Dia menatapku sebentar, lalu tersenyum. Dia mengenaliku.

“Hai” sapaku menunduk untuk mencium tangannya “Cepatlah pulih”

Ruby datang mendekat, memegang tangan Loui dan menggerak-gerakkannya “Dia memang
tampak lebih baik” ujar Ruby

“Kapan kalian boleh pulang?”

“Mungkin besok kalau kondisinya stabil” ungkap Chester “Kami akan minta satu hari lagi untuk
menjaga Joey” dia tertawa

Ruby ikut tertawa, dia berjalan ke dekat Aira “Tentu saja. Dia membuat rumah jadi ramai”

“That’s the code” kata Aira “Ya kan El?”

Aku mengangkat sebelah alisku, tersenyum tipis.

Ruby mengerutkan dahinya melihatku. Tentu saja terserah dia. Man, aku masih ingat dia
menolakku malam itu dan bilang ‘tidak’ sampai aku mengaku jatuh cinta padanya. Dia begitu
pandai. Namun, rasanya aku tak bisa menunggu lebih lama lagi. Selagi dia masih menahan
semuanya untukku. Selagi aku belum terlambat. Aku hanya butuh waktu yang tepat.

Hari sudah malam saat kami pulang ke rumah. Joey menangis tanpa henti bahkan ketika kami
sampai. Aku menggendongnya dan Ruby cepat-cepat membuka pintu. Meletakkan Joey di
kursinya, dia masih menangis. Dia menangis sejak pulang dari rumah sakit tadi.

“Sepertinya dia sadar, dia berpisah dari mamanya” kataku

Ruby melepaskan jaketnya dan mengangkat Joey “Jangan menangis, Sayang” dia menepuk
punggung Joey dan berjalan-jalan.

“Rumah terasa sangat ramai sekarang” aku meregangkan badan dan berbaring di sofa.

“El, dia nggak mau diam”

“Hm?” aku bergumam “Dia hanya sedang sensitif. Harusnya kita bawa dia saat dia tidur”
keluhku.

Ruby berbicara pada Joey, memintanya diam dan tidur. Membawanya naik ke kamar. Aku masih
bisa mendengar tangisan Joey dari bawah sini. Dia pasti sedih berpisah lagi dari mamanya. Aku
bangun, mengambil jaket Ruby dan tasnya yang tertinggal menuju kamar.

Joey berguling-guling diatas tempat tidur sedangkan Ruby memperhatikannya “Dia tampak lucu
seperti ini” dia tersenyum “Maaf Joey, tapi kau tampak lucu menangis sambil berguling seperti
ini” dia mengambil Joey lagi dan tertawa di depanku.

Aku menggaruk belakang kepala “Berikan padaku” aku mengulurkan tangan dan Ruby
memberikan Joey padaku. Setelah memberikan Joey padaku dia pergi mengganti pakaiannya.

Seluruh wajah Joey memerah karena dia menangis dari tadi. Aku mencium pipinya dan
menepuk-nepuk punggungnya. Seperti yang selalu di lakukan Chester saat anaknya mulai rewel.
Namun, aku tak berhasil. Dia mengamuk dalam gendonganku dengan suara rengekan yang
sangat menganggu. Aku memeriksa apa dia lapar, ternyata tidak. Dia baru menyusu pada ibunya
sebelum pulang. Jadi dia tentu sedang tidak lapar. Pakaiannya juga baru diganti di rumah sakit
tadi. Ada apa dengan anak ini?
Ruby kembali dan menyiapkan tempat tidur Joey “Sebaiknya aku menelpon Aira” katanya

Aku mengangguk setuju. Dia mengambil ponsel dari dalam tasnya dan segera menghubungi
Aira. Terlibat percakapan beberapa menit dan akhirnya dia memandangku “Sini” katanya

“Aira bilang apa?” tanyaku, duduk di tepi tempat tidur dan memberikan Joey padanya.

“Semoga ini juga berlaku untukku” katanya. Sejurus kemudian dia berbaring dan meletakkan
Joey di dadanya, berbaring tengkurap “Aira bilang, Joey suka dibaringkan seperti ini” jemarinya
menepuk punggung Joey.

Tidak langsung bereaksi tapi berhasil. Tangis Joey kini sudah menjadi gumaman kecil yang
masih terdengar. Namun dia sudah tak merengek. Aku menghela nafas dan berdiri. Berjalan ke
kamar mandi.

“Jangan dekat-dekat” kata Ruby saat aku kembali dan bergabung dengan mereka di tempat tidur.

“Hei!” protesku

“Dia hampir tidur, El” kata Ruby “Sana”

Aku menggeram, well Joey beruntung. Dia bahkan mengklaim Ruby lebih dulu dari pada aku.
Aku bangkit dan berjalan menuju pintu balkon. Membukanya dan duduk di sofa panjang yang
sengaja diletakkan disana. Aku melipat dua tangan, menyandarkan kepala dan menyilangkan
kakiku.

“Kau tak kedinginan?” suara Ruby muncul dari balik pintu kaca.

Aku mendesah dan mengulurkan tangan padanya. Dia mengabaikan tanganku, namun berjalan
mendekat.

“Joey sudah tidur?” aku menarik kakiku agar Ruby bisa duduk di dekatku.

“Ya” dia membaca gerakanku barusan dan kini duduk di depanku “Kau tidak kerja?” dia
memancingku.

Aku tersenyum “Mungkin nanti” aku menaikkan alis “Apa kau tak bisa lebih dekat lagi?” aku
menjulurkan tanganku, namun jaraknya masih terlalu jauh untuk menariknya.
Dia menyipitkan matanya padaku, tak suka dengan ide macam itu “Aku masuk dulu”

Aku berhasil menarik tangannya saat dia mencoba kabur. Menahan kedua lengannya dengan dua
tanganku, dia berada diatasku. Rambutnya jatuh di sekitar leherku “Aku bahkan belum pernah
tidur disana” aku menurunkan pandanganku ke dadanya. Harum Ruby sangat khas dan aku suka.
Bahkan sekarang bercampur dengan wangi bayi.

Tubuhnya menegang, lalu kemudian kembali tenang “Jangan bersikap seperti anak-anak!”
katanya

“Karena aku bukan anak-anak, aku mengatakan ini padamu”

Dia tersenyum “Well...” ujarnya

Dia menarik tanganku turun dari lengannya dan berdiri. Menatapku dengan tangan terlipat di
dada “Jangan kelamaan disini, nanti kau sakit” dia berbalik dan masuk melewati pintu kaca itu.

Yeah, tidak sampai aku bilang aku mencintainya? Dia tidak akan menang!

Kami memutuskan untuk membawa Joey keluar hari ini. Taman apartemen yang aku pilih
supaya kami tak kerepotan. Ruby mendorong strollernya yang kosong karena aku sedang
menggendong Joey sekarang. Kami sedang berjalan menuju taman rumput yang ada di belakang
lapangan olahraga apartemen.

“Sepertinya dia senang di ajak keluar” ujarku setelah beberapa menit keheningan

“Tapi dia akan pulang sore ini” suaranya terdengar sedih “Tapi ya itu bagus. Loui sudah pulih”

Sayang, kita bisa membuatnya kalau kau mau, seruku dalam hati.

Kami duduk di atas alas kecil yang kami bawa dari rumah. Meletakkan Joey berbaring
terlungkup dan meletakkan semua mainannya. Dia berteriak beberapa kali. Tamannya lumayan
ramai lantaran ini hari Sabtu.

Ponsel dalam saku celanaku berbunyi. Aku segera memandang Ruby setelah tahu siapa
penelponnya “Aku terima ini dulu” aku berdiri dan melangkah agak jauh dari Ruby.
“Ya?”

“Sir, Tuan Ryan sedang dikantor sekarang, dia ingin bertemu anda”

“Kenapa dia tidak memberitahu mau ke kantor?” keluhku. Yang benar saja, ini hari Sabtu!

“Apa yang harus saya lakukan?”

“Tentu saja aku harus menemuinya. Aku akan tiba setengah jam lagi!” aku menutup telpon.

Berjalan kembali dimana Ruby dan Joey sedang bermain berdua. Dia memberi tatapan ingin tahu
apa yang terjadi saat aku kembali “Kau mau pergi?” tanyanya

“Aku harus ke kantor”

“Kami bisa disini saja”

“Aku ingin kita pulang sekarang”

“Aku ingin disini dulu” dia membantahku “Kau bisa pergi, tenang saja. Aku akan pulang
sebentar lagi”

Aku mengusap kepalaku. Melihat Joey yang sedang menikmati waktu bermainnya di luar, aku
jadi mengalah “Baiklah. Kau harus pulang dalam dua puluh menit!” kataku “Hanya dua puluh
menit”

Dia mengangkat bahu “Siapa itu?”

Aku menghela nafas lalu menggeleng “Aku akan kembali dalam sejam. Setelah itu kita akan
mengantar Joey pulang. Kau bereskan semuanya” perintahku

Barang-barang Joey sudah kukemasi. Dia tampak kalem seharian ini. Aku berpikir lantaran dia
sudah mulai nyaman disini. Aku baru selesai memandikannya saat Aira menelpon. Dia
mengatakan bahwa Loui bisa pulang beberapa jam lagi.

“Tentu, mungkin aku bisa ada disana sebelum kau” kataku “Joey siap pulang”
“Kau terdengar sedih”

“Tentu saja. Aku suka dia tinggal disini” aku melihat Joey yang belum mengenakan pakaian.
Hanya memakai diapers, memainkan boneka kecil di dekatnya.

Aira tertawa “Aku senang kalau dia tak merepotkanmu” dia tertawa lagi “Baiklah, sampai
ketemu nanti”

Aku menutup telpon dan memilih pakaian untuk Joey. Dia merengek kerena aku menjuahkan dia
dari mainan kecilnya. Aku segera mengembalikan mainan berbentuk jerapah itu setelah dia rapi.
Tangisnya reda. Setelah memastikan Joey aman di bouncernya, aku mengetuk pintu ruang kerja
Eldath. Mendengar tak ada sahutan, aku memberanikan diri membuka pintunya. Eldath bangkit
dari kursinya saat melihat aku masuk. Tak ada yang dia kerjakan disini. Mejanya bersih,
laptopnya mati.

Begitu aku masuk, dia berdiri dan melangkah untuk langsung memelukku. Melingkarkan
tangannya, membungkusku begitu rapat.

“Apa yang terjadi?”

Ada hal yang terjadi, yang berkaitan dengan telpon tadi pagi. Eldath melepaskan pelukannya,
mencium keningku.

Dia menggeleng “Ayo antar Joey pulang” dia mengelus pipiku “Aku ganti baju dulu” berbalik
dan pergi.

Eldath membiarkan aku penasaran sampai kami mengantar Joey pulang. Loui sudah sampai di
rumah saat kami tiba. Sekarang, semuanya terasa kembali normal. Joey dan Loui bermain berdua
di dalam box mereka.

“Terima kasih sudah menjaga Joey. Aku sungguh berhutang padamu”

“Apa yang kau bicarakan? Sudah kubilang aku suka menjaganya. Aku sungguh ingin dia
bersama kami lebih lama, tapi tentu saja Loui harus sembuh” aku tertawa

Mom datang setelah dia menemani cucunya bermain “Kau tak ingin menginap? Besok hari
Minggu. Ajaklah Eldath menginap disini”
“Tanyakan pada Eldath, apa dia mau menginap” perintah Aira.

Dia dan Mom tersenyum padaku. Aku merapatkan bibir, lalu mendekati Eldath.

“Hei” aku duduk di sebelahnya, mengawasi Mom dan Aira yang duduk di ruang sebelah “Um,
apa kau mau menginap disini?”

Eldath menarik cuping hidungnya “Apa kau mau menginap disini?” dia mengulang pertanyaan.

“Tergantung kau”

Eldath mengalihkan pandangannya pada Mom dan Aira, lalu dia menggeleng pada mereka. Aku
melihat mereka lalu kembali melihat Eldath “Apa artinya?” tanyaku

“Kau tak lihat? Itu artinya tidak, Sayang”

Aku menghela nafas lalu berdiri. Berjalan mendekati Mom dan Aira “Ya, dia selalu posesif
tentang apa yang berhubungan dengamu, selalu!” kata Aira sebelum aku mengatakan apa-apa.

“Maaf, Mom”

Mom tertawa “Ya sudah, tak papa. Tentu saja kau punya kesempatan lain. Aku mengerti kenapa
anak itu tak mau menginap disini,” keluh Mom.

“Aku tak tahu, dia sedang banyak pikiran sepertinya” kataku melihat sekilas pada Eldath

“Yah, tentu saja. Ada banyak yang harus dia pikirkan” Mom menepuk bahuku “Jaga dia”

Aku tertawa pelan, mengangguk.

“Mau ijinkan aku menyetir lagi?” tanyaku saat kami keluar rumah Mom

“Jika kau tak keberatan” jawab Eldath menyerahkan kunci mobilnya padaku.

Aku menerimanya dan segera masuk ke mobil. Menunggu Eldath masuk baru menghidupkan
mesin mobilnya. Mobil Eldath memberi sinyal baik saat aku hidupkan.

“Berjanjilah untuk menyetir dengan baik, menjaga jarak, dan konsentrasi” dia mengenakan
sabuk pengamannya.
“Aku tak akan mencelakakanmu” kataku.

Eldath menyandarkan punggungnya ke jok mobil, tak berhasil menyembunyikan wajahnya yang
tak biasa. Aku tak bicara padanya dan benar-benar berkonsentrasi pada jalanan. Rasanya sangat
membosankan sepert ini.

“Kau masih tak mau bilang kau kenapa?”

“Tak ada apa-apa” tegasnya

“Wajahmu mengatakan ada sesuatu”

“Ruby, aku tak ingin membicarakannya”

“Jadi benar ada sesuatu, kan?”

Aku melengos. Berbelok ke Empire Private Apartement setelah menempuh perjalanan setengah
jam dari rumah Mom. Masuk ke area basement dan parkir disana. Eldath keluar lebih dulu dan
menungguku “Terima kasih mengijinkan mengemudi” aku menyerahkan kunci padanya.

Aku tak tahu apa yang terjadi pada Eldath sejak pertengkaran kami yang terakhir. Setelah
merayakan anniversary yang dia persiapkan, aku tahu ada yang berubah darinya. Eldath bersikap
begitu terbuka padaku, seperti benar-benar menerimaku. Membuka dirinya, hatinya untukku.
Dan itu membuatku bertanya-tanya. Apakah dia serius? Apakah penantianku sudah usai, usahaku
untuk membuat dia mencintaiku sudah berhasil? Atau hanya emosi sesaat Eldath saja?

Aku melangkah duluan dan dia masuk kemudian. Hanya beberapa detik, pintu lift terbuka tepat
di depan unit kami. Aku keluar, menekan angka pada pintu dan pintu tak terkunci. Aku berjalan
ke dapur untuk mengambil air putih untukku dan Eldath yang kini duduk di depan TV. Dia
menerima gelas dariku.

Aku meninggalkan Eldath dan masuk ke kamar. Duduk diatas tempat tidur dan memeriksa
ponselku. Langit bersih di depanku. Menyibak tirainya sedikit, aku menghembuskan nafas.

Aku menoleh ketika Eldath menutup pintu. Dia duduk di belakangku “Apa itu?”
“Hanya beberapa email” jawabku “Dari kantor” aku mengeceknya lagi. Sialan, ini draft acara
ulang tahun itu. Aku menarik nafas panjang “Masih ada bau Joey disini” ujarku

Aku mengernyit saat tangan Eldath berada di bahuku, menjalankannya sampai ke leherku “Ruby,
kita bisa punya Joey sendiri” ujarnya pelan.

+++
47. MINE

“Ruby, kita bisa punya Joey sendiri” ujar Eldath seraya membawa jarinya menyusuri bahu
hingga leherku.

Wew, aku bergidik “Uh-huh, tapi aku tak memikirkan itu sekarang” kataku

Eldath menarik pinggangku padanya, menyibak rambutku ke samping dan mengecup leherku.
Aku menahan nafas “Sudah kubilang..” bibirnya menyapu sepanjang leherku

“Hanya kita berdua sekarang,” dia memprovokasi.

Hanya kita berdua, ya!

“Terima kasih telah menjaga Joey dua hari ini” bisiknya “Kau menjaganya sangat baik”

Tangan Eldath bergerak ke resleting dressku. Rasa dingin menyapu kulitku saat dia menarik
resletingnya turun. Aku meremas seprai saat bibir Eldath menyentuh punggungku. Kontradiksi
pendingin ruangan dan bibir Eldath membangunkanku.

“Kau memiliki kulit yang sangat indah, Sayang” ujung jarinya berjalan di lekukan tulang
punggungku. Menurunkan lengan dress dari melewati dua bahuku.

Aku ingin mengutuk diriku betapa aku menginginkannya sekarang. Bahkan tanpa dia bilang dia
mencintaiku sekalipun!

“Bisa kita lepaskan ini?” dia merentangkan tangannya melewati tubuhku, mengeluarkan
tanganku dari dress hingga kini baju itu tergantung di pinggangku. Anehnya, aku tak keberatan
dengan apa yang dia lakukan!

Eldath mendesah “Sayang,” ujarnya

Aku tak tahu yang kulakukan adalah benar atau salah. Bagian punggungku terekspos di depan
Eldath sekarang. Aku merasa kesulitan bernafas saat Eldath memberikan ciuman lembut di
punggungku, hampir rata. Dia mendesah di atas kulitku.

“Ruby, aku menginginkanmu sekarang” desaknya. Dia memegang pinggangku “Aku tak akan
melanjutkannya jika kau menghentikanku”
Aku menelan ludah. Tak ada yang benar-benar terlintas di kepalaku sekarang. Tidak kejadian
hari ini, tidak juga Joey, sikap Eldath atau apapun. Yang ada hanya detik ini, sekarang. Hanya
aku dan Eldath. Dan itu membuatku menginginkan dia lebih!

“Ruby, katakan” dia melepas pengait braku dengan jarinya yang lihai.

Aku berbalik, melihatnya. Dahinya berkerut, matanya tampak tak berdaya namun ada kilatan
disana. Sialan, kilatan itu menghantarkan semua gairah naik dalam diriku. Tak bisa menolaknya.
Aku tak ingin kehilangan dia untuk siapapun! Tangannya naik, meraba lengan atasku.
Mengetahui tujuannya adalah melepaskan tali braku, aku menepis tangannya.

“Do you have sex before?” tanyaku

“Apakah itu penting sekarang? Aku mohon,” dia melepaskan jaketnya, membuangnya ke ujung
tempat tidur.

“Jawab aku”

“Hm, almost. Bisakah kita tak membicarakannya sekarang? Aku sangat menginginkanmu
sekarang!”

Aku mendekat ke wajahnya “Almost itu artinya?”

Ruby, apa yang kau lakukan?

“Tidak, Sayang” dia memegang tanganku, menjatuhkanku ke tempat tidur “Aku benci ngobrol
denganmu sekarang!”

Aku tersenyum. Oh, aku bahkan tak tahu kenapa aku tersenyum menatap matanya sekarang.
Meraba dadanya, merasakan betapa cepat detak jantungnya sekarang. Eldath mencium sepanjang
rahangku, turun ke leherku dan menggigitnya pelan. Aku melenguh.

“Kita tak butuh ini” katanya menarik turun dressku dan kemudian menyelesaikannya dengan
melepas pakaian dalamku. Dia terdiam melihatku telanjang di bawahnya “Kau sangat cantik,
sangat cantik” pujinya. Bibirnya membentuk huruf O melihatku.

“Bermain adil!” kataku mengangkat tanganku naik, membuka kancing kemejanya.


“Ruby!” desisnya. Dia menolongku membuka pakaiannya dan semuanya jadi dua kali lebih
cepat.

Aku menelan ludah. Eldath tanpa busana adalah pemandangan paling indah yang pernah kulihat.
Beginilah dia yang begitu rentan dan sangat butuh perlindungan.Layaknya piramida terbalik.
Bahu tegap dan lebar, dada yang bidang namun meramping ke bawah. Yeah, aku tak akan kesal
lagi jika dia menghabiskan waktu yang lama di gym.

“Aku ingin kau. Aku ingin berada di dalammu, Ruby!” dia membenamkan dirinya diatasku,
membuat aku mengerang menahan berat badannya. Dia mencium mataku lembut, membuatku
mendesah. Bibirnya lalu jatuh di bibirku. Melumatnya, menerobos masuk dan menjalinnya
dengan lidahku. Aku menggigit bibir bawahnya sedikit keras hingga dia mengeluarkan suara
geraman. Ciumannya makin turun ke bawah. Menarik rambutnya pelan saat bibirnya melintasi
dadaku.

“Hah.. Eldath!” desahku, melihatnya.

“Katakan kalau aku menyakitimu” dia tersengal-sengal, menahan tubuhnya diatasku.

“Argh... Eldath” nafasku terengah-engah saat dia mendorong jauh lebih dalam. Tangannya
menarik tanganku dari tepi tempat tidur dan menaruhnya di lengannya. Aku meremasnya kuat
dan dia menciumku. Bibirnya mendominasi lagi, mengunci bibirku hingga rasanya aku bisa
tenggelam dalam kasur ini. Aku tak bisa menahannya, aku tak bisa menghentikan kami. Ini
sungguh nikmat.

“Sayang, hah... berikan padaku!” erangnya

Aku tersengal-sengal, memandangi Eldath di atasku, tak kehilangan pesona. Nafas dan lenguhan
terdengar lebih dalam. Kami berdua menuju tepi jurang kenikmatan. Eldath mencium ujung
mataku yang mengeluarkan air.

“Ruby, kau milikku sekarang” bisiknya

Dia mengesekkan hidungnya padaku, tersenyum, setelah kami sama-sama pelepasan. Membelai
rambutku dan menghapus air mataku yang masih mengalir jatuh “Jangan menangis” ujarnya.
Aku melengkungkan badanku, menjauhi tempat tidur untuk menciumnya. Eldath dengan senang
hati mengangkatku, memindahkan posisi kami. Aku berada diatasnya sekarang. Menaruh
kepalaku di dadanya, jari Eldath mengetuk tulang punggungku, seperti yang selalu dilakukannya.
“Kau begitu nikmat, Ruby. Begitu cantik” ujarnya

Aku menjalankan jariku di dadanya “Aku rasa kau juga begitu” kataku

Dia mengangkat tanganku kemudian mengambil jari manisku. Dia mencium cincin yang aku
kenakan. Aku menelan ludah, mendongak menatapnya.

Bagaimana membuatnya mencintaiku?

Menelusupkan jemari ke dalam rambutnya, aku mengangkat wajahku. Menempelkan bibirku


pada bibirnya dan menciumnya. Dia juga begitu nikmat. Kalau saja menciumnya bisa membuat
aku kenyang, maka aku tak butuh makanan apapun! Dia mengerang saat aku menggigit daun
telinganya. Aku tertawa pelan.

“Oh” katanya “Kau akan kubalas, Baby!” ujarnya.

“Aku akan memintamu berhenti” aku menjepit dagunya dengan dua jariku, lalu menciumnya
cepat.

Aku menjerit tertahan saat dia bangun, dan dengan cepat memindahkanku kembali ke tempat
tidur dan dia sudah siap diatasku “Kau bahkan tak akan sempat bilang berhenti!” dia
menyeringai.

Aku membuka mataku. Menatap langit-langit kamar dan menarik nafas. Eldath disampingku
sepertinya masih terlelap dalam tidur. Tangannya ada di payudaraku, melingkarinya. Kakinya
membelitku dan kepalanya ada di samping wajahku. Aku dan Eldath, tanpa busana.

Aku menelan ludah, apa yang aku lakukan semalam? Aku pasti sudah gila. Bagaimana bisa aku
melakukannya? Well, tentu saja karena kami sudah suami istri, hanya saja aku sudah berjanji tak
akan melakukannya sampai dia mencintaiku, kan?
Nafas Eldath terasa begitu hangat di pipiku. Lebih hangat dari matahari pagi ini. Selamat datang
pagi pertama saat aku sudah tak perawan lagi! Aku sudah melepaskannya untuk laki-laki ini.
Yang mungkin tak akan pernah mencintaiku. Betapa bodohnya aku! Betapa kuatnya keinginanku
untuk bercinta dengan Eldath.

Aku memiringkan kepalaku lantaran kepala Eldath menyuruk ke ceruk leherku. Bernafas disana,
dan menggerakkan kepalanya berkali-kali. Dia sudah bangun.

“Eldath” desahku. Ah, leherku sensitif sekali. Ditambah dengan semua kejadian tadi malam, aku
tahu akan lebih sensitif lagi sekarang.

Seperti bisa membaca pikiranku, dia meniupkan nafas secara sengaja dileherku, memainkan
bibirnya disana membuat aku bergeliat. Aku bisa merasakan dia tersenyum dan bibirnya
perlahan menuju wajahku.

“Sayang, kau menangis?”

Aku menelan ludah. Eldath menjauhkan wajahnya dari pipiku, melihatku dengan matanya yang
masih ngantuk “Ruby,”

Aku menjauhkan tangan Eldath dari tubuhku dan menghapus air mata dengan tanganku.

“Apa lagi ini?” dia menahan kepalanya dengan tangan, mengahadapku “Ada apa lagi?”

Aku melihatnya. Apa dia akan mencintaiku setelah semua ini?

“Hei, bicaralah!” dia menghapus sisa air mataku dengan ibu jarinya “Ruby, kumohon”

“Aku tak tahu kenapa aku melakukan ini denganmu” ujarku pelan

Dia terkejut, melongo menatapku kemudian menghela nafas “Maksudmu adalah?”

“Aku tak tahu kenapa aku melakukan ini dengan pria yang tidak mencintaiku” ujarku

“Ruby, tidak!” serunya. Dia duduk, melihatku.

Aku menarik selimut, menutupi tubuhku “Kau bisa saja,”


“Jangan katakan itu, please. Aku tak akan meninggalkanmu. Itu tak mungkin, bagaimana kau
bisa berpikir seperti itu?”

“Kau tak mencintaiku!” sergahku “Dan kita sudah..” aku menelan kata-kataku

Eldath menyeringai, betapa kurang ajarnya dia! Aku menarik nafas, sinar matahari yang masuk,
menabrak jendela lalu terpantul ke punggungnya. Dia kelihatan tampan, bahkan lebih tampan.
Dadanya yang bidang, lehernya yang jenjang, aku sudah memilikinya. Dan oh, rambut cokelat
berantakan setelah bercintanya membuat dia begitu rupawan. Aku bisa melihatnya seharian!

“Ya, kita sudah melakukannya. Kita melakukan seperti yang seharusnya, Sayang” dia tersenyum
“Dan aku akan mencintaimu” katanya.

Aku mendengus, tahu itu hanya caranya agar membuatku tenang. Dia kembali berbaring
disebelahku, membawa tangannya menelusuri wajahku. Aku menggigit bibir bawahku. Ini
membuatku frsutrasi. Aku marah padanya, namun pada saat bersamaan aku mengingikannya
juga.

“Bagaimana, bagaimana kalau aku hamil?” aku mengerutkan dahi membayangkannya

Eldath tertawa pelan.

Aku melihatnya “Kau tidak-“

Bibir Eldath menyelesaikan kalimatku. Menciumku dengan rasa hormat dan begitu lembut.
Tangannya menelusup kedalam selimut, membangunkan semua yang hasrat yang aku coba kubur
beberapa menit lalu.

“Eldath, Eldath” lenguhku “Aku tak bisa”

Dia menghentikan tangannya di atas perutku, menahan wajahnya di leherku.

“Well, rasanya masih sedikit sakit”

Eldath mengangkat wajahnya “Benarkah?” dia tersenyum, menjatuhkan kepalanya di dadaku


“Maaf, Sayang”
Aku menelusupkan tangan ke rambutnya, bernafas pelan “Bisakah kau ambilkan bajuku? Aku
perlu ke kamar mandi”

“Rue,” ujar Eldath “Apa masalahmu sekarang? I’ve seen yours, you’ve seen mine. What’s the
deal?” dia tertawa pelan.

Aku mengernyit. “Bangunlah.”

“Kau bisa kesana tanpa mengenakan apa-apa!” dia menggigit daguku pelan.

“Eldath!” seruku “Aku akan menarik selimut ini kalau begitu!” aku menarik selimut ke arahku.

“By the way, aku juga butuh ke kamar mandi,” dia duduk menampilkan senyum congkaknya
“Ayo kesana bersama-sama”

“Ini tidak lucu, Eldath. Apa kau tak bisa mengalah padaku kali ini?”

“Kau membuatku patuh semalam. Sekarang, kau yang akan mematuhiku!”

Aku memutar bola mataku, menahan senyum “Berhenti main-main. Berikan aku baju apapun
yang ada didekatmu!”

“Bangunlah!” dia menarik tanganku

Aku menjerit kaget. Menahan selimut dan menatapnya marah. Eldath menggaruk belakang
kepalanya. Magis sekali pria ini. Mengangkat dua bahunya “Kita bisa kesana berdua, di
wardrobe kau bisa ambil bajumu dan terserah...” dia menarik selimut, aku menahannya.

“Kau lihat itu, itu kemejamu di bawah situ, berikan itu padaku” aku menunjuk kemeja Eldath
yang tergeletak di ujung kaki tempat tidur “Akan kulepaskan selimut ini untukmu”

Dia mengikuti tanganku kemudian menggeleng. Sialan. Aku melihat sekelilingku, tak ada apa-
apa selain sepatu Eldath dan pakaian dalamnya! Sejurus kemudian tangan Eldath sudah menarik
selimut dengan kuat, hingga aku terpaksa berguling ke dekatnya agar tetap bisa menutupi
tubuhku.
“Apa yang harus aku lakukan padamu?” tanyanya menyeringai “Kau tidak perlu
menyembunyikannya lagi, Sayang. Tubuhmu sangat indah” dia membungkukkan tubuhnya
mencium keningku.

Aku sungguh belum terbiasa tampil seperti ini di depannya. Aku masih merasa malu “Baiklah,
baiklah” kataku “Bersama-sama” aku menyerah padanya

“Kau memilih itu? Oke, itu bagus juga!”

Kami turun dari tempat tidur, masing-masing memegang ujung selimut. Namun, adalah
kesalahan percaya pada apa yang dikatakan Eldath. Karena begitu kakiku menjejak lantai, masih
dengan menahan ujung selimut, Eldath malah menggendongku. Selimut yang sedari tadi
kupegang hanya jadi gumulan di ujung tempat tidur.

“Eldath!” seruku menyembunyikan wajah di dadanya

“Lagipula selimutnya sudah kotor” dia berjalan menaiki dua anak tangga, menyebrangi wardrobe
menuju kamar mandi.

Dia menurunkanku untuk berdiri diatas kakiku sendiri. Mendongakkan kepalaku menghadapnya
dan menciumku. Aku terdiam, menikmati ciumanya. Dia tersenyum, menarik wajahnya “You are
great, feel great”

Aku mengerucutkan bibirku, menahan senyum. Eldath menoleh kebelakang, menarik jubah
mandi di belakangnya dan menutupkannya ke tubuhku. Setelah selesai, dia melihatku.

“Kenapa kau membiarkan aku melakukannya?” dia menyelipkan beberapa helai rambut ke
belakang telingaku.

Aku memiringkan kepalaku, bersusah payah agar tak melihat ke bawah Eldath karena dia masih
betah tanpa menggunakan apa-apa di depanku “Karena..” aku menarik nafas “Aku pikir karena
aku percaya padamu”

“Ya, seperti itu! Jadi jangan pernah berpikir aku akan meninggalkanmu, paham?”

Aku mengangguk “Dan kau?” tanyaku


Dia menarik cuping hidungnya “Karena aku mengingikanmu” katanya santai

What? Hanya seks?

“Hei” dia mendekat “Terima kasih” ujarnya kemudian. Dia menahanku dengan tangannya,
menyentuhkan dahinya ke dahiku “Terima kasih kau percaya padaku, kau selalu mengagumkan
bagiku”

“Apa yang kau katakan?” bisikku

“Kau- sangat cantik”

Dia menarik nafas, mencium bibirku yang terbuka “Aku hanya tak tahu apa yang sudah kau
lakukan padaku dan apa yang harus aku lakukan padamu”

Ujung jarinya menelusuri rahangku “Bersiaplah, kita akan keluar” katanya mengelus pipiku.

Eldath berbalik dan menarik jubah mandi miliknya dan memakainya “Apa?” tanyanya melihatku
yang masih berdiri di belakangnya “Kenapa kau belum pergi? Kau mau mandi denganku?”

“Suatu hari, mungkin” aku mendengus. Merapikan jubah mandiku yang sebenarnya dipasang
asal-asalan oleh Eldath.

“Aku akan menagih itu, Sayang” serunya santai seraya berjalan keluar kamar mandi.

+++
48. It’s You

Eldath’s POV

Akulah pria itu! Si brengsek yang beruntung!!! Ruby masih disini, di depanku dan dia tak kabur.
Walaupun dia sepertinya tidak begitu senang mengenai keadaannya. Tak masalah bagiku. Yang
jelas, aku sudah mengklaimnya sebagai milikku. Akulah cinta pertamanya, cinta terakhirnya!
Well, aku begitu beruntung. Betapa bodohnya aku menahan itu semua untuk tiga bulan!

Kami menikmati brunch di sebuah kafe. Keluar dari rumah jam sebelas, aku berencana mengajak
Ruby mengunjungi mamanya hari ini. Sudah lama kami tak kesana.

“Kita akan kemana?” tanya Ruby lagi. Dia sudah menanyakan ini berkali-kali “Katakan padaku”
Ruby menjulurkan tangannya untuk mengelap tepi bibirku “Heh, apa ini?” dia menyindir cara
makanku.

“Kenapa kau tak bisa ikut saja tanpa banyak tanya”

“Karena aku tak tahu apa yang ada di dalam kepalamu. Kau bisa berubah sewaktu-waktu. Mood
swing”

Aku meneguk cola sedikit “Kau ingin kesuatu tempat?”

“Ada banyak. Aku ingin melihat Joey, mengunjungi Nadya- berjalan-jalan dengannya, atau pergi
ke apartemen Nevan. Aku juga ingin ke salon sebenarnya,” dia melihatku

“Ayo ke rumah Mama” kataku

Dia melongo, tersenyum beberapa detik kemudian “Kau ingin kesana?”

“Ya” kataku

“Terserah kau saja kalau begitu. Aku juga ingin mengunjungi Mamaku sebenarnya minggu ini”

“Apa yang harus kita bawa?” aku memegang tangannya yang ada di meja.

“Hm..” dia mengadah “Bunga?”

“Bagus” aku setuju “Kita akan pergi setelah aku menemanimu ke salon”
“Tidak, tidak” katanya menggeleng, menarik tangannya yang aku genggam “Tidak ada ke salon
denganmu. Aku tidak mau kau disana menungguiku dan jadi tontonan wanita lain!” dia
menggoyangkan telunjuknya di depan wajahku “Tidak akan,”

Aku mengernyit, memiringkan kepala melihatnya. Membayangkannya membuat aku jadi ngeri
juga.

“Oke,“ ujarku “Kalau begitu kita akan langsung pergi dari sini” aku mengangkat dua tanganku.

Aku menarik tangan Ruby untuk keluar kafe setelah membayar makanan kami. Tak langsung
menuju mobil, kami berjalan-jalan di sepanjang trotoar mencari bunga untuk Mama. Ruby
bersenandung pelan di sampingku sambil melihat-lihat etalase toko.

“Sepertinya ada di blok sebelah sana,” tunjuk Ruby pada toko-toko di seberang jalan.

Dia menggamit jariku dan kami menyebrang bersama. Ruby benar, ada kira-kira lima toko yang
menjual bunga segar disini, bahkan ada yang menjajakannya tepat di pinggir trotoar.

“Bunga apa yang harus kita berikan ke Mama?”

“Um,” dia memegang beberapa tangkai bunga “Ini saja, baby breath” katanya

“Ini Baby breath?” ulangku “Tidak jelek”

Dia mengangguk, lalu berbalik. Aku tersenyum pada penjualnya “Bisa tolong buat ini secantik
mungkin?” tanyaku

“Tentu saja, anak muda!” katanya “Untuk siapa ini?”

“Hm, untuk mertuaku” jawabku sambil mengangkat bahu

Pak tua penjual bunga itu tertawa “Aku pikir ini untuk gadis tadi. Dia istrimu?” dia mulai
menggabungkan bertangkai-tangkai bunga itu.

“Ya” dan kalau boleh aku menambahkan kami baru saja bercinta tadi malam! Dan sangat hebat!

“Kau pasti sangat mencintainya”


Aku menelan ludah, tertawa hambar pada bapak itu. Memperhatikannya merangkai bunga,
menggunting ujung-ujungnya dan membungkusnya dengan kertas berwarna putih bersih.

Suara jeritan dan langkah kaki yang terburu-buru terdengar di belakangku. Aku refleks menoleh
ke arah kerumunan orang-orang beberapa meter dariku. Mataku segera mencari sosok Ruby tak
sabaran. Aku merapatkan rahang saat tak menemukannya dimanapun. Dia berada di sekitar sini
beberapa saat lalu!

Tidak. Jangan. Jangan Ruby! Aku mohon jangan dia.

Aku berlari mendekati kerumunan itu dan menyibaknya tanpa peduli. Silahkan siapa saja, aku
mohon jangan dia! Seorang ibu muda meringkuk di dekat situ, memeluk anaknya dan menangis.
Aku menegang lantaran disebelah ibu itulah Ruby terduduk lemas. Rambutnya berantakan.
Tampangnya mengerikan, seperti telah melihat hantu atau semacamnya.

Aku menerobos, mendorong siapa saja agar aku bisa menarik Ruby dari sana. Matanya bertemu
mataku saat aku memerintah pada orang-orang untuk minggir. Aku membungkuk, menarik Ruby
berdiri dan menggendongnya. Tangannya melingkar di belakang leherku.

“Terima kasih” ujar ibu muda itu.

“Jaga anakmu baik-baik!” bentakku padanya “Dia hampir membunuh istriku” tambahku lalu
menerobos kerumunan lagi untuk keluar dari situ.

“Eldath!” seru Ruby memandangku.

Sebuah mobil berhenti di depanku dan Endrew segera turun membukakan pintu. Aku mendorong
tubuh Ruby masuk kemudian duduk disebelahnya.

“Ke tempat Luke” perintahku saat Endrew masuk dan mobil mulai berjalan “Dimana yang luka?
Are you alright?”

“Aku kau sadar siapa yang kau marahi tadi” seru Ruby “Eldath! Itu tadi ibu-ibu, anaknya nyaris
tertabrak!”

Aku mengenyahkan tangannya yang berusaha menarik ponsel di telingaku. Aku menatapnya
marah dan dia terdiam “Dimana kau?” tanyaku saat Luke menerima panggilan “Aku akan tiba di
tempatmu setengah jam lagi dan aku mau kau sudah ada disana!” kataku marah “Aku mau kau
sudah disana!” ulangku dengan nada tinggi.

“What are you?” kata Ruby

“Bisakah kau berhenti bersikap pahlawan? Berhentilah bertindak konyol”

“Konyol? Kau bilang konyol? Dia bisa mati, anak itu bisa tertabrak!” dia berseu

“Dan kau pikir kau tidak bisa tertabrak?” balasku

Sialan.

“Apa yang terjadi?” tanyaku “Kau tak apa-apa?” aku melihat sepanjang lengannya yang
menampakkan warna kemerahan.

Ruby mengabaikanku. Dia merenung, menatap keluar jendela. Aku meremas jarinya pelan
“Hei,”

Dia tak menjawabku. Aku menghela nafas kesal.

“Katakan pada Gordon untuk mengambil bunga pada bapak itu” aku melihat Endrew dari kaca
spion tengah.

“Yes, Sir” dia mengangguk

Luke baru saja keluar dari mobilnya saat kami tiba. Endrew membukakan pintu di sebelah Ruby
dan dia keluar. Aku memandang Luke dan dia menggeleng, membuka pintu tempat prakteknya
dan menyuruh kami masuk.

“Apa yang terjadi?” dia melihatku, lalu Ruby “Ruby? Apa yang terjadi?”

“Aku terserempet motor” katanya “Aku sebenarnya tak apa-apa”

Luke mengalikan pandangannya padaku “Baiklah, kita lihat dulu” dia menyuruh Ruby duduk di
atas ranjang, sementara aku hanya berdiri di dekat pintu melihat mereka. Ada beberapa luka
minor di sepanjang lengan Ruby. Minor tapi major dalam artian jumlahnya. Dia meringis saat
Luke membersihkannya.
“Dia tidak apa-apa, Eldath” kata Luke saat melihatku

“Kau yakin?” aku berjalan mendekati Ruby. Mengecek tubuhnya “Kau bilang ini tidak apa-
apa?” aku menunjuk beberapa goresan yang tampak lebih jelas setelah dibersihkan.

“Kau mau dia bagaimana? Patah tulang? Luka robek?” oceh Luke “Tak ada yang parah!”

“Kau tak ada di posisiku, Luke, makanya kau bisa bilang seperti itu”

“Sorry, aku tak bermaksud membuat ini sepele. Kau tahu, kadang kau...” dia melepaskan
kacamatanya lalu menekan tulang hidungnya “Sudahlah”

“Maaf, Luke” kata Ruby. Dia mencoba tertawa di depanku “Bukankah ini bagus? Kau ingin aku
tak bisa bangun? Ini hanya lecet dan akan segera hilang”

Aku menghela nafas. Melihat Luke, dia mengangkat bahunya lalu duduk di bangkunya. Ruby
menepuk dadaku, membuat aku menoleh padanya. Dia tersenyum padaku “Kau baik-baik saja?”
tanyanya

“Ya, kau baik-baik saja? Karena sepertinya kau yang terluka parah,” tambah Luke

Aku mengangkat tubuh Ruby untuk turun dari ranjang pemeriksaaan. Menepuk bahu Luke saat
melewatinya untuk keluar.

“Luke” seru Ruby “Terima kasih”

Aku membuka pintu dan Endrew sudah siap. Dia membukakan pintu untuk Ruby dan aku. Lalu,
berjalan cepat memutari mobil setelah menutup pintu. Mobil segera bergerak meninggalkan
tempat praktek Luke.

“Kau marah?” kata Ruby

Aku menghela nafas “Berjanjilah kau tak akan melakukan hal seperti ini lagi. Kau membuatku
marah, Rue!” aku menahan nafas, lalu menghembuskannya berat “Kau membuatku gila”

Dia memegang tanganku “Maaf,” katanya lembut “Mana mungkin aku membiarkan anak itu
terluka di depanku, Eldath” dia tersenyum “Maaf membuatmu khawatir”
Mama menyambut kami dengan senyum merekah. Menerima bunga dari Ruby, dia mencium
putrinya itu, lalu aku. Papa juga sedang ada di rumah. Aku duduk di sebelah Papa, menyesal tak
membawakannya sesuatu untuk diberikan.

“Tak apa, ini kejutan kalian datang kesini” katanya

Ruby memeluk lengan Papanya dari sisi yang lain “Aku merindukanmu”

“Aku juga” ujar Papa, mengelus kepala Ruby “Apa ini?” tanyanya

“Oh” Ruby menggeleng

“Kau terluka?” seru Mama

“Ya,” kata Ruby “Tadi sebelum kesini, aku terserempet motor”

Papa langsung menoleh padaku, aku merapatkan bibirku “Bagaimana bisa?” tanya Papa

“Pa,“ panggil Ruby “Aku menolong anak kecil saat ada mobil yang hampir menabraknya. Eldath
tak tahu apa-apa!” dia melihatku sebentar.

“Apa sudah diobati?” tanya Mama

“Ya, dia membawaku ke tempat temannya. Ini tidak apa-apa”

Aku menelan ludah, melihat Mama. Dia mengangguk paham, karena dia seorang dokter. Yang
jadi masalah sekarang adalah Papa yang masih tak terima anaknya terluka seperti itu. Dia
menghela nafas panjang.

“Kau harus menjaganya dengan baik, Eldath. Dia masih hartaku yang paling berharga”

Aku menggaruk tengkukku “Ya, Pa. Aku tahu. Maaf”

“Papa,” ujar Ruby melihat papanya dengan pandangan yang tidak aku pahami.

Pria tua itu mendesah, lalu tersenyum. Dia mengusap lengan Ruby seraya berdehem “Apa kalian
sudah makan?”

“Kami makan sekitar dua jam lalu” kataku


“Aku punya beberapa makanan kecil” kata Mama “Ayo ke belakang,”

“Kau sudah bangun?” kata Ruby saat melihatku. Dia menjauhkan laptopnya.

“Apa yang kau lakukan?” tanyaku mengucek mata sambil menguap.

“Mengerjakan maket. Kau ingin sesuatu?”

“Jam berapa ini?” tanyaku. Memiringkan kepalaku melihat ke arah jendela. Di luar sudah gelap.
Sudah berapa lama aku tertidur setelah pulang dari rumah mama tadi?

“Hampir setangah tujuh” katanya tanpa mengalihkan perhatian dari laptopnya. Dia menghadap
jendela, menjulurkan kakinya, menaruh laptop di pangkuan. Ada lagu yang terdengar pelan dari
personal komputernya itu.

Aku duduk, mematung sebentar. Melihat Ruby dari sisi sampingnya, memperhatikan lengan dan
kakinya yang terluka. Aku memutar tubuhku menyamakan posisi dengan Ruby.

“Aku ingin minum” kataku.

Dia melihatku kemudian bangkit. Keluar kamar dan beberapa saat kemudian datang dengan
gelas berisi air ditangannya. Dia menungguiku menghabiskan air itu, lalu meletakkannya ke meja
di belakang tempat tidur “Ada lagi?”

Aku menggeleng “Kau baik-baik saja? Apa lukamu sakit?”

“Tidak Eldath,” dia mendesah malas kemudian kembali mengerjakan sesuatu pada laptopnya dan
mengabaikan aku. Aku melengos, menatap jendela. Membawa tanganku menarik laptop Ruby
menjauhinya.

“Apa-apaan ini?” dia protes

Aku memeluknya dari belakang. Menjangkau remot pendingin udara dan menurunkan suhunya.
Selimut baru sudah dikeluarkan Ruby. Masih mendengar protes darinya, aku menyelimuti tubuh
kami berdua.
“Seperti ini saja, sampai bintang pertama keluar” kataku

Dia tertawa pelan, lalu mengangguk setuju. Kami terdiam, hanya mendengar suara dari
laptopnya “Siapa yang menyanyi ini?” tanyaku kemudian.

“Hm,” dia menyimak suara laki-laki ini “Ed Sheeran” katanya.

Aku mencium bahunya pelan. Dia menahan nafas beberapa saat, menyenangkan menggoda Ruby
seperti ini.

Dia tertawa, lalu berdehem “Eldath, apakah begitu sulit?”

“Apa?”

“Mencintaiku?”

Aku terdiam. Aku tahu dia akan menanyakan ini padaku suatu hari. Aku tahu dia belum bisa
mengerti bagian mana dari diriku yang masih belum bisa menerimanya. Kami sudah sedekat ini,
dia memberikan semua yang aku minta, dan aku belum mencintainya.

“Tidak, hanya saja dulu kau menolakku. Kau bersumpah tidak akan suka padaku”

“Aku marah. Aku cemburu waktu itu”

“Kau sungguh-sungguh dan itu menghancurkanku. Dan kau, kau memilih dia waktu itu”

“Nevan?” tertawa pelan “Kau marah aku memilihnya waktu itu? Itu karena aku marah padamu,
well,” dia memiringkan kepalanya melihatku “Itu sudah lama sekali” katanya “Aku ingin kau
yang sekarang. Apakah masih sulit?”

Aku menelan ludah “Apakah kau menahannya selama ini?”

“Menahan apa?” tanyanya.

“Semua sikapku padamu. Aku tak bersikap baik padamu bahkan sampai hari ini. Apakah kau
menahannya?”

“Jika kau bisa menjamin kau lebih bahagia bersama orang lain, kalau ada yang mencintaimu
lebih dari aku, aku akan pergi. That will be my final act”
Sounds legit “Kenapa?”

“No one loves you like I do!” dia menghela nafas lega “Kau bisa main alat musik?” tanyanya
lagi.

“Ya, aku bisa memainkan semuanya”

“Oh ya?” dia terkejut “Apa yang paling kau kuasai?”

“Hm, gitar sepertinya”

“Aku ingin melihatmu main gitar kapan-kapan”

“I would” kataku menyanggupi.

“Hei, Eldath” dia tertawa pelan “Kau lihat yang berkedip disebelah sana?”

Oh shit.

“Itu bintang pertama” serunya “Keluarkan aku dari sini” dia menggerakkan tubuhnya dalam
rengkuhanku.

Aku berdecak “Sampai bulan keluar aku bilang” kataku

“Tidak, kau bilang bintang tadi. Kau bilang sampai bintang pertama muncul!”

Aku melepaskan tanganku dan dia segera menarik selimut turun. Dia duduk menghadapku “Aku
ingin bertanya sesuatu”

“Apa lagi?” aku mengambil remot AC, dan mengatur suhu kamar. Bintang pertama telah keluar.

“Apa password laptopmu?”

Aku ingin meledak dalam tawa mendengar pertanyaannya, namun aku mengangkat alisku
“Untuk apa kau tahu passwordku? Apa yang akan kau lakukan setelah kau tahu?”

“Kau tak mau bilang? Aku akan meresetnya!” dia mengancam.

“Kenapa kau penasaran sekali dengan itu?” aku memegang bahunya “Apa yang ada
dipikiranmu?”
“Katakan padaku, apa passwordnya!” dia memerintah

Aku tersenyum “Tidakkah kau bisa menebaknya? Dengan fotomu sebagai backgroundya?” aku
menaikkan alis, melihatnya.

Dia mengerutkan dahinya “Tidak cocok,” katanya “Aku mencoba tanggal pernikahan kita,
tanggal lahirmu, tanggal lahirku tak ada yang cocok. Kalau itu berhubungan denganku, harusnya
tanggal lahirku sebagai passwordnya!” dia terdengar sangat kesal.

Dia bahkan sudah mencoba banyak kombinasi untuk mengakses laptopku, astaga. Sebegitu
penasarankah istriku ini?

“Atau namamu,” tambahku.

Dia terdiam, menatapku dengan mata yang membesar “Ya, namamu. Passwordnya adalah kau,
namamu, Ruby”

Bibirnya tertarik naik, memunculkan senyum kecil “Namaku?” ulangnya

“Ya, R-U-B-Y. Sesederhana itu” aku begitu puas melihat reaksinya sekarang.

Seketika tubuh Ruby menabrakku. Membawaku jatuh ke tempat tidur dengan dia berada di
atasku. Tangannya melingkari leherku.

“Wow” aku mengangkat alis “What’s the...”

Terima kasih, Tuhan. Terima kasih untuk bibir Ruby yang kau ciptakan. Begitu hangat dan
lembut. Begitu candu dan memabukkan. Membawa tanganku kebelakang lehernya, aku menahan
wajahnya, belum ingin melepaskan pagutannya dariku. Dia mengirim rasa cinta pada
kecupannya dan aku begitu terhanyut untuk itu semua.

“Aku mencintaimu, sesederhana itu” bisiknya rendah.

+++
49. Unfinished

Aku meninggalkan mobilku di kantor karena Nevan akan menjemputku. Ini ide tiba-tiba Nadya
yang ngajakin kumpul bertiga seperti yang dulu kami lakukan.

Jalanan sudah padat kendaraan yang akan pulang ke rumah saat aku menunggu Nevan di depan
kantor. Aku sudah mendapat ijin Eldath karena aku pasti pulang terlambat. Nadya bilang, kami
mempunyai agenda yang panjang sampai tengah malam nanti. Lihat saja selama apa dia bisa
menahan rasa lelah tubuhnya setelah seharian bekerja.

“Jadi pertama kita akan menemani Nevan mencari cincin untuk Tasha!” kata Nadya saat aku
sudah masuk ke dalam mobil. Dia memiringkan badannya ke kursi belakang agar bisa melihatku.

Aku mengangkat wajah dari ponsel dan berseru “Demi apa? Nevan!”

Dia akan melamar Tasha, dan itu sungguhan “Kau akan melamarnya? Ini serius?” tanyaku
melihat Nevan.

Nadya mengangguk-angguk, “Nevan bilang sih bukan cincin untuk lamaran, but who bloody
cares gitu ya? Tentu aja itu cincin ada maksudnya. Dia kayak bisa nyembunyiin ini aja”

“Ya, itu kan kayak cincin couple gitu, untuk lucu-lucuan aja. Aku baru ketemu sama orang
tuanya seminggu lalu, masa aku udah mau ngelamar dia” kata Nevan, dia mengosokkan jari ke
hidungnya.

“Man, you made your move” kataku “Bagaimana orang tuanya?” tanyaku

“Baik, seperti orang tua kebanyakan” jawabnya santai

“Ya, kayak orang tua kebanyakan” ulang Nadya “Memangnya orangtuaku sama dengan Tasha?”
dia mencibir. Nevan tertawa.

Kami sampai di sebuah toko perhiasan. Namun, sepertinya keputusan Nevan untuk membawa
aku dan Nadya adalah salah. Karena aku dan Nadya malah berburu untuk kami sendiri. Nadya
sibuk mencari anting-anting baru, sedang aku melihat-lihat perhiasan yang dipajang dengan
keterangan ‘new arrival’. Nevan hanya menggeleng pasrah saat melihat kami.
“Apa kalian sudah bisa melihat ini?” tunjuknya pada kotak kecil di atas meja display.

Aku mendekat padanya. Cincin hitam dengan batu permata terbenam di tengahnya. Aku
ternganga “Kau yakin ini hanya untuk lucu-lucuan?” tanyaku

“Yeah” katanya “Ini bagus, kan? Memangnya kenapa?”

Nadya menempel padaku “Oh no, ini hampir sama dengan cincin tunanganku!” serunya “Nevan,
ayolah”

“Kau pernah nonton film? Cincin lucu-lucuan itu biasanya dari plastik atau dari rumput-rumput
gitu, Van. Aku rasa kau berlebihan memberikan ini untuk lucu-lucuan seperti katamu”

Nevan mengalihkan pandangan pada wanita di belakang meja “Anda mau yang lebih simpel?
Kami punya” katanya. Menarik laci di depannya dan menaruh sebuah kotak. Dengan cermat,
dibukanya kotak itu dan cincin berwarna putih tanpa permata tampak.

Lebih sederhana, cantik dan mahal! Aku dan Nadya saling pandang, lalu Nadya tersenyum “Ini
cantik” katanya.

“Aku suka ini” ujarnya “Aku mau ini”

“Aku juga suka itu. Simpel namun cantik, ya, klasik” kata Nadya.

Aku mengangkat bahu, menyerahkan sepenuhnya pada keputusan Nevan sendiri. Dia
mengembalikan cincin itu dalam kotak, tersenyum pada wanita pramuniaga.

“Oke, saya ambil ini” katanya.

Nevan selesai dengan urusan mencari cincinnya saat hari sudah makin malam. Acara nonton
batal. Nadya bilang dia lelah dan ingin langsung mengisi perutnya yang keroncongan saja. Sudah
kuduga! Dia memang ahlinya merencanakan, tapi soal eksekusi: jangan diandalkan.

“Aku ingin kita foto bertiga sebelum aku foto prewed” kata Nadya.

“Wow,” ujar Nevan “Untuk apa?” tanyanya seraya berhenti di lampu merah.
“Untuk kita” kata Nadya “Aku nggak tahu. Tapi ini sudah aku rencanakan jauh sebelum aku
nikah malah. Aku pengen kita punya foto resmi, ya semacam itulah, bertiga”

“Untuk apa sih?” tanya Nevan, masih belum paham kemauan Nadya “Kita sudah punya banyak
foto bertiga kayaknya”

Nadya meringis “Dokumetasi aja, Van. Pokoknya cuma kita bertiga” kata Nadya “Ya?”

Nevan mengernyitkan dahinya “Jangan mendadak, ya”

Sesuai permintaan Nadya, kami mampir disebuah kafe. Kafe yang lumayan ramai. Nevan turun
terakhir dan kami berjalan menuju pintu masuknya. Nevan menunggu seseorang keluar terlebih
dahulu saat kami tiba di depan pintu kafe, baru setelah itu kami masuk. Matanya mencari tempat
yang nyaman untuk kami bertiga. Aku tak tahu apa yang membuat Nevan membeku di
tempatnya.

“Pindah tempat lain aja kali ya?” katanya

“Kenapa?” tanyaku “Sudah masuk juga. Di atas masih ada yang kosong” tunjukku pada bagian
lantai dua yang memang terlihat lebih lengang.

“Penuh banget. Ya, Nad? Kita pindah aja,” bujuk Nevan dengan raut wajah tak tenang.

“Eldath?!”desis Nadya

Eldath?

Aku mengalihkan pandanganku mengikuti pandangan mata Nadya. Inilah yang membuat Nevan
diam tadi. Eldath duduk bersama Emmy beberapa bangku dari tempat kami berdiri sekarang.
Eldath duduk membelakangi kami, jadi dia tak melihat. Aku menajamkan padanganku, berusaha
mencari tahu apa yang mereka kerjakan di sini, BERDUA.

“Aku akan kesana sebentar” kataku berjalan menjauhi Nadya dan Nevan.

Damnit! Apa yang mereka lakukan?


Emmy mengangkat wajahnya seperti menyadari kehadiranku. Menelan ludah, aku balas
menatapnya. Aku bisa melihat beberapa kertas di meja dan alat tulis lainnya. Mereka sedang
bekerja? Aku berdehem.

Eldath menoleh. Dahinya berkerut menatapku yang kini di sampingnya. Kami berada dalam
keadaan canggung sampai Eldath berdiri, menjangkauku untuk pelukannya “Hai, Pretty”
katanya. Dia mencium rambutku.

“Hai” sapaku dalam pelukannya, berpikir.

Aku melirik Emmy, dia mengalihkan pandangannya kembali pada kertas-kertas sialan itu.

“Kau disini? Mana Nevan dan Nadya?” tanyanya “Kau bilang kau bersama mereka”

Aku belum melepaskan pelukan Eldath “Ya, dan kau juga disini?” aku menyindirnya.

Dia melepaskan pelukan, menatap Emmy sebentar lalu melihatku lagi “Aku akan bergabung
dengan kalian nanti, oke? Kau duluan saja”

Heh, dia mengusirku barusan!

Alisku melengkung menatapnya, meminta penjelasan. Namun dia tak bebicara lagi, melihatku
dengan mata birunya yang cerah. Aku mendesah “Baiklah” kataku.

“Senang bertemu denganmu, By” ujar Emmy sebelum aku pergi dari sana.

Aku mengabaikannya. Mencari dua sahabatku, melangkah naik ke lantai dua. Mereka sedang
membaca menu saat aku datang.

“Hei, kau mau pesan apa?” tanya Nadya

“Sama saja” kataku malas. Menaruh tas di meja dan meneguk air putih yang sudah disediakan.

Nevan menyebutkan pesanan pada pelayan yang sudah menunggu. Sepeninggal pelayan itu,
kami tidak berbicara apapun, sampai akhirnya Eldath tiba. Dia melihat Nevan sebentar,
tersenyum pada Nadya seolah tak ada yang terjadi.

“Aku bergabung, tak apa?” tanyanya


Nevan melihatnya “You are here already” katanya

Eldath duduk di sebelahku. Melingkarkan tangan di pinggangku.

“Kau disini juga,” kata Nadya “Ada urusan?”

“Ya” kata Eldath. Dia melirikku sebentar “Masalah kantor”

“Diluar jam kantor?” sergah Nevan

Aku menatap Nevan, memintanya tak menambah keruh suasana. Tangan Eldath makin erat di
pinggangku, dia marah “Aku tak punya waktu lain” dia membela dirinya.

Pesanan kami datang. Suasana kafe makin ramai sekarang. Nadya dan Nevan sedang
membicarakan sesuatu, aku tak terlalu tahu karena pikiranku sedang tak ada disini sekarang. Aku
penasaran apa yang dilakukan Eldath dan Emmy sebelum ini.

“Bagaimana menurutmu, By?” tanya Nadya

Aku menelan ludah “Apa?” tanyaku melihatnya

Dia melengos, melihat Nevan lalu menggeleng “Sudahlah” katanya

Eldath mengusap lenganku “Mereka butuh pendapatmu tentang tema foto kalian, Sayang” kata
Eldath berbaik hati menjelaskan.

Aku membasahi bibirku, “Terserah kalian” aku mengangkat bahu.

“Kalian mau pergi duluan?” tanya Nevan

“Ya, it’s okay” kata Nadya “Lagian kita sudah selesai- well, kau terlihat tak ingin makan lagi”
dia melihatku.

“Ayo” kata Eldath seakan sudah menunggu ijin ini. Dia memegang tanganku untuk berdiri. Aku
melihat Nevan dan Nadya lalu tersenyum tipis.

“Bye”
Aku berjalan di belakang Eldath menuju parkiran. “Tadi itu bukan apa-apa” katanya “Ini
masalah acaranya” dia berbalik, berhenti di depanku.

“Ya, jangan kau jelaskan. Aku tak tertarik”

Aku mendengar dia mendengus, lalu mengacak rambutnya “Aku tak ingin kau salah paham”

Aku mengangguk, sok paham. Persetan dia ingin aku tak salah paham, aku toh sudah salah
paham. Sudah memikirkan yang tidak-tidak. Mereka pernah punya hubungan dulu!

“Katakan apa yang sedang kau pikirkan,” pintanya

Aku menghembuskan nafas, menatapnya “Apa harus kau?” tanyaku “Memangnya itu
urusanmu?”

Dia melihatku “Maksudmu?”

“Aku tak tahu kenapa kau bersamanya membahas acaranya? Dia bisa membahas acaranya
dengan pihak hotel, bukan denganmu! Aku rasa juga aneh melihat kalian hanya berdua.
Setahuku Emmy punya bawahan yang biasa menemaninya membahas acara ini” ocehku

“Jadi kau pikir aku bohong?”

“Sebaiknya kita pulang,” usulku

“Aku dan Emmy tidak ada hubungan apa-apa lagi!”

Dia mau melanjutkan disini, sekarang juga?

“Aku tidak tahu” aku melihatnya.

Dia menarikn nafas. Mantel panjangnya berkibar saat angin berhembus “Ruby,” panggilnya
pelan.

Aku mengambil nafas panjang, lalu mengadah. What a magnificent!

“Ruby,”
“Look at the stars, Eldath” ujarku seraya melihatnya “They are beautiful”. Aku tiba-tiba
melupakan pertengkaranku dengannya.

Dia menurutiku, mengadahkan kepalanya ke langit. Gugusan bintang berpencar di langit.


Berkilauan dengan kelipnya. Hamparan langit yang gelap itu dinaungi sinar terang bintang yang
berkumpul, terpecah dan menyebar. Selalu butuh gelap untuk melihat terang.

Eldath merangkul bahuku “Maaf” ujarnya pelan.

Aku menoleh padanya, mengatupkan rahangku rapat. Tidak ada gunanya lagi

“Kenapa rasanya tidak berbeda?” aku menghela nafas “Dulu, sejak kau pergi, aku sering sekali
ke rooftop, memandangi langit. Aku pernah bilang kan setidaknya kalau memandangi bintang,
aku merasa tidak sendiri. Aku merindukanmu. Aku tidak tahu kau dimana, sejauh apa denganku.
Mama tidak pernah bilang” aku tertawa pelan “Lalu sekarang, saat kau disini bersamaku, rasanya
tidak jauh berbeda seperti waktu itu. Kau masih begitu jauh”

Eldath menarik nafas panjang “Let’s go home” ajaknya

+++
50. Trick or Trap

“Apa boleh aku pergi beberapa hari dengan Mama?”

Eldath mengangkat wajah, melihatku dengan pandangan agar aku menjelaskan apa yang baru
saja kukatakan.

“Kau ingat Shera? Sepupuku itu akan menikah minggu besok. Jadi, mama mengajakku kesana.
Kami akan menginap, mungkin tiga hari” dia melihatku.

“Tiga hari?” Eldath melihat piringnya, lalu menghela nafas “Kau yakin harus selama itu?”
katanya kemudian.

Aku mengangkat alisku “Ya,”

“Ini bukan karena kau masih marah padaku, kan, Rue?”

Entah kenapa aku bersyukur Eldath sadar aku masih marah padanya. Aku bangkit dan
membereskan piringku “Mama bilang kami akan pergi hari lusa” aku memunggunginya,
menahan senyum.

Lihatlah siapa yang aku temui di coffe corner siang ini. Kenapa dari semua tempat mesti disini?
Kenapa dia seperti ada dimana-mana? Harusnya aku ikut Wulan tadi makan nasi goreng di
warung sebrang kantor. Selera menyantap sepotong red velvet lenyap begitu melihatnya yang
malah berjalan ke mejaku. Ya, malang tidak dapat ditolak dan mujur tidak dapat diraih.

“Maaf, tapi aku sedang tidak punya waktu denganmu” aku mengambil semua barangku di atas
meja, lalu berdiri.

“Kau tahu aku berselingkuh dari Eldath dulu?”

“Emmy, aku tidak tertarik” aku melihatnya. Apa-apaan dia tiba-tiba mengatakan itu padaku!

“Karena kau!”

“Aku?” ulangku tak percaya. Aku menilainya.


Tatapan mata Emmy tajam dan wajahnya menunjukkan kebencian yang liar. Dia melihatku dari
ujung kaki sampai ke kepala, lalu mendengus “It makes me sick, you know? Now, sit down and
let me clear this thing”

Aku mendesah, lalu kembali duduk. Dia duduk di depanku, menyilangkan kaki.

“Aku tahu kau marah malam itu. Well, Eldath tidak bohong. Kami memang sedang bekerja.
Kenapa aku dengannya?”

“Tunggu, Eldath memberitahumu apa yang aku katakan padanya?” tanyaku

“Tidak juga, tapi aku bisa menebaknya. Kau bertanya kenapa hanya ada aku dan Eldath?”

It is annoying! Eldath is annoying! Sejak kapan dia bergosip seperti ini?

“Teman-teman kami sudah pergi. Kau bisa tanya Roni kalau kau mau. Dia disana sekitar lima
belas menit sebelum kau datang. Juga Helena, dan dua orang lain dari kantorku. Ada Jenda juga
sebenarnya” dia tersenyum di depanku.

“Aku tidak tahu apa yang kau inginkan, Em!”

“Eldath tidak punya niat untuk membohongimu. Tidak lagi!”

Aku menarik nafas “Begitu, huh?”

“Aku menjalin hubungan dengan Adam di belakang Eldath. Aku berselingkuh dari Eldath dulu.
Karena kau, ya!”

“Kau luar biasa jahat! Berselingkuh di belakangnya dan sekarang kau kembali mendekatinya?”

“Dia tidak pernah melupakanmu!” Emmy merapatkan rahangngnya “Tidak selama 13 tahun
hidupnya dulu, sampai sekarang!”

“Kau pikir aku akan percaya?”

“Itu urusanmu. Aku hanya akan mengatakan yang sebenarnya.”

“Apa ini? Jebakan atau trikmu?”


Emmy mengenakan pakaian kantor yang cukup santai. Celana bahan warna hitam dengan atasan
blouse satin berwarna kuning lime. Rambutnya dia ikat tinggi, menampakkan batang lehernya
yang putih, juga tulang selangkanya yang sedikit menonjol. Kalung berlian melingkari lehernya.

“Apa kau pernah bertanya kenapa aku putus dengannya?”

“Kau jatuh cinta pada orang lain?”

Emmy mendengus “Aku tidak bermaskud untuk jadi jahat atau begitu benci padamu. Kau
sungguh menarik, By, dan itu membuat banyak wanita iri. Kau tahu, saat Eldath menceritakan
dirimu waktu itu, aku sungguh penasaran seperti apa rupamu. Bagaimana kau bisa membuat
Eldath begitu menyukaimu” Emmy tersenyum.

“Awalnya aku mendengarkan Eldath, aku bertanya tentangmu, menikmati ceritanya tentang cinta
masa sekolahnya. Tapi lama-lama, cerita itu bagai bangkai berbau busuk dan menganggu. Cerita
Eldath tentangmu tak pernah ada ujungnya. Bagaimana dia menyesal pergi, tidak ingin
menghubungimu, hanya melihatmu dari jauh, hanya berhubungan dengan sahabatmu, atau
betapa dia merindukanmu”

Sungguh?

“Kami sudah bersama selama beberapa bulan dan tidak pernah sekalipun kau tidak ada dalam
pembicaraannya. Bukankah itu menyebalkan?”

Dia kelihatan menyebalkan sekarang, ya!

“Dia pria yang begitu menawan dan ya.. di beberapa waktu sangat menyayangiku. Aku rela
melakukan apa saja demi dia. Demi mendapatkan hatinya. Tapi, bagaimana bisa dia selalu
mengingat cinta lamanya saat dia bersamaku? Aku mencintainya, dia mencintaiku tapi selalu ada
kau diantara kami” tangan Emmy mengepal di atas meja “Selalu ada Ruby!”

“Emmy...”

Dia mengangkat tanganya, meminta aku berhenti “Kau begitu berarti dalam hidup Eldath hingga
membuatnya seperti orang gila. Aku tidak tahu cinta seperti apa yang bisa membuat anak kecil
seperti kalian dulu tidak bisa move on! What a love story” dia menunduk, memandangi meja
“Aku membencimu, sangat membencimu. Kau hidup dalam dirinya, hatinya. Kau seperti darah
yang mengalir dalam nadinya!” Emmy menahan nafasnya “Dan itu membuatku ingin
menghancurkan kalian!” dia melihatku.

Aku menelan ludah.

“Kenyataan kalau kalian tidak saling berhubungan makin membuat ini makin parah” Emmy
menggeleng “Untuk pertama kalinya aku begitu ingin membunuh seorang wanita”

“Kau tidak..” aku kehilangan kata-kata.

“Eldath seperti tidak bisa mencintai wanita manapun. Aku bahagia bertemu Adam malam itu.
Dia membuka mataku. Dia benar, aku terlalu baik dan tak pantas untuknya” Emmy
menghembuskan nafasnya “Aku berhubungan dengan Adam dibelakang Eldath hampir setahun
dan akhirnya dia tahu”

Emmy mendengus “Dia marah padaku, kau tahu. Lucu sekali dia. Dan saat aku sebutkan
alasanku berpaling darinya, yaitu karena kau- dia terdiam. Eldath tak punya alasan untuk
membela dirinya. Aku begitu ingat mata bersalahnya, bukan padaku, tapi padamu. Pada perasaan
kalian. Menjijikkan!”

“Sekali lagi kau mengatakan kata-kata seperti itu, aku akan menamparmu!” ancamku.

Bibirnya tertarik sedikit “Eldath itu playboy. Dia punya banyak teman kencan, meski tak ada
satupun yang dia tiduri. Tapi dia tidak pernah sendiri, aku bisa jamin itu. Pacarnya dimana-mana,
teman kencannya berganti. But fuck it, you know, you are the one he wants”

Hatiku seperti mengembang mendengar apa yang baru saja dikatakan Emmy. Aku tahu ini bukan
satu dari banyak rencananya untuk merebut Eldath kembali. Dia sudah tahu sejak lama, kalau
Eldath tidak bisa mencintainya!

“Jadi, sekarang kalian bersama. Ya, siapa lagi yang peduli. Meski aku tidak percaya pada cinta
sejati, setidaknya Eldath membuktikan itu padaku”
Suasana coffe corner makin sepi. Satu-satu karyawan mulai meninggalkan tempatnya karena
waktu istirahat mendekati akhir. Emmy mengamati mereka satu persatu, seperti ingin memberi
jeda pada dirinya. Aku menunggunya, sambil menerima semua kata-kata yang dia utarakan tadi.

“Aku tidak pernah berusaha mendapatkan Eldath lagi. Eldath tidak bisa hidup tanpa kau, Ruby!”

That’s the climax!

Perayaan ulang tahun MakeUp Magazine di gelar malam ini. Seharian ini aku sudah bolak-balik
kantor dan Golden Hotel mengikuti Jenda. Memastikan semuanya baik-baik saja. Pengamanan
sudah disiapkan berlapis. Pengawasan terhadap tamu yang keluar masuk juga dibuat sangat ketat.
Jenda sadar kalau ada beberapa keadaan yang memaksa dia meningkatkan keamanan.

Aku sampai di rumah sekitar jam enam sore, dua jam sebelum acara itu di mulai. Eldath sedang
mengenakan jasnya saat aku masuk. Dia kelihatan tampan dengan setelah klasik hitam putih
seperti biasanya. Merapikan jasnya, dia menatap mataku. Aku menelan ludah, membuang
pandanganku pada tempat lain.

Kau begitu berarti dalam hidup Eldath hingga membuatnya seperti orang gila. Kau hidup dalam
dirinya, hatinya. Kau seperti darah yang mengalir dalam nadinya.

“Kau tidak bersiap-siap?” tanyanya sekilas

“Aku, ya... aku bisa mengurus diriku sendiri” ujarku gugup.

Dia mendengus, melihat dirinya sekali lagi di cermin “Sampai jumpa disana” ujarnya “Oh ya,
kau akan pulang bersamaku setelah acaranya” dia mengingatkan sebelum akhirnya pergi.

Aku membersihkan diri dan memilih pakaian untuk malam ini. Aku memilih stripe dress selutut
dengan aksen kerah sailor di bahunya berwarna hitam. Sedangkan untuk alas kaki, aku memilih
angkle strap berwarna silver.

Suasana depan hotel Golden luar biasa ramai. Aku menyerahkan kunci pada petugas parkir dan
menunjukkan sebuah kartu pada penjaga pintu. Kartu akses untuk masuk ke dalam ballroom.
Aku sudah bisa menduga bagaimana suasana di dalam ballroom. Semua orang menampilkan
penampilan terbaik mereka.

Aku melangkah masuk dan ruangan ini hampir penuh. Makin masuk, makin terasa suasana pesta.
Para karyawan majalah MakeUp sudah berkeliaran membantu proses acara malam ini. Musik
sudah terdengar dari atas panggung, penampilan salah satu band indie.

“Ruby,” aku menoleh dan mendapati Jenda di belakangku “Kau cantik” pujinya

Aku tertawa, memperhatikan penampilan Jenda “Yah, kau juga tampan seperti biasa”

Dia memasukkan tangan ke saku celananya “Aku harus mengecek sesuatu dulu. Kau mau ikut
atau kau mau menikmati ini?” dia melayangkan pandangannya ke semua arah.

Aku mengangguk “Aku akan disini saja”

Acara intinya di mulai tiga puluh menit kemudian. Dimulai dari kata sambutan oleh pimpinan
redaksi majalah lalu berlanjut ke Rony sebagai fasilitator, diakhiri oleh Emmy sebagai ketua
panitia malam ini. Aku tak sekalipun melepaskan pandanganku pada Emmy. Saat dia
menyampaikan sambutan dan diikuti oleh rasa terima kasihnya yang spesial untuk Presdir The
Blocks, aku menajamkan pandangan.

Dia menunjuk Eldath yang duduk di barisan depan panggung. Apa memangnya kontribusi yang
dilakukan Eldath hingga dia harus berterima kasih secara khusus? Tepuk tangan keras dan suara
riuh menandai berakhrinya acara utama. Musik pelan sudah berganti musik elektro beat dan
pembawa acara berganti.

Lampu utama dimatikan, hingga hanya lampu yang berada di pinggir panggung catwalk yang
menyala. Suasana langsung berubah saat slide show beberapa selebritis dengan ucapan selamat
ulang tahun untuk majalah ini ditayangkan. Beberapa menit kemudian, saat slide show berganti,
berurutan pada model keluar dari belakang panggung.

Pementasan dilakukan dengan koreografi yang apik dan modern. Rancangan yang dikenakan
para model diapprove dengan tepuk tangan meriah serta sorotan yang mendalam dari tiap orang.
Konsep penampilan yang modern dan mewah adalah tema dari perayaan acara malam ini.
Semuanya sukses diwakili oleh para model yang sedang berlenggak-lenggok di atas panggung.
Oke, aku menikmati pegelaran acara ini. Aku tak pernah tahu kalau dalam pelaksaannya ulang
tahun majalah MakeUp akan semeriah ini. Saat semua perancang muda sudah selesai dengan
gelaran fashion mereka, sekali lagi Emmy mucul dari belakang panggung. Dia dihadiahi
beberapa buket bunga dari bawah panggung sampai pada akhirya: DIA!

Eldath mengulurkan sebuket bunga besar pada Emmy, namun wanita jahat itu meminta Eldath
untuk naik. Aku meremas clutch di pahaku saat Eldath memeluk Emmy, kemudian mencium pipi
kiri dan kanannya. Tidak sampai disitu, Emmy bahkan menggandeng Eldath untuk berjalan
hingga ujung runway. Melambai pada tamu yang bertepuk tangan lalu sekali lagi memeluk
Eldath.

“Acara mereka sukses” kata Jenda sambil menatapku “Kau tak papa?”

Aku menoleh padanya, mengangguk pelan “Ya, dia berhasil” kataku.

Eldath’s POV

Jam sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam saat acara berubah menjadi after party di
club Golden Hotel. Aku duduk bersama Rony dan salah seorang dari majalah ini di kursi dekat
meja bar. Beberapa orang sudah larut dalam kegembiraan atas kesuksesan acara mereka.

Aku hanya memfokuskan diriku pada Ruby. Duduk bersama dua orang lainnya, namun seperti
terasing di dunianya sendiri. Tak peduli pada ocehan orang disebelahnya, apalagi pada keriuhan
yang terjadi di lantai dansa di dekatnya.

“Hei” sapaan Emmy mengejutkanku “Ayo menari denganku!” dia menarik tanganku dan segera
membawaku ke lantai dansa.

Aku tersenyum tipis “Tidak, Em” tolakku

“Sayang sekali, tapi kau sudah disini” dia mengangkat tanganku. Aku tersenyum padanya.

“Ini malam yang hebat” pekiknya.


Aku setuju. Setidaknya bagi Emmy dan beberapa orang lain, ini malam yang hebat. Dia terus
mengajakku menari, mengikuti musik dan bergabung dengan teman-temannya. Untuk beberapa
saat, aku sadar aku menikmati ini sebelum akhirnya aku tahu ada sepasang mata yang
mengawasiku. Saat aku menatapnya, Ruby mengalihkan pandangannya pada sudut lain di club.
Dia memegang minumannya, meneguknya cepat sampai habis. Dia melihatku!

“Emmy, aku harus kembali”

“Apa yang membuatmu buru-buru? Emmy ada di sini” tukas salah satu teman Emmy.

Emmy tertawa padanya dan sejurus kemudian mengenggam tanganku untuk ikut menari bersama
yang lain. Saat akhirnya aku bisa melepaskan diri dari Emmy, yaitu setengah jam kemudian,
Ruby sudah tak ada lagi di tempatnya.

“Kau khawatir dia akan marah lagi padamu. Ayolah Eldath!” kata Emmy saat dia duduk
disebelahku.

“Kau mengacau, Em. Terima kasih” ujarku. Mengetahui dia menemui Ruby tadi siang membuat
aku meradang.

“Semua orang mendadak jadi idiot kalau berurusan dengan cinta” Emmy memanggil pelayan dan
meminta dibawakan minuman.

“Kau pikir dirimu tidak? Lihatlah bagaimana kau tergila-gila pada Adam”

“Dan lihatlah kau yang masih sibuk memikirkan bagaimana cara menerima Ruby lagi, padahal
kau tidak pernah sekalipun mengeluarkannya dari hatimu. Idiot? YES!”

“You shit me!”

“Kau sungguh naïf Eldath! Tiga belas tahun berusaha melupakannya, tapi kau rela mati
untuknya. Bukan cinta? Kau tak pernah melupakannya El, tidak sekalipun. Kau marah karena
kau tidak bisa melupakannya, sekalipun kau punya aku dulu. Kau marah karena kau tak punya
alasan untuk membencinya. Persetan denganmu, Eldath!”

Aku melihatnya. Dia balas menatapku, lembut “Aku mengenalmu, El. Sudah cukup tahu
bagaimana dirimu” dia menyentuh pipiku sesaat “Bukankah kau lelah? Jangan mempersulit ini.
Lepaskan semua, akui semuanya. Akui kalau kau tidak bisa hidup tanpa Ruby. Mengaku saja
kalau kau begitu mencintainya hingga kau membenci dirimu sendiri. Aku temanmu sekarang,
setidaknya hanya aku teman yang tahu bagaimana dalam perasaanmu pada istrimu”

Pelayan yang sama datang membawa minuman dan meletakkannya di meja. Emmy segera
menyambar gelas itu dan meneguk isinya.

“Talk is cheap!”

“Hei, apa susahnya mengatakan ‘Ruby, aku mencintaimu’, kau tahu benar perasaanmu” dia
mengehela nafas “Eldath, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri.”

+++
51. Testing You, Tempting Me.

Eldath’s POV

Berjalan menuju balkon, aku sadar kenapa Ruby tak mendengarku. Memasang earphone di
telinganya, Ruby menenggelamkan setengah badannya di dalam kolam renang. Beristirahat di
tepi kolam seraya menatap langit yang mulai berubah terang. Aku mengerjap. Ini jam setengah
enam pagi dan Ruby sudah di kolam renang. Dia sungguh bersemangat untuk pergi pagi ini.

“Ruby,” kataku seraya berjalan mendekat.

Dia menyadari keberadaanku. Menoleh sebentar, lalu melepaskan earphonenya. Dia


menenggelamkan seluruh tubuhnya untuk berenang menuju tepi yang lain, menjauhiku. Aku
menghela nafas. Dia tak mempedulikanku, karena sekarang Ruby tak punya niat untuk berenang
kembali ke arahku. Dia berhenti disana, membelakangiku.

“Oke, maaf soal semalam. Hei, kau yang meninggalkanku,” ujarku seraya melihatnya. Aku
frustrasi.

Ruby mengangkat tubuhnya dari kolam renang. Berjalan dengan hanya pakaian dalamnya.
Ohoow, apa dia mengetesku? Menggoda seperti ini? Well, kau berhasil, Sayang!

For heaven’s sake! Oh, terkutuklah nafsu sialan ini!

Aku menelan ludah, berjalan mendekat sambil membawakan handuk untuknya. Dia
menerimanya, lempeng. Lempeng dalam artian seperti menerima handuk dari seorang pelayan.
Dia tak melihatku, bahkan tak berterima kasih.

“Ruby!”

“Aku harus siap-siap.”

Alibi.

Aku membiarkannya masuk ke dalam dan kini aku membuka piyamaku, celana, dan
menceburkan diri ke dalam kolam.
“Mama” kataku memberikan ponselku pada Ruby.

Sambil mengerutkan dahi, dia menerimanya dan berbicara beberapa saat. Semoga dia tidak
menolak rencana ini. Aku sudah paham sifat Ruby, jika dia marah maka tak ada yang bisa
kuperbuat selain menunggunya tenang.

“Kau pandai sekali, Eldath!” katanya melihatku “Ayo pergi sekarang”

Oh ya, dia setuju. Untunglah mama tak menolak ini. Aku meminta pada mama untuk
mengatarkan mereka ke bandara pagi ini. Perjalanan ibu dan anak demi menghadiri hajatan
keluarga mereka. Setidaknya di depan mama, Ruby tidak akan mengabaikanku, kan?

Pandai, kau memang pandai Eldath!

Mama sudah menunggu kami. Aku bahkan tak sempat berbelok ke dalam pekarangan rumah
lantaran mama sudah berdiri di depan pagar dan siap pergi. Dia bilang mereka akan terlambat
jika tidak berangkat segera.

“Oh, maaf El, aku harus membawa Ruby pergi beberapa hari”

Aku menoleh ke kursi belakang sesaat “Tidak apa-apa, Ma”

“Ya, dia akan senang kalau aku tidak ada, Ma!” sela Ruby

“Apa yang kau katakan, Baby? Mana mungkin aku senang kalau kau tidak ada di rumah”

Aku mendengar dengusan Ruby. Oh, dia benar-benar marah sekarang. Untungnya mama banyak
bicara sepanjang perjalanan, jadi aku sedikit tertolong karena Ruby benar-benar tidak berada
dalam mood yang baik.

“Aku kesana sebentar.” ujar mama yang langsung kabur menuju konter makanan kecil.

“Sekarang kau bisa bertemu Emmy sesukamu” ujar Ruby setelah mama pergi “Dasar nenek
sihir!” dia geram.

Aku menyandarkan punggung ke kursi, mengacak rambutku “Ini tidak seperti yang kau pikirkan,
Rue”
“Oh ya, kau selalu seperti ini, El. Sesukamu. Seolah perasaanmulah yang paling penting!”

“Ruby,” aku batal membantahnya karena mama sudah kembali dengan kantong plastik
ditangannya.

“Sudah waktunya masuk” dia melihat jam.

Ruby berdiri dan menunggu mama berpamitan denganku. Mama memelukku dan mencium
pipiku sekilas “Jaga dirimu, maaf membawa Ruby tiga hari ini”

“It’s okay” kataku.

Dia tersenyum lembut dan melihat Ruby. Aku menariknya untuk kupeluk. Dia diam saja, malah
terdengar mendengus di telingaku. Aku melepaskan pelukan namun tidak melepaskan pegangan
tanganku. Menyedihkan Eldath, kau menyedihkan!

Aku benar-benar tak tahu kapan tepatnya aku tak ingin berjauhan dengan Ruby. Well, tiga hari
tanpa Ruby, aku rasa aku akan gila. She is playing the most important role in my life right now.

“Bye,” kata Ruby menarik tangannya.

Aku menangkup wajahnya cepat dan mengklaim bibirnya di depan orang banyak. Dia istriku,
toh. Hanya norma kesusilaan yang aku langgar, kan? Dia membasahi bibirnya setelah aku
menarik wajahku. Wajahnya bersemu merah melihatku. Tatapannya marah tapi dia tak bisa
menyembunyikan tatapan kaget “Hati-hati” kataku seraya menyelipkan rambutnya ke belakang
telinga.

“Ayo, kalian jadi perhatian dari tadi!” kata mama menarik Ruby dari depanku “Bye, El!”

“Bye, Ma” kataku sebelum akhirnya mereka memasuki pintu otomatis dan tak terlihat lagi.

Well, hari-hari menduda dimulai! Sepertinya berenang akan jadi kegiatan paforit untuk tiga hari
ini.

Membantu mempersiapkan pernikahan Shera sangat repot. Aku rasa, ini lantaran saat
pernikahanku dulu, aku tak banyak bekerja. Semua sudah dipersiapkan. Yang aku ingat, aku
hanya memberitahu seperti apa resepsi yang aku inginkan pada orang-orang itu, dan taa-daa
semuanya selesai.

Shera punya rumah yang besar dan mamanya bersikukuh kalau akad nikahnya mesti dilakukan di
rumah. Makanya, rumahnya sudah kayak kapal pecah sekarang. Banyak hiasan dekorasi yang
baru datang dan belum sempat dipasang, tamu tak henti berdatangan dan kado yang makin lama
makin bertumpuk.

Mengingat terpandangnya keluarga Shera di lingkungan rumahnya, tenda di halaman rumahnya


dipenuhi tamu. Bahkan, untuk acara akad nanti malam, jalan menuju kompleks perumahan Shera
sengaja dialihkan. Sementara tamu pernikahan Shera, mesti memarkirkan mobilnya di gerbang
perumahan, untuk mencegah penumpukan kendaraan dan bikin macet. Itu artinya, setiap tamu
yang membawa mobil pribadi akan berjalan setidaknya 50 meter menuju rumahnya.

Ruangan keluarga yang merupakan ruang akad nikahnya sebenarnya sudah siap, hanya saja
Shera tak suka penataannya. Itulah yang membuat para petugas dekorasi membongkar ulang dan
mendatangkan hiasan baru. Well, Shera memang sepupuku yang paling perfeksionis, jadi aku
sudah tak heran kalau ini akan terjadi.

Dia duduk disampingku “Ah, repot amat gara-gara Mama. Kalo aja dia mau akad di gedung
langsung, kan nggak kayak gini urusannya” curhatnya.

Aku tersenyum “Kau anak perempuan satu-satunya, Sher. Biar punya kenangan di rumah”

“Kau tidak” sela Shera melihatku. Dia mengambil tanganku dan melihat cincin di jari manisku
“Bagaimana rasanya menikah, By?” dia melihatku.

“Heh, kau baru menanyakan itu padaku sekarang?” aku menarik tanganku.

Dia tertawa “Sudah berapa lama kau menikah dengan Eldath?”

“Hampir empat bulan, yeah” kataku mengingat kembali hari dimana aku menikah dengan Eldath.

“Ah sebenarnya aku berharap kau membawa Eldath juga. Lumayan untuk cuci mata tamuku”

“Sialan!”
“Aku deg-degan. Roman bilang dia sudah nggak selera makan dari kemarin”

Aku tertawa pelan mendengarnya “Sher, semuanya akan berjalan lancar nanti malam”

Acara akad nikah Shera malam itu berjalan lancar. Khidmat dan haru lantaran kedua pengantin
serta keluarga inti mengangis saat acara sungkem. Shera bahkan masih menangis saat acara
sudah selesai. Dia mengatakan padaku kalau dia takut berpisah dengan mamanya. Well,
semuanya juga merasa begitu.

Jam menunjukkan pukul setengah tiga sore saat hujan turun. Aku berada di kamarku, dengan
bodohnya memandangi ponsel. Sialan! Eldath tidak sekalipun menghubungiku. Mengingat
usahanya mengantarkanku ke bandara dua hari lalu, harusnya dia rela berlari menyusulku ke sini
kan? Well, walau rasanya tidak mungkin berlari-lantaran dia tak akan kuat berlari dari rumahku
ke rumah Shera yang ditempuh dengan dua setengah jam perjalanan udara- minimal dia
menghubungiku, kan?

Walau bagaimanapun, aku yakin cepat atau lambat dia akan datang padaku. DIA AKAN
DATANG PADAKU! Tunggu saja. Tunggu saja sampai aku kembali, jika dia masih tak
bertekad menebus semuanya, aku akan tetap menjadi musuhnya! Dia mengetes kesabaranku,
huh?

Aku keluar kamar dan mendapati suasana rumah Shera sudah sedikit sepi sekarang. Mungkin
sekarang orang-orang sedang ke gedung pernikahannya, melihat-lihat. Aku berjalan menuju
kamar Shera dan menemukan dia disana. Membereskan beberapa perlengkapannya.

“Kau bisa membantuku membereskan itu?” tunjuknya pada tumpukan kado di sudut ruangan.

Aku mengangkat alisku. Menyusun, lebih tepatnya memidahkan kado itu ke ruangan disebelah
kamar Shera. Kamar yang sebenarnya adalah kamar adik lelakinya, Arbil. Tapi, Shera tentu
punya hak prerogatif di rumah ini, terlebih lagi ini harinya.

“Ta-daaa” Shera memamerkan sebuah tiket pesawat padaku.


Aku mengambilnya dan melihat destinasi Shera bersama suaminya yang seorang manajer sebuah
perusahaan konsultan pajak itu “Sher?” aku bahkan ikut senang membaca kemana pengantin
baru ini akan menghabiskan waktu bulan madu mereka “Maldives!!!?” seruku

Shera mengagguk memelukku. Aku menepuk punggungnya pelan dan melepaskan pelukan
“Selamat! You must be the happiest bride, indeed!”

Ketukan di pintu kamar Shera membuat kami menoleh. Mamaku muncul dari balik pintu “Ada
yang mencarimu,” kata mama.

“Siapa? Shera?” tanyaku.

“Bukan, kau Ruby!” dia pergi dan membiarkan pintu terbuka.

“Siapa?” tanya Shera yang ikut keluar bersamaku.

Demi malaikat yang berada di surga! Aku tercengang tak percaya melihat Eldath berdiri di
ruangan keluarga Shera. Dengan setelan yang basah dan raut muka yang berantakan, melihatku
lekat. Ini Eldath, benar Eldath!

“Eldath!” seru Shera bersemangat.

Aku hanya terdiam, tak tahu mau bilang apa. Shera menepuk bahuku dan aku terkesiap.

“Eldath,” ujarku seraya berjalan ke arahnya.

Eldath menyusulku dan langsung menarikku dalam pelukannya. Pelukan Eldath yang aku rasa
bisa meremukkan tulang-tulangku. Bukan hanya itu, aku bisa merasakan pakaiannya yang basah
dan kemungkinan pakaianku ikut basah sangat besar.

“El...” aku berujar pelan “Apa...” aku menarik nafas di dadanya. Aroma Eldath yang aku suka.
Dia melepasakan pelukan dan melihatku. Tanpa banyak bicara, memberikanku ciuman lembut di
bibir. Aku bersemu merah, menundukkan kepalaku saat dia melepaskan bibirnya.

Dia mengangkat daguku dan kembali menciumku. Oh Tuhan, aku tak tahu apa yang terjadi
padanya? Tapi melihat Eldath sekarang di sini membuatku jadi wanita yang paling bahagia.
Menciumnya sekarang, membaui aroma tubuhnya adalah kado istimewa yang bisa aku dapat
sekarang. Merasakan detak jantungnya yang begitu cepat di tanganku, serta merasakan
tangannya di punggungku -mengelus pelan, adalah hal yang paling mesra yang terjadi.

Aku bisa saja tak melepaskan ciuman kami kalau saja aku tak ingat dimana aku sekarang. Dia
menghela nafasnya di depanku, dan aku menengok kebelakang. Shera ada disana, mengangkup
mulutnya dengan dua tangan. Sialnya, bukan hanya Shera yang ada disana. Ada mamaku,
beberapa tanteku dan sepupuku yang lain “Um, maaf” kataku.

Aku melihat Eldath “What should I do? Kau kebasahan!” aku membawanya ke kamar tanpa ada
niat menjelaskan apa-apa pada penonton dadakan itu.

“Kau membawa baju ganti? Sebenarnya...”

Aku belum selesai mengatakan apa yang ada di pikiranku saat Eldath kembali menciumku. Aku
tergoda oleh lidahnya dan membuka mulutku. Membiarkan tangannya bermain-main di
punggungku serta merelakan bagaimana dia menyiksaku dengan ciumannya.

“Eldath...” desahku saat ciumannya sekarang berpindah ke leherku, mengincar bagian paling
sensitif. Mencecap tulang selangkaku, dan kini menggoda telingaku. Dia mengerang bersamaan
dengan nafasnya yang berat.

Menggigit bibirku, aku menarik rambut Eldath “Eldath,” aku tertawa pelan “Hei,” aku
menormalkan nafasku saat tangan Eldath mulai meremas bokongku “Aw!” seruku kaget “Hei,
ini bukan kamar kita”

Dia tertawa pelan, meniupkan nafasnya di telingaku dan menarik dirinya.

“Dan kau bisa masuk angin jika tak menukar pakainmu” kataku melihat mantel panjangnya yang
basah.

“Bisakah aku bersamamu sekarang?” dia melihatku.

“Kau bersamaku sekarang” aku mengerutkan dahi “Ganti pakaianmu” kataku.

Dia melepaskan mantelnya, mengeluarkan ponsel, kunci mobil, dompet, berurutan lalu membuka
kemejanya, kaos oblong, celana jeans, boxer hingga dia hanya memakai underwearnya saja, yang
kesemuanya dia lakukan di depanku, bukan di kamar kecil.
Aku menelan ludah “Oke, bagaimana sekarang?”

Eldath naik ke tempat tidur, menyingkap selimutnya dan duduk disana melihat ke arahku. Eldath,
serius? Maksudku, ini kamar yang disediakan Shera untukku dan mama!

“Kemari,” perintahnya.

“Eldath,” aku menutup wajahku, memalukan “Mama juga memakai kamar ini,” kataku.

“Kemarilah” dia melipat tepi selimut, mengajakku bergabung.

Aku mendesah, mengambil pakaian Eldath di lantai dan menaruhnya di gantungan kamar mandi
agar kering. Matanya tak sekalipun meninggalkanku sampai akhirnya aku bergabung di atas
tempat tidur. Aku duduk bersandar pada headboard sementara Eldath memeluk pinggang sampai
perutku. Menaruh kepalanya dia atas pahaku seperti anak kecil.

“Apa yang terjadi padamu?” aku membelai rambutnya seraya menarik selimut menutupi bagian
tubuhnya.

Dia tidak menjawab, tidak bicara lagi, hanya memaikan jarinya di pinggangku. Kami
mendengarkan suara hujan yang jatuh karena menit-menit lewat tanpa percakapan sama sekali.
Sudah satu jam lewat dan aku merasa tangan Eldath sudah tidak bergerak lagi, aku menunduk
melihatnya. Dia tertidur. Oh, sangat manis dan begitu tampan.

Pelan, aku mengangkat kepalanya dan menaruhnya ke atas bantal. Menyelimuti tubuhnya, lalu
keluar. Bertemu dengan orang-orang yang memergokiku dan Eldath, membuatku malu.

“Mana Eldath?” tanya mama saat aku bergabung dengan mereka yang sekarang sedang
merangkai bunga.

“Um, tidur” aku mengambil sekuntum mawar.

“Waw, dia memang aset Ruby!” kata Shera

Aku memelototinya. Namun perkataan Shera malah di-amini beberapa tanteku.

“Apa Eldath membawa baju ganti?” tanya mama lagi. Ah, dia begitu sayang dengan
menantunya!
“Tidak, dan semua bajunya basah” kataku “Dimana aku bisa membeli pakaian untuknya, Sher?”

“Ada baju dikamarku. Well, itu sebenarnya untuk Roman setelah akad tadi malam. Tapi dia tidak
memakainya, teknisnya itu baju masih baru” kata Shera “Kalau kau mau.”

“Tidak apa, itu saja” potong mama “Sudah terlalu sore dan hujan belum berhenti kalau kau mau
pergi keluar”

Aku mengikuti Shera menuju kamarnya dan mengambil baju untuk Eldath. Saat aku kembali ke
kamar, Eldath masih tertidur nyenyak. Aku berdiri disampingnya. Lihat, dia datang padaku!
Meski aku tak tahu apa yang terjadi dengannya hingga dia menyusulku kesini, apapun itu aku
berterima kasih.

“Kau sungguh- aku tidak tahu apa yang membuatmu begini, El” gumamku sambil mengusap
kepalanya pelan.

+++
52. Fireflies and Stars

Suasana malam di rumah Shera bertambah meriah sekarang. Teman-teman kerjanya berdatangan
untuk merayakan pesta calon pengiring pengantin yang mana mereka sudah menguasai sebagian
besar ruangan rumah Shera. Berisiknya bukan main, ramainya minta ampun.

“Kau tidak ingin ikut dengan Eldath?” tanya mama.

“Nggak ah,” kataku “Dia menginap di hotel, Ma. Biarkan saja, besok dia akan menjemput kita”

“Ruby, kau pikir kenapa dia jauh-jauh kesini? Dia ingin bersamamu! Rupanya batas Eldath
hanya dua hari!” mama tertawa seraya meninggalkanku.

Aku berjalan ke ruang makan dimana Eldath sedang menikmati makan malamnya. Menarik kursi
di sampingnya, aku melihatnya makan. Dia tersenyum tipis saat aku duduk disana. Ah, dia
tampan sekali. Tidak sampai sepuluh menit, dia selesai dengan makan malamnya dan berterima
kasih pada Tante Maura untuk perlakuan hangat mereka. Tante Maura kesenangan, tentu saja dia
akan memperlakukan Eldath dengan baik.

“Kau benar tak mau ikut?” tanya Eldath kecewa.

“Aku disini saja. Masih banyak yang harus dilakukan, El!”

Dia membungkuk mencium dahiku dan memancing perhatian teman-teman Shera yang
berkumpul di bawah tenda tak jauh dari kami.

“Kabari aku jam berapa harus menjemputmu besok” katanya.

“Tunggu!” seru mama dari dalam.

Kami menoleh dan aku mengerutkan dahi padanya. Dia tersenyum, menenteng tasku.
Meletakkannya di depan Eldath dan melipat tanganya di depan dada “Ruby akan ikut denganmu,
tentu saja!” kata mama.

Eldath menyeringai menatapku. Dia mengambil tas yang berisi pakaianku dan mengulurkan
tangannya padaku. Tidak lupa berterima kasih pada mama atas bantuannya.

“Darimana kau dapat mobil ini?” tanyaku saat mobil sudah meninggalkan perumahan Shera.
“Kau tidak tahu ada kantor The Block disini? Aku meminta mereka menyediakan mobil” dia
menjawab.

“Waw, jadi penguasa memang sesuatu. Anyway, apa yang terjadi denganmu?” aku melihatnya.

Dia melihatku sekilas, lalu mengambil tanganku “Aku tidak tahu” dia tertawa pelan “Hanya saja,
jangan tinggalkan aku, Sayang” dia membawa tanganku ke ke bibirnya dan mengecupnya
lembut.

Eldath!!

Hotel tempat menginap Eldath tentu saja yang paling mewah disini. Karyawan hotel
menyambutnya seolah sudah mengenal Eldath bertahun-tahun. Dia menyelipkan tanganku di
lengannya saat kami berjalan bersama. Dia bahkan tak mengijinkan aku menarik tanganku,
barang untuk merapikan rambutku.

Senyumnya tak hilang sejak dia turun dari mobil. Tak tahu apa yang membuatnya begitu senang.
Kami memasuki lift dan seperti keberuntungan Eldath yang lain, hanya kami berdua disini. Dia
menarikku lebih dekat untuk mengecup pelipisku ringan, lalu pipiku. Aku mendorong wajahnya
saat menyadari lampu merah berkedip di pojok atas lift. Tapi Eldath sepertinya masa bodoh dan
kini dia mengincar bibirku.

“I don’t care” ujarnya.

“Eldath,” aku tertawa.

“Aku merindukanmu” bisiknya seraya menggigit telingaku pelan.

Aku merinding. Aku berterima kasih saat lift berdentang dan kami berhenti di lantai kamar
Eldath. Dia menuntunku keluar seolah aku akan jatuh kalau dia tidak memegangiku seperti
sekarang. Aku menikmati ini, walau tetap merasa waspada akan apa yang akan terjadi, bahkan
sepuluh menit kedepan!

Di depan pintu, dia memintaku berhenti “Bisakah kau menutup matamu?”

Aku mengernyit “Tidak!” aku menggeleng.


Dia tertawa pelan “Don’t ruin this night” ujarnya pelan “Close your eyes, Baby”

Aku mendesah, namun menurutinya. Menutup mataku dan memegang tangan Eldath erat saat dia
menuntunku berjalan.

“Aku akan menciummu kalau kau membuka matamu” dia mengancam. Ancaman yang manis
sebenarnya.

Aku mendengar suara pintu ditutup dan bisa membaui aroma wangi. Lalu, hembusan angin
membelai wajahku membuat aku makin merapatkan mataku. Tangan Eldath lepas dan kini aku
memiringkan kepalaku “Eldath?”

Tidak ada suara apa-apa. Dan itu membuatku makin penasaran “Eldath, kalau kau tidak
menjawabku, aku akan membuka mataku” ancamku.

Eldath berdehem, suaranya terdengar dekat denganku “Open your eyes”

Aku tak tahu bagaimana menjelaskan perasaanku sekarang. Aku tahu pria seperti apa Eldath saat
dia bersedia menikah denganku, atau setidaknya sampai beberapa hari yang lalu. Kami masih
bertengkar. Tapi sekarang, yang aku lihat ini adalah pemandangan betapa kami begitu bahagia
dan saling mencintai satu sama lain. Jika ada yang melihat ini, itulah anggapan yang paling pas.

“Eldath,” lirihku melihatnya. Aku menggeleng tak percaya, kehilangan kata-kata.

Aku menutup mulutku, melihat sekitar. Pendar-pendar cahaya ruangan ini hanya berasal dari
kelap-kelip dari dalam puluhan toples kaca. Dan di dalam toples kecil itu, kunang-kunang
membiaskan warna kekuniningan. Sumber cahaya satu-satunya dalam ruangan ini. Bergerak
sangat aktif meski dibatasi oleh kaca-kaca itu. Sinarnya berpindah-pindah, memunculkan
bayangan indah di dinding, memantulkan kilauan yang ingin kau tangkap.

“This is sweet” gumamku tanpa sadar.

Eldath berdehem, “Look over there” kata Eldath.

Aku menoleh ke depan seperti yang ditunjuk Eldath. Jendela besar terbuka lebar. Tirainya tertiup
angin, memudahkanku melihat apa yang disimpan dibaliknya. Hamparan bintang maha luas
menyambutku saat aku berjalan mendekat. Aku bisa tahu kalau ini adalah kamar di lantai paling
tinggi di bangunan ini, karena tak ada lagi lantai di atas kami. Eldath menyewa penthouse hotel
ini untuk ini. Untuk kami! Persis seperti yang selalu aku lihat dulu. Hanya sekarang, hamparan
yang terlihat jauh lebih luas dan terasa sangat dekat.

“Oh my God!” ujarku pelan sambil memegang pembatas.

“Eldath, this is beautiful” aku benar-benar terpana “Eldath, ini sungguh indah” ujarku lagi.

Mendengar dia tidak merespon apapun, aku berbalik.

And for every Kindness of God!

Eldath sedang berlutut menghadapku! BERLUTUT!

“El...Dath,” aku terbata-bata.

Aku berjalan pelan ke arahnya, mendapati kenyataan yang tidak salah. Aku tidak berhalusinasi.

Ini Eldath. Dia tersenyum tampan. Apa yang terjadi dalam sepuluh menit ini? Aku menarik
nafas, mencoba merasakan bahwa aku memang tidak berkhayal. Ini bukan mimpi.

Dia mengangsurkan kotak berisi cincin padaku, benar-benar seperti adegan lamaran yang aku
impikan. Aku melangkah mundur masih tak percaya dengan apa yang dilakukannya.

“El...” aku kehilangan kemampuan verbalku.

Aku melihat Eldath yang sekarang sedang tertawa pelan. Dia menunduk sesaat, lalu melihatku
lagi “Sayang,” ujarnya.

Oh my God, apa yang terjadi? Apa ini?

Eldath melihatku, mengamati reaksiku. Menahan senyumnya namun matanya begitu


menggambarkan kesungguhan yang sedang dirasakannya. Aku menelan ludah.

“Apa yang kau...” aku menyeka air di ujung mataku.

Dengar, kalau kami belum menikah, maka aku akan berpikir ini adalah cara Eldath melamarku.
Tapi, kami sudah menikah, aku punya cincin kawin! Apa yang dia lakukan sekarang?
Dia berdehem “Aku tak tahu sejak kapan aku tak ingin kau pergi, tak ingin kau jauh-jauh dariku”
dia melihatku tanpa berkedip “Percayalah, ini bukan perasaan tiba-tiba, Rue. Aku tak mau
kehilanganmu. Aku...” dia mengulurkan sebelah tangannya padaku.

Aku menyambutnya dengan tangan bergetar, menyaksikan Eldath berlutut seperti ini, di atas
lututnya sendiri, benar-benar mimpi jadi kenyataan. Ini adalah peristiwa terakhir yang mungkin
aku minta pada Eldath sebelum aku mati. Dengan kata lain, itu tak mungkin terjadi!

“Aku mencintaimu” katanya sepenuh hati.

Aku membuka mulutku ingin berkata sesuatu, tapi tak ada yang keluar. Dia menggenggam
tanganku erat “Ruby, aku mencintaimu!” ulangnya.

I fly!

Aku tertawa pelan dan saat itulah airmataku tak bisa lagi kutahan. Aku menghela nafas namun
airmataku malah makin jadi. Yang aku lakukan selanjutnya adalah ikut berlutut di depan Eldath,
memeluknya. Menangis dalam pelukannya.

“Ruby,” dia menepuk punggungku, mencoba menenangkanku.

Oh, God! This is too much, this is too beautiful, too good to be true!

Eldath menarik tubuhku dan memintaku melihatnya. Mataku masih dipenuhi selubung airmata
saat dia kembali menunjukkan cincin yang aku abaikan lantaran aku lebih memilih Eldath dari
berlian manapun. Hah!

Dia menyematkan cincin itu di sebelah cincin ruby milikku “Ini yang kau inginkan bukan? On
bended kness, menyatakan cinta?” dia bertanya.

Sambil sesunggukan aku mengangguk “Eldath...Kita sudah menikah. Aku tak perlu ini lagi.”

“Aku ingin melakukannya” katanya membelai rambutku.

Aku menarik nafas, lalu menciumnya lembut sesaat “Eldath...”

Eldath tersenyum. Telunjuknya menelusuri bibirku “Katakan,” pintanya.


“Aku mencintaimu” ujarku.

Eldath menelan ludah, mendekatkan wajahku pelan dan menciumku. Begitu hangat, penuh cinta
dan menerbangkan diriku.

Goodness!

Aku terengah-engah saat dia melepaskan ciumannya. Melihatku dengan matanya yang biru
namun begitu berkabut, dia menatapku “I’m all yours, Baby” katanya.

Aku tersenyum, membangunkan diriku lalu menjulurkan tangan untuknya. Saat dia berdiri di
depanku, aku berjinjit di atas kakinya. Menciumnya. Melumat bibirnya seperti yang selama ini
dia lakukan. Tangannya di pinggangngku, merapatkanku dengan tubuhnya.

“I’m all yours” ujarku serak.

“Baby,” ujar Eldath berbalik sebentar. Dia tertawa pelan, lalu melihatku lagi “Biarkan aku
membereskan ini dulu”

Dia berlalu dari depanku. Mengumpulkan puluhan toples yang semula membentuk formasi
sembarangan, ke atas meja. Kini, saat semua toples itu sudah berkumpul dan memuhi meja,
kamar jadi semakin indah. Seperti lampu meja besar dengan sinar yang bergerak-gerak. Eldath
terpaku di depannya “Aku tahu kenapa kau menyukai mereka sekarang” gumamnya.

Aku berjalan mendekat, melingkarkan tangan di pinggangnya “Sekarang, siapa yang berburu
kunang-kunang ini?”

Dia tersenyum, mencium pipiku ringan “Kau tidak perlu tahu,” dia mengedipkan matanya.

“Now, let me” dia menggendongku seketika, tersenyum begitu misterius dan membaringkanku
ke atas tempat tidur.

Aku tahu kemana ini akan berakhir, kemana kami akan saling membahagiakan, kemana kami
akan saling merasa paling berhak untuk memiliki. Aku memiliki Eldath dan Eldath memilikiku!

+++
53. Spectacular Surprise

Eldath’s POV

Aku melewati malam yang luar biasa. Pagi yang luar biasa. Percintaan yang luar biasa sexy, dan
oh diatas itu semua, wanita yang sedang terlelap di sampingku ini. Dialah yang membuat
keistimewaan itu mungkin. Ruby Shaika, istriku.

Ruby membuka matanya dan tersenyum padaku.

“Kau sudah bangun?” suara seraknya membuatku mengangguk.

“Morning, Baby”

Dia membawa tubuhnya mendekat padaku. Berbaring di atas lenganku dan menghirup nafas di
dadaku. Aku membelai kepalanya dan menghadiahinya ciuman di pelipis.

“Apa kau sudah sadar sekarang?” tanyanya.

“Sadar?” ulangku.

“Apa kau sadar apa yang kau katakan padaku semalam? Apa yang kau lakukan denganku
disini?”

“Aku jatuh cinta padamu. Aku mencintaimu” kataku mantap.

Mengangkat wajahnya dengan tanganku yang lain “Aku sadar dan memang begitu” aku
menurunkan wajahku untuk merasakan bibirnya.

Dia tersenyum, lalu menurunkan ciumannya ke dagu, leher dan telingaku.

“Rue,”

Terkutuklah semua ponsel di dunia. Terkutuklah aku yang tidak mengatur modenya atau
mematikannya saja. Aku memiringkan kepalaku dan menggapai ponsel di meja samping tempat
tidur.
Aku membeku saat tubuh Ruby merangkak dan kini sudah berada di atasku. Dia tak
mempedulikanku, hingga dia hanya menciumiku seperti tak pernah melakukannya sebelum ini.
Aku harus mengaku kalau dia liar!

“Siapa?” tanyanya di sela ciumannya di sekitar dadaku.

“Oh,”

Ponsel itu kembali berbunyi setelah panggilan pertama yang aku lewatkan begitu saja “Halo,
Van?” aku menerima telpon itu.

Aku menutup mataku dan tak tahu apa yang Nevan bicarakan saat tubuh telanjangku dan Ruby
saling bergesekan karena dia begitu apa tadi aku bilang? LIAR! Dia menggigit bahuku pelan,
namun cukup untuk membuat semuanya kembali hidup. Bibirnya mencecap leherku dan aku
benar-benar tak tahu mengapa aku masih memegang ponsel sialan ini!

“Fuck! Call you later, Van!”

Aku membuang ponsel itu ke lantai. Ruby tertawa seolah tahu dia menang atasku. Memegang
tangannya, aku menciuminya jarinya “Cantik seperti kau” pujiku.

Bisakah aku merasa cukup dengannya sekarang? Bisakah aku menghentikan rasa yang meledak-
ledak ini? Seperti 13 tahun lalu, namun sekarang di level berbeda. Jauh lebih tinggi!

Wajah Ruby berada beberapa senti di depanku. Aku tersenyum saat dia membawa hidunya
menelusuri bibirku.

Aku mencintainya!!!! Demi Tuhan, aku mencintainya! Aku mencintainya selama hidupku.
Selama 13 tahun terakhir dan 13 tahun, 13 tahun yang akan datang!

“What’s in your mind?”

“Kau tahu, El” katanya melihatku lagi “You should be illegal for me!”

Tangannya berada di dadaku “With your eyes,” bibirnya di mataku “Your eyebrows, this
cheeks” dia mencium semua bagian wajahku yang dia sebutkan “This perfect nose,” dia berhenti
lalu mencium hidungku.
Aku mengerang, mengetatkan peganganku pada pinggulnya. Saat dia menarik wajahnya
menjauh, aku mengangkat wajahku untuk membalasnya. Tapi dia menggelengkan kepalanya
seraya menunjukku “Aku belum selesai” katanya.

Aku mendesah dan mengalah, melihatnya duduk diatasku. Tubuhnya sungguh indah. Aku
sungguh hebat bisa menahannya hingga sekarang, walau aku sudah merasa begitu tersiksa di
bawah sana. Sialan!

“This chin” Ruby menggosok daguku dengan hidunya “And this lips” dia menciumku “You
should be illegal!”

Aku tak akan melepaskannya, tidak dengan mudah kali ini. Memegang lehernya, aku tak ingin
ciuman kami berakhir. Bahkan saat Ruby menggigit bibirku, aku hanya memberinya sedikit
waktu untuk menarik nafas.

Susah payah aku mendudukkan diriku. Aku mengapresiasi semua yang sudah dia lakukan.
Sangat indah. Sekarang, giliranku membuktikan kalau dia layak mendapatkan hal yang sama.
Kalau dia berhak memilikiku lebih dari yang selama ini dia tahu. Saatnya membuktikan love dan
lust itu memang berhubungan. Dan membuatnya tak akan pernah melupakan sedikitpun adegan
kami sekarang, oh bukan, tapi tentang apa yang akan aku lakukan padanya!

“Ooh Eldath!!!!”

Nafasku dan Ruby masih terengah-engah saat kami berbaring saling memeluk setelah bercinta,
seolah itulah yang hanya bisa kami lakukan pagi ini. Aku menelusuri garis rahangnya dengan
jariku sementara Ruby menyurukkan kepalanya di dadaku.

“Thank you” kataku berbisik di telinganya.

“Kau tak perlu berbisik, tak ada siapa-siapa disini” kata Ruby.

“Aku ingin segera pulang ke rumah” kataku.

Ruby menarik wajahnya dan melakukan hal yang sama seperti yang ku lakukan tadi. Menelusri
wajahku dengan jarinya “Am I that easy to you?” tanyanya.
“Hm?” aku menelan ludah, mencium keningnya “Kau yang paling sulit, Rue! Kau yang paling
sulit!”

“Sulit, kenapa?”

“Aku tidak tahu. Tapi, memikirkan kau dan aku tidak bersama, itu jauh lebih sulit!”

Aku mendengar tawanya pelan, lalu “So, what’s in your mind?”

“Spectacular!” ujarku.

“Beyond that” kata Ruby “Thanks to you too” dia menciumku sekali lalu bangun, merengangkan
tangannya.

Astaga, lihatlah dia menggodaku lagi. Bagaimana aku bisa straight kalau sekarang dia sedang
menghadapku dengan dadanya yang polos tanpa sehelai penutup? Well, seluruh tubuh
telanjangnya tetap kelihatan indah meski tanda kepimilikan merah dimana-mana.

Aku membawa tanganku ke salah satu bekas kemerahan di dadanya “Maaf, aku tak tahu kenapa,
tapi aku suka tanda-tanda ini!”

“Kau tahu, aku menikamatinya seperti kau”

Aku bangun dan menutupkan selimut tipis ke tubunya melewati punggungnya.

“Jam berapa acara Shera?” tanyaku seraya mengusap wajah.

Dia melihatku tanpa minat untuk membahas itu sekarang. Aku menarik dagunya lalu mencium
bibirnya lagi ringan. Ini pagi terbaik! Terima kasih, Tuhan! Aku mencintaiMu!

“Kita harus menjemput Mama”

“El,” dia melihatku “Mama akan naik mobil Tante Maura. Kita tak perlu menjemputnya”

“Bukankah mama bilang setuju kita jemput pagi ini?”

Ruby menarik nafas lalu turun dari ranjang. Berdiri di depan meja, dimana kunang-kunang itu
sudah mengakhir hidup mereka pagi ini. Ya, sayang sekali.
“How sad. They were so beautiful last night!”

Gontai, dia berjalan ka arah jendela dan membukanya lebar-lebar.

Shit! Apa yang dia lakukan berdiri di balkon kamar hanya dengan selimut menutupinya. Dan
selimut itu terlalu tipis untuk menutupi tubuhnya. Oh, fuck!

Aku bangkit, dengan cepat berjalan ke kamar mandi. Menarik jubah mandi dari sana untukku
dan untuknya.

“Apa kau pikir tak ada yang akan melihatmu seperti ini?” protesku seraya menutupkan jubah
mandi pada tubuhnya. Ada banyak gedung lain di sekitar hotel ini!

“Ayo, kita akan terlambat ke acaranya” aku memegang bahu Ruby.

“Eldath, kau tahu ini seperti mimpi bagiku! Mendengar kau mengatakan cinta padaku, kau
bahkan berlutut di depanku, apa kau tahu betapa bahagianya aku sekarang?” dia menatap
mataku, bibirnya tersenyum.

Aku mengangkat alis “Ya,”

“Jadi, kalau ini hanya permainanmu saja, aku bersumpah akan meninggalkanmu”

“Tidak!” seruku “Tidak mungkin. Aku serius, Sayang” aku mencium keningnya.

“Awas saja kau!”

Aku mengulum senyumku, bersiap mengatakan hal ini “Happy anniversary. It is our fourth
month, Baby!”

Ruby mematung, hanya matanya yang tak berhenti mengamati wajahku. Bibir merah mudanya
terbuka, namun tak ada yang keluar dari sana. Lihatlah aku sekarang, Ruby! Aku bahkan ingat
kalau hari ini adalah anniversary kita. Dimana kau ingin aku mengingatnya dan kita akan
merayakannya. See? Oh whee... Jatuh cinta begitu mengerikan!

Ruby menggelengkan kepalanya “Shit!” umpatnya.

“Bukan itu yang harus kau katakan sekarang,”


“Eldath!” dia melompat kepelukanku, merapatkan tangannya di sekitar leherku hingga kini aku
benar-benar harus bersusah payah menggendongnya. Dia menempel padaku layaknya anak kera
pada majikannya “Bagaimana bisa kau...?” suaranya menghilang dalam isakan.

Oh “Ssh...Ruby, tolong jangan menangis lagi. Kau menangis terus dari kemarin!” pintaku.

Dia terisak “Bagaimana aku tidak menangis, El? How lucky I am!” dia melihatku.

“No, no, I am the luckiest!!” ujarku “Hei, aku tidak ingin melihat matamu jadi merah dan
bengkak, Rue”

“Eldath, kau sungguh...”

Aku tertawa pelan, membaui rambut halusnya “Jadi, bisakah kita pergi ke tempat Shera
sekarang, karena ini hampir jam sembilan pagi”

Ruby menempekan dahinya dengan punyaku “Kau tahu...” dia menarik nafas, berusaha lepas
dari isakannya sendiri “Shera punya dua resepsi, pagi hingga siang dan sore hingga malam. Pagi
ini adalah acara untuk keluarga sementara malam nanti adalah acara untuk teman-temannya. Aku
pikir, kita tidak harus datang pada kedua waktu itu”

“Maksudmu?”

“Kita hadir pada acara malamnya saja, bagaimana?”

“Tapi kita, well, kau-teknisnya adalah keluarga Shera. Dia sepupumu!”

“Aku tahu” dia tersenyum “Tapi sekarang Mr. Eldath, aku hanya ingin bersamamu saja. Kalau
kau tidak mau, oke, kita akan pergi!”

“Seandainya saja aku bisa membawamu pulang sekarang” aku melihatnya “I want you very
bad!”

“Nah begitu, jadi jangan berisik lagi karena kita berdua akan mulai kencan kita hari ini,” dia
tersenyum.

“Mulai, oke? Mulai darimana?” aku mengerutkan dahi.


“Aku rasa kita perlu mandi?” dia mengedipkan mata, menepuk dadaku.

Man, that’s the code! Fuck me!

“Hei Babe, you should be careful what you wish for!”

Kenapa waktu begitu cepat berlalu saat aku berdua bersama Eldath? Kami menghabiskan
seharian ini berdua saja, membuat waktu yang sangat berkualitas dan rasanya masih kurang!
Menonton DVD berdua hingga tertidur dipelukan Eldath, makan di kamar kami dikelilingi
bertangkai-tangkai bunga yang baru saja dipesan Eldath. Atau membahas hal yang tidak penting,
sampai yang penting seperti:

Eldath bisa mengucapkan tiga kata itu “I love you”

Mendangarkan Eldath mengatakan itu, tidak pernah membuatku puas.

Mencintai Eldath tidak pernah membuatku lelah. Selama ini, sejauh ini, aku pikir aku akan
menyerah saja. Bukan karena aku lelah, tapi karena ini. Karena aku percaya cinta tidak bisa
dipaksakan. Tapi, cinta memang kadang maksa. Aku memaksakan diriku, mengumpan dan
berjudi dengan pernikahan kami. Dengan perasaanku, juga Eldath. Dengan cinta yang masih
belum berakhir, dengan sisa perasaan yang hanya bisa digenapi oleh Eldath.

Dan perjudian itu aku menangkan. Setelah mengumpan semuanya, setelah menangis, berdebat,
bertengkar dengannya, Eldath ‘kehabisan koinnya’. Dia tidak punya cara lagi menahan
semuanya. Dia tidak punya tempat lagi menyembunyikan apa yang selama ini dia tahan. Dia
melepaskan egonya, bersikap lunak pada hatinya. Dan jika dia sadar, dialah yang menang, bukan
aku. Dia menang sejak awal.

Sesuai rencana, malamnya kami menuju lokasi resepsi Shera. Kami sampai di lokasi acara saat
acara sudah dimulai. Tamu Shera begitu ramai dan terlihat sangat modis. Walaupun ini acara
diperuntukkan bagi teman-teman Shera, aku tetap bisa menemukan keluarganya dimana-mana.
Eldath membukakkan pintu dan menungguku turun. Menutup pintu, aku menggandeng
tangannya. We dressed match tonight. Eldath dengan black suit, sedang aku mengenakan one
shoulder black dress.

Ballroom didominasi warna putih dan emas. Lampu kristal menggantung memantulkan warna
yang begitu indah. Musik romantis terus dimainkan dari atas panggung dan beberapa orang
sudah berdansa di tengah ruangan.

Aku mengajak Eldath untuk menemui Shera dulu. Pasangan mempelai itu duduk di sebuah meja
tak jauh dari lantai dansa bersama beberapa orang. Shera berdiri begitu melihatku dan Eldath.

“Hei,” sapaku ketika kami sudah dekat. Memeluk Shera “Selamat atas pernikahan cantik ini”
bisikku.

Melepaskan pelukan, Eldath menyalami Roman dan memeluknya tanda selamat. Shera mengajak
kami bergabung di meja, namun aku menolaknya. Gantinya, dia mengkuti kami berpindah meja.

“Ini indah, Sher. Kalian sungguh menawan.” aku melihat mereka berdua, lalu melihat Eldath.
Tentu saja dia lebih menawan. Oh, God, betapa memalukannya aku.

“Maaf kami tidak datang tadi siang,” ujar Eldath seraya memainkan jarinya di dalam genggaman
tanganku “Kami minta maaf”

Roman menggeleng “Tidak apa-apa. Lagipula acara tadi siang sepertinya juga tidak terlalu
menarik perhatian kalian, kan?” dia tertawa “Tadi siang lebih sakral,”

“Apa ini mengingatkan kalian pada pesta kalian dulu?” tanya Shera melihat ke sekelilingnya
dulu, lalu padaku.

Aku mengangguk. Tidak sama persis, setidaknya pada saat itu. Eldath mengenggam jemariku
erat, membuatku melihatnya.

“Apa mamamu ada disini sekarang?”

“Tentu saja, mana mungkin dia melewatkan ini. Sebenarnya hampir semua keluargaku dan
Roman ada disini”
“Ya,” ujar Roman tertawa. Dia mencium pipi Shera ringan.

“Oh, Ruby, maaf, tapi ada seseorang yang mesti kami temui sekarang” ujar Shera seraya melihat
Roman, lalu pada pasangan yang baru masuk.

“Tentu saja, silahkan” ujarku.

Selepas mereka berdua menyambut tamu lainnya, aku dan Eldath menikmati suasana resepsi
pernikahan Shera. Lagu-lagu romantis terus dikumandangakan. Suasana bagian tengah ruangan
juga tambah penuh dengan orang-orang yang tengah berdansa. Atmosfer yang luar biasa
romantis.

“They look great together” ujar Eldath.

“Yes, but we are the greatest”

Eldath tertawa, dia menunduk untuk mencium bahuku yang tidak terbuka “Indeed we are,”
bisiknya “Apa rencana kita malam ini, Sayang? Ini anniversary kita,”

“Oh, apa yang kau inginkan?” aku memicingkan mata melihatnya.

Eldath menyeringai “Apa kau sedang mengumpan daging pada singa lapar?” dia menarik daguku
ke arah wajahnya “Apakah itu yang baru saja kau lakukan, Baby?”

Aku tersenyum tipis “Kalau kau makan semuanya, tidak akan ada daging lagi untuk pagi hari”

Eldath mencium bibirku sebentar, namun begitu berkesan. Dia sungguh pandai. Butuh berapa
lama aku bisa menggodanya seperti itu?

“Aku rela kelaparan demi daging malam ini”

“Asal kau tahu, aku tidak mungkin membiarkan ‘singa’ ini kelaparan”

Eldath mengangkat alisnya, “Aku akan sangat menikmatinya kalau begitu” dia mencium
punggung tanganku “Baiklah, apa kau ingin minum sesuatu, Sayang?” tanyanya sambil berdiri.

“Boleh,” kataku.
Mataku mengikuti dia berjalan menuju meja panjang yang berada di dekat pintu masuk. Dia
berdiri disana beberapa saat sampai dia disapa oleh seorang dan terlibat pembicaraan. Aku
mengalihkan pandangan karena Eldath tidak akan segera kembali. Dia pasti ingin bercakap-
cakap dulu dengan laki-laki tadi. Pria yang sepertinya cukup dikenal Eldath.

Tidak sama persis memang. Saat itu, tentu saja Eldath tidak punya perasaan yang sama sepertiku.
Aku menikah dengannya menggenggam seribu harapan akan bahagia. Tapi, tidak dengan Eldath.
Dia menuruti permintaan mamanya. Tidak mudah. Aku butuh empat bulan untuk membuatnya
mengaku. Untuk membuatnya menghancurkan pembatas yang dia buat. Butuh empat bulan
bagiku untuk akhirnya berada pada titik ini.

“Ruby!” seruan seseorang membuat aku mencari sumber suara.

Siapa yang aku lihat ini?

Aku mengerjap dan mulutku terbuka, membuat senyuman tipis. JENDA!

“My God, Ruby!” dia terlihat senang dengan senyuman sumringahnya.

Aku bangkit dan berdiri di depannya “Jenda?” aku tidak tahu kalau dia diundang acara ini “Kau
disini?” tanyaku tak percaya.

“Ya. Jadi, kesini kau ijin tiga hari. Well,”

Jenda berpenampilan sebagaimana dia biasa. Mengenakan setelan biru tua dengan kemeja putih.
Rambutnya disisir acak, memberi kesan santai. Dia membawa minuman di tangannya.

“Well,” kataku masih sulit percaya dia disini “Kau... dengan Shera atau Roman?”

Mana mungkin dia kenal Shera, kan? Oh, tidak mungkin saja! Shera sangat mudah bergaul.

“Roman, dia sepupuku,” dia menunjuk ke arah Roman dengan gelas tinggi ramping yang dia
pegang “Kau sendirian?”

“Aku...”

“Jenda?” suara di belakangku membuat aku menarik nafas pelan.


Kejutan. Itu suara Eldath.

.+++
54. Love Attack

Resepsi pernikahan Shera dan Roman makin ramai dengan tamu undangan mereka. Seperti yang
mereka katakan, keluarga keduanya juga sebenarnya ada disini. Aku bahkan beberapa kali
melihat Mama, namun dia tidak melihat ke arahku.Tapi, semua kemeriahan itu berbanding
terbalik dengan suasana canggung dan tidak biasa yang sedang kami alami sekarang.

Aku, Eldath dan Jenda.

“Pres, um... Eldath,” sapa Jenda “Waw, kita bertemu disini,” dia menyalami Eldath dengan
santai. Belum membaca tanda-tanda.

“Senang melihatmu disini, Jen. Ini... kejutan.” ujar Eldath seraya melirikku “Kau sendirian?”

“Aku kesini bersama keluargaku. Roman sepupuku,” dia menjelaskan lagi.

Lalu, setelah sapaan ini berakhir, kami bertiga berdiri mematung. Aku bahkan tidak mengambil
gelas ditangan Eldath.

Jenda berdehem “Aku tidak tahu Roman mengenalmu, El.”

“Um, Jen,” gumamku. Tidak mungkin sekarang, kan?

“Tidak.” potong Eldath “Dia tidak mengenalku. Setidaknya, sampai beberapa saat lalu
mungkin.”

Dahi Jenda berkerut. Sepertinya tanda-tanda ini sudah mulai terlihat olehnya “Shera, kalau
begitu,” dia tertawa pelan “Sepupumu- Shera itu, punya pergaulan yang luas, By.”

“Tidak juga,” sela Eldath “Aku datang kesini karena istriku. Istriku adalah sepupu dari pengantin
wanita.”

What? Eldath! Aku menelan ludah dan menoleh padanya. Tunggu dulu, Sayang!

“Huh? Sebentar, kau sudah menikah?” seru Jenda kaget “Jadi, rumor itu ternyata benar?”

Eldath mengangguk mantap.

“Serius? Kau pasti bercanda!” dia tertawa, sementara Eldath melihatnya serius.
Dia tidak bercanda. Dia ingin mengkahiri ini, membuka semuanya.

Jenda melihat wajah Eldath dan tersenyum tipis, seperti sadar kalau Eldath tidak main-main
“Wow, wow” Jenda mengangguk “Jadi, siapa perempuan beruntung itu?”

Dia menarik nafas “Akulah yang beruntung mendapatkannya.”

Oh God, what just he said? See, he obviously is really sweet!

Senyum Jenda belum hilang, dia melihatku “Apa kau tahu Presdir kita sudah menikah?”

Aku tersenyum tipis.

“Waw, kau sudah tahu.” wajah Jenda sungguh lucu sekarang “Unbelievable, aku kira waktu itu
kau belum ingin menikah. Siapa dia?”

Eldath mengangsurkan gelas ke depanku. Aku melihatnya, lalu dia mengangguk. Tersenyum,
aku menerima gelas itu dan melihat Jenda.

“She is my wife, Ruby.” ujar Eldath seraya mengecup pelipisku.

Senyum Jenda hilang. Ekspresi Jenda tidak terbaca. Dia mendengus pelan, mengira ini lucu. Dia
tidak bicara apa-apa, meski mulutnya terbuka. Dia pasti tidak tahu mau mengatakan apa.
Tatapannya berpindah dari Eldath kepadaku. Dia melihatku dengan pandangan meminta
penjelasan sekaligus tidak percaya.

“Ruby?” panggilnya “Kau...”

Dia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, seperti memastikan kalau dia tidak sedang
dikerjai. Menelan ludah, dia menaruh gelas ke meja di sampingnya. Masih melihatku dan Eldath,
Jenda memasukkan tangannya ke dalam saku celana “Aku... kalian...”

“Ruby adalah istriku,”

“Istrimu?” dia menelan ludah “Kalian berdua menikah? Maksudku, ini...”

Jenda menarik nafas panjang, lalu mengembuskannya samar, “Tunggu dulu,” dia melihat Eldath,
“Kalian berdua?” dia mengulang lagi “Bisa kau...”
Eldath tersenyum, meneguk isi gelasnya sedikit “Kau kelihatan sangat kaget, Jenda.”

Jenda mendengus “Bagaimana aku tidak...” dia membasahi bibirnya “Aku hanya tidak tahu...”

“Apa kalian ingin bicara berdua?” tanya Eldath seraya melihatku.

“Yes, please.” Jenda yang menjawab.

Eltdah tertawa pelan lalu mengangguk padanya “Baiklah, silahkan.”

“Ruby?” panggil Jenda, mengajakku pergi dari situ.

Aku mengembalikan gelas pada Eldath lalu mengikuti langkah Jenda keluar ruangan pesta.

Langkahnya melambat setelah kami menemukan tempat yang tidak terlalu ramai. Bagian
samping gedung yang digunakan untuk meletakkan karangan bunga tanda selamat. Jenda
berbalik melihatku “Ada bangku disana.”

Aku mengangguk mengikutinya duduk di bangku panjang itu. Well, keadaannya memang agak
canggung. Tapi, Eldath sepertinya membuat keputusan yang benar. Karena kalau tidak sekarang,
semunya mungkin akan jadi lebih buruk.

“Are you kidding me?” dia bertanya langsung.

“Jenda, no.”

“Kau sudah menikah dengan Eldath?” ujarnya pelan.

“Maaf,”

“Tidak bisa kupercaya, Ruby! Bagaimana bisa kau...”

“Maaf, Jenda.”

Dia mendengus “Hei, untuk apa kau minta maaf padaku,” dia mengadah “Waw, Ruby kau tahu,
aku masih tidak percaya ini.”

Dia mengusap kepalanya. Lalu melihatku, memiringkan posisi duduknya agar benar-benar bisa
melihatku “Kau, astaga, Demi Tuhan!”
“Jenda, ini agak rumit. Aku tidak bisa memberitahumu dari awal,”

Dia tertawa pelan “My God!” dia menggeleng “Kau tahu apa yang aku pikirkan sekarang?”

“Apa?” tanyaku.

“Aku berharap aku sedang bermimpi. Sumpah!” dia menggeleng

“Jenda, kau tidak bermimpi.”

“Ya. Yang artinya adalah kau benar-benar istri Eldath sekarang. Kau dengan dia menikah. Kalian
hidup bersama, berdua. Really? God!”

Aku tidak tahu bagaimana menenangkan Jenda sekarang. Beri tahu aku cara apa yang bisa
membuatnya berhenti bersikap kaget dan tidak percaya seperti sekarang?

“Jenda,” aku memegang tangannya “Aku dan Eldath sudah menikah. Kau tidak salah mendengar
dan ini bukan mimpi.”

“Ya!” dia tersenyum. Menenangkan dirinya, Jenda menarik nafas panjang berulang kali, lalu
menghembuskannya “Kapan? Sudah berapa lama kalian menikah, By?”

“Um, empat bulan.”

Dahi Jenda berkerut dalam. Dia mengambil tangan yang aku pegang untuk mengusap wajahnya
“What the heck! Empat bulan?” ulangnya.

Dia menggeleng “Dan aku tidak pernah sadar?” dia menelitiku “For God’s sake, aku bahkan
tidak curiga kenapa cincin ini tidak pernah lepas dari jari manismu,” dia tertawa.

Aku mengangkat cincinku ke depan wajahnya “Kau sadar aku mengenakan cincin selama ini?”

“Ya, tapi aku tidak pernah curiga. Harusnya aku tahu. Cincin yang selalu sama, di jari manis!”

Meski hanya garis tipis terukir di bibir Jenda, suaranya yang sudah berubah ringan membuatku
sedikit nyaman.

“Waw, aku patah hati di hari yang membahagiakan seperti ini, By. It’s twisted. Oh, God it
hurts.” dia mengucapkannya sambil tertawa. Tawa yang hambar.
“Jen, aku tidak tahu kalau akhirnya akan jadi seperti ini. Maaf tidak memberitahumu dari awal.
Aku hanya tidak bisa,”

“Apa dia...” Jenda seperti teringat sesuatu “Apa dia pria yang kau tunggu selama 13 tahun itu?”

Aku mengangguk “Ya, Eldath.”

“Fuck!” umpatnya “Sorry,” dia menggeleng “Kau tahu aku menyukaimu, kan?”

Aku tertawa, menepuk bahunya “Jen, percayalah ada wanita diluar sana untukmu, yang baik
untukmu.”

Dia mengangguk-angguk. Nafasnya dia hembuskan tinggi ke udara “Aku berharap aku
mengetahui ini lebih cepat. Aku tidak pernah curiga antara kau dan Eldath ada sesuatu, meski
tatapan kalian begitu berbeda. Aku tidak pernah sadar kalau kau sudah menikah dengan orang
lain, padahal, kau sudah jarang membawa mobil ke kantor. Aku bodoh, kan?”

“Jenda, jangan bilang begitu. Ini, hanya karena aku lebih baik darimu.”

Dia tertawa “Eldath sungguh beruntung mendapatkanmu. Dia pria yang baik, kan? Heh, tentu
saja. Kalau tidak, kau tidak akan menunggunya selama ini. Luar biasa.”

“Aku juga tidak percaya menikah dengannya waktu itu, Jen. Semuanya seperti, kau tahu... kau
benar, mimpi!”

Kami terdiam untuk beberapa menit.

“Selamat, Ruby.” kata Jenda akhirnya “Keyakinanmu pada cinta membuatmu bahagia seperti
sekarang. Selamat.”

Aku tersenyum dan menerima rangkulan Jenda di sekeliling tubuhku “Thank you, Jen.”

Dia melepaskan pelukannya “Aku turut bahagia untukmu, sungguh. Meski, rasanya aku ingin
menceburkan diriku ke kolam paling dingin sekarang.”

“Jenda, please don’t.”


Dia mencebik “Yeah, well, aku hanya bercanda” dia melihatku, mengangguk “It’s fine. Broke,
but not broken.”

“Terima kasih.”

“Um,” dia melihatku “Tidak ada yang akan berubah diantara kita, kan? Maksudku, kau tidak
akan pindah kantor atau berhenti jadi sekretarisku, kan?”

“Hei, kau pikir apa yang aku lakukan empat bulan terakhir ini? Aku akan tetap di Yellow Block
sebagai sekretarismu. Tentang itu, tidak akan ada yang berubah.”

Dia mengangguk “Sekarang, semua baru terasa begitu nyata, By” dia menepuk pipinya berkali-
kali “Ayo kembali. Eldath pasti sudah menunggumu.”

Aku berdiri, menyambut uluran tangannya “Kau tetap akan jadi bos dan temanku, Jen.”

“Well, aku rasa, kita bahkan sudah jadi keluarga sekarang.”

Aku tertawa. Ya, sepupunya menikah dengan sepupuku “Kau benar.”

Dia menggandeng tanganku berjalan menuju pintu utama untuk masuk.

Tidak sulit menemukan Eldath diantara ratusan tamu undangan. Bukan karena dia mencolok atau
apa, ini lantaran dia tidak berpindah posisi sejak tadi. Dia sekarang duduk bersama mama,
sedang bercakap-cakap dengan seorang bayi dipangkuan mama.

“Anak siapa ini?” suaraku membuat mereka berdua menoleh.

Mama tersenyum “Ini anak Kak Bryan” ujarnya “Ganteng ya. Lho, ada Jenda,”

“Malam Tante,” Jenda mengulurkan tangannya untuk memeluk mama sesaat.

“Dia sepupu Roman, Ma” ujarku.

“Sepupu? Oh, ya ampun!” serunya. Seruan yang membuat bayi kecil itu kaget dan menangis
tiba-tiba. Mama seperti kelimpungan “Oh, tante tinggal dulu ya. Duduk dulu sama Eldath,”
mama pergi dengan tangisan bayi kecil di gendongannya.
Eldath berdiri, menyambutku dan Jenda. Dia tersenyum saat Jenda mengulurkan tangan dan tak
ragu menyambutnya.

“Selamat, Eldath.” ujarnya “Apapun yang terjadi, kau sungguh lelaki yang beruntung.”

“Aku tahu,” ujar Eldath.

Aku menempel pada Eldath, menyelipkan tanganku di lengannya “Thank you, Jen.”

“Aku bisa memastikan kalau aku akan bersikap professional terhadap istrimu,” Jenda tertawa.

“Aku yakin kau bos yang baik Jen, dan mudah bagimu bersikap seperti itu.”

Jenda menepuk bahu Eldath “Sekali lagi selamat untuk kalian berdua. Kalau bukan karena
kesetiaan Ruby padamu, mungkin ceritanya akan lain.”

Eldath tertawa pelan “Thank you, Jenda.” ujarnya.

“Well, sepertinya aku akan pergi dulu dari sini. Kalian tahu, suasananya agak berubah. Nikmati
malam ini, both of you. Congratulation!”

Dia menjabat tangan Eldath sekali lagi, lalu tersenyum padaku. Senyuman yang membuatku
merasa semuanya baik-baik saja. Terima kasih, Jenda. Aku tidak tahu kenapa aku harus
berterima kasih padanya, tapi tak ada ungkapan lain yang bisa aku utarakan selain itu.

“He is cool, isn’t he?”

“Ya, dia baik-baik saja, meski...dia sedih.”

Eldath tertawa. Faktanya, dia tahu Jenda menyukaiku. Makanya, dia hanya bisa tersenyum.

“Tidak ada indikasi macam-macam?”

Aku tertawa “Eldath! Dia tidak mungkin seperti itu.”

Eldath mengangkat alisnya “Baguslah. Sekarang,” ujar Eldath “Bisakah kita bergabung dengan
mereka?”
Aku melihat kemana Eldath menunjuk. Lantai dansa, dimana pasangan Shera dan Roman tengah
berdansa disana, diikuti pasangan lainnya. Berputar, menikmati musik pengiring yang
membangkitkan suasana intim.

Aku mengangguk, menerima tangan Eldath yang terulur.

Kami berhadapan, tangan saling menjalin, mata saling menatap. Aku tak pernah melihat Eldath
sebegini tampan. Mata biru cemerlangnya bagitu hangat, meneduhkan dan nyaman. Dia terlihat
sangat nyaman sekarang.

Aku tidak bisa melepaskan pandanganku darinya. Aku mempercayakan Eldath untuk
membawaku bergerak kemanapun. Aku percaya saja. Alami.

“I love you, Ruby.” ujarnya pelan, namun bisa terdengar olehku.

Aku tersenyum, mengangguk.

Langit-langit ruangan yang digantungi lampu kristal berpendar-pendar di lantai porslein bersih.
Gerakan-gerakan yang dibuat orang-orang yang sedang menari layaknya sedang mengejar
cahaya-cahaya itu.

Alunan musik terdengar berjuta-juta kali lebih indah. Genggaman tangan Eldath terasa begitu
hangat, begitu nyaman. Aku mencintainya, sampai tidak tahu apakah masih ada bagian untuk
diriku sendiri.

“I love you, Ruby.” ujarnya lagi.

Dia menghentikan langkahnya kali ini. Melepaskan tangannya dengan tanganku yang
menggantung di udara. Kini, tangannya berada di pinggangku, membawaku mendekat. Aku
menelan ludah, membuka bibirku.

Eldath memiringkan kepalanya, mendekatkan bibirnya denganku. Aku menutup mataku. Bibir
Eldath sudah berada di bibirku, menciumku. Ada rasa bahagia yang tidak dapat aku utarakan.
Bagaimana ciuman ini terasa sebagai wujud cinta Eldath.

Cinta dan terima kasihnya. Cinta dan pemujaannya.


Ciuman itu terasa begitu singkat saat Eldath menyudahinya. Membuka mataku, mata birunya
yang pertama terlihat. Lalu senyumnya. Dia sungguh tampan, memikat dan DIA MILIKKU!

“I love you so much, Baby.” bisiknya “Like crazy.”

“You’re mine, Eldath!”

“Please, take all of me, I am yours.”

Aku berjinjit, menghadiahinya ciuman sekali lagi. Cintaku.

“You’re mine.” ulangku.

+++
55. Love Never Felt So Good

Eldath’s POV

Aku bukan penganut paham cinta sejati.

Di jaman apa kita hidup sekarang? Cinta bisa dibeli. Tidak butuh waktu lama untuk jatuh cinta
atau lepas dari cinta. Terlebih bagi pria sepertiku. Tidak bermaksud apa-apa, tapi aku tahu persis
bagaimana cinta dikalangan seperti ini. Man, love comes and goes. Jika kau ingin menahannya
sedikit lebih lama, berikan kompensasi yang lebih. Ajak wanita itu belanja, salon atau apapun.
Tapi, bertaruh dia belum siap bertemu orangtuamu. Shit, yeah. Seperti itulah setidaknya jalan
cintaku selama ini.

Jadi, bagaimana mungkin kau berharap aku percaya cinta ini? Bagaimana mungkin cinta itu terus
tumbuh? Tidak peduli berapa kali aku mencoba melupakannya. Bagaimana tawanya, ocehan atau
marahnya membuatku tidak berdaya. Sejak awal. Bukan dia yang pertama kali jatuh cinta
padaku. Orang itu adalah aku. Akulah yang jatuh cinta padanya, saat dia hanya melihatku
sebagai tetangga barunya. Lucu sekali, tapi itulah yang terjadi. Membelenggu.

Aku tidak tentu arah. Melupakan Ruby adalah hal terberat bagiku setelah mengikhlaskan
kepergian Daddy. Keputusan untuk tidak menemuinya adalah keputusan yang paling bodoh yang
pernah aku buat. Lalu, menutup dirinya, mengubur perasaanku adalah hal yang aku pikir benar.
Tapi, aku salah.

Saat aku melihatnya lagi, saat aku mendengar dia memanggil namaku, bahkan di antara semua
suara yang bisa kudengar waktu itu, aku hanya bisa mengingat bagaimana aku jatuh cinta
padanya. Semuanya memang baik-baik saja. Dia terlihat bahagia dengan hidupnya sekarang.
Teman, pekerjaan, lingkungan. Namun, saat aku melihat itu, tapi tidak ambil bagian, aku merasa
hatiku sakit lagi. Bahkan lebih sakit. Jadi, aku mengembalikan semuanya ke tempat semula. Ke
tempat dimana hanya aku yang memegang kuncinya. Dimana dia bisa terkunci disana, tidak
menganggu.

Tiga belas tahun. Tiga belas tahun dia menungguku. Tiga belas tahun dia menjadi orang yang
paling bodoh memilih setia padaku. Well, aku mengencani banyak wanita meski tidak ada yang
benar-benar mengalihkanku dari perempuan ini. Tapi, dia? Tidakkah itu membuatmu gila
sekaligus tertantang?

So yes, we got married!

Ups, downs. Fight up, make up. Tears, laugh. Better, worse. Ruby, Myself. Until I hit the point- I
know that I couldn’t go any further without her.

Sekarang, aku punya bertahun-tahun untuk menebusnya. Aku punya lebih dari tiga belas tahun
untuk memperbaiki semuanya, untuk membayar semuanya. Dan akan ada banyak waktu yang
bisa kuhabiskan dengan Ruby. Oh Tuhan, bagaimana mungkin aku bisa seangkuh itu dulu? Aku
menyakiti diriku sendiri, menyakiti Ruby.

Aku mengerjap saat cipratan air mengenai wajahku. Membawaku kembali.

“Apa yang sedang kau pikirkan, Sayang?” tanya Ruby.

Aku melihatnya, dia mengangkup air dari bathtub lagi dan menyiramkannya padaku. Aku
menutupi wajahku, tertawa “Cukup, Rue.” pintaku.

Aku menarik punggung dari sandaran bathtub dan menarik tubuhnya ke dekatku. Dia berusaha
melepaskan dirinya, namun, tentu saja dia gagal. Aku mencium disepanjang lehernya,
membuatnya melenguh dan membuat air berkecipak.

“Eldath,” dia tertawa disela desahan singkatnya.

“Kau berurusan dengan orang yang salah.” aku mengakup wajahnya dan mencium bibirnya.

I can’t get enough of this, of her. Everything she owns.

“I love you.” ujarku.

Dia mengusap bibirku dengan ujung telunjuknya, menempelkan tubuh telanjang kami semakin
dekat.

“Kenapa kau diam setiap aku mengatakan aku mencintaimu?”


“Karena aku suka mendengarnya terus-menerus dari bibirmu,” dia menciumnya ringan “I love
you, Eldath.” bisiknya disela-sela usahanya menggigit bibirku.

Ruby membasuh wajahku. Bermain-main dengan busa diwajahku. Aku menutup mata,
menikmati ini.

“Baby, kita harus segera pergi.” ujarnya malas.

“Kita belum selesai.” ujarku manja. Sama malasnya dengan dia.

“Eldath,” dia tertawa “Ayo! Kita akan terlambat. Pernikahan Nadya tidak akan dimulai tanpa
pengiring pengantin terbaiknya.”

Meski begitu, dia tetap memainkan busa disekitar wajahku. Bahkan, sekarang turun di sekitar
leher dan dadaku. Siapa yang sekarang tidak ingin mengakhiri ini? BUKAN AKU! Well,
sejujurnya aku mau ini tidak pernah berakhir. Sebodo amat kalau kami harus masuk angin atau
demam. Tapi, bukan itu masalah utamanya sekarang.

Oh, by the way, Nadya menikah hari ini. Dia dan lelaki pilihannya, Eric. Dan perempuan yang
sedang bermain-main di depanku ini adalah satu-satunya pengiringnya. Tidak, Nevan tidak
termasuk. Dia hanya akan duduk bersamaku nanti. Dan ngomong-ngomong soal itu, apakah aku
sudah bilang kalau kami tidak punya banyak waktu? Well, yes. Karena kalau kami tidak
menyudahi ini sekarang, jika tidak segara mengangkat tubuh kami keluar dari bathtub dan
bersiap-siap, aku bisa jamin resepsi Nadya akan molor sejam-dengan catatan dia masih berbaik
hati menunggu Ruby.

“Well, let’s make a final round!” ujarku.

Yes, you know what I am talking about, rite?

Dekorasi pernikahan Nadya indah. Tidak sia-sia dia mempersiapkan ini selama setahun
sebelumnya. Ya, setahun! Dia luar biasa dalam hal persiapan. Ruby pernah bilang itu padaku.
She is queen of preparation. Sekarang, dia dan Eric sedang bertukar cincin di depan sana, diikuti
suara tepukan meriah, seruan bahagia, dan kilatan lampu kamera.
Tapi, aku katakan padamu, tak ada yang lebih menarik perhatianku selain wanita yang berdiri
tidak jauh disamping Nadya. Memegang buket bunga mawar sang pengantin dan kotak tempat
dia membawa cincin pernikahan. Mengenakan setelan kebaya berwarna pink pucat yang sangat
pas membungkus tubuhnya. Dia menggulung rambutnya tidak terlalu tinggi, namun begitu luas
menampakkan garis leher hingga bahunya. Dandanan sederhana namun tidak gagal
menampilkan kecantikannya.

Oh my God. You know her. Yes, Ruby.

I only have eyes for her.

Dan sepertiku, seperti tidak ada lagi yang lebih pantas mendapat perhatian disini, dia tersenyum
ke arahku, melemparkan ciuman virtual dengan bibirnya padaku. Aku tersenyum, melemparkan
balik sebuah ciuman palsu. Silly, yet so sweet.

“Apa yang kalian lakukan?” tegur Nevan yang mengetahui apa yang sedang aku dan Ruby
lakukan “Dasar gila!”

Aku mengabaikannya. Jelas. Dia tidak menarik perhatianku.

Acara resmi dari serangkaian acara pernikahan Nadya sudah berakhir. Kini, hanya butuh satu
jam lagi menuju acara resepsi yang digelarnya di rooftop hotel. Well, thanks to me after all.
Lantaran begitu sulit menentukan gedung pernikahan, aku secara tak sengaja mengusulkan
rooftop hotel Golden untuknya. Seperti sebuah pemecah kebuntuan dari semua pilihan, mereka
setuju. Mereka memilih rooftop Golden Hotel sebagai tempat pestanya. Ini simbiosis mutualisme
yang benar.

Cuaca begitu mendukung saat kedua pasangan ini memasuki gerbang yang dipersiapkan oleh
WO mereka. Melewati karpet yang ditaburi bunga warna-warni, keduanya masih ditaburi
berbagai macam kelopak bunga, kali ini oleh sepupu-sepupu kecil mereka. Nadya dan Eric
mengambil tempat di depan, dibalik meja panjang yang sudah didekorasi.

Pesta dimulai. Tamu-tamu menikmati suguhan ala Nadya dan Eric. Pesta di atap, dengan tenda-
tenda kecil berhias bunga. Foto-foto kebersamaan pasangan yang sedang berbahagia itu
digantung pada flag banner diantara tiang-tiang tenda. Kolam renang ditutup dan dijadikan area
menari. Juga sajian ala hotel mewah. Sore yang indah, sungguh. Diberkatilah pernikahan mereka
selamanya, amin.

Love is in the air.

“Kenapa kau tidak pergi berburu wanita saja, Van?” tanyaku saat Nevan begitu betah berdiri di
sampingku dan Ruby.

Dia menoleh, mendengus “Thank you, Bastard!”

Kabar buruknya, dia dan Tasha tidak berhasil. Tapi, mungkin itu yang terbaik untuknya. Dia
memang tidak mau bilang kenapa mereka mesti berpisah. Hah, tidak ada juga yang mau bergosip
mengenai itu. Jadi, yang bisa aku sampaikan saat dia bilang mereka tidak lagi bersama, adalah
‘selamat, itu saatnya mencari wanita lain. Reaksi Nevan? Dia hampir berhasil menonjokku.
Hampir!

“Eldath,” Ruby menggeleng padaku. Memintaku berhenti menggoda Nevan soal Tasha.

Nevan mengeluh pelan, memainkan gelas di tangannya. Tatapannya menerawang pada


keramaian disekelilingnya. Tapi, aku tahu dia merasa sendiri. Maaf, Van, tapi aku sedang tidak
bisa menolongmu.

“You look so amazing, Baby.” bisikku ditelinga Ruby “I really like it.”

“El,” panggil Nevan tiba-tiba.

Dia sungguh mengganggu kan? Makanya aku menyuruhnya menjauh dari kami. Aku
menjauhkan bibirku dari pipi Ruby, melihatnya “What?”

Nevan tertawa “See there? Kau kenal wanita yang mengenakan dress kuning itu, kan? What a
beautiful day!”

Aku berusaha menemukan wanita yang dimaksud Nevan. Oh.

“I think I met her somewhere. Acquaintance of yours, right?”

“Well, let me hook up two of you,” ujarku.


“Siapa dia?” tanya Ruby menyela kami.

“Um, she is a friend of mine, Honey.”

Nevan tertawa pelan, melihat Ruby sebentar lalu padaku lagi. Dia lalu pergi sesaat dan kembali
dengan gelas lain di tangannya “Ayo,” ujarnya mantap.

Aku tertawa. Melihat Ruby, aku menangkup wajahnya. Saat dia tersenyum, aku menemukan
bibirnya sudah bersatu dengan bibirku. Memegang lehernya, tanganku terasa gatal untuk
menarik gulungan rambutnya, tapi sekuat tenaga aku tahan. Dia butuh setengah jam untuk
membuatnya seindah ini!!!

“Ehem!” Nevan berdehem kuat. Kuat hingga aku mendengarnya.

Ruby memberi sedikit sengatan pada bibir bawahku tepat sebelum dia melepaskan bibirnya. Dia
merapikan rambutku, jasku- yang sebenarnya baik-baik saja, membenarkan letak dasi kupu-kupu
di leherku, lalu menepuk dadaku “Selamatkan Nevan!”

“I’ll be back, Baby. Very quick!”

But, let me kiss her once again.

Aku sudah belajar banyak.

Some broken things stay broken, while some others may get a better fix.

Aku tidak pernah menyalahkan dia untuk cerita cintaku yang menyedihkan. Aku tidak
menyalahkannya untuk semua stigma yang aku terima saat aku memilih setia padanya. Aku yang
memilih untuk percaya kalau dia mencintaiku. Tidak mudah. Hatiku hancur berkali-kali.
Airmata? Hah, you tell me.

At the end, everyting is alright. Some were... you know, a lesson for life, but some were better.
Far more better.

Now, he’s mine. Mentally, physically, emotionally.


Aku melihatnya dari jauh. Bersama Nevan melangkah mendekati seorang wanita yang rupanya
mencuri hati sahabatku itu. Well, aku bersedih untuk Nevan. Tasha ternyata bukanlah akhir dari
perjalanan cintanya. Rumit, begitu yang dibilang Nevan. Namun, Thank God, setidaknya dia
tidak terlarut dengan hal seperti itu.

Nevan benar, Eldath mengenal perempuan itu. Mereka berbicara sebentar, sampai akhirnya
Nevan menyerahkan gelas yang dia bawa pada wanita itu. Semuanya kelihatan baik dari sini.
Eldath menepuk bahu Nevan, lalu mengatakan sesuatu pada mereka. Mereka tertawa, aku-entah
kenapa- tersenyum dari tempatku berdiri sekarang.

Eldath berbalik, langsung menemukanku dalam tatapannya. Dia tersenyum, begitu memikat.
Langkahnya begitu tegap dan meyakinkan. Dia punya semua rasa percaya diri yang membuatnya
tidak masalah jadi pusat perhatian. Meski dia tersenyum pada semua orang yang menyapanya,
tatapan matanya hanya padaku. Like he only has the eyes for me!

“Baby,” ujarnya begitu mendekat.

Dia mengulurkan tangan untuk merangkulku. His gentle touch. Mencium pelipisku tipis, lalu
menarikku lebih dalam dalam pelukannya. His sweet kiss. Aroma yang aku suka, lengan solid
yang nyaman, detak jantung yang teratur, nafas yang begitu wangi, serta ciuman yang begitu
indah. His perfect charm.

Eldath Dirar Jazz,

I am not done falling.

+++
Hi, ini Tjitsar. Thank you so much for purchasing this book. Mohon
maaf jika masih ada kesalahan di dalamnya atau jika kalian menemukan
hal yang tidak berkenan. Sampai saat inipun, saya masih belajar.

Sekali lagi, terima kasih atas dukungan kalian untuk buku ini. This
means world to me.

Stay safe, stay healthy, stay happy. Be strong! I love you

Contact me:

tjitsar@gmail.com

wattpad.com/user/tjitsar

instagram.com/tjitsar/

Anda mungkin juga menyukai