Anda di halaman 1dari 2

BERTEDUH

Salah satu perjalanan pulang paling berkesan aku alami Jumat minggu lalu. Aku pulang dari
Semarang menuju Banjarnegara. Perjalanan normal dengan sepeda motor biasanya makan waktu
3,5 jam. Pada perjalanan pulangku kali ini aku menghabiskan 6 jam perjalanan. Bahkan mungkin
lebih. Tapi bukan soal lamanya waktu menghabiskan jarak yang membuat perjalananku berkesan.
Aku berangkat pukul 16.00 dari kos-kosan. Aku berangkat setelah selesai bimbingan dengan
dosenku. Sebenarnya aku berniat untuk pulang esok, Sabtu. Tapi, aku berubah pikiran. Aku ingin
pulang lebih awal agar punya lebih banyak waktu di rumah. Keputusanku didukung cuaca yang
sangat bagus. Langit cerah tanpa awan.
Karena aku takut terlalu sore, aku tak melakukan persiapan yang cukup. Aku tak membawa mantel
hujan. Cuaca yang sedang bagus dan ketergesaanku membuat aku lupa membawa mantel hujan.
Aku berangkat dengan kecepatan sedang.
Sampai di Bandungan cuaca berubah drastis. Hujan deras. Aku berteduh. Lama sekali. Aku belum
menempuh seperempat perjalanan dan sudah harus berhenti lama sekali. Biasanya aku berani
menembus hujan, tapi karena ini perjalanan jauh dan aku membawa laptop, aku memilih berteduh.
Setelah hujan agak reda, aku melanjutkan perjalanan. Hujan tidak pernah benar-benar reda
sehingga aku harus berkali-kali berteduh sepanjang perjalanan. Pukul 20.30 aku hampir sampai di
perbatasan Temanggung dan Wonosobo. Daerah ini adalah daerah paling dingin dalam rute
perjalananku. Aku memacu motorku cukup cepat agar tidak kehujanan di daerah ini. Sayangnya,
alam sedang tidak bersahabat denganku. Di salah satu ruas jalan yang jarang sekali terdapat rumah-
rumah penduduk, hujan turun sangat deras. Mau tidak mau aku kehujanan karena tak ada tempat
berteduh.
Aku memacu motorku lebih cepat lagi. Pakaianku sudah mulai basah sampai ke lapisan terakhir.
Saat itulah aku melihat sebuah rumah sederhana di kiri jalan. Aku sempat ragu, apakah aku akan
berteduh atau jalan terus sementara badanku sudah mulai gemetar karena kedinginan. Akhirnya aku
memilih berteduh. Paling tidak aku bisa mengganti jaketku dengan yang masih kering dan menjadi
cukup hangat.
Saat aku memarkir motorku, pemilik rumah itu keluar dan memintaku berteduh di dalam saja. Aku
menolak. Aku menduga bahwa itu hanya basa-basi saja. Pemilik rumah itu masuk lagi ke dalam
rumahnya. Saat itu aku menyangka bahwa dugaanku benar. Ternyata aku salah. Tak lama, pemilik
rumah itu kemudian membuka pintu rumahnya sangat lebar. Ia kembali memintaku untuk berteduh
di dalam saja. Di sini aku sudah terkesan dengan kesungguhan si pemilik rumah menawarkan
bantuan.
Aku menolak sekali lagi dengan halus dan dengan alasan sudah terbiasa hujan-hujanan. Tentu aku
sungkan untuk masuk ke dalam rumahnya. Mungkin karena kami tidak saling kenal jadi aku merasa
sungkan. Lagi pula, aku berteduh hanya untuk mengganti jaket dan membungkus laptopku dengan
plastik lalu kembali melanjutkan perjalanan.
Pemilik rumah masuk lagi tanpa menutup pintu rumahnya dan malah membukanya semakin lebar,
padahal udara diluar sedang sangat dingin. Aku jadi merasa tidak enak. Pemilik rumah itu seolah-
olah berkata, “aku tidak akan membiarkan seseorang kedinginan di depan rumahku sementara aku
di sini hangat.” Aku jadi merasa bersalah karena menolak bantuan setulus itu.
Saat aku sedang mengambil jaketku yang masih kering di dalam tas, pemilik rumah itu kembali
memintaku untuk berteduh di dalam rumahnya. Tapi, kali ini dia tidak sendirian. Dia bersama dua
anaknya. Anak-anaknya juga memintaku untuk berteduh di dalam. Aku akan lebih merasa bersalah
dan merasa sangat tolol jika menolak tawaran setulus itu. Tapi, di satu sisi aku benar-benar sungkan.
Ini posisi yang canggung. Dalam kecanggungan itulah, ide brilianku muncul.
Aku berniat untuk menumpang ke kamar mandi untuk ganti baju dan celana setelah itu langsung
pergi. Paling tidak aku akan merasa sudah menghargai ketulusan pemilik rumah itu. Namun, yang
terjadi tidak sesuai rencana. Saat aku keluar dari kamar mandi, sudah ada tiga gelas kopi di atas
meja di ruang tamu.
“Monggo, Mas. Diminum dulu kopinya biar hangat. Duduk dulu, gak usah buru-buru. Hujannya masih
deras gitu kok mau buru-buru. Bahaya. Nanti aja, diminum dulu kopinya.”
Aku duduk. Kedua anak pemilik rumah itu duduk di hadapanku. Pemilik rumah itu keluar dan
menyebrang jalan. Anaknya mencoba mengobrol denganku. Aku menjawab dengan antusias setiap
pertanyaan, berharap menghilangkan kecanggunganku sendiri. Kadang aku juga balik bertanya.
Rumah itu kecil. Hanya ada dua kamar, satu ruang tamu, dapur, dan kamar mandi. Tapi, aku merasa
ada kehangatan dalam rumah ini. Bukan karena aku sudah berganti pakaian. Bukan. Aku merasa
bahwa ada ketenangan dan keceriaan dalam diri setiap penghuninya.
Aku terus mengobrol dengan anak si pemilik rumah. Yang masih kecil kelas 3 SD, dan yang satu
kelas 3 SMK jurusan akuntansi. Si kelas 3 SD ini agak malu-malu. Setiap aku bertanya dia akan
tersenyum, lalu menyembunyikan wajahnya di perut kakaknya. Lucu sekali.
Kakaknya cantik, berkacamata. Dia gadis cerdas. Aku tahu dari caranya bertanya. Dia juga sopan
dan sangat lembut. Aku jadi berhayal andai aku jadi menantu si pemilik rumah ini. Alangkah damai
dan tenangnya hidupku.
Khayalanku selesai saat si pemilik rumah kembali. Dia membawa satu bungkus gorengan. Tak susah
mengenali isi bungkusan itu bagi seorang yang sedang lapar sepertiku. Dia menghidangkannya
untukku. Aku makan satu dan aku kembali mengobrol dengan mereka. Kali ini aku sudah tidak terlalu
canggung lagi. Bukan karena sudah makan gorengan, bukan. Tapi karena aku merasa kebaikan si
pemilik rumah itu benar-benar tulus. Aku tidak menemukan kepura-puraan.
Hujan masih deras. Jadi, kupikir tak ada alasan untuk melanjutkan perjalanan. Ngobrol dengan
mereka sambil minum kopi tentu lebih asyik. Hehe. Aku terus mengobrol dengan mereka. Apa saja.
Si kelas 3 SD suka memperhatikan aku. Ketika aku menoleh kepadanya dia akan langsung
bersembunyi di perut kakaknya. Sangat menggemaskan.
Keluarga ini benar-benar sangat baik. Mereka memperlakukan aku seperti laiknya saudara yang
sudah lama tak bertemu. Aku bahkan sempat makan bersama mereka. Meski hanya mi instan rebus
yang pada dasarnya adalah makanan pokok anak kos-kosan, tapi itu sangat spesial buatku. Apalagi
yang membuatkan kakaknya si kelas 3 SD. Aku merasa sangat beruntung. Sekaligus malu.
Aku mengambil sebuah pelajaran mendidik anak lewat si pemilik rumah. Si pemilik rumah ini, sedang
mendidik anaknya untuk berbuat baik kepada siapa saja. Terutama kepada orang-orang yang
memang butuh pertolongan. Ia mendidik anaknya langsung dengan keteladanan. Aku yakin sekali
anak-anaknya kelak akan menjadi orang yang suka menolong orang lain.
Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya.

Anda mungkin juga menyukai