Pagi-pagi sekali Mila sudah siap di depan kosnya. Dia menunggu Rio dengan antusias. Hari ini adalah hari
ketiga dia mengajar pelajaran seni rupa di SMA. Dia dan Rio sedang melaksanakan program PPL di sekolah itu.
Tak lama, Rio datang dengan motor bebeknya. Rio terlihat muram dan tak bersemangat.
“Kok lama,” kata Mila. “Kamu kenapa? Kayak gak semangat gitu.”
“Emangnya kenapa?”
“Kamu, kan, tahu kalau kelas itu sulit diatur. Anak-anak gak mau diam. Susah banget dibilangin. Capek-capek
aku bikin RPP, nyusun materi, nyetak lembar kerja, bahkan lembur sampai pagi cuma supaya mereka gampang
paham sama materiku. Kan aku capek-capek gini buat mereka. Eh, mereka gak menghargai aku. Seenaknya
sendiri ngobrol pas aku lagi jelasin materi.”
“Kamu harusnya bersyukur dapat kelas kayak gitu. Kan, lumayan buat latihan menghadapi anak bandel. Mereka
itu sebenarnya baik kok. Buktinya pas aku ngajar di kelas mereka, semuanya antusias. Pas aku jelasin,
semuanya memperhatikan dengan sungguh-sungguh. Bahkan tanpa aku suruh mereka aktif bertanya. Gak ada
yang salah kok dengan kelas itu.”
“Enggak gitu,”
“Ya jelaslah pas pelajaran kamu, mereka antusias, kamu kan ngajar seni rupa, bikin gambar, corat-coret, enak,
gampang. Nah, aku.... Apalagi kelas itu isinya 75% anak cowok. Jelas aja mereka antusias kalau kamu yang
ngajar.”
“Terima kasih,” kata Mila sambil tersenyum nakal.
“Secara gak langsung kamu habis bilang kalau aku cantik. Hehe. Udah ah, ayo berangkat.”
Rio menyalakan motornya. Mila mamakai helm lalu segera naik. Rio mengambil jalur biasa karena yakin jalanan
belum macet. Dia melajukan motornya pelan saja. Selain karena masih pagi, juga karena dia ingin mengobrol
lebih lama dengan Mila.
“Sayang,” kata Rio memulai obrolan. “Kalau nanti sudah lulus kuliah kamu beneran mau jadi guru?”
“Jangan gombal, ah. Nanti aku oleng ini. Aku nanya serius malah digombalin.”
Dari arah belakang, ada pengendara motor lain menyalip dan membuat Rio kaget. Pengendara itu memakai
seragam SMA. Suara motornya membuat Rio dongkol.
Sementara itu, Mila sibuk memikirkan pertanyaan Rio. Pertanyaan itu memang sederhana, namun jawabannya
ternyata tidak sederhana. Dia paham betul bahwa pertanyaan itu sebenarnya ditujukan untuk Rio sendiri dan
bukan untuknya. Mila sendiri sudah sering mengatakan bahwa cita-citanya memang ingin menjadi guru. Namun,
pertanyaan Rio itu malah membuatnya bertanya-tanya kepada hatinya, apakah benar ia ingin menjadi seorang
guru. Dan, alih-alih menjawab pertanyaan Rio, dia malah balik bertanya.
“Entahlah. Aku merasa kalau apa yang aku pelajari selama ini berbeda sekali dengan kenyataan yang aku temui
di lapangan. Aku belajar banyak tentang metode-metode mendidik dengan baik. Tapi rasanya metode itu seperti
sia-sia saja. Apalagi kalau kamu sering lihat berita, sekarang guru kayak gak ada harganya sama sekali di mata
murid. Bahkan yang terakhir, ada seorang guru ditusuk muridnya sampai mati.”
“Kok kamu gitu sih?”
“Gitu gimana?”
“Kayak gak ada optimisme sama sekali. Kamu kan cowok. Harusnya kamu melihat itu sebagai tantangan. Kalau
kamu merasa metode mengajar yang kamu pelajari gak berguna, ya kamu ciptain dong metode yang bagus.
Yang bisa buat siswa-siswamu jadi bintang gemintang yang menyinari negeri ini. Jangan malah menyerah.
Paling enggak, kamu harus optimis. Tularkan kebiasaan belajar kamu. Buat siswa-siswamu mencintai proses
belajar.”
Mila diam. Dia menunggu reaksi pacarnya. Namun, Rio diam saja. Mila takut kalau dia terlalu menggurui. Maka
dia segera mengalihkan pembicaraan.
“Enggak.”
“Karena aku tahu kamu seorang laki-laki pembelajar. Dan, aku yakin kamu juga mampu belajar tak hanya dari
buku. Tapi juga dari situasi, keadaan, dan tentu saja kehidupan.”
Tiba-tiba ada secercah perasaan bangga dalam diri Rio. Bangga bahwa dia memiliki kekasih yang punya bakat
jadi seorang motivator. Dalam hati, dia bertekad untuk segera lulus kuliah, memantapkan diri, kemudian
meminang gadis yang kini sedang diboncengnya itu.
“Buat apa?”
“Cita-cita apa?”
“Yang tadi kamu bilang itu, jadi isteri aku setelah lulus kuliah.”
#mohon kritik dan saran dari teman-teman.