Anda di halaman 1dari 3

Gentle Discipline; Sebuah Upaya Mendisiplinkan Tanpa Ancaman dan Hukuman

Mendisiplinkan anak sering kali menjadi tugas yang berat buat orang tua dan guru. Jika kita
membuat daftar perilaku buruk anak yang perlu kita ubah sesuai harapan kita, kita mungkin akan
menemukan banyak sekali perilaku buruk dalam daftar ini. Banyak dari kita kemudian memilih
mendisiplinkan anak dengan hukuman yang terlalu merusak atau pujian yang melemahkan motivasi
intrinsik mereka. Banyak pula yang menyerah mendisiplinkan anak lantas membiarkan anak
bertingkah semau mereka.

Kamus Bahasa Inggris Oxford mendefinisikan pendisiplinan sebagai “Praktik untuk melatih orang
mematuhi aturan atau kode perilaku, menggunakan hukuman untuk mengoreksi pembangkangan.”
Definisi pendisiplinan ini cocok dengan kecenderungan yang paling umum diterapkan masyarakat
sekarang ini, yaitu menitikberatkan pada hukuman untuk mendidik anak yang dipandang nakal.

Sebenarnya, ada definisi lain terkait pendisiplinan yang telah ada lebih dahulu, yang berfokus pada
pengajaran dan pembelajaran. Kata “disiplin” berasal dari bahasa Latin disciplina, yang berarti
'instruksi'. Disciplina, yang diturunkan dari kata Latin discere, berarti 'belajar'. Discipulus, yang
memberi kita kata “disciple” juga diturunkan dari kata yang sama, yang artinya 'seorang murid'.
Mungkin disciple (murid) yang paling terkenal adalah murid-murid Yesus, yang dengan begitu
menjadikan Yesus seorang guru. Saya kira hampir semua orang setuju bahwa Yesus digambarkan
sebagai seorang yang lemah lembut di hampir semua cerita Injil.

Sarah Ockwekll-Smith mengajak kita untuk kembali ke definisi pendisiplinan yang lebih dahulu ada,
yaitu yang berfokus pada pengajaran dan pembelajaran tanpa hukuman. Melalui bukunya, Gentle
Discipline, Sarah mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap metode menghukum anak untuk
mendisiplinkan mereka. Dia menyebut hukuman sebagai metode jalan pintas yang tidak efektif.

Pendidik yang baik menginspirasi anak-anak bukan menghukum mereka. Hukuman tidak
mengajarkan apa pun, kecuali ketakutan, dan begitu ketakutan terhadap ancaman hukuman
tersebut hilang, perilaku buruk anak akan muncul kembali atau muncul kembali dengan cara yang
sedikit berbeda.

Bagi anak-anak, cara Anda bersikap kepada mereka menjadi tampilan yang jelas bagaimana Anda
mencintai mereka. “Jika ibu saya mencintai saya, dia tidak akan memukul saya, dia tidak akan
menghukum saya, dia tidak akan mengurung saya di kamar. Ibu tidak mencintai saya.” Dengan
hukuman, anak merasa terputus dari cinta dan kasih sayang orang-orang yang diharapkan
mencintainya.

Pada 1940-an, Abraham Maslow, seorang psikolog Amerika terkenal merancang apa yang dia sebut
sebagai “hierarki kebutuhan”. Cinta, kasih sayang, dan rasa memiliki ada pada tingkat ketiga dari
hierarki itu. Pada tingkat kedua adalah kebutuhan untuk merasa aman secara fisik dan jauh dari
situasi yang berbahaya. Sedangkan pada tingkat pertama adalah kebutuhan fisiologis, misalnya
makan, minum, tidur, mengosongkan kandung kemih dan usus besar.

Banyak orang tua berhasil memenuhi kebutuhan tingkat pertama dan kedua dengan mudah. Namun,
banyak orang tua yang gagal pada tingkat kebutuhan ketiga, yaitu cinta, kasih sayang, dan rasa
memiliki. Saya tidak ragu bahwa mereka mencintai dan menyayangi anak-anak mereka. Sayangnya,
mereka kerap gagal menunjukkannya dengan cara-cara yang dimengerti anak-anak mereka.
Akibatnya, anak-anak mereka merasa tidak dicintai yang pada akhirnya tidak menumbuhkan rasa
memiliki.

Seseorang yang kebutuhan dasarnya tidak terpenuhi, akan sulit membangun perasaan diterima,
harga diri, dan kepercayaan diri, yang pada akhirnya menghambat mereka belajar memahami dunia
dan diri mereka sendiri.

Selain hukuman, Sarah juga menyebutkan beberapa metode jalan pintas lain yang juga tidak efektif,
yaitu pengondisian klasik dan pengondisian operan, pemberian hadiah, pengalihan perhatian,
pengucilan, dan pujian yang berlebihan. Dalam bukunya ini, Sarah menjelaskan secara gamblang,
mengapa metode-metode jalan pintas tersebut tidak efektif dan sebaiknya menjadi pilihan terakhir
untuk dipertimbangkan.

Sarah menawarkan alternatif metode pendisiplinan yang disebutnya sebagai gentle discipline.
Metode yang ditawarkannya ini berfokus pada upaya menggali akar masalah yang menyebabkan
anak-anak berprilaku buruk. Setelah itu, menunjukkan empati terhadap anak-anak.

Sarah berusaha membantu kita untuk memahami mengapa anak-anak berperilaku buruk. Sarah
menjelaskan penyebab perilaku buruk anak-anak dari berbagai perspektif keilmuan. Hal ini membuat
bukunya semakin kaya dan layak dibaca orang-orang yang bergerak di dunia pendidikan.

Selain itu, Sarah juga merumuskan bagaimana sebaiknya kita merespons dengan lembut dan efektif.
Kita tidak seharusnya dikuasai oleh kemarahan saat mencoba mendisiplinkan anak. Namun,
sayangnya hal ini kerap terjadi. Kita terlihat sedang menghukum mereka, tapi yang sebenarnya
adalah kita sedang melampiaskan kemarahan yang tak mampu kita redam. Perbandingannya
mungkin 30% hukuman 70% kemarahan.

Sebelum merespons tindakan anak, Sarah sangat menekankan orang tua maupun pendidik untuk
berempati terhadap anak. Empati ini dimaksudkan untuk membangun ikatan dengan anak semakin
kuat dan agar anak tidak merasa terputus dari cinta dan kasih sayang orang yang penting baginya. Ini
juga bagian dari mengedukasi hati, karena kata Aristoteles, mengedukasi pikiran tanpa mengedukasi
hati sama dengan tak mengedukasi apa-apa.
Buku ini dilengkapi dengan contoh-contoh nyata penerpan gantle disciplin yang telah dilakukan oleh
banyak orang tua maupun pendidik. Pendisiplinan yang dibahas dalam buku ini, meliputi disiplin
dengan aturan di sekolah, menangani perilaku kekerasan dan suka merusak, rengekan dan rajukan,
perilaku tidak mau mendengarkan dan melakukan sesuatu, tidak sopan dan suka membantah,
kebohongan, suka mengumpat, dan menangani rasa rendah diri dan kurang percaya diri pada anak-
anak.

Buku ini saya rekomendasikan kepada guru, orang tua, kakak, pengasuh, kalangan umum, dan
semua yang bergerak di bidang pendidikan.

Aji Budi Riyanto

Anda mungkin juga menyukai