Anda di halaman 1dari 3

Hujan, Pelangi dan Aku

Namaku Mentari. Aku punya teman baik bernama Pelangi. Kami sama-sama anak
perempuan berusia 10 tahun. Setiap hari kami selalu bermain bersama, terkadang sampai
tidak mengenal waktu. Sampai-sampai orang tua ku juga terkadang marah padaku karena
terlalu banyak bermain. Tapi tidak pada pelangi, ia adalah anak yatim piatu yang selalu ceria
dan menebar senyumnya, itu adalah salah satu alasan mengapa aku begitu menyukainya. Ya,
aku menyukainya.
Suatu hari aku dan Pelangi bermain di taman. Kami bernyanyi bersama dan menari
bersama.
“Aku akan bersinar seperti mentari dan menerangi dunia.” Aku menyanyikan lagu ku
sendiri dengan nada asal begitupun Pelangi.
“Aku ingin memberi warna-warni indah dan tersenyum untuk dunia.” Pelangi bernyanyi
lalu berputar mengelilingiku. Dia sangat cantik, terkadang aku jadi iri padanya.
Kami berhenti bernyanyi lalu duduk di kursi taman. Kami memandangi matahari yang
tengah bersinar terang.
“Lihat Mentari, setiap hari matahari selalu menyinari bumi. Aku iri padanya. Seandainya
saja, ada yang bernama pelangi di langit.” Ucap Pelangi.
“Tentu akan sangat cantik langit itu. Ya, sangat cantik bukan?” Aku melihat matanya
sedikit layu namun ia tetap tersenyum. Aku tahu ia tak pernah menangis hanya untuk
melihat pelangi.
“Tapi sayang Ri, pelangi hanya datang setelah langit menangis. Hujan..” Ucapnya lagi.
Kini ia memandangku nanar.
“Aku tak pernah ingin langit menangis, meskipun hanya untuk sekali saja melihat
pelangi dilangit.” Lanjut Pelangi. Ia kembali menatap langit yang begitu cerah, seakan
matahari itu tersenyum ia membalas senyumannya.
“Huft.. Pelangi. Kamu baik dan..”
TIK TIK TIK
Perlahan air langit membasahi wajahku. Aku menarik tangannya dan mencari tempat
berteduh. Kulihat pelangi begitu kedinginan. Hujan pun semakin deras dan sangat deras.
“Kapan hujan ini berhenti, deras sekali. Kita tak bisa pulang kalau terus begini.” Ucap ku.
Hari ini begitu aneh. Tadi langit cerah tapi tiba-tiba kurasakan tetesan air hujan. Lalu
perlahan awan hitam berkumpul dan menutupi matahari. Langit berubah gelap dan
mengerikan. Hujan tak henti-henti nya membasahi bumi.
Tiga jam sudah hujan begitu deras. Kurasakan seluruh tubuhku dingin. Aku melihat
pelangi yang memandangi hujan. Kali ini bibirnya membentuk garis datar.
“Kenapa langit menangis ya?” Ku dengar gumamam darinya. Ia nampak tak senang.
Mungkin karena hujan nya begitu lama dari pada yang biasa terjadi atau bahkan hujan ini tak
akan pernah berhenti.
“Hiks.. Hiks.. Hiks..”
Tangis itu, seperti tangisan seseorang yang tak jauh dari sini. Kedua mataku pun sibuk
melihat seluruh isi taman. Nampak seorang anak lelaki tengah berjalan menunduk lalu duduk
di kursi taman yang tadi kami duduki. Ia nampak sesenggukan dan menangis tanpa henti. Air
matanya menetes bercampur dengan air hujan.
“Hiks.. Hiks..” Ku dengar tangisannya semakin jelas, ku lihat Pelangi juga memperhatikan
anak itu.
“Ri, kita harus membantu anak itu. Aku tak tega melihatnya menangis. Sama seperti
langit itu.”
Aku menangguk. Ia menarik lenganku menuju anak itu. Kini kami benar-benar basah
kuyup oleh hujan.
Wajah anak itu mendongak, ku lihat wajahnya yang tampan dan putih pucat. Matanya
sembab, mungkin karena terlalu banyak menangis. Apa ia sudah menangis selama langit
menangis?
“Hai! Ayo kita berteduh disana. Kamu tidak mau sakit kan?”
Pelangi mengulurkan tangannya, tapi anak itu menggeleng. Tangisnya pecah.
“Ayo!” Aku ikut mengulurkan tanganku padanya dan ia tetap tidak mau.
Pelangi dan aku tak bisa memaksanya, kami pun duduk di samping anak itu. Aku di kiri
nya dan Pelangi di kanannya.
“Kenapa kamu terus menangis?” Tanya Pelangi. Anak itu kini menatap Pelangi.
“Aku sendirian. Kedua orang tua ku baru saja meninggal karena kecelakaan. Aku tak
ingin sendirian.” Jawabnya. Baru kusadari tangannya terluka. Bekas darah nya telah terhapus
air hujan.
“Kalau begitu sekarang kami jadi temanmu. Boleh ku tahu siapa namamu?” Pelangi
bertanya enteng. Ia kembali mengulurkan tangannya. Kini anak itu menjabat tangan Pelangi
dengan ragu-ragu.
“Nama ku Hujan.”
Aku sedikit terkejut mendengar namanya. Hujan? Kulihat air matanya tidak sederas
sebelumnya. Begitupun hujan yang sedikit mereda meski masih terasa airnya.
Pelangi tersenyum. Ia tak nampak terkejut seperti ku.
“Aku Pelangi. Aku selalu ingin melihat Pelangi.” Balas Pelangi. Mereka melepaskan
jabatan tangannya.
“Aku Mentari. Aku akan selalu menyinari dunia. Aku memang bukan matahari. Hey,
lihat.. bukan kah wajah ku bersinar.” Tanpa permisi aku ikut bicara dengan mereka. Sambil
menghapus air di wajahku. Aku tersenyum sangat cerah.
Hujan tertawa. Entah apa yang lucu. Tawanya renyah di telingaku. Pelangi lagi-lagi
tersenyum seakan memberi warna pada tawa Hujan. Aku ikut tertawa saja. Mungkin ia
menertawakan rambut panjang ikal ku yang jadi agak lurus terkena air hujan.
Kami bicara dan tertawa bersama. Pelangi mulai menyanyi diikuti senandung asal ku.
Hujan bertepuk tangan seolah memberi musik.
Hujan pun berhenti. Aku tak lagi merasakan air mengguyurku. Perlahan warna-warni
indah menyiram bumi, ditemani cahaya terang matahari yang menghilangkan awan-awan
hitam menyeramkan tadi. Pelangi tersenyum. Begitupun Hujan si tampan disamping ku.
“Itu benar-benar Pelangi.” Gumam Pelangi. Ia nampak menghitung warna di langit.
“Mentari, Hujan.. Lihat! Itu pelangi.” Pelangi benar-benar senang. Aku pun begitu.
Hujan nampak memeriksa langit biru tanpa awan itu.
“Indah dan cantik sepertimu.” Ucap Hujan. Ia menatap Pelangi.
“Ya, dia sangat cantik.” Lanjutku.
“Matahari itu juga sangat cerah, sepertimu Mentari.” Ucap Hujan lagi. Aku senang
mendengarnya.
“Ini semua karena Hujan..” Pelangi masih menatap langit.
“Tapi..” Kini kedua maniknya fokus pada wajah Hujan.
“Aku tak ingin kau menangis lagi. Aku tak ingin langit ikut menangis, saat kau menangis
Hujan.” lanjut Pelangi. Ucapannya secara tak langsung menyadarkan ku bahwa hujan yang
terjadi tiga jam ini karena seorang anak lelaki tampan bernama Hujan. Karena Hujan
menangis. Terdengar tak logis bukan?
Hujan tersenyum. Aku pun begitu. Aku berjalan ke tengah mereka. Merangkul mereka
berdua.
“Jangan ada yang menangis lagi ya. Kalau kalian menangis maka langit akan menangis.
Terutama kamu Hujan. Kamu harus belajar tertawa denganku dan belajarlah tersenyum
dengan Pelangi.” Ujar ku. Kulihat senyum mereka belum pudar.
“Iya Mentari. Hujan, kamu bisa tinggal bersama ku di Panti Asuhan.” Sambung Pelangi.
Kini matanya nampak berair. Bukan sebuah kesedihan melainkan haru. Ia meneteskan
air mata nya lagi, matanya berkaca-kaca. Bisa kurasakan setetes air langit menyentuh
hidungku. Tapi langit tetap cerah. Begitupun wajahnya yang mengukir senyuman manis.
Lebih manis dari pada senyuman yang sering kulihat di wajah Pelangi. Aku memeluk mereka
berdua erat.
Aku sangat bersyukur memiliki mereka sebagai sahabat-sahabatku. Untuk hari ini dan
seterusnya. Meski aku baru mengenal Hujan tetapi rasanya sudah mengenalnya lama.
Rasanya seperti kami bertiga telah ditakdirkan bersama. Mungkin sejak kami menerima
nama kami masing-masing atau bahkan sebelum kami dilahirkan di dunia ini? Ya, yang jelas
Hujan, Pelangi dan aku Mentari tetaplah sahabat sampai kapanpun.

Anda mungkin juga menyukai